Yadnya
|
Yadnya bukan
hanya Upacara Agama
Sreyaan dravyamayaad yadnyaaj.
Jnyanayadnyaah paramtapa. Sarvam karmaakhilam paartha. Jnyaane parsamaapyate (Bhagavad Gita IV.33) Maksudnya:
Lebih utama persembahan dengan Jnyana
Yadnya daripada persembahan materi dalam wujud apa pun. Sebab, segala
pekerjaan apa pun seharusnya berdasarkan ilmu pengetahuan suci (Jnyana)
.
ISTILAH Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya sangat luas. Umumnya yadnya diartikan sebagai sikap hidup yang ikhlas berkorban untuk kebenaran dan kesucian atau Satyam dan Siwam. Kebenaran dan kesucian itulah yang mewujudkan keharmonisan atau Sundharam. Dengan yadnya manusia meningkatkan kehidupannya yang semakin suci berdasarkan kebenaran
Salah satu
wujud dari yadnya itu adalah melakukan upacara dan upakara. Kata upacara
dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Kata upakara artinya melayani
dengan ramah tamah. Melakukan pendekatan dan pelayanan pada alam, masyarakat
dan Tuhan tujuan dari upacara yadnya. Permasalahan masyarakat agraris tidak
sekompleks masyarakat modern.
Veda
disabdakan oleh Tuhan ke dunia ini untuk menuntun umat manusia mengatasi
permasalahan hidupnya. Karena itu, melakukan yadnya dalam wujud upacara dan
upakara dalam masyarakat modern semestinya sudah berbeda wujudnya. Namun,
esensi tattwa atau kebenarannya yang diekspresikan tetap sama yaitu Satya dan
Dharma inti sari Veda. Untuk memecahkan berbagai persoalan rumit yang
dihadapi oleh umat manusia modern sangat dibutuhkan yadnya para Jnyanin atau
ilmuwan yang berhati suci. Karena itu, wujud Jnyana Yadnya lebih dibutuhkan
untuk mengatasi permasalahan kehidupan yang semakin rumit ini. Wujud yadnya
dalam wujud fisik material dalam bentuk banten seharusnya dapat kita ambil
dalam wujud yang kecil.
Hal itu
sangat dibenarkan oleh sastra agama. Karena dalam setiap upacara agama
menurut petunjuk sastranya selalu diberikan alternatif untuk memilih dalam
wujud Nista, Madya dan Utama. Nista berasal dari kata sta artinya inti sari.
Marilah kita buat banten dari bahan flora dan fauna yang inti-intinya saja.
Selebihnya
kita lanjutkan dengan tindakan nyata untuk melestarikan flora dan fauna
tersebut. Sebab, Manawa Dhamarsastra V.40 menyatakan bahwa penggunakan flora
dan fauna dalam upacara agama adalah untuk melestarikan flora dan fauna
tersebut. Karena dalam wujud yang benar dan serba kolosal akan banyak menyita
sumber daya alam seperti flora dan fauna yang keberadaannya sudah semakin
merana
Berdasarkan
hiruk-pikuk kehidupan di bumi, termasuk juga di Bali ini sudah makin mendesak
kita lebih mengutamakan Jnyana Yadnya daripada yadnya dalam wujud upacara
yang serba kolosal. Jnyana sesungguhnya berarti kesadaran rohani yang timbul
setelah mendalami ilmu pengetahuan suci. Yadnya dewasa ini seyogianya dalam
wujudkan meningkatkan kesadaran rohani
Dari
kesadaran rohani itu kita berbuat nyata untuk mengatasi kesenjangan sumber
daya alam. Kurangi mengumbar asap yang mengandung CO2 ke udara. Hal itu akan
dapat memperkecil efek rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global agar
iklim kembali teratur.
Kembalikan
luas dan fungsi hutan dari perusakan oleh manusia dan pengusaha yang rakus. Jangan
merusak sungai dengan tidak membuang sampai sembarangan. Tegakan hak-hak
rakyat dari manipulasi birokrasi dan politisi yang menyimpang. Kembangkan
pendidikan dan latihan untuk membangun SDM yang bermoral, profesional dan
sehat agar dapat berdedikasi secara optimal
Memegang
jabatan di berbagai bidang juga suatu Jnyana Yadnya pada masyarakat. Hal-hal
yang semacam inilah yang seharusnya kita lakukan sebagai wujud yadnya pada
zaman Kali ini. Kegiatan beragama janganlah menjadi beban alam dan sosial.
Kegiatan beragama yang banyak menyita waktu, tenaga dan dhana masyarakat di
Bali justru tidak akan menjadikan Bali itu ajeg
Alam Bali
menjadi merana. Apalagi di Bali lahan tidur masih luas karena tidak mendapat
perhatian pemiliknya. SDM Bali kurang memiliki kesempatan merebut lapangan
kerja yang ada. Mereka semakin terdesak oleh pendatang baru. Beragama
hendaknya dapat diarahkan membina SDM yang memiliki militansi yang tinggi
dalam artian fisik, moral dan kreativitas mengembangkan profesi.
Hidup di
zaman Kali ini penuh persaingan. Kegiatan beragama hendaknya untuk membina
SDM Bali siap bersaing secara sehat. Siap hidup dalam masyarakat yang
fluraris dengan mengembangkan paradigma manajemen konflik yang benar.
Artinya, setiap perbedaan yang berpotensi untuk menimbulkan konflik harus
dikelola secara bijak
Manajemen
konflik yang bijak adalah tidak mematikan perbedaan yang merupakan kenyataan
sosial. Tetapi, tidak membiarkan perbedaan itu sampai menimbulkan konflik
sosial. Inilah wujud Jnyana Yadnya yang seharusnya kita lakukan demi ajegnya
Bali.
Upacara Panca
Yadnya Dalam Kehidupan Beragama
Sejarah
menyatakan, bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah Nusantara Indonesia telah
berdiri Kerajaan-Kerajaan Besar seperti salah satu di antaranya adalah
Kerajaan Majapahit yaitu sebuah Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan
Kerajaan terbesar yang bisa menyatukan seluruh wilayahnya sampai ke
Madagaskar.
Pada jaman itu sudah ada hubungan dagang dengan negara Luar Negeri terutama dengan Negeri Campa, yang saat ini Negara Cina.
Kerajaan ini
bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman keemasannya dipimpin oleh seorang
Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya bernama Gajah Mada
Pada jaman itu perkembangan budaya yang berlandaskan Agama Hindu sangat pesat termasuk di Daerah Bali dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para Arya dari Kerajaan Majapahit sebagian besar hijrah ke Bali dan di Daerah ini para Arya-Arya tersebut lebih memantapkan ajaran-ajaran Agama Hindu sampai sekarang.
Masyarakat
Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran
Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan
upacara ritual dalam Falsafah Tri Hita Karana.
Arti kata Tri Hita Karana : Tri artinya tiga
Hita artinya
kehidupan
Karana
artinya penyebab
Tri Hita
Karana artinya : Tiga keharmonisan yang menyebabkan adanya kehidupan yaitu
hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, hubungan yang harmonis
antara manusia dengan manusia dan hubungan yang harmonis antara manusia
dengan alam.
Dalam pelaksanaannya tetap berlandaskan ajaran-ajaran Agama Hindu dan dalam kegiatan Upacara Keagamaan berpatokan pada Panca Yadnya.
Yang dimaksud
dengan Panca Yadnya adalah : Panca artinya lima dan Yadnya artinya upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan yang dalam istilah Bali
masyarakat Hindu menyebutkan Ida Sanghyang Widi Wasa.
Adapun
pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :
1. Dewa
Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para
dewa-dewa.
2. Butha
Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan
unsur-unsur alam.
3. Manusa
Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
4. Pitra
Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang
telah meninggal.
5. Rsi
Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang
suci umat Hindu.
Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan Panca Yadnya secara simpel dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Upacara Dewa Yadnya
Dewa asal
kata dalam bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian
Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang oleh umat
Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan dan sinar-sinar suciNYA yang disebut dewa-dewi. Adanya pemujaan kehadapan dewa-dewi atau para dewa karena beliau yang dianggap mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan di dunia ini.
Salah satu
dari Upacara Dewa Yadnya seperti Upacara Hari Raya Saraswati yaitu upacara
suci yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk memperingati turunnya Ilmu
Pengetahuan yang dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari Sabtu, yang
dalam kalender Bali disebut Saniscara Umanis uku Watugunung, pemujaan
ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu Pengetahuan dan
dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat memegang wina
(sejenis alat musik), genitri (semacam tasbih), pustaka lontar bertuliskan
sastra ilmu pengetahuan di dalam kotak kecil, serta bunga teratai yang
melambangkan kesucian.
2. Upacara
Bhuta Yadnya
Bhuta artinya
unsur-unsur alam, sedangkan Yadnya artinya upacara persembahan suci yang
tulus ikhlas.
Kata “Bhuta”
sering dirangkaikan dengan kata “Kala” yang artinya “waktu” atau “energi”
Bhuta Kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya.
Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan kehadapan Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru / Çaka / Kalender Bali).
Upacara Tawur
ke Sanga (Sembilan) adalah upacara suci yang merupakan persembahan suci yang
tulus ikhlas kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis dan bisa
memberikan kekuatan kepada manusia dalam kehidupan.
3. Upacara Manusa Yadnya
Manusa
artinya manusia
Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Adapun beberapa upacara Manusa Yadnya adalah : a. Upacara Bayi Lahir
Upacara ini
merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas
kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban
baginya.
Kebahagiaannya
terutama disebabkan beberapa hal antara lain :
• Adanya
keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap
leluhur dan masyarakat.
• Hutang
kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.
b. Upacara Tutug Kambuhan, Tutug Sambutan dan Upacara Mepetik.
Upacara Tutug
Kambuhan (Upacara setelah bayi berumur 42 hari), merupakan upacara suci yang
bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang tuanya.
Penyucian
kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil air dan di
Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga).
Upacara Tutug
Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang
tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang
dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan.
Pada upacara ini nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga.
Upacara
Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si
bayi dengan acara pengguntingan / pemotongan rambut untuk pertama kalinya.
Apabila
keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut di bagian ubun-ubun
tersebut dibiarkan menjadi jambot (jambul) dan akan digunting pada waktu
upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan.
Upacara Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara Tutug Sambutan. c. Upacara Perkawinan
Bagi Umat
Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai
upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar
mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa
mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang
tua/leluhur.
- Sebagai
persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa
keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi
tanggung jawab bersama.
- Penentuan
status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim
patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim
patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier
(garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita
karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan(barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga
kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan
mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan
(keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar
yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas)
serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci
Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" ( Sarana
Pemutusan ) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua
mempelai sampai benang tersebut putus.
d. Upacara Pitra Yadnya (Ngaben ) Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal. Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Pitra Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan meralina ( kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran Agama Hindu.
Yang dimaksud
dengan meralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu) adalah merubah suatu
wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula.
Yang dimaksud
dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri
dari air, api, tanah, angin dan akasa.
Sebagai
sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk pralina
digunakan api pralina (api alat kremasi).
e. Upacara
Rsi Yadnya
Rsi artinya
orang suci sebagai rokhaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di Bali.
Yadnya
artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Upacara Resi Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas sebagai penghormatan serta pemujaan kepada para Resi yang telah memberi tuntunan hidup untuk menuju kebahagiaan lahir-bathin di dunia dan akhirat. Demikian Upacara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh Umat Hindu di Bali sampai sekarang yang mana semua aktifitas kehidupan sehari-hari masyakat Hindu di Bali selalu didasari atas Yadnya baik kegiatan dibidang sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, pertanian, keamanan dan industri semua berpedoman pada ajaran-ajaran Agama Hindu yang merupakan warisan dari para leluhur Hindu di Bali.
Panca Yadnya:
Upacara tanpa Upakara
Konsep Panca
Yadnya kalau dielaborasi -- digarap secara tekun dan cermat -- menggunakan
metode empiris, bisa menjadi pengetahuan atau falsafah hidup yang mengajarkan
hakikat keseimbangan. Harmonisasi dalam kehidupan ini akan terjadi jika
manusia tidak saja memperhatikan dan mengutamakan diri sendiri tetapi juga
yang berada di luar dirinya, yakni dewa, rsi, pitra, manusa, dan butha.
Perhatian dan
pengutamaan itu dapat dilakukan dengan yadnya, yang diterjemahkan menjadi
kurban suci. Namun kurban yang paling suci bukanlah mantram, melainkan
filosofi nilai dan cita-cita yang terkandung di dalamnya. Bukan pula beraneka
hewan persembahan, melainkan penghancuran sifat-sifat kebinatangan yang
inheren pada diri setiap orang. Kurban suci yang terbaik adalah trikaya parisudha,
sedangkan sesajen dengan segala renik-reniknya hanya sarana yang melekat
padanya.
Akan tetapi
dalam tradisi Bali, Panca Yadnya dimaknai bukan sebagai kurban suci melainkan
persembahan sesaji melalui suatu upacara atas kelima unsur tersebut. Mereka
berhenti sampai di situ, seolah-olah hanya dengan melangsungkan upacara
persoalan kehidupan ini bisa dituntaskan begitu saja. Padahal upacara tanpa
upakara tidak akan ada artinya, sama halnya dengan menghambur-hamburkan uang
tanpa tujuan yang pasti.
Apacara dan
upakara adalah saudara kandung, yang bagaikan dua sisi pada suatu mata uang,
tak bisa dipisahkan begitu saja. Keduanya berasal dari bahasa Sansekerta.
Upacara punya konotasi bukan hanya sebagai upacara, tetapi juga perhiasan
atau tanda-tanda kebesaran kerajaan, dapat pula diartikan sebagai hadiah.
Sedangkan upakara bermakna kedermawanan, bantuan, amal baik, perbuatan baik,
dan sebagainya yang serba baik.
Dengan
demikian upacara tanpa upakara akan menyebabkan segala sesuatu yang
dipersembahkan kepada subsimtem Panca Yadnya itu tidak bermakna, menimbulkan
upadrawa, kecelakaan dan penderitaan dan berakhir dengan upakrosa, penyesalan
dan celaan. Contoh terbaik untuk menerangkan hal itu adalah konflik bahkan
pertikaian yang terjadi pada saat piodalan baik di tingkat keluarga, banjar,
desa adat, dan kahyangan jagat menunjukkan minimnya kesadaran umat Hindu
melakukan upakriya, kewajiban berbuat baik, padahal inilah yang merupakan
inti panca yadnya, sedangkan barang-barang persembahan hanyalah upakarana,
perlengkapan belaka.
Berbuat baik
kepada para dewa, Dewa Yadnya, tidak mesti harus diukur dari besar-kecil
sarana upacara dan megah atau sederhananya pura, melainkan apakah yang
bersangkutan mampu mengedepankan sikap para dewa, objektif, bebas dari kepentingan
pribadi. Rsi Yadnya bukan pula hanya daksina, upah atau hadiah kepada para
pendeta, tetapi penghargaan kepada dunia ilmu pengetahuan. Pitra Yadnya,
bukan pula penghormatan kepada roh leluhur melalui upacara pengabenan, tetapi
kesadaran akan pentingnya masa lampau untuk melangkah di masa kini. Manusa
Yadnya, juga tidak semata-mata upacara siklus kehidupan -- lahir-hidup-mati
-- tetapi juga upakara kemanusiaan, perikemanusiaan. Demikian dengan Bhuta
Yadnya, bukan berarti hanya untuk bhuta kala melainkan mahluk hidup, segala
yang berwujud dan berupa.
Bagaimana pun
konsep panca yadnya hanyalah acuan yang wajib digunakan oleh umat untuk
menjabarkan intisari ajaran Hindu yakni Panca Sradha, yang sudah tentu tak
bisa diterapkan secara mutlak, mengingat di dalamnya ada relativitas sesuai
dengan hukum rwabhineda: hitam putih, baik buruk, dan sebagainya. Agar
kejahatan tidak mengalahkan kebaikkan, maka diperlukan tata tertib dan
aturan, namun semua itu tak akan ada gunanya jika masih tetap mengutamakan
upacara dengan mengabaikan upakara.
Ketidakseimbangan
antara upacara dan upakara telah menjadi sebab dari berbagai akibat dan punya
kecenderungan menghancurkan peradaban Bali. Selama ini upacara makiyis yang
dilaksanakan setahun sekali terbukti tidak mampu membersihkan pikiran.
Terbukti masih banyak orang oportunis mencuri kesempatan untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Upacara tumpek bubuh tidak
mampu menyelamatkan lingkungan. Upacara Pagerwesi, tak secara otomatis
melindungi Bali dari para teroris.
Oleh karena
itu, demi masa kini dan masa depan, konsep Panca Yadnya harus dielaborasi
dengan terlebih dahulu melekatkan unsur upakara di dalamnya. Hal ini sangat
penting, sebab Bali masa kini bukanlah Bali masa lampau yang homogen dan
monoreligi. Bali sekarang sungguh kompleks. Begitu banyak permasalahan
tumpang-tindih di dalamnya, yang bisa disebut sebagai dampak industrialisasi
pariwisata dan modernisasi.
Di satu sisi
dia telah melahirkan struktur masyarakat baru. Adanya sekelompok orang dengan
tingkat keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi, yang dibarengi dengan
munculnya peningkatkan kebutuhan dalam berbagai hal: kesadaran politik,
harapan-harapan hidup, dan interaksi dengan dunia luar. Proses perubahan itu
luput dari perhatian pemerintah, karena mereka lebih banyak disibukkan oleh
kepentingan-kepentingan memerintah, bukan sebagai yang diperintah oleh
asas-asas perikemanusiaan.
Keluputan itu
tak boleh dibiarkan berkepanjangan, karena peningkatan laju industrialisasi
dan modernisasi telah terbukti menimbulkan destabilisasi, yang dapat dilihat
dari adanya disparitas pendapatan dan sosial di masyarakat. Mereka yang
tersentuh langsung dengan industrialisasi cenderung lebih banyak menikmati
hasil daripada yang tak langsung, sehingga terjadi ketimpangan sektor
pertanian mensubsidi perindustrian dalam skala luas.
Terjadi
ketidakseimbangan antara kota (pusat-pusat pariwisata) dengan daerah luar
kota, daerah dengan daerah, antara sektor-sektor modern dan tradisional,
sektor-sektor asing dan domestik. Hal itu sudah mengancam
keseimbangan-keseimbangan sosial, yakni terjadinya urbanisasi dan mobilitas
secara besar-besaran, sehingga isolasi tradisional yang sebelumnya begitu
kuat mengingat Bali terlepas karena tak kuat menghadapi laju transportasi dan
media massa. Dengan demikian, muncullah kelompok yang berada pada kedudukan
yang lebih baik untuk memanfaatkan kemajuan industrialisasi dan yang berada
pada kedudukan lebih buruk. Ketidakseimbangan ini padanya akhirnya akan
mengakibatkan keterasingan dan sejumlah masalah sosial.
Hal seperti
itu mungkin dapat dicegah paling tidak dikurangi eksesnya dengan melakukan
yadnya yang telah dimodifikasi pengertiannya. Orang-orang yang kebetulan
berada pada kedudukan yang lebih baik harus mampu dan bersedia membantu
pemerintah dalam hal penjabaran Panca Yadnya: menciptakan ruang dan
kesempatan sebanyak mungkin untuk melakukan yoga, semadi, dan meditasi;
membantu dalam hal pendidikan dan penelitian dalam berbagai bidang sesuai
dengan ketertarikan masing-masing. Mensosialisasikan nilai, cita-cita dan
simbol ekspresif masa lampau yang dianggap relevan untuk masa kini; menjaga
memupuk sebaik mungkin sumber kehihupan manusia, terutama dengan
terus-menerus meningkatkan sumber daya; dan menjaga serta melestarikan alam
lingkungan hidup.
Pemerintah
melalui kewenangannya tentu hanya menunggu bantuan tetapi wajib juga
melaksanakan semua itu, pertama-tama dalam lingkungannnya sendiri, karena
hanya dari pejabat yang punya kesadaran perikemanusiaan yang mampu memimpin
negeri ini menjadi lebih baik. Hindu yang berdasarkan pengalaman terutama
yang dari penemuan dan pengamatan terhadap realitas sosial.
.........oo0oo........
|
Selasa, 10 April 2012
Yadnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Salinan Lontar TENUNG WRESPATI KALPA Murda Lontar : Tenung Wrespati Kalpa Druwe : Giriya Kawy...
-
TENUNG PEWACAKAN WETON Redite Pahing Wuku Sinta Dora, Tungleh, dangu, Sri.Urip 14, lintang gajah, nga, wikan, prewira, kweh ...
-
BABAD BRAHMANA MAS I.Bali di Bawah Majapahit Pada tahun 1343 Masehi atau tahun 1265 Saka Bali Aga berhasil ditaklukkan oleh Majapahit...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar