Bali Kuna
Pendahuluan
Bali Kuna adalah Bali sebelum ditaklukkan Majapahit (tahun
1343 Masehi). Penyebutan nama Bali Kuna mula-mula oleh Dr. R. Goris, pada tahun
1948. Beliau adalah anthropologist berkebangsaan Belanda yang menetap di
Singaraja.
Istilah itu digunakan untuk membatasi wilayah penelitian
antara pra dan pasca pendudukan Majapahit yang membawa pengaruh besar pada
bidang: kehidupan sosial, budaya, politik, dan perekonomian.
Tidak ada penjelasan tentang penggunaan kata ‘Kuna’ dalam
batasan ini. Bali Kuna kemudian berubah menjadi Bali Aga, yakni sebutan
bagi penduduk Bali Kuna yang mengungsi ke pegunungan (Aga = gunung) karena
terdesak oleh migrasi besar-besaran dari Majapahit di Jawa Timur sekitar abad
ke-14, pada saat mana Agama Islam mulai berkembang di Jawa.
Sumber sastra yang menguatkan hal ini terdapat pada Kidung
Harsa Wijaya, Kidung Ranggalawe, Kidung Sunda, Usana Jawa, Usana Bali, Babad
Dalem, dan Dwijendra Tattwa.
Penelitian ilmiah tentang Bali Kuna diadakan tahun 1885 oleh
Dr. Van der Tuuk dan Dr. Brandes berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan
di Blantih, Sangsit, dan Klandis. Selanjutnya prasasti yang ditemukan di Julah
pada tahun 1890 lebih memudahkan penelitian Brandes.
Perhatian Pemerintah Hindia Belanda pada sejarah Bali Kuna makin
mendalam, sehingga pada tahun 1926 terbitlah kumpulan dokumen penelitian yang
dinamakan Epigraphia Balica yang disusun oleh Dr. Van Stein Callenfels.
Dokumen-dokumen itu kemudian terus disempurnakan dengan foto
arca-arca, dan Pura-Pura kuno serta tambahan temuan-temuan dari Dr.
Stutterheim.
Tahun 1930 terbitlah buku yang berjudul Oudheden van Bali
yang menguak tabir misteri Bali Kuna. Penulis menduga kata ‘Kuna’ oleh Goris,
mungkin dipengaruhi kata ‘Oudheden’ dari buku itu. I Nyoman Singgin
Wikarman, dalam bukunya ‘Leluhur orang Bali’ menggunakan istilah ‘Bali Mula’
untuk Bali Kuna.
Beliau menggali lebih dalam berdasarkan temuan Drs. Soekmono
(1973) , temuan Dr. R.P. Soejono (1961), dan tulisan I Made Sutaba,
masing-masing mengungkap keberadaan orang-orang Bali sejak zaman batu, zaman
perundagian, sampai zaman kehidupan agraris. Mereka termasuk rumpun manusia
Austronesia, yang belum beragama.
Pada abad ke-8 Masehi, seorang yogi dari India Selatan
bernama Maha Rsi Markandeya datang menyebarkan Agama Hindu sekte Waisnawa.
Sebelum ke Bali beliau telah mendirikan pasraman di Gunung Dieng dan Gunung
Raung. Kedatangannya di Bali, pertama mengunjungi Besakih, kemudian menetap di
Taro (Tegallalang).
Peradaban Budha dan Hindu
Peradaban awal yang ditemukan pada stupa-stupa dan batu
bertulis di situs Pejeng dengan angka tahun Isaka 700 (778 Masehi) dalam
bahasa Sanskerta adalah kutipan sebuah mantra Budha:
YE
DHARMA HETU PRABHAWAHETUN TESAN TATHAGATO HYAWADATTESANCA YO NIRODHAEWAM WADI
MAHASRAMANAH
artinya: Keadaan tentang sebab-sebab kejadian (terciptanya
dunia) sudah dijelaskan oleh Sang Budha yang maha mulia.
Beliau sudah menerangkan pula apa yang seharusnya dilakukan
manusia (di dunia ini). Ini membuktikan Bali Kuna lebih dahulu mengenal
Agama Budha daripada Agama Hindu.
Karena perbedaan waktu antara kedatangan para Bhiksu dengan
kedatangan para misionaris Hindu (antara lain Maha Rsi Markandeya) tidak
banyak, atau boleh dikatakan hampir bersamaan maka terjadilah percampuran
antara dua agama itu.
Prasasti-prasasti yang bertarikh tahun 804 Isaka (tahun 882
Masehi) sudah menyebutkan nama-nama bulan kalender dengan solar system (Hindu)
seperti di India berturut-turut: Waisaka, Jyesta, Ashadha, Srwana, Badrapada,
Aswina, Kartika, Margasira, Pausha, Magha, Phalguna, dan Chaitra.
Selain itu, prasasti batu padas yang ditemukan di Blanjong
(Sanur) telah bertuliskan tahun Saka menurut sistem candra sangkala dari
peradaban Hindu: Khecara Wahni Murti. Cara membaca system candra sangkala
adalah dari belakang ke depan; Murti = Siwa = 8; Wahni = cahaya = 3; Khecara =
bintang = 9.
Jadi sistem candra sangkala itu menunjukkan tahun kejadian
yakni: Isaka 839 (917 Masehi). Sistem candra sangkala selain menunjukkan
tahun kejadian, juga berbentuk kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai
pemberitaan, dalam hal ini Khecara Wahni Murti, artinya: Bintang yang terang
bercahaya bagaikan Bhatara Siwa.
Oleh para ahli kalimat ini ditafsirkan sebagai pujian kepada
Raja: Kesari Warmadewa yang ketika itu berkuasa dan beristana di Singhadwala,
beragama Budha dari sekte Mahayana.
Percampuran budaya Budha – Mahayana dengan Hindu sekte Siwa
Sidantha dan sekte Waisnawa telah terjadi di Bali Kuno setidak-tidaknya sejak
tahun 882 Masehi seperti yang diuraikan di atas, jauh sebelum kejadian yang
sama di Jawa Timur.
Percampuran Siwa-Budha di Jawa Timur baru secara resmi
diakui sejak tahun 1365 Masehi oleh Mpu Prapanca dalam tulisan kekawinnya
berjudul: Desawarnana, dan selanjutnya Mpu Tantular menulis hal sama pada
kekawinnya: Arjuna Wiwaha (1367 Masehi) dan Sutasoma (1380 Masehi).
Raja-Raja dan Penguasa di Bali Kuno
Pulau Bali tidak pernah dikuasai secara mutlak (de facto
& de yure) oleh seorang Raja atau Penguasa saja. Di zaman Bali Kuno,
wilayah-wilayah tertentu dengan kelompok-kelompok penghuninya dipimpin oleh
tokoh berbeda, tanpa hubungan darah satu dengan yang lain.
Sering terjadi peperangan diantara mereka untuk merebut
kekuasaan. Berikut ini adalah daftar Raja-Raja/ Penguasa yang pada umumnya
mempunyai wilayah dan pengaruh luas. Ada beberapa berasal dari dinasti yang
sama, misalnya dinasti Warmadewa.
Tahun
Masehi
|
Nama
(Bhiseka) Raja-Raja/ Penguasa
|
Kedudukan
(Istana)
|
912
- 942
|
Sri
Ugrasena
|
Singhamandawa
(Kintamani)
|
913
- 955
|
Sri
Kesari Warmadewa
|
Singhadwala
(Besakih)
|
955
- 967
|
Sri
Hari Tabanendra Warmadewa &Sri Subadrika Warmadewa
|
Tabanan
|
967
- 968
|
Sri
Candrabhayasingha Warmadewa
|
Tampaksiring
|
968
- 983
|
Sri
Janasadhu Warmadewa
|
Bedahulu
|
983
- 988
|
Sri
Wijaya Mahadewi
|
Kadiri
|
983
– 1011
|
Sri
Dharmodayana Warmadewa (Udayana) & Sri Mahendradatta (Sri
Gunapriyadharmapatni)
|
Bedahulu
|
1001
- 1015
|
Sri
Ajnyadewi
|
Kintamani
|
1011
- 1072
|
Sri
Suradhipa
|
Bedahulu
|
1072
- 1098
|
Anak
Wungsu (Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Sthana Uttunggadewa)
|
Tampaksiring
|
1098
- 1133
|
Sakala
Indukirana Isanagunadharma Laksmi Dharawijaya Uttunggadewi
|
Tampaksiring
|
1133
- 1173
|
Jayapangus
|
Kintamani
|
1173
- 1198
|
Jayasakti
|
Kintamani
|
1198
- 1284
|
Bhatara
Sri Parameswara Sri Hyang -Ning Hyang Adidewa
|
Kintamani
|
1284
- 1324
|
Kebo
Parud (Kerajaan Singasari-Jawa)
|
Bedahulu
|
1324
- 1325
|
Sri
Tarunajaya
|
Bedahulu
|
1325
– 1328
|
Dharma
Uttungga Warmadewa
|
Bedahulu
|
1328
- 1337
|
Bhatara
Sri Wala Jaya Kertaning Rat
|
Bedahulu
|
1337
– 1343
|
Bhatara
Sri Asta Asura Ratnabumibanten (Sri Tapolung)
|
Bedahulu
|
Pemerintahan
Lembaga tertinggi Pemerintah adalah sebuah Badan Penasehat
yang disebut dengan berbagai nama, yaitu: Panglapuan, Samohanda, Senapati,
Pasamaksa, dan Palapknan. Badan ini bisa hanya satu orang saja, atau bisa lebih
dari satu orang.
Mulai tahun 1001 pada Pemerintahan Raja Udayana, Badan
Penasehat itu bernama: Pakira-kiran I Jero Makabaihan diketuai oleh Mpu Kuturan
dan beranggotakan beberapa Senapati (Penguasa Sub-Wilayah), Kasaiwan
(Pendeta-Pendeta Siwa), dan Kasogatan (Pendeta-Pendeta Budha).
Nama-nama Senapati yang menjadi anggota Pakiran-kiran I Jero
Makabaihan, adalah: Wrsabha (Wrsanten), Pancakala, Waranasi, Tira, Danda
(Waci), Wwit, Byut, Balabaksa, Dalembunut (Balembunut), Dinganga, Maniringin,
Pinatih, Srbwa, dan Tunggalan.
Nama-nama Pendeta Siwa dan Pendeta Budha yang menjadi
anggota Pakiran-kiran I Jero Makabaihan, tidak disebutkan dalam
prasasti-prasasti. Yang disebut hanyalah nama-nama Griya tempat tinggal para
Pendeta itu.
Untuk Kasaiwan (Pendeta-Pendeta Siwa) dari Griya-Griya: Air
Garuda, Air Gajah, Antakunjarapada, Binor, Dharma Hanar, Hari Tanten,
Kanyabhawana, Kusumadanta, Lokeswara, Suryamandala, dan Udayalaya.
Untuk Kasogatan (Pendeta-Pendeta Budha) dari Griya-Griya:
Bajrasikhara, Badaha, Wihara Bahung, Buruan, Canggini, Dharmarya, Kusala, Kuti
Hanar, Lwa Gajah, Nalanda, dan Waranasi.
Raja dapat mengambil keputusan sendiri, tetapi untuk
masalah-masalah yang penting misalnya: pengaturan keamanan/ pertahanan,
perintah perang, penetapan pajak, pengangkatan pejabat, dan penetapan hukuman
mati, Raja perlu mendapat pertimbangan dari Pakira-kiran I Jero Makabaihan.
Penyelenggara Pemerintahan di Pusat Kerajaan dilaksanakan
oleh pegawai-pegawai yang dinamakan: Nayaka, Ser, dan Samgat. Panglima Perang
disebut: Rakyan. Penyelenggara Pemerintahan di Sub-Wilayah adalah Senapati.
Kehidupan sosial dan religi
Laut, sungai, mata air, danau, dan hutan dikuasai oleh Raja.
Kelompok penduduk yang ingin memanfaatkannya untuk menunjang kehidupan harus
meminta ijin melalui Senapati setempat. Setelah mempertimbangkan dengan
seksama, Senapati meneruskan permohonan itu kepada Raja.
Ijin yang diberikan kepada kelompok (bukan perorangan/
pribadi) ditulis dalam prasasti dari bahan tembaga, lontar, atau batu.
Pemberian ijin itu disertai dengan kewajiban berupa pajak dan kewajiban menjaga
kelestarian alam. Ijin yang telah diberikan tidak boleh dipindah tangankan
kepada orang/ kelompok lain tanpa persetujuan Raja.
Senapati wajib menuntun rakyatnya untuk menyembah
Bhatara-Bhatari yang disakralkan seperti: Bhatara Da Tonta di Turunan
(Trunyan), Bhatari Mandul di Bukit Panulisan, Bhatari lumah ri: Air
Madatu, Buruan, Banyu Wka, Camara, Jalu, Dharma Hanar, Banyu Palasa, Buah
Rangga, Candri Manik, Candri Linggabhawana, Dewastana, Air Talaga, dan
Senamukha.
Bhatara Da Tonta adalah manifestasi Sanghyang Widhi yang
dipuja untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan, Bhatari lumah ri adalah
Roh-Roh leluhur dari Udayana dan Raja-Raja berikutnya dari dinasti Warmadewa.
Bhiksu-Bhiksu Budha banyak mendirikan wihara di tepi-tepi
sungai seperti: Patanu, Pakerisan, Uwos, Kungkang, di pegunungan seperti:
Gunung Kawi, Goa Patinggi, Gunung Agung, Bukit Petung, Cintamani, Songan,
Watukaru, di danau-danau seperti: Batur, dan Tamblingan, di tepi pantai
seperti: Julah, dan Dharmakuta.
Perekonomian
Mayoritas penduduk Bali Kuno hidup dari penghasilan sektor
agraris: pertanian, peternakan, perikanan, dan mengumpulkan hasil hutan.
Sebagian kecil penduduk hidup dari sektor perdagangan sebagai pengepul hasil
bumi terutama beras, untuk dijual kepada saudagar-saudagar Cina.
Sebaliknya mereka membeli barang-barang kelontong dan
barang-barang kerajinan dari pedagang-pedagang Cina seperti kain, porselain,
pecah-belah, dan keperluan rumah tangga lainnya. Perdagangan di pantai
utara Pulau Bali lebih ramai dari pantai selatan, karena kesibukan lalu lintas
kapal-kapal dagang lebih banyak di pantai utara.
Jalur pelayaran di Nusantara mulai dari semenanjung Malaka
menyusuri pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa, pantai utara Bali, berbelok
ke selatan di Selat Lombok, seterusnya ke Sumbawa, Sulawesi Selatan dan Maluku.
Pelabuhan-pelabuhan laut di pantai utara Bali adalah: Teluk
Terima, Pemuteran, Buleleng, Sangsit, Kubutambahan, dan Julah. Sedangkan
pelabuhan di pantai selatan Bali hanya Sanur.
Jalur perdagangan di daratan pulau Bali bermula dari
pelabuhan menuju ke pegunungan. Dari Teluk Terima, jalur darat menuju
Desa-Desa: Busungbiu, Munduk, Tamblingan, Candi Kuning, terus ke Tabanan. Dari
Pemuteran mengikuti jalur yang sama dengan jalur Teluk Terima.
Dari Buleleng, ada jalur ke: Gitgit, Wanagiri, Buyan, Candi
Kuning, terus bersatu dengan jalur ke Tabanan. Dari Sangsit, Kubutambahan dan
Julah, jalur yang paling ramai menuju Desa-Desa pegunungan bagian timur,
akhirnya menuju pusat kerajaan di Cintamani, dan Bedahulu.
Awalnya perdagangan dilakukan secara barter, yakni
tukar-menukar barang (mepurup-purup), karena Raja-Raja tidak menciptakan mata
uang bagi negerinya. Kedatangan saudagar-saudagar Cina yang membawa mata uang
Cina serta mengajarkan kepada penduduk Bali Kuna sistem jual-beli menggunakan
uang kartal, menarik perhatian Raja Udayana.
System ini dinilai baik karena praktis, melancarkan
perdagangan, dan memudahkan Raja memungut pajak. Walaupun penduduk telah
mengenal dan menggunakan mata uang Cina sebelum pemerintahan Sri Ugrasena,
namun Raja Udayana-lah pada tahun 989 Masehi yang secara resmi menetapkan
berlakunya mata uang Cina sebagai uang kartal atau alat tukar yang syah.
Orang Bali Kuna menyebut mata uang itu: pis-bolong.
Pis bolong yang mulai beredar di Bali Kuna pada abad ke-7 dibuat di Cina
pada zaman pemerintahan Dinasti Tang (618 M – 907 M). Peranan pis bolong
sebagai alat tukar di Bali Kuna makin kuat, karena beberapa hal, yaitu:
- Perkawinan Raja Sri Jaya Pangus (1133 M – 1173 M) dengan seorang putri Cina, kerabat Raja Khu Bilai Khan.
- Bali Kuna pernah dijajah oleh kerajaan Singasari (1284 – 1324), sedangkan Singasari ketika itu dikuasai Cina di bawah Gubernur militer Jendral Meng Khi. Pemerintahan Singasari di Bali adalah untuk dan atas nama Jendral Meng Khi. Pejabat yang ditunjuk, seorang panglima militer Singasari bernama Kebo Parud.
- Jalur perdagangan keluar negeri dari Bali dimonopoli Cina untuk menjaga agar keuntungan dari perdagangan candu (opium) terjaga.
- Setelah pemerintahan Dinasti Tang di Cina berakhir, Dinasti Sung malah lebih banyak menyebarkan pis bolong ke Nusantara, khususnya ke Bali Kuna. Jumlah ekspor pis bolong dari Cina ke Majapahit diperkirakan 1,8 miliar qian (= keteng) setahun.
Pengaruh kebudayaan Cina pada Bali Kuna
Pelabuhan-pelabuhan penting di Bali Utara seperti Pabean
Buleleng dan Pabean Sangsit dikendalikan oleh pedagang terkemuka, sekalian
merangkap sebagai pejabat militer Cina. Di Pabean Buleleng pejabat itu
berpangkat Kapitain (tidak jelas namanya), dan seorang berpangkat Mayor yang
bernama Kho Bun Sing sebagai penguasa di Pabean Sangsit.
Pejabat dan saudagar-saudagar ini sangat kaya dan
berpengaruh. Mereka menguasai tanah pertanian yang luas dari praktek
meminjamkan uang kepada para petani dengan suku bunga tinggi atau disebut
sistim riba.
Penduduk Bali Kuna yang dahulunya belum mengenal candu
(opium), kemudian menjadi ‘kecanduan’ sehingga hidupnya sengsara; sawah – kebun
tergadai, kehilangan pekerjaan, sampai ada yang menjual anak-anak untuk menjadi
budak saudagar-saudagar Cina. Orang Bali Kuna menamakan candu: madat.
Kebiasaan berjudi pada orang-orang Cina ditiru oleh penduduk
lokal, seperti permainan: Ceki, Cap Bi Kie, Mong-mong, Tokek, Tog-tog, Contok,
dan Truwie. Dengan adanya pis bolong sebagai mata uang kartal yang sah,
perjudian semakin marak, menyebabkan penduduk asli banyak yang jatuh miskin
karena kalah berjudi.
Penduduk mulai mengenal pola-pola pikir spekulatif, ingin
mendapat keuntungan dengan cepat, dan yang berniat melakukan kejahatan
pencurian dan perampokan makin berpeluang.
Yang terakhir ini menjadi lebih mudah karena penduduk asli
yang semula menimbun hasil panen dalam bentuk natura, kemudian menabung dalam
bentuk uang kartal, sehingga memudahkan para pencuri dan perampok menguras
harta benda mereka.
Perkawinan Raja Sri Jayapangus dengan seorang wanita Cina,
dipuja-puja rakyatnya. Bentuk pemujaan ini dengan menstanakan Bhatari Cina di
Pura Ulun Danu Batur, Bhatari Ratu Subandar di Besakih, dan simbol-simbol lain
misalnya adanya barong landung lanang wadon yang merupakan replika Sri
Jayapangus dan permaisurinya.
Cerita-cerita rakyat Cina-pun menyebar di Bali, misalnya
kisah Sampik – Ing Tay. Ilmu silat dari Cina juga berkembang di Bali Kuna dalam
bentuk pencak, dan dalam bentuk tarian masal, misalnya: baris dapdap, baris
demung, baris presi, baris tumbak, baris tamiang, dan lain-lain.
Pis bolong selain digunakan sebagai uang kartal, juga
digunakan dalam upacara dan upakara. Beberapa jenis banten harus menggunakan
pis bolong. Pretima dan prerai dibuat dari pis bolong tertentu yang dinamakan
pis koci. Pis bolong yang bernama pis krinyah digunakan dalam upacara kematian.
Canang sari dan kwangen menggunakan pis lumrah.
Jenis-jenis pis bolong yang disebutkan di atas disakralkan,
tidak boleh digunakan berjudi. Untuk berjudi digunakan jenis pis wadon, pis
lembang dan pis jahi.
Ada juga jenis pis bolong yang digunakan sebagai jimat,
misalnya pis Siwa, pis Gana, pis Jogor Manik, pis rerajahan, pis Anoman, pis
Kresna, pis Rama, pis Bima, pis Rejuna, pis Dedari, pis Jaran, pis
Padang, dan pis Jaring.
Di bidang kemiliteran, tentara Bali Kuno mulai mengenal
senjata-senjata jenis panah, tombak, pedang dan perisai (tamiang) yang lebih
berkualitas karena dibuat dari baja yang halus dan tajam. Industri peleburan
baja belum ada di Bali. Oleh karena itu senjata-senjata jenis itu kebanyakan
diimpor dari Cina.
Pakaian-pakaian mahal yang digunakan oleh Raja-Raja dan kaum
bangsawan berbahan sutera (kain pere) yang dibeli dari saudagar-saudagar Cina.
Sejenis kertas buatan Cina yang dinamakan kertas ulan taga, di Bali Kuna
disakralkan, hanya digunakan sebagai salah satu sarana penting dalam upacara
kematian.
Perkawinan campuran antara orang-orang Cina dengan penduduk
asli banyak terjadi. Orang Cina yang sudah membaur menjadi penduduk Bali
biasanya menggunakan nama kombinasi Cina-Bali, misalnya: Babah Ketut, Babah
Nyoman, dll.
Di kalangan bangsawan dan saudagar kaya, dikenal nama-nama
yang berbau Cina, misalnya: Kho Cin Bun (yang menetap di Desa Sinabun), Kho
Ping Gan (yang menetap di Desa Pinggan – Kintamani), Ma Sui La dan Ma Sui
Lie, anak-anak kembar buncing dari Kho Ping Gan (oleh orang Bali dinamakan
Masula – Masuli), keluarga Beng Kui Lun yang menetap di Desa Bungkulan, dan
keluarga Ma Pa Cung yang menetap di Desa Pacung.
Penutup
Demikianlah sekilas sejarah Bali Kuna, yang membentuk budaya
Hindu-Bali dengan ciri-ciri khas yang membedakannya dengan budaya Hindu di
daerah lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar