Sabtu, 22 September 2012

AGAMA HINDU




MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya
berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi
menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda.
Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok
dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya
sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama
Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan
bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan
jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh
para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa
(Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat
untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan
hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi
penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap
penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh
kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke
Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari
India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan
lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama
Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan
dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam
penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti
seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada
membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci
dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan
Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang
diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya
perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya
untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi
lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

AGAMA HINDU DI INDONESIA

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat
diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad
ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai
di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai
kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu
didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman".
Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada
suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan
"Vaprakeswara".

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar,
misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno
ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab
Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah.
Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa
Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni
prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan
Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf
Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja
Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang
gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa
Wisnu"

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya
yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja
Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman
adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari
Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa
Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu.
Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih
muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa
Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,
diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa
sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja
Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi:
"Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa,
Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng
dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan
Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula
adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu
berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti
Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf
Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan
oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli
Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha
adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan
suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan
Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan
bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan
sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah
Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan
Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun
1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak
muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha,
Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan
Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah
Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan
kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan
Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa
Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan
Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku
Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di
Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan
adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa
Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa
Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu
agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada
masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya
sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan
melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan
sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan
adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan
atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura
Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali
(tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis
pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama
Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha
(Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang
sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci,
seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali
pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun
1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja.
Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di
SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di
Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme
tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan
pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian
pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan
Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam
Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan
pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali
dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan
menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya
menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Sabtu, 08 September 2012

PANCA YADNYA


Panca Yadnya
Konsep Panca Yadnya kalau dielaborasi -- digarap secara tekun dan cermat -- menggunakan metode empiris, bisa menjadi pengetahuan atau falsafah hidup yang mengajarkan hakikat keseimbangan. Harmonisasi dalam kehidupan ini akan terjadi jika manusia tidak saja memperhatikan dan mengutamakan diri sendiri tetapi juga yang berada di luar dirinya, yakni dewa, rsi, pitra, manusa, dan butha.
Perhatian dan pengutamaan itu dapat dilakukan dengan yadnya, yang diterjemahkan menjadi kurban suci. Namun kurban yang paling suci bukanlah mantram, melainkan filosofi nilai dan cita-cita yang terkandung di dalamnya. Bukan pula beraneka hewan persembahan, melainkan penghancuran sifat-sifat kebinatangan yang inheren pada diri setiap orang. Kurban suci yang terbaik adalah trikaya parisudha, sedangkan sesajen dengan segala renik-reniknya hanya sarana yang melekat padanya.
Akan tetapi dalam tradisi Bali, Panca Yadnya dimaknai bukan sebagai kurban suci melainkan persembahan sesaji melalui suatu upacara atas kelima unsur tersebut. Mereka berhenti sampai di situ, seolah-olah hanya dengan melangsungkan upacara persoalan kehidupan ini bisa dituntaskan begitu saja. Padahal upacara tanpa upakara tidak akan ada artinya, sama halnya dengan menghambur-hamburkan uang tanpa tujuan yang pasti.
Apacara dan upakara adalah saudara kandung, yang bagaikan dua sisi pada suatu mata uang, tak bisa dipisahkan begitu saja. Keduanya berasal dari bahasa Sansekerta. Upacara punya konotasi bukan hanya sebagai upacara, tetapi juga perhiasan atau tanda-tanda kebesaran kerajaan, dapat pula diartikan sebagai hadiah. Sedangkan upakara bermakna kedermawanan, bantuan, amal baik, perbuatan baik, dan sebagainya yang serba baik.
Dengan demikian upacara tanpa upakara akan menyebabkan segala sesuatu yang dipersembahkan kepada subsimtem Panca Yadnya itu tidak bermakna, menimbulkan upadrawa, kecelakaan dan penderitaan dan berakhir dengan upakrosa, penyesalan dan celaan. Contoh terbaik untuk menerangkan hal itu adalah konflik bahkan pertikaian yang terjadi pada saat piodalan baik di tingkat keluarga, banjar, desa adat, dan kahyangan jagat menunjukkan minimnya kesadaran umat Hindu melakukan upakriya, kewajiban berbuat baik, padahal inilah yang merupakan inti panca yadnya, sedangkan barang-barang persembahan hanyalah upakarana, perlengkapan belaka.
Berbuat baik kepada para dewa, Dewa Yadnya, tidak mesti harus diukur dari besar-kecil sarana upacara dan megah atau sederhananya pura, melainkan apakah yang bersangkutan mampu mengedepankan sikap para dewa, objektif, bebas dari kepentingan pribadi. Rsi Yadnya bukan pula hanya daksina, upah atau hadiah kepada para pendeta, tetapi penghargaan kepada dunia ilmu pengetahuan. Pitra Yadnya, bukan pula penghormatan kepada roh leluhur melalui upacara pengabenan, tetapi kesadaran akan pentingnya masa lampau untuk melangkah di masa kini. Manusa Yadnya, juga tidak semata-mata upacara siklus kehidupan -- lahir-hidup-mati -- tetapi juga upakara kemanusiaan, perikemanusiaan. Demikian dengan Bhuta Yadnya, bukan berarti hanya untuk bhuta kala melainkan mahluk hidup, segala yang berwujud dan berupa.
Bagaimana pun konsep panca yadnya hanyalah acuan yang wajib digunakan oleh umat untuk menjabarkan intisari ajaran Hindu yakni Panca Sradha, yang sudah tentu tak bisa diterapkan secara mutlak, mengingat di dalamnya ada relativitas sesuai dengan hukum rwabhineda: hitam putih, baik buruk, dan sebagainya. Agar kejahatan tidak mengalahkan kebaikkan, maka diperlukan tata tertib dan aturan, namun semua itu tak akan ada gunanya jika masih tetap mengutamakan upacara dengan mengabaikan upakara.
Ketidakseimbangan antara upacara dan upakara telah menjadi sebab dari berbagai akibat dan punya kecenderungan menghancurkan peradaban Bali. Selama ini upacara makiyis yang dilaksanakan setahun sekali terbukti tidak mampu membersihkan pikiran. Terbukti masih banyak orang oportunis mencuri kesempatan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Upacara tumpek bubuh tidak mampu menyelamatkan lingkungan. Upacara Pagerwesi, tak secara otomatis melindungi Bali dari para teroris.
Oleh karena itu, demi masa kini dan masa depan, konsep Panca Yadnya harus dielaborasi dengan terlebih dahulu melekatkan unsur upakara di dalamnya. Hal ini sangat penting, sebab Bali masa kini bukanlah Bali masa lampau yang homogen dan monoreligi. Bali sekarang sungguh kompleks. Begitu banyak permasalahan tumpang-tindih di dalamnya, yang bisa disebut sebagai dampak industrialisasi pariwisata dan modernisasi.
Di satu sisi dia telah melahirkan struktur masyarakat baru. Adanya sekelompok orang dengan tingkat keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi, yang dibarengi dengan munculnya peningkatkan kebutuhan dalam berbagai hal: kesadaran politik, harapan-harapan hidup, dan interaksi dengan dunia luar. Proses perubahan itu luput dari perhatian pemerintah, karena mereka lebih banyak disibukkan oleh kepentingan-kepentingan memerintah, bukan sebagai yang diperintah oleh asas-asas perikemanusiaan.
Keluputan itu tak boleh dibiarkan berkepanjangan, karena peningkatan laju industrialisasi dan modernisasi telah terbukti menimbulkan destabilisasi, yang dapat dilihat dari adanya disparitas pendapatan dan sosial di masyarakat. Mereka yang tersentuh langsung dengan industrialisasi cenderung lebih banyak menikmati hasil daripada yang tak langsung, sehingga terjadi ketimpangan sektor pertanian mensubsidi perindustrian dalam skala luas.
Terjadi ketidakseimbangan antara kota (pusat-pusat pariwisata) dengan daerah luar kota, daerah dengan daerah, antara sektor-sektor modern dan tradisional, sektor-sektor asing dan domestik. Hal itu sudah mengancam keseimbangan-keseimbangan sosial, yakni terjadinya urbanisasi dan mobilitas secara besar-besaran, sehingga isolasi tradisional yang sebelumnya begitu kuat mengingat Bali terlepas karena tak kuat menghadapi laju transportasi dan media massa. Dengan demikian, muncullah kelompok yang berada pada kedudukan yang lebih baik untuk memanfaatkan kemajuan industrialisasi dan yang berada pada kedudukan lebih buruk. Ketidakseimbangan ini padanya akhirnya akan mengakibatkan keterasingan dan sejumlah masalah sosial.
Hal seperti itu mungkin dapat dicegah paling tidak dikurangi eksesnya dengan melakukan yadnya yang telah dimodifikasi pengertiannya. Orang-orang yang kebetulan berada pada kedudukan yang lebih baik harus mampu dan bersedia membantu pemerintah dalam hal penjabaran Panca Yadnya: menciptakan ruang dan kesempatan sebanyak mungkin untuk melakukan yoga, semadi, dan meditasi; membantu dalam hal pendidikan dan penelitian dalam berbagai bidang sesuai dengan ketertarikan masing-masing. Mensosialisasikan nilai, cita-cita dan simbol ekspresif masa lampau yang dianggap relevan untuk masa kini; menjaga memupuk sebaik mungkin sumber kehihupan manusia, terutama dengan terus-menerus meningkatkan sumber daya; dan menjaga serta melestarikan alam lingkungan hidup.
Pemerintah melalui kewenangannya tentu hanya menunggu bantuan tetapi wajib juga melaksanakan semua itu, pertama-tama dalam lingkungannnya sendiri, karena hanya dari pejabat yang punya kesadaran perikemanusiaan yang mampu memimpin negeri ini menjadi lebih baik. Hindu yang berdasarkan pengalaman terutama yang dari penemuan dan pengamatan terhadap realitas sosial.




Tingkatan Caru
dan Binatang yang Dipakai
CARU pada hakikatanya dipahami sebagai persembahan untuk Bhuta Kala. Upacara caru dimaknai sebagai upacara untuk menjaga keharmonisan alam, manusia dan waktu.
Di Bali Dikenal Tiga Jenis Caru
1. Caru Palemahan Bumi Sudha yaitu upacara caru untuk tempat atau wilayah. Baik itu untuk mengharmoniskan tempat untuk dipakai tempat suci, dibangun rumah, atau sebuah wilayah yang tertimpa musibah.
2. Caru Sasih yaitu caru yang dilaksanakan berkaitan dengan waktu-waktu tertentu yang dipandang perlu diharmoniskan. Misalnya Caru Sasih Sanga (sehari sebelum Nyepi)
3. Caru Oton yaitu caru untuk orang atau benda sebagai unsur bhuana agung yang mengalami berbagai siklus, baik terhadap waktu maupun perkembangannya. Misalnya caru oton untuk anak yang baru lahir, untuk perkawinan, akil balik, kematian dll. yang sering juga disebut dengan byakala.
Banten caru biasanya berisikan hal-hal khas
1.    Aneka macam nasi, baik warna maupun bentuk
2. Aneka bumbu-bumbuan (bawang, jahe, terasi, garam)
3. Daging (terutama bagian jeroan)
4. Arang
5. Darah
6. Blulang atau bayang-bayang binatang
7. Tuak, arak dan berem
8. Api takep
9. Aneka bunyi-bunyian

Dewasa Caru
Upacara caru yang baik dilakukan pada:

- Sasih Kanem, Kapitu, Kawolu dan Kasanga.
- Hari/tanggal Panglong, atau Tilem
- Kajeng Kliwon

- Ingkel Bhuta.

Khusus untuk Caru Palemahan atau Bumi Sudha dilakukan secara insidental maupun rutin menurut waktu atau sasih atau peristiwa dengan memperhitungkan hari dan ingkel.
Jenis Caru Palemahan:

* Caru Eka Sata
Sarana: Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang --bahasa Bali-red) dialasi sengkuwi dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina, penyeneng dan canang (untuk semua jenis caru).
* Caru Panca Sata
Sarana memakai 5 (lima) ekor ayam.
Ayam bulu hitam tempatnya Kaja (utara), putih siung (kuning) tempatnya Kauh (barat), ayam bulu merah (barak) Kelod (selatan). Kangin (timur) ayam bulu berwarna putih dan di tengah ayam bulu berwarna brumbun (segala warna). Selain itu dilengkapi juga dengan seekor bebek blang kalung.
* Caru Panca Sanak
Untuk Caru Panca Sanak dasarnya adalah caru Panca Sata sedangkan kelengkapannya ada beberapa jenis binatang, jika dilengkapi:
a.    Asu atau Anjing maka tempatnya terletak di arah Barat Daya/Kelod-Kauh.
b. Bebek bulu Singkep diperuntukkan diletakan di arah Kelod-Kangin (Tenggara).
c. Angsa letaknya Timur Laut/Kaja-Kangin

d. Kambing nerupakan caru yang diperuntukkan pada arah Kaja Kauh  (Barat Laut)
Itulah beberapa caru dari segi sarana hewannya dan masih banyak lagi caru sesuai dengan namanya dan sarana hewan yang dipersembahkan.
Yang disebutkan tadi dengan sarana bebek, kambing, anjing, ini merupakan tingkatan caru yang disebut dengan Panca Sanak. Ini pun dapat dibagi lagi menjadi Panca Sanak yang sarananya asu, dan bebek bulu sikep. Sedangkan Panca Sanak Agung sarananya, hewan angsa dan asu atau anjing.
* Caru Panca Sanak Madurga
Sarananya sama dengan Caru Panca Sanak ditambah dengan anak babi jantan hitam yang belum dikebiri (kucit selem butuhan) dengan tambahan bebek atau yang lain.
* Caru Sanak Magodel
Sarana tambahannya dipakai anak sapi atau yang dalam bahasa Balinya disebut godel.
* Caru Rsigana
Adalah Caru Panca Sanak yang disertai dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai dewa penghalau rintangan.

* Caru Balik Sumpah
Di tingkat yang lebih tinggi ada juga caru yang dikenal dengan nama Caru Balik Sumpah yang sarana hewannya berupa kerbau dan kambing. Sedangkan yang lebih tingi lagi ada sejenis upakara Malinggia Bhumi dan ini sarana binatangnya adalah sebanyak 45 kurban.
Upakara Ngerapuh
Carik atau sawah
Dalam buku Bhama kertih, disebutkan kalau membangun rumah di area persawahan maka yang pertama kali harus dilakukan yaitu nunutun Ida Bhatari Sri kembali ke Pura Dugul, ini dimaksudkan untuk mengembalikan jiwa dari tanah tersebut kepada yang memiliki. Setelah itu dilakukan upacara ngerapuh pundukan yang bertujuan untuk mempralina atau merubah status tanah dari semula berstatus tanah sawah menjadi tanah untuk rumah. 
Mengenai membuat merajan, maka sesuai dengan petunjuk lontar Niti Gama Tirta Pawitra, maka minimal ada tiga pelinggih yang disebut Tri Lingga, yaitu Kemulan Rong Tiga, Ratu Anglurah dan Taksu, ini disebut Merajan Alit Tri Lingga, dan ini sudah cukup untuk tingkat rumah tangga. Andaikata lahan memungkinkan maka bisa membuat Panca Lingga yang mana dari Tri Lingga tadi ditambahkan Pelinggih Parahyangan dan Padma. Jika melebihi Panca Lingga maka itu sudah masuk kategori Merajan Gede. Namun jika lahan tidak memungkinkan untuk Tri Lingga sekalipun, maka sesuai dengan keputusan Parisada Hindu Bali tahun 1999, cukup dibuatkan Padmasari saja, jadi membangun Padmasari dan pelinggih penunggun karang sudah cukup.
Kalau ada umat berkeinginan atau berencana mengganti fungsional atau mengalih fungsikan sawah, kebun, belukar menjadi perumahan atau tempat usaha, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, baik areal bekas milik sendiri atau karena membeli membeli seperti konsep diatas ada beberapa upakara yang patut dilaksanakan antara lain :
Membangun sanggar tutwan di pojok antara utara dan timur dari batas tanah yang akan dialihfungsikan tersebut, lalu naikkan upakara :
1.    Upacara pejati 3 soroh, haturan kepada Ida Bhatara Surya, Luhuring Akasa, Pretiwi.
2.    Tebasan Sidha Sampurna 1, isinya, nasi ditelompok, ayam putih dipanggang, buah-buahan dan jajan lengkap, dibuat diatas wanci, dialasi kulit tebasan.
3.    Pengambeyan 1, dagingnya bebek diguling buah-buahan dan jajan lengkap.
4.    Pabresian
5.    Pras penyeneng
6.    Segawu tepung tawar, lis.
7.    Daksina 1
8.    Katipat kelanan, ajuman putih kuning, canang genteng 1 tanding, segehan 2 tanding.
9.    Tetabuhan tuak arak berem.
10. Nuhur tirtha di Pura Pengulun carik.
11. Canang tapakan atau linggih yang akan di kembalikan ke Pura Pangulun Carik nantinya.
12. Carang dapdap penuntunan, berisi benang tukelan, juga uang bolong 225 keteng.
13. Santun soroh pat sebagai pemogpog di bawah sanggar tutwan, ditambahkan pras diatas santun, uang kepeng 225.
Ini lagi upakara ngehed sawah atau tegalan, antara lain sebagai berikut :
1.    Pras Penyeneng
2.    Rayunan Putih Kuning.
3.    Bubur mawadah suyuk 5 tanding.
4.    Katipat kelanan
5.    Pras Ajengan.
6.    Sasantun 1 dengan sesari 727 keteng.
Sedangkan caru di areal tanah bekas sawah, tegalan, atau belukar itu antara lain :
            Itik hitam jadikan caru, diolah menjadi sate lembat dan asem sebanyak 5 tanding, dengan ketengan 33 keteng, semua membawa sengkui, kulitnya dipakai layang-layang, sasantun 1. Lalu parisudha dengan tirtha dalam sangku tembaga, sirat ke arah kiri 3 kali dengan mantra :
Ong Nini Pamali Wates tan hana jurang pangkung, aku Ibu Pritiwi angelebur saluiring mala, Ong Bhuta sih, Kala sih, Dewa purna, Ong Sa Ba Ta A I.
Ehedan Upakara antara lain sebagai berikut :
1.    Ngastawa upakara Pejati yang ada di sanggar tutwan, sraya memohon tirta kakuluh yang dipakai untuk memarisudha tempat tersebut.
2.    Upakara di Surya terlebih dahulu, meminta upasaksi kepada Hyang Siwa Raditya, lalu upasaksi ke Pengulun Carik, luhur akasa, pretiwi, dan kayangan-kayangan yang ada.
3.    Memuja caru diatas, atau caru tambahan yang disiapkan oleh umat, karena yang tertulis diatas adalah caru uttama, dan bila dirasa perlu bisa ditambah dengan caru Panca Sata, atau yang lebih tinggi, dengan pujanya masing-masing.Layang-layang caru itu ditanam di tengah-tengah areal, bersama dengan upacaranya sekalian.
4.    Yang memiliki tanah kemudian dilukat, lalu bersiap-siap muspa, matirta dan memakai bija.
5.    Lalu acara mengembalikan linggih Ida Bhatara Sri ke Penguluning carik, kalau tanah tegalan, mengembalikan Sang Hyang Tegal ke pura Sang Hyang Hyang Tegal yang terdekat.
6.    Selesai upacara ngerapuh carik tersebut.

Mantra yang terkait :
PALET  I

Upadeku (Utpatti, Deva Partistha, Kuta Mantra)

Upatti

Upatti ini dilaksanakan untuk membersihkan diri kita, agar dalam melaksanakan pemujaan nanti kita bisa memberikan energi yang bagus terhadap tempat dimana kita akan memuja sehingga bisa memberikan vibrasi yang bagus adapun tahap-tahap yang mesti dilaksanakan dalam melakukan Upatti antara lain :


Asana

Sikap tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Om Prasada Sthiti Sarira Siva Suci Nirmala ya namah svaha

Karosodana
Om Sodha mam svaha

Om Ati Soddha mam svaha


Pranayama
Tarik nafas        : Om Ang namah
Tahan nafas      : Om Ung namah
Buang nafas      : Om Mang namah


Penyembahan I

Tangan diatas ubun-ubun dengan sikap Anjali dengan maksud kita memuja Hyang Widhi dengan tulus sehingga kita bisa mendapatkan keheningan pikiran.

Om Hrang Hring Sah Parama Siva Aditya ya namah svaha



Mensucikan bunga dan dupa
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, dengan maksud untuk membersihkan sarana dan prasarana yang kita pergunakan dalam memuja Hyang Widhi.

Dupa     : Om Ang Dhupa Dipastra ya namah svaha

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha


Mensucikan  Air I

Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha, dengan maksud untuk memohon kepada Devi Gangga agar membersihkan air ini dari segala kekotoran.

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Hrang Hring Sah Parama Siva Gangga Tirtha Amerta ya namah svaha


Mensucikan  Air II

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Siva membersihkan air ini dari segala kekotoran.

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Siva Amertha ya namah svaha

Lalu bunga dimasukkan ke dalam air

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Sadasiva membersihkan air ini dari segala kekotoran.

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)

Om Sadasiva Amertha ya namah svaha

Lalu bunga dimasukkan ke dalam air

Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Paramasiva membersihkan air ini dari segala kekotoran.

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Paramasiva Amertha ya namah svaha

Lalu bunga dimasukkan ke dalam air

Membersihkan badan


Pemercikan tirtha ke badan
Om Budha Pawitra ya namah
Om Dharma Maha Tirtha ya namah
Om Sang Hyang Maha Toya ya namah svaha


Kuta Mantra

Kuta mantra merupakan doa untuk mensucikan tempat dimana kita akan melakukan pemujaan sehingga tempat tersebut memiliki nilai religius yang tinggi, adapun mantranya adalah :


Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha.

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Hung Hrah Phat Astra ya namah
Om Atma Tattvatma Suddha mam svaha
Om Ksama Sampurna ya  namah svaha
Om Shri Pasupataye Hung Phat
Om Shriyam bhavantu
Sukham Bhavantu
Purnam Bhavantu ya namah svaha

Bunga di buang ke depan

Padmasana

Mantra atau doa yang dipanjatkan pada tahapan ini bertujuan untuk mensucikan  padmasana, padmasari, pelangkiran serta yang lainnya, doa yang di ucapkan adalah

Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Ananta Sana ya namah svaha
Om Padmasana ya namah svaha
Om Deva Pratistha ya namah svaha


Tangan diatas ubun-ubun dengan sikap Anjali

Om Hrang Hring Sah Parama Siva Aditya ya namah svaha
Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)

Om I – Ba – Sa – Ta – A
Om Wa – Si – Ma – Na – Ya
Mang – Ung – Ang  Namah

Lalu bunga dibuang ke depan


Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)

Om Sa – Ba – Ta – A – I
Om Na – Ma – Si – Va – Ya
Ang – Ung – Mang  Namah

Bunga di buang ke depan

Deva Pratistha

Deva pratistha merupakan mantra pemujaan yang ditujukan kepada para deva supaya berkenan hadir dan berstana di tempat yang akan kita puja, adapun mantra yang di ucapkan adalah :

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Pranamya Sang Linggam,
Deva Linggam Mahesvara
Sarva Devati Devanam
Tasmei Lingga ya namah svaha

Bunga di buang ke depan

Mantram Genta:

Menyucikan Genta :

Genta dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan memegang sekar dipakai memercikan toya anyar pada Genta sebanyak  3 x  mantra : Om Ung Visnu ya namah svaha.
Selanjutnya Genta diukupi asep dengan tangan kanan sambil memutar     kekanan (Pradaksina) sebanyak 3 x   mantra : Om Ang Dupa Astra ya namah. Kemudian Sekar disuntingkan pada ujung tangkai Genta.
Ngastawa Genta

Genta dipegang dengan tangan kiri didepan dada, sedangkan tangan kanan memegang pentil (sikap Deva pratista) dengan mantra :

Om karah Sadasivastah, jagatnatha hitangkarah,
Abhivada-vadaniyah, ghanta sabdah prakasyate.
Om Ghanta-sabdah maha sresthah Om karah parikirtitah.
Candrardha – bindu – nadantam, sphulingga Sivatattvan-ca.
Om Ghantayur pujyate devah a-bhavya-bhavya karmesu
Varadah labda-sandheyah, varam-siddhir nirsangsayam.

                                                       PALET II

Ngaksama, memohon tirtha pabersihan, palukatan, dan tirtha prayascitta


Ksama Puja:


Tangan  didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha:

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Ksamasva mam Mahadeva
Sarva Prani Hitankara
Mamoca Sarva Papebhyah
Phalayasva Sadasiva
Om Papo`ham Papa Karmaham
Papatma Papa Sambhavah
Trahimampundharikaksah
Kenancit Mama Raksantu
Om Ksantavyah Kayiko Dosah
Ksantavyo Vaciko Mama
Ksantavyo Manaso Dosah
Tat Pramadat Ksamasva mam

Om Hinaksaram Hina Padam
Hina Mantram Tataivaca
Hina Bhakti Hina Vrddhim
Sadasiva Namo’stute

Om Mantra Hina Kriya Hinam
Bhakti Hinam Mahesvara
Yat Pujitam Mahadeva
Paripurnam Tad Astu me

Bunga di buang ke depan Memohon tirtha pabersihan, palukatan, Apsu Deva

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Apsudeva Pavitrani
Gangga Devi Namo’stute
Sarva Klesa Vinasanam
Toyane Parisuddhaya Te
Sarva Papa Vinasini
Sarva Roga Vimocane
Sarva Klesa Vinasanam
Sarva Bhogam Avapnuyat

Masukkan bunga ke tempat tirtha

Pancaksaram

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Pancaksaram Maha Tirthan Pavitram Papanasanam
Papa Koti Sahasranam
Agadham Bhavet Sagaram


Om Pancaksaram Param Brahma,
Pavitram Papanasanam
Parantam Parama Jnanam
Siva Lokam Pratam Subham


Om Namo Siva Iti Yo Yam
Para Brahma Atmane Devanam
Para Sakti Panca Deva
Panca Rsi Bhavet Agni


Om A Karasca U Karasca,
Ma Kara Vindu Nadakam
Pancaksaram Maya Protam
Om Kara Agni Mantranke ya namah svaha

Masukkan bunga ke tempat tirtha

Gangga Stava

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Gangga  Sarasvati Sindhu
Su-Yamuna Godhavari Narmada Kaveri Sarayu Mahendra Tanaya
Carmanvati Venuka
Om Badhra Netra Vati Mahasuranadi
Kyatancaya Gandhaki Punyah Purna  Jale Samudrah Sa Hetangkur Watu Te Manggalam ya namah svaha

Masukkan bunga ke tempat tirtha

Pasupati Puja

Doa ini digunakan untuk memberikan energi pada air supaya memiliki kekuatan yang sangat ampuh untuk menghidupkan air sehingga memiliki kekuatan illahi.

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Sang Hyang Pasupati Ang Ung Mang ya namah svaha
Om Brahma Astra Pasupati ya namah svaha
Om Wisnu Astra Pasupati ya namah svaha
Om Rudra Astra Pasupati ya namah svaha
Om Isvara Astra Pasupati ya namah svaha
Om Ya namah svaha


Om Sang Hyang aji Sarasvati
Tumurun Maring Surya Chandra
Angawe Pasupati Mahasakti
Angawe Pangurip Maha Sakti
Angurip Sahananing Raja Karya
Teka Urip Teka Urip Teka Urip
Om Sang Hyang Akasa Pertivi Pasupati Angurip tirtha……….
Om Eka Vastu Vignam Svaha

Masukkan bunga ke tempat tirtha


Mantra Prayascita

Mantra Pangeresikan

Pangeresikan dipegang dengan kedua tangan didepan hulu hati

Om asta sastra empu sarining visesa
Tepung tawar amunahaken angilangaken sahananing sebel kandel
Cuntakaning pebhaktyaning hulun
Om sanut sang kala pegat
Pegat rampung sahananing visesa
Om shri Devi bhatrimsa yogini ya namah
Om gagana murcha ya namah svaha.

Isi pengeresikan ditaburkan ke depan (arah Banten)


Air
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)

Om Gangga Devi Maha Linggam
Siva Dvara Maha Pujam
Sarva Amerta Manggala Ya
Tirta Nadi Maha Toyam
Om Shri Gangga Devayai namah svaha
Masukkan bunga ke tempat tirtha

Bungkak Gading

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)
Om I – Ba – Sa – Ta – A
Sarva Mala Prayascitta ya namah
Om Sa – Ba – Ta – A – I
Sarva Papa Pataka Lara Roga Vighna Prayascitta ya namah
Om A – Ta – Sa – Ba – I
Sarva Dasa Mala Geleh Pateleteh Prayascitta ya namah svaha

Masukkan bunga ke tempat tirtha

Natab

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga   : Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)
Om Prayascita Kara Yogi Visyan Tayet
Catur Vaktranca Puspadhyam
Om Greng Prayascitta Subhagyam Astu
Masukkan bunga ke tempat tirtha


                                                   PALET III                                                                        Menstanakan Hyang Widhi   


Astra mantra

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Hung Hrah Phat Astra ya namah
Om Atma Tattvatma Sudamam Svaha
Om Ksama Sampurna Ya  Namah Svaha
Om Shri Pasupataye Hung Phat
Om Shriam bhavantu
Sukham Bhavantu
Purnam Bhavantu ya namah svaha

Bunga di buang ke depan

Mempersembahkan dupa

Dupa di pegang di epan hulu hati dengan sikap tangan deva pratistha
Om Ang Brahma Sandhya namah
Om Ung Visnu Sandhya namah
Om Mang Isvara Tri Purusa Ya namah svaha
Dupa ditaruh ditempatnya semula

Surya Stava

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha
Om Adhityasya Paramjyotih
Rakta Teja Namo’stute
Siva Agni Teja Mayanca
Siva Deva Visiantakam
Om Padma Lingganca Pratistha
Asta Deva Parikirtitham
Sivagraha Samyuktam
Ghanaksaram Sadasiva
Om Hrang Hring Sah Paramasiva
Surya Chandra ya namah svaha

Bunga di buang ke depan

Akasa Stava

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha
Om Akasa Nirmalam Sunyam
Guru Deva Bhyomantaram
Siva Nirbhanam Viryanam
Reka Omkara Vijaya
Om Ah Akasa Bhyo namah svaha

Bunga di buang ke depan Perthivi Stava

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha
Om Perthivi Sariram Devi
Catur Deva Mahadevi
Catur Asrami Bhatari
Siva Bhumi Maha Siddhi
Om Shri Bhava Devayai namah svaha
Samodhaya Stava

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha
Om Samodhaya Sivaya
Nara Astava Sanggaya
Sajnana Mona Sanggaya
Namastu Bhayu Akasa
Om Perthivi ya namah
Basuki ya namah
Chandra Adhitya Na Srahaya
Ghana Kumarayai svaha
Om Sarasvati Shri svaha
Yama Ludra ya Sanggaya
Kuvera, Baruna ya namah
Brahma Wisnu Mahadeva ya namah svaha
Bunga di buang ke depan Lingga Stava

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha
Om Linggantu Sarva Devatam
Om Linggantu Sarva Devanca
Om Linggantu Sarva Devanam
Om Shri Guru Bhyo namah svaha

Bunga dibuang ke depan

                              PALET  IV    Mempersembahkan Upakara Astra mantra

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Hung Hrah Phat Astra ya namah
Om Atma Tattvatma Suddha mam svaha
Om Ksama Sampurna ya  namah svaha
Om Shri Pasupataye Hung Phat
Om Shriam bhavantu
Sukham Bhavantu
Purnam Bhavantu ya namah svaha
Bunga di buang ke depan

Mempersembahkan dupa

Dupa dipegang dengan kedua tangan di depan hulu hati

Om Ang Brahma Sandhya Namah, Om Ung Visnu Sandhya Namah
Om Mang Isvara Tri Purusa Ya namah svaha

Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan)

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
Om namaste bhagavan Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.

Om Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute
Om Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.
Om Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha

Bunga di buang ke depan (arah Banten) lalu diperciki tirtha

Mantra Canang Sari

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Om shri Deva Devi Sukla ya namah svaha

Bunga di buang ke depan (arah Banten)

Mantra ngayabang upakara

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Deva Bhatyam Maha Sukham
Bojanam Parama Saamerthan
Deva Baksya Mahatustam
Boktra Laksana Karanam
Om Bhuktyantu Sarva Ta Deva
Bhuktyantu Triloka Natha
Sagenah Sapari Varah Savarga Sada Sidha Sah
Om Deva Boktra Laksana ya namah
Deva Tripti Laksana ya namah
Treptya Paramesvara ya namah  svaha
Bunga di buang ke depan (arah Banten)
Mantra Panyeneng/Tehenan/Pabuat

Penyeneng dipengan dengan kedua tangan didepan hulu hati
Om Kaki panyeneng Nini Panyeneng
Kajenengan denira Sanghyang Brahma Visnu Iswara Mahadeva
Surya Chandra Lintang Teranggana
Om shri ya namah svaha.

Isi penyeneng ditaburkan ke depan (arah Banten)

Mantra Peras

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Panca wara bhawet Brahma
Visnu sapta wara waca
Sad wara Isvara Devasca
Asta wara Siva jnana
Omkara muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.

Bunga di buang ke depan (arah Banten) lalu diperciki tirtha

Pemercikan Tirtha ke semua upakara

Om Pertama Sudha,
Dvitya Sudha
Tritya Sudha
Caturti Sudha
Pancami Sudha
Sudha Sudha Variastu Ya namah svaha.
Om Puspam Samarpayami
Om Dupam Samarpayami
Om Toyam Samarpayami
Sarva Baktyam Samarpayami

Mantra Segehan


Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)
Om Atma Tattvatma suddha mam svaha
Om svasti-svasti sarva bhuta suka pradhana ya namah svaha
Om shantih shantih shantih Om.

Bunga di buang ke depan (arah segehan) lalu diperciki tirtha

Mantra Metabuh Arak Berem

Sambil mengucapkan mantra sambil menuangkan petabuhan
Om ebek segara, ebek danu
Ebek banyu premananing hulun ya namah swaha.

Doa Ini dipakai bila sarananya hanya bunga, air dan dupa saja

Om Puspam Samarpayami
Om Dupam Samarpayami
Om Toyam Samarpayami
Sarva Baktyam Samarpayami




                                   PALET V  PENUTUP Astra mantra

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Hung Hrah Phat Astra ya namah
Om Atma Tattvatma Suddha mam svaha
Om Ksama Sampurna ya  namah svaha
Om Shri Pasupataye Hung Phat
Om Shriyam bhavantu
Sukham Bhavantu
Purnam Bhavantu Ya namah svaha
Bunga di buang ke depan

Ngaksara Jagatnatha

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Ksamasvamam Jagatnatha
Sarva Papa Nirantaram
Sarva Karya Siddhan Dehi
Pranamya Karya Suryasvaram
Tvam Surya Tvam Sivakarah
Tvan Ludra Bahni Laksanam
Tvamna Mani Sarva Gatakarah
Mama Karya Prajayate
Om Ksamasvamam Mahasakti
Asta Aisvarya Gunaatmakam
Nasayet Satatam Papam
Sarva Loka Darsanam

Om Anugraha Mano Haram
Deva Datha Nugrahaka
Arcanam Sarva Pujanam, Namo Sarva Nugrahaka
Deva Devi Mahasiddhi
Yajnanga Nirmalatmakam
Laksmi Sidisca Dirgahayur Nirvighnam Sukha Verddhisca
Bunga di buang ke depan



                                                           PALET   VI

Sembahyang


Asana: Om prasada sthiti sarira Siva suci nirmala ya namah svaha – Ya Tuhan, anugrahkanlah kepada hamba ketenangan dan kesucian dalam batin hamba.


Pranayama dengan sikap tangan Amustikarana:

Menarik napas; Om Ang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pencipta dan sumber dari segala kekuatan, anugrahi hamba kekuatan batin
Menahan napas: Om Ung namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pemelihara dan sumber kehidupan anugrahi hamba ketenangan batin
Mengeluarkan napas: Om Mang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pelebur segala yang tidak berguna dalam kehidupan, anugrahi hamba kesempurnaan batin.

Karasoddhana

Tangan kanan: Om Soddha mam svaha – Ya Tuhan, sucikanlah seluruh badan jasmani hamba
Tangan kiri: Om Ati soddha mam svaha – Ya Tuhan, sucikanlah seluruh badan rohani hamba


Puja Tri Sandhya

Om bhur bhuvah svah
Tat savitur varenyam
Bhargo devasya dhimahi
Dhyo yo nah praccodayat

Ya Tuhan, yang menguasai ketiga dunia ini, Yang Mahasuci dan sumber dari segala kehidupan, anugrahi hamba sinar penerangan dengan cahayaMu Yang Mahasuci

Om narayana evedam sarvam
Yad bhuta yasca bhavyam
Niskalangko niranjano nirvikalpo
Nirakhyatah suddho deva eko
Narayano na dvityo’sti kascit

Ya tuhan, hamba puja Engkau sebagai Narayana pencipta alam semesta beserta isinya, Engkau Mahagaib, tak berwujud, dan tak terbatas oleh waktu, dapat mengatasi segala kebingungan, Engkau Mahasuci, Mahaesa, dan tidak ada duanya, dan dipuja oleh semua mahluk

Om tvam sivah tvam mahadeva
Isvarah paramesvarah
Brahma visnusca rudrasca
Purusah parikirtitah

Ya Tuhan, Engkau hamba puja dalam sinar suci dan saktiMu sebagai Siva, Mahadeva, Isvara, Paramesvara, Brahma, Visnu, dan juga Rudra, karena Hyang Widhi adalah sumber dari segala yang ada

Om papo’ham papakarmaham
Papatma papasambhavah
Trahi mam pundarikaksa
Sabahya bhyantarah sucih

Ya Tuhan, hamba ini penuh dengan kenestapaan, perbuatan hamba penuh dengan kenestapaan, jiwa dan kelahiran hamba penuh dengan kenestapaan, hanya Engkaulah yang dapat menyelamatkan hamba dari kenestapaan itu, semoga dapatlah disucikan lahir-bathin hambaMu ini.

Om ksamasva mam mahadevah
Sarva prani hitangkara
Mamoca sarve papebhyah
Phalayasva sadasiva
Ya Tuhan, ampunilah hamba hyang Widhi, yang memberikan keselamatan semua mahluk, ampuni hamba dari segala dosa, dan limpahkanlah perlindungan kepada hamba.

Om ksantavah kayiko dosah
Ksantavyo vaciko mama
Kksantavyo manaso dosah
Tat pramadat ksamasva mam

Ya Tuhan, ampunilah segala dosa hamba, baik yang berasal dari perbuatan, perkataan, dan pikiran, maupun dari segala kesalahan hamba

Om santih santih santih Om

Ya Tuhan, semoga ada  kedamaian dalam hati, di dunia, dan semuanya damai untuk selamanya atas anugrahMu.


Kramaning Sembah


Muspa Puyung: Om Atma tattvatma suddha mam svaha – Ya Tuhan, Engkau adalah merupakan sumber Atman dari semua ciptaanMu, sucikanlah hambaMu.

Muspa dengan bunga ke hadapan Siva Adhitya sebagai saksi pemujaan:

Om Adityasya param jyotih
Rakta teja namo’stute
Sveta pangkaja madhyasta
Bhaskaraya namo’stute
Om Hrang Hring Sah paramasiva adhitya ya namah svaha

Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber cahaya yang merah cemerlang, penuh kesucian yang bersemayam di tengah-tengah teratai berwarna putih, sembah sujud hamba kepada sumber segala cahaya, Ya Tuhan, Engkau adalah ayah semesta alam, ibu semesta alam, Engkau adalah Paramasiva devanya matahari,anugrahkanlah  kesejahtraan lahir-bathin.

Muspa dengan kwangen/bunga ke hadapan Hyang Widhi dengan Ista devataNya:

Om namo devaya adhistanaya
Sarva vyapi vai sivaya
Padmasana eka prathistaya
Ardhanaresvarya namah svaha

Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber sinar yang bersinggasana di tempat paling utama, hamba puja sebagai Siva penguasa semua mahluk, kepada devata yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.


Muspa dengan kwangen/bunga kehadapan Hyang Widhi untuk memohon waranugraha:

Om anugraha manoharam
Deva datta nugrahaka
Arcanam sarva pujanam
Namh sarva nugrahaka
Deva devi mahasiddhi yajnangga nirmalatmakam
Laksmi siddhisca dirgahayuh
Nirvighna sukha verddhisca

Ya Tuhan, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah pemberian devata, pujaan segala pujaan, hamba memujaMu sebagai pemberi segala anugrah, kemahasiddian pada deva dan devi berwujud yajna suci. Kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan rohani dan jasmani.


Muspa Puyung, sebagai penutup persembahyangan:

Om deva suksma paramacintya ya namah svaha
Om santih santih santih Om

Ya Tuhan, hamba memuja Engkau devata yang tak terpikirkan, maha tinggi dan maha gaib. Ya Tuhan, anugrahkanlah kepada hamba kedamaian, damai, di hati, damai di dunia, dan semoga semuanya damai atas anugrahMu

 PALET VII  Mohon Tirta Vasuh Pada

Astra mantra

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha

Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Hung Hrah Phat Astra ya namah
Om Atma Tattvatma Suddha mam svaha
Om Ksama Sampurna ya  namah vvaha
Om Shri Pasupataye Hung Phat
Om Shriyam bhavantu
Sukham Bhavantu
Purnam Bhavantu ya namah svaha

Bunga dibuang ke depan (ke arah Tirtha)

Pranamya kepada Adhitya

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Pranamya bhaskara devam
Sarva klesa vinasanam
Pranamya adhitya Sivartam
Bhukti mukti varapradam
Om Hrang Hring Sah Paramasiva Gangga tirtha amertha ya namah svaha

Bunga dibuang ke depan (ke arah Tirtha)

Pancaka Tirtha

Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)

Om Gangga Sarasvati Sunyam
Jaya Tirtha Mahottamam
Jaya Shri Jaya Murtinam
Sarva Klesa Vinasanam.
Om Bhur Bhuvah Svah Maha Gangga Tirtha Pavitrani ya namah svaha
Bunga dibuang ke depan (ke arah Tirtha

Pemercikan Tirtha

Doa ketika metirtha:

Om Ang Brahma amrta ya namah
Om Ung Visnu amrta ya namah
Om Mang Isvara amrta ya namah

Ya Tuhan, dalam wujud Brahma
Ya Tuhan , dalam wujud Visnu
Ya Tuhan, dalam wujud Isvara
Anugrahkan air suci kepada hamba


Doa minum tirtha:

Om Om sarira ya namah
Om Om sadasiva ya namah
Om Om paramasiva ya namah

Ya Tuhan sebagai Siva, Sadasiva, Paramasiva, anugrahilah badan dan rohani  ini air suci

Doa ketika meraup tirtha:

Om Om sarira purna ya namah
Ang Ung Mang gangga amrta ya namah
Sarira suddha parama teja ya namah
Om Ang sama sampurna ya namah

Ya Tuhan, sempurnakanlah badan ini, Ya Tuhan sebagai perwujudan gangga amrta, anugrahilah diri kami kesucian, sinar yang maha suci, yang maha sempurna

Memasang Bija

Diletakkan di selaning lelata: Om shriyam bhavantu – Ya Tuahan,  semoga kebahagiaan meliputi kami
Diletakkan di pangkal tenggorokan: Om sukham bhavantu – Ya Tuhan, semoga kesenangan selalu datang pada hamba
Ditelan tanpa dikunyah: Om purnam bhavantu, Om ksama sampurna ya namah svaha – Ya Tuhan, semoga segala kesempurnaan menjadi bertambah sempurna pada diri hamba

Memasang bunga

Diletakkan di ubun-ubun: Om Siva Raditya ya namah svaha -  Ya Tuhan,  sebagai saksi semuanya, semoga hamba selalu dapat mengingatMu.
Diletakkan di kedua telinga: Om deva shri devi ya namah svaha – Ya Tuhan, semoga kewibawaan meliputi hamba.

PALET VIII

 Purna Puja


Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Purnam Adah Purnam Idam
Purnat Purnam Udhacyate
Purnasya Purnama Dhaya
Purnam Iva Vasisyate
Om Sarve Bhavantu Sukinah
Sarve Santu Niramayah
Sarve Bhadrani pasyantu
Ma kascit Duhkha bhag Bhavet.
Om Santih, Santih, Santih Om