MASUKNYA AGAMA HINDU DI
INDONESIA
Berdasarkan
beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya
berkembang
di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi
menerima
wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda.
Dari
lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok
dunia,
yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya
sampai
ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama
Hindu
ke Indonesia.
Krom
(ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam
bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan
bahwa
masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan
jalan
damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee
(ahli - India tahun 1912).
Menyatakan
bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh
para
pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa
(Indonesia)
mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat
untuk
memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan
hubungan
dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi
penyebaran
agama Hindu di Indonesia.
Moens
dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan
bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap
penyebaran
agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh
kebudayaan
Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke
Indonesia.
Data
Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data
peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari
India
ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan
lontar-lontar
di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama
Hindu
dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan
dan
India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam
penyebaran
agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti
seperti:
Prasasti
Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti
ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada
membuat
pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci
dari
Beliau.
Prasasti
Porong (Jawa Tengah)
Prasasti
yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan
Rsi
Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang
diberikan
kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya
perjalanan
suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya
untuk
Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi
lautan-lautan
luas demi untuk Dharma.
AGAMA
HINDU DI INDONESIA
Masuknya
agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat
diketahui
dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad
ke
4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai
di
Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai
kehidupan
keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu
didirikan
untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman".
Keterangan
yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada
suatu
tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan
"Vaprakeswara".
Masuknya
agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar,
misalnya
berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno
ke
dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab
Suci
Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah.
Disamping
di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa
Barat
mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni
prasasti
Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan
Lebak.
Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf
Pallawa.
Dari
prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja
Purnawarman
adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang
gagah
berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa
Wisnu"
Bukti
lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya
yang
menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja
Tarumanegara.
Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman
adalah
penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari
Tuhan
Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa
Tengah,
yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu.
Prasasti
ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih
muda
dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa
Tri
Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,
diperkirakan
berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan
lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa
sansekerta
dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja
Sanjaya
pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi:
"Sruti
indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa,
Dewa
Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya
kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng
dekat
Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan
Arca
Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula
adanya
perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu
berkembang
juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti
Dinaya
(Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf
Jawa
Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan
oleh
Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli
Veda,
para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha
adalah
salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan
suci
yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan
Hindu
di Jawa Timur.
Kemudian
pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan
bergelar
Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan
sebagai
pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah
Dharma
Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan
Sumedang
tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah
dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun
1042-1222),
sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak
muncul
karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha,
Kitab
Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan
Singosari
(tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah
Candi
Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan
kehinduan
pada jaman kerajaan Singosari.
Pada
akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan
Majapahit,
sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa
Majapahit
merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu.
Hal
ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan
Suci
Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku
Negarakertagama.
Selanjutnya
agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di
Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan
adanya
prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa
Bedahulu,
Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa
Timur,
yang berasal dari abad ke-8.
Menurut
uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu
agama
Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada
masa
pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya
sekte-sekte
yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan
melalui
Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan
sebagaimana
termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan
adanya
pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan
atas
jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura
Silayukti.
Perkembangan
agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali
(tahun
1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis
pengamalan
ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama
Hindu
mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha
(Dwijendra)
ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang
sastra,
agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci,
seperti
Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan
selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali
pembinaan
kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun
1921
usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja.
Sara
Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di
SIngaraja,
Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di
Klungkung,
Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme
tahun
1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan
pada
tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian
pada
tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan
Dharma
Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam
Campuan
yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan
pada
tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali
dengan
menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan
menetapkan
Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya
menjadi
Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar