Minggu, 25 Oktober 2015

Purana Pura Dalem Cemeng Payangan.



Bab VI
Kerajaan Payangan

Berdirinya kerajaan Payangan bermula ketika Dalam Dimade naik tahta di Kerajaan Gelgel mengantikan ayah beliau yakni Dhalem Sagening. Di dalam lingkungan kerajaan mulailah terjadi intrik yang mengarah kepada suatu kekeruhan politik. Intrik ini tampak semakin menjurus ke arah perebutan kekuasaan, ketika tindakan-tindakan Dhalem Dimade dinilai banyak menyimpang oleh para bawahannya seperti penyerahan keris pusaka kepada I Dewa Tangkeban.  Pada akhirnya hal-hal tersebut di atas telah menyebabkan munculnya rasa ketidakpuasan di kalangan pejabat istana sehingga mengakibatkan meletusnya pemberontakan di bawah pimpinan patih kerajaan yakni I Gusti Agung Maruti.
Pemberontakan ini telah membawa keruntuhan Kerajaan Gelgel yang pada saat itu berkuasa di seluruh daratan Pulau Bali (Rai,1986: 4). Dalam pemberontakan itu Dhalem Dimade dapat disingkirkan dan mengungsi sampai di Desa Guliang bersama dua orang putranya yang bernama Dewagung Pemayun dan Dewagung Jambe disertai oleh pengikutnya yang setia (Nindhia, 2003: 4). Terusirnya keluarga raja dari istana Gelgel yang kemudian  menghimpun kekuatan di Desa Guliang. Dengan demikian, I Gusti Agung Maruti memegang tampuk pemerintahan sampai adanya serangan balik terhadap I Gusti Agung Maruti dengan pengikut-pengikutnya.
Setelah para Arya di Bali yang diberi kepercayaan oleh Dhalem untuk memimpin daerah Den Bukit (Buleleng), Karangasem, dan Badung mengetahui mengenai pemberontakan I Gusti Agung Maruti dan mengambil alih kekuasaan Kerajaan di Klungkung, maka para Arya ini menyatakan sikap menentang terhadap kekuasaan I Gusti Agung Maruti di Klungkung dan masing-masing menyatakan berdiri sendiri, sambil menyusun persiapan untuk mengembalikan kekuasaan Dhalem ke Kerajaan Klungkung. Setelah para Arya ini menyatakan berdiri sendiri kemudian selanjutnya membentuk kerajaan sendiri.
VI.1. Dinasti Pacung Sakti
Setelah pemberontakan I Gusti Agung Maruti, daerah Mengwi menyatakan diri sebagai kerajaan dengan batas timurnya Sungai Ayung, selanjutnya dari batas Sungai Ayung ke Timur masih tetap di bawah kekuasaan Kerajaan Klungkung. Akan tetapi dengan adanya pergolakan kekuasaan di pusat kerajaan Bali maka daerah Payangan kurang mendapat perhatian Klungkung. Sewaktu Kerajaan Klungkung dalam situasi pergolakan dan tak menentu itu, maka datanglah ekspedisi Arya Sentong (turunan yang kelima) yang bernama I Gusti Ngurah Pacung Gede, putra dari I Gusti Pacung Sakti di Perean datang ke daerah Payangan. I Gusti Pacung Sakti di daerah Perean mempunyai putra enam orang yang bernama; I Gusti Pacung Gede, I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Ngurah Bukian, I Gusti Ngurah Tauman, I Gusti Gede Abiantubuh dan I Gusti Nengah Abiantubuh.
Di Puri Perean pada waktu itu terjadi perang saudara di antara I Gusti Pacung Sakti dengan saudaranya yang bernama  I Gusti Made Buleleng dari Sembung, yang mengakibatkan terbunuhnya I Gusti Pacung Sakti Perean.  Sejak meninggalnya I Gusti Pacung Sakti di Perean maka timbulah keresahan dan rasa kawatir di dalam hati putra-putra I Gusti Pacung Sakti. Kemudian timbulah keinginan di antara mereka yang meninggalkan Puri Perean. Diantara mereka yang meninggalkan Puri Perean adalah: I Gusti Pacung Gede dengan dua adiknya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ngurah Bukian, dengan diiringi oleh pengikutnya yang masih setia sejumlah kurang lebih 600 kepala keluarga menuju daerah timur Sungai  Ayung dan kemudian sampailah di daerah Payangan.
Sesampainya di daerah Payangan I Gusti Ngurah Pacung Gede dan adiknya I Gusti Ngurah Rai menetap di Payangan dengan para pengikutnya sejumlah 400 kepala keluarga. Sedangkan adiknya yang bernama I Gusti Ngurah Bukian terus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur laut dengan para pengikutnya sebanyak 200 kepala keluarga, sampai di sebelah barat Sungai Wos Ulu. Di sana I Gusti Ngurah Bukian menetap di suatu desa yang disebut Desa Bukian. Kedatangan I Gusti Ngurah Pacung Gede ke Payangan belum bisa membentuk suatu kerajaan. Akan tetapi masih dalam taraf pembinaan dan persiapan terbentuknya suatu kerajaan. Setelah lama berada di Payangan I Gusti Pacung Gede berputra tiga orang yaitu: I Gusti Ngurah Pacung Oka, I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ngurah Taro bertempat tinggal di Desa Taro dengan pengikutnya 200 kepala keluarga.
Setelah I Gusti Ngurah Pacung Gede meninggal, maka yang mengambil alih sebagai pucuk pimpinan daerah Payangan waktu itu adalah putra tertua yaitu I Gusti Pacung Oka dengan gelar I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka.
Dalam kepemimpinan I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka mulailah daerah Payangan diadakan pembangunan-pembangunan dibidang pertanian dalam wujud pembuatan sawah-sawah. Setelah I Gusti Pacung Gede Oka mampu menyusun pemerintahan dan pembangunan pertanian sebagai modal pokok dalam pembinaan suatu wilayah maka timbulah maksud untuk membentuk suatu kerajaan dengan cara pengangkatan diri Mebiseka Ratu, sehingga bebas dari kekuasaan raja-raja lain, dimana waktu itu sebelah baratnya adalah kekuasaan Kerajaan Mengwi dan sebelah timurnya adalah masih kekuasaan Kerajaan Klungkung. Hal ini mengundang iri raja Mengwi yaitu I Gusti Agung Gede Blambangan sangat murka dan mengadukan perihal tersebut kepada Dhalem di Klungkung yang waktu itu masih di bawah Ida Dewa Agung Gede di Kerajaan Klungkung.
Dengan demikian mulailah pemerintahan I Gusti Pacung Gede Oka terancam. Ancaman tersebut dari barat akan berhadapan dengan pasukan Mengwi serta dari timur akan berhadapan dengan kekuatan Dhalem dengan dibantu oleh laskar Nyalian.  Sedangkan Bangli dan Taro sendiri sejak semula memiliki rasa kurang harmonis antara I Gusti Pacung Gede Oka dengan I Gusti Ngurah Taro. Pada pertempuran yang tidak seimbang itu, laskar I Gusti Pacung Gede Oka Kalah, dan terus mengungsi ke Karangsari Bangli dengan pengikut 400 kepala keluarga. Pejenengan I Kasur Sari tertinggal di Payangan, hanya tombak Alang-Alang Gagak saja yang tetap di bawa. Dari Karangsari Bangli beliau terus pindah ke Samuan dan menetap di Samuan untuk beberapa saat bersama para pengikutnya.
Sewaktu I Gusti Ngurah Pacung Sakti di Perean dikalahkan oleh I Gusti Ngurah Beleleng dari Sembung, maka kemudian pemerintahan wilayah Perean diatur dari Sembung, tapi salah satu parekan I Gusti Ngurah Pacung Sakti yang bernama I Papak  atau I Made Ungasan, dengan bantuan I Gusti Ngurah Tabanan dapat menggulingkan kekuasaan I Gusti Ngurah Buleleng. Merasa terancam hidupnya di Perean, I Gusti Ngurah Buleleng memutuskan untuk mengungsi ke arah timur dengan diiringi oleh para pengikutnya. Sampai di Payangan I Gusti Ngurah Beleleng dan pengikutnya bernaung di bawah kekuasaan Ida Dewa Agung Made Sukawati yang merupakan raja pertama di kerajaan Payangan. Di wilayah Payangan tepatnya di Desa Keliki, I Gusti Ngurah Beleleng tinggal dan menetap bersama putra-putranya berjumlah delapan orang yaitu: I Gusti Pate, I Gusti Batan Duren, I Gusti Gunung, I Gusti Lod Pate, I Gusti Made Selat, I Gusti Ngurah Selat, I Gusti Ketut Selat dan I Gusti Lod Jalan bertempat tinggal di Sebali, mempunyai anak bernama I Gusti Made Lod yang kemudian bertempat tinggal di Bebalang yang dikenal dengan nama I Gusti Ngurah Bebalang (Nindha,2003: 21).
Sewaktu I Gusti Pacung Gede Oka sampai di Samuan, didengar oleh I Gusti Ngurah Bebalang dan bersama dengan I Telugtug pergi menjemput ke Samuan untuk memohon agar I Gusti Pacung Gede Oka bersedia tinggal di Bebalang dan akan dibuatkan tempat tinggal di sebelah timur Desa Bebalang dan selanjutnya disebut dengan Puri Carang Sari.  Mulai saat itu daerah Payangan berada dalam kekuasaan Dhalem Klungkung dan menjadi wilayah kerajaan berdiri sendiri dalam pemerintahannya dipimpin oleh raja pertama Kerajaan Payangan  adalah Ida Dewa Agung Made Sukawati.
VI.2. Dinasti Kerajaan Payangan.
Adapun raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Payangan menurut silsilah Puri Agung Payangan dan dokumen Pribadi yang dibuat oleh Nindhia tahun 2003, secara berturut-turut adalah :
VI.2.1. Ida Tjokorda Made Sukawati (Bergelar Ida Dewa Agung Made Sukawati)
Sekitar tahun 1776 mulailah pemerintahan Ida Tjokorda Made Sukawati di Kerajaan Payangan dengan gelar Ida Dewagung Made Sukawati. Dengan demikian mulailah status Payangan dianggap menjadi wilayah kerajaan yang berdiri sendiri di bawah naungan Kerajaan Klungkung. Ida Tjokorda Made Sukawati memerintah di Kerajaan Payangan dengan didampingi oleh permaisurinya bernama Tjokorda Istri Kompiang yang masih sepupunya dari Puri Tampaksiring. Wilayah dan istana Payangan ini merupakan persembahan dari I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka.
Ida Tjokorda Made Sukawati memiliki tiga orang putra yaitu; Tjokorda Gede Anom, Tjokorda Jambe dan Tjokorda Tamu.  Tjokorda Gede Anom kelak akan menjadi raja Kerajaan Payangan yang ke-2. Akan tetapi beliau tidak memiliki putra sehingga Tjokorda Gede Anom mengangkat seorang keponakannya yang bernama Ida Tjokorda Putu Melinggih yang merupakan salah satu dari enam putra dari adiknya yang kedua yaitu Tjokorda Tamu. Sementara itu adiknya yang bernama Tjokorda Jambe adalah satria yang sangat sakti dan kebal.
Dengan kesaktian yang tiada tanding ini, ada seorang raja dari pesisir Gianyar untuk menguji kesaktian dan kekebalan dari Tjokorda Jambe. Akan tetapi raja dari pesisir Gianyar itu kalah. Kemudian muncul siasat dari raja pesisir Gianyar tersebut untuk mengadu kesaktian Tjokorda Jambe dengan seorang yang terkenal kesaktiannya yang berada di daerah Badung (waktu itu Badung belum menjadi kerajaan). Dengan segala tipu muslihat, diundanglah Ida Tjokorda Jambe untuk datang ke daerah Badung dengan alasan diundang mengobati seorang kerabatnya yang sakit keras. Akan tetapi sampai di sana beliau dihadang oleh pasukan bertombak, akan tetapi pasukan bertombak tersebut tidak bisa menyerang Tjokorda Jambe, malahan pasukan tersebut menari-nari. Karena beliau mengetahui dirinya mau dibunuh maka dengan jiwa ksatrianya yang tinggi bersabdahlah beliau:
“Kalau kalian sangat menginginkan nyawa  saya, saya akan berikan pakailah sirih pemberian saya ini untuk alat mencabut nyawa saya, akan tetapi ingatlah, setelah saya meninggal, kamu sekalian patut membuatkan saya pelinggih di Pura Desa Badung agar masyarakat mengenang kematian saya”.
(Pelinggih tersebut kemudian disebut Pelinggih Ratu Pemayun Payangan, yang terdapat di Pura Desa Badung) (Dokumen Puri Agung Payangan, Babad Pamayun Payangan).
Setelah itu sirih pemberian Tjokorda Jambe dilemparkan ke badan beliau, maka wafatlah beliau di Badung. Dan sampai kini oleh keturunannya Puri Payangan beliau disebut Betara Mantuk Ring Badung dan di Payangan sendiri dibuatkan pelinggih di Pura Alas Angker. Sedangkan di Badung beliau disebut Ratu Pamayun Payangan. Ida Tjokorda Jambe tidak memiliki putra.
VI.2.2. Ida Tjokorda Made Anom (Bergelar Ida Dewa Agung Anom)
Ida Tjokorda Made Sukawati pun berpulang dan digantikan oleh putra pertamanya yaitu Ida Tjokorda Made Anom sebagai raja di Kerajaan Payangan. Beliau bergelar Ida Dewagung Anom. Akan tetapi Ida Tjokorda Made Anom tidak memiliki putra maka beliau mengangkat keponakan, yaitu Ida Tjokorda Putu Melinggih yang merupakan putra dari Tjokorda Tamu.  Dipilihnya putra Tjokorda Tamu ini dikarenakan Tjokorda Jambe yang merupakan adik pertama dari Ida Tjokorda Anom sudah meninggal. Untuk menjalin kesetiaan dan keharmonisan suasana di Kerajaan Payangan, maka setelah dewasa putra-putra dari Tjokorda Tamu di tempatkan di daerah-daerah untuk memegang suatu jabatan. Daerah-daerah penempatan dari keenam putra Tjokorda Tamu yaitu: Tjokorda Putu Melinggih tetap berada di istana Puri Payangan dan diangkat sebagai putra mahkota oleh Ida Tjokorda Anom. Tjokorda Made Kaler ditempatkan di Pengiyahan Desa Puhu Payangan. Beliau memiliki tiga putra yaitu: Anak Agung Sameruta, Anak Agung Gde Pengiyahan pindah ke Desa Kedewatan, Anak Agung Anom Gunung pergi ke Klungkung  sebagai utusan dalam pembuatan senjata. Tjokorda Gde Rai masih tetap di istana Puri Payangan untuk membantu dan melindungi kakaknya Tjokorda Putu Melinggih.
Tjokorda Anom Karang ditempatkan di Puri Kelod Payangan, beliau memiliki tiga putra yaitu: Anak Agung Gde Ancak, Anak Agung Made Karang dan Anak Agung Pinatih yang pindah ke Pesanggingan Kedewatan sebagai pemucuk untuk memperkuat benteng selatan Kerajaan Payangan. Tjokorda Raka Lencong di tempatkan di Puri Kelod Kauh. Dimana beliau memiliki empat orang putra yaitu: Anak Agung Gde Kocong, Anak Agung Gde Gewar, Anak Agung Gde Keramas dan Anak Agung Gde Dalang yang pindah ke Desa Selat, Payangan.
Tjokorda Geria ditempatkan di Puri Kawan dan memiliki enam orang putra yaitu: Anak Agung Gde Begawan, Anak Agung Gde Sampalan, Anak Agung Ngelurah, Anak Agung Rai Suma, Anak Agung Anom dan Anak Agung Meranggi pindah ke Singeperang (Nindhia, 2003: 31-33). Pada masa pemerintahan Ida Tjokorda Gde Anom tidaklah banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang menonjol. Setelah beliau wafat, maka beliau digantikan oleh putra mahkotanya yaitu Ida Tjokorda Putu Melinggih. 
VI.2.3. Ida Tjokorda Putu Melinggih (Bergelar Ida Dewa Agung Rangki)
Setelah meninggalnya raja Payangan ke-2 yaitu Ida Tjokorda Gede Anom, maka beliau digantikan oleh putra angkatnya yang bernama Ida Tjokorda Putu Melinggih sebagai Raja Kerajaan Payangan Ke-3. Ida Tjokorda Putu Melinggih bergelar Ida Dewagung Rangki. Beliau memiliki tiga orang istri, antara lain: Tjokorda Istri Pejeng yang berasal dari keturunan Tampaksiring yang pindah ke Pejeng, Ida Tjokorda Istri Petulu yang merupakan turunan leluhurnya dari turunan Ida Dewagung Jambe dan Sang Ayu yang masih ada hubungan darah dengan Sang Made Jematang.
Istri pertama dan kedua dari Tjokorda Putu Melinggih berstatus Perami (kawin pepadan).  Setelah lama menikah, Ida Tjokorda Putu Melinggih belum juga dikaruniai seorang putra mahkota.  Maka dengan demikian beliau berkehendak untuk memohon kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhurnya agar dikaruniai putra mahkota. Kemudian beliau melakukan semedi. Setelah lama bersemedi, maka istri ketiga beliau pun hamil. Putra Ida Tjokorda Putu Melinggih pun lahir dan diberi nama Tjokorda Oka. Akan tetapi untuk menjadi putra mahkota harus didarmaputra oleh salah satu permaisurinya dan yang berhak untuk mendarma putrakan adalah permaisuri yang lebih tua yaitu Ida Tjokorda Istri Pejeng.
Sementara itu, Ida Tjokorda Istri Petulu pun mendarmaputrakan anak dari iparnya yaitu istri dari Tjokorda Gde Rai yang bernama Anak Agung Istri Anom. Anak itu bernama Tjokorda Rai yang kemudian langsung diasuh oleh Tjokorda Istri Petulu sampai dewasa. Kedua putra dari Ida Tjokorda Putu Melinggih ini terkenal akan keberanian, ketangguhan dan kepintaranya yang sama. Akan tetapi putra yang lebih tua agak keras hati sedangkan adiknya lemah lembut, sehingga masyarakat Payangan waktu itu mengibaratkannya sebagai Baladewa dan Kresna. Ida Tjokorda Putu Melinggih pun meninggal di Puri Payangan tepatnya di Puri Rangkit, maka itu beliau dikenal dengan sebutan Betara Mantuk ring Rangkit. Setelah itu beliaupun digantikan oleh putra mahkotanya.
VI.2.4. Ida Tjokorda Gede Oka (Bergelar Ida Dewa Agung Gede Agung Gde Oka)
Selanjutnya Ida Tjokorda Gde Oka sebagai putra mahkota naik tahta sebagai Raja Payangan ke-4 dengan gelar Ida Dewagung Gede Agung  Gde Oka. Sementara adiknya Ida Tjokorda Rai sebagai Prabu Anom dengan gelar Ida Dewagung Rai.  Ida Tjokorda Gede Oka memiliki tiga istri yaitu: Ida Dewa Ayu Den Bencingah yang merupakan adik dari raja Bangli. Dalam perkawinannya ini, beliau dikaruniai dua orang putra dan putri yaitu: Ida Dewagung Mayun dan Ida Dewagung Istri Muter. Kedua putra dan putri beliau ini terkenal akan ketampanan dan kecantikannya. Jero Tanjung dari Banjar Badung dan melahirkan dua putra bernama, Tjokorda Rai Tanjung dan Tjokorda Oka Tanjung. Jero Gadung yang berasal dari keturunan Pasek Susut di daerah Susut Payangan. Dalam perkawinannya melahirkan seorang putra yang diberi nama Tjokorda Made Gadung.
Dalam pemerintahan Ida Tjokorda Gede Oka, Kerajaan Payangan diatur menjadi dua kemancaan yaitu: Manca Puri Kelodan. Pada manca Puri Kelodan ini diangkat Anak Agung Gde Ancak dengan sebutan Tjokorda Gde Ancak dan diberi kepercayaan mengurus daerah Payangan sebelah Selatan Puri Payangan sampai batas selatan Desa Kedewatan dan Sanggingan dan Manca Puri kawan dianggap paman beliau Tjokorda Geria sebagai manca untuk mengurus daerah Payangan dari sebelah utara puri sampai batas utara Alas Angker.
Pada waktu pemerintahan Ida Tjokorda Gede Oka, Kerajaan Payangan mengikuti perjanjian Sapta Negara yang mengakui raja Klungkung sebagai maharajanya. Dalam perjanjian ini diikuti oleh tujuh kerajaan seperti: Kerajaan Klungkung, Kerajaan Karangasem, Kerajaan Buleleng, Kerajaan Gianyar, Kerajaan Payangan, Kerajaan Mengwi, dan Kerajaan Bangli. Kemudian dibentuk lagi perjanjian Asta Negara, karena Badung di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Pemecutan dan I Gusti Ngurah Kesiman bergabung lagi menjadi satu kerajaan di bawah naungan kekuasaan maharaja Klungkung (Nindhia, 2003:41). Pada masa pemerintahan raja Ida Tjokorda Gede Oka, Kerajaan Payangan mencapai puncak kejayaan, dimana wilayah Tampaksiring yang waktu itu sukar dipersatukan dan selalu saja terdapat pertikaian dan percekcokan antara warganya bisa dipersatukan oleh Ida Tjokorda Gede Oka dan menjadi bagian wilayah Kerajaan Payangan.
Ini disebabkan karena pemerintahan I Gusti Kebon di Tampaksiring tidak mendapat kepercayaan dari rakyatnya. Mereka menganggap hanya keturunan Dhalem Pamayun saja yang dapat memimpin di Tampaksiring sehingga I Gusti kebon menghadap ke Puri Agung Payangan agar diizinkan seorang putra Dhalem untuk memimpin rakyat Tampaksiring. Maka Raja Payangan menunjuk putranya yang bernama Tjokorda Rai Tanjung ke Tampaksiring untuk menjadi pemimpin di sana. Dengan demikian bertambah luaslah wilayah Kerajaan Payangan. Ida Tjokorda Gede Oka juga terkenal akan kesaktian dan keteguhannya karena pernah membantu Kerajaan Bangli melawan Kerajaan Buleleng.
VI.4. Payangan Diserang Buleleng.
Dalam masa kejayaan Kerajaan Payangan tersebut, putri tunggalnya yang bernama Ida Dewagung Istri Muter telah mencapai usia dewasa. Di sebelah selatan Payangan ada suatu daerah di bawah pimpinan keturunan Dhalem juga. Walaupun waktu itu belum berstatus kerajaan, namun Raja Payangan berkeinginan menjodohkan putrinya dengan seorang di antara keturunan raja bernama Tjokorda Ratu. Ini bertujuan untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Payangan dan terangkatlah keluarga beliau nanti untuk memimpin negara itu menjadi suatu kerajaan yang jaya di bawah Maharaja Klungkung, dengan demikian sangat sulit nantinya untuk dikalahkan oleh musuh (Nindhia, 2003: 43).
Maka dengan itu, dipertunangkanlah putri Raja Payangan bernama Dewa Agung Istri Muter yang terkenal akan cantiknya dengan Tjokorda Ratu dari daerah  Sukawati. Dari pertunangan inilah menyebabkan kehancuran Kerajaan Payangan.  Tampaknya keinginan Raja Payangan untuk mengawinkan putrinya dengan putra dari daerah Sukawati mempunyai latar belakang politik berupa perluasan wilayah. Dimana Raja Payangan berkeinginan untuk melindungi Kerajaan Payangan dari arah selatan dan menambah kekuatan apabila terjadi serangan terhadap Payangan namun masih di bawah maharaja Klungkung. Politik perkawinan ini berhasil, ini terlihat adanya kesepakatan antara keluarga Kerajaan Payangan dengan  Sukawati. Kedua Kerajaan pun menunggu hari baik untuk pernikahan putra dan putrinya.
Pada saat-saat menjelang perkawinan inilah tersebar fitnah sehingga sampai kepada Kerajaan Klungkung, yang mengabarkan bahwa raja Payangan telah mengadakan ikatan persatuan dengan daerah Kerajaan Sukawati untuk berontak terhadap Kerajaan Klungkung dengan cara perkawinan.  Mula-mula berita-berita angin itu tidak diterima oleh Raja Klungkung, tetapi karena pembawa fitnah tersebut sangat pandai, dengan mengusulkan agar baginda Raja Klungkung mencoba meminang putri Raja Payangan yang terkenal akan kencantikannya yang bernama Ida Dewa Agung Istri Muter. Kalau memang benar diberikan pinangan tersebut, berarti Raja Payangan masih setia dan sebaliknya bila tidak disetujui maka itu berarti Kerajaan Payangan tidak setia lagi kepada Kerajaan Klungkung.
Karena termakan fitnah dan ingin membuktikan kabar burung itu, kemudian Kerajaan Klungkung segera mengirim utusan ke Payangan untuk meminang putri Raja Payangan yaitu Tjokorda Istri Muter. Akan tetapi pinangan dari Raja Klungkung ini ditolak oleh Raja Payangan. Penolakan pinangan Raja Klungkung ini dianggap sebagai penghinaan terhadap Raja Klungkung, dimana pada saat itu kedudukan raja Klungkung sejak tahun 1824 dianggap sebagai maharaja dan sesuhunan raja-raja Bali. Akibatnya terjadilah perang yang munuju kehancuran Kerajaan Payangan. Untuk menyerang Kerajaan Payangan, Raja Klungkung meminta bantuan Kerajaan Buleleng, karena Kerajaan Buleleng yang dianggap paling setia terhadap Klungkung. Kemudian pada tahun 1840 Laskar Buleleng terlihat pertama kali di Desa Kerta yang terletak di wilayah paling utara dari Payangan dan bermaksud untuk menyerang Payangan atas suruhan Kerajaan Klungkung. Perbekel Desa Kerta yang mengetahui kejadian itu langsung melaporkan kepada Raja Payangan. Raja kemudian langsung memerintahkan patihnya yang setia yakni Sang Made Jematang untuk segera menyiapkan Laskar Payangan di benteng Giri Kesuma (Rai, 1986: 54).
Tampaknya perdamaian sudah tidak mungkin lagi akan didapat karena Laskar Buleleng memang telah ditugaskan untuk merampas putri Raja Payangan dan menghancurkan Kerajaan Payangan. Serangan ini hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat karena laskar Payangan lebih kecil sehingga tidak mampu bertahan lama.  Patih Sang Made Jematang beserta Laskar Payangan gugur di benteng Giri Kusuma. Sementara raja yaitu Ida Tjokorda Gede Oka yang mengetahui kematian patih dan laskarnya maju beserta segenap keluarga untuk melakukan puputan. Dalam hal ini seluruh keluarga kerajaan terbunuh kecuali Prabu Anom Dewagung  Gde Rai yang merupakan adik Raja Payangan yang jatuh kepayahan di timbun mayat para laskar yang telah gugur. Setelah berhasil menggalahkan Payangan, laskar Buleleng ditarik kembali. Mereka tidak menduduki Payangan karena laskar Buleleng hanya disuruh untuk merebut putri raja saja. 
Selang beberapa waktu saja datanglah pasukan bantuan dari Kerajaan Bangli dalam jumlah yang sangat besar, dari arah timur laut, dipinpin oleh para Brahmana dari Apuan Bangli akan tetapi sayang sekali pasukan Bangli terlambat dan melihat Payangan sudah menjadi abu. adik serta keponakan Raja Bangli yaitu Ida Dewa Ayu Den Bencingah serta putra-putrinya yaitu Ida Dewagung Mayun dan Ida Dewagung Istri Muter sudah meninggal, hal itu yang membuat hancur perasaan raja Bangli pada waktu itu.
Di lain pihak benteng selatan dari kerajaan Payangan juga terlambat memberikan bantuan laskar kepada raja yang sudah terjepit. Sementara itu Laskar Mengwi di bawah pimpinan Perbekel Munggu yang siap memberikan bantuan kepada Payangan menjadi ragu-ragu untuk menghadang Buleleng. Keragu-raguan ini dikarenakan Laskar Mengwi melihat laskar bantuan Payangan yang datang dari arah selatan justru bertempur tidak dengan sungguh-sungguh untuk membela rajanya. Laskar Mengwi kemudian diperintahkan untuk kembali ke Mengwi. Pada saat kembali tersebut Laskar Mengwi berhasil menemukan Prabu Anom Dewagung Gde Rai, yaitu salah satu keluarga raja yang kepayahan dan tertimbun mayat yang kemudian dilarikan serta disembunyikan di Mengwi. Dewagung Gde Rai bersembunyi di rumah Perbekel Desa Munggu. Setelah mendekati setahun di dalam persembunyian di rumah Perbekel Desa Munggu, diketahuilah berita oleh Raja Mengwi bahwa beliau Dewagung Gde Rai yang merupakan adik dari Raja Payangan masih hidup dan berada di daerah Mengwi. Segera Raja Mengwi menyebarkan hal tersebut kehadapan Maharaja di Klungkung agar Ida Dewagung Gde Rai ini diperkenankan kembali ke Payangan.
Mendengar berita dari Raja Mengwi tentang masih ada salah satu anggota keluarga Kerajaan Payangan yang masih hidup, maka Raja Klungkung merasa gembira dan mengutus utusan untuk menyelidiki apakah berita itu benar. Sebenarnya Raja Klungkung hanya ingin memperingatkan Payangan agar tidak mendurhaka kepada Klungkung sehingga beliau merasa malu dan geram. Beliau beranggapan bahwa I Gusti Jelantik beserta laskar Bulelenglah yang menghabisi nyawa saudara-saudaranya dan keponakan - keponakannya di Puri Payangan.Setelah memastikan bahwa berita tentang masih hidupnya salah satu anggota keluarga Kerajaan Payangan yaitu Ida Dewagung Gde Rai benar, maka Raja Klungkung mengizinkan untuk kembalinya Ida Dewagung Gde Rai ke Kerajaan Payangan. Mulai saat itu kerajaan Payangan diperintah oleh Ida Dewagung Gde Rai, satu-satunya anggota kerajaan yang masih selamat dalam perang puputan melawan laskar Den Bukit.
Sekembalinya laskar Bangli dari Payangan, dalam usaha pemulihan wilayah Payangan, oleh beberapa petinggi dan bangsawan Payangan memohon Para Brahmana dan pengikutnya untuk sudi tinggal di wilayah kerajaan Payangan. Maka dari ketiga brahmana Apwan Bangli dipilihlah Ida Made Gunung untuk tinggal menetap di Payangan, diberikan tempat giriya ditimur jalan, disebelah selatan pasar, dengan nama Giriya Gunung. Disanalah Ida Made Gunung tinggal dan mendapatkan kewibawaan sebagai seorang brahmana. Setelah madwijati kemudian bergelar Ida Pedanda Made Gunung Manuaba. Para pengikut beliau yang berjumlah tidak kurang dari 120 kepala keluarga yang berasal dari Bangli, Tampaksiring, Pejeng, Abuan, Srokadan dan Apwan juga diberikan tempat bermukim di wilayah kerajaan Payangan, mereka tersebar disebelah selatan, barat dan timur puri Payangan dan beberapa tinggal di utara puri Payangan. Mereka terdiri dari berbagai trah, antara lain: Pasek Dangka, Pasek Ngukuhin, Pasek Padang, Bandesa Manik Mas, Treh Arya Kutawaringin, Pasek Gelgel, Pande Besi, Kayu Selem dan treh Sang, keturunan I Dewa Bangli.
VI.3.5. Ida Tjokorda Gde Rai (Bergelar Ida Dewa Agung Gde Rai)
Sekitar tahun 1842 setelah tekad bulat dan keyakinan penuh dari Ida Tjokorda Gde Rai, maka mulai beliau menginjakan kaki di Banjar Susut. Di Banjar Susut beliau disambut gembira oleh rakyatnya. Pada saat pertama kalinya Tjokorda Gde Rai kontak dengan rakyatnya, beliau juga sempat pula kontak pertama dengan salah seorang putri dua bersaudara dari keluarga Jero Pasek Susut. Sementara itu pengiring beliau yang setia mengiringi Tjokorda Gde Rai dari daerah Mengwi yang bernama Pasek Bendesa Rangkan bertempet tinggal di Banjar Susut.
Untuk lebih menenangkan perasaan Tjokorda Gde Rai dalam memegang pemerintahan menjadi raja di Payangan, Raja Mengwi kemudian mengirim beberapa laskar Bata-batunya yang berasal dari Munggu untuk mengawal dan melindungi Tjokorda Gde Rai dari mara bahaya yang mengancam, karena Raja Mengwi merasa keberadaan Tjokorda Gde Rai di Payangan masih diancam bahaya. Dengan banyaknya penghianat di daerah Payangan yang tidak setia dengan Raja, walaupun tidak berani menyatakan diri dengan terang-terangan.Laskar Bata-batu itu berjumlah 48 orang, yang kebanyakan berasal dari Laskar Teruna Munggu, yang terdiri dari treh keturunan Pasek Gelgel, Keturunan Pasek Gaduh, Keturunan Pande Tonja (Tohjiwa), Keturunan Pasek Dangka, Keturunan Wang Bang Pinatih, Keturunan Bandesa Denpasar dan Keturunan Tangkas. Mereka dianugrahi wilayah bermukim di wilayah barat laut puri Payangan, masih berdampingan dengan alun-alun kerajaan Payangan. Anugrah itu diberikan raja adalah agar para pengikut beliau dari Munggu tidak kembali lagi, sehingga dipercaya sebagai abdi Dhalem kerajaan Payangan, yang bertugas mengiringi beliau kemanapun kemudian beliau berpergian atau berburu.
Setelah diangkat menjadi raja, Ida Dewagung Gde Rai kemudian mencari pendamping agar bisa mendampinginya dan melahirkan penerus keturunannya. Maka beliau teringat akan dua wanita bersaudara yang dilihatnya di Banjar Susut.  Karena wanita yang lebih tua sudah menghilang di sekitar Pura Penataran Air Jeruk, wanita ini moksa sebagai sesapuh di sana, maka Ida Dewagung Gde Rai memilih adiknya untuk dijadikan istri. Tugas pertama yang dilakukan oleh Ida Dewagung Gde Rai sebagai Raja Kerajaan Payangan adalah membuat upacara terhadap leluhur-leluhurnya dan arwah sanak saudaranya dan rakyatnya yang gugur dalam perang puputan sebagai kusuma bangsa, kemudian membuat kenang-kenangan untuk patih Sang Made Jumatang dengan membangun pelinggih berupa pura yang disebut Pura Penataran Beteng untuk keturunan-keturunannya.
Pada tahun 1843, lahirlah putra pertama Ida Dewagung Gde Rai yang kemudian diberi nama Tjokorda Gede Oka dan beberapa tahun kemudian lahir juga putra keduanya yang benama Tjokorda Made Oka. Dengan kembalinya Ida Dewagung Gde Rai maka beliau kemudian dinobatkan menjadi raja kerajaan Payangan. dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Payangan. Gerakan para penghianat di Payangan tidak berhenti sampai disana, dalam sebuah kesempatan, kembali dikirim berita palsu ke Klungkung yang menyiarkan, kerajaan Payangan sedang menyusun kekuatan dengan kerajaan Bangli untuk mengadakan suatu gerakan balas dendam kepada Raja Klungkung. Raja Klungkung tidak percaya dengan kabar burung itu, beliau kemudian mengirim utusan ke puri Payangan yang memerintahkan agar raja Payangan menghadap ke Klungkung. Agar membicarakan berita burung itu denganh jernih, agar tidak terjadi kesalah pengertian. Mendapatkan perintah penghadapan itu, akhirnya raja Payangan memutuskan untuk menghadap ke Puri Klungkung. Untuk tidak mengundang kecurigaan beliau berangkat menuju Klungkung hanya dengan beberapa abdi Dhalem saja, juga pengusung tandu. Perjalanan penghadapan itu melewati wilayah Bangli dan Gianyar. Hal itu dilakukan mengingat hubungan yang erat kekerabatan antara Raja Payangan dengan raja Bangli. Memastikan keberangkatan raja Payangan hanya dengan beberapa pengiring, para penghianat di Payangan segera mengirim utusan ke Gianyar, agar laskar Gianyar menghadang perjalanan rombongan raja, dan menawan raja dengan semua pengiringnya.
Mendengar informasi ini berangkatlah pasukan Raja Gianyar menuju perbatasan Tegalalang Bangli bernama Sekoan. Setelah beberapa lama bertemulah rombongan Raja Payangan dengan Pasukan Gianyar. Di sini senopati pasukan Gianyar menyatakan agar perjalanan Raja Payangan menuju ke Klungkung dibatalkan karena beliau sesampainya di Kerajaan Klungkung akan dibuang ke Nusa Penida. Kemudian Raja Payangan diajak ke daerah Gianyar untuk berlindung. Dengan gelagat yang mencurigakan tersebut maka Ida Dewagung Gde Rai curiga dan mengerti bahwa beliau telah masuk perangkap dari para penghianat Payangan. Untuk menghindari peperangan maka Ida Dewagung Gde Oka menerima tawaran tersebut.
Bab VII
Pura Dhalem Cemeng

VII.1. Masa Pemerintahan Dinasti Pacung Sakti.
Dalam perjalanan suci Maha Rsi Markandhya sudah banyak disebutkan bahwa daerah Payangan yang dulunya bernama Parahyangan, artinya tempat para Dewa bersemayam, jadi disetiap tempat yang dihuni oleh para pengikut beliau didirikan areal suci dengan sebuatan Kahyangan yang berarti linggih dan tempat para hyang yang sudah suci oleh tirtha dan puja. Wilayah-wilayah parhyangan itu tersebar di seluruh wilayah bumi Payangan. Terutama sekali wilayah yang membentang dari selatan, yaitu Wilayah Campuan Ubud sampai ke daerah pura Batur. Konsep Hulu teben juga sangat kental diwariskan oleh para pengikut Beliau yang berkembang di wilayah Payangan. Wilayah-wilayah suci itu kemudian oleh generasi penerusnya dipakai sebagai daerah untuk membangun kahyangan.
Pada saat terjadi pemberontakan di kerajaan Gelgel yang dilakukan oleh I Gusti Agung Maruti di tahun 1651, banyak daerah kerajaan yang ada dibawah kekuasaan Gelgel menyatakan diri lepas dari Gelgel. Dhalem Dimade mengungsi menuju desa Guliang Tampaksiring, bersama dua orang putranya. Pada awalnya kerajaan Mengwi menyatakan sebagai kerajaan yang berdaulat, dengan batas timur Sungai Ayung. Sedangkan wilayah timur Sungai Ayung, termasuk Payangan masih ada dibawah naungan kerajaan Klungkung, setelah Pemberontakan I Gusti Agung Maruti dapat dipadamkan. Klungkung dikuasai atau diperintah oleh I Dewa Agung Jambe, yang memilih memindahkan keraton Gelgel ke Klungkung.
Para Arya yang diberikan kekuasaan untuk memimpin suatu wilayah kemudian mulai mendirikan kerajaan-kerajaan. Pada masa gejolak inilah kemudian daerah Payangan tidak mendapat perhatian yang baik dari penguasa Klungkung. Sehingga banyak wilayah Klungkung yang dikuasai oleh para Arya. Salah satu diantaranya adalah wilayah Payangan. Salah seorang keturunan Arya Sentong dari generasi ke 5 yang bernama I Gusti Ngurah Pacung Gede, yang merupakan putra dari I Gusti Pacung Sakti di daerah Perean.
I Gusti Pacung Gde melakukan pendudukan terhadap Payangan dengan 600 kepala keluarga. Juga mengikut sertakan para saudaranya, diantaranya : I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ngurah Bukian. Selanjutnya I Gusti Ngurah Rai membawa 200 kepala keluarga menuju Bukian dan menetap disana.Sedangkan I Gusti Ngurah Pacung Gede dengan 400 kepala keluarga menetap di Payangan. Setelah I Gusti Ngurah Pacung Gede meninggal, maka kekuasaan Payangan jatuh pada tangan putranya yang bernama I Gusti Pacung Oka, setelah menjadi penguasa Payangan, kemudian bergelar I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka.
Pada Saat Pemerintahan I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka, pada kisaran tahun  1730, Payangan mulai ditata. Dalam bidang pertanian ditata dengan membuat banyak sekali sawah-sawah dan tegalan untuk para pengikutnya. Di bidang perekonomian maka dibangunlah pasar di daerah utara Payangan. Dalam bidang kepemerintahan mulai dibangun puri, kepatihan dan bangsal-bangsal kerajaan. Sedangkan dalam bidang spiritual, mulai juga dibangun kahyangan-kahyangan desa di bekas-bekas tanah suci pengikut Rsi Markandhya dahulu dan kahyangan-kahyangan yang bersifat pura leluhur bagi para pengikutnya agar tidak lagi mengingat kawitannya di Perean.
Geliat ekonomi di Payangan semakin lama semakin semarak, banyak para saudagar luar daerah yang datang melakukan jual beli di Payangan, terutama para pedagang dari Mengwi, dan Buleleng. Hal ini ditunjang dengan pertanian di Payangan yang selalu menghasilkan panen hasil bumi yang berlimpah, kopi, padi, kelapa, dan jagung, menjadi komoditi andalan Payangan pada saat itu. Untuk menyimpan hasil panen tersebut, sebelum dijual, maka dibuatlah beberapa lumbung besar di daerah barat laut puri. Bangunan-bangunan bertiang delapan dengan atap alang-alang yang dijalin dengan rapi. Berjejer berderet saling berhadapan, tidak kurang dari 10 bangunan lumbung. Masing-masing hasil panen yang beraneka ragam disimpan dengan aman di lumbung kerajaan.
Untuk melindungi kawasan Pesimpenan itu, ditempatkanlah laskar pilihan di areal sekitar wilayah Lumbung Pesimpenan. Mereka bertempat tinggal mengelilingi areal lumbung juga beserta anggota keluarga mereka. Sekitar 20 orang kepala keluarga diberi tugas khusus menjaga lumbung dan mengurus isinya sebelum dijual. Termasuk juga bertanggung jawab terhadap upacara yang dilaksanakan di areal lumbung. Mereka terdiri para pengikut I Gusti Pacung Gede dari Perean. Setelah I Gusti Ngurah Pacung Gede berpulang ke alam sunya, digantikan oleh putranya yang bernama I Gusti Ngurah Pacung Oka, setelah mabhiseka ratu bergelar I Gusti Ngurah Pacung gede Oka.
Dengan semakin berkembangnya wilayah Payangan dibawah pemerintahan I Gusti Ngurah Pacung gede Oka. membuat para petinggi di Mengwi khawatir, melihat kerajaan Payangan semakin berkembang dan semakin kuat dan mengancam kerajaan tetangga, seperti kerajaan Mengwi. Untuk menjaga hal itu agar jangan sampai terjadi, para petinggi Mengwi menyusun siasat dengan menghembuskan berita palsu ke Klungkung, bahwa I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka menyiapkan rencana untuk menyerang Klungkung. Raja Klungkung I Dewa Agung Gede kemudian mengumpulkan laskar untuk menyerang Payangan. Kerajaan Mengwi juga menyiapkan laskarnya menyerang dari arah barat, dari arah timur menyerang laskar Klungkung dan Nyalian, ditambah dengan laskar Taro dibawah pimpinan I Gusti Ngurah Taro yang mempunyai perasaan tidak suka terhadap saudaranya di Payangan. Pada Bulan Mati Pada Tumpek Wariga sasih Sada, tepatnya tanggal 18 Juni 1735 kerajaan Payangan dibawah pimpinan I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka diserang dari berbagai penjuru. Jumlah laskar yang tidak seimbang antara laskar Payangan dan laskar Gabungan Klungkung, Nyalian, Taro dan Mengwi, membuat Payangan terdesak sangat hebat, laskar Payangan banyak yang menjadi korban, tewas dan luka-luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak lagi I Gusti Pacung Gede Oka memerintahkan para petinggi perangnya untuk mundur dan mengungsikan rakyat Payangan.
Di tanggal 25 Juni 1735 terjadi pergerakan masa tidak kurang dari 400 kepala keluarga dari Payangan menuju Bukian, menyebrang ke arah timur sampai akhirnya tiba di daerah Karangsari Bangli. Dari Karangsari I Gusti Pacung Gede Oka dengan para rakyatnya kemudian menuju daerah Samuan dan menetap untuk sementara di Samuan. Karena suasana yang hiruk pikuk saat itu, banyak harta benda kerajaan yang tidak bisa diselamatkan berupa emas, permata, intan dan uang, juga Keris Pusaka I Kasur Sari tertinggal di Puri. Diantara benda pusaka yang berwasiat, I Gusti Pacung Gede Oka hanya bisa menyelamatkan tombak pusaka yang bernama I Alang-Alang Gagak yang merupakan pusaka warisan dari leluhurnya dahulu. Awal Bulan Juli di tahun 1735 Payangan sudah menjadi daerah kekuasaan Klungkung secara mutlak, untuk menjaga wilayah Payangan maka dibentuklah pemerintahan sementara yang bertugas selain menjaga wilayah Payangan juga melakukan perbaikan-perbaikan bangunan puri, kahyangan dan bangsal-bangsal serta bangunan-bangunan utama lainnya.
VII.2. Masa Pemerintahan Dinasti Dhalem Pamayun.
Setelah sekian lama Payangan tidak mempunyai pemimpin yang pasti, untuk sementara daerah Payangan dipercayakan kepemimpinanya kepada  I Gusti Ngurah Taro. Banyak hal hal buruk terjadi pada daerah Payangan, Pertanian yang dulunya menghasilkan sangat melimpah, sering gagal panen, akibat hama dan kekurangan asupan air. Perdagangan yang sangat ramai pada masa pemerintahan I Gusti Pacung Gede Oka menjadi sepi, akibat ketakutan para saudagar untuk datang berdagang ke Payangan. Hal itu disebabkan karena banyaknya Begal dan rampok di batas utara, barat dan timur Payangan. Bangunan-bangunan suci bekas peninggalan Rsi Markandhya dan purohita  Pacung ditelantarkan, rumput dan semak belukar tumbuh hingga setinggi badan orang dewasa, Pelinggih-pelinggih banyak yang hancur dan bocor pada atapnya. Wabah penyakit merajalela di Payangan, banyak memakan korban karena sedikitnya sumber makanan yang bisa dihasilkan di Payangan. Payangan antara tahun 1735 sampai dengan tahun 1768 sangat menyedihkan. Lumbung Kerajaan yang dikenal dengan nama Gedong Pesimpenan  juga tidak mendapat perhatian, lumbung-lumbung ini terbengkelai akibat penjarahan dari penduduk yang kelaparan, juga karena para penjaganya yang dulunya setia menjaga Gedong ikut dalam rombongan pengungsian I Gusti Pacung Gede Oka menuju ke Karangsari Bangli. Yang kemudian bersama-sama membangun puri Carang Sari di Bebalang Bangli.
Untuk menghindari kehancuran yang lebih parah, raja Klungkung kemudian mengirim kerabatnya ke Payangan, agar menjadi raja di Payangan. peristiwa itu diperkirakan terjadi pada tahun 1776. Ida Tjokorda Made Sukawati dengan permaisurinya, Tjokorda Istri Kompyang dari puri Tampaksiring dipercaya memimpin Payangan dengan gelar kehormatan Ida Idewagung Made Sukawati. Pada masa pemerintahan beliau kembali dibangun parahyangan-parahyangan di daerah Payangan yang rusak tidak terurus. Beliau mempunyai 3 orang putra, masing-masing : Tjokorda Gede Anom, Tjokorda Jambe dan Tjokorda Tamu. Berturut turut kemudian yang menjadi raja Tjokorda Gede Anom, Ida Tjokorda Putu Melinggih, Ida Tjokorda Gde Oka, sampai akhirnya Payangan Hancur akibat serangan Den Bukit pada tahun 1840. Pada masa inilah banyak parahyangan yang hancur, termasuk juga Gedong Pesimpenan.
Baru pada masa pemerintahan Ida Tjokorda Gde Rai menjadi raja di Payangan pada sekitar tahun 1842 dengan gelar Ida Idewagung Gde Rai, Payangan mengalami perbaikan yang menyeluruh. Dibidang ekonomi, budaya dan keagamaan. Beliau sangat sedih dengan akibat perang yang terjadi di Payangan yang dampaknya sangat menyangsarakan rakyat beliau. Kedatangan beliau dari daerah Munggu banyak membawa para pengikut yang setia, yang selalu menjaga beliau dari berbagai macam ancaman.
Dalam bidang spiritual, beliau mengumpulkan para brahmana dan tokoh spiritual Payangan, diajak bertukar pikiran untuk membangun Payangan dengan modal bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para dewata-dewati. Membangun dan memperbaiki kahyangan jagat, kahyangan tiga, penataran dan pura-pura terkait dengan sejarah tempat dan kawitan tertentu. Walaupun membutuhkan waktu yang lama, akhirnya beberapa kahyangan bisa dibangun dan dipugar. Diantaranya Gedong Pesimpenan dengan areal masih ditempat semula.
Karena beliau merasa ketahanan pangan Payangan adalah hal yang sangat penting, maka beliau menugaskan pengiringnya dahulu untuk mendiami wilayah sekitar lumbung gedong pesimpenan. Hal itu dilakukan karena pengiring beliau dari Munggu belum mendapat tempat yang tepat, dekat dengan keraton.
Mulai saat itulah wilayah sekitar gedong pesimpenan yang dulunya ditinggalkan oleh pengiring Perean dialihkan untuk tempat bermukim para pengiring beliau dari Munggu. Terdiri dari Trah Pasek Dangka, Trah Pasek Ngukuhin dan Trah Bandesa Manik Mas. Yang mendapat tugas untuk menyiapkan segala jenis upakara dipercayakan kepada 20 kepala keluarga dari Treh Pasek Ngukuhin, dibantu oleh 8 kepala keluarga Trah Pasek Dangka dan Bandesa Manik Mas yang juga diberikan tempat bermukim disekitar daerah Gedong Pasimpenan. Masing-masing keluarga pengempon juga dianugrahkan tanah sawah dan tegalan sebagai modal untuk ngayom pura. Para keluarga ini juga dibebaskan dari segala jenis macam punggutan atau pajak, dibebaskan dari kerja kasar membuka lahan dan dibebaskan untuk keluar masuk lingkungan keraton untuk menyiapkan semua hasil panen yang akan terpakai di keraton dan bangsal prajurit.
Dalam urusan upacara dan pemugaran pelinggih dikomandoi oleh tiga orang tetua Trah, antara lain : I Guwam yang merupakan wakil dari Trah Ngukuhin, I Rempon dari trah Dangka dan I Sidet dari Trah Bandesa Manik Mas. Mereka yang mempunyai tugas mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan acara dan upakara di Pura Gedong Pesimpenan.Dalam areal pura dibangun beberapa pelinggih utama, diantaranya, Padmasari menghadap ke barat laut, Gedong Simpen tempat pemujaan Dewi Laksmi memakai rong tunggal menghadap ke selatan, dan pelinggih Ratu Pengelurah menghadap ke barat diselatan Padmasari. Sedangkan di Jaba tengah berderet lumbung-lumbung penyimpanan sebanyak 3 buah, dipenuhi dengan hasil panen berupa padi, jagung, kelapa, dan rempah-rempah.
Piodalan pertama semenjak kepemerintahan Ida Tjokorda Gde Rai dilaksanakan pada Buda Wage Klawu pangelong ping 1, sasih Kapitu, tahun Saka 1769, dalam tanggal masehi 22 Desember 1847. Dilaksanakan upacara memulyakan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi beliau sebagai Dewi Laksmi atau Dewi Sri. Upacara ini berkaitan dengan pemugaran beberapa bangunan pelinggih yang rusak akibat meletusnya gunung Agung yang terjadi pada tahun 1843 dan rusaknya bangunan akibat penyerbuan laskar Denbukit Buleleng. Untuk beberapa lama kemudian, Parahyangan Gedong Pesimpenan mendapat perhatian yang sangat besar dari para pembesar kerajaan Payangan. Dimuliakan dengan upacara-upacara yang cukup meriah. Ditunjang dengan bakti dari para pengemongnya yang diberikan tugas khusus untuk ngemong pura tersebut. Diantara ketiga treh yang mempunyai tugas terhadap Pura, semua bekerja dengan sungguh-sungguh atas arahan para petinggi kerajaan dan para brahmana keraton Payangan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun,  di bulan Maret 1862 terjadilah kemudian sebuah bencana, musim kering sangat lama, padi dan jagung mengering di sawah, buah-buahan layu sebelum berbunga, hama merajalela, penyakit menular menghantui rakyat Payangan. Sementara perang berkecamuk diwilayah-wilayah sekitar, penaklukan-penaklukan wilayah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan besar terhadap wilayah-wilayah kecil, bulan Agustus tahun 1862, Hasil panen yang disimpan dalam lumbung berupa padi, jagung, palawija dan rempah-rempah diserbu oleh sejenis kutu dalam jumlah yang sangat besar, sehingga menutupi semua areal pura gedong pesimpenan.
Untuk menanggulangi hal tersebut maka dikumpulkanlah para tetua dan para brahmana untuk dimintai petunjuk, bagaimana cara menanggulangi hama kutu yang dipercaya hanya bisa disingkirkan dengan upacara dan puja. Setelah mendapat jalan keluar yang dianggap baik, maka dipersiapkanlah tawur yang bertujuan membuang semua hama itu ke laut, selain memohon air suci di beberapa pura pucak disekitaran Payangan. Tawur yang disepakati memakai semua binatang berbulu hitam, dari kambing bulu hitam, itik hitam, ayam hitam dengan olahan nasi dan tumpeng juga berwarna hitam. Bunga-bunga dalam upacara juga memakai bunga-bunga yang berwarna hitam.
Upacara tawur penolak mrana dan piodalan itu dilaksanakan pada Buda Wage Klawu tanggal ping 9 sasih Jyestha Saka 1784, atau tangga l 7 Mei 1862. Dari petunjuk para brahmana dan ijin dari raja Payangan, nama Gedong Simpen kemudian diubah menjadi kahyangan Dhalem Cemeng. Untuk mengenang peristiwa hama kutu hitam itu, disepanjang batas ditanami bunga yang berbunga warna hitam. Konon dahulu pada masa awal terbentuknya kerajaan Payangan, dibagian hulu pura hidup pohon cempaka cemeng, berbuah dan berbunga warna hitam, pohon langka itu dipercaya sebagai pancer atau titik tengah kota Payangan.
Pada kelanjutannya sekitar tahun 1917 wilayah Payangan resmi menjadi Distrik Payangan, dengan Tokorda Gde Oka sebagai Punggawa. Sebagian daerah Bali sudah ada di dalam kekuasaan Belanda, kerajaan-kerajaan kebanyakan sudah tidak memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya sendiri, karena kebijakan suatu wilayah ditentukan oleh para penguasa Belanda. Dibatas wilayah barat Payangan bergejolak perang tak henti-hentinya. Kerajaan Ubud berkembang dengan sangat baik mempunyai wilayah kekuasaan yang semakin luas. Diawal tahun 1900 kahyangan-kahyangan di Payangan tidak mendapat perhatian yang cukup dari petinggi keraton, termasuk juga Pura Dhalem Cemeng, hasil panen yang dihasilkan dari berbagai sawah dan tegalan wilayah Payangan juga sudah semakin sedikit yang disimpan ke lumbung-lumbung kerajaan, hal itu disebabkan karena perkembangan penduduk yang semakin banyak sehingga banyak lahan sawah dan tegalan menjadi pekarangan penduduk. Juga didukung dengan para pemilik sawah dan tegalan mulai membuat lumbung-lumbung sendiri di dalam pekarangannya untuk menyimpan hasil panen.
Kalaupun kemudian ada beberapa penduduk sekitar masih menyimpan hasil panen ke pura Dhalem Cemeng itu hanya berupa simbol, dengan beberapa pucuk padi dan palawija yang diikat dan dilinggihkan di lumbung. Hal itulah kemudian membuat peranan pura Dhalem Cemeng berangsur- angsur menjadi tidak terlalu penting. Hal itu berlangsung sampai sekitar tahun 1920. Sehingga praktis keberadaan pura hanya diempon oleh warga tiga trah yang bermukim disekitar pura saja. Semakin lama, semakin banyaklah lumbung yang dulunya berdiri megah rusak dan kemudian diprelina oleh para pengempon, karena sudah tidak berfungsi seperti semula.

Foto beberapa lumbung di tahun 1920
Setelah melalui perjalanan Panjang hampir selama 300 tahun atau 3 dekade, wajah pura Dhalem Cemeng kekinian sudah berubah secara fisik, akan tetapi secara religius masih tetap dalam pemujaan dan pemuliaan terhadap kebesaran Tuhan dalam manifestasi beliau sebagai Dewi Kemakmuran. Upacara-upacara agama pemuliaan beliau masih dilaksanakan pada setiap Buda Wage Klawu. Upacara-upacara dihaturkan dalam bentuk upakara yang disesuaikan dengan jaman kekinian, juga puja dan tata letak bangunan pelinggih mengikuti alur jaman. Beberapa pelinggih pendamping dibangun sesuai dengan kebutuhan, hal itu berkaitan dengan perubahan fungsi pura dari sebelumnya. Lumbung-lumbung yang menjadi cirri khas pura sudah semuanya terprelina, digantikan dengan pelinggih-pelinggih lain yang dianggap sesuai oleh para pengempon.

Bunga-bunga berwarna hitam yang dulu menghiasi bagian terluar dari daerah pura sudah hilang, seiring dengan ketidak tahuan para pengempon dengan sejarah pura yang sudah terjadi sebelumnya. Hal itu bisa dimengerti karena selama sekian dekade banyak hal-hal yang terjadi kadang diingat kadang hilang. Itu yang membuat semakin lama semakin hilang jati diri pura yang sebenarnya. Jaman sudah merubah banyak hal, tetapi dredha bakti para pengempon tidak pernah pudar.
Bab VIII
Sekilas Sejarah Trah Ngukuhin

Berawal dari kedatangan Mpu Gnijaya ke Bali pada tahun Saka 971 atau tahun masehi 1049. Dan berdasarkan silsilah dan keturunan Bhagawanta, Mpu Gnijaya merupakan putra sulung dari Dang Hyang Tanuhun. Beliau membuat asrama di Gunung Lempuyang Madya dan mempunyai putra : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadarma, Mpu Ragarunting, Mpu Pateka dan Mpu Dangka.
Mpu Dangka berasrama di Daha, beliau menurunkan putra bernama Mpu Wiradangkya berasrama di Daha. Mpu Wiradangkya menurunkan tiga putra, yang paling tua bernama Sang Wiradangkya, yang menengah bernama Ni Ayu Dangki, yang paling kecil bernama Ni Ayu Dangka. Sang Wiradangkya kemudian menuju Bali, berasrama di Gelgel. Beliau menurunkan empat putra, antara lain Ni Rudani, De Pasek Lurah Kedangkan yang berasrama di desa Slisihan Klungkung, De Pasek Lurah Ngukuhin, berasrama di Peguyangan Badung dan De pasek Lurah Gaduh, berasrama di desa Paminggir Gelgel.
De Pasek Lurah Kedangkan di Slisihan Klungkung berputra 4 orang, semuanya laki-laki, antara lain : I Pasek Taro, I Pasek Panida, I Pasek Bangbang dan I Pasek Banjarangkan. De Pasek Lurah Ngukuhin di Peguyangan Badung, mempunyai putra 3 orang anatara lain : I Pasek Nyalian, I Pasek Ngukuhin di Peraupan Peguyangan Badung dan I Pasek Pucangan. De Pasek Lurah Gaduh yang berasrama di Paminggir Gelgel menurunkan 2 orang putra, antara lain : I Pasek Gaduh di Blahbatuh dan I Pasek Gaduh di Watugiling.
De Pasek Lurah Ngukuhin yang berasrama di Peraupan Peguyangan Badung mempunyai 5 orang putra, antara lain : Pasek Ngukuhin Mospahit di Keramas Gianyar, Pasek Ngukuhin di Angantaka Badung, Pasek Ngukuhin Tengah di Buduk Badung, Pasek Ngukuhin Anggungan Gede Sempidi dan Pasek Ngukuhin Gamongan Singin Silamadeg. Pasek Ngukuhin Mospahit Keramas Gianyar mempunyai 7 orang putra, antara lain : Pasek Ngukuhin Kanginan di Tejakula, Pasek Ngukuhin Apwan Sangsi di Singapadu, Pasek Ngukuhin Bungbungan di Klungkung, Pasek Ngukuhin Tangsub di Celuk Gianyar, Pasek Ngukuhin Blahtanah di Batuan Sukawati Gianyar, Pasek Ngukuhin Kebon di Blahbatuh Gianyar, dan Pasek Ngukuhin Bona Kangin Belega. Pasek Ngukuhin Desa di Angantaka berputra Pasek Ngukuhin Munggu Mengwi. Pasek Ngukuhin Tengah di Buduk berputra 2 orang, antara lain :  Pasek Ngukuhin Sema Kediri Tabanan dan Pasek Ngukuhin Cekik Brengbeng. Pasek Ngukuhin Anggungan Gede Sempidi berputra Pasek Ngukuhin Yeh Gangga Sudimara. Pasek Ngukuhin Gamongan Singin Silamadeg berputra Pasek Ngukuhin Gamongan Singin Silamadeg (Sama seperti nama pendahulunya). Pasek Ngukuhin Kanginan di Tejakula tidak tercatat memiliki putra. Pasek Ngukuhin Apwan Sangsi di Singapadu berputra 2 orang, antara lain : Pasek Ngukuhin Pulugambang di Peguyangan Badung dan Pasek Ngukuhin Dangin jalan di Gowang. Pasek Ngukuhin Bungbungan di Klungkung juga tidak tercatat memiliki putra. Pasek Ngukuhin Tangsub di Celuk Sukawati berputra Pasek Ngukuhin Sambirenteng di Buleleng. Pasek Ngukuhin Kebon di Blahbatuh berputra 2 orang, anatara lain : Pasek Ngukuhin Pekuwudan Sukawati dan Pasek Ngukuhin Tegenungan Kemenuh. Pasek Ngukuhin Bonakangin Belega berputra Pasek Ngukuhin Dhalem Angantaka. Pasek Ngukuhin Munggu di mengwi berputra 3 orang, antara lain : Pasek Ngukuhin Kajanan Mengwi, Pasek Ngukuhin Dencarik Mengwi dan Pasek Ngukuhin Munggu Mengwi. Pasek Ngukuhin Singin Silamadeg berputra Pasek Ngukuhin Bebali di Brengbeng dan Pasek Nguuhin Manggis Mendoyo. Sedangkan Pasek Ngukuhin Blahtanah di Batuan, Pasek Ngukuhin Sema Kediri, Pasek Ngukuhin cekik Brengbeng dan Pasek Ngukuhin Yeh Gangga, sama-sama tercatat tidak mempunyai putra.
Pasek Ngukuhin Dangin jalan di Gowang berputra Pasek Ngukuhin Selat di Payangan. Pasek Ngukuhin Munggu di Mengwi berputra 3 orang antara lain : Pasek Ngukuhin Munggu berasrama di Munggu Mengwi, Pasek Ngukuhin Tengah berasrama di Delod Peken Payangan, dan pasek Ngukuhin Kawan berasrama sebelah barat pasar. Dalam perjalanan putra mahkota kerajaan Payangan yang selamat dalam uwug Payangan akibat serangan Den Bukit, kedua garis trah Ngukuhin inilah yang ikut serta mengawal beliau dari Munggu menuju Payangan, yang kemudian karena jasa-jasanya diberikan tanah untuk tempat bermukim dan sawah ladang yang cukup.



Bab IX
Penutup

Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu lewat berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugrah Beliau, memuja dan mensucikan Pelinggih Arcana Widhi, membangun dan memperbaiki Pelinggih Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial religius masyarakat setempat, adalah sebagian kecil bentuk Sradha Bhakti terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat kesadaran yang maha tinggi bahwa segala sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah berkat ciptaanNya, berkat pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai kekuasaan melebur. Konsep-konsep tersebut sudah terpatri dalam jiwa setiap masyarakat Hindu di Bali.
Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya merupakan salah satu jalan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan alam lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruhan bagian dari konsep Tri Hita Karana tersebut dipakai sebagai dasar kehidupan di Desa Pakraman. Hal ini diperkuat dengan adanya Kahyangan Puseh, Dhalem dan Bale Agung atau Kayangan Tiga. Wilayah Desa Pakraman juga dibagi menjadi tiga wilayah, atau Tri Mandala, yaitu Uttama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala.
Wilayah Desa Pakraman bagian Uttama Mandalanya terdiri dari Kahyangan Tiga sebagai wilayah yang disakralkan oleh penduduk, dipakai sebagai tempat melaksanakan prosesi upacara keagamaan. Madya Mandala adalah wilayah pemukiman, yaitu wilayah yang berada diantara sakral dan profan, karena menjadi tempat penduduk atau masyarakat beraKetutivitas rumah tangga. Nista Mandala adalah wilayah Pekarangan, Sawah, Teba dan sebagainya, merupakan wilayah profan tempat masyarakat melakukan aKetutivitas pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya.
Selain dari pura-pura yang termasuk dalam deretan Kahyangan Tiga, ada juga pura-pura khusus yang didirikan dan dilestarikan sebagai suatu tanda tentang terjadinya berbagai hal ditempat itu. Pura-pura itu sangat berkaitan dengan sejarah penduduk yang mendiami wilayah sekitar pura, yang sekaligus dipakai sebagai tanda bahwa di pura tersebut pernah terjadi suatu hal yang penting, yang disimpan dalam bentuk cerita dan mitos yang dipercaya sebgai sebuah kebenaran sejarah.
Pura-pura tersebut kebanyakan menyimpan cerita dan sejarah yang adiluhung, bisa merupakan pesan dari para leluhur agar para penerusnya berusaha mencari dan menelusuri kisah yang sudah terjadi sebelumnya.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Payangan, 29 Juni 2013