Rabu, 30 September 2020

REG 001 DHARMA WARNANA PURA ULUNSWI, APUAN, BANGLI.


 

DHARMA WARNANA

PURA ULUNSWI

APUAN, SUSUT, BANGLI

 

Om awighnam astu namā śidyam.

Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti mukti hitartwatam, prawaksyā tattwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanam, sirā ghranā stityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyam loka. Om nama dewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Ong kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah akam, janowa papā wināsayā, dirgha pramanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugerahaneng hulun, muncaranākna ikang tattwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, katkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagadhitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.

Sembah pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Ongkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugerahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bhuwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa pataka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugerahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.

BAB I

PENDAHULUAN

Buku Dharma Warnana Pura Ulunswi Apuan disusun karena dorongan yang sangat kuat guna melakukan pencatatan tentang keberadaan Desa Adat Apuan, Subak Gede Apuan dan Subak Gede Bekutel serta Pura Ulunswi Apuan dari jaman ke jaman serta berbagai usaha masyarakat Gebog 300 menjaga kekuatan spiritual Pura Ulunswi Apuan. Dharma Warnana, berasal dari kata Dharma yang berarti Kebenaran, Warna yang berarti fungsi utama dan Hana yang artinya Keberadaan atau Sejarah. Bila digabungkan menjadi "Sejarah beserta fungsi utama Pura Ulunswi Apuan yang mengandung kebenaran". Keberadaan Pura Ulunswi Apuan dan Gebog 300 akan coba dipaparkan sesuai dengan jamannya, agar pembaca tidak tersesat dalam memahami sejarah keberadaan Pura Ulunswi Apuan, budaya, agama dan tata kehidupan dari waktu ke waktu hingga sekarang.

Tantra Samuccaya memaparkan dengan sangat jelas bahwa semua pura yang dibangun di Bali, besar maupun kecil selalu dibangun di daerah yang dianggap mengandung kesucian. Sastra kuno ini kemungkinan yang mendasari konsep pembangunan pura-pura di Bali selalu dibangun di daerah-daerah mata air, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, campuhan, di muara sungai, di puncak bukit atau gunung, lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa dan di kota-kota, atau tempat lain yang bisa menciptakan suasana bahagia bagi umat.  Departemen Agama Provinsi Bali pernah mendata pada tahun 2012, jumlah keseluruhan pura di Bali berjumlah 6.002 pelebahan, terdiri dari 4.356 Pura Kahyangan Tiga dan 723 pelebahan Pura Kahyangan Jagat dan tidak terhitung jumlahnya pura-pura Pemaksan, Swagina dan Paibon. Seorang ahli Purbakala yang bernama Bernet Kempers pernah melakukan penelitian terhadap pura-pura di Bali kemudian memberikan julukan fantastis Bali sebagai Land of One Thousand Temples, sehingga Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang menggabungkan unsur alam, budaya, seni, ekonomi, sejarah menjadi satu kesatuan yang saling bertautan. Menurut konsep Hindu, pura adalah simbolis gunung, Tuhan, Para Dewa, dan roh suci leluhur dianggap bersemayam di puncak gunung, sehingga gunung dipandang sebagai tempat suci. Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas pandangan bahwa alam ini tersusun menjadi tiga bagian yag disebut Triloka, yaitu alam bawah atau Bhur Loka, alam tengah atau Bwah Loka dan alam atas atau Swah Loka.  Dari banyaknya Pura yang ada di Bali, berdasarkan karakteristik atau fungsinya dapat di kelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu sebagai berikut: Pura Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina dan Pura Kawitan. Pura Kahyangan Desa adalah Pura yang disungsung oleh Desa adat terdiri dari Kahyangan Tiga yakni: Pura Desa atau Bale Agung tempat memuja Hyang Widhi dalam prabhawanya sebagai Dewa Brahma dan Dewi Bhagawati berfungsi sebagai Utpeti atau Pencipta, Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Wisnu sebagai Pemelihara atau Sthiti serta Pura Dalem tempat pemuja Siwa sebagai Pralina.  Selain Pura Kahyangan Tiga, beberapa Desa Adat juga menyungsung pura-pura khusus yang mempunyai kaitan sangat erat dengan sejarah berdirinya Desa Adat. Dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan, Pura Ulunswi Apuan termasuk kedalam katagori Pura Swegina, karena disungsung oleh Gebog 300 yang tergabung dalam Subak Gede Apuan dan Subak Gede Bekutel dan berkaitan erat dengan sejarah berdirinya Subak Gede Bekutel dan Subak Gede Apuan serta Desa Adat Apuan. Sebelum pembahasan tentang Pura Ulunswi Apuan, ada baiknya kita masuk dahulu dalam wawasan sejarah yang mencakup Pulau Bali secara keseluruhan, mulai dari terbentukannya jagat raya secara mithologi yang dipaparkan oleh lontar-lontar Babad, Bancangah, Pariagem, Pengeling-Eling dan berbagai data lain yang ditulis secara tradisiaonal. Semua Sastra tradisional ini menyimpan berbagai kisah yang apabila diramu kedalam sebuah tulisan akan memperkaya cara berfikir kita tentang keberadaan Pulau Bali secara umum dan Desa Adat Apuan, keberadaan Pura Ulunswi Apuan serta tata kelola organisasi adat, kepercayaan, ekonomi, sosial dan budaya desa.

Pura atau kahyangan selalu dibangun di tempat-tempat yang dianggap suci seperti yang tertulis dalam kitab Tantra Samuccaya, antara lain: di Tìrtha atau Patìrthan, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai atau Campuhan. Di muara sungai, di puncak-puncak gunung atau bukit, di lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-pusat kota dan di tempat-tempat lain yang dapat memberikan suasana bahagia. Bernet Kempers, seorang ahli purbakala memberi julukan pulau Bali sebagai Land of One Thousand Temples, pulau dengan seribu pura. Menurut data Departemen Agama Provinsi Bali tahun 2012 di Bali terdapat 4.356 Pura Kahyangan Tiga dari setiap wilayah Desa Pakraman di Bali. Selain itu terdapat 723 buah pura kahyangan jagat dan 923 buah pura kawitan. bila ditotal keseluruhan maka jumlahnya mencapai 6.002 buah pura. Masih banyak ahli-ahli dunia memberikan julukan yang mendunia terhadap pulau Bali, sehingga Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang menggabungkan unsur alam, budaya, seni, ekonomi, sejarah menjadi satu kesatuan yang saling bertautan.

BAB II

MITHOLOGI DAN SEJARAH

II.1. Masa Kedatangan Maha Rsi Markandhya.

Pura Ulunswi Apuan merupakan salah satu dari ribuan kahyangan yang ada di Bali, berdiri di tengah-tengah hamparan sawah. tepat sekali kemudian difungsikan sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Dewi Sri, yang dalam khasanah Hindu diyakini sebagai dewi kemakmuran. Pura Ulunswi Apuan memiliki sejarah panjang dalam pendirianya, dimulai dari masa penyebaran faham Siwa Buda di Bali pada kisaran tahun 800 Masehi. Seperti yang dipaparkan pada bagian awal, Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya penguasa kerajaan Medang di Jawa Tengah mengutus seorang Rsi dari perguruan Markandhya dan para pengikutnya untuk menyebarkan agama Hindu ke seluruh Nusantara, Perjalanan Beliau dimulai pada bulan Oktober tahun 730 Masehi. Rsi yang dimaksud adalah Rsi Ing Markandhya yang kemudian dikenal di Bali dengan nama Rsi Markandhya. Perjalanan suci ini dimulai dari Gunung Wukir atau Damalung, berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi, berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang.

Pada masa ini dikisahkan sebagian besar para pengikut Rsi Markadhya pada kedatangan yang pertama membangun kuwu-kuwu atau desa-desa kecil sepanjang tepian sungai Ayung dan sungai Wos, memanjang dari utara ke selatan, diperkirakan juga menghuni berbagai tempat di daerah Apuan, terutama sekali wilayah tepian sungai yang masih sangat subur dan alami. Selain mengajarkan tentang ilmu ke-Tuhanan beliau juga mengajarkan cara bercocok tanam yang baik dengan penyelarasan unsur-unsur alam yang diberdayakan dengan keyakinan apabila alam harmonis akan mampu memberikan banyak hal kepada mahluk penghuninya. Dalam usaha membangun perkampungan dan areal pertanian di desa Puwakan ini diperkirakan mulai ditata sistem organisasi pertanian di daerah Taro, Payangan, Kedewatan, Ubud juga Apuan yang dikenal dengan nama Subak hingga sekarang. Selain menata daerah, beliau juga menata kehidupan spiritual Ke-Tuhanan dalam bentuk wujud atau lambang. Setiap memulai membuka wilayah baru dilaksanakan upacara atau Wali di daerah garapan yang diyakini sebagai tempat yang paling suci untuk melaksanakan upacara. Guna mengingatkan tempat-tempat suci itu agar tetap utuh tidak beralih fungsi, maka ditandailah tempat-tempat suci tersebut dengan cara menumpukkan batu-batu atau menanam pohon-pohon suci.

II.2. Dinasti Warmadewa dan Wangsa Jaya sebagai Penguasa Bali.

Raja dinasti Warmadewa pertama di Bali adalah Shri Kesari Warmadewa (yang bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha) yang dikenal juga dengan gelar Dalem Selonding, datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10 dari Sriwijaya (Sumatra) di mana sebelumnya pendahulu beliau telah berhasil menaklukkan Tarumanegara pada tahun 686 dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara Jawa Tengah (Semarang sekarang). Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan raja berwangsa Syailendra (dinasti Warmadewa) terus berlanjut sampai ke Bali. Di dalam sebuah kitab kuno yang bernama "Raja Purana", tersebutlah seorang raja di Bali yang bernama Shri Wira Dalem Kesari dan keberadaan dia dapat juga diketahui pada prasati (piagam) yang ada di Pura Belanjong di Desa Sanur. Prasasti ini berupa batu besar yang kedua belah mukanya terdapat tulisan kuno, sebagian mempergunakan bahasa Bali kuno dan sebagian lagi mempergunakan bahasa Sansekerta. Tulisan-tulisan itu menyebutkan nama seorang raja bernama "Kesari Warmadewa", beristana di Singhadwala. Tersebut juga di dalam tulisan bilangan tahun Isaka dengan mempergunakan "Candra Sengkala" yang berbunyi: "Kecara Wahni Murti". Kecara berarti angka 9, Wahni berarti angka 3 dan Murti berarti angka 8. Jadi Candra Sekala itu menunjukan bilangan tahun Isaka 839 (917 Masehi). Ada pula beberapa ahli sejarah yang membaca bahwa Candra Sengkala itu berbunyi "Sara Wahni Murti", sehingga menunjukkan bilangan tahun Isaka 835 (913 Masehi). Pendapat yang belakangan ini dibenarkan oleh kebanyakan para ahli sejarah. Dengan terdapatnya piagam tersebut, dapatlah dipastikan bahwa Shri Wira Dalem Kesari tiada lain adalah Shri Kesari Warmadewa yang terletak di lingkungan Desa Besakih. Dia memerintah di Bali kira-kira dari tahun 882 sampai 914 Masehi, seperti tersebut di dalam prasasti-prasasti yang kini masih tersimpan di Desa Sukawana, Bebetin, Terunyan, Pura Kehen Bangli, Gobleg dan Angseri. Memperhatikan gelar beliau yang mempergunakan sebutan Warmadewa, para ahli sejarah menduga bahwa beliau adalah keturunan raja-raja Syailendra di Kerajaan (Palembang), yang datang ke Bali untuk mengembangkan Agama Budha Mahayana. Beliau mendirikan istana di lingkungan desa Besakih, yang bernama Singhadwala atau Singhamandawa dan sangat tekun memuja para Dewa yang berstana di Gunung Agung dengan tempat pemujaan bernama "Pemerajan Selonding". Ada peninggalan dia sebuah benda besar yang terbuat dari perunggu, berupa lonceng, yang didatangkan dari Kamboja digunakan untuk memberikan isyarat kepada para Biksu Budha untuk serentak melakukan puja di biaranya masing-masing. Benda itu kini disimpan di Pura Penataran Sasih, Pejeng, dan sangat disakralkan oleh penduduk sekitar. Pada masa pemerintahaan Shri Kesari Warmadewa, kebudayaan berkembang dengan pesat, dengan bukti beliau mengerahkan para undagi untuk memperbesar dan memperluas Pura Penataran Besakih, yang ketika itu bentuknya masih sangat sederhana. Shri Kesari Warmadewa mengeluarkan banyak prasasti, seperti Prasasti Blanjong di Sanur, Prasasti Panempahan di Tampaksiring dan Prasasti Malatgede yang ketiga-tiganya ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 Saka atau bulan Februari 913. Selanjutnya Sang Ratu Sri Ugrasena memerintah di Bali antaratahun 915 hingga tahun 942 Masehi dengan pusat pemerintahan di Singhamandawa yang diperkirakan sejaman dengan masa pemerintahan Mpu Sindok dari Wangsa Isyana di Jawa Timur. Sang Ratu Sri Ugrasena, beliau tercatat mengeluarkan beberapa prasasti yang  berhubungan dengan berbagai kegiatan rakyatnya, antara lain mengenai pemberian anugerah, perpajakan, upacara keagamaan, pembangunan penginapan dan tempat pemujaan umum. Prasasti yang beliau keluarkan antara lain: Prasasti Sambiran A I, Prasasti Babahan I, Prasasti Srokadan A, Prasasti Pengotan A I, Prasasti Bantunya A I, Prasasti Dausa A I dan Prasasti Dahusa B I, juga Prasati Serai A I dan Prasasti Gobleg Pura Batur A. Semua prasasti tersebut ditulis dalam Bahasa Bali Kuno dan selalu diawali dengan tulisan

"Yumu Pakatahu Sarwa"

yang berarti

Ketahuilah oleh kamu sekalian

Minggu, 27 September 2020

hari ini terkirim ke kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, semoga bermanfaat



 

Register 0002.ydk.bali.2010 Salinan Lontar Pendestian (Pengeliyakan)

 


Salinan Lontar

PENDESTIAN

Giriya Gunung Payangan

 


Buku ini kami persembahkan kepada Keluarga besar saya di Nusantara yang mempunyai arah yang sama, menjaga kelestarian Adat dan Budaya, sebagai salah satu pondasi membentuk generasi muda yang selalu eling kepada kewajibannya lahir di Pulau Dewata.

 

Buku ini adalah bentuk usaha kami melasanakan kewajiban dalam usaha menyelamatkan sastra-sastra leluhur yang  hampir punah dan dianggap tidak bermanfaat.

Ijinkan kami memakai warisan ini sebagai kekayaan jiwa yang tidak pernah hilang sepanjang jaman

 

 

 

 

Salinan Lontar

PENDESTIAN

Giriya Gunung Payangan

 

 

Tim Yayasan Budaya Dharma Kawisastra Bali

 

Penasehat

Tjokorda Raka Kerthyasa

Hak Tulis

Ida Bagus Bajra

Editor

I Wayan Ginantra

I Wayan Yoga

I Nyoman Mandia

Penyelaras

A.A. Gde Smaraputra

I Wayan Wirana

Ni Komang Puspa

Design

I Made Sukadianto

I Nyoman Riawan

Penghimpun

A.A. Gde Suparyana

Ida Bagus M Kusuma

Ida Bagus Oka Manuaba

I Made Darmawan

 

Yayasan Budaya Dharma Kawisastra

Jl Raya Payangan No 12 Payangan

Payangan, Gianyar, Bali Kode Pos 80572

Email idabagusbajra@gmail.com

Tlp (0361)9080254, 081291454000, 087874644000


 

 

 

Yayasan Budaya Dharma Kawisastra

Jl Raya Payangan No 12 Payangan, Gianyar, Bali.

Tlp (0361)9080254, 081291454000.

Email: idabagusbajra@gmail.com

 

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu, Om Awignamastu Nama Sidham

Rasa bahagia tiada terkira serta ungkapan Puji dan Syukur kami persembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasi Beliau sebagai Hyang Saraswati, Dewanya Ilmu Pengetahuan, karena berkat limpahan anugrah beliau yang tiada terkira, kami mampu menyelesaikan buku kecil ini. Buku yang berjudul “Salinan Lontar Pendestian” ini memuat sekilas tentang upakara-upacara yang berkaitan dengan ritual Hindu Bali. Permohonan maaf juga kami haturkan kepada para Dewata-dewati yang telah bersatu dengan kebesaran Tuhan dan sudah bersetana di Arca, Prasasti, tembaga dan batu, karena kami sudah lancang menuliskan nama, menceritakan perjalanan beliau yang maha suci, semoga kami dihindarkan dari segala kutuk, papa dan upadrawa, semoga dilimpahkan anugrah kebahagiaan bagi kita semua.

Kami sangat yakin, masyarakat di Bali tidak akan bisa lepas dari Upacara dan Upakara karena sangat penting bagi kehidupan kita bermasyarakat, salah satu hal yang membuat Upacara upakara sangat penting bisa kita lihat dari fungsi ekstrinsik uapacara, sebagai pendidikan moral, sebagai pendidikan penalaran, sebagai pendidikan politik, sebagai pendidikan kebijakan, sebagai pendidikan perubahan, sebagai pendidikan dan keindahan. Upacara juga berperanan sebagai alat bantu ilmu antropologi, sosiologi, ekonomi, politik, hukam dan lain-lain. Upacara juga memiliki seni yang berisikan pengetahuan rasa yang memerlukan pemahaman dan pendalaman. Upacara tidak hanya mengupas tentang suatu gerakan dan perubahan yang tampak dipermukaan saja, tetapi juga mempelajari motivasi yang mendorong terjadinya perubahan itu.

Dengan terbitnya Salinan Lontar Pendestian” ini kami harapkan bisa bermanfaat bagi seluruh umat se-Dharma dan memupuk kesadaran tentang perjalanan para Rsi Agung yang sudah menjadikan keluarga Umat se-Dharma seperti sekarang ini. Sekaligus sebagai ungkapan terima kasih para generasi muda yang tidak terkira, atas semua bentuk harta karun yang sudah diwariskan kepada seluruh generasi penerusnya. Harta karun yang tiada terkira, berupa ajaran-ajaran suci keTuhanan, etika bermasyarakat dan moral yang mendasari kehidupan di masyarakat.Yang terpapar dihadapan pembaca sekarang ini, kami sadari jauh dari sempurna, itu disebabkan karena keterbatasan kami diberbagai hal. Juga seperti kata bijak buku kecil ini dibuat untuk menjawab rasa bakti Umat se-Dharma dalam memelihara kekuatan spiritual jiwa yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan waktu.

Dalam penyusunan buku ini kami banyak sekali menemui hambatan-hambatan, diantaranya keterbatasan waktu, dan sedikitnya data yang bisa kami dapatkan, tetapi dengan tuntunan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, juga bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga kendala yang kami hadapi bisa teratasi. Harapan kami, semoga buku kecil ini bisa memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca, khususnya Umat se-Dharma dimanapun berada. Kami sadar bahwa buku kecil ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, untuk itulah kepada para pembaca dan para pengelingsir, penulis meminta sumbangsih, kritik, saran dan masukan-masukan, demi perbaikan buku ini dimasa yang akan datang. Apabila ada kesalahan yang kami buat, dengan kerendahan hati kami meminta maaf.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

 

Salinan Lontar

PENDESTIAN

Murda Lontar

: Pendestian

Wit Lontar

: Banjar Galiran

Kapupulan olih

: Gedung Kirtya Singaraja

No Keropak

: III.c. 2694

Kasalin olih

: Ni Made Sarini

Puput

: 8 Maret 1971

Kasalin malih

: Ida Bagus Bajra

Asrama

: Giriya Gunung Payangan

Kajilid olih

: YDK Bali 2012

 

 

1.a. Om Awigenamastu nama swaha,

Iki Pandestian, srana kaun tendas jelema, metatakan daluwang kertas, ayam biying bang mapanggang, ayam ika rajah tulangniya, rajah Bhatari Durga, daluwange merajah Kalika, ayam ika tekep antuk tulange, tanem ring lawang wong binaksa, iki sasapaniya nanem:

Mantra:

Ih, lamun kawasa urip, ayam magorok kawasa urip si anu, lah poma, poma, poma.

1.b.

Ong Bhatara Bayu tumitis ka mrecepada, masiluman Bhatarai Durgha, mangendih Sang Hyang Shiwa Guru, Gunan ira guna tunggal turunan sakeng Sunda dadi Daleming Majapahit ambrajaya ring Bali, malingga I Calonarang ring kepuh tunggul, endih murub makatar-kataran gunane Ki Calonarang matumpang sanga likur, tut terus tekeng ka suargan suralaya, geger gemuruh kang prawatek…

2.a.

Dewa Nawa Sangha, tumoning kesaktene Ki Calonarang angadakang grubug agung boros ngutah missing, Ong beteg tubug, angeres-ngeres, amukang swalakbala angulun-ulun ring marga agung. Angulati atma juwitan si anu ring gedong watu macakep. Ong Ki Calonarang adestar poleng mapapetet gringsing sumaguna, Ong akalung basanging wong

2.b.

meanting-anting atining wong smasaguwub jajaringaning wong, asuci rah, I Brahmana buncal aluwi luwih kesaktene Ki Calonarang angaji bhuta, Ong metu bhuta sategal, leyak desti sayuta, Ong metu sapranakaning kita sapeteng, ngaran, Sekar Sandat, I Sekar Gadung, I Mas Kumambang, I Gedung Waringit, I Sekar Taji, I Dus Bang, I Caling Gundil angulati atma juwitane si anu ring gedong watu macakep atma juwitane si anu, ring gedong watu macakep katur ring I Bhatarai Durgha.

 

3.a.

Apan inghulun I Calonarang, angatura atma juwitane si anu ring Bhatara Durgha, teka geseng atma juwitane si anu angrong-rong tengeh, kagla-gla andadi iris-iris poh, teka kipek-kipek, namu-namu apan aku Ki Calonarang, wenang aku aku angesenga atma juwitane si anu, tka geseng, tka geseng, tka geseng, lah poma.

Ong Calonarang kang angelekasang  sarwa wisesa sakeng Bali makeplug di gumi Mekah, makeplug ring suralaya, teka mundur, teka mundur, teka mundur. Ong Ki

3.b.

Calonarang ngelekasang sarwa wisesa, maprebawa gelap kilap, genter pater, genjong ikang akasa amuntang manting

Atma juwitane si anu, angadakang grubug agung, tumpur, tuju rumpuh, toro sabokosan, teka geseng, atma juwitane si anu satekaning sapakurenane kabeh

4.a.

Teka grubug sadina latekaning damuhmune si anu, tumus ka putu buyute si anu, teka geseng, teka lingsem, lah poma, poma, poma, Telas.

Iki Pandestian, srana: payuk anyar merajah Bhatari Durgha, nas jelema metapakan ring nini melanang wadon nyabit jelema, payuk ika medaging waja, rajah tampak dara, daluwang kertase rajah, ulantaga, taluh siap selem, tulang jelema, matali benang si datu ireng, tanem ring dalan.

4.b.

Ong idep aku Bhatara Durgha mayoga ring awak sianune, Ih Bhatari Durgha mageleh-geleh anyakitin si anu, mabur atmane si anu, teka edan, teka edan, teka edan, Ong, Ong, Ong, teka uteng atmane si anu, teka tumpur, geseng, geseng, geseng, yan tan wani mapas niwang ngawa kala, Ing Swara Ya Na Ma Swaha, yan tan edan mati si anu, yan tan mati nandang lara tan keneng tambaning balian. Ong Bhatari Durgha tumuruna nyakitin si anu angawe edanne

5.a.

Si anu, wastu mati edan si anu, yan tan edan, mati kita, mati, mati, mati, sidhi mantranku. Telas.

Iki Pangiwa ngaran Waringin Cemeng,

Mantra:

Ong idep aku Waringin Cemeng, metu aku ring Setra Pabajangan, alungguh aku ring pamuhunan setra Gandamayu angelekas ngranasika, metapakan aku tendas jelema sawarna tanganku kiwa tengen matapak Ki Butha Wisesa, sukun aku kiwa tengen

5.b.

Metapakan I Butha Gundil, wisesa sami tapakanku mremangsa ring manusa, manusa wenang pada ngananakune, apan Ni Waringin Cemeng sakti lewih, teguh kukuh aku kadi batu malumut tan akeneng tulak, luput aku teka kaseker, apan aku tanpa kayangan, wenang aku angeseng jelema manusa satus desa pada geseng, apan aku Waringin Cemeng mawisesa amatenin jadma manusa satus desa, wastu kita mati kabeh, teka mati, teka mati, teka mati,

6.a.

Teka geseng lebur geseng lilis matemahan dadi awu. Ong Ung Sang Hyang Waringin Cemeng sakti wisesa mangelekas I Waringin Cemeng kesaktian lewih tan anandingin kesaktiankune, angadeg I Waringin Cemeng, maketekan Merong - rongang roma mangled-

ledan Layah, mamusti dela delo ngarepin

sanggah kamulan agera luhur aku,

DAFTAR ISI

SALINAN LONTAR

PENDESTIAN

No

Isi

Hal

1

Pandestian

1

2

Pandestian

4

3

Pangiwa ngaran Waringin Cemeng

5

4

Pangesengan Wong Manusa

9

5

Pangesengan Sang Hyang Tunggal

13

6

Pandestian

13

7

Pamatuh Agung

14

8

Sakti Lewih

18

9

Pangolih Desti

21

10

Pangolih-olih

26

11

Kaputusan Aji Malayu

35

12

Panulak Papasangan

36

13

Kaputusan Sang Hyang Kresna

37

14

Kaputusan Jaran Ireng

37

15

Pangiwa

41

16

Pengondongan

42

17

Pangaji Wisesa

43

18

Pangijeng Karang

43

19

Pengraksa Jiwa Ring Sarira

47

20

Pamungkah Pengancing Lawangan

48

21

Pamungkah

48

22

Pengancingan

48

23

Pengancing Sarirane

49

24

Penganceng

49

25

Tatulak Tungguh

50

26

Penawar

51

27

Pamurung Tumbuwan

52

28

Pasupati

53

29

Sarining Raja Peni

53

30

Patelasin Wara Tastra

61

31

Kala Paha

62

32

Kaputusan Candra Bherawa

62

33

Kaputusan Macan Putih

64

34

Sang Hyang Tunggal

65

35

I Kutha Sakti

67

36

Pangraksa jiwaning lare

68

37

mantra Wisnu Spatika

68

38

jiwa penganti

69

39

sesapan ngamet tamba

70

40

Mantra nguling tamba

70

41

mantra masangan tamba

70

42

ratuning tatulak

70

43

panyangker

71

44

Dewa Kandapan

71

45

Pematuh

72

46

pewarah Bhatari Durga

72

47

Dewa Kandapan

73

48

Pamurna

73

49

Pematuh

73

50

Pangucur

74

51

Pemadang ati

74

52

Aji Maya Kresna

75

53

Piwalas

75

54

Sasrirep

75

55

Piwelas

76

56

Wisnu Panjarem

76

57

Mantram salwiring sembar

77

58

Pangejukan leyak

77

59

Iki Papak-Badeng

78

60

Patulak buta siyu

86

61

Mantran maturu pinaka taksu

87

62

Pasikepan

87

63

Pengeraksa jiwa

88

64

Pengasih

88

65

Pangenduh

88

66

Piolas piwelas

89

67

gelaring andewa seraya

89

68

kaputusan Empu Beradah

90

69

sarining panelasan Empu Pradah

92

70

kaputusan Sang Kumahem

92

71

Kaputusan Kaki Tuwa

93

72

pangelukatan pemali

94

73

tumbal pemali

95

74

perelinan pemali

95

75

Sang Hyang Yamaraja

95

76

Sang Hyang Yamaraja

97

77

Sang Hyang Wira mantra

99

78

Wisnu Panjarem

100

79

Durga Redana

100

80

Candra Berawa

100

81

Kaputusin Brahmana Lare

101

82

Manusa Wisesa

101

83

Pamatuh desti

102

84

Panyêngkêr

102

85

Pamandi mantra

102

86

Panawar knà upas

103

87

Pajajrih

103

88

Iki Gnah Kayanganya

103

89

Pajajrih kàla, muwah bhuthà dngên

103

90

Pamugpug Guna Bali Guna Sasak, Guna Jawà

104

91

Panglukatan

104

92

pangêñcêng bayu

105