Senin, 19 November 2012

RINGKASAN SEJARAH DHALEM BALI



Yayasan Budaya Dharma Kawisastra
Jl Pasar Payangan No 12 Payangan 80572
Tlp (0361) 9080254, 081291454000
Email: idabagus.bajra@gmail.com


RINGKASAN SEJARAH DHALEM BALI
DHALEM NGULESIR

1. Dalem Ktut Ngulesir Raja Gelgel I Pusat pemerintahan di Bali setelah pindah dari keraton Samprangan dipusatkan di Gelgel. Kraton tersebut diberi nama Sueca Pura. Afapun sebagai raja peretama di Kraton Sueca Pura amasih merupakan penerus dari dinasti Kepakisan yang turun temurun dari Majapahit. Beliau adalah I Dewa Ktut yang kemudian bergelar Dalem Ktut Ngulesir, karena dianggap sebagai pelanjut dinasti Kepakisan, maka raja ini juga bergelar Dalem Ktut Kresna Kepakisan yang memerintah selama kurang lebih 20 tahun ( 1380 - 1400) Menurut sumber-sumber tradisional, raja ini dikenal sebagai raja yang sangat tampan, karena diketahui memiliki tanda khusus (cawiri) berupa tahi lalat pada paha kanannya. Hal ini juga dianggap sebagai simbol kecakapan beliau di dalam memimpin rakyatnya. Bukti-bukti atau peninggalan Raja Dalem Ktut Ngulesir sebagai raja I di Gelgel sangat sulit ditemukan. Baik yang disebutkan oleh babad maupun sumber lainnya.

2. Dalemn Watu Enggong Raja Gelgel IISetelah Dalem Ktut Ngulesir mangkat, maka pemerintah Gelgel digantikan oleh putra tertua beliau yang bergelar Dalem Watu Enggong atau sering disebut Dalem Waturenggong. Pemerintah Dalem Waturenggong merupakan puncak kebesaran atau jaman kemasan Kerajaan Bali. Karena pada jaman Dalem Waturenggong, wilayah kerajaan Bali sudah meluas sampai ke Sasak (lombok), Sumbawa, Balmbangan dan Puger. Dalem Waturenggong adalah raja yang sangat ditajuti oleh raja Pasuruan dan Raja Mataram.Pemerintah Dalem Waturenggong pada abad XVI (sekitar tahun 1550 M ) merupakan awal lepasnya ikatan dan pengaruh Majapahit terhadap kerajaan Bali seiring runtuhnya kerajaan Majapahit oleh Kerjaan Islam.Pada masa Dalem waturenggong inilah, pernah terjadi sengketa antara Gelgel dengan kerajaan Blambangan yang dikuasai oleh Dalem Juru yang dipicu karena penolakan lamaran dari Dalem Waturenggong terhadap Ni Gusti Ayu Bas Putrid Dalem Juru. Pertempuran sngitpun terjadi, laskar bali yang dipimpin oleh Patih Ularan berhasil membunuh Dalem Juru raja Blambangan. Mengenai kepastian tahun pemerintahan dan peninggalan raja Dalem Waturenggong di Gelgel maupun Klungkung sangat sulit ditemukan dari sumber babad beberapa naskah baru (yang masih harus diuji kebenarannya, koleksi AA Made Regeg Puri Anyar Klungkung, meyebutkan masa pemerintahan Dalem waturenggong disebut dalam angka tahun 1400 - 1500. Sedangkan naskah yang ditulis oleh I Dewa Gde Catra, Sidemen - Karangasem menyebutkan tahun 1460 -1552 M). Memang kedua sumber tersebut tidak berbeda jauh, tetapi masih perlu diteliti kesalahannya.

3. Dalem Bekung Raja Gelgel IIIRaden Pangharsa yang kemudian bergelar Dalem Bekung adalah putra tertua Dalem Waturenggong yang akhirnya menjadi raja Gelgel yang ke 3, karena usianya masih sangat muda, maka pemerintahan sehari-hari di Gelgel diwakilkan kepada kelima pamannya yaitu Gedong Atha, I Dewa Nusa, I Dewa Pangedangan, I Dewa Anggungan, dan I Dewa Bangli.Masa Pemerintahan Dalem Bekung adalah awal kesuraman kerajaan Gelgel. Karena pada masa pemerintahannya ini pula terjadi banyak masalah dan kesulitan. Kerajaan -kerajaan Gelgel di luar Bali yang pernah dikuasai Dalem Waturenggong satu per satu melepaskan diri. Pemberontakan juga terjadi di dalam kerajaan yang dilakukan oleh Gusti batan Jeruk atas ajakan dari I Dewa Anggungan yang tiada lain adalah pamannya sendiri, pemberontakan Batan Jeruk nyaris meruntuhkan Gelgel, sebelum Arya Kubon Tubuh yang masih setia kepada Dalem mampu memadamkan pemberontakan Batan Jeruk.

4. Dalem Segening Raja Gelgel IVSetelah meredanya pemberontakan Batan Jeruk menyusul terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Krian Pande sebagai pembalasan atas kegagalan Batan Jeruk. Dan pemeberontakan inipun dapat dipadamkan dengan terbunuhnya Kareian Pande, karena situasi mulai kacau, maka oleh pembesar Kerajaan Gelgel diangkatlah I Dewa Segening sebagai raja menggantikan kakaknya Dalem Bekung. I Dewa Segening kemudian bergelar Dalem Segening. Dengan sukarela dan ihklas Dalem Bekung menyerahkan tahta kepada adiknya karena merasa dirinya tidak mampu mengemban amanat dari leluhurnya.Satu perubahan yang paling menonjol dari pemerintahan Dalem ZSegening adalah kembalinya kerajaan-kerajaan Sasak (Lombok), Sumbawa yang mengakui kekuasaan Gelgel. Dan satu hal yang penting adalah Dalem Segening mulai menyebarkan golongan ksatria Dalem hampir ke seluruh BAli. Dan gelar ksatria itupun sudah dibagi-bagi mulai status yang poaling tertinggi seperti Ksatria Dalem, ksatria predewa, kesatria prangakan dan ksatria prasanghyang..Sama seperti halnya pemerintahan Gelgel terdahulu, hampir tidak ada peninggalan yang dapat diinformasikan baik berupa dokumentasi maupun benda lainnya oleh penyunting sebagai bukti kebesaran Gelgel.

5. Dalem Di Made Raja Gelgel VSetelah masa pemerintahan Dalem Segening berakhir, akhirnya Gelgel diperintah oleh Dalem Di MAde sekaligus sebagai raja terakhir masa kerajaan Gelgel. Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dalem Segening tidak dapat dipertahankan oleh Dalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dalem Di MAde terlalu memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada pengabihnya I Gusti Agung Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya memilih untuk meninggalkan puri.Hal inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh I Gusti Agung MAruti untuk menggulingkan pemerintahan Dalem Di Made. Usaha ini ternyata berhasil, Dalem Di Made beserta putra-putranya menyelamatkan diri ke desa Guliang diiring oleh sekitar 300 orang yang masih setia. Disinilah Dalem Di Made mendirikan keraton baru.Hampir selama 35 tahun Gelgel mengalami kevakuman karena Dalem Di Made telah mengungsi ke Guliang (Gianyar). Sementara Maruti menguasai Gelgel. Hal ini justru membuat Bali terpecah-pecah yang mengakibatkan beberapa kerajaan bagian seperti Den Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan dan Bangli ikut menyatakan diri merdeka keadaan ini diperparah dengan wafatnya Dalem Di Made di keraton Guliang.Dengan wafatnya Dalem Di Made, membuat para pembesar kerajaan menjadi tergugah untuk mengembalikan kerajaan kepada dinasti Kepakisan. Hal ini dipelopori oleh tiga orang pejabat keraton Panji Sakti, Ki Bagus Sidemen, dan Jambe Pile, mereka akhirnya menyusun strategi unuk menyerang Maruti yang berkuasa di Gelgel. Penyerangan dilakukan dari tiga arah secara serentak yang membuat Maruti dan pengikutnya tidak sanggup mempertahankan Gelgel. Maruti berhasil melarikan diri ke Jimbaran kemudian memilih memukim di Alas Rangkan.


DALEM BEKUNG
SRI AJI PAMAHYUN BEKUNG / I DEWA PAMAHYUN
TAHUN 1560 M / TAHUN CAKA 1482

Dalem Bekung adalah putra tertua Dalem Waturenggong yang akhirnya menjadi raja Gelgel yang ke 3, karena usianya masih sangat muda, maka pemerintahan sehari-hari di Gelgel diwakilkan kepada kelima pamannya yaitu Gedong Atha, I Dewa Nusa, I Dewa Pangedangan, I Dewa Anggungan, dan I Dewa Bangli. Sri Aji Tegal Besung pada adalah putra bungsu dari Dalem Wawu Rawuh (yang pertama di Bali).

Masa Pemerintahan Dalem Bekung adalah awal kesuraman kerajaan Gelgel. Karena pada masa pemerintahannya ini pula terjadi banyak masalah dan kesulitan. Masa keemasan Gelgel mulai memudar pada masa pemerintahan Dalem Bekung (1550--1580 M) putra sulung Dalem Waturenggong , Kerajaan -kerajaan Gelgel di luar Bali yang pernah dikuasai Dalem Waturenggong satu per satu melepaskan diri.


PEMBERONTAKAN GUSTI BATAN JERUK

Ada beberapa versi yang menjelaskan mengenai pemberontakan pada masa pemerintahan Dalem Bekung

Versi Pertama

Setelah Dalem Waturenggong wafat maka putra beliau yang tertua Dewa Pamahyun/ Dalem Bekung dinobatkan sebagai Raja di Gelgel, namun pada saat itu usia beliau masih sangat muda sehingga paman paman beliau ingin mengambil kedudukan beliau sebagai Raja Gelgel.

Mengetahui hal tersebut I Gusti Agung Batan Jeruk sebagai patih agung yang merupakan orang kedua setelah raja mengambil prakarsa untuk mengamankan raja dari kemungkinan terjadinya pengambilalihan kekuasaan, karena itu I Gusti Batan Jeruk membatasi orang orang yang ingin bertemu dengan Raja.

Hal tersebut dirasakan oleh pejabat pejabat kerajaan yang lain sebagai suatu perebutan kekuasaan karena itu harus dilawan dan Raja harus diselamatkan. Oleh karena itu Kiyai Kebon Tubuh kemudin minta bantuan kepada Kiyai Manginte dari Kapal untuk mengembalikan kedudukan Dalem Bekung sebagai raja Gelgel.

Versi Kedua

Versi ini menyatakan bahwa I Dewa Anggungan yang merupakan paman dari Raja Gelgel sekaligus pendamping raja yang masih muda berambisi untuk menggantikan kedudukan sebagai raja, oleh karena itu beliau bersekongkol dengan Gusti Batan Jeruk untuk menggulingkan kekuasaan raja.

Versi Ketiga

Versi ini ditulis oleh Dr. Soegianto Sastrodiwiryo (Perjalanan Danghyang Nirarta) yang menyatakan bahwa terdapat suatu keyakinan bahwa keturunan Arya Kepakisan sebagai keturunan kesatria lebih memiliki hak untuk memerintah dari pada keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan yang berasal dari keturunan Brahmana.

Perasaan perasaan seperti itu muncul karena adanya kemelut didalam istana Kerajaan Gelgel yang diakibatkan oleh pertentangan politik dan hubungan percintaan. Raja Gelgel dianggap kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat dan terlibat dalam skandal skandal yang bertentangan dengan kehidupan sebagai seorang kesatriya. Maka timbullah ajakan dari para akhli waris Arya Kepakisan untuk bangkit mengatasi pergolakan dan adanya kesamaan kepentingan dari I Dewa Anggungan untuk berkuasa maka terjadilah perlawanan terhadap kekuasaan Raja.

Namun versi manapun yang dianggap benar yang jelas peristiwa perlawanan terhadap raja memang benar terjadi. I Dewa Pamahyun/ Dalem Bekung yang menduduki tahta kerajaan belum berusia dewasa sehingga belum mengerti cara cara menghadapi serangan musuh. Rupanya tindakan Gusti Batan Jeruk dilakukan tanpa memperhitungkan kekuatan lannya di luar istana Gelgel.

Kriyan Gusti Batan Jeruk sudah dinasehati oleh pendeta Budha sebagai bagawanta di Kerajaan Gelgel agar jangan sekali kali menyamai kedudukan Dalem sebagai penguasa di Kerajaan Gelgel namun nasehat tersebut diacuhkan oleh beliau. Demikianlah akhirnya pemberontakan tersebut dilakukan dengan menyerbu kedalam istana Gelgel oleh Gusti Batan Jeruk dan Dewa Anggungan dibantu oleh Kriyan Tohjiwa dan Kriyan Pande sebab Kriyan Pande merupakan satu keluarga dengan Gusti Bantan Jeruk terhitung menekan dari sepupu putra tertua dari Kriyan Dawuh Baleagung dan cucu Pangeran Akah.

Pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 1556 M tahun caka 1478, tidak dikisahkan betapa hebatnya pertempuran antara pendamping yang masih setia kepada Dalem dengan para pemberontak. Raja hampir hampir menderita kekalahan karena para menteri dan pejabat pejabat tinggi kerajaan hampir semuanya memihak kepada Gusti Batan Jeruk. Hanya Kyai Kebon Tubuh dan keempat pamannya yang masih setia kepada Dalem Bekung.

Tersebutlah Kriyan Dawuh Nginte yang bermukim di Kapal mendengar berita adanya pemberontakan tersebut, memohon ijin kepada ayahnya untuk membantu menyelamatkan Raja Gelgel. Setelah mendapat ijin ayahnya maka mulailah perjalanan beliau dengan pasukannya menuju Kerajaan Gelgel dengan diiringi oleh Kiyai Pedarungan Putra Kriyan Patih Tuwa.

Singkat cerita setelah Dawuh Nginte tiba di Istana Gelgel beliau kemudian membujuk para menteri yang semula berpihak kepada Gusti Batan Jeruk untuk kembali berpihak kepada raja. Usaha beliau berhasil sehingga para menteri tersebut akhirnya membatu Dawuh Nginte untuk berperang melawan Gusti Batan Jeruk.

Kriyan Dawuh Nginte tampil sebagai pimpinan pasukan diikuti oleh Kyai Panatyan, Kiyai Ngurah Tabanan, Kyai Tegeh Kori, Kyai Kaba Kaba, Kyai Buringkit, Kiyai Pering, Kiyai Cagahan, Kyai Sukahet dan Kyai Berangsinga. Mereka serempak masuk keistana untuk membebaskan dua putra Raja yaitu Dalem Bekung dan Dalem Segening yang ditawan oleh pihak pemberontak.

Kiyai Kebon Tubuh berhasil menyelamatkan Putra raja tersebut dengan melewati lubang tembok pagar tembus ke rumah Kryan Dawuh Bale Agung di sebelah barat pasar kemudian keluar dari Pikandelan. Tidak berselang beberapa lama datanglah Kriyan Batan Jeruk dan Dewa Anggungan dibantu oleh Kriyan Pande dan Kriyan Tohjiwa mengamuk secara membabi buta didalam istana. Adapun adik Raja Dalem Bekung seorang putri masih berada didalam istana dibunuh tanpa perlawanan.

Kriyan Pande bersama Kriyah Tohjiwa bermaksud untuk merusak pintu istana dengan kapak namun dapat dicegah oleh Kriyan Dawuh Nginte sehingga terjadi perang tanding diantara mereka. Kriyan Tohjiwa tewas dalam perang tanding tersebut dan Kriyan Pande menyerahkan diri.

Akhirnya pemberontakan Gusti Batan Jeruk dan I Dewa Anggungan dapat dipadamkan dan Gusti Batan Jeruk beserta sanak keluarganya melarikan diri dari Gelgel menuju ke arah timur dengan mengenakan kain lembaran sudamala. memakai kampuh sutera lumut dan menyunting sehelai bunga kembang sepatu. Demikian pula Dewa Anggungan ikut melarikan diri kearah timur.

Namun pelarian tersebut terkejar pasukan yang setia kepada Dalem sampai di desa Jungutan Bungaya Karangasem sehingga terjadilah perang tanding yang mengakibatkan tewasnya I Gusti Batan Jeruk. I Dewa Anggungan kemudian meyerahkan diri tetapi hubungan kekeluargaanya dilepas oleh keempat saudaranya dengan menurunkan derajat kebangsawanannya menjadi Sang Anggungan dan tidak diakui lagi sebagai Dewa.

Keluarga Gusti Batan jeruk lainnya seperti Kriyan bebengan, Kriyan Abian Nangka dan Kriyan Tusan terus menyelamatkan diri dari kejaran pasukan yang setia kepada Raja bersembunyi di dibawah tumbuh tumbuhan jawa yang diatasnya bertengger burung perkutut yang sedang berkicau. Karena terhindar dari bahaya tersebut maka maka keturunannya pantang makan jawa dan burung perkutut.

Setelah Gusti Batan Jeruk tewas maka sanak keluarganya tidak berani lagi tinggal di Gelgel mereka berpencar ke segala arah serta menyembunyikan indentitas dirinya (Nyineb Wangsa). Adalah Kiyai Agung Petandakan putra pertama pangeran Nyuhaya yang ikut melarikan diri kearah timur. Adapun janda Gusti Batan Jeruk dan anak angkatnya I Gusti Oka dapat meloloskan diri dan tinggal di desa Budakeling (Persraman Danghyang Astapaka).

Setelah sekian lama janda Gusti Batan Jeruk yang bernama Ni Gusti Ayu Singarsa dijadikan istri oleh I Dewa Karangamla yang merupakan penguasa daerah Karangasem, namun dengan syarat dikemudian hari anak angkatnya atau keturunannya diangkat sebagai penguasa di wilayah Karangasem. Syarat tersebut disetujui maka setelah dewasa I Gusti Oka menikah dan mempunyai 6 orang putra diantaranya Gusti Nyoman Karang yang setelah dewasa menikah dengan keturunan I Gusti Tusan melahirkan seorang putra bernama I Gusti Anglurah Ketut Karang ditetapkan sebagai Raja Karangasem. Pada tahun 1661 M beliau membangun Puri Amlapura yang terletak di Puri Kelodan sekarang, beliaulah yang menurunkan Raja Raja Karangasem dan Lombok.

Setelah pemberontakan Gusti Batan Jeruk dapat dipadamkan maka Kriyan Dawuh Nginte ditetapkan sebagai patih Agung merupakan keturunan Arya Kepakisan juga diberi julukan Ki Gusti Dawuh dan Dalem Seganing adik Dalem Bekung ditetapkan sebagai raja muda. Dalem Bekung kembali memerintah kerajaan Gelgel dibantu oleh adiknya Dalem Sagening karena Dalem Bekung kurang cerdas dalam melaksanakan pemerintahan.

Sesudah berselang beberapa lama dikisahkan Kriyan Pande menghadap Dalem Pamahyun untuk mohon ampun atas perbuatannya ikut serta dalam pemberontakan Gusti Batan Jeruk atas prakarsa Kyiyan Dawuh Manginte dan Kriyan Dawuh Baleagung ayah Kriyan Pande.

Dalem Bekung menyambut baik menyerahan diri tersebut dan memberikan pengampunan terhadap Kriyan Pande mengingat Jasa Kriyan Pande yang telah meyelamatan kedudukan Raja Gelgel. Kriyan Pande kemudian diberikan tugas sebagai kepala pasukan dalam pertempuran ke daerah Sumbawa berhasil dengan gemilang dan penyerangan Kerajaan Bali dari daerah Tuban menggunakan perahu layar kriyan pande tertembak giginya hingga rontok dan peluru musuh tersebut disemburkan dari mulutnya.

Beliau lalu mengangkat senjata sambil berteriak mudah mudahan peluru ini mengenai musuh dan Ki Gusti Nginte menimpali mudah mudahan berhasil dan saya akan mohonkan hadiah daerah sebelah timur sungai Unda. Peperangan ini berhasil dengan Gemilang dan atas permohonan Kriyan Nginte, Dalem Bekung kemudian menganugrahkan daerah sebelah Timur sungai Unda kepada Kriyan Pande.

Pada Jaman pemerintahan Dalem Pmahyun Bekung pola pikir beliau mengalami perubahan dengan tidak mau lagi menerima saran dan usul dari keempat pamannya yaitu I Dewa Geding Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli dan I Dewa Pagedangan karena masih bersaudara dengan Sang Anggungan yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dalem Bekung. Beliau memerintahkan keempat pamannya untuk keluar dari Istana Gelgel dan masing masing diberikan tempat pemukiman yang baru :
  • I Dewa Gedong Arta bersama keluarga pergi menuju Desa Manggis
  • I Dewa Nusa bersama keluarga menuju Desa Sibang
  • I Dewa Bangli pergi menuju Desa Bangli
  • I Dewa Pagedangan menuju desa Tohpati.
Dalem Pamahyun Bekung kemdian menyuting seorang putri bernama Sri Dewi Pamahyun dan tidak berselang beberapa lama beliau menyunting seorang putri lagi yang bernama I Gusti Ayu Samwantiga


DALEM DI MADE

Putra Mahkota dari Dalem Sagening setelah dinobatkan menjadi Raja di Kerajaan Gelgel bergelar Dalem Di Made atau Sri Di Made. Dalam kehidupan keagamaannya beliau lebih mengutamakan ajaran Siwa dibandingkan dengan agama Budha terbukti dalam kitab “Srat Raja Purana” gelar baginda disebutkan “Adi Paramartha siwa”. Sekalipun demikian beliau tidak mengabaikan ajaran agama Budha karena penduduk di Bali kebanyakan memeluk kudua agama tersebut yang dinamakan agama Siwa Budha.

Semasa beliau memerintah adalah Kiyai Agung Maruti yang menjabat sebagai patih Agung yang merupakan cucu dari Kiyai Widya, untuk jabatan Demung dijabat oleh Kiyai Kaler dan Tumenggung dijabat oleh Kiyai Babelod yang kesemuanya itu masih satu hubungan kekeluargaan. Patih Agung yang masih muda tersebut bertenaga seperti angin topan “ Maruti adalah nama lain dari hanoman yang merupakan salah seorang abdi Ramayana yang termasyur akan kedigjayaannya dalam perang melawan Rahwana.


PEMBERONTAKAN DI NUSA PENIDA

Menurut “Babad Blahbatuh” disebutkan bahwa semasa Pemerintahan Dalem Di Made telah terjadi pemberontakan terhadap kekuasaan kerajaan Gelgel di Nusa Penida oleg Dalem Bungkut. Untuk mengatasi pemberotakan tersebut Dalem Di Made kemudian menugaskan Ki Bogol/ Kyai Jelantik Bongahya untuk bertindak sebagai pimpinan pasukan Gelgel ke daerah Nusa Penida.
Laskar Gelgel bertolak dari pantai Kusamba dengan pasukan yang berkuatan 200 orang prajurit pilihan. Perjalanan Kyai Jelantik disertai oleh istrinya Gusti Ayu Kaler dan senjata sakti andalannya “ Ki Pencok Sahang”. Setelah menempuh satu jam perjalanan maka sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Jungut Batu. Disana telah menanti rakyat Nusa Penida yang tertindas oleh pemerintahan Dalem Bungkut di Nusa Penida dan kedatangan laskar Gelgel sangat diharapkan untuk membebaskan dirinya dari belenggu kekuasaan Dalem Bungkut.
Perlawanan Dalem Bungkut tidak berlangsung lama karena tidak mendapat dukungan penh dari rakyatnya sehingga memungkinkan Kiyai Jelantik berhadapan langsung dengan Dalem Bungkut. Dalam perang tanding tersebut Dalem Bungkut menderita kekalahan dan beliau tewas terkena sabetan keris sakti Ki Pencok Sahang. Sisa pendukungnya kemudian menyerahkan diri karena pimpinannya sudah tidak ada lagi. Keamanan dan ketentraman daerah Nusa Penida akhirnya kembali normal dan Kiyai Jelantik kembali ke Gelgel untuk melaporkannya kepada Dalem Di Made. Keberhasilan Kyai Jelantik memadamkan pemberontakan di Nusa Penida mendapat penghargaan dari Dalem Di Made.


EKSPEDISI KE WILAYAH BLAMBANGAN

Menurut ‘Kidung Pamancanggah” disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Dalem Di Made telah dilakukan pertemuan penting di istana Gelgel yang dihadiri oleh seluruh pemuka pemuka di wilayah Bali yang mana pertemuan tersebut membahas tentang perebutan wilayah Kerajajaan Gelgel didaerah Pasuruan yang dilakukan oleh Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Seperi diketahui bahwa pada Jaman Pemerintahan Dalem Waturenggong yang merupakan masa Keemasan Kerajaan Gelgel wilayahnya meliputi Pasuruan dan Blambangan di Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sumbawa. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa wilayah tersebut harus direbut kembali dan Dalem Dimade akan mengirimkan pasukan dalam jumlah besar untuk melaksanakan misi tersebut.

Adalah Kiyai Wayahan Pemandekan dan adiknya Kiyai Made Pemandekan anak Jawa Cokorda Winalwan Raja Tabanan Kiyai Pacung ditunjuk oleh Dalem Di Made sebagai pimpinan laskar Bali untuk membebaskan wilayah Blambangan dari pendudukan Kerajaan pasuruan Timur dengan kekuatan laskar 20.000 pasukan. Maka pada hari yang ditentukan yaitu sasih keempat Minggu pon berangkatlah pasukan dari Bali dengan persenjataan lengkap dan mendarat di pantai Jawa Timur.

Rupanya kedatangan pasukan dari Bali telah diketahui oleh Kerajaan Mataram sehingga pertempuran yang sengit bisa dihindarkan lagi. Pasukan dari Bali walaupun jumlahnya lebih sedikit namun tidak sedikitpun menunjukkan rasa takut mereka terus bertempur sampai titik darah penghabisan. Namun demikian karena kalah dalam jumlah pasukan maka Laskar Bali dapat dipukul mundur oleh Kerajaan Mataram.

Merasa kekalahan sudang diambang mata maka sebagai pimpinan pasukan Kiyai Wayahan Pemandekan memerintahkan adiknya Kiyai Made pemandekan untuk mundur dan segera balik ke Bali. Sedangkan Kiyai Wayahan Pemandekan terus bertekad maju ke garis depan tanpa memikirkan keselamatan dirinya. Beliau dikurung oleh ratusan prajurit Mataram, walaupun beliau kebal dan tidak terluka sedikitpu oleh senjata musuh namun lama kelamaan tenaga beliau habis sehingga jatuh lemas ditanah.

Pada saat itulah beliau berwasiat “ Semoga keturunanku kelak turun temurun tidak ada yang kebal agar tidak mengalami siksaan seperti yang kualami” Di Hadapan Raja Mataram beliau mengatakan bahwa beliau telah kalah dan sekarang menjadi tawanan dan sebagai seorang kesatria maka kekalahan harus ditebus dengan kematian. Beliau mempersilahkan Raja Mataram untuk membunh dirinya.

Raja Mataram termanggu dan kagum akan keberanian serta jiwa satria Kiyai Wayahan Pemandekan dan merasa yakin bahwa tawanan ini bukanlah orang sembarangan. Raja Mataram kemudian menyakan asal usul Kiyai Wayahan Pemandekan dan dijawab oleh Beliau bahwa beliau adalah anak dari Raja Winalwan yang berkuasa di Tabanan keturunan Arya Kenceng dari Kerajaan Majapahit.

Raja Mataram semakin tertarik akan prilaku tawanannya ini dan menawarkan kepada Kiyai Wayahan Pemandekan untuk tinggal di Mataram karena orang orang seperti inilah yang dibutuhkan oleh Kerajaan Mataram untuk mempertahankan wilayah kekuasaanya. Bahkan Raja Mataram memberikan anak perempuannya untuk dijadikan istri oleh Kiyai Wayahan Pemandekan agar kelak menurunkan putra putra yang perkasa seperti ayahnya. Demikianlah sejak itu Kiyai Wayahan Pemandekan tinggal di Kerajaan Mataram dan dari pernikahannya tersebut lahir seorang putra yang diberi nama Raden Tumenggung.

Dengan kekalahan tersebut maka gagal pula usaha dari Kerajaan Gelgel untuk merebut kembali wilayah Blambangan yang dulu dikuasai pada jaman pemerintahan Dalem Waturenggong dari tangan Kerajaan Mataram. 

Berita VOC menyebutkan bahwa pada waktu yang bersamaan wilayah Kerajaan di wilayah Timur yaitu Kerajaan Bima telah direbut oleh kerajaan Makasar dibawah pemerintahan Sultan Alaudin. Kerajaan Bali dibawah pimpinan Dalem Di Made pernah menjalin persahatan dengan Sultan Alaudin yang didesak oleh kepentingan bersama dalam rangka membantu desakan dari VOC yang semakin meluas di wilayah Nusantara. Dengan adanya peristiwa tersebut maka persahabatan antara Kerajaan Gelgel dan Makasar menjadi terputus pada tahun 1633.


PEMBERONTAKAN SAGUNG MARUTI

Setelah masa pemerintahan Dalem Segening berakhir, akhirnya Gelgel diperintah oleh Dalem Di MAde sekaligus sebagai raja terakhir masa kerajaan Gelgel. Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dalem Segening tidak dapat dipertahankan oleh Dalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dalem Di Made terlalu memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada pengabihnya I Gusti Agung Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya memilih untuk meninggalkan puri.

Hal inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh I Gusti Agung MAruti untuk menggulingkan pemerintahan Dalem Di Made. Usaha ini ternyata berhasil, Dalem Di Made beserta putra-putranya menyelamatkan diri ke desa Guliang diiring oleh sekitar 300 orang yang masih setia. Disinilah Dalem Di Made mendirikan keraton baru. Hampir selama 35 tahun Gelgel mengalami kevakuman karena Dalem Di Made telah mengungsi ke Guliang (Gianyar).

Sementara Maruti menguasai Gelgel. Hal ini justru membuat Bali terpecah-pecah yang mengakibatkan beberapa kerajaan bagian seperti Den Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan dan Bangli ikut menyatakan diri merdeka keadaan ini diperparah dengan wafatnya Dalem Di Made di keraton Guliang. Dengan wafatnya Dalem Di Made, membuat para pembesar kerajaan menjadi tergugah untuk mengembalikan kerajaan kepada dinasti Kepakisan. Hal ini dipelopori oleh tiga orang pejabat keraton Panji Sakti, Ki Bagus Sidemen, dan Jambe Pule, mereka akhirnya menyusun strategi unuk menyerang Maruti yang berkuasa di Gelgel.

Penyerangan dilakukan dari tiga arah secara serentak yang membuat Maruti dan pengikutnya tidak sanggup mempertahankan Gelgel. Maruti berhasil melarikan diri ke Jimbaran kemudian memilih memukim di Alas Rangkan.kerajaan Klungkung. Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang bernama Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan dari tangan pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap mempertahankan kemerdekaannya. Raja Klungkung, Dewa Agung, diposisikan sebagai pimpinan spiritual dengan gelar Susuhunan Bali dan Lombok.

……….oo (BJ)oo……..

Sabtu, 22 September 2012

AGAMA HINDU




MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya
berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi
menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda.
Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok
dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya
sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama
Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan
bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan
jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh
para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa
(Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat
untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan
hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi
penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap
penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh
kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke
Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari
India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan
lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama
Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan
dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam
penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti
seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada
membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci
dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan
Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang
diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya
perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya
untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi
lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

AGAMA HINDU DI INDONESIA

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat
diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad
ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai
di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai
kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu
didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman".
Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada
suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan
"Vaprakeswara".

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar,
misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno
ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab
Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah.
Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa
Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni
prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan
Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf
Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja
Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang
gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa
Wisnu"

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya
yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja
Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman
adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari
Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa
Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu.
Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih
muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa
Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,
diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa
sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja
Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi:
"Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa,
Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng
dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan
Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula
adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu
berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti
Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf
Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan
oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli
Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha
adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan
suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan
Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan
bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan
sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah
Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan
Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun
1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak
muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha,
Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan
Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah
Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan
kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan
Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa
Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan
Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku
Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di
Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan
adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa
Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa
Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu
agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada
masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya
sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan
melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan
sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan
adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan
atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura
Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali
(tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis
pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama
Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha
(Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang
sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci,
seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali
pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun
1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja.
Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di
SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di
Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme
tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan
pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian
pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan
Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam
Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan
pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali
dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan
menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya
menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.