Senin, 09 Juli 2018

Sinopsis Bukit Tedung Ulapan Oleh: Ida Bagus Bajra


Sinopsis
Bukit Tedung Ulapan
Oleh: Ida Bagus Bajra

Berawal dari mithologi zaman dahulu, Saat pulau Bali masih sepi hanya ada segelintir penduduk yang hidup dihutan-hutan dengan budaya nomaden atau berpindah-pindah. Budaya yang sangat sederhana membuat mereka tidak begitu faham tentang hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan mereka tentang keberadaan Tuhan. Oleh para ahli dikenal dengan budaya Animisme dan Dinamisme. Mereka menghuni gua-gua yang dekat dengan sumber mata air, sebagai sumber kehidupan mereka. Salah satu goa yang dihuni adalah goa di wilayah Bukit Tedung, hal ini diperkuat dengan adanya cerita rakyat tentang hidupnya "Raksasa" yang sering berkeliaran mencari mangsa para penari Rejang disekitar wilayah "Titi Bangsing" sebuah daerah yang tidak jauh dari Goa Bukit Tedung. Tahun 1976, sekelompok peneliti asing yang dipimpin oleh MR. Vlouthgroys melakukan penelitian dengan menelusuri goa, hingga keujungnya. menurut laporan team ditemukan beberapa relief kuno yang sangat sederhana di dinding-dinding goa. Ditemukannya tinggalan Sarkofagus (Peti mati yang terbuat dari batu padas) di wilayah Desa Kerta dan Desa bukian, semakin memperkuat keyakinan para ahli purbakala bahwa di sekitar Bukit Tedung Ulapan sudah dihuni oleh penduduk pada masa kuno.
Sastra tua Babad Pasek dan sastra Purana Bangsul menguraikan pada tahun 148 Masehi Gunung Tolangkir atau Gunung Agung meletus untuk pertama kalinya, kedua kalinya pada tahun 191 Masehi, kemudian pada tahun 196 Masehi. Berselang beberapa lama kemudian Sang Hyang Pasupati memerintahkan tiga putranya yaitu Bhatara Ghenijaya menuju gunung Lempuyang, Bhatara Mahadewa menuju Gunung Agung atau Besakih, Bhatari Danu menuju Ulundanu Batur. selang berapa lama ada lagi putera beliau yang diutus menuju Bali, antara lain: Bhatara Hyang Tumuwuh menuju Gunung Batukaru, Bhatara Hyang Manik Gumawang menuju Gunung Beratan, Bhatara Hyang Manik Galang menuju Pejeng dan Bhatara Hyang Tugu menuju Gunung Andakasa. Masing-masing dari beliau para Resi utama mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci tentang ke-Tuhanan yang menjadi dasar keyakinan umat di Bali hingga kini.
Pada Masa pemerintahan Raja Udayana dan Gunapriya Dharmapatni di Bali, ada lagi para pendeta suci dari Jawa yang diundang ke pulau Bali untuk melengkapi berbagai ajaran suci yang sudah diamalkan sebelumnya, antara lain: Mpu Mahameru sampai di Besakih pada bulan November tahun 990 Masehi, Mpu Gana sampai di Gelgel pada bulan April tahun 997 Masehi, Mpu Kuturan tiba di Silayukti pada bulan September tahun 1000 Masehi dan Mpu Gnijaya tiba di Besakih pada bulan Juli tahun 1058 Masehi. Masih banyak lagi para Resi suci yang hadir di pulau Bali untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan yang membentuk budaya Bali menjadi sangat khas. Wilayah Bukit Tedung dan sekitarnya merupakan areal suci yang penuh aura magis bersifat positif karena terbentuk dari zaman kuno Bali dan dilalui oleh garis perlintasan para Resi Suci dalam melaksanakan "Tirtha Yatra" atau perjalanan mencari air kehidupan. Salah satu dari sekian banyak sumber air suci yang disakralkan adalah air pegunungan yang keluar melalui celah goa di Bukit Tedung, dipercaya turun temurun berfungsi secara magis sebagai sarana menghilangkan segala bentuk kekotoran jiwa yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan jasmani maupun rohani. Juga berfungsi sebagai sarana penolak bala yang diakibatkan oleh ketidak seimbangan alam semesta. Yang paling penting sumber air ini diyakini sebagai sumber kesuburan dan ketentraman baik dalam keluarga, masyarakat maupun ditempat beraktivitas, tegalan, sawah maupun sungai. Pada Awal Abad ke 9, sekitar Tahun 910 Masehi, seorang pendeta dari Gunung Raung yang bergelar Resi Markandhya hadir di wilayah sekitar Besakih, selain mengajarkan faham Siwa dan Budha juga banyak mengajarkan konsep kehidupan kepada para pengikutNya yang tersebar bermukim disepanjang aliran sungai Wos Lanang dan Wos Wadon, termasuk juga wilayah Bukit Tedung. Ajaran beliau pada intinya memuliakan segala sumber air suci yang dikenal dengan nama faham Waisnawa atau Wisnu. Beliau mengajarkan kepada pengikutnya bahwa air adalah sangat penting dijaga kelestariannya, karena merupakan sumber dari segala sumber kehidupan manusia. Air mengisi sebagian besar wilayah alam semesta, juga tubuh manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.Pada tahun 1538 Masehi setelah keruntuhan Majapahit ada lagi Bali kedatangan seorang pendeta suci yang bergelar Dhang Hyang Nirartha beserta seluruh keluarga beliau. Dengan sangat sempurna beliau berhasil memperkenalkan faham Siwa Sidhanta yang juga menempatkan kedudukan sumber mata air dengan sangat sakral. Sehingga faham beliau dikenal juga dengan nama faham "Tirtha" yang artinya air suci, seperti nama agama Bali sebelum diresmikan oleh keputusan Menteri Agama RI sebagai Agama Hindu pada tanggal 5 September 1958.
Dilanjutkan kisahnya pada awal terbentuknya kerajaan di Payangan pada tahun 1735 Masehi,  raja pertama Payangan, Ida Dewa Agung Made Sukawati yang membangun banyak pura dan tempat suci lainnya di Payangan yang sebelumnya ditinggalkan oleh penguasa dari Carangsari. Mengetahui sebuah tempat yang sangat sakral di Bukit Tedung, segera beliau memerintahkan para pekerjanya untuk membangun akses jalan dan  sumber air suci di goa lereng Bukit Tedung. Goa dijadikan tempat sakral untuk bersemedi dan bermeditasi, mensucikan jiwa beliau memuja Sang Pencipta, setelah sebelumnya membersihkan badan di pancuran areal luar goa yang berjumlah 5, yang artinya sebagai sarana pembersih 5 jenis indria kita, mata, hidung, mulut, telinga dan kulit. Karena kegemaran beliau melaksanakan semedi dan meditasi di tempat-tempat sakral, terutama sumber air suci, selanjutnya beliau membangun lagi banyak "Beji" yang artinya sumber air sakral yang difungsikan sebagai tempat mensucikan jasmani dan rohani. Goa di Bukit Tedung dan sumber airnya yang terletak di arah timur laut istana Payangan kemudian dinamakan Taman Magenda atau Taman Bagenda yang artinya adalah tempat pesucian Dewa atau yang di Dewakan. Diarah barat laut istana dibangun "Beji Er Jeruk" pada tepian hulu Sungai Ayung. "Beji Sudhamala" dibangun di arah tenggara dari istana Payangan, sementara di arah barat daya istana dibangun "Beji Nyuling". Keempat "Beji" ini seakan-akan mengitari Istana Payangan, yang seakan-akan menyiratkan seluruh anggota dan masyarakat Payangan terdiri dari orang-orang yang suci secara jasmani dan rohani.
Pada masa kekinian, pada zaman modern "Beji Taman Magenda" masih sangat disakralkan oleh penduduk Payangan. Difungsikan secara turun temurun sebagai areal suci, sebagai sumber dari segala sumber kehidupan, sumber dari segala sumber kesucian jiwa dan raga, sumber dari segala sumber penghancur halangan dan rintangan hidup, pada intinya hanya dari wilayah yang bersih muncul sumber air bersih, dari wilayah suci muncul sumber air suci dan dari jiwa masyarakat yang bersih dan suci akan hadir kebahagiaan bagi penghuninya.
Tamat
Payangan, 9 Juli 2018