Senin, 24 September 2018

Pura Penataran Agung Pucak Antapsai Bon, Petang, Badung.










PURANA
PURA PENATARAN ANTAPSAI BON
Bon, Petang, Badung























Olih:
Ida Bagus Bajra










BAB I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugrahaneng hulun, muncaranākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
Karena sebuah rasa penuh tulus dan kecintaan terhadap alam, budaya serta kehidupan sosial masyarakat Hindu di Bali, berbekal keinginan mengabdi terhadap tanah kelahiran dilandasi dengan semangat bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur yang sudah menyatu di dalam rangkuman sinar suci Beliau, kami memberanikan diri meramu data-data yang ada didalam bentuk sebuah karya sastra yang sangat sederhana yang kami persembahkan sebagai yadnya kepada pembaca dan generasi penerus kita, agar bisa kelak dikemudian hari dipakai sebagai bahan kajian dalam menyusun karya sastra yang lebih sempurna.
Segala macam bentuk ketidak sempurnaan dan kekurangan memenuhi kata demi kata dalam buku ini, sehingga dengan kerendahan hati kami memohon berbagai petunjuk dalam usaha kami membuat buku ini mendekati sempurna. Karena kami yakin dalam era global ini, banyak hal yang harus bisa kita lakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan zaman, salah satu diantaranya adalah tentang sejarah. Sejarah yang ditulis dengan dasar metode penulisan yang benar, data penunjang yang kuat serta pemahaman yang dalam akan mampu membangun rasa cinta generasi terhadap tanah kelahiran serta yang bertumbuh dan berkembang di wilayahnya. Karena rasa cinta akan hadir apabila kita mengenal jati diri yang mencakup tentang berbagai pilosofi yang terkandung didalam kebiasaan kehidupan sosial budaya kita. Pada intinya kami berusaha menyelaraskan berbagai dasar budaya keagamaan kita yang terdiri dari Kuna Dresta, Loka Dresta dan Sastra Dresta dalam sebuah kajian yang bisa menggugah kesadaran kita tentang pentingnya berbagai kearifan lokal yang didukung oleh sastra agama Hindu dalam menjaga Sradha umat beragama. Semoga kemudian kita dan generasi mendatang bisa melewati masa-masa kritis sebagai penjaga Agama dan budaya warisan leluhur kita dahulu, agar perjuangan dan usaha yang sudah dilakukan semenjak dahulu tidak hanya menjadi cerita usang yang semakin hilang, hanya karena ketidaktahuan kita terhadap perjuangan mereka dahulu. Kita adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, karena sejarah adalah sumber pengetahuan yang merupakan satu-satunya media untuk mengetahui masa lampau, yaitu mengetahui peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau dengan perbagai permasalahannya. Peristiwa yang menjadi objek sejarah syarat dengan pengalaman penting manusia karena mampu membangkitkan imajinasi memperluas wawasan intelektual, memperdalam simpati, sebagai sarana ideal untuk mendidik masyarakat agar berpikir secara bebas mengajarkan kepada masyarakat cara berfkir mmeningkatkan kreatifitas dan memberikan pelajaran untuk mengenal dirinya sendiri. Sejarah juga menjadi sumber pendidikan penalaran, pendidikan moral, menciptakan kebijaksanaan, dasar pendidikan politik, perubahan, Pendidikan masa depan dan sebagai ilmu bantu untuk ilmu yang lain.
Semoga pikiran yang jernih mengalir dari semua penjuru arah angin, sehingga kita bisa memaknai setiap langkah dalam proses hidup di bhuwana agung maupun bhuwana alit sebagai sebuah keharusan yang sudah direncanakan oleh Sang Pencipta. Yang kekal adalah perubahan dan kebenaran utama hanya nilai-nilai spririt dan ritual yang mampu memaknai setiap perubahan sebagai sebuah kebenaran utama.



BAB II
ASAL USUL BALI
Zaman Bahari
Zaman bahari tatkala Nusa Bali dan Lombok masih dalam keadaan goncang, layaknya perahu diatas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada empat gunung di Bali, di bagian Timur gunung Lempuyang namanya, dibagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu sangat mudahlah Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini. Bhatara Hyang Pasupati sangat sedih melihat situasi Nusa Bali, maka segeralah Beliau memotong puncak gunung Mahameru, untuk dibawa ke Pulau Bali dan Lombok, Badawang Nala diperintahkan mengusung puncak gunung, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan dan menurunkan di Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih Kadasa (April) bulan mati (Tilem), rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11. Menurut analisa Team Sejarah dan Budaya Bali th 2012, cerita ini menggambarkan secara terselubung, Bhatara Pasupati yang dimaksud adalah seorang penguasa di pulau Jawa, Gunung Mahameru digambarkan sebagai ilmu pengetahuan, Bedawang Nala digambarkan sebagai dasar dari ilmu keagamaan, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki adalah aturan tentang pelaksanaan ilmu keagamaan tersebut. jadi bisa dianalisa sementara, bahwa pada sekitar  tahun 11 Saka, keadaan pulau Bali dan Lombok selalu bergolak, akibat belum adanya tatanan ilmu pengetahuan keagamaan yang mengatur penduduknya. hal ini yang mengerakkan hati seorang penguasa di pulau Jawa untuk menyebarkan ajaran agama dan ilmu pengetahuan ke Bali dan Lombok. ajaran suci itu berupa dasar-dasar keyakinan serta aturan-aturan pengikat masyarakat dalam melaksanakan kewajiban untuk bangsa dan agamanya. karena setelah ajaran agama dan ilmu pengetahuan itu diturunkan di Bali dan Lombok, kedua pulau menjadi tenang tanpa gejolak.
Selang beberapa tahun lamanya pada hari Kamis Kliwon wuku Tolu, pada Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, terjadi hujan sangat lebat disertai badai, guruh dan kilat sambar menyambar. Gempa bumi gemuruh membawa hujan selama dua bulan tidak putus-putus. Puncaknya gunung Agung (Tolangkir) meletus mengeluarkan air salodaka (air belerang) sangat banyak, pada hari Selasa Kliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember), kebetulan bulan Purnama, tahun Saka 31, tampak keluar Bhatara Hyang Puterajaya disertai adiknya Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat di sana bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu berparhyangan di Ulun Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di Gunung Lempuyang. Beliau bertiga diutus oleh Bhatara Hyang Pasupati untuk turun ke Bali, sebagai junjungan rak yat Bali sampai akhir zaman. Tahun Saka 896 kembali Bhatara Hyang pasupati mengutus murid-murid Beliau untuk turun ke Bali bertugas menyempurnakan tatanan kehidupan masyarakat Bali. Walaupun penuh dengan rintangan, segala kehendak Beliau akhirnya terlaksana.
Penyebaran Suku Bangsa Austronesia.
Sebelum kedatangan para Rsi Agung yang mengajarkan kehidupan beragama di wilayah Bon, keadaan hutan-hutan tropis yang lebat menjadi tempat bermukim yang ideal bagi orang - orang Autronesia yang berbudaya terbatas. Empat kerabat dari kelompok masyarakat yang kesehariannya memakai bahasa Austronesia, Tai-Kadai, Hmong-Mien Austro-Asiatik menepati wilayah Tiongkok bagian selatan antara tahun 2000 Sebelum Masehi hingga 1000 Sebelum Masehi. Bangsa Han yang mendiami wilayah utara Tiongkok menyerbu keselatan hingga mengusir penduduk Austronesia dan memaksa mereka untuk melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah Taiwan, kepulauan Asia Tenggara dan Samudra Pasifik lainnya. Migrasi yang bertahap dari penduduk Austronesia menjadikan mereka mendiami wilayah-wilayah yang berjauhan dan berkembang kehidupannya dimasing-masing wilayah, sesuai dengan kultur wilayah yang didiami, sehingga cenderung memiliki beberapa perbedaan walaupun mempunyai asal perkembangan yang awalnya sama.
Peta Penyebaran Ras Austronesia
Penyebaran penduduk dari Taiwan ke Bali diduga melalui Maritime Asia Tenggara, sehingga budaya dan Bahasa penduduk Bali berkaitan sangat erat dengan penduduk kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Oseania. Bila ditinjau dari ras dan penyebarannya, penduduk Bali merupakan ras Melayu Mongoloid dalam sub ras Deutro Melayu yang juga bermukim dan berkembang di daerah Bali, Jawa dan Banjar. Bali telah dihuni oleh bangsa Austronesia sekitar tahun 2000 sebelum Masehi yang bermigrasi dan berasal dari Taiwan melalui Maritime Asia Tenggara. Budaya dan bahasa dari orang Bali demikian erat kaitannya dengan orang-orang dari kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Oseania. Alat-alat batu yang berasal dari saat itu telah ditemukan di dekat desa Cekik di sebelah barat pulau Bali.
Ilmu Arkeologi yang khusus mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak membagi masa Pra Aksara atau Pra Sejarah menjadi 2 zaman. Para peneliti asing seperti: P.V. van Stein Callenfels, A.N.J. Th. van der Hoop, dan H.R. van Heekern membagi pembabakan zaman dalam ilmu Arkeologi menjadi 2 teori, yang diketahui dari berbagai penggalian dan penelitian terhadap benda dan alam zaman pra aksara. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak. Dari hasil penelitian para ahli arkeologi, maka tabir kehidupan masyarakat pra aksara Indonesia dapat diketahui. Berdasarkan penggalian arkeologi maka pra aksara atau prasejarah dapat dibagi menjadi 2 Jaman, yaitu Zaman Batu dan Zaman Perundagian. Pada Zaman Batu dibagi lagi menjadi 3 periode atau masa, antara lain Zaman Batu Tua atau Paleothikum, Zaman Batu Tengan atau Mesolithikum dan Zaman Batu Muda atau Neolithikum. Peninggalan-peninggalan Zaman Batu seperti Kapak Genggam, Kapak Sumatera, Pebble, Kapak Persegi dan Kapak Lonjong  belum ada yang ditemukan di daerah Bon sehingga untuk sementara bisa kita simpulkan bahwa daerah Bon Petang belum ada tanda-tanda terjamah oleh kehidupan manusia pada Zaman Batu yang berlangsung kurang lebih 700.000 tahun lamanya. Pada zaman ini alat-alat kehidupan manusia sebagian besar terbuat dari batu, kayu dan tulang. Sementara itu berdasarkan para ahli memakai metode Tipologi atau metode dengan acuan bentuk dan tipe benda peninggalan menjadi zaman Batu menjadi 3 periode, antara lain Zaman Batu, Zaman Logam atau Perundagian dan zaman Pra Aksara. Zaman Batu dan Zaman Logam tidak bisa ditentukan dengan pasti kapan mulai dan berakhirnya karena pada zaman logam alat-alat dari batu masih juga dipergunakan oleh penduduk. Para ahli membuat pedanan zaman logam hanya sebagai tanda bahwa sudah mulai dikenal oleh penduduk alat-alat yang terbuat dari logam. Peninggalan dari zaman ini banyak ditemukan di wilayah Bali, terutama sekali berbentuk perhiasan sebagai bekal kubur di beberapa sarkofagus. Masa berburu dan mengumpulkan makanan penduduk Bali lebih memilih untuk mendiami wilayah-wilayah pegunungan yang dekat dengan sumber air, selain berlimpah sumber makanan juga bagus dipakai sebagai benteng alam untuk menangkal serangan musuh atau binatang buas. Wilayah Pucak Bon diperkirakan sudah didiami oleh penduduk dalam jumlah yang terbatas pada masa ini, walaupun masih bersifat nomaden atau berpindah-pindah dari suatu wilayah ke wilayah yang lain. Pada era berikutnya penduduk mulai berupaya menyiapkan bahan persediaan makanan dengan bercocok tanam, meninggalkan goa-goa tempat tinggal mereka mereka sebelumnya dan mulai tinggal di dataran dengan rumah sederhana yang berbahan baku kayu dan bambu beratap kulit kayu atau rumbia. Peneliti Barat, B.J. Miggen dan Clifford Evan Jr dalam studinya tentang kehidupan di hutan-hutan teropis menyatakan bahwa hutan tropis di wilayah Bali tengah tidak berbeda jauh dengan keadaan hutan Tropis di Amerika Selatan. Perubahan perlahan-lahan terjadi dengan terbentuknya perkampungan-perkampungan kecil semacam Padukuhan dengan beberapa rumah kecil yang tempatnya tidak beraturan. Bentuk rumah di perkampungan Bali pada masa ini berbentuk kebulat-bulatan dengan atap rumbia yang menjuntai hingga ujungnya menyentuh tanah. Rumah-rumah kecil ini hanya bisa menampung beberapa anggota keluarga saja, tidak lebih dari 4 orang. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi penyempurnaan dalam bentuk rumah penduduk Bali, dimulai dengan bentuk rumah memanjang dengan memakai tiang yang jumlahnya disesuaikan dengan luas bangunan. Rumah-rumah berbentuk balai panjang bertiang ini banyak dibangun di daerah yang dekat dengan ladang, dengan tujuan untuk menghindari serangan binatang buas. Rumah ini bisa menampung beberapa anggota keluarga inti yang semakin berkembang kemudian. Apabila rumah tiang ini dibangun jauh dari ladang, penduduk akan meninggalkan kampung mereka pada masa tanam dan masa panen, mereka membawa serta anggota keluarga dan binatang peliharaan ke ladang-ladang. Di wilayah ladang mereka membangun gubuk-gubuk darurat yang dipakai sebagai tempat tinggal sementara, Setelah masa panen selesai mereka akan kembali ke rumah tiang. Semua rumah, baik yang berbentuk bulat, persegi bertiang atau gubuk di ladang-ladang dibuat dengan cara bergotong-royong oleh anggota Pedukuhan dengan upacara-upacara tertentu yang dipimpin oleh kepala Pedukuhan. Dari beberapa tinggalan benda purbakala di Pucak Bon dan sekitarnya diperkirakan penduduk terdiri dari ras Mongoloid dan ras Austromelanesoid  yang mengkonsumsi Keladi atau taro, colocasia esculenta sebagai makanan pokok disamping berbagai jenis buah, seperti analisa ahli Botani, C.H.M Heeren. Pada masa ini penduduk sudah mulai membuat irigasi sederhana untuk pertanian dan menjinakkan anjing, babi dan beberapa jenis ungas untuk berbagai kepentingan.
Dua orang Peneliti barat P.V van Stein Callefels dan H.R van Heekeren melakukan klasifikasi terhadap peninggalan Megalitik yang terdiri dari Menhir, bhatara-bhataran batu, pelinggih-pelinggih batu, jalanan batu berundak dan undak-undak batu berbentuk piramida untuk merekontruksi bentuk kehidupan pada masa bercocok tanam di wilayah Bon. Penelitian ini dilanjutkan oleh Profesor Doktor Raden Pandji Soejono pada tahun 1970 yang hasilnya kemudian memastikan bahwa penduduk sekitar Pucak Bon mulai mendiami wilayah sekitar Bon pada masa penduduk sudah mengenal bahan logam.
Wilayah Desa Adat Bon, kedinasan Desa Belok, Kecamatan Petang, Badung yang berada pada garis kordinat peta 08.25.29.32 Lintang Selatan  dan 115.22.79.19 Bujur Timur. Wilayah ini tidak bisa dipisahkan dengan perjalanan sejarah kuno Bali, karena Desa Bon sebelum menjadi sebuah desa yang tertata dengan baik, dahulunya masih berupa daerah hutan tropis yang berstruktur tanah sangat subur. Dengan sumber air yang melimpah, hawa yang sejuk dan lembab menjadikan wilayah Bon sebagai daerah yang sangat cocok ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman tropis hidup dengan subur, tanda-tanda kehidupan pada masa pra aksara hingga kini belum ditemukan oleh para ahli purbakala, di areal pura, tetapi peninggalan arkeologi banyak ditemukan disekitar pura, seperti di Pura Pucak Rinjani di Desa Sidan, Pura Gelang Agung di Buangga, Pura Puseh, Pura Pengubengan dan Pura Luhur Antapsai Bon serta banyak lagi tinggalan arkeologi yang sudah ditemukan tetapi belum terungkap atau terpendam di beberapa wilayah desa Bon dan sekitarnya. Ada dilakukan penelitian oleh  Pusat Penelitian Purbakala Dan Peninggalan Nasional Jakarta tahun 1977 tentang Tinggalan Arkeologi di Pura Luhur Entapsai dilaporkan oleh I Ketut Linus. Di Pura Luhur Antapsai terdapat tinggalan arkeologi berupa Lingga Yoni, Jero Mangku Dani menuturkan bahwa sebelum terjadi gempa bumi tahun 1917 Lingga Yoni yang terbuat dari batu berwarna hitam keabu-abuan  ini dilinggihkan di Meru tumpang 7. Lingga yang mempunyai tinggi 20 cm, tinggi bagian silinder 16 cm, berdiameter 13,5 cm, tinggi bagian segi delapan 4 cm masih dalam keadaan baik.
Pelinggih Meru Tumpang 7
Yoni dalam keadaan sudah retak dan tidak memakai cerat dengan ukuran tinggi keseluruhan 40 cm, kedalaman lubang 28 cm, sisi bagian atas 39 cm x 39 cm, tinggi sisi bagian atas 8 cm x 8 cm, sisi bagian bawah 50 x50 cm, tinggi sisi bagian bawah 9 x9 cm, tinggi pelipit bagian atas masing-masing sisi 4,5 x 4,5 cm, tinggi pelipit bagian bawah masing-masing sisi berukuran sama dengan pelipit bagian atas. sementara di halaman pura ditempat yang berbeda ditemukan lingga sebanyak 2 buah dalam keadaan masih utuh, terbuat dari batu yang berwarna hitam keabu-abuan. Diutara Pelinggih Lingga Yoni, Lingga yang ditemukan berukuran tinggi 41 cm, tinggi bagian silinder 15 cm, diameter 16 cm, tinggi bagian segi delapan 12,5 cm, lebar segi delapan 7,5 cm, tinggi bagian segi empat 13,5 cm dan lebar bagian segi empat 16 cm.
Lingga Yoni di Pura Pucak Antapsai Bon

Disamping lingga juga ditemukan 2 fragmen batu bulat panjang dengan masing-masing bagian berukuran tinggi 34 cm, diameter 16 cm dam yang satu lagi berukuran tinggi 25 cm dengan diameter 15 cm.
Dibagian barat Pelinggih Lingga Yoni juga ditemukan Lingga yang yang lebih kecil dari lingga disebelah utara pelinggih, berukuran tinggi 29 cm, tinggi bagian silinder 14 cm, diameter 10 cm, tinggi bagian segi delapan 6 cm, lebar segi delapan 7,5 cm, tinggi bagian segi empat 9 cm. diselah selatan lingga ditemukan Arca Nandi terbuat dari batu yang berwarna hitam keabu-abuan dengan keadaan badan masih terbilang baik, hanya sebagian dari bagian kepala ada yang retak.
Tiga Lingga di Pura Pucak Antapsai Bon

Arca Nadi ini berukuran tinggi dengan alas pada bagian depan arca 36 cm, tinggi dengan alas pada bagian belakang arca 29 cm, tinggi arca bagian depan 25 cm, tinggi arca bagian belakang 18 cm,  panjang alas arca 46 cm, lebar alas arca 26 cm, tinggi alas arca 11 cm, panjang arca bagian bawah 40 cm. Di Pura luhur Antapsai Bon juga ditemukan Fragmen Puncak Bangunan yang berbentuk seperti kuncup teratai dengan ukuran tinggi keseluruhan 42 cm, tinggi bagian dasar pelipit 22 cm, tinggi bagian sisi genta 5,5 cm, panjang pelipit atas 21 cm, tinggi bagian kelopak 14,5 cm, tinggi bunga 3 cm dan diameter bunga 19 cm.
Sementara itu di Pura Pengubengan pada lereng timur Gunung Bon, kira-kira sejauh 2 Kilometer dari Pura Puncak Antapsai Bon pada pelinggih Muncak Sari juga terdapat  sebuah Lingga Yoni berukuran lebih kecil dari Lingga Yoni yang ditemukan di Pura Pucak Antapsai, Lingganya terbuat dari batu hitam keabu-abuan dengan kondisi masih sangat baik.
Lingga dan Arca Nandi

Dengan ukuran tinggi bagian bulatan yang kelihatan 7 cm dengan diameter 10 cm. Semtara Yoninya yang tanpa cerat terbuat dari batu yang berwarna merah dengan bintik-bintik hitam dengan keadaan sedikit rusak. Berukuran tinggi keseluruhan 30 cm, sisi-sisi bagian atas 37 x 37 cm, tinggi sisi bagian atas 4 x 4 cm, sisi-sisi bagian bawah 39 x39 cm dan tinggi sisi bagian bawah 8 x8 cm. Yoni ini berisi batu berbentuk segi empat berlubang sebagai tempat Lingga dengan ukuran tinggi sisi-sisi 10 x10 cm dengan panjang keempat sisinya 23 x23 cm. Dari berbagai situs ini ilmuan Belanda  G.Y. Graden mengungkapkan tahun 1960, bahwa Pura Luhur Antapsai atau Pura Luhur Pucak Bon difungsikan sebagai Pura Kerajaan tempat memuja Siwa pada masa Kerajaan Mengwi yang ada pada tahun 1690 hingga tahun 1891 Masehi.
Bentuk Konsep Pertiwi

Lingga Yoni di Pura Pucak Antapsai Bon dikenal dengan sebutan Pejenengan yang artinya peninggalan para leluhur yang disucikan, sementara peninggalan purbakala yang ditemukan ditanah disebut dengan Pertiwi yang artinya sumber dari segala sumber hidup. Hal ini senada dengan wawancara khusus tim Peneliti dahulu dengan Pemangku Gede Dani. Menurut Pemangku Jero Wayan Rinten, Tapakan Ida Bhatara ini diyakini sebagai sumber pemberi kesuburan dan keselamatan hidup, dipuja sebagai Bhatara Sri Amretha oleh seluruh penduduk disekitar pura. Pura yang saling berhubungan satu dengan yang lain, bila diibaratkan badan manusia dan tingkatan alam semesta, Pura Luwur Pucak Antapsai Bon seperti Kepala atau Swah Loka  yang merupakan lapisan-lapisan dimensi alam positif, Pura Pengubengan sebagai Badan atau Bwah Loka tempat penyempurnaan lapisan-lapisan dimensi siklus samsara, siklus kehidupan-kematian dan Pura Penataran Antapsai sebagai Kaki atau Bhur Loka yang merupakan tempat penyempurnaan lapisan-lapisan dimensi alam negatif.
Selain dari ketiga Pura diatas, masih ada beberapa pura yang menyimpan tinggalan arkeologi antara lain: Pura Banua di Bilok Sidan ketinggian 1009 diatas permukaan laut berupa Yoni. Di Pura Bukit Belok Sidan, ketinggian 1121 diatas permukaan laut, ditemukan tinggalan situs arkeologi berupa Bebaturan yang terdiri dari susunan bebeatuan alam yang disusun sedemikian rupa dan arca kuno perwujudan Bhatari. Di areal Jaba Tengah dari Pura Desa Baleagung Belok Sidan ketinggian 991 diatas permukaan laut, ditemukan tinggalan situs arkeologi berupa sebuah Dolmen atau meja batu dan sebuah Menhir atau batu tegak. Di Pura Puseh Bon Belok Sidan ketinggian 1193 diatas permukaan laut, ditemukan tinggalan situs arkeologi berupa 3 kelompok bebaturan atau mretiwi yang berisikan susunan batu-batu alam, juga ditemukan tinggalan arkeologi diantaranya berupa 10 buah Lingga Yoni, sebuah fragmen Lingga, sebuah Lingga dari batu alam, 12 buah arca perwujudan Bhatara Bhatari, 5 buah fragmen arca, sebuah arca Nandi, 2 buah arca perwujudan binatang dan sebuah stamba. Di pura Taman Beji Penataran Agung Bukian yang terletak di desa Bukian Pelaga pada ketinggian 879 meter diatas permukaan laut, terdapat 3 buah lingga dan sebuah fitur petirtan. Di areal Pura Bukit Lawak daerah Lawak Belok Sidan yang terletak pada ketiggian 1096 meter diatas permukaan laut, terdapat sebuah arca perwujudan dan 2 buah lingga. Di areal Pura Puseh Lawak yang terletak di Lawak Belok Sidan pada ketinggian 1136 meter diatas permukaan laut terdapat Bebaturan yang berisi susunan batu-batu alam juga 11 buah Lingga, sebuah Lingga Yoni, 6 buah Fragmen Lingga, 2 buah arca perwujudan, 6 buah fragmen arca perwujudan, 3 buah arca berupa binatang dan 9 buah lingga terdapat di Pura Taman yang masih didalam satu area dengan Pura Puseh Lawak. Di Pura Manik Galih desa Nungnung Plaga yang terletak pada 902 meter diatas permukaan laut, terdapat onggokan berupa susunan batu-batu alam. Di Pura Penataran Jeruk daerah Selantang Belok Sidan yang terletak pada ketinggian 981 meter diatas permukaan laut, terdapat Bebaturan dengan susunan 2 buah batu alam. Sementara itu di Pura Pucak Rinjani daerah Selantang Belok Sidan yang terletak pada 965 meter diatas permukaan laut, terdapat Onggokan batu-batu alam yang tersusun juga 5 buah Lingga, 6 buah Umpak, sebuah Arca Ganesha, sebuah fragmen kaki arca dan sebuah fragmen arca perwujudan.
Di Pura Bet, wilayah Sidan, Belok Sidan yang terletak pada 969 meter diatas permukaan laut, terdapat tinggalan arkeologi berupa Batu Pipisan dengan Fragmen Arca, Fragmen Umpak dan Fragmen Menhir. Di Pura Pucak Gede yang terletak di wilayah Sidan Belok Sidan yang terletak pada 970 meter diatas permukaan laut, terdapat 2 buah onggokan yang terdiri dari susunan batu-batu alam. Di Pura Jugul wilayah Sidan Belok Sidan yang terletak pada 869 meter diatas permukaan laut, terdapat susunan onggokan batu-batu alam dengan sebuah Yoni, sebuah Fragmen Yoni dan sebuah Fragmen Lingga. Di Pura Bukit wilayah Penikit Belok Sidan yang terletak pada 773 meter diatas permukaan laut, ditemukan susunan batu-batu alam yang membentuk onggokan. DR Hooykas menyatakan bahwa gunung sangat berperanan pada konsep magis agama Hindu di Bali seperti yang dituangkan dalam wiracarita perburuan Tirtha Amretha atau pemutaran lautan susu dan perjuangan para Dewa melawan Raksasa atau Asura untuk memperoleh Amretha atau Air Kehidupan. Gunung pada wiracarita tersebut dipakai sebagai tongkat pengaduk lautan susu, konsep ini diyakini sebagai hal yang melandasi adanya bangunan petirthan di beberapa wilayah di Bali. Khusus pada situs Taman Beji Penataran Agung Bukian yang terletak dilembah sisi timur Banjar Kiadan dan sebelah barat desa Belok Sidan berada di sisi timur Pura Penataran Agung yang berbatasan dengan dinding lembah, tempat keluarnya mata air menuju kolam. Pada zaman ini merupakan lambang dari Siwa, berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat, khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki, terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, patung dewa, titik tuju pemujaan. titik pusat, pusat, poros, atau sumbu, seperti yang diaungkapkan oleh ilmuan kelahiran Utrecht Belanda, Prof Dr Petrus Josephus Zoetmulder. Sementara di Bali Lingga diidentikan dengan Linggih yang artinya tempat duduk, atau Linggih Dewa Siwa. Konsep Lingga diyakini berasal dari lembah Hindus pada awal peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-Weda dan pada masa Weda kemudian diyakini sebagai lambang Kesuburan. Sebuah sekte yang khusus memuja Lingga sebagai perwujudan Siwa berkembang ke Bali dari India Selatan dan India Tengah pada masa India kuno dengan nama Sekte Linggayat. Lingga tertua di Indonesia ditemukan pada prasasti Canggal di Jawa Tengah berangka tahun 732 Masehi, ditulis dengan huruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta yang indah, mengisahkan tentang pendirian Lingga diatas bukit daerah Kunjara Kunja oleh raja Sanjaya. Sekte Linggayat berkembang kemudian di wilayah Jawa Timur pada masa pemerintahan Gajayana tahun 760 Masehi di Kanjuruhan dengan nama sekte Siwa atau Siwaisme. Prasasti Dinoyo menyebutkan raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan di desa Kejuron berupa Candi Badut yang didalamnya ditemukan sebuah Lingga. Ilmuan Belanda Prof. Dr. Bram Kempers menuliskan tentang tinggalan Arkeologi pada masa kerajaan Majapahit berupa Candi Sukuh dan Candi Ceto di lereng Gunung Lawu Karanganyar Jawa Tengah, pada masing-masing puncak candi terdapat Lingga yang naturalis dengan tinggi 2 meter, yang kini tersimpan di Musium Jakarta, sebagai tanda bahwa pada zaman Majapahit di Abad 14 hingga 15 Masehi pemujaan Siwa dalam bentuk Lingga di candi-candi berhubungan sangat erat dengan upacara kesuburan. Lingga-lingga di Bali tersimpan dengan sangat aman di pura-pura tua, disucikan dan diupacarai sebagai sarana memohon keselamatan, kesuburan dan kesentosaan. Selain Lingga yang ditemukan di pura-pura sekitar Bon, lingga juga ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak diberbagai pura tua di Bali. Dalam kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ada disebutkan:
Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.
Artinya:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Diterangkan sebagai tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga Purana menyebutkan bahwa Lingga adalah simbol Dewa Siwa atau Siwa Lingga. Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah Lingga dan Dewa Siwa. Sementara itu didalam Siwaratri Kalpa disebutkan:
Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya.
Artinya:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya Siwalingga yang bersemayam di alam Siwa.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan  Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa. Bentuk Lingga yang ditemukan di beberapa daerah di desa Bon diyakini merujuk pada konsep Tri Loka dan Tri Murti dengan bagian Lingga, lapik segi empat dan Yoni tanpa carat. Menurut Gopinatha Rao, jenis Lingga di Bon berbentuk Tripushakara atau berbentuk seperti buah mentimun berdiri, beberapa ilmuan menyebutnya sebagai Ganapatya Lingga. Beliau dengan tegas memaparkan tentang jenis lingga di desa Bon merupakan Manusa lingga karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep Tri Bhaga yang Brahma bhaga  dibagian dasar, Wisnu bhaga pada bagian badan dan Rudra bhaga pada puncak Lingga. Pada awal abad ke 14 Masehi penggunaan Lingga dalam pemujaan mulai memudar, terutama di wilayah-wilayah yang dekat dengan pusat pemerintahan disebabkan karena pengaruh ajaran Tantri Bhairawa dan Dewa Raja. Lingga Yoni mulai digantikan dengan konsep Murti Puja yang memakai patung-patung Dewa sebagai sarana Pemujaan.




BAB III
Masa Hindu Buddha
Masa perkembangan faham Hindu Buddha di Nusantara terjadi sudah sangat lama, seluruh wilayah pulau Bali mengalami masa ini, terbukti hingga sekarang faham ini menjadi warisan yang tidak pernah hilang, demikian juga daerah Bon Petang. Pura-pura kahyangan yang berdiri megah di hampir semua pelosok Petang menjadi bukti bahwa faham ini masuk ke seluruh wilayah Bali kemudian berkembang sesuai dengan keadaan wilayah dan perkembangan budaya penduduknya. Tetapi sedikitnya peninggalan sastra yang bisa dibaca dan diteliti oleh para ahli membuat sulit memastikan era masuknya faham ini ke Bali. Keterbatasan sastra itu tidak mengurangi keinginan para ahli untuk melakukan penelitian, berbagai artefak, candi dan peninggalan-peninggalan arca Kuna yang ditemukan kemudian diteliti, sehingga dapatlah kemudian ditemukan teori masuknya faham Hindu Buddha di Bali.
Para pengungsi India.
Dikenalnya kerajaan-kerajaan Hindu Buddha di Nusantara, diungkapkan oleh para ahli sejarah dunia dimulai pada tahun 500 Masehi, di daerah Sumatera Utara. Kebanyakan kerajaan-kerajaan itu didirikan oleh para pengungsi dari India, terdiri dari kaum Bangsawan, Pendeta dan para pedagang yang menghindar dari kemelut yang terjadi di India. Para pengungsi India ini berlayar mencari daerah baru untuk bermukim sebagai tempat melanjutkan tradisi yang mereka anut dan yakini secara turun temurun.
Kerajaan-kerajaan kecil itu tersebar di beberapa wilayah di Sumatera Utara, dengan jumlah penduduk yang juga tidak terlalu banyak. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Kendahari, Pali, Malayu Sri Boja dan lain-lain. Para pengungsi India yang terdiri dari Bangsawan, Pendeta Rsi dan pedagang itu kebanyakan menghuni wilayah Kendhari dan Pali. Mereka menerapkan kebudayaan dan agama yang dianutnya dalam tatanan pemerintahan kerajaan, sehingga dalam waktu beberapa dekade daerah Sumatra Utara tertata dengan baik, aman dan tentram. Suasana aman tentram dan damai itu bisa bertahan di kerajaan-kerajaan kecil Sumatera Utara sampai sekitar tahun 682 sampai dengan tahun 686 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perkembangan Agama Buddha Nusantara.
Di Palembang berdiri kemudian sebuah kerajaan yang bernama Sriwijaya, nama kerajaan berasal dari bahasa Sanskerta yang mengandung dua suku kata: Sri dan Wijaya, Sri berati Cahaya, Wijaya berarti kemenangan. Cikal bakal keberadaan kerajaan yang terletak di seputar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang ini menurut catatan sudah ada pada tahun 500-an. Kerajaan ini terdiri atas tiga daerah utama: daerah ibukota yang berpusatkan di sekitar Palembang, lembah Sungai Musi dan daerah-daerah muara. Mengingat lokasinya, kerajaan ini diperkirakan menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim penting pada abad keenam.
Bahkan pada sekitar tahun 425 Masehi,  agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya yang berlokasi di Palembang menarik banyak sarjana dari negara-negara di Asia sebagai tempat belajar agama Buddha. Salah satu diantaranya adalah pendeta dari Tiongkok I Ching, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya ke Universitas Nalanda, India pada tahun 671 dan 695. Ia menuliskan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
I Ching banyak menulis tentang keberadaan Sriwijaya. Catatannya kemudian menjadi bahan penting untuk mengetahui keberadaan kerajaan ini. Selain catatan tersebut, bukti lain tentang keberadaan Sriwijaya bisa ditemui dari berbagai peninggalan. Antara lain prasasti. Prasasti yang menuliskan tentang Sriwijaya antara lain dibuat pada tahun 683 di Palembang. Namanya Prasasti Kedukan Bukit. Raja Sriwijaya, yang bergelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan penyerangan ke wilayah Malayu Sriboja keselatan dan dibagian utara wilayah Sumatera, juga menaklukan Kerajaan Tarumanegara. Diantara kerajaan-kerajaan Malayu, Kerajaan Kendari dan Kerajaan Pali juga dapat dikuasai, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit  yang berangka tahun 683 Masehi, Prasasti Talang Tuo bertahun 684 Masehi dan Prasasti Kota Kapur.
Hal itu yang kemudian membuat para bangsawan dan para Rsi memutuskan untuk meninggalkan wilayah Malayu Sriboja, tujuan mereka adalah mencari daerah yang baru di luar kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Para bangsawan dan Rsi yang dulunya berasal dari India tersebut menyingkir kearah timur dengan perahu sampai mendarat di wilayah Nusa Goh atau dikenal dengan nama Pulau Sapi. Di pulau inilah kemudian mereka mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil yang masih sunyi dan terpencil. Nama yang baru didirikan itu sama dengan sewaktu masih di Sumatera, yaitu kerajaan Pali yang berpenduduk sebagian besar beragama Buddha.
Kerajaan Kutai dan Mataram sebagai cikal Bakal perkembangan Agama Hindu di Jawa dan Bali.
Letak kerajaan Kutai berlokasi di daerah Kutai, Kalimantan Timur, keberadaan kerajaan Hindu pertama di Indonesia ini diterangkan oleh 7 buah prasasti yang berbahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa. Masyarakat Kutai pada saat itu belum mempunyai bahasa dan huruf yang baku, para ahli sejarah memperkirakan bahwa prasasti yang berbentuk Yupa mulai ditulis pada sekitaran tahun 400 Masehi. Pada salah satu Yupa dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi cikal bakal dari kerajaan Kutai adalah Kudungga yang dilanjutkan oleh Aswawarman dan pada masa pemerintahan Mulawarwan kerajaan Kutai mencapai masa kejayaanya.
Dalam sebuah prasasti dinyatakan bahwa Raja Mulawarman sudah melaksanakan upacara korban emas kepada rakyatnya. Dalam suasana kejayaan itu muncullah banyak golongan terdidik yang terdiri dari clan Ksatria dan Brahmana, dalam usaha pencerdasan itu, raja Kutai beberapa kali mengirim para cendikiawan untuk belajar Agama Hindu ke India dan daerah-daerah maju di wilayah Asia Tenggara, seperti yang termuat dalam buku  IPS Terpadu Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah karya Mamat Ruhimat, Nana Supriatna dan Kosim tahun 2006.
Kerajaan Kutai memiliki hubungan dagang yang sangat baik dengan India, hal itulah yang membuat semua prasasti di Kutai ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta yang merupakan hurup dan bahasa Hindu Selatan di India yang merupakan daerah asal agama Hindu-Buddha. Dengan perkiraan tertulisnya prasasti yang menceritakan tentang kerajaan Kutai pada sekitar tahun 400 Masehi, dapatlah disimpulkan bahwa Kutai adalah kerajaan Hindu pertama di Nusantara. Letak kerajaan Kutai di daerah tepi sungai Mahakam pada pertemuan sungai Mahakam dengan anak-anak sungainya itu yang membuat sungai Mahakam bisa dilayari oleh kapal para saudagar hingga ke Muarakaman, dengan lancarnya pelayaran para saudagar ini membuat perdagangan disepanjang sungai menjadi sangat maju. Penduduk Kutai pada masa itu terdiri dari Petani dan peternak sapi yang handal yang kemudian menjadi komoditi utama masyarakat Kutai.
Raja Mulawarman adalah raja yang paling masyhur di Kutai mempunyai ikatan sangat mesra dengan masyarakat dan golongan Brahmana, itu dibuktikan dengan upacara kurban Emas dan 20.000 ekor lembu untuk rakyat dan para Brahmana yang diceritakan dalam sebuah Yupa bertulis yang dibuat oleh golongan Brahmana Kutai. Adapun raja-raja yang pernah memimpin kerajaan Kutai antara lain Kudungga atau Dewawarman, Aswawarman, Mulawarman, Marawijaya Warman, Gajayana Warman, Tungga Warman, Jayanaga Warman, Nalasingha Warman, Rajanala Parana Tungga, Gadingga Warmandewa, Indra Warmandewa, Sangga Warmandewa, Candrawarman, Srilangka Dewa, Guna Parana Dewa, Raja Wijaya Warman, Sri Aji Dewa, Raja Mulia Putera, Raja Nala Panditha, Raja Indra Paruta Dewa dan Raja Dharma Setia.
Pada tahun 730 Masehi, secara resmi Sri Maharaja Sanjaya menjadi raja di pulau Jawa, kerajaanya disebut sebagai kerajaan Mataram, wilayah kekuasaanya meliputi seluruh pulau Jawa, kecuali tanah Sunda. Sri Maharaja Sanjaya mulai melakukan penaklukan-penaklukan ke daerah sekitar, seperti Sriwijaya, Lingor atau Thailand, Hujung Medini atau Malaysia Barat. Beliau juga dikenal sebagai Raja Rsi yang sangat gemar menyebarkan agama Hindu di daerah-daerah taklukannya, beliau yang memperkenalkan ajaran Lingga Yoni dalam penyebaran agama Hindu yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta kerajaan Mataram. Semua konsep pemerintahan beliau dapat kita lihat pada Prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah berangka tahun 732 Masehi dikisaran Tahun 730 Masehi.
Salah seorang Pendeta Kerajaan Mataram yang bernama Rsi Markandya pada tahun 730 Masehi melakukan perjalanan suci dari Pasraman Gunung Wukir di Damalung, tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi, kemudian berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang. Di lereng Gunung Raung di sekitar Desa Girimulya, Kecamatan Glenmore dan di sekitar Tirta Empul, di Jawa Timur ditemukan juga  peninggalan- peninggalan Kuna berupa arca-arca kecil pratima. Di antaranya arca perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984, arca Rsi Markandya seukuran ibu jari ditemukan tahun 1985, tempat Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, dua buah Bokor Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, Gentha Panditha dan tujuh bilah keris ditemukan tahun 1976. Kemudian ditemukan juga batu Andesit  diperkirakan dipakai untuk mengolah obat saat itu. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan kuna.
Didalam Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, dikisahkan seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang isteri, berputera dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya, berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, yang berbunyi :
Sang Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama
Sang Ayati berputera Sang Prana.  Demikian pula adiknya, yang bernama Sang Niyata, berputera Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristerikan Dewi Manaswini, berputera Maharsi Markandya. Selanjutnya Maharsi Markandya, beristerikan Dewi Dumara. Menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristerikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam pustaka Kuna Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, tentang asal-usul Maharsi Markandya. Pada hari yang baik, salah seorang murid Maha Rsi Agastya yang bernama Sang Ila putera dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan Tapa Samadhi di  Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut  Pegunungan Dieng. Seperti halnya Maharsi Markandya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau pegunungan Dieng di gunung Damalung.
Prasasti Dinaya yang berangka tahun 682 Saka, atau sekitar tahun 760 Masehi, menuliskan bahwa Maha Rsi Agastya yang mengembangkan ajaran Tri Murthi Paksa di Bhumi Nusantara ini, sebuah ajaran yang menyatukan Tiga Paksa, yakni Salwa Paksa, Brahmana Paksa, dan Waisnawa Paksa. Ajaran Tri Murthi Paksa inilah kemudian berkembang di Bali, dianut oleh hampir sebagian besar penduduk Bali. Karena beliau dianggap sebagai guru besar ajaran Tri Murthi Paksa, sebagai permulaan terbentuknya ajaran Hindu di Bali, beliau kemudian dikenal dengan sebutan Sri Bhatara Guru.
Kedatangan orang-orang Aga ke Bali.
Pada awalnya pulau Bali terdiri dari kelompok-kelompok kecil masyarakat yang membentuk desa-desa kecil dengan pemimpinnya masing-masing dihuni oleh penduduk keturunan Austronesia yang kemudian berkembang ke seluruh pelosok Bali, keturunan mereka menjadi orang Bali Mula yang lebih dikenal dengan nama orang Pasek Bali. Penduduk Bali yang awalnya tidak menganut agama, mereka melakukan ritual dengan cara menyembah para leluhurnya yang dikenal dengan sebutan Hyang. Karena sedikitnya ajaran-ajaran keTuhanan yang diajarkan di Bali, membuat pulau Bali sangat rendah kondisi spiritualnya. Keadaan yang dianggap kosong secara spiritual ini berlangsung hingga awal tarikh Masehi atau sekitar abad pertama Masehi.
Bali mengalami kekosongan spiritual cukup lama, sampai dengan kedatangan para Rsi dari luar pulau Bali yang datang ke Bali untuk mengajarkan agama Hindu dan cara memajukan sektor-sektor kehidupan para penduduk. Menurut Lontar Bali Tattwa, untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, kemudian datanglah seorang Maha Rsi ke Bali, beliau bernama Maha Rsi Markandya. Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah kurang lebih 800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung.
Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung atau yang dikenal dengan nama Gunung Tohlangkir, untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti Mranggi (Macan), Singa, dan Ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja, mereka kemudian mendiami wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Diantaranya kampung-kampung tua di sepanjang dataran subur yang diapit oleh dua aliran sungai, Sungai Wos Lanang dan Sungai Wos Wadon. Dataran yang membentang dari utara ke selatan dari Taro sampai Campuhan Gunung Lebah di Ubud. Sebagian yang lain menyebar kearah barat dan timur pulau Bali berdiam di daerah tepian sungai dan perbukitan yang menyimpan banyak sumber makanan dan sumber air.
Melihat keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandya memutuskan untuk kembali ke Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa murid-murid beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung. Maha Rsi Markandya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara dan tidak menanam Panca Datu.
Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan III, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di hutan. beliau mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan, Gianyar.
Tentang pembagian tanah dan kehadiran Maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek panditha Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Panditha prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Panditha Aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryan rumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan
Artinya :
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Panditha Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandhita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Bhatara semua, Sang panditha Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewa Yajnya dan Bhuta Yajnya, serta memuja Pertiwi.
Setelah selesai melakukan pangaci-aci atau melakukan upacara yadnya, maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara. Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tidak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandhya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar. Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa atau serba dan ada, jadilah serba ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada. Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi kemudian melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah barat. Pada satu lokasi yang masih asri. Di tempat baru itu Beliau mendapat petunjuk suci dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan, dan kini disebut Payangan. Jejak perjalanan Rsi Markandhya menelusuri tanah Bali Dwipa, banyak meninggalkan atau ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman. Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandhya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandhya menanam kendi yang berisi Panca Datu yang terdiri dari lima jenis logam mulia, seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lama kelamaan daerah pura Basukian dikenal dengan nama Besakih. Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah berhasil dengan baik merabas hutan, Maharsi Markandhya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian. Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandhya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan atau perwakilan Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Glanmore, Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali Sang Maha Rsi mendapat wangsit sebelum datang ke Bali. Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Gianyar. Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandhya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Sang Maha Rsi ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandhya melakukan yoga semadi, tempat itu selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan. Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandhya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat Sang Yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa
Artinya :
Juga di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandhya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan atau Payangan, sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci Murwa atau Purwa Bhumi. Pura dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali (Purwa) memberikan proses pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian. Setelah berhasil memberikan pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan sukses dalam mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat suci yang diberi nama Sukamerih yang artinya mencapai kesukaan.
Pura Pucak Payogan, adalah Tempat Yoga Semadi Mahayogi Markandhya. Dan Tempat ini tempat beliau moksa sebagai akhir penjalanan Dharmayatra beliau. Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandhya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan, Taro Tegalalang, Gianyar, sekarang, kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro, Ubud dan Payangan. Keturunan dari orang-orang Aga itulah yang sekarang disebut wong Bali Aga, atau Wong Bali Mula, sebagai penduduk asli Bali. Mereka itu tinggal di desa : Sambiran, Sangsit, Dausa, Cabongan,    Lembongan, (Nusa Penida), Cempaga, Tenganan, Kintamani, Sastra, Sidhatapa, Timbrah, Kedisan, Terunyan, Padarba, Kutapang, Batur, Kayubihi, Gobleg, Sental, Kawan, Bakung, Kayang, Bratan, Tigawasa, Bantang, Pangotan, Sukawana, Kembang Sari, Bayung, Ceking, Lampu, Kutadalem, Abang, Abianbase, Sambahan, Lot, Plaga, Blakiuh, Gadungan, Camangawon, Angkah, Marga, Tabuana, Pasekan, Pengalu dan lain-lain. Melihat situs dan Tinggalan yang banyak ditemukan di daeran sekitar Bon dapatlah ditarik kesimpulan bahwa, banyak penduduk Aga yang sebelumnya berasal dari Gunung Raung Jawa bermukim di Bon, mendiami wilayah-wilayah dengan sumber air yang melimpah. Berawal dari Kuwu dengan beberapa orang kepala keluarga, semakin lama semakin berkembang hingga membentuk sebuah Banua atau Desa dengan penduduk yang terdiri dari puluhan kepala keluarga.
Konsep desa masa penduduk Aga yang mengutamakan hulu Gunung sebagai pokok kehidupan bermasyarakat dan kehidupan religi tampak jelas pada penataan Desa Bon. Jalan desa yang membentang dari hulu ke hilir diapit oleh rumah-rumah penduduk diperkirakan memang berasal dari jalan kuno yang sudah diwarisi dari dahulu, walaupun kemungkinan masih berupa jalan setapak berbatu-batu. Kelengkapan faktor utama terbentuknya desa kuno masih sangat lengkap diwarisi hingga sekarang, mulai dari adat istiadat, bangunan-bangunan pelinggih pura, setra dan petirtan atau beji merupakan faktor utama yang dibuat oleh penduduk Aga dalam usaha awal membangun sebuah desa atau kuwu............................bersambung di 081291454000