Senin, 24 September 2018

Purana WANG BANG PINATIH Di Sangketan Penebel, Tabanan


Purana
WANG BANG PINATIH
Di Sangketan Penebel, Tabanan

Semoga tidak ada halangan yang merintangi
Sembah hormat dan bakti hamba kehadapan Bhatara Hyang Sinuhun yang sudah berupa Ong Karatna-mantra, Beliau yang maha suci dan sudah berlingga diantara Nilotpada Hredaya, dituliskan dalam prasasti tembaga maupun lepihan, sudah disucikan dengan mantra Sapta Gangga disempurnakan oleh sari-sari Astra-mantra, juga Pranayama, Dirgakrama serta keutamaan Sang Hyang Sarwajnyana, Brahmangga Wisnwangga Siwangga, yang merupakan sari-sari Tri tattwa, lengkap Puja Saprahara, berkumpul dalam sinar maha suci berasal dari dalam jiwa yang hening.
Hamba memohon anugrah agar mampu mengumpulkan berbagai tatwa dan purana utama, semoga hamba dijauhkan dari kutuk dan sapa oleh Ida Bhatara Hyang Mami, sehingga hamba mampu mendapatkan kebaikan, kebahagiaan dan kedamaian beserta seluruh keturunan hamba, bersama-sama hidup dalam suasana jagaditha, hingga akhir dunia nanti, Om Nama Siwa Ya
Dahulu kala ada sebuah kisah suci dari Para Dewata maha suci mulia dari Pulau Jawa yang melakukan perjalanan suci hingga sampai di Pulau Bali, inilah sebagai kisah awal Usana Jawa Bali dahulu kala. Diceritakan beliau yang suci mulia disebut dengan nama Sang Hyang Pasupati, menciptakan tujuh orang putera dari kekuatan tapa semadi, putera-putera Beliau tersebut dikenal dengan nama : Bhatara Hyang Gnijaya, berparahyangan di Gunung Lempuyang Luhur, Bhatara Hyang Puterajaya, berparahyangan di Gunung Tohlangkir, Bhatari Hyang Dewi Danu, berparahyangan di Ulun Danu Batur, Bhatara Hyang Tugu, berparahyangan di Gunung Andakasa, Bhatara Hyang Manik Galang, berparahyangan di Panataran Sasih Pejeng, Bhatara Hyang Manik Gumawang, berparahyangan di Gunung Bratan dan Bhatara Hyang Tumuwuh, berparahyangan di Batukaru. Ketujuh putera Bhatara Pasupati inilah yang kemudian menjadi asal dari semua asal Hyang di pulau Bali kemudian.
Sekarang diceritakan tentang keberadaan Ida Bhatara Hyang Gnijaya, beliau yang berparahyangan di gunung Lempuyang, setelah sekian lama kemudian ada putera beliau laki-laki berjumlah delapan orang, antara lain:  Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadarma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Mpu Dangka dan Mpu Kamareka
Beliau yang bergelar Mpu Witadharma, setelah sekian lama, ada putera beliau seorang, bergelar Mpu Wiradharma, beliau sangat sakti, bijaksana pengasih dan disayangi para Dewa, sangat pandai dalam mempelajari seluruh ilmu Tattwa Jnyana. Keberadaan Mpu Witadharma seperti layaknya bunga teretai yang sedang mekar, baunya sangat harum sehingga seakan-akan memenuhi pulau Bali. Setelah sekian lama kemudian, beliau mengambil seorang isteri yang sangat cantik rupawan, dari perkawinan itu Mpu Witadharma mempunyai 3 orang putera laki-laki yang masing-masing bernama Mpu Pastika, Mpu Panandha dan Mpu Lampitha. Ketiga putera ini sangat tampan dan gagah berani, pandai dalam berbagai jenis ilmu pengetahuan suci, sangat paham dengan tattwa-tattwa dyatmika, layaknya senjata Trisula Emas keutamaannya. Dihentikan dahulu kisahnya.
Sekarang dikisahkan tentang turunnya para Rsi Agung ke Pulau Bali, antara lain : Mpu Gnijaya, turun ke pulau Bali, pada hari, Kamis, Umanis, wara Dunggulan, tahun 971 Saka atau tahun 1049 Masehi, berasrama di gunung Lempuyang Madhya, bersama isteri beliau yang bergelar Bhatari Manik Geni. Mpu Sumeru, turun ke Pulau Bali pada hari Jumat Kliwon, wara Pujut tahun Saka 921, berparahyangan di Besakih. Mpu Gana turun ke pulau Bali pada hari Senin Kliwon, wara Kuningan, tahun Saka 922, berparahyangan di Gelgel. Mpu Kuturan yang juga dikenal dengan nama Mpu Rajakreta, turun ke pulau Bali pada hari Rabu Kliwon wara Pahang tahun Saka 923, berparahyangan di Silayukti Padang. Sementara Mpu Pradah tetap berparahyangan di pulau Jawa di desa Lemah Tulis Pajarakan, demikianlah ceritanya dahulu kala.
Diceritakan kini pulau Bali, saat pulau Bali dibawah pemerintahan seorang ratu yang bernama Ratu Gunapriya Dharma Patni, pada tahun Saka 915, suami beliau bergelar Sri Dharma Udayana Warmadewa, beliau memerintah dengan bijaksana bersama-sama, setelah sekian lama beliau menjadi raja suami isteri di Bali, Sri Ratu Gunapriya Dharma Patni mangkat pada tahun Saka 933, diupacara dengan pantas, abu beliau disimpan dan dipuja di sebuah tempat di Buruan Kutri yang sekarang dikenal dengan nama Bukit Dharma. Beliau dilinggakan pada sebuah arca pemujaan dengan nama Durgha Mahisa Sura Mandini, sangat dimuliakan karena dianggap dan dipercayai sebagai penjelmaan Ida Bhatari Umadewi oleh para penganut aliran Siwa. Sementara itu Sri Dharma Udhayana Warmadewa sebagai penguasa tunggal, akhirnya Baginda mangkat pada tahun Saka 940 atau tahun 1018 Masehi. Abu  beliau dimuliakan di Banyuweka. Beliau meninggalkan tiga orang putra, diantaranya: Sri Aji Erlangga kawin ke Jawa Timur, Sri Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Stana Utunggadewa, berkuasa di Bali antara tahun Saka 944 atau tahun 1022 Masehi dan Adik terkecilnya bernama Sri Aji Anak Wungsu. beliau juga menganugrahkan prasasti pada tahun Saka 911 atau tahun 999 Masehi. Hentikan dahulu ceritanya.
Kembali dikisahkan tentang Mpu Witadharma, setelah sekian lama berumah tangga kemudian mempunyai seorang putera yang bernama Mpu Wiradharma. Setelah Mpu Wiradharma cukup umur mengawini seorang wanita cantik rupawan yang bernama Dewi Girinatha, dari perkawinannya beliau mempunyai tiga orang putera laki-laki, masing-masing bernama: Mpu Pastika, Mpu Pananda dan Mpu Lampita. Mpu Pastika dan Mpu Pananda berasrama di Cilayukti melakukan yoga sangat taat dan melakukan dharma Sukla Brahmacari meniru halnya Mpu Kuturan. Sementara Mpu Lampita kemudian mengawini Ni Ayu Subrata, setelah lama perkawinan itu mempunyai seorang putera laki-laki yang bernama Mpu Wijaksara. Mpu Lampita membangun parahyangan di Gelgel pada tahun Saka 1189, pada masa pemerintahan raja Sri Hyang I Hyang Adidewa Lancana, yang dikenal juga dengan nama Sri Aji Mayadanawa oleh para musuhnya.
Pada masa pemerintahan raja Sri Hyang I Hyang Adidewa Lancana, Bali menjadi aman sejahtera, tidak ada kejahatan karena isi saripati segala tattwa agama menjadi dasar pemerintahan beliau, semua perintah beliau dituruti dan dihormati oleh rakyatnya, karena beliau terkenal sangat gagah perkasa serta sakti, bila diibaratkan seperti Hyang Harimurti turun ke bumi, selalu mengusahakan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya, hentikan dahulu caritanya.
Dikembalikan ceritanya. Sekarang dikisahkan Mpu Wijaksara yang berasrama di kota Gelgel, mempunyai putera laki-laki seorang dengan nama Mpu Jiwaksara, beliau juga dikenal dengan nama Ki Patih Ulung, beliau mempunyai dua orang putera laki-laki, yang tertua bernama Kyai Pangeran Smaranatha, isterinya bernama Ni Rudani. Adiknya bernama Kyai Pangeran Mas beristerikan Ni Wayan Manik Hyang setelah dewasa. Adapun I Gusti Rare Angon, dari istri beliau Ni Rudani melahirkan tiga orang putra, yakni: I Gusti Pasek Gelgel, I Gusti Pasek Denpasar dan I Gusti Pasek Tangkas. Sementara dari isterinya yang berasal dari Tohjiwa menurunkan putera tiga orang, yakni I Gusti Pasek Tohjiwa, I Gusti Pasek Nongan dan I Gusti Pasek Prateka. Ki Pangeran Mas, setelah sekian lama hidup berumah tangga bersama isterinya yang bernama Ni Wayan Manik Hyang, ada lahir dua puteranya laki-laki dan perempuan, kakaknya bernama Kyai Pangeran Mas, adiknya perempuan bernama Ni Luh Made Manikan. Hentikan dulu sementara ceritanya.
Kembali diceritakan sekarang saat raja yang memerintah di Pulau Bali bernama Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten, pada tahun Saka, 1259, beliau juga dikenal dengan nama Sri Gajah Waktra atau Sri Tapolung atau Sri Aji Beda Ulu. Pada masa pemerintahan paduka Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten, keadaan Bali sangat aman dan tentram, rakyat sejahtera tidak kurang sandang pangan dan papan, hal itu disebabkan oleh cara memerintah sang raja yang adil dan bijaksana, beliau juga sangat berwibawa, segala ucapan beliau menjadi hukum yang dilaksanakan oleh seluruh rakyatnya, tidak ada rasa takut beliau kepada para raja yang memerintah di Nusantara, beliau sangat dihormati karena kesaktian dan kebijaksanaanya.
Sri Tapolung yang bergelar Bhatara Asta Asura Ratna Bumi Banten, Sri Gajah Wahana menurut Babad Usana Bali Pulina adalah seorang raja sakti dari Bali yang bertahta di Bedahulu sebagai  Dhalem  pada  tahun  Saka 1250 atau tahun 1328 Masehi yang dalam Purana Bali Dwipa disebutkan Beliau merupakan putra dari raja suami isteri Sri Masula Masuli dari dinasti Warmadewa. Beliau sangat bijaksana serta adil dalam mengendalikan pemerintahan, taat dalam melaksanakan upacara keagamaan dan terkenal sebagai seorang pemberani serta sangat sakti. 
Juga dalam pemerintahannya beliau mengadakan pergantian sejumlah pejabat pemerintahan antara lain : Kesenepatian Kuturan yang dijabat Ki Dalang Camok diganti oleh Ki Mabasa Sinom, Kesenepatian Danda yang dijabat Ki Kuda Langkat-Langkat diganti oleh Ki Bima Sakti, Dibentuk kesenepatian baru yaitu Kesenepatian manyiringin di pegang oleh Ki Lembu Lateng. Perutusan Siwa rajamanggala yang dulu tinggal di Dewastana kini digeser ke Kunjarasana, Perutusan Pendeta Siwa Sewaratna yang dulu tinggal di Trinayana kini dipindahkan ke Dharmahanyar, Dang Upadyaya Pujayanta yang dijabat Pendeta di Biharanasi diganti oleh Pendeta Dang Upadyaya Dharma.
Dibentuk pejabat Makarun di Hyang Karamus yang dipagang oleh Ki Panji Sukaningrat, dibentuk 2 buah perutusan yaitu di Burwan yang dipegang oleh Sira Mahaguru dan di Buhara Bahung yang dipegang oleh Dang Upadyaya Kangka. Beliau juga mengangkat seorang Mangkubumi yang gagah perkasa bernama Ki Pasung Giri atau Ki Pasung Grigis yang tinggal di desa Tengkulak dekat istana Bedahulu di mana raja Astasura bersemayam. Sebagai pembantunya diangkat Ki Kebo Iwa atau dikenal pula dengan nama Kebo Taruna yang tinggal di Desa Belahbatuh.
Raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi Bali merupakan satu-satunya raja di Nusantara yang tidak bersedia tunduk terhadap kekuasaan Majapahit. Selain kesaktian beliau, pemerintahan Bali juga dibentengi oleh para patih dan tumenggung yang berjumlah sebelas orang dan terkenal keberanian dan kesaktiannya ke seluruh Nusantara.   Para pejabat tinggi kerajaan Bali itu antara lain: Ki Pasung Grigis, berasrama di desa Tangkulak, Ki Kebo Mayura berasrama di desa Blahbatuh. Ki Demung Udug Basur, Tumenggung Ki Kala Gemet, Ki Girikmana Ularan, berasrama di Bali Utara, Ki Tunjung Tutur berasrama di desa Tianyar, Ki Tunjung Biru berasrama di desa Tenganan, Ki Buwahan berasrama di desa Batur, Ki Tambyak berasrama di desa Jimbaran, Ki Kopang berasrama di desa Sraya dan Ki Kalung Singkal berasrama di desa Taro, tetapi pasukannya ada di Gelgel.
Beberapa saat kemudian mulailah terjadi perubahan yang sangat besar di Bali, diawali saat kerajaan Majapahit di Jawa semakin besar dan mulai melakukan penaklukan-penaklukan terhadap kerajaan kerajaan di Nusantara. Si Arya Damar dan Patih Gajah Mada, menerima perintah dari Sang Ratu Majapahit untuk menyerang dan menaklukkan Bali. Kidung Pamacangah menyebutkan bahwa Arya Damar sebagai penguasa bawahan Majapahit di Palembang yang membantu Majapahit dalam usaha menaklukkan Bali pada tahun 1343 Masehi  dengan memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara. Sementara Mapatih Gajah Mada menuju arah timur Majapahit, bersama keluarga dan prajuritnya yang gagah-gagah untuk menyerang Bali. Jumlah prajurit Patih Liman Mada berjumlah 15.000 orang bersenjata lengkap, semua pada terlihat gagah pemberani.
Pada saat mulai terlihat asap mengepul bergulung-gulung ke angkasa pulau Bali, pertanda Sang Arya Damar mulai menyerang prajurit Bali dari utara, perang dahsyat terjadi di daerah Ularan sampai sekitar tujuh hari tujuh malam tiada henti. Ki Pasung Giri yang memimpin pasukan Bali utara mengamuk, tidak terhitung pasukan Sang Arya Damar yang tewas dalam pertempuran itu, mayat bergelimpangan, bercampur dengan kuda dan gajah yang sedang meregang nyawa, keris dan tombak berserakan, juga perisai dan pedang.
Menyaksikan demikian banyak pasukanya yang tewas akibat amukan  Ki Pasung Giri, segera Arya Damar turun ke medan laga, menghunus keris dan berteriak layaknya singa marah yang lagi mengaum menantang Ki Pasung Giri. Terjadilah pertarungan dua ksatria utama itu, disekeliling pertarungan mereka berdua seluruh pasukan masing-masing masih terus bertempur dengan gagah berani. Setelah hampir bertarung selama dua hari, pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Arya Damar berhasil mengalahkan pasukan Bali pimpinan Ki Pasung Giri. Arya Damar juga kemudian berhasil menewaskan Ki Pasung Giri setelah menghujamkan keris pusakanya di lambung Ki Pasung Giri.
Setelah mengetahui Ki Pasung Giri tewas di tangan Arya Damar, mental pasukan Bali seketika hilang, banyak diantaranya yang gugur dan menyerah, tidak sedikit juga yang berhasil melarikan diri dari medan laga. Pasukan Arya Damar akhirnya berhasil menguasai daerah Ularan, bagian utara dari wilayah pertahanan kerajaan Bali. Prajurit Sang Arya Damar membangun benteng pertahanan dan pemukiman di desa Ularan. Setelah semua pembangunan benteng pertahanan selesai, Arya Damar kemudian meninggalkan desa Ularan menuju Majapahit untuk melaporkan keberhasilannya menaklukkan bagian utara Bali. Arya Damar kemudian mohon pamit untuk kembali menuju desa Ularan di Bali, diiringi dengan pasukan bala bantuan dari Majapahit yang dipimpin oleh Arya Kutawaringin. Arya Damar bertolak lagi ke Bali dengan pasukan pilihan yang sangat besar jumlahnya. Setelah berhasil melakukan pendaratan dan menggabungkan diri dengan sisa-sisa pasukan yang bertahan di desa Ularan, Arya Damar bersama-sama dengan Arya Kutawaringan segera mengadakan serangan ke kubu-kubu pertahanan pasukan Bali.
Pertempuran sengit terjadi lagi, masing-masing memperlihatkan ketangkasannya, gagah berani tanpa memperdulikan banyak korban yang jatuh, Arya Damar mengadakan serangan-serangan secara terus menerus. Akhirnya daerah Bali utara bagian Barat berhasil diduduki oleh pasukan Majapahit, akan tetapi daerah-daerah bagian timur masih tetap utuh dibawah pimpinan Ki Buwahan yang bermarkas di desa Batur.
Untuk penguasaan daerah ini, sangat besar jumlah pasukan yang gugur dari kedua belah pihak. Alam pulau Bali yang berbukit-bukit ditambah dengan hutan-hutannya yang masih lebat, menyebabkan peperangan itu berlangsung lama. Tiada kurang dari 7 bulan lamanya Arya Damar dengan Arya Kutawaringin melakukan serangan mati-matian, barulah daerah Bali utara dapat dikuasai, setelah Ki Bawahan gugur dalam pertempuran.
Pertempuran dipantai Bali Selatan yang dipimpin oleh Mapatih Gajah Mada tidak kalah pula hebatnya, gelombang laut yang besar membawa keuntungan bagi pasukan Gudug Basur dan Ki Tambyak yang bertahan dipesisir pantai. Banyak perahu-perahu pasukan Majapahit yang tenggelam sebelum sempat melakukan pendaratan. Walaupun demikian pertempuran sengit terjadi pula, setelah pasukan Majapahit melakukan pendaratan yang tak henti-hentinya. 6 orang perwita Majapahit yang masing-masing memimpin pasukan yang berjumlah 15.000 orang, disambut oleh pasukan Bali yang sejak lama telah mengadakan pertahanan dengan rapat.
Medan yang luas dan datar, ditambah pula dengan tidak adanya pohon-pohon besar yang melindungi pertahanan pasukan Bali, sangat memudahkan pihak penyerang untuk mengarahkan panah dan tombak dari atas perahu, sehingga banyak memakan korban dari pasukan Bali. Demikianlah disana-sini terjadi pertempuran-pertempuran yang serentak, sehingga hanya dalam waktu 7 hari pesisir pantai Bali Selatan telah dapat diduduki oleh pasukan Majapahit yang sangat besar jumlahnya.
Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak gugur dalam pertempuran itu bersama-sama dengan ribuan pasukan lainnya dari kedua belah pihak. Walaupun tentara Majapahit telah mendapat kemenangan di pesisir utara dan timur, namun mereka belum berani melakukan penyerbuan ke pusat kota, mengingat dengan keberanian dan kegigihan rakyat Bali dalam usaha mempertahankan negerinya. Menunggu waktu yang tepat Mereka tinggal menyusup berbaur dan menetap di desa-desa Bali menyamar sebagai penduduk Bali.
Sementara itu kesatuan-kesatuan pasukan Sunda yang melakukan pendaratan di pantai bagian barat, boleh dikatakan selamat tidak disambut dengan pertempuran oleh pasukan Bali, mereka tidak menjumpai perlawanan yang berarti. Hal itu terjadi karena kebetulan mereka melakukan pendaratan pada tempat-tempat yang sunyi, diantara hutan pantai sekudian segera menyusup ketengah-tengah hutan menuju ke pusat kota Beda-Ulu.
Kembali diceritakan Arya Damar dan Arya Kutawaringin yang telah memperoleh kemenangan di Bali Utara. Mereka bersama-sama pasukannya terus bergerak maju menuju ke pusat pemerintahanan Bali di Beda-Ulu, dengan tujuan utama untuk menghancurkan Beda-Ulu. Setelah 5 hari menempuh perjalanan yang amat sulit, bersualah mereka dengan Gajah Mada bersama induk pasukannya di desa Tawing. Disana mereka menyusun rencana dan strategi untuk menyerang ke pusat kerajaan Beda Ulu.
Pasukan Majapahit menyamar menyusup masuk ke dalam kota Beda Ulu, mendiami berbagai daerah di sekitar kota raja, sesudah penuh sesak orang-orang Majapahit di kota Beda Ulu, tiba-tiba mereka mengangkat senjata menyerang kraton Beda-Ulu dengan serempak dan tiba-tiba. Pasukan Sunda mengepung desa Tengkulak dari segala jurusan, pasukan Ki Pasung Grigis yang lengah tidak sempat mengadakan perlawanan. Banyak pasukannya yang tewas dalam pertempuran itu, sementara Ki Pasung Grigis ditangkap dan dipenjarakan. Peristiwa itu terjadi didalam tahun 1343, semenjak saat itulah kerajaan Beda-Ulu hancur dan pulau Bali berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Jumlah tawanan pasukan Bali sangat banyak, masing-masing: Arya Beleteng, menawan 160.000,  tawanan yang dikirim ke Majapahit untuk mengabdi kepada raja, sejumlah 80.000. Arya Beleteng, menawan 10.000 orang, Arya Sentong, 5.000 orang, Arya Kuta Waringin, 5.000 orang,  Arya Belog, 5.000 orang,  Ki Kuda Pangasih, 3.000 orang,  Arya Damar, 40.000 orang,  Ki Pada Kaon, 20.000 orang,  Ki Pakatik, 2.000 orang,  Arya Benculuk, 4.000 orang dan tawanan Arya Kapakisan, 4.000 orang. Hentikan dahulu ceritanya demikian.
Setelah pulau Bali dapat ditaklukan oleh Maha Patih Gajah Mada pada tahun 1343, Bali kemudian menjadi wilayah yang kosong tanpa struktur pemerintahan yang kuat sehingga tidak mampu mengatur masyarakat Bali. Penahanan raja patih Pasung Grigis di Tengkulak, ternyata menjadi benih-benih kemarahan penduduk di Bali. Akhirnya setelah Pasung Grigis menyatakan setia kepada kerajaan Majapahit, dipindahkanlah ia dari Bali ke Jawa. Untuk menguji kesetiaanya itu, Pasung Grigis lalu diangkat menjadi Panglima Perang untuk menggempur kerajaan Sumbawa dengan rajanya yang bernama Dedela Natha, yang tidak sudi tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Ki Pasung Grigis akhirnya tewas bersama sama dengan Dadela Natha dalam perang tanding yang sangat seru saat penyerangan Sumbawa.
Tewasnya Ki Pasung Grigis di Sumbawa, menyebakan timbulnya kekacauan-kekacauan di seluruh pelosok pedesaan Bali. Orang-orang Bali Aga serentak mengangkat senjata, di berbagai desa kedudukan pasukan Majapahit dikepung dan diserbunya. Banyak korban yang diderita oleh pasukan Majapahit, yang tewas tidak terhingga, juga yang luka-luka dan cacat. Menerima laporan itu, dikirimlah bala bantuan yang besar jumlahnya dari Majapahit, untuk memadamkan pemberontakan itu.
Pasukan Majapahit yang besar jumlahnya lalu mengadakan pendaratan di pantai Bali Selatan. Pertempuran sengit kembali terjadi, masing-masing pihak memperlihatkan keunggulannya, Akhirnya pasukan Majapahit mendapat kemenangan. Tidak kurang dari 20.000 orang pasukan yang tewas dan luka-luka didalam pertempuran itu. Tepat terjadinya pertempuran yang dahsyat itu kini bernama Yeh Slukat di Gianyar.
Demikianlah antara lain disebutkan di dalam kitab Usana Jawa, tentang berbagai pemberontakan yang terjadi di desa-desa sebelum kerajaan Majapahit menempatkan wakilnya di Bali. Berdasarkan data yang terdapat di dalam kitab Usaha Jawa tersebut, rupanya sebuah pura besar yang bernama Pura Kentel Gumi di desa Tusan Klungkung didirikan pada waktu itu. Nama pura itu mengesankan, bahwa ketentraman di Bali telah dapat dipulihkan. Di Pura Kentel Gumi lah kemudian diumumkan penaklukan pulau Bali, setelah pasukan Majapahit mencapai kemenangan. Pura besar tersebut dapat dipandang sebagai Tugu kemenangan serta melambangkan kekuasaan Majapahit di Pulau Bali.
Di dalam kitab Pamancangah Pasek menyebutkan bahwa Ki Patih Ulung pernah menghadap Baginda raja di Majapahit, perjalanan itu disertai oleh dua orang saudaranya, masing-masing bernama: Arya Pamacekan dan Arya Kepasekan. Utusan yang datang dari Bali itu, diterima oleh Patih Gajah Mada dan segera dihantarkan ke istana. Dihadapan raja Sri Hayam Wuruk, Ki Patih Ulung melaporkan tentang suasana di Bali yang tetap mengkhawtirkan. Dilaporkan juga bahwa orang-orang Bali Aga tidak mau bergaul dengan orang-orang Majapahit yang menduduki desanya. Mereka berbondong-bondong mengungsi ke tanah pegunungan, untuk menjauhkan diri. Akhirnya Ki Patih Ulung memohon kepada Raja Majapahit, agar segera ditempatkan seorang Adipati yang berwenang mengatur pemerintahan di Bali.
Tidak lama kemudian sesudah Ki Patih Ulung beserta dengan 2 orang saudaranya pulang kembali ke Bali, Gajah Mada lalu mengangkat Ida Ketut Kuda Wandira menjadi Cakra Dala atau Adipati di Bali. Beliau adalah putera seorang pendeta  yang bernama Mpu Kepakisan, yang menjadi Purohita atau pendeta pribadinya Gajah Mada. Selain mengangkat Ida Ketut Kuda Wandira yang ditempatkan di Bali, juga mengangkat Adipati di Pasuruhan dan di Blambangan beserta Prabhu Sukaniya atau Raja Puteri yang ditempatkan di Sumbawa, adalah putera dan puteri dari Mpu Kepakisan. Pengangkatan 3 orang Adipati dan seorang Prabhu Sukaniya yang berasal dari putera dan puteri Mpu Kepakisan tersebut dimaksudkan agar kedudukan Gajah Mada sebagai patih Mangkubumi di Majapahit bertambah kuat.
Ida Ketut Kuda Wandira sebagai Adipati di Bali, diiringkan oleh para bangsawan yang berasal dari Kediri Jawa Timur. Mereka adalah keturunan raja Airlangga, bekas raja besar yang pernah berkuasa di Jawa Timur. Dengan demikian Gajah Mada berkeyakinan bahwa rakyat Bali akan dapat menerimanya. Para bangsawan yang mengiring Ida Ketut Kuda Wandira ke Bali, ialah Arya Kepakisan yang dipandang paling terkemuka, disertai oleh Arya Kanuruhan, Arya Dalancang, Arya Wangbang, Arya Kenceng, Arya Pangalasan dan Arya Belog yang disebut juga Arya Tan Wikan disamping beberapa Arya lainnya yang terlebih dahulu telah menetap di Bali. Lain dari pada itu turut pula seorang Brahmana yakni Sira Wangbang, Keturunan dari brahmana Ida Manik Angkeran.
Demikianlah banyaknya para bangsawan Kediri yang berasal dari keturunan Airlangga, beserta seorang Brahmana yang akan memperkuat kedudukan Ida Ketut Kuda Wandira menjadi Adipati di Bali. Setelah pengangkatannya disahkan, Ida Ketut Kuda Wandira lalu diberi gelar Sri Kresna Kapakisan. Karena ditugaskan sebagai Adipati, Ida Ketut Kuda Wandira yang mula-mulanya adalah seorang keturunan Brahmana lalu diangkat menjadi ksatria.  Pemerintahan Adipati Sri Kresna Kepakisan di Bali beserta sekalian pengiringnya itu, diperlengkapi dengan tanda-tanda dan pakaian kebesaran menurut tinggi rendah kedudukannya didalam pemerintahan. Selain tanda-tanda dan pakaian kebesaran, Sri Kresna Kepakisan mendapat anugerah pula sebilah keris pusaka yang bernama Ganja Dungkul.
Rombongan Ida Ketut Kuda Wandira dan para pengiringnya mula-mula mendarat di pantai desa lebih Gianyar, kemudian meneruskan perjalanannya menuju sebuah desa bernama Samprangan. Disitulah akhirnya mereka menetap, membangun istana dan memakainya sebagai pusat pemerintahan di Bali di bawah panji-panji kerajaan Majapahit. Akan tetapi kedatangan rombongan Adipati itu tidak mendapat sambutan baik dari orang-orang Bali Aga di Bali. Mereka tetap tinggal menjauhkan diri, dan tidak mengakui adanya kekuasaan Pemerintahan baru di Samprangan.
Akhirnya timbullah huru-hara yang sangat sulit untuk diatasi. Tiga puluh sembilan desa menyatakan dirinya tidak mau tunduk dibawah kekuasaan pemerintah. Desa-desa tersebut ialah : Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Dinggan Munti, Bonyoh, Tarobayan, Serai, Sukawana, Panarajon, Cintamani, Pludu, Manikliyu, Patani, Culik, Tista, Margatiga, Muntig, Bgot, Basanglasas, Lokasana,  Juntal, Gurinten, Nasi-Kuning, Puhan, Ulakan, Simbanten, Asti, Batu Ajang, Kedampal, Paselatan, Bantas, Tulamben, Carucut, Datah, Batu Dawa dan Kuta Bayem.
Adanya kebulatan tekad orang-orang Bali Aga yang demikian itu, menimbulkan rasa khawatir di hati para penguasa pemerintahan di Kota Samprangan, lebih-lebih bagi Sri Kresna Kepakisan yang belum berpengalaman. Segeralah hal itu dipermaklumkan kepada Gajah Mada di Majapahit, tidak lama berselang mendaratlah lagi pasukan Majapahit di Bali, dikirim untuk memperkuat kedudukan Sri Kresna Kepakisan dan melakukan penyerangan ke kantong-kantong pertahanan orang Aga. Penyerangan dari Barat dipimpin oleh 3 orang wesya bersaudara yang sudah sangat terkenal keberaniannya dan kelihaiannya dalam seni perang, masing-masing bernama Tan Kober, Tan Kawur, dan Tan Mundur. Sedangkan penyerangan dari wilayah Timur dipimpin oleh seorang panglima Perang yang bernama Arya Gajah Para, pasukan-pasukan tersebut adalah pasukan tempur yang sudah berpengalaman, yang sanggup mengadakan gerak cepat di dalam peperangan. Setelah sekian lama melakukan usaha penaklukkan akhirnya orang-orang Bali Aga yang menduduki Desa-desa seperti tersebut diatas, dapat dipaksa untuk tunduk dibawah kekuasaan Majapahit.
Walaupun sudah demikian keadaannya, Sri Kresna Kepakisan masih selalu merasa cemas menjadi Adipati di Bali, karena sikap orang-orang Bali Aga masih sangat diragukan, seolah-olah seperti api di dalam sekam yang sewaktu-waktu rasanya akan timbul pemberontakan kembali. Rasa cemas dan ragu-ragu inilah menyebabkan Sri Kresna Kapakisan seperti berputus asa dan kehilangan akal. Terpaksalah beliau mengirimkan utusan lagi ke Majapahit, untuk mempermaklumkan suasana di Bali yang selalu menimbulkan kekhawatiran. Lebih lanjut beliau memohon agar dibolehkan meletakkan jabatannya sebagai Adipati Bali dan berkeinginan untuk pulang kembali ke Jawa.
Kedatangan utusan itu sangat mengejutkan hati Gajah Mada, beliau merasa benar kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Sri Kresna Kepakisan memerintah orang-orang Aga di Bali. Para ksatra Kediri yang diharapkan akan mendapat dukungan orang-orang Bali Aga, ternyata tidak berhasil menciptakan ketentraman dan kedamaian di Bali, maka sadarlah kemudian Maha Patih Gajah Mada, bahwa orang-orang Bali Aga tidak dapat ditundukkan hanya dengan kekerasan.
Setelah dipikirkannya masak-masak tentang suatu cara yang tepat untuk menudukkan orang-orang Bali Aga, maka Gajah Mada lalu menolak permohonan Sri Kresna Kapakisan untuk meletakkan jabatan sebagai Adipati Bali. Kepada utusan yang dikirim oleh Adipati Bali  itu lalu dibisikkan sesuatu yang rahasia, yang harus disampaikannya kepada Adipati di keraton Saprangan apabila sudah bertolak ke Bali. Disamping pesan yang amat rahasia itu, Gajah Mada juga menghadiahkan pakaian kebesaran selengkapnya untuk Adipati yang gemerlap bertahtakan emas dan permata, beserta sebilah keris pusakanya sendiri yang bernama Ki Lobar.
Utusan itu berangkat meninggalkan kota Majapahit, dengan mepergunakan sebuah perahu, bertolak dari pelabuhan Canggu, dari sana kemudian berlayar menyusuri pantai arah ke timur melalui Selat Bali dan akhirnya mendarat di pantai desa Lebih Gianyar. Kedatangan utusan itu disambut dengan upacara kebesaran, seolah-olah Maha Patih Gajah Mada sendirilah yang datang berkunjung ke Samprangan. Segala pesan dan pemberian Gajah Mada kemudian disampaikan kepada Sri Kresna Kapakisan. Beliau sangat gembira menerima pakaian kebesaran itu, apalagi dengan adanya anugerah keris Ki Lobar, yang telah terkenal keampuhannya di Jawa.
Pada suatu hari yang baik, ketika Sri Kresna Kapakisan mengadakan persidangan di paseban, sengajalah beliau mengenakan pakaian kebesarannya yang baru, lengkap dengan alat-alat kebesaran keraton lainnya. Tampaklah keagungan perbawa wajah beliau, sehingga sekalian pembesar yang hadir kagum dan takut memandangnya. Lebih-lebih beberapa orang pemimpin Bali Aga yang kebetulan hadir pula disitu. Ketika beliau memperlihatkan Ki Lobar, semua orang terkejut dan menggigil ketakutan, karena pada keris itu terlihat bayangan Durga yang berlutut, yang rupanya amat dahsyat. Semenjak itu sekalian penduduk Bali Aga tiada berani lagi mendurhaka kepada Adipati Bali, mereka menyatakan kesetiaannya untuk mengabdi. Keris Ki Lobar kemudian diganti namanya menjadi Durga Dungkul, karena setiap keluar dari warangkanya, akan terlihat sinar seperti bayangan Durga pada keris itu yang menunjukkan sikap akan membinasakan orang-orang yang mendurhaka.
Tindakan Sri Kresna kapakisan di Bali sejak itu, ternyata menunjukkan perubahan. Beliau mengangkat pemimpin-pemimpin penduduk Bali, diantaranya : Kiyai Agung Pasek Gelgel, Kiyai Pasek Padang Subadra, Pangeran Toh Jiwa, Kiyai Pasek Prateka, Kiyai Pasek Panataran, Kiyai Pasek Kubayan, Kiyai Pasek Kubakal, Kiyai Pasek Kadangkan dan Kiyai Angukuhin. Mereka berasal dari keluarga dan keturunan Ki Patih Ulung, yang dahulu pernah menghadap Maha Patih Gajah Mada, sebelum ada perwalian Majapahit di Bali. Pemimpin-pemimpin inilah yang disebarkan di seluruh Bali, dengan mendapatkan kuasa penuh dari Adipati. Mereka harus bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di tempatnya masing-masing terhadap pemerintah di Samprangan.
Penempatan pemimpin daerah yang berasal dari keluarga Arya Bali itu ternyata dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Aga. Maklumlah mereka itu karena memang asal pemimpinnya dari jaman dahulu, yang berhak memimpin adat dan Agama di desanya masing-masing. Tambahan pula dengan kesediaan Sri Kresna Kapakisan kemudian bersembahyang di pura besar Besakih bersama-sama dengan orang-orang Aga, menyebabkan makin tunduknya orang-orang Bali Aga terhadap kekuasaan pemerintah di Samprangan. Mereka menganggap bahwa Adipati tersebut sudah dapat menyesuaikan dirinya, turut bersama-sama memuliakan tempat pemujaannya di pulau Bali, yang dibangun oleh bekas raja-rajanya dijaman dahulu.
Setelah Sri Kresna Kapakisan mampu menciptakan ketenangan di Bali, barulah beliau mulai menyusun pemerintahannya dengan baik. Sebagai Patih Agung diangkatlah Pangeran Nyuh Aya, salah seorang putera dari Arya Kapakisan. Kedudukan Demung dan Tumenggung masing-masing dipegang oleh Arya Wangbang dan Arya Kutawaringin. Sedangkan para arya-arya lainnya menduduki kedudukan Bahudanda yang biasa juga disebut tanda Manteri.
Kitab tua Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca ada menyebutkan antara lain, bahwa Adipati Sri Kresna Kapakisan pernah mengirimkan utusan ke Jawa, para utusan itu terdiri dari para Menteri-menteri terkemuka dari Bali, mereka membawa bermacam-macam persembahan, untuk menyatakan setia baktinya mengabdi kepada raja di Majapahit. Utusan itu diterima oleh raja Hayam Wuruk pada sebuah desa yang bernama Tatukangan, dimana raja sedang berkemah dalam rangka Baginda raja sedang mengadakan perjalanan keliling di daerah-daerah di Jawa Timur. Perjalanan berkeliling itu beliau lakukan di dalam bulan Agustus sampai September  pada tahun 1359. Hentikan dahulu ceritanya demikian.
Sekarang diceritakan pada masa pemerintahan Sri Aji Dhalem Waturenggong sebagai raja Bali pada tahun Saka 1382, kesaktian dan ke gagah beranian beliau sangat terkenal ke seluruh Nusantara, kebijaksanaan beliau tiada tanding, itu yang menyebabkan kemudian Bali mencapai masa keemasan. Hal itulah yang kemudian menyebabkan banyak negara lain seperti Sasak, Sumbawa, Bone, Blambangan dan Puger menjalin hubungan yang sangat erat dengan kerajaan Bali. Dalem Waturenggong adalah raja yang sangat ditakuti oleh raja Pasuruan dan Raja Blambangan. Pemerintah Dalem Waturenggong pada abad XVI atau sekitar tahun 1550 Masehi merupakan awal lepasnya ikatan dan pengaruh Majapahit terhadap kerajaan Bali seiring dengan runtuhnya kerajaan Majapahit oleh Kerjaan Islam.
Kini diceritakan tentang Ida Dhalem Juru di Blambangan, beliau mempunyai seorang puteri yang sangat cantik, bernama Ida Sri Dewi Ayu Baas, berita kecantikannya tersebar hingga ke kerajaan-kerajaan tetangga di Nusantara, tidak terkecuali kerajaan Bali. Ada keinginan dari Dhalem Juru menjodohkan puterinya dengan Sri Aji Dhalem Waturenggong di Bali, raja Bali menerima baik keinginan dari raja Blambangan. Dalam berbagai petemuan para utusan, hari pernikahan itu hanya menunggu hari pernikahannya saja. Tetapi ada seorang raja muda bernama Sri Cili Bhima dari keraton Pasuruan, juga jatuh hati kepada Puteri Sri Aji Dhalem Juru, kainginannya amat besar untuk bisa mempersunting Sri Dewi Ayu Baas.
Sri Cili Bhima kemudian membuat siasat, dengan menyebarkan berita bohong, bahwa Dhalem Bali sangat buruk rupa, tidak akan pantas kalau bersanding dengan Ida Sri Dewi Ayu Baas. Kabar bohong itu yang membuat Ida Sri Dewi Ayu Baas merasa ragu dengan pilihan ayahnya. Ida Sri Dewi Ayu Baas kemudian mengirim seorang pelukis sebagai mata-mata ke Bali secara rahasia, mata-mata kepercayaanya itu bertujuan untuk memastikan bagaimana rupa Dhalem Waturenggong. Di Bali utusan tersebut sudah melihat rupa Sri Aji Dhalem Waturenggong sekaligus membuat lukisan beliau yang sebenarnya. Setelah selesai dengan tugasnya tersebut, kembalilah putusan Ida Sri Dewi Ayu Baas ke Blambangan, hendak melaporkan serta menyerahkan lukisan Dhalem Bali. 
Rencana kembalinya mata-mata yang dikirim ke Bali itu diketahui oleh Sri Cili Bhima, lalu dicegatlah utusan tersebut di tengah jalan, lukisan yang dibuat oleh si mata-mata dirampas, kemudian ditukar dengan lukisan yang dibuat oleh Sri Cili Bhima sendiri. Sang utusan tidak berani menolak perintah dari Sri Cili Bhima, karena apabila menolak dipastikan akan dibunuh. Jadilah kemudian sang mata-mata Blambangan menghadap puteri Ayu Baas dan menyerahkan lukisan Dhalem Waturenggong yang palsu.
Melihat lukisan palsu itu puteri Ayu Baas meminta kepada ayahandanya agar rencana perkawinan dengan Dhalem Waturenggong di batalkan. Puteri Ayu Baas mengancam ayahnya, apabila perkawinan itu dilaksanakan, dia akan bunuh diri. Karena rasa sayang yang amat sangat kepada puterinya, tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi, Dhalem Juru kemudian mengirim utusan ke Bali guna menghadap Dhalem Waturenggong, tujuan utamanya adalah  untuk membatalkan perkawinan puterinya dengan Dhalem Bali. Mendengar pesan dari Dhalem Juru lewat utusan yang dikirim Dalem Juru, murkalah Dhalem Bali, beliau merasa sangat terhina dengan pembatalan rencana perkawinanya yang sudah disepakati sebelumnya. Untuk itulah kemudian Dhalem Waturenggong mengumpulkan para punggawa dan panglima kerajaan Bali, melakukan rapat untuk menyerang kerajaan Blambangan.
Pada tahun 1512 Masehi Sri Aji Dalem Waturenggong mengirim pasukan pilihan dalam jumlah yang sangat besar ke Blambangan dipimpin oleh tiga orang panglima perang. Pasukannya bernama Dulang Mangap berkekuatan 1600 orang.  Ketika itu Blambangan dibawah kekuasaan Pasuruan. Dulang Mangap dengan jumlah yang sangat banyak, lengkap dengan senjata dan pusaka kerajaan, perbekalan dan panji-panji kebesaran Kerajaan Bali. Gemuruh suaranya diiringi genderang perang seperti suara gajah yang sedang birahi, membuat pasukan musuh yang mendengar menjadi gemetar jantungnya, jiwa seperti lepas dari tubuh, seperti itulah keutamaan Dulang Mangap Bali saat turun ke medan perang. Sebanyak 25 kapal perang Bali memenuhi samudera dan merapat di pantai Blambangan. Iring-iringan kapal Dulang Mangap Bali yang banyak itu dipimpin oleh tiga orang panglima pilihan, antara lain :
Kyai Patih Ularan  dengan membawa keris pusaka yang bernama Ki Dulang Mangap, memimpin pasukan tombak menaiki kapal berbendera merah dengan gambar tombak bersilang, ribuan jumlahnya dan semua dalam keadaan sehat serta siap berperang, seperti layaknya laskar Brahma Loka yang gagah berani. Kyai Pasek Gelgel memimpin pasukan panah, menaiki kapal berbendera putih, bergambar halilintar, berpakaian serba putih, seperti layaknya prajurit dari Iswara Loka, semua memegang busur dan anak panah yang tajam dan berkilat. Kyai Pangeran Bandesa meminpin Dulang Mangap bersenjata keris, pedang, dan golok, menaiki kapal berbendera hitam, bertulis aksara suci modre keemasan, perpakaian serba hitam seperti layaknya prajurit dari Wisnu Loka. Iring iringan kapal seakan tidak nampak ujung dan ekornya, menandakan bahwa banyak kapal perang yang dikerahkan, selain kapal utama.
Seketika selat Bali menjadi ramai seakan tidak mampu menampung semangat tempur para Dulang Mangap Bali yang sudah seperti tidak sabar ingin berperang. Menjelang tengah hari merapatlah kapal pertama Dulang Mangap Bali, disusul dengan kapal-kapal lain yang tak terhitung jumlahnya, besar dan kecil. Pasukan turun ke pantai seperti jutaan lebah yang sedang marah memburu musuhnya.
Di pesisir Jawa terjadi pertempuran sangat dahsyat, pasukan Blambangan dipimpin oleh Dalem Juru dibantu oleh pasukan Pasuruan yang dipimpin Sri Cili Bhima berusaha menahan gempuran Dulang Mangap Bali. Pertempuran sangat dahsyat terjadi di sepanjang tepian pantai, bagaikan perang Bharata Yudha dalam Mahabarata, kedua kubu tidak pernah merasa lelah untuk saling panah, saling tombak dan saling tusuk dengan keris dan pedang yang haus darah.
Ditengah-tengah pertempuran Sri Dhalem Juru memakai senjata Jemparing dengan sangat lihai, senjata pusakanya seakan berpesta, banyak sekali memakan korban dari Dulang Mangap Bali. Darah mengalir seperti sungai, mayat bergelimpangan memenuhi pasir sepanjang tepian pantai dalam pertempuran yang terjadi sampai matahari condong ke barat. Pada suatu kesempatan sebelah mata dari Kyai Ularan terkena sabetan sanjata Jemparing milik Dhalem Juru, itu yang membuat Kyai Ularan marah menjadi sangat marah, dengan amat sigap dan berani, tanpa menghiraukan hujan panah dari musuh, Kyai Ularan mengejar Sri Aji Dhalem Juru.
Terjadi pertarungan yang amat sengit antara Dhalem Juru dan Kyai patih Ularan yang sudah terluka. Sampai akhirnya dengan sangat marahnya Kyai Ularan menebas leher Sri Aji Dhalem juru hingga putus. Karena amarahnya itu, ia lupa pada perintah Dhalem Bali, agar tidak melukai bagian atas dari pinggang Sri Aji Dhalem juru. setelah gugurnya Sri Aji Dhalem Juru sedikit demi sedikit pasukan Blambangan terdesak sampai di kota raja, terjadi perang puputan, Sri Dewi Ayu Baas sudah tidak berada di keraton lagi, karena sudah di boyong oleh Sri Cili Bhima dalam pelariannya ke Pasuruan.
Sebagai bukti atas kemenangan dalam pertempuran, kepala Sri aji Juru yang dipenggal oleh Kyai ularan kemudian dibungkus dengan kain sutra putih dialasi dengan bokor mas yang juga merupakan hasil jarahan di kraton Blambangan, baru kemudian di bawa ke Bali untuk di persembahkan kepada Dhalem Bali. Bersuka ria semua Dulang Mangap Bali, atas ijin dari Kyai Pangeran Mas, pasukan Bali kemudian menjarah harta kerajaan Pasuruhan, berupa panji-panji kebesaran, mas, perak, intan dan permata yang serba utama, semua dibungkus dengan kain sutra putih, akan dihaturkan ke hadapan Dhalem Bali sebagai bukti kemenangan. Perang tersebut terjadi di angka tahun 1434 Saka, atau 1512 Masehi.
Setelah cukup lama Dulang Mangap Bali merayakan kemenangannya di Blambangan, juga merawat anggota pasukan yang terluka, kembalilah pulang rombongan tersebut, di dalam kapal yang berlayar menuju Bali, mereka masih bersuka ria, suara teriakan dan kelakar mereka seakan mengalahan deburan ombak dan suara angin laut selat Bali. Tidak diceritakan sepanjang perjalanan, pada suatu hari yang baik, menghadaplah kepada Dhalem Waturenggong ketiga panglima perang Kerajaan Bali, mereka diterima di Balairung kerajaan, banyak juga hadir dalam pertemuan para patih, para punggawa, panglima dan senopati. Sri Aji Waturenggong duduk di singgasana dengan pakaian kebesaran, diapit oleh Patih Agung dan Ki Penyarikan yang duduk disebalah kiri dan kanan, di undagan kedua.
Kyai Ularan melapor kepada Dhalem hasil gemilang Dulang Mangap Bali yang berhasil menaklukkan kerajaan Blambangan, sesuai dengan perintah Dhalem Bali, Dilaporkan juga bahwa karena Sri Aji Dhalem juru tidak sudi menjadi tawanan, akhirnya terpaksa dibunuh dalam perang puputan tersebut, punggalan kepala beliau dihaturkan kepada Dhalem Bali sebagai bukti kemenangan. Kyai Pangeran Bandesa juga melaporkan kepada Dhalem bahwa pasukannya juga menjarah semua harta kerajaan Blambangan, berupa panji-panji kebesaran, mas, perak, intan dan permata yang serba utama lalu menghaturkannya ke hadapan Dhalem Watrenggong.
Raja Bali, Dalem Waturenggong memerintah dengan sangat bijaksana, dibantu oleh para bahudanda para mantri, pangeran dan arya yang bertujuan menjaga wilayah Bali dengan setia dan penuh hormat kepada Dhalem Bali. Para pembantu Dhalem tersebut antara lain: I Gusti Agung, I Gusti Nginte, I Gusti Jelantik, I Gusti Pinatih, I Gusti Panyarikan Dauh Bale Agung, I Gusti Lanang Jungutan, I Gusti Tapa Lara, I Gusti Kaler, I Gusti Lod, I Gusti Pangyasan dan I Gusti Batan Jeruk. Itu semua disebut sebagai Arya di kraton Swecapura.
Ada lagi yang disebut sebagai Pangeran, antara lain: I Gede Pasek Gelgel, I Gede Bandesa Manik Mas, I Gede Dangka, I Gede Gaduh, I Gede Ngukuhin, I Gede Tangkas Kori Agung, I Gede Kubayan, I Gede Mregan dan I Gede Abyan Tubuh. Sementara ada juga Pangeran yang lahir dari keluarga wanita Dhalem Bali, anatara lain: I Gede Salahin, I Gede Cawu, I Gede Moning dan I Gede Lurah. Dhalem Tarukan juga menurunkan Pangeran, antara lain: Gede Sekar, Gede Pulasari, Gede Belayu, Gede Babalan, Gede Bandem dan Gede Dangin. Demikian jumlah banyaknya para Arya, Pangeran dan petinggi kerajaan Bali. Hentikan dahulu ceritanya hingga disini.
Kini tersebutlah Dang Hyang Nirartha, seorang pendeta utama datang ke tanah Bali pada tahun Saka 1411 bersama isteri dan putera-puteranya, yakni: Ida Ayu Swabawa, Ida Kuluwan, Ida Lor, Ida Wetan, Ida Rai Isteri, Ida Tlaga, Ida Nyoman Kaniten. Adapun Dang Hyang Nirartha menaiki waluh kele atau waluh pahit, isteri dan putera-puteranya menaiki perahu bocor. Karena kesaktiannya segera sampai di Bali, istirahat di bawah pohon ancak. Kemudian didirikan parahyangan bernama Pura Ancak. Ada bisama atau putusannya kepada keturunannya, tidak boleh makan waluh pahit seterusnya. Dikisahkan ke arah timur perjalanan Dang Hyang Nirartha, tiba-tiba bertemu dengan seekor naga menganga bagaikan goa. Masuklah beliau, dan ada telaga berisi bunga tunjung sedang mekar, ada yang putih, merah dan hitam. Lalu dipetik bunga itu. Baru keluar dari perut naga, sirnalah naga itu, menyeramkan dan berubah-ubah wajah Dang Hyang Nirartha, terkadang merah, hitam, dan putih silih berganti. Itu sebabnya pucat isteri dan para puteranya melihat sang rsi. Kemudian terlihat isterinya Sri Patni Kiniten demikian juga putera-puteranya. Tetapi Ida Ayu Swabawa terlihat paling akhir dalam keadaan pingsan, karena diperdaya oleh orang desa di Pagametan. Lalu marah sang Rsi seraya mengutuk orang Desa Pagametan menjadi wong samar bernama wong Sumedang berikut desanya disirnakan. Demikian kisahnya. Adapun Ida Ayu Swabawa sirna sebagai dewa wong Sumedang, berstana di Pura Dhalem Mlanting disembah sebagai Dewa Pasar. Dan beliau Patni Kaniten sirna di Pulaki menjadi Bhatara Dhalem Pulaki. Demikian juga puteranya yang bernama Ida Rai Isteri, ketika mengikuti perjalanan Dang Hyang Nirartha, lalu sirna di Alas Sepi bernama Suwung, disembah di Pura Griya Tanah Kilat Desa Suwung Badung, bergelar Bhatari Ratu Niyang Sakti.
Ceritakan lagi perjalanan Dang Hyang Nirartha, lalu tiba di Desa Gading Wani Jembrana, ketika penduduk desa kena gering gerubug tak bisa diobati. Di sanalah Bandesa Mas sebagai bandesa di Gading Wani mohon kepada Rsi agar berkenan mengobati penduduk Desa Gading Wani. Tak lama dapat disembuhkan oleh kesaktian Dang Hyang Nirartha. Kemudian Ki Bandesa Mas Gading Wani didwijati oleh Dang Hyang Nirartha bergelar Ki Dukuh Macan Gading. Sejak itu Dang Hyang Nirartha diberi gelar Padanda Sakti Bawu Rawuh, juga Dang Hyang Dwijendra. Di sana Bandesa Gading Wani menghaturkan puterinya kepada Dang Hyang Nirartha bernama Ni Jero Patapan, serta dayangnya bernama Ni Berit.
Entah berapa lama Dang Hyang Nirartha berada di Gading Wani, lalu terdengar oleh Bandesa Mas di Desa Mas dan Bandesa Mas di Kaba - Kaba Tabanan akan kesaktian Dang Hyang Nirartha. Lalu mengutus seorang duta agar Sang Rsi berkenan datang ke Desa Mas. Tak disebutkan perjalanan beliau, di tengah jalan dijemput oleh Ki Bandesa Mas di desa Kaba-Kaba. Tetapi beliau tidak berkenan, karena Ki Bandesa Mas Kaba-Kaba memohon di perjalanan.
Namun, ada anugrah beliau berupa Siwa - Lingga agar dipuja oleh penduduk setempat, kemudian didirikan Pura bernama Pura Griya Kawitan Rsi hingga kini. Setelah demikian, lalu Dang Hyang Nirartha berjalan melewati Badung. Tak dikisahkan. Kini diceritakan perihal Bandesa Mas sebagai Bandesa di Desa Mas bergelar Bandesa Manik Mas atas anugrah Sri Aji Dhalem Waturenggong, ketika mengalahkan Sri Aji Pasuruan terdahulu bersama Pangeran Pasek Gelgel dan Arya Ularan.
Dikisahkan sekarang Dang Hyang Nirartha setelah tiba di Desa Mas, dijemput oleh Bandesa Manik Mas, seraya dibuatkan griya di Taman Pule Desa Mas. Entah berapa lamanya, lalu didwijati Bandesa manik Mas oleh Dang Hyang Nirartha. Ketika itu, Bandesa Manik Mas menghaturkan adiknya yang bernama Ni Luh Nyoman Manikan, sebagai isteri Dang Hyang Nirartha.
Kemudian menurunkan seorang putera bernama Ida Putu Kidul. Selanjutnya menurunkan Brahmana Mas di tanah Bali. Dari perkawinan Dang Hyang Nirartha dengan Jero Patapan, menurunkan seorang putera bernama Ida Wayahan Sangsi, juga bernama Ida Andapan atau Ida Patapan. Juga beristerikan dayangnya yang bernama Ni Berit, menurunkan Ida Wayan Temesi atau Ida Bindu sebutan lainnya.
Kemudian datang I Gusti Panyarikan Dawuh Bale Agung sebagai duta Sri Aji Dhalem Waturenggong, agar Dang Hyang Nirartha berkenan menjadi Bhagawanta atau purahitanya. Itulah sebabnya Dang Hyang Nirartha sebagai pendetanya sang raja. Kemudian Sri Aji Dhalem mengadakan Yajna Homa, digelar oleh pendeta Siwa-Sogata, yakni Dang Hyang Nirartha dan Dang Hyang Astapaka. dan didwijati Sri Aji Dhalem oleh Dang Hyang Nirartha. Semakin kuat negerinya karena kesaktian sang raja menguasai jagat Bali.
Hentikan sejenak dan diganti ceritanya, Dikisahkan Ida Wang Bang Manik Angkeran di asrama Besakih, menurunkan tiga orang putera, yakni:  Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa miwah Ida Bang Wayabiya. Singkat ceritera, semua putranya itu meningkat dewasa. Karena memang putera orang yang bijak, maka ketiga putranya itu sangat setia dan akrab bersaudara, serta sangat berbakti kepada ayah bundanya. Semuanya pandai, karena segala yang dikatakan oleh ayah-bundanya berisikan Kadharman serta Kawicaksanaan. Isi dari Sang Hyang Kamahayanikan, Sang Hyang Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra, sudah ditekuni dan dilaksanakan. Serta tidak ingkar kepada isi dari Tri Ratna dan Asta Marga Utama. Serta oleh Sang Pandita, putranya diberikan nasehat mengenai Putra Sasana dan Tri Guna serta Tri Rna. Pendeknya segala ilmu filsafat yang baik- baik ditekuni oleh Sang Tiga. Selain dengan memberikan nasehat kepandaian, kebijaksanaan kepada para putera itu, Sang Pendeta juga sering melakukan perjalanan ke desa-desa memberikan nasehat dan petuah keagamaan serta ilmu kebathinan kepada masyarakat banyak ltu sebabnya, kelak di kemudian hari beliau dibuatkan sthana-pelinggih di pura-pura sebagai bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau. Ida Bang Manik Angkeran juga menurunkan seorang putera dari Ni Luh Canting yang merupakan puteri dari Ki Dukuh Murthi, putera beliau yang rupawan ini diberi nama Sira Agra Manik. Setelah dewasa Sira Agra Manik diperintahkan oleh ayahandanya menuju ke Besakih guna menghaturkan Lawangan Agung. Keturunan dari keempat putera beliau ini dikenal dengan nama Catur Warga. Setelah sekian lama waktu berlalu, tibalah waktu Ida Bang Manik Angkeran moksah menuju sunia, ada bhisama beliau kepada putera-puteranya yang berbunyi agar semua keturunan dari Bang Banyk Wide, Bang Tulusdewa, Bang Wayabya dan Agra Manikan selalu bersatu dalam ikatan persaudaraan, saling bantu dan ingatkan satu dengan yang lainnya, susah senang agar senantiasa bersama. Patut ingat dan bakti kepada Bhatara Kawitan, lebih-lebih bakti kepada Ida Bhatara yang berlingga di Besakih.
Demikian nasehat Ida Sang Pendeta, dicamkan betul oleh para putranya bertiga. Pada hari yang baik, beliau kemudian berpulang ke Nirwana, moksa dengan Adhi Moksa-moksa yang utama, diiringkan oleh isterinya berdua, karena keduanya memang setia dan bhakti kepada beliau. Diceriterakan, beliau-beliau itu sudah menyatu dengan Tuhan. Tinggallah para putranya bertiga, ditinggal oleh ayah serta bundanya. Namun demikian masyarakat se wilayah desa Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Belatung dahulu. Pada hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri kepada saudaranya berdua, seraya berangkat menuju ke pulau jawa untuk menghadap kepada kakeknya yang bernama Ida Dang Hyang Siddhimantra. Diceriterakan perjalanan Ida Bang Banyak Wide, demikian banyaknya desa, perumahan serta hutan dilewatinya, lembah dan jurang yang dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan manusia. Banyak sekali kesulitan yang ditemuinya di jalan tak usah diceriterakan, namun Ida Bang Banyak Wide, walau masih jejaka muda-belia, demikian teguhnya kepada tekadnya, tidak pernah takut dan khawatir menghadapi kesulitan dan hambatan di jalan. Sesampainya di Jawa, Sang Banyak Wide bertemu dengan seorang Mpu yang bernama Mpu Sedah yang menceritakan tentang Dhang Hyang Sidhimantra yang sudah berpulang ke alam nirwana. Setelah sekian lama bertutur ajaran suci, berkenan kemudian Mpu Sedah mengangkat Ida Bang Banyak Wide sebagai putera beliau, diajari berbagai pengetahuan tentang ajaran Siwa paksa. Setelah mahir dalam berbagai ajaran suci, Ida Bang Banyak Wide menyunting I Gusti Ayu Pinatih yang merupakan puteri dari Ki Patih Arya Buleteng. Pernikahan itu disetujui oleh Arya Buleteng karena Ida Bang Banyak Wide bersedia menjadi penerus generasi Arya sampai dengan keturunannya kemudian. Berkaitan dengan perubahan setatus Ida Bang Banyak Wide dari Brahmana menjadi wangsa Arya, ada bhisama dari Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak Wide, antara lain;
Sloka:
Wredhanam kretanugraham, jagadhitam purohitam, wacanam wara widyanam, brahmanawangsatitah, Siwatwam, pujatityasam, trikayam pansudham, kayiko, waciko suklam, manaciko sidha pumam. Puranam tatwam tuhwanam, silakramam, sirarya pinatyam maho, witing kunam purwa Daham
            Karena kehendak Hyang Kuasa terjadilah perubahan wangsa itu, tetapi Mpu Sedang mengingatkan Ida Bang Banyak Wide agar selalu mempelajari aturan Sidhikarana. Mpu sedah juga menganugrahi Sang Bang Banyak Wide sebuah keris pusaka bemama Ki Brahmana, seperangkat  Siwapakarana sebagai peralatan pemujaan seorang pendeta dan berbagai pustaka weda, agar dipuja, sebagai pusaka yang berkedudukan bagaikan kawitan-leluhurnya, sebagai perlambang jati diri seorang Arya Bang Pinatih, yang berasal dari brahmana dahulunya. Ada nasehat Mpu Sedah juga untuk seluruh keturunan Arya Wang Bang, agar paham tentang Filfasat Kedharman, selalu kokoh melakukan tapa yoga brata, memiliki ilmu pengetahuan yang berguna, pandai akan ilmu kerohanian, serta selalu mengupayakan ketrentraman, menganut prilaku Brahmana Wangsa, dapat didiksa, menjadi pendeta maharesi.
            Ada pula anugerah beliau, jika suatu ketika ada yang tahu tentang siapa yang membawa pusaka, menyucikan diri sanak saudara kelak, dan bila sesudah meninggal, bilamana sanak saudara yang telah menyucikan diri meninggal, jika melakukan upacara atiwa-tiwa palebon, berhak memakai sarana upacara seperti seorang brahmana lepas, berhak mempergunakan Padmasana, serba putih, serta segala sarana upacara sebagai sang Brahmana, pendeta. Bilamana yang meninggal adalah walaka, bilamana memperoleh kebahagiaan utama memegang kekuasaaan serta memiliki banyak rakyat, berhak mempergunakan bade bertumpang 9, petulangannya lembu, semua sarana yang dipakai ksatriya, terkecuali naga bandha, berhak dipakainya. Serta bila walaka biasa meninggal, jika mengadakan upacara atiwa-tiwa-pitra yadnya, berhak mempergunakan bade tumpang 7, serta sarananya, demikian yang berlaku pada Arya Pinatih. Prihal keadaan kacuntakan bagi Ki Arya Pinatih, jika meninggal bayi belum kepus pungsed, cuntakanya 7 hari, jika meninggal bayi sesudah kepus pungsed, cuntakanya 11 hari, namun belum tanggal gigi. Jika ada yang meninggal sudah dewasa, remaja atau sudah tua, cuntakanya satu bulan 7 hari. Dalam hal bersanak-saudara, jika ada orang luar desa datang, berkehendak untuk ikut menyungsung - menyembah Sang Hyang Kawitan Ki Brahmana serta Siwopakarananya, mengaku Sira Arya Pinatih, walaupun orangnya nista madhya utama, hendaknya kadropon, perhatikan dahulu, jikalau tidak mau anapak sahupajanjian Sang Hyang Kawitan, berarti bukanlah saudara itu. Jika dia mau anapak Sang Hyang Kawitan walaupun nista, madya utama, sungguh dia bersanak saudara, dan berhak ikut menyungsung bersama bhatara Kawitan, walaupun jauh tempat tinggalnya. Serta sanak saudara si Arya Pinatih tidak boleh anayub dewagama lawan patunggalan dadya, jika melanggar nasehatku ini, hala tunggal, hala kabeh - satu menemui celaka, semuanya celaka. Serta kemudian tidak bisa disupat Sang Hyang Rajadewa Kawitannya, oleh Pendeta Rsi Siwa Budha, serta jika melanggar seperti bhisama ini.
Om Ang medhalong, Ang Om mepatang, Ang Ung Mang ti sudha Om Nrang Om.
            Semuanya paras paros, wetu tunggal, demikian pahalanya, jangan tidak periksa. Kukuhkan diri dalam mengamong kawitan, serta kukuh seperti nasehat tersebut. Setelah upacara megah yang diadakan di Daha, berkaitan dengan upacara pernikahan tersebut, lahir kemudian seorang putera Ida Bang Banyak Wide, sehat dan tampan rupanya, diberi nama Ida Bang Bagus Pinatih. Setelah dewasa Ida Bang Bagus Pinatih menurunkan seorang putera yang bernama Ida Bagus Pinatih juga dikenal dengan nama Pangeran Angelurah Pinatih. Para pembesar di Daha mengenal putra Ida Bang Bagus Pinatih dengan sebutan Sira Kuda Anjampiani. Di Majapahit Sira Kuda Anjampiani setelah dewasa dianugrahi kedudukan sebagai pejabat dengan gelar Kyai Agung Pinatih Mantra pada tahun 1295 Masehi. Diceriterakan Kyai Angelurah Pinatih Mantra, diberikan tempat tinggal di Kerthalangu, Badung, menguasai kawasan Pinatih serta diberikan memegang bala sejumnlah 35.000 orang, yakni mereka yang merupakan rakyat dan Senapati Arya Buleteng. Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan sudah berusia senja kemudian di
Samprangan beliau wafat berpulang ke Cintyatmaka pada saat Mangrwa Wastu Simna Pramananing Wang atau tahun Saka 1302, tahun Masehi 1380. Beliau diganti oleh putranya Dalem Ketut Ngulesir yang bergelar Dalem Smara Kepakisan.
            Diceriterakan Kyai Anglurah Pinatih Mantra, memiliki putra laki seorang, bernama Kyai Anglurah Agung Pinatih Kertha atau I Gusti Anglurah Agung Pinatih Kejot, Pinatih Tinjik atau I Gusti Agung Pinatih Perot. Beliaulah yang dikenal menyerang serta mengalahkan kawasan Bangli Singharsa sewaktu pemerintahan Ngakan Pog yang menjadi manca di sana, sesuai dengan perintah Ida Dalem Ketut Ngulesir atau Ida Dalem Smara Kepakisan yang menjadi penguasa tahun Masehi 1380 sampai dengan 1460. Kyayi Anglurah Pinatih Mantra sudah tua, kemudian berpulang ke sorgaloka. Kyai Anglurah Pinatih Kertha Kejot berputra laki dan isteri pingarep bernama Ki Gusti Anglurah Pinatih Resi, dan isteri putri I Jurut Kemong bernama Ki Gusti Anglurah Made Bija serta putra laki-laki dari sor bernama I Gusti Gde Tembuku.
            Diceriterakan kemudian, Kyai Anglurah Made Bija sudah mempunyai putra, namun kakaknya I Gusti Anglurah Pinatih Rsi belum beristeri. Para putra Gusti Anglurah Made Bija bernama I Gusti Putu Pahang, I Gusti Mpulaga utawi Pulagaan, I Gusti Gde Tembuku, I Gusti Nyoman Jumpahi, I Gusti Nyoman Bija Pinatih dan I Gusti Ketut Blongkoran. I Gusti Bija Pulagaan, sesuai perintah Ida Dalem Ketut Smara Kapakisan kemudian menjadi Manca di kawasan Singharsa Bangli sejak tahun Masehi 1453. I Gusti Ngurah Pinatih Rsi kemudian memperistri Ida Ayu Puniawati yang merupakan keturunan dari Ida Bang Tulus Dewa di Besakih. Dari pernikahan itu beliau dianugrahi putera 3 orang, antara lain Kyai Angelurah Agung Pinatih, Kyai Angelurah Made Sakti dan I Gusti Ayu Nilawati. Selama kurun waktu yang sangat lama, daerah Kerthalagu dikuasai dan dipimpin oleh dua bersaudara Ki Gusti Angelurah Pinatih Rsi dan Ki Gusti Angelurah Made Bija. Keadaan Kerthalagu aman dan setosa, kehidupan rakyat damai karena keamanan yang terpelihara dengan baik. Terjadilah jalinan kekeluargaan antara Arya Bang Pinatih dan Arya Bang Sidemen di Besakih, melanjutkan jalinan persaudaraan mereka sebelumnya antara Ki Arya Bang Penataran dan Ki Arya Bang Pinatih. Ida Bang Wayabya karena suatu hal kemudian meninggalkan Besakih untuk menuju wilayah jauh yang akan diceritakan nantinya.
            Kini dikisahkan Ki Arya Kenceng yang berkuasa di Badung berkeinginan memohon seorang putera Dalem Sagening di Puri Gelgel agar berkenan sebagai penguasa di Badung. Dengan pertimbangan yang matang Dalem Sagening mengutus puteranya yang masih muda bernama I Dewa Manggis Kuning untuk pergi ke Badung sebagai anugerah kepada Ki Arya Kenceng dan rakyat Badung. Sesudah diberi tempat di Badung, sangat disayang oleh Ki Arya Kenceng, disebabkan karena kebagusan rupanya, tampan seperti Arjuna, dan bagaikan Sang Hyang Asmara yang menjelma di Badung. Setelah sekian lama dibadung ada terjadi kesalah pahaman antara para bawahannya Ki Arya Kenceng dan I Dewa Manggis Kuning, diakibatkan jatuh cintanya I Gusti Ayu Nilawati kepada I Dewa Manggis, padahal sebelumnya puteri Kyai Angelurah Agung Pinatih Rsi ini sudah dipertunangkan dengan putera dari Ki Arya Kenceng. Hal demikian membuat Ki Arya Kenceng sangat sedih dan berduka, Adalah rencana kurang baik diantara para pembesar Badung untuk melenyapkan I Dewa Manggis Kuning secara halus. Kyai Anglurah Pinatih Resi yang mendengar bahwa kedudukan Dewa Manggis Kuning terancam, kemudian menyusun siasat untuk menyelamatkan putera Dalem dari Badung, dengan menyamar sebagai seorang wanita Kyai Anglurah Pinatih Resi berhasil membawa I Dewa Manggis Kuning keluar dari Badung menuju Beng Gianyar, ikut juga dalam pelarian itu puteri beliau yang bernama I Gusti Ayu Nilawati dan beberapa pengiring.
Kini kembali diceritakan di daerah Kerthalangu setelah pelarian I Dewa Manggis, Kyai Anglurah Pinatih Rsi sudah berusia lanjut, kemudian berpulang ke Sorgaloka, demikian juga Kyai Anglurah Made Bija, juga sudah meninggalkan dunia fana ini. Kyai Anglurah Pinatih Rsi kemudian digantikan oleh puteranya memegang kekuasaan, yang bernama sama dengan ayahandanya yakni I Gusti Anglurah Agung Gde Pinatih Rsi disertai oleh adiknya I Gusti Anglurah Made Sakti Pinatih, didampingi oleh paman beliau dari para putra Kyai Anglurah Made Bija seperti I Gusti Gde Tembuku, I Gusti Putu Pahang, I Gusti Nyoman Jumpahi, I Gusti Nyoman Bija Pinatih, I Gusti Nyoman Pulagan, I Gusti Tembuku serta I Gusti Ketut Blongkoran. Banyak memang keturunan Ki Arya Pinatih ketika beristana di Kerthalangu, tidak bisa dihitung jumlahnya. Semasa pemerintahan beliau berdua tidak ada orang lain yang berani bertingkah, semuanya besembah sujud, serta tentram wilayah itu semasa kekuasaan I Gusti Ngurah Gde Pinatih beserta I Gusti Ngurah Made. Tidak ada manusia yang beranai, subur makmur kawasan itu jadinya serta sejuk keadaannya karena sang penguasa sangat welas asih suka memberi serta tiada pernah lupa menghaturkan sembah baktinya kepada Yang Maha Kuasa. Itu sebabnya wilayah beliau menjadi tentram dan kertaraharja. Lama beliau berkuasa di kawasan Pinatih Badung, menjadi tertib kerajaan Kerthalangu yang bernama Kawasan Pinatih, sebab wangsa Arya Pinatihlah yang memegang kekuasaan disana. Setelah sekian lama berkuasa dan mukti kewibawaan, I Gusti Anglurah Gde Pinatih mempunyai banyak putera, antara lain: I Gusti Ngurah Tembawu, I Gusti Ngurah Kapandeyan, I Gusti Ayu Tembawu, I Gusti Bedulu, I Gusti Ngenjung, I Gusti Batan, I Gusti Abyannangka, I Gusti Miranggi, I Gusti Celuk, I Gusti Arak Api, I Gusti Ngurah Anom Bang, I Gusti Ayu Pinatih dan I Gusti Balangsingha. Adik beliau I Gusti Ngurah Anglurah Made Sakti mempunyai putra: I Gusti Putu Pinatih, I Gusti Ngurah Made Pinatih, I Gusti Ngurah Anom, I Gusti Ngurah Mantra dan I Gusti Ngurah Puja. Saudara sepupunya I Gusti Putu Pahang mempunyai putra I Gusti Putu Pahang yang sama dengan nama sang ayah,
I Gusti Made Pahang, I Gusti Ayu Pahang yang kemudian diambil oleh I Dewa Manggis Kuning, serta I Gusti Nyoman Pahang.
            Pada suatu masa datang berkunjung Ki Dukuh Pahang atau Dukuh Sakti menghadap I Gusti Anglurah Pinatih, menceritakan tentang niatnya untuk pamit kepada I Gusti Anglurah Pinatih guna kembali ke alam nirwana. Karena sebenarnya Ki Dukuh Pahang seorang yang memiliki pengetahuan yang tinggi, ahli dalam ilmu sastra yang maha utama, sangat paham tentang Catur Kamoksan atau jalan Moksa yang empat, serta falsafah menuju kematian atau Tattwa Pati. I Gusti Anglurah Pinatih meragukan ilmu kemoksan yang dimiliki oleh Ki Dukuh Pahang, sampai beliau mengolok-olok Ki Dukuh mengatakan akan berhenti menjadi penguasa di Kertalangu apabila Ki Dukuh benar-benar moksah. Ki Dukuh Pahang menyayangkan sekali sesumbar I Gusti Anglurah Pinatih dan menjelang beliau moksah ada kutuk yang beliau ucapkan kepada sang penguasa Kertalagu, agar keturunannya kelak banyak yang turun wangsa dan kedudukan beliau agar dirusak oleh semut. Demikianlah kemudian Ki Dukuh Sakti Pahang benar-benar moksah pada hari yang ditetapkan, meninggalkan alam fana tanpa meninggalkan jasad beliau. Kutuk dari Ki Dukuh Sakti Pahang terjadi seperti yang diucapkan, karena diserang semut I Gusti Anglurah Pinatih dan seluruh anggota keluarga meninggalkan puri menuju Dalem Peninjoan, tetapi masih juga diganggu semut dengan jumlah yang sangat banyak, sehingga memaksa beliau untuk meninggalkan wilayah Dalem Peninjoan menuju wilayah sebelah timur sungai. Ki Bali Hamed, I Gusti Tembawu dan I Gusti Ngurah Kepandeyan memutuskan untuk tetap tinggal di Intaran, Ki Bali Hamed ditugaskan sebagai penjaga Pura Dalem Peninjoan sampai dengan keturunannya kemudian. I Gusti Anglurah Pinatih kemudian menuju Giriya dari Ida Pedanda Gede Bandesa dan Ida Pedanda Gede Abian memohon tempat tinggal bersama seluruh rakyatnya, penuh sesak daerah pinggiran Sungai Biaung, karena baktinya I Gusti Anglurah Pinatih menghaturkan rakyat sebanyak 60 kepala keluarga kepada kedua wiku tersebut, mereka kemudian ditempatkan di daerah Tangtu, semua handal dan pemberani, diantaranya bernama Ki Bandesa Kayu Putih, Macan Gading dan I Pasek Kayu Selem. Wiku berdua ini kemudian menggerakkan rakyatnya untuk membangun Pura Dalem Kadewatan, Puser Tasik Batur dan Kentel Gumi, untuk wilayah Padanggalak. Ditempat ini beliau masih juga diburu semut yang memaksa beliau meninggalkan daerah itu menuju Alas Intaran daerah tepian laut yang dinamakan Ajumeneng. Karena merasa terancam hidupnya banyak diantara para pengikut I Gusti Anglurah Pinatih meninggalkan Ajumeneng berpencar di daerah-daerah yang dianggap aman seperti Kepisah, Pedungan, Tegal, Glogor Carik dan seminyak, disana mereka membangun pemukiman setelah mohon ijin kepada I Gusti Anglurah Pinatih. Dengan perasaan yang penuh penyesalan karena sudah berkata-kata kasar kepada Ki Dukuh Pahang dahulu sehingga terkena kutuk, I Gusti Anglurah Pinatih memutuskan untuk meninggalkan daerah Ajumeneng menuju Blahbatuh, berpencar semua putra dan saudara beliau, I Gusti Ngurah Anom Bang diangkat menantu oleh I Karang Buncing sehingga putus hubungan persaudaraan mereka. I Gusti Blasingha pergi tanpa tujuan yang pasti dengan membawa serta pusaka dan pariagem leluhur. Setelah sekian lama bermukim di Blahbatuh I Gusti Anglurah Pinatih sempat beberapa saat bermukim di Kapal, tetapi karena tempat yang sempit, beliau kemudian mengutus I Gusti Tembuku, I Gusti Putu Pahang serta I Gusti Jumpahi untuk mencari tempat bermukim dan membuat puri. Atas petunjuk ketiga utusan yang dikirim, akhirnya I Gusti Anglurah Pinatih memutuskan untuk membuat pemukiman di Huruk Mangandang atau Pucung Bolong, dibagian utara berbatasan dengan kekuasaan Dewa Gede Oka penguasa Tamanbali dengan batas timur Sungai Melangit. Setelah selesai upaya membuat pemukiman I Gusti Anglurah Pinatih memerintahkan para pengikutnya untuk membangun Pura Dalem Agung, dan Mrajan Agung Pinatih di wilayah utara daerah Huruk Mangandang, setelah sekian lama bermukim disana Mrajan Agung Pinatih diubah namanya menjadi Pura Penataran Agung............... BERSAMBUNG DI 081291454000

3 komentar:

  1. Ga ada sejarah nya yang pas seperti tanggal berdiri nya arya wang bang pinatih
    dan bagai mana bisa berdiri nya pura tersebut

    BalasHapus
  2. Dari paparan yang ada di atas ada
    Arya wang bang dan Brahmana Sire wamngbang yang kebali mohon penjelasannya,

    BalasHapus
  3. sepengetahuan saya yang kebali ada tiga pesemetonan arya wangbang yaitu arya wangbang sakeng kediri,arya wangbang sakeng lasem dan arya wangbang sekeng mataram

    BalasHapus