Putra, Suputra, dan Kuputra
Om ksantawiya ta sang hulun, tan
kawrateng capa tulah, mangastawa
Dang hyang mangke, Dang hyang
Dwijendra sinuhun, nganugraha tatwa
kwruh, tatwa gama Hindu Bali, weda
mantra tembang kidung, solah bawa
tata cara, lawan pancayajna kabeh,
Dewa yajneka makadi, gumawe
treptining kahyun, raharja
jiwatmaningong, mogha Dang hyang
tulus asung, mangasraya risang hulun,
sidha rekang don, swa nagara trpti
winong.
Artinya :
Ya Tuhan, ampunilah kami, semoga
tidak tertimpa kutuk dan kualat, karena
kami kini memuja Dang Hyang
Dwijendra yang merupakan guru suci,
yang menganu-gerahkan ajaran ilmu
pengetahuan suci, Ajaran Ketuhanan
Hindu Bali, Weda Mantra dan
nyanyian-nyanyian tingkah laku
peradaban hidup, dan lima yadnya,
seperti Dewa Yadnya, yang membuat
ketentraman batin, selamat sentosa, jiwa
kami, semoga roh suci Dang Hyang
tetap belas kasihan, membantu kami,
berhasillah cita-cita kami, negara kami
selamat sejahtera diselenggarakan.
Dwijendra sinuhun, nganugraha tatwa
kwruh, tatwa gama Hindu Bali, weda
mantra tembang kidung, solah bawa
tata cara, lawan pancayajna kabeh,
Dewa yajneka makadi, gumawe
treptining kahyun, raharja
jiwatmaningong, mogha Dang hyang
tulus asung, mangasraya risang hulun,
sidha rekang don, swa nagara trpti
winong.
Artinya :
Ya Tuhan, ampunilah kami, semoga
tidak tertimpa kutuk dan kualat, karena
kami kini memuja Dang Hyang
Dwijendra yang merupakan guru suci,
yang menganu-gerahkan ajaran ilmu
pengetahuan suci, Ajaran Ketuhanan
Hindu Bali, Weda Mantra dan
nyanyian-nyanyian tingkah laku
peradaban hidup, dan lima yadnya,
seperti Dewa Yadnya, yang membuat
ketentraman batin, selamat sentosa, jiwa
kami, semoga roh suci Dang Hyang
tetap belas kasihan, membantu kami,
berhasillah cita-cita kami, negara kami
selamat sejahtera diselenggarakan.
Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk,
demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani,
insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi
kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat.
Canakya Nitisastra III.16.
Setiap
keluarga mendambakan kelahiran putra-putri yang ideal yang dalam
Hindu disebut Putra Suputra, yakni anak yang berbudi pekerti luhur,
cerdas dan bijaksana yang akan mengangkat harkat dan martabat orang
tua, keluarga dan masyarakat.
Kata "putra" berasal
dari bahasa Sanskerta yang pada mulanya berarti kecil atau yang
disayang. Kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya
seorang anak lahir dalam keluarga :
"Oleh karena
seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang
disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu
ia disebut Putra"
(Manavadharmasàstra IX.138).
Penjelasan yang sama juga dapat kita jumpai dalam :
Àdiparva Mahàbhàrata 74,27,
Vàlmìki Ràmàyaóa II,107-112.
Kelahiran
Putra Suputra ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan. Kata
yang lain untuk putra adalah: sùnu, àtmaja, àtmasaýbhava, nandana,
kumàra dan saýtàna. Kata yang terakhir ini di Bali menjadi kata
sentana yang berarti keturunan.
Seseorang dapat
menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang
abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan
yang abadi dengan kelahiran cucu-cucunya
(Àdiparva,74,38).
Pandangan susastra Hindu ini mendukung betapa pentingnya setiap keluarga memiliki anak.
Àdiparva, Mahàbhàrata memandang dari sudut yang berbeda tentang kelahiran anak ini:
"Disebutkan
bahwa seorang anak merupakan pengikat tali kasih yang sangat kuat di
dalam keluarga,ia merupakan pusat menyatunya cinta kasih orang tua.
Apakah yang melebihi cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya,
mengejar mereka, memangkunya, merangkul tubuhnya yang berdebu dan
kotor (karena bermain-main). Demikian pula bau yang lembut dari bubuk
cendana, atau sentuhan lembut tangan wanita atau sejuknya air,
tidaklah demikian menyenangkan seperti halnya sentuhan bayi sendiri,
memeluk dia erat-erat. Sungguh tidak ada di dunia ini yang demikian
membahagiakan kecuali seorang anak"(74,52,55,57).
"Seseorang
yang memperoleh anak, yang merupakan anaknya sendiri, tetapi tidak
memelihara anaknya dengan baik, tidak mencapai tingkatan hidup yang
lebih tinggi. Para leluhur menyatakan seorang anak melanjutkan
keturunan dan mendukung persahabatan, oleh karena itu melahirkan anak
adalah yang terbaik dari segala jenis perbuatan mulia(74,61-63).
Lebih
jauh maharsi Manu menyatakan pandangannya bahwa dengan lahirnya
seorang anak, seseorang akan memperoleh kebahagiaan abadi, bersatu
dengan Tuhan Yang Mahaesa (II.28).
Tentang anak yang Suputra, Maharsi Càsakya dalam bukunya Nìtisàstra menyatakan:
"Seluruh
hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang
berbunga indah dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam
keluarga terdapat putra yang Suputra" (II.16).
"Asuhlah
anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikanlah
hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau
ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai teman"(II.18).
Sebaliknya
tidak semua orang beruntung punya anak yang Suputra. "Di dalam
menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan seseorang
memperoleh kedamaian, yaitu : anak, istri dan pergaulan dengan
orang-orang suci"(IV.10).
Kenyataannya kita menjumpai
beberapa anak yang durhaka kepada orang tua, jahat dan melakukan
perbuatan dosa yang menjerumuskan dirinya sendiri dan masayarakat
sekitarnya ke dalam penderitaan. Anak yang demikian disebut anak yang
Kuputra (bertentangan dengan Suputra).
Tentang anak yang Kuputra ini, maharsi Càóakya menyatakan
"Seluruh
hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu
pula seorang anak yang Kuputra, menghancurkan dan memberikan aib bagi
seluruh keluarga" (II.15).
"Apa gunanya melahirkan
anak begitu banyak, kalau mereka hanya mengakibatkan kesengsaraan dan
kedukaan. Walaupun ia seorang anak, tetapi ia berkeperibadian yang
luhur (Suputra) membantu keluarga. Satu anak yang meringankan keluarga
inilah yang paling baik"(II.17).
Hal yang sama seperti juga dikutipkan pada awal tulisan ini diulangi kembali dalam Nìtisàstra IV.6. yang antara lain menyatakan:
"Kegelapan
malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh
ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat
martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai
sifat-sifat yang baik". "Lebih baik mempunyai anak begitu lahir
langsung mati dibanding mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh.
Karena anak yang begitu lahir langsung mati memberikan kesedihan
sebentar saja. Sedangkan anak yang berumur panjang, bodoh dan durhaka,
sepanjang hidupnya memberikan penderitaan (IV.7).
Seperti
telah disebutkan di atas, mempunyai anak, lebih-lebih lahirnya putra
yang Suputra adalah dambaan setiap keluarga. Setiap orang dalam
hubungan suami-istri mengharapkan kelahiran seorang anak, namun tidak
semuanya selalu beruntung untuk mendapatkan hal itu.
Keluarga yang tidak mempunyai anak (sonless) disebut:
Aputraá,
Niputrika
Nirsaýtàna.
Kepada
mereka yang tidak mempunyai anak ini tidaklah berarti jalan untuk
mencapai kebahagiaan yang sejati, bersatu dengan Tuhan Yang Mahaesa
telah tertutup. Keluarga-keluarga ini dapat mengangkat anak, melakukan
adopsi yang di dalam bahasa Sanskerta disebut:
Parigraha atau
Putrìkaåaóam
dan anak yang diangkat disebut:
Kåtakaputra,
Datrimasuta atau
Putra Dattaka.
Tentang anak angkat yang di Bali disebut anak Sentana ini, Manava dharmasastra menyatakan:
"Jika
orang laki-laki yang mempunyai anak angkat laki-laki yang mempunyai
sifat-sifat mulia, anak angkat ini mempunyai hak yang sama, ia akan
mewaris walaupun berasal dari keluarga lain. Anak angkat tidak pernah
memakai nama keluarga dan harta warisan dari orang tua yang
sebenarnya. Tarpana (upacara persembahan kepada orang tua yang
meninggal), ia harus mengikuti nama keluarga (yang mengangkat) serta
menerima warisan dari orang tua angkat (setelah Tarpana kepadanya)
(IX.141-142).
Berdasarkan
kutipan di atas, jelas seorang anak angkat (adopsi) mempunyai hak
yang sama seperti halnya anak yang dilahirkan oleh orang tua melalui
perkawinan yang sah.
Lebih jauh tentang anak angkat ini, G. Pudja menyatakan :
"Anak
angkat menduduki tempat sebagai ahli waris dari keluarga yang
mengangkatnya dan bukan sebagai ahli waris dari ayah-ibu asalnya.
Untuk dapat melakukan pengangkatan anak diperlukan syarat-syarat
tertentu, yaitu :
a. Anak yang diangkat harus laki-laki.
b. Anak yang diangkat harus masih kecil (umumnya belum berumur 6 tahun).
c. Keluarga yang mengangkat harus tidak mempunyai anak laki-laki.
d. Harus terang dan formal menurut agama.
Mengenai
anak angkat ini diisyaratkan secara terbatas, tetapi dianjurkan untuk
mengangkat dari keluarga terdekat dari pewaris. Hal ini tidaklah
mutlak karena anak yang bukan keluarga sendiripun dapat diangkat
sebagai anak angkat, hanya saja lebih jauh hukum Hindu membedakan
dalam prakteknya dua sistem pengangkatan anak :
a.
Pengangkatan anak sendiri sebagai anak laki-laki, yaitu anak perempuan
yang statusnya sebagai anak laki-laki. Pengangkatan ini dalam hukum
Adat sebagai Angkat Sentana. Dengan demikian maka dalam sistemAngkat
Sentana,yang diangkat adalah anak sendiri.
c. Pengangkatan anak
orang lain,bukan anak sendiri. Pengangkatan ini disebut Adopsi
atau Peras. Di dalam hukum waris, anak yang diangkat adalah anak orang
lain, baik dari keluarga sendiri maupun dari anak orang lain, bukan
keluarga sendiri.(Pudja, 1977:93).
Pernyataan G.Pudja di atas
tentunya masih dapat didiskusikan kembali, misalnya bagaimana kalau
yang diangkat itu anak perempuan ? Hal ini menurut hemat penulis dapat
dibenarkan, bila nantinya anak perempuan ini status hukumnya sebagai
anak laki-laki yang disebut Angkat Sentana di atas atau disebut pula
Sentana Putrika. Kenyataannya, di dalam masyarakat kita jumpai pula
keluarga yang telah memiliki beberapa anak, baik laki-laki maupun
perempuan juga mengangkat anak, hal ini juga dibenarkan sepanjang
pengangkatan itu terang dan formal menurut okum agama dan bila mungkin
dikuatkan sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini dapat berperanan
sebagai salah satu solusi mengatasi anak-anak yang lahir, yang dibuang
oleh ibunya karena hamil pranikah. Kiranya sudah perlu dipikirkan
sebuah badan atau yayasan dalam Hindu untuk menangani anak-anak yang
lahir pranikah yang bersedia menjadi penghubung untuk mencarikan orang
tua yang bersedia mengadopsinya.
Hanya sebegitulah yang sanggup bias saya ungkapkan hari ini marilah kita akhiri dengan doa Santipatha:
Om Sarve Sukhino Bhavantu
Sarve Santu Niramayah
Sarve Bhadrani pasyantu
Ma kascid duhkha bhagbhavet
Om Hyang Widhi, semogalah semuanya memperoleh kebahagiaan
Semoga semuanya memperoleh kedamaian
semoga semuanya berpandangan baik
semoga semuanya dijauhkan dari mara bencana
Om Santih Santih Santih.-
Ajaran Brata Dalam Wratisasana
Oleh : I.B Raka Bajra
Sebuah naskah tradisional Bali yang sarat dengan ajaran tata susila Hindu dinamai lontar Wrati sasana.
Naskah ini ada dikoleksi di gedong Kirtya Singaraja, juga ada dikoleksi
di Kantor Dokumentasi Kebudayaan Bali, di Perpustakaan Faksas Unud
Denpasar, serta di beberapa perpustakaan pribadi pada tokoh agama Hindu
di Bali.
Naskah ini berbahasa Sansekerta dengan terjemahannya atau
bahasan artinya ke dalam bahasa Jawa Kuna. Kemudian oleh tim penerjemah
yang diupayakan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali bahwa naskah ini
telah diterjemahkan artinya ke dalam bahasa Indonesia.
Naskah ini
terdiri atas tiga puluh tujuh (37) sloka dengan bahasa Sansekerta yang
intinya berisikan ajaran tentang tata susila Hindu, terutama tata susila
bagi hidup berguru yakni antara peserta didik (sisya dan mahasisya) dengan si pendidik (pandita atau wiku atau guru).
Lontar Wratisasana
Adalah salah satu sumber ajaran suci agama Hindu di Indonesia yang inti ajarannya mengajarkan tentang brata
atau janji hidup bagi umat Hindu yang menjalankan ajaran agama Hindu
untuk tercapainya tingkat kesempurnaan diajarkan Hindu berupa
kesempurnaan moralitas serta etika hidup yang mapan. Dalam naskah ini
secara jelas diajarkan mengenai ajaran tata susila Hindu yakni ajaran panca yama brata, panca niyama brata,
serta ajaran etika yang lainnya yang wajib ditaati oleh segenap umat
Hindu. Bila direnungkan secara lebih seksama bahwa ajaran mengenai tata
susila Hindu adalah sangat penting untuk dapat menjaga diri,
mengendalikan diri menasehati diri, serta untuk menahan diri dari
berbagai tantangan, hambatan, gangguan, maupun masalah hidup dan
kehidupan antara perseorangan dengan yang lainnya dalam kebersamaan di
masyarakat. Naskah Wratisasana selain penting adalah juga
sangat bermanfaat bagi kehidupan berguru atau dalam menimba ilmu
pengetahuan suci bagi para sisya dan mahasisya dalam semua jenjang
pendidikan dewasa ini, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah / kampus,
maupun dalam pendidikan nonformal dalam masyarakat.
Selanjutnya mari simak isi ajaran Hindu dari lontar Wratisasana sebagai berikut ini.
Panca yama brata adalah lima jenis ajaran pengendalian diri yang terdiri atas :
- ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh,
- brahmacarya artinya tidak kawin atau tekun menuntut ilmu pengetahuan,
- satya artinya berlaku benar dan jujur,
- awaywaharika artinya tidak bertengkar atau tidak berbuat yang rewel / gaduh, dan
- astainya artinya tidak mencuri atau tidak curang.
Ajaran panca yama brata
ini adalah sebagai ajaran pengendalian diri tahap pertama, yang mana
umat Hindu hendaknya dapat menerapkan ajaran ini. Setelah ajaran ini
dipahami dan diterapkan, maka dilanjutkan lagi dengan ajaran tata susila berikutnya yang dinamai panca niyama brata yaitu lima ajaran pengendalian dalam tahap lanjutan. Ajaran panca niyama brata meliputi lima bagian terdiri atas :
- akrodha artinya tidak marah kepada siapapun,
- gurususrusa artinya dapat berperilaku yang hormat dan sopan kepada sang guru atau acarya,
- sauca artinya dapat berlaku suci secara lahir dan batin,
- aharalaghawa
artinya makan yang sederhana serta mengatur tata makanan
yang baik dan benar atau tidak makan makanan secara
sembarangan, dan
- apramada artinya tidak berperilaku yang lalai atau salah terhadap semua hal yang dilakukan.
Sesuai ajaran Hindu dalam lontar Wratisasana tersebut, bahwa himsa juga dapat dibenarkan apabila untuk keperluan yajna berupa caru, pitra puja, atithi puja, untuk menegakkan dharma, dan dalam pelaksanaan yoga. Dalam ajaran brahmacari ditekankan tentang ketekunan belajar dari awal sampai masa tua.
Namun demikian ada ketentuan bahwa selama belajar tidak dibenarkan kawin dinamai suklabrahmacari.
Dibenarkan kawin sekali setelah masa belajar sesuai dengan ketentuan berakhir yang dinamai krisna-brahmacari.
Sedangkan perkawinan yang lebih dari sekali sampai batas empat kali kawin setelah masa belajar berakhir dinamai sewalabrahmacari.
Begitu
pula hal bagi seorang guru bahwa dituntut berlaku satya atau berbuat
benar/jujur. Juga tidak dibenarkan bagi guru untuk berurusan dengan
pihak hukum, tetapi dengan perkecualian untuk mempertahankan hak milik.
Tidak dibenarkan berlaku suka marah tanpa alasan, juga tidak dibenarkan
untuk berlaku curang, mencuri, ngelamit, corah, dan sejenisnya.
Kemudian bagi pelajar hendaknya hormat dan taat dengan ajaran sang guru supaya menjadi pintar, cerdas, bijaksana, dan berwibawa.
Selain itu bahwa hidup berguru dituntut untuk berlaku suci atau sudha secara lahir dan batin. Jauhkan segala perilaku pataka, papa, dosa, kasmala, dan asucih.
Diusahakan untuk dapat hidup sederhana, tidak mewah, tidak hura-hura, dan berlaku yang ringan dalam kehidupan.
Juga tidak dibenarkan untuk lalai, terutama dalam memuja
Bhatara Siva (sivarcana),
gemar belajar (adhyaya),
mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan (adhyapaka),
rajin belajar (swadhaya),
rajin berpantang dan upawasa (brata),
tekun memusatkan pikiran (dhyana),
dan rajin menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (yoga).
Begitu pula halnya bagi seorang guru atau wiku juga diajarkan untuk berhati-hati terhadap para sisyanya. Oleh karena para sisya itu perlu diberikan aturan-aturan untuk meningkatkan disiplin dirinya serta memantapkan semangat belajarnya.
Dalam hal ajaran tata susila, dan kesucian sesuai lontar Wratisasana, maka antara lain diajarkan pula ada enam mandi suci, yaitu :
- penyucian dengan pengetahuan,
- penyucian dengan pengendalian,
- penyucian dengan abu suci (bhasma).
Selain itu ada pula upaya penyucian perilaku berupa :
- dasadharma,
- dasaniyama,
- dasayama,
- astacorah,
- catur sadaripu, menjauhi kekuatan yang tidak berguna, menerapkan ajaran susila dengan baik dan benar guna mencapai siwapada, menjauhi profesi atau pekerjaan yang tergolong hina atau pataka, dan mengajarkan ajaran Wratisasana dengan sungguh-sungguh kepada para sisya dan mahasisya guna mencapai suci lahir batin (diksa sakala ca niskala), jika tidak hal itu patut diberikan sangsi (dandha) yang sepadan sesuai ajaran dalam lontar Wratisasana.
Brahmana
Beliau
sudah tangguh (dira) dan sudah mampu mengatasi suka dan duka. Dipuji,
disanjung maupun dihina bagi beliau diterima secara seimbang. Karena
ciri seorang brahmana adalah memiliki sifat-sifat:,
Sama
dharma,
tapa,
sauca,
ksanti,
arjawa,
jnyanam,
wijnyanam,
dan astikyam
sebagaimana dinyatakan dalam Sloka Bhagawad Gita yang dikutif di atas.
1. Sama artinya seimbang. Dalam Bhagawad Gita 11.15 ada dinyatakan
“sama duhka, sukha diram”,
artinya
seimbang
dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Orang yang tidak terganggu oleh
keadaan senang dan menderita akan mencapai kehidupan yang kekal abadi.
2. Dhama adalah orang yang mampu menasehati dirinya sendiri. Dalam Sarasamuscaya 57 dinyatakan:
dama ngarania upasarna dening tuturnia.
Artinya
tenang dan sabar tahu menasehati dirinya sendiri. Tapa adalah orang yang tahan akan dinamika panasnya kehidupan ini.
Dalam Sarasamuscaya 57 dinyatakan:
3. tapa ngaranya carira sang cosana adalah mampu mengendalikan jasmaninya.
4. Sauca adalah suci lahir dan batin.
Ksanti selalu dalam keadaan tenang dan damai.
5. Arjawa adalah orang yang sangat jujur
dalam Sarasamuscaya 63 ada dinyatakan sbb:
6. arjawa, si duga-duga bener. Artinya orang yang benar-benar jujur.
7. Knyanam adalah memiliki ilmu pengetahuan.
8. Wijnyanam adalah bijaksana karena telah memiliki banyak menguasai ilmu pengetahuan.
9. Astikyam sangat paham dan percaya pada ajaran suci Weda.
Demikianlah sembilan syarat yang dikemukakan oleh Bhagawad Gita XVIII.42 untuk menentukan untuk bisa disebut seorang brahmana.
KISAH CERITA AYAH SAYA SEMBUH BERKAT BANTUAN ABAH HJ MALIK IBRAHIM
BalasHapusAssalamualaikum saya atas nama Rany anak dari bapak Bambang saya ingin berbagi cerita masalah penyakit yang di derita ayah saya, ayah saya sudah 5 tahun menderita penyakit aneh yang tidak masuk akal, bahkan ayah saya tidak aktif kerja selama 5 tahun gara gara penyakit yang di deritanya, singkat cerita suatu hari waktu itu saya bermain di rmh temen saya dan kebetulan saya ada waktu itu di saat proses pengobatan ibu temen saya lewat HP , percaya nda percaya subahana lah di hari itu juga mama temen saya langsung berjalan yang dulu'nya cuma duduk di kursi rodah selama 3 tahun,singkat cerita semua orang yang waktu itu menyaksikan pengobatan bapak kyai hj Malik lewat ponsel, betul betul kaget karena mama temen saya langsung berjalan setelah di sampaikan kepada hj Malik untuk berjalan,subahanallah, dan saya juga memberanikan diri meminta no hp bapak kyai hj malik, dan sesampainya saya di rmh saya juga memberanikan diri untuk menghubungi kyai hj Malik dan menyampaikan penyakit yang di derita ayah saya, dan setelah saya melakukan apa yang di perintahkan sama BPK kyai hj Malik, 1 jam kemudian Alhamdulillah bapak saya juga langsung sembuh dari penyakitnya lewat doa bapak kyai hj Malik kepada Allah subahanallah wataala ,Alhamdulillah berkat bantuan bpk ustad kyai hj Malik sekarang ayah saya sudah sembuh dari penyakit yang di deritanya selama 5 tahun, bagi saudara/i yang mau di bantu penyembuhan masalah penyakit gaib non gaib anda bisa konsultasi langsung kepada bapak kyai hj Malik no hp WA beliau 0823-5240-6469 semoga lewat bantuan beliau anda bisa terbebas dari penyakit anda. Terima kasih
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMatur Suksma antuk pencerahan sane kasurat ring blog puniki.
BalasHapusIndayang cingak driki wenten akeh lontar sane sampun didigitalisasi palmleaf.org/wiki/Bali
BalasHapusMatur suksma