Putra, Suputra, dan Kuputra
Om   ksantawiya ta sang hulun, tan
 kawrateng capa tulah, mangastawa
Dang hyang mangke, Dang hyang
Dwijendra sinuhun, nganugraha tatwa
kwruh, tatwa gama Hindu Bali, weda
mantra tembang kidung, solah bawa
tata cara, lawan pancayajna kabeh,
Dewa yajneka makadi, gumawe
treptining kahyun, raharja
jiwatmaningong, mogha Dang hyang
tulus asung, mangasraya risang hulun,
sidha rekang don, swa nagara trpti
winong.
Artinya :
Ya Tuhan, ampunilah kami, semoga
tidak tertimpa kutuk dan kualat, karena
kami kini memuja Dang Hyang
Dwijendra yang merupakan guru suci,
yang menganu-gerahkan ajaran ilmu
pengetahuan suci, Ajaran Ketuhanan
Hindu Bali, Weda Mantra dan
nyanyian-nyanyian tingkah laku
peradaban hidup, dan lima yadnya,
seperti Dewa Yadnya, yang membuat
ketentraman batin, selamat sentosa, jiwa
kami, semoga roh suci Dang Hyang
tetap belas kasihan, membantu kami,
berhasillah cita-cita kami, negara kami
selamat sejahtera diselenggarakan.
Dwijendra sinuhun, nganugraha tatwa
kwruh, tatwa gama Hindu Bali, weda
mantra tembang kidung, solah bawa
tata cara, lawan pancayajna kabeh,
Dewa yajneka makadi, gumawe
treptining kahyun, raharja
jiwatmaningong, mogha Dang hyang
tulus asung, mangasraya risang hulun,
sidha rekang don, swa nagara trpti
winong.
Artinya :
Ya Tuhan, ampunilah kami, semoga
tidak tertimpa kutuk dan kualat, karena
kami kini memuja Dang Hyang
Dwijendra yang merupakan guru suci,
yang menganu-gerahkan ajaran ilmu
pengetahuan suci, Ajaran Ketuhanan
Hindu Bali, Weda Mantra dan
nyanyian-nyanyian tingkah laku
peradaban hidup, dan lima yadnya,
seperti Dewa Yadnya, yang membuat
ketentraman batin, selamat sentosa, jiwa
kami, semoga roh suci Dang Hyang
tetap belas kasihan, membantu kami,
berhasillah cita-cita kami, negara kami
selamat sejahtera diselenggarakan.
Bagaikan   bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk,
demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani,
insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi
kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat.
Canakya   Nitisastra III.16.
Setiap
   keluarga mendambakan kelahiran putra-putri yang ideal yang dalam 
Hindu   disebut Putra Suputra, yakni anak yang berbudi pekerti luhur, 
cerdas dan   bijaksana yang akan mengangkat harkat dan martabat orang 
tua, keluarga dan   masyarakat.
Kata   "putra" berasal 
dari bahasa Sanskerta yang pada mulanya berarti   kecil atau yang 
disayang. Kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa   pentingnya 
seorang anak lahir dalam keluarga :
"Oleh   karena 
seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang   
disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu 
ia   disebut Putra"
(Manavadharmasàstra   IX.138).
Penjelasan   yang sama juga dapat kita jumpai dalam :
Àdiparva   Mahàbhàrata 74,27,
 Vàlmìki Ràmàyaóa II,107-112.
Kelahiran
   Putra Suputra ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan. Kata
 yang   lain untuk putra adalah: sùnu, àtmaja, àtmasaýbhava, nandana, 
kumàra dan   saýtàna. Kata yang terakhir ini di Bali menjadi kata 
sentana yang berarti   keturunan.
Seseorang   dapat 
menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang   
abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan 
yang   abadi dengan kelahiran cucu-cucunya
(Àdiparva,74,38).
Pandangan   susastra Hindu ini mendukung betapa pentingnya setiap keluarga memiliki anak.
Àdiparva, Mahàbhàrata memandang dari sudut yang berbeda   tentang kelahiran anak ini:
"Disebutkan
   bahwa seorang anak merupakan pengikat tali kasih yang sangat kuat di 
dalam   keluarga,ia merupakan pusat menyatunya cinta kasih orang tua. 
Apakah yang   melebihi cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya, 
mengejar mereka,   memangkunya, merangkul tubuhnya yang berdebu dan 
kotor (karena bermain-main).   Demikian pula bau yang lembut dari bubuk 
cendana, atau sentuhan lembut tangan   wanita atau sejuknya air, 
tidaklah demikian menyenangkan seperti halnya   sentuhan bayi sendiri, 
memeluk dia erat-erat. Sungguh tidak ada di dunia ini   yang demikian 
membahagiakan kecuali seorang anak"(74,52,55,57).
"Seseorang
   yang memperoleh anak, yang merupakan anaknya sendiri, tetapi tidak 
memelihara   anaknya dengan baik, tidak mencapai tingkatan hidup yang 
lebih tinggi. Para   leluhur menyatakan seorang anak melanjutkan 
keturunan dan mendukung   persahabatan, oleh karena itu melahirkan anak 
adalah yang terbaik dari segala   jenis perbuatan mulia(74,61-63).
Lebih
   jauh maharsi Manu menyatakan pandangannya bahwa dengan lahirnya 
seorang anak,   seseorang akan memperoleh kebahagiaan abadi, bersatu 
dengan Tuhan Yang   Mahaesa (II.28).
Tentang   anak yang Suputra, Maharsi Càsakya dalam bukunya Nìtisàstra menyatakan:
"Seluruh
   hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang 
berbunga indah   dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam 
keluarga terdapat putra   yang Suputra" (II.16).
"Asuhlah
   anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikanlah 
hukuman   (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau 
ia sudah dewasa   (16 tahun) didiklah dia sebagai teman"(II.18).
Sebaliknya
   tidak semua orang beruntung punya anak yang Suputra. "Di dalam 
menghadapi   penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan seseorang 
memperoleh   kedamaian, yaitu : anak, istri dan pergaulan dengan 
orang-orang   suci"(IV.10).
Kenyataannya   kita menjumpai 
beberapa anak yang durhaka kepada orang tua, jahat dan   melakukan 
perbuatan dosa yang menjerumuskan dirinya sendiri dan masayarakat   
sekitarnya ke dalam penderitaan. Anak yang demikian disebut anak yang 
Kuputra   (bertentangan dengan Suputra).
Tentang   anak yang Kuputra ini, maharsi   Càóakya menyatakan
"Seluruh
   hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu 
pula   seorang anak yang Kuputra, menghancurkan dan memberikan aib bagi 
seluruh   keluarga" (II.15).
"Apa   gunanya melahirkan 
anak begitu banyak, kalau mereka hanya mengakibatkan   kesengsaraan dan 
kedukaan. Walaupun ia seorang anak, tetapi ia   berkeperibadian yang 
luhur (Suputra) membantu keluarga. Satu anak yang   meringankan keluarga
 inilah yang paling baik"(II.17).
Hal   yang sama seperti juga dikutipkan pada awal tulisan ini diulangi kembali   dalam Nìtisàstra IV.6. yang antara   lain menyatakan:
"Kegelapan
   malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh
 ribuan   bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat 
martabat orang tua,   bukan ratusan anak yang tidak mempunyai 
sifat-sifat yang baik". "Lebih   baik mempunyai anak begitu lahir 
langsung mati dibanding mempunyai anak   berumur panjang tetapi bodoh. 
Karena anak yang begitu lahir langsung mati   memberikan kesedihan 
sebentar saja. Sedangkan anak yang berumur panjang,   bodoh dan durhaka,
 sepanjang hidupnya memberikan penderitaan (IV.7).
Seperti   
telah disebutkan di atas, mempunyai anak, lebih-lebih lahirnya putra 
yang   Suputra adalah dambaan setiap keluarga. Setiap orang dalam 
hubungan   suami-istri mengharapkan kelahiran seorang anak, namun tidak 
semuanya selalu   beruntung untuk mendapatkan hal itu.
Keluarga   yang tidak mempunyai anak (sonless) disebut:
                 Aputraá,
                 Niputrika
                 Nirsaýtàna.
Kepada
   mereka yang tidak mempunyai anak ini tidaklah berarti jalan untuk 
mencapai   kebahagiaan yang sejati, bersatu dengan Tuhan Yang Mahaesa 
telah tertutup.   Keluarga-keluarga ini dapat mengangkat anak, melakukan
 adopsi yang di dalam   bahasa Sanskerta disebut:
         Parigraha atau  
         Putrìkaåaóam
dan   anak yang diangkat disebut:
         Kåtakaputra,  
         Datrimasuta atau
         Putra Dattaka.
Tentang   anak angkat yang di Bali disebut anak Sentana ini, Manava dharmasastra menyatakan:
"Jika
   orang laki-laki yang mempunyai anak angkat laki-laki yang mempunyai  
 sifat-sifat mulia, anak angkat ini mempunyai hak yang sama, ia akan 
mewaris   walaupun berasal dari keluarga lain. Anak angkat tidak pernah 
memakai nama   keluarga dan harta warisan dari orang tua yang 
sebenarnya. Tarpana (upacara   persembahan kepada orang tua yang 
meninggal), ia harus mengikuti nama   keluarga (yang mengangkat) serta 
menerima warisan dari orang tua angkat   (setelah Tarpana kepadanya)
(IX.141-142).
Berdasarkan
   kutipan di atas, jelas seorang anak angkat (adopsi) mempunyai hak 
yang sama   seperti halnya anak yang dilahirkan oleh orang tua melalui 
perkawinan yang   sah.
Lebih   jauh tentang anak angkat ini, G. Pudja menyatakan :
"Anak
   angkat menduduki tempat sebagai ahli waris dari keluarga yang 
mengangkatnya   dan bukan sebagai ahli waris dari ayah-ibu asalnya. 
Untuk dapat melakukan   pengangkatan anak diperlukan syarat-syarat 
tertentu, yaitu :
          a. Anak yang diangkat harus   laki-laki.
          b. Anak yang diangkat harus   masih kecil (umumnya belum berumur 6 tahun).
          c. Keluarga yang mengangkat   harus tidak mempunyai anak laki-laki.
          d. Harus terang dan formal   menurut agama.
Mengenai
   anak angkat ini diisyaratkan secara terbatas, tetapi dianjurkan untuk
   mengangkat dari keluarga terdekat dari pewaris. Hal ini tidaklah 
mutlak   karena anak yang bukan keluarga sendiripun dapat diangkat 
sebagai anak   angkat, hanya saja lebih jauh hukum Hindu membedakan 
dalam prakteknya dua   sistem pengangkatan anak :
a.   
Pengangkatan anak sendiri sebagai anak laki-laki, yaitu anak perempuan 
 yang statusnya sebagai anak laki-laki.   Pengangkatan ini dalam hukum 
Adat sebagai Angkat Sentana. Dengan demikian   maka dalam sistemAngkat 
Sentana,yang diangkat adalah anak sendiri.
 c. Pengangkatan anak 
orang lain,bukan anak   sendiri. Pengangkatan ini   disebut   Adopsi 
atau Peras. Di dalam hukum waris, anak yang diangkat adalah anak orang  
 lain, baik dari  keluarga sendiri   maupun dari anak orang lain, bukan 
keluarga sendiri.(Pudja, 1977:93).
Pernyataan   G.Pudja di atas 
tentunya masih dapat didiskusikan kembali, misalnya bagaimana   kalau 
yang diangkat itu anak perempuan ? Hal ini menurut hemat penulis dapat  
 dibenarkan, bila nantinya anak perempuan ini status hukumnya sebagai 
anak   laki-laki yang disebut Angkat Sentana di atas atau disebut pula 
Sentana   Putrika. Kenyataannya, di dalam masyarakat kita jumpai pula 
keluarga yang   telah memiliki beberapa anak, baik laki-laki maupun 
perempuan juga mengangkat   anak, hal ini juga dibenarkan sepanjang 
pengangkatan itu terang dan formal   menurut okum agama dan bila mungkin
 dikuatkan sesuai peraturan yang berlaku.   Hal ini dapat berperanan 
sebagai salah satu solusi mengatasi anak-anak yang   lahir, yang dibuang
 oleh ibunya karena hamil pranikah. Kiranya sudah perlu   dipikirkan 
sebuah badan atau yayasan dalam Hindu untuk menangani anak-anak   yang 
lahir pranikah yang bersedia menjadi penghubung untuk mencarikan orang  
 tua yang bersedia mengadopsinya.
Hanya   sebegitulah yang sanggup bias saya ungkapkan hari  ini marilah kita akhiri dengan doa   Santipatha:
Om   Sarve Sukhino Bhavantu
Sarve Santu Niramayah
Sarve Bhadrani pasyantu
Ma kascid duhkha bhagbhavet
Om   Hyang Widhi, semogalah semuanya memperoleh kebahagiaan
Semoga semuanya memperoleh kedamaian
semoga semuanya berpandangan baik
semoga semuanya dijauhkan dari mara bencana
Om   Santih Santih Santih.-
Ajaran Brata Dalam Wratisasana
Oleh : I.B Raka Bajra
Sebuah naskah tradisional Bali yang sarat dengan ajaran tata susila Hindu dinamai lontar Wrati sasana.
 Naskah ini ada dikoleksi di gedong Kirtya Singaraja, juga ada dikoleksi
 di Kantor Dokumentasi Kebudayaan Bali, di Perpustakaan Faksas Unud 
Denpasar, serta di beberapa perpustakaan pribadi pada tokoh agama Hindu 
di Bali.
Naskah ini berbahasa Sansekerta dengan terjemahannya atau
 bahasan artinya ke dalam bahasa Jawa Kuna. Kemudian oleh tim penerjemah
 yang diupayakan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali bahwa naskah ini 
telah diterjemahkan artinya ke dalam bahasa Indonesia.
Naskah ini 
terdiri atas tiga puluh tujuh (37) sloka dengan bahasa Sansekerta yang 
intinya berisikan ajaran tentang tata susila Hindu, terutama tata susila
 bagi hidup berguru yakni antara peserta didik (sisya dan mahasisya) dengan si pendidik (pandita atau wiku atau guru).
Lontar Wratisasana 
Adalah salah satu sumber ajaran suci agama Hindu di Indonesia yang inti ajarannya mengajarkan tentang brata
 atau janji hidup bagi umat Hindu yang menjalankan ajaran agama Hindu 
untuk tercapainya tingkat kesempurnaan diajarkan Hindu berupa 
kesempurnaan moralitas serta etika hidup yang mapan. Dalam naskah ini 
secara jelas diajarkan mengenai ajaran tata susila Hindu yakni ajaran panca yama brata, panca niyama brata,
 serta ajaran etika yang lainnya yang wajib ditaati oleh segenap umat 
Hindu. Bila direnungkan secara lebih seksama bahwa ajaran mengenai tata 
susila Hindu adalah sangat penting untuk dapat menjaga diri, 
mengendalikan diri menasehati diri, serta untuk menahan diri dari 
berbagai tantangan, hambatan, gangguan, maupun masalah hidup dan 
kehidupan antara perseorangan dengan yang lainnya dalam kebersamaan di 
masyarakat. Naskah Wratisasana selain penting adalah juga 
sangat bermanfaat bagi kehidupan berguru atau dalam menimba ilmu 
pengetahuan suci bagi para sisya dan mahasisya dalam semua jenjang 
pendidikan dewasa ini, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah / kampus,
 maupun dalam pendidikan nonformal dalam masyarakat.
Selanjutnya mari simak isi ajaran Hindu dari lontar Wratisasana sebagai berikut ini.
Panca yama brata adalah lima jenis ajaran pengendalian diri yang terdiri atas :
            - ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh,
            - brahmacarya artinya tidak kawin atau             tekun  menuntut ilmu pengetahuan,
            - satya artinya berlaku benar dan jujur,
            - awaywaharika artinya tidak bertengkar            atau    tidak berbuat yang rewel / gaduh, dan
            - astainya artinya tidak mencuri atau tidak         curang.
Ajaran panca yama brata
 ini adalah sebagai ajaran pengendalian diri tahap pertama, yang mana 
umat Hindu hendaknya dapat menerapkan ajaran ini. Setelah ajaran ini 
dipahami dan diterapkan, maka dilanjutkan lagi dengan ajaran tata susila berikutnya yang dinamai panca niyama brata yaitu lima ajaran pengendalian dalam tahap lanjutan. Ajaran panca niyama brata meliputi lima bagian terdiri atas :
            - akrodha artinya tidak marah kepada    siapapun,
            - gurususrusa artinya dapat berperilaku            yang   hormat dan sopan kepada sang guru             atau    acarya,
            - sauca artinya dapat berlaku suci secara          lahir dan batin,
            - aharalaghawa
 artinya makan yang       sederhana serta mengatur tata makanan 
          yang baik dan  benar atau tidak makan         makanan secara 
sembarangan, dan
            - apramada artinya tidak berperilaku yang         lalai atau salah terhadap semua hal yang             dilakukan.
Sesuai ajaran Hindu dalam lontar Wratisasana tersebut, bahwa himsa juga dapat dibenarkan apabila untuk keperluan yajna berupa caru, pitra puja, atithi puja, untuk menegakkan dharma, dan dalam pelaksanaan yoga. Dalam ajaran brahmacari ditekankan tentang ketekunan belajar dari awal sampai masa tua.
Namun demikian ada ketentuan bahwa selama belajar tidak dibenarkan kawin dinamai suklabrahmacari.
Dibenarkan kawin sekali setelah masa belajar sesuai dengan ketentuan berakhir yang dinamai krisna-brahmacari.
Sedangkan perkawinan yang lebih dari sekali sampai batas empat kali kawin setelah masa belajar berakhir dinamai sewalabrahmacari. 
Begitu
 pula hal bagi seorang guru bahwa dituntut berlaku satya atau berbuat 
benar/jujur. Juga tidak dibenarkan bagi guru untuk berurusan dengan 
pihak hukum, tetapi dengan perkecualian untuk mempertahankan hak milik. 
Tidak dibenarkan berlaku suka marah tanpa alasan, juga tidak dibenarkan 
untuk berlaku curang, mencuri, ngelamit, corah, dan sejenisnya.
Kemudian bagi pelajar hendaknya hormat dan taat dengan ajaran sang guru supaya menjadi pintar, cerdas, bijaksana, dan berwibawa.
Selain itu bahwa hidup berguru dituntut untuk berlaku suci atau sudha secara lahir dan batin. Jauhkan segala perilaku pataka, papa, dosa, kasmala, dan asucih.
Diusahakan untuk dapat hidup sederhana, tidak mewah, tidak hura-hura, dan berlaku yang ringan dalam kehidupan.
Juga tidak dibenarkan untuk lalai, terutama dalam memuja
Bhatara Siva (sivarcana),
gemar belajar (adhyaya),
mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan (adhyapaka),
rajin belajar (swadhaya),
rajin berpantang dan upawasa (brata),
tekun memusatkan pikiran (dhyana),
dan rajin menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (yoga).
Begitu pula halnya bagi seorang guru atau wiku juga diajarkan untuk berhati-hati terhadap para sisyanya. Oleh karena para sisya itu perlu diberikan aturan-aturan untuk meningkatkan disiplin dirinya serta memantapkan semangat belajarnya.
Dalam hal ajaran tata susila, dan kesucian sesuai lontar Wratisasana, maka antara lain diajarkan pula ada enam mandi suci, yaitu :
- penyucian dengan pengetahuan,
- penyucian dengan pengendalian,
- penyucian dengan abu suci (bhasma).
Selain itu ada pula upaya penyucian perilaku berupa :
- dasadharma,
- dasaniyama,
- dasayama,
- astacorah,
- catur sadaripu, menjauhi kekuatan yang tidak berguna, menerapkan ajaran susila dengan baik dan benar guna mencapai siwapada, menjauhi profesi atau pekerjaan yang tergolong hina atau pataka, dan mengajarkan ajaran Wratisasana dengan sungguh-sungguh kepada para sisya dan mahasisya guna mencapai suci lahir batin (diksa sakala ca niskala), jika tidak hal itu patut diberikan sangsi (dandha) yang sepadan sesuai ajaran dalam lontar Wratisasana.
Brahmana
Beliau
 sudah tangguh (dira) dan sudah mampu mengatasi suka dan duka. Dipuji, 
disanjung maupun dihina bagi beliau diterima secara seimbang. Karena 
ciri seorang brahmana adalah memiliki sifat-sifat:,
            Sama
            dharma,
            tapa,
            sauca,
            ksanti,
            arjawa,
            jnyanam,
            wijnyanam,
            dan astikyam
sebagaimana dinyatakan dalam Sloka Bhagawad Gita yang dikutif di atas.
1. Sama artinya seimbang. Dalam Bhagawad Gita 11.15 ada dinyatakan
“sama duhka, sukha diram”,
artinya
seimbang
 dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Orang yang tidak terganggu oleh 
keadaan senang dan menderita akan mencapai kehidupan yang kekal abadi.
2. Dhama adalah orang yang mampu menasehati dirinya sendiri. Dalam Sarasamuscaya 57 dinyatakan:
dama ngarania upasarna dening tuturnia.
Artinya
tenang dan sabar tahu menasehati dirinya sendiri. Tapa adalah orang yang tahan akan dinamika panasnya kehidupan ini.
Dalam Sarasamuscaya 57 dinyatakan:
3. tapa ngaranya carira sang cosana adalah mampu mengendalikan jasmaninya. 
4. Sauca adalah suci lahir dan batin. 
Ksanti selalu dalam keadaan tenang dan damai.
5. Arjawa adalah orang yang sangat jujur 
dalam Sarasamuscaya 63 ada dinyatakan sbb:
6. arjawa, si duga-duga bener. Artinya orang yang benar-benar jujur. 
7. Knyanam adalah memiliki ilmu pengetahuan.
8. Wijnyanam adalah bijaksana karena telah memiliki banyak menguasai ilmu pengetahuan. 
9. Astikyam sangat paham dan percaya pada ajaran suci Weda.
Demikianlah sembilan syarat yang dikemukakan oleh Bhagawad Gita XVIII.42 untuk menentukan untuk bisa disebut seorang brahmana.
 
 
 
KISAH CERITA AYAH SAYA SEMBUH BERKAT BANTUAN ABAH HJ MALIK IBRAHIM
BalasHapusAssalamualaikum saya atas nama Rany anak dari bapak Bambang saya ingin berbagi cerita masalah penyakit yang di derita ayah saya, ayah saya sudah 5 tahun menderita penyakit aneh yang tidak masuk akal, bahkan ayah saya tidak aktif kerja selama 5 tahun gara gara penyakit yang di deritanya, singkat cerita suatu hari waktu itu saya bermain di rmh temen saya dan kebetulan saya ada waktu itu di saat proses pengobatan ibu temen saya lewat HP , percaya nda percaya subahana lah di hari itu juga mama temen saya langsung berjalan yang dulu'nya cuma duduk di kursi rodah selama 3 tahun,singkat cerita semua orang yang waktu itu menyaksikan pengobatan bapak kyai hj Malik lewat ponsel, betul betul kaget karena mama temen saya langsung berjalan setelah di sampaikan kepada hj Malik untuk berjalan,subahanallah, dan saya juga memberanikan diri meminta no hp bapak kyai hj malik, dan sesampainya saya di rmh saya juga memberanikan diri untuk menghubungi kyai hj Malik dan menyampaikan penyakit yang di derita ayah saya, dan setelah saya melakukan apa yang di perintahkan sama BPK kyai hj Malik, 1 jam kemudian Alhamdulillah bapak saya juga langsung sembuh dari penyakitnya lewat doa bapak kyai hj Malik kepada Allah subahanallah wataala ,Alhamdulillah berkat bantuan bpk ustad kyai hj Malik sekarang ayah saya sudah sembuh dari penyakit yang di deritanya selama 5 tahun, bagi saudara/i yang mau di bantu penyembuhan masalah penyakit gaib non gaib anda bisa konsultasi langsung kepada bapak kyai hj Malik no hp WA beliau 0823-5240-6469 semoga lewat bantuan beliau anda bisa terbebas dari penyakit anda. Terima kasih
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMatur Suksma antuk pencerahan sane kasurat ring blog puniki.
BalasHapusIndayang cingak driki wenten akeh lontar sane sampun didigitalisasi palmleaf.org/wiki/Bali
BalasHapusMatur suksma