BHUTA YADNYA
oleh Ida Bagus Bajra pada 22 November 2011 pukul 10:50 ·
BHUTA YADNYA
Bhuta
Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada Bhuta Kala yang mengganggu
keten traman hidup manusia. Bagi masyarakat Hindu bhuta kala ini
diyakini sebagai kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang sering
menimbulkan gangguan serta bencana, tetapi dengan Bhuta Yadnya ini maka
kekuatan-kekuatan tersebut akan dapat menolong dan melindungi kehidupan
manusia
.
Adapun tujuan Upacara Bhuta Yadnya adalah
disamping untuk memohon kehadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa)
agar beliau memberi kekuatan lahir bathin, juga untuk menyucikan dan
menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang disebut bhuta
kala tersebut sehingga dapat berfungsi dan berguna bagi kehidupan
manusia.
Bhuta Yadnya, pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
- Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan kecil seperti segehan dan yang setingkat.
- Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan sedang (madya) yang disebut "caru".
- Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar (utama).
a. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil.
Upacara
ini di sebut dengan “ Segehan “, dengan lauk pauknya yang sangat
sederhana seperti bawang merah, jahe, garam dan lain-lainnya.
Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna
nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan
Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten
Prayascita.
b. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang sedang ( madya ).
Tingkatan
upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “ Caru “. Pada
tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka
di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan
tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-jenis
caru tersebut adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru
panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan
dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang
menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain
sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
c. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar ( utama ).
Tingkatan
yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi
yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta
Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra
yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.
Caru Adalah Memaknai Ruang dan Waktu
Setiap
upacara agama yang berdasarkan Veda selalu ada lima unsur yang
memvisualkan nilai-nilai suci upacara agama Hindu. Lima unsur tersebut
adalah Mantra, Tantra, Yantra, Yadnya dan Yoga. Yantra itu berasal
dari bahasa Sanskerta yang artinya alat atau sarana dalam bentuk
simbol.
Yantra dalam upacara agama Hindu di Bali disebut banten
atau upakara. Banten inilah yang menggunakan sarana tumbuh-tumbuhan
dan hewan di samping unsur unsur panca maha bhuta lainya.
Dalam
Lontar Yadnya Prakerti disebutkan, sebagai berikut, " ..... Sehananing
bebanten pinaka raganta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara,
pinaka Andha Bhuwana." Artinya, semua bebanten adalah lambang dirimu
sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang isi alam semesta.
Berdasarkan uraian Lontar Yadnya Prakerti ini banten memiliki tiga
makna. Banten bermakna sebagai simbol manusia, baik lahir maupun
batin, bermakna untuk melambangkan berbagai wujud kemahakuasaan Tuhan
dan banten juga melambangkan keberadaan isi alam semesta ini berupa
planet-planet isi ruang angkasa.
Caru Artinya Cantik
Dalam
kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau
harmonis. Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut caru. Hal itu
disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan
hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Dalam kitab Sarasamuscaya
135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup
mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus
melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam
lingkungan.
Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara
melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga
keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera
itu artinya alam yang cantik.
ButhaYadnya pada hakekatnya
merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah, air,
api, udara dan ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara
alami, maka dari kelima unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan.
Tumbuh-tumbuhan itulah sebagai bahan dasar makanan hewan dan manusia.
Kalau keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu maka fungsinya pun
juga akan terganggu. Dalam Bhagawadgita III.14 disebutkan tentang
proses berkembangnya makhluk hidup dari makanan. Dari hujan datangnya
makanan. Hujan itu datang dari Yadnya. yadnya itu adalah Karma. Dalam
Bhagawadgita ini memang disebutkan hanya hujan. Namun dalam proses
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan tidaklah hanya hujan saja yang dapat
melahirkan tumbuh-tumbuhan. Kelima unsur alam tersebut juga berfungsi
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
Tanah, api (matahari), udara dan
ether juga berfungsi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Peredaran
kelima unsur alam itu melahirkan iklim serta siang dan malam. Karena
itu upacara mecaru itu berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai
spiritual kepada umat manusia agar memiliki wawasan kesemestaan alam.
Hubungan
antara manusia dehgan alam haruslah berdasarkan konsep Cakra Yadnya
sebagaimana ditegaskan dalam kitab Bhagawadgita III.16. ini artinya
antara alam dan manusia harus menjaga kehidupan yang saling memelihara
berdasarkan Yadnya. Keberadaan alam ini karena Yadnya dari Tuhan.
Karena itu manusia berutang moral pada Tuhan dan alam secara langsung.
Utang moral itulah yang disebut rina dalam kitab Manawa Dharmasastra.
Dalam Yajurveda XXXX.l disebutkan bahwa Tuhan itu berstana pada alam
yang bergerak atau tidak bergerak (Isavasyam Idam Jagat). Ini artinya
alam itu adalah badan raga dari Tuhan. Karena itu upacara mecaru itu
berarti suatu kewajiban merawat badan raga Tuhan dalam wujud merawat
alam.
Di dalam kitab Manawa Dharmasastra V.40 disebutkan, tujuan
digunakan tumbuhtumbuhan dan, hewan tertentu sebagai sarana upacara
yadnya adalah sebagai upaya dan doa agar semua makhluk hidup tersebut
meningkat kualitas dan kuantitasnya pada kelahiran yang akan datang.
Akan
menjadi tidak cantik kalau penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan
tersebut hanya mentok di tingkat upacara semata. Tujuan hakiki dari
upacara mecaru itu adalah pelestarian alam dengan eko sistemnya. Dari
alam yang lestari itu manusia mendapatkan sumber kehidupan. Jadinya
hakekat Butha yadnya itu adalah mecaru untuk membangun kecantikan alam
lingkungan sebagai sumber kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan. Dan
sudut pandang upacara; caru itu adalah salah satu jenis upacara Butha
Yadnya.
Kalau Banten Butha Yadnya itu masih menggunakan nasi
dengan lauknya bawang jahe belum menggunakan hewan itu disebut
Segehan. Segehan itu pun banyak jenisnya. Ada segehan Nasi Sasah, ada
Segehan Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada Segehan Naga dan
sebagainya. Kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan ayam,
banten itulah yang disebut Caru. Ada Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca
Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.
Menurut Lontar Dang Dang Bang
Bungalan, kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan binatang
kerbau tidak lagi ia disebut banten Caru. Banten itu sudah bernama
Banten Tawur. Misalnya Tawur Agung sudah menggunakan binatang kerbau
seekor. Umumnya dipergunakan untuk Tawur Kesanga setiap menyambut
tahun baru Saka. Kalau ditambah lagi dengan tiga ekor kerbau disebut
Mesapuh Agung, ditambah lagi dengan lima ekor kerbau. Demikian antara
lain disebutkan dalam Lontar Dang Dang Bang Bungalan. Namun pada
hakekatnya semuanya itu tujuannya adalah mecaru mewujudkan
keharmonisan sistem alam semesta.
Dengan Caru Mengatasi Bhutakala
Bhuta
Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah
serem menakutkan. Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah
mendelik, rambut tergerai tanpa aturan, perut gendut dengan sikap
garang. Keadaan itu sering diwujudkan dengan ogoh-ogoh menjelang
Nyepi. Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi
para seniman dan rohaniawan. Karena kalau manusia. tidak harmonis
dengan Bhuta Kala perasaan ngeri seperti melihat Bhuta Kala yang
digambarkan di atas. Dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu
terutama di Bali ada istilah mecaru untuk nyomia Bhuta Kala. Upacara
nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi
bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik.
Jadi
hakekat upacara mecaru itu adalah memotivasi spiritual agar selalu
berbuat mengubah sifat ganas menjadi lembut tentang keberadaan Bhuta
Kala itu. Dengan demikian terjadilah suatu hubungan yang harrnonis
antara manusia dengan Bhuta Kala, Keharmonisan itulah tujuan dari
upacara mecaru itu.
Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain
dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup bersama alam bahkan
jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam
kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh
manusia. Api dan air bisa menjadi sahabat dan membantu kehidupan
manusia. Bisa juga menjadi musuh manusia seperti menimbulkan
kebakaran, banjir dan lainnya. Agar alam itu selalu dapat bersahabat
dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah
manusia itu sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan
dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara
kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam
dengan cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara
sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat
membantu kehidupan manusia.
Dari sudut arti kata, Bhuta Kala
berasal dari kata Bhuta yang artinya unsur-unsur alam kita ini. Bhuta
dibangun oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu unsur
tanah, air, api, udara dan ether. Lima unsur itulah yang membangun
alam ini seperti planet-planet yang bertebaran di kolong langit ini.
Planet-planet yang paling dekat dengan kita adalah bumi, bulan dan
matahari. Perputaran planet-planet itu menimbulkan waktu dan musim.
Waktu dalam bahasa Sanskerta adalah Kala. Bhuta Kala arti sebenarnya
adalah Ruang dan Waktu. Manusia hidup dalam suatu ruang dan waktu
tertentu. Tidak ada manusia hidup tidak berada pada ruang dan waktu
tertentu itu. Ruang dan wakru itu dapat menjadi sahabat manusia dapat
pula menjadi musuh yang menyusahkan manusia. Dalam persahabatan ini
manusialah yang semestinya aktif menjalin persahabatan dengan ruang
dan waktu itu. Untuk itu manusia hendaknya memahami peredaran ruang
dan waktu itu dan segala potensi yang dikandung dalam peredaran
tersebut. Dengan caru itu berarti kita dapat memanfaatkan secara
positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala, sehingga Bhuta Kala tidak lagi
mengerikan.
Mengapa caru Menggunakan Binatang
Banten
Bhuta Yadnya yang disebut caru selalu menggunakan binatang kurban.
Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten
caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau
lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam.
Demikian
seterusnya. Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana
upacara Yadnya telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40.
Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara
Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya.
Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan
tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap
perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat
kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan
membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu
penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan
untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju
sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.
Tingkatan Caru dan Binatang yang Dipakai
CARU
pada
hakikatanya dipahami sebagai persembahan untuk Bhuta Kala. Upacara caru
dimaknai sebagai upacara untuk menjaga keharmonisan alam, manusia dan
waktu.
Di Bali Dikenal Tiga Jenis Caru
1. Caru Palemahan Bumi Sudha yaitu upacara caru untuk tempat atau
wilayah. Baik itu untuk mengharmoniskan tempat
untuk dipakai tempat suci, dibangun rumah, atau sebuah wilayah yang
tertimpa musibah.
2. Caru Sasih yaitu caru
yang dilaksanakan berkaitan dengan waktu- waktu tertentu yang
dipandang perlu diharmoniskan. Misalnya Caru Sasih Sanga
(sehari sebelum Nyepi)
3. Caru Oton yaitu caru untuk
orang atau benda sebagai unsur bhuana agung yang
mengalami berbagai siklus, baik terhadap waktu maupun
perkembangannya. Misalnya caru oton untuk anak yang baru lahir,
untuk perkawinan, akil balik, kematian dll. yang sering juga
disebut dengan byakala.
Banten caru biasanya berisikan hal-hal khas
1. Aneka macam nasi, baik warna maupun bentuk
2. Aneka bumbu-bumbuan (bawang, jahe, terasi, garam)
3. Daging (terutama bagian jeroan)
4. Arang
5. Darah
6. Blulang atau bayang-bayang binatang
7. Tuak, arak dan berem
8. Api takep
9. Aneka bunyi-bunyian
Dewasa Caru
Upacara caru yang baik dilakukan pada:
- Sasih Kanem, Kapitu, Kawolu dan Kasanga.
- Hari/tanggal Panglong, atau Tilem - Kajeng Kliwon
- Ingkel Bhuta.
Khusus
untuk Caru Palemahan atau Bumi Sudha dilakukan secara insidental maupun
rutin menurut waktu atau sasih atau peristiwa dengan memperhitungkan
hari dan ingkel.
Jenis Caru Palemahan:
* Caru Eka Sata
Sarana:
Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang --bahasa Bali-red)
dialasi sengkuwi dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina,
penyeneng dan canang (untuk semua jenis caru).
* Caru Panca Sata
Sarana memakai 5 (lima) ekor ayam.
Ayam
bulu hitam tempatnya Kaja (utara), putih siung (kuning) tempatnya Kauh
(barat), ayam bulu merah (barak) Kelod (selatan). Kangin (timur) ayam
bulu berwarna putih dan di tengah ayam bulu berwarna brumbun (segala
warna). Selain itu dilengkapi juga dengan seekor bebek blang kalung.
* Caru Panca Sanak
Untuk Caru Panca Sanak dasarnya adalah caru Panca Sata sedangkan kelengkapannya ada beberapa jenis binatang, jika dilengkapi:
a. Asu atau Anjing maka tempatnya terletak di arah Barat Daya/Kelod-Kauh.
b. Bebek bulu Singkep diperuntukkan diletakan di
arah Kelod-Kangin (Tenggara).
c. Angsa letaknya Timur Laut/Kaja-Kangin
d. Kambing nerupakan caru yang diperuntukkan pada arah Kaja Kauh
(Barat Laut)
Itulah
beberapa caru dari segi sarana hewannya dan masih banyak lagi caru
sesuai dengan namanya dan sarana hewan yang diper sembahkan.
Yang
disebutkan tadi dengan sarana bebek, kambing, anjing, ini merupakan
tingkatan caru yang disebut dengan Panca Sanak. Ini pun dapat dibagi
lagi menjadi Panca Sanak yang sarananya asu, dan bebek bulu sikep.
Sedangkan Panca Sanak Agung sarananya, hewan angsa dan asu atau anjing.
* Caru Panca Sanak Madurga
Sarananya
sama dengan Caru Panca Sanak ditambah dengan anak babi jantan hitam
yang belum dikebiri (kucit selem butuhan) dengan tambahan bebek atau
yang lain.
* Caru Sanak Magodel
Sarana tambahannya dipakai anak sapi atau yang dalam bahasa Balinya disebut godel.
* Caru Rsigana
Adalah Caru Panca Sanak yang disertai dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai dewa penghalau rintangan.
* Caru Balik Sumpah
Di
tingkat yang lebih tinggi ada juga caru yang dikenal dengan nama Caru
Balik Sumpah yang sarana hewannya berupa kerbau dan kambing. Sedangkan
yang lebih tingi lagi ada sejenis upakara Malinggia Bhumi dan ini sarana
binatangnya adalah sebanyak 45 kurban.
Pengertian Banten
Caru, Banten Caru, BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti
sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten
disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna
Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga
hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu: "Pinaka
Raganta Tuwi" artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai
manusia. "Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara" artinya banten merupakan
perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan "Pinaka
Andha Bhuvana" artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta
atau Bhuvana Agung. Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat
dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti Ulu atau
Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku (Nistama
Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki
fungsi sebagai ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya maupun
Sanggar Tawang. Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten
ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah
Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun
Banten
Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang
menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang
terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang
terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam
Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika
lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang
mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang memiliki fungsi sebagai
suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan
sebagainya.
Sedangkan banten yang berfungsi sebagai
penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan
cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras,
Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten
yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten
Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman.
Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu
bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang
bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang
demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh
karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau
yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai
berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten yang
memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten
yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina
Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng,
Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya. Banten sebagai Anda
Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam
semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai
alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya
berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung
anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu
dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini.
Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: Daksina, Suci,
Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan sebagainya.**
Mecaru
(upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin
dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu
bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta ) Panca Maha
Bhuta.
Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:
Nista
~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa
yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar
adat dll)
Madya ~ selain
dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam
wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga
dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga
memerlukan caru jenis madya
Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia
Biasanya
ayam berumbun (tri warna?) digunakan sebagai pelengkap panca sata,
urutan penempatan caru (madya) panca sata adalah sebagai berikut:
1. ayam putih timur
2. ayam merah/biing selatan
3. ayam putih siungan barat
4. ayam hitam/selem utara
5. ayam brumbun tengah
Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan 'Car'
dalam bahasa Sanskrit artinya 'keseimbangan / keharmonisan'. Jika
dirangkaikan, maka dapat diartikan : Caru adalah korban (binatang) untuk
memohon keseimbangan dan keharmonisan.
'Keseimbangan/keharmonisan'
yang dimaksud adalah terwujudnya 'Trihita Karana' yakni keseimbangan
dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), sesama
manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan).
Bila
salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu
terganggu, misalnya : pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan
(gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian, huru-hara
yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang merusak
palemahan, patut diadakan pecaruan.
Kenapa dalam pecaruan
dikorbankan binatang ? Binatang terutama adalah binatang peliharaan /
kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang
dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang
peliharaan.
Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:
Segehan
Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu.
Penyajiannya
diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman
rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Bahan utamanya adalah nasi berwarna beberapa kepal. Yang umum segehan: putih dan kuning.
Dalam Lontar Carcaning Caru,
penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis
warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning,
merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata
(kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni
unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga
akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja,
sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau
tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan
berikutnya.
Caru
Sedangkan pancasanak sampai dengan pancakelud dalam lontar Carcaning Caru tersebut mulai digolongkan sebagai caru yang berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta),
di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun
pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20
tahun, tergantung tempat upacara.
Penyelenggaraan caru juga dapat
dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses
pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar.
Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta).
Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.
Adapun
tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih
maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra
atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna
sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi,
maupun negara.
Rsi Gana
Dalam
upacara agama Hindu memang ada dikenal istilah Rsi Gana. Patut dipahami
terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk
pemujaan kepada Gana Pati (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai
Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan
tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan.
Namun
dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari
penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru ~ kebanyakan orang menyebut dengan istilah caru Rsi Gana.
Upacara
Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang
mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana
bersangkutan.
- Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna).
- Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda).
- Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru.
Jadi,
pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah bertujuan untuk memuja Dewa Gana
Pati atau Ganesa yang merupakan Dewa Penguasa para Gana atau para abdi
Dewi Durga, Dewa Siwa, dan Gana Pati sendiri.
SUMBER SASTRA DAN TEMPAT PELAKSANAAN TAWUR PANCA WALI KRAMA DI BESAKIH.
Sumber sastranya.
Cukup
banyak lontar-lontar yang mengung kapkan Taur Panca Wali Krama.
Kebanyakan mengungkapkan periode pelaksanaan Taur Panca Wali Krama yang
dikaitkan dengan upacara Eka Dasa Rudra hingga Eka Bhuwana sebagai satu
siklus upacara seratus tahunan. Diantara sumber-sumber tersebut antara
lain :.
Lontar Widhi Sastraning Taur Eka Dasa Rudra, dari Wanasari Tabanan, menyebutkan :”Huwusning
Eka Dasa Rudra patawurakena Bhuta Panca Wali Krama, gaweya sanggar 5,
tekaning panggungan panca desa. Wusning mangkana patawurakena Tri
Bhuwana, ngaran, patawurakena Gurunya. Sanggar Tawang sanunggal
panggungan sawiji. Mangkana yogyaniya gelarakena de sang rumakseng praja
mandala, lawan para wiku Aji, sang sampun kreta yaseng yadnya sinanggah
Weda Paraga.
Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur, menyebutkan : Ngadasa
tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput panca Wali Krama ping 10
mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra
rah windu, tenggek windu. .
Widhi Sastra Niti Pedanda Sakti
Wahu rawuh, antara lain menguraikan bahwa bilamana terjadi “prawesaning
jagat rusak” seperti bencana alam, banyak terjadi wabah penyakit patut
dilaksanakan upacara Taur Panca Wali Karma di Besakih, dan di
batas-batas desa dilaksanakan upacara yang lebih kecil.
Lontar Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, menyebutkan Wusni
Eka dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa,
pur, da, pas, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggar
tawang tiga saha panggungan siji sowang, u, ma, da. Wus mangkana
patawurakna Gurudya.
Lontar Bhama Kretih, menguraikan :”Wusning
Eka Dasa Rudra patawurakna bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa,
marep pur, da, pas, u, ma,. I Tlas mangkana muwah patawurakena Tri
Bhuwana angadegaken sanggar tawang 3, saha panggungan siji sowang, u,
ma, da,. Wus mangkana malih patawurakena Guruniya sanggar tawang 1.
Lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama, Geriya Telaga Sanur: menyebutkan : Nihan
tingkahing karya Panca Wali Krama keangge ring Negara krama, ring
pempatan agung, durung keangge ring parhyangan dewa pacang mahayu jagate
ring Bali nganut I sojar ira Sri Jaya Kasunu. Sumber ini
menyebutkan Panca Wali Krama untuk tingkat negara karma (desa-desa),
tidak digunakan di pura-pura besar seperti Besakih.
Purana Pura
Agung Besakih, tidak menyinggung periode pelaksanaannya, hanya
menguraikan tentang rincian upakaranya yang sedikit berbeda dalam hal
binatang korban yang dipergunakan bila dibandingkan dengan sumber-sumber
lainnya.
Tempat pelaksanaannya.
Tempat
pelaksanaan upacara Taur Panca Wali Krama adalah di Bencingah Pura
Agung Besakih. Tempat ini diyakini merupakan sentral, oleh karena
sesuai dengan struktur pura Agung Besakih, dari tempat ini ke arah bawah
disebut soring ambal-ambal” yang melambangkan alam bawah (adhah) yang
terdiri atas sapta patala. Sedangkan kearah atas dari bencingah agung
disebut luhuring ambal-ambal yang melambangkan alam atas (urdhah) yang
terdiri atas saptra loka Disamping Pura Agung Besakih secara umum
diyakini sebagai central (madyaning mandala) .
BEBERAPA JENIS TAUR PANCA WALI KRAMA
Jenis-jenis upacara Taur Panca Wali Krama:
Upacara yang bersifat rutin yaitu ketika tahun saka bilangan satuannya menemui angka nol ( Tenggek windu).
Ngadasa tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput Panca Wali Krama
ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa
rudra rah windu, tenggek windu. (Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur).
Panca Wali Krama sebagai penutup Eka Dasa Rudra. (Wusni
Eka Dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa,
pur, da, pa, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken
sanggartawang tiga saha panggungan siji sowing, u, ma, da. Wus mangkana
patawurakna Gurudya. (Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, Hal. 9b).
Sesuai
dengan Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran, Sanur, bahwa
terkait dengan rangkaian Eka Dasa Rudra, ada Panca Wali Krama di Danu
Nyegjegang Bhatari Danu. Diuraikan sebagai berikut : ….. mwah Danu Panca Wali Krama nyegjegang Bhatari Danu nlasang kebo 4, tekaning pangelem.
Panca
Wali Krama ketika jagat rusak, wenang gelaran Tawur Panca walikrama,
sebagaimana disebut dalam lontar Widhi Sastra Niti Pedanda Sakti
Wahurawuh:
Panca Wali Krama di Negara krama, sebagaimana diuraikan dalam lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama, Geriya Telaga Sanur:
RANGKAIAN UPACARA PANCA WALI KRAMA
Sebagaimana
biasa diawali dengan ngatur piuning bahwa akan dilaksanakan Taur Panca
Wali Krama pada waktunya, dilanjutkan dengan Nuwasen Karya yang
disertai dengan nunas tirta pengandeg untuk disiratkan di setra.
Dilanjutkan dengan rangkaian-rangkaian persiapan lainnya seperti
memineh empehan, membuat madu parka, nanding catur, nanding bagia
pulakerti, nyukat genah, nunas tirtha penyaksi karya, dll. Rangkaian
lainnya adalah melaksanakan upacara melasti, yang perjalanannya
mengikuti rute tertentu sesuai dengan tradisi. Sehari sebelum puncak
upacara dilaksanakan upacara Mepepada, dan sore harinya upacara menben.
Pada puncak Taur Panca Wali Krama, juga disertai dengan Upacara Padanan,
Upacara di Ayun Widhi, pemujaannya dilaksanakan dari Bale Gajah, dan
Upacara Tedun ke Paselang bertempat di Bale Paselang Penataran Agung.
Tiga hari setelah puncak Taur Panca Wali Krama ditutup dengan upacara
Pangremekan. Setelah itu menyusul rangkaian upacara Bhatara Turun Kabeh
seperti biasa. Rangkaian terakhir adalah Upacara Penyineban yang
disertai dengan melaksanakan tirta panglebar dan akhirnya ditutup dengan
upacara Mejauman.
UPAKARA TAUR PANCA WALI KRAMA
Sesuai
dengan lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Sanur, bahwa Taur Panca
Wali Krama di Besakih yang dilaksanakan dalam siklus sepuluh tahunan
sekali merupakan satu kesatuan dengan Candi Narmada, Panca Wali Krama di
Danu (Nyegjegang Bhatari Danu), Eka Dasa Rudra, Tri Bhuwana dan Eka
Bhuwana yang dilaksanakan dalam siklus seratus tahunan sekali.
Dalam
satu paket upakara Eka Dasa Rudra dengan rangkaiannya menghabiskan
kerbau sebanyak 45 ekor yaitu: rangkaian upacara yang pertama adalah
Candi Narmada menghabiskan 5 ekor kerbau, diikuti dengan Panca Wali
Krama di Danu, menghabiskan 4 ekor kerbau, dilanjutkan dengan Eka Dasa
Rudra menghabiskan 26 ekor kerbau, diikuti lagi dengan Panca Wali Krama,
menghabiskan 4 ekor kerbau, setelah itu Tri Bhuwana menghabiskan 4 ekor
kerbau dan sebagai rangkaian terakhir Eka Bhuwana menghabiskan 2 ekor
kerbau. Tampaknya standar yang dipergunakan dalam upakaranya ditentukan
berdasarkan jumlah kerbau yang dipergunakan, tentunya yang lain akan
menyesuaikan, seperti banyaknya bebangkit, catur, suci, padudusan agung,
dan sebagainya.
Uraian tentang upakara Taur Panca Wali
Krama disini tidak dimaksudkan secara teknis dan mendetail, melainkan
akan dikemukakan beberapa kelompok upakara yang dipandang menonjol untuk
pengkajian lebih lanjut tentang makna filosofisnya. Beberapa kelompok
upakara tersebut adalah :
Upakara di sanggar Tawang, Akasa dan Pertiwi.
Upakara di Sanggar Tawang :
Banten
yang utama adalah catur, suci, dewa-dewi, dilengkapi pula dengan siwa
bahu, pucuk bahu, gana pikulan, panca saraswati, wedya, serta
kelengkapan lainnya. Sanggar tawangnya sendiri seperti biasa dihias
dengan dahuduh dan peji.
Upakara di Sanggar Luhuring Akasa. Memakai Bebangkit putih dengan ulamnya itik putih.
Upakara untuk Ibu Pertiwi. Bebangkit ireng (merah ?),dengan ulam babi.
Ketiga
kelompok upakara ini tampaknya juga memiliki makna untuk pelestarian
ketiga alam tersebut. Untuk mencapat kesejahtraan hidup di dunia ini
patut di dukung dengan kelestarian dan keharmonisan alam bawah dan alam
atas, yang dikiaskan sebagai bapa akasa dan ibu pertiwi .
Upakara di panggungan,
Upakara
di panggungan yang terletak pada empat penjuru mata angin (nyatur
desa) berupa bebangkit agung masing-masing 1 pasang yaitu memakai ulam
itik dan satu lagi memakai ulama bawi, dengan warna sesuai dengan
kiblatnya. Kelengkapan lainnya tentu saja tidak dapat dilepaskan adanya
gayah utuh, karena tingkat bebangkitnya yang diperguanakan adalah
bebangkit agung.
Sedangkan panggungan yang di tengah memakai bebangkit agung 5 buah (manca warna).
Pada masing-masing panggungan juga dilengkapi dengan penjor, di dalam lontar disebutkan :
penjorniya petung kinerik denabersih plawaniya andong, paku saji, sinwi wangun pramangke, masurat sanjata paideran.
Upakara tawur dengan kelengkapannya.
Upakara
tawur Panca Wali Krama yang biasa diperguanakan di Bencingan Pura Agung
Besakih adalah dalam tingkatan yang utama yaitu dengan “lawa tiga”,
(tiga lapisan), bawah (adhah), tengah (madya) dan atas (urdhah). Ketiga
lapisan taur tersebut ditandai dengan memakai masing-masing tiga jenis
binatang korban pada kelima penjuru: mulai dari timur, selatan, barat,
utara dan tengah masing sebagai berikut: lawa paling bawah (adhah)
memakai ayam putih, merah, kuning (putih siyungan), hitam dan brumbun.
Pada lawa yang ditengah (madya) bertutur-turut menggunakan : angsa, asu
bang bungkem, banyak, bawi butuan serta itik belang kalung. Pada lawa
yang paling atas (urdhah) terdiri dari: sapi (lembu), kidang, menjangan,
kebo serta kambing belang.
Tiga lapisan upakara taur ini mungkin
juga ada kaitannya dengan pelestarian tiga lapisan alam semesta yaitu
alam bawah, tengah dan atas.
Upakara Tri Samaya di sanggar suku tiga
Upakara
yang dikenal dengan “tri semaya” ditempatkan pada tempat khusus berupa
sanggar suku tiga mengingatkan kita pada ceritra Dewa Wisnu ketika
mengalahkan raksasa Bali dengan melangkahkan kakinya (sukunya) pada tiga
dunia ini. Apakah ada korelasi makna upakara ini dengan pelestarian
tiga alam bhur, bhwah dan swah menarik untuk kita kaji bersama. Inti
upakaranya adalah bebangkit.
Upakara Panunggun Tawur,
Diantaranya memakai daksina sarwa 7, beras 7 catu, bebangkit, serta kelengkapan upakara lainnya
Upakara lantaran bhatara
Upakara
ini diletakkan di sor sanggar tawang yang ada di tengah, yang utama
memakai kebo yosbrana dengan kelengkapan upakaranya, seperti cau-cau,
kekuduk, pering, bebangkit, dan lain-lain, disertai pula dengan upakara
Yama Raja, yang memakai sarana tepung sebagai alas untuk menuliskan
aksara-aksara suci simbul Yama Raja. Alat penulisnya menggunakan duri
pohon bila.
Upakara di tempat pemujaan.
Upakara
yang utama disini adalah upakara-upakara yang bersifat menyucikan yang
utama adalah padyus-dyusan (padudusan agung) dengan tirtha nawa ratna,
dan berbagai jenis tirtha penyucian lainnya .
Upakara Padanan.
Khusus
untuk padanan merupakan satu kesatuan tersendiri karena lengkap dengan
Sangar Tawangnya, disertai dengan upakara di Bale Padanan, serta upakara
caru dalam tingkat “wrhaspati kalpa” (Memakai sarana ayam lima warna
dan asu bangbungkem, diletakkan di arah barat daya (Kelod kauh).
Upakara Ayun Widhi,
Upacara
di Ayun Widhi juga meliputi tiga unsur, yaitu upakara di luhur yang
ditempatkan di Sanggar Tawang lengkap dengan Sanggar Akasa dan
Pertiwinya. Upakara di madia, yaitu upakara-upakara di bale panggungan,
yang terdiri dari bebangkit agung beserta gayah utuhnya. Dan upakara di
sor adalah caru di sor sanggar tawang yang merupakan dasar dari lantaran
Ida Bhatara.
Upacara tedun ke Paselang.
Paselang
juga merupakan satu kesatuan upakara yang terdiri dari upakara di
Sanggar Tutuwan, upakara lantaran di sor dan upakara di Bale Paselang.
Upakara di Bale paselang yang menonjol adalah pemujaan kehadapan
Sanghyang Semara Ratih, yang disertai pula dengan upacara “Majijiwan”
Makna upakara secara umum diuraikan dalam lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama Geriya Telaga Sanur sebagai berikut
Apan
pabanten pinaka sarira bhatara, Ikang Sanggar Tawang pinaka Siwalingga
Bhatara, bantene ring panggungan agung pinaka Bahuangga Bhatara, Ikang
paselang pinaka Jagana bhaga-purus Bhatara Ikang caru sor pinaka Suku
delamakan Bhatara,.
Semua binatang korban yang
dipergunakan dalam kelompok-kelompok upakara tersebut ditekankan yang
masih muda, tidak cacat, dan khusus untuk binatang yang berkaki empat
agar belum “metelusuk” dan umurnya telah lewat 6 bulan
Dalam
rangkaian taur Panca Wali Krama dan Bhatara Turun Kabeh tahun ini semua
pura Pedharman diharapkan agar ikut ngiringang Ida Bhatara melasti ke
segara Klotok, dan nyejer sebisanya, sebagai wujud ikut “ngertiyang
karya agung ini”.Selanjutnya untuk upakara dalam hubungan dengan Bhatara
Turun Kabeh, pada dasarnya berlaku seperti biasa karena telah rutin
dilaksanakan setiap tahun sekali. Tidak ada kekhusan walaupun diawali
dengan taur Panca Wali Krama.
Banten
Beberapa Jenis Persembahan:
Canang Genten
Sebagai
alas dapat digunakan taledan, ceper ataupun daun pisang yang berbentuk
segi empat. Diatasnya berturut-turut disusun perlengkapan yang lain
seperti: bunga dan daun-daunan, porosan yang terdiri dari satu/dua
potong sirih diisi sedikit kapur dan pinang, lalu dijepit dengan
sepotong janur, sedangkan bunganya dialasi dengan janur yang berbentuk
tangkih atau kojong. Kojong dengan bentuk bundar disebut "uras-sari".
Bila
keadaan memungkinkan dapat pula ditambahkan dengan pandan-arum,
wangi-wangian dan sesari (uang). Waulupun perlengkapan banten ini sangat
sederhana, tetapi hampir semuanya mempunyai arti simbolis antara lain:
jejaitan/tetuwasan reringgitan, melambangkan kesungguhan hati,
daun-daunan melambangkan ketenangan hati.
Sirih, melambangkan dewa wisnu,
kapur melambangkan dewa siva,
pinang melambangkan dewa brahma,
suci bersih, dan wangi-wangian sebagai alat untuk menenangkan pikiran kearah kesegaran dan kesucian.
Canang
ini, baik besar maupun kecil bahkan selalu digunakan untuk melengkapi
sesajen-sesajen yang lain, hanya saja bentuk alat serta porosannya
berbeda-beda.
Canang Buratwangi
Bentuk
banten ini seperti canang genten dengan ditambahkan "burat wangi" dan
dua jenis "lenga wangi". Ketiga perlengkapan tersebut masing-masing
dialasi kojong atau tangkih. Burat wangi dibuat dari beras dan kunir
yang dihaluskan dicampur dengan air cendana atau mejegau. Ada kalanya
dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lenga Wangi ( minyak
wangi) yang berwarna putih dibuat dari menyan, 'malem" ( sejenis lemak
pada sarang lebah), dicampur dengan minyak kelapa. Lenga wangi (minyak
wangi) yang berwarna kehitam-hitaman dibuat dari minyak kelapa dicampur
dengan kacang putih, komang yang digoreng sampai gosong lalu dihaluskan.
Ada
kalanya campuran tersebut dilengkapi dengan ubi dan keladi (talas),
yang juga digoreng sampai gosong. Biasanya untuk memperoleh campuran
yang baik, terlebih dahulu minyak kelapa dipanaskan, kemudian barulah
dicampur dengan perlengkapan lainnya. Secara keseluruhan "lenga-wangi"
dan "burat-wangi" melambangkan Hyang Sambhu. Menyan melambangkan Hyang
Siva, Majegau melambangkan Hyang Sadasiva sedang cendana melambangkan
Hyang Paramasiva
Banten ini dipergunakan pada hari-hari tertentu
seperti pada hari Purnama, Tilem, hari raya Saraswati dan melengkapi
sesajen-sesajen yang lebih besar.
Canang Sari
Bentuk
banten ini agak berbeda dengan banten/canang genten sebelumnya, yaitu
dibagi menjadi dua bagian. Bagian bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun
segiempat seperti ceper atau taledan. Sering pula diberi hiasan
"Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini terdapat pelawa,
porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan dari tepung beras), pisang emas
atau yang sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih. Dapat
pula ditambah dengan burat wangi dan lengawangi seperti pada canang
buratwangi. Di atasnya barulah diisi bermacam-macam bunga diatur seindah
mungkin dialasi dengan sebuah "uras sari/sampian uras".
Canang
sari dilengkapi dengan sesari berupa uang kertas, uang logam maupun uang
kepeng. Perlengkapan seperti tebu, kekiping, dan pisang emas disebut
"raka-raka".
Raka-raka melambangkan Hyang Widyadhara- Widyadhari.
Pisang emas melambangkan Mahadewa,
secara umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara,
sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma.
Canang
sari dipergunakan untuk melengkapi persembahan lainnya atau
dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti: Kliwon, Purnama, Tilem
atau persembahyangan di tempat suci.
Canang Pesucian
Canang
ini disebut juga canang pengeraos yang terdiri atas dua buah aled atau
ceper. Pada bagian bawah berisi kapur, pinang, gambir, tembakau yang
dialasi dengan kojong. disusuni beberapa lembar daun sirih, sedangkan
aled atau ceper yang lain berisi bija serta minyak wangi yang dialasi
celemik atau kapu-kapu kemudian dilengkapi bunga yang harum.
Tadah Pawitrah / Tadah Sukla
Bentuknya
seperti canang genten ditambahkan dengan pisang kayu yang mentah,
kacang komak, kacang putih, ubi dan keladi. Semua perlengkapan digoreng
dan masing-masing dialasi tangkih dan kojong. Banten ini dipergunakan
untuk melengkapi beberapa jenis sesajen seperti: daksina Pelinggih dan
lain-lainnya.
Cane
Dipakai sebuah
dulang kecil dihiasi dengan sesertiyokan dari janur. Ditengah-tengahnya
ditancapkan batang pisang. Disekitarnya diisi perlengkapan lain seperti:
Bija, Air cendana dan burat wangi, masing-masing dialasi dengan empat
buah tangkir atau mangkuk kecil. Dilengkapi pula dengan kojong empat
buah yang berisi tembakau, pinang dan lekesan yaitu, 2 lembar sirih yang
dilengkapi dengan gambir dan kapur dan diikat dengan benang. Dapat pula
ditambah dengan rokok dan korek api sebanyak empat batang.
Bunganya
ditancapkan menlingkar pada batang pisang dan paling diatas diisi cili
atau hiasan-hiasan lainnya. Cane dipergunakan terutama pada waktu
upacara melasti dijunjung mendahului pratima atau dasksina pelinggih.
Cane juga digunakan pada rapat-rapat desa adat untuk memohon agar
pertemuan berjalan lancar. Setelah pertemuan selesai, cane akan dilebar
yaitu dengan jalan membagi-bagikan air cendana, Bidja, Bunga serta
perlengkapan lainnya.
Canang Meraka
Sebagai
alas dari canang ini digunakan ceper atau tamas, diatasnya diisi tebu,
pisang, buah-buahan, beberapa jenis jajan dan sebuah "sampian" disebut
"Srikakili" dibuat dari janur berbentuk kojong diisi plawa, porosan
serta bunga. Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis canang tubungan,
Canang Gantal, Canang Yasa. Canang pengraos dan lain-lain.
Pada
umumnya bahan yang diperlukan hampir sama, hanya bentuk porosan dan cara
pengaturannya yang berbeda. Rupanya pemakaian sirih, kapur dan pinang
mempunyai dua fungsi sebagai simbul atau lambang yaitu:
- Sirih melambangkan Dewa Wisnu
- Pinang melambangkan Dewa Brahma
- Kapur melambangkan Dewa Siwa
Untuk persembahan biasa berfungsi sebagai makanan, dalam hal ini penggunaannya dilengkapi dengan tembakau dan gambir.
Daksina
Alas
Daksina disebut wakul Daksina atau bebedogan. Kedalamnya berturut-turut
dimasukan tampak (sejenis jejahitan berbentuk silang atau tampak dara)
beras, sebutir kelapa yang sudah dikupas sampai bersih (mekelas), serta
beberapa perlengkapan yang dialasi dengan kojong seperti telur itik yang
mentah, bija ratus (campuran berbagai biji-bijian), gantusan (campuran
berbagai jenis bumbu), Kelawa peselan (Daun salak, ceruring,
Manggis,durian, dll), base-tampel, kemiri (tingkih), tangi, Pisang kayui
yang mentah, uang, canang payasan, yaitu sejenis canang genten tetapi
alasnya berbentuk segitiga ditempelin dengan reringgitan yang khusus.
Dapat pula dilengkapi dengan canang buratwangi atau canang sari atau
yang lain.
Perlengkapan seperti telur itik uang, ataupun gantusan
kiranya dapat digolongkan buah sebab pengertian buah mempunyai arti yang
agak luas. Persembahan yang berupa daksina dianggap sudah lengkap
sebagai mana disut dalam Bagawadgitha. Disamping itu penggunaan telir
itik dan uang rupanya mempunyai fungsi tersendiri secara umum kelapa
dapat digolongkan sebagai buah, tatapi yang lebih diutamakan airnya
Diusahakan
mempergunakan telur itik bukan telur ayam sebab itik lebih banyak
menunjukan sifat-sifat satwam sedangkan ayam lebih banyak menunjukan
sifat rajas dan tamas oleh karena itu pula beberapa daksina terutama
yang melambangkan bhutkala dipergunakan telur ayam, tetapi bila
ditujukan kepada Hyang Widhi para Dewat dan Leluhur sedapat mungkin
dipergunakan telur itik. Penggunaan uang yang disebut pula sesari atau
akah kiranya untuk menyempurnakan isi daksina sehingga persembahan yang
dilengkapi dilengkapi dengan daksina benar-benar diharapkan memberikan
kesukseskan atau hasil yang sebagai mana diharapkan.
Daksina
disebut Juga "YadnyaPatni" yang artinya istri atau sakti daipada
yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda
terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan
sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakerti
disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua
nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
Ajuman
Bahan
perlengkapan yang diperlukan untuk membuat ajuman adalah: nasi yang
disebut "penek" atau "telompokan", beberapa jenis jajan, buah-buahan,
lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri,
telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam,
dan sambal. Sebagai alasnya dapat digunakan "taledan" atau yang lainnya.
Di atasnya diisi dua buah penek, lauk pauk yang dialasi dengan tangkih
berbentuk segitiga, jajan buah-buahan dan sampaian soda (sampian ajuman)
berbentuk tangkih. Kadang bagian atasnya dibuat agak indah seperti
kipas disebut "sampian kepet-kepetan". Dapat pula dilengkapi dengan
canang genten/ canang sari/ canang burat wangi.
Ajuman disebut
juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun
melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para
leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi
kuning, disebut "perangkat atau perayun" yaitu jajan serta
buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya
masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek
yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat
wangi atau yang lain.
Peras
Perlengkapan
serta cara penyusunannya hampir sama dengan ajuman, tetapi nasinya
berbentuk tumpeng (dua buah), alasnya ditempeli "Kulit-peras" yaitu
sejenis jejahitan yang khusus, sedangkan sampaiannya disebut Sampian
Tupeng (Sampian Peras).
Banten ini boleh dikatakan tidak pernah
dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain
seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa
hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih.
Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya
pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada "kulit-peras", dan
menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada lontar Yajna-prakerti disebut
bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.
Kiranya
kata "Peras" dapat diartikan "sah" atau resmi, seperti kata: "meras
anak" mengesahkan anak, "Banten pemerasan", yang dimaksud adalah sesajen
untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak
dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya "tan
perasida", yang dapat diartikan "tidak sah", oleh karena itu banten
peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai
tujuan-tujuan tertentu.
Banten Jotan
Banten
jotan (saiban) disebut pula "Yajnasesa", merupakan yadnya setiap hari
bagi umat Hindu di Bali khususnya. Di India juga dapat ditemukan hal
yang sama. Bahan perlengkapannya adalah: sedikit nasi, garam, serta lauk
pauk lainnya yang baru dimasak. sebagai alas dapat dipakai daun atau
piring kecil-kecil.
Banten Suci
Alas dari
banten suci ini adalah beberapa buah tamas. Warna jajan yang
dipergunakan adalah putih dan kuning, jajan yang berwarna putih
ditempatkan disebelah kanan dan yang kuning ditempatkan disebelah kiri.
Di antara jajan tersebut ada yang dinamakan "sasamuhan" terbuat dari
tepung beras yang dicampur sedikit tepung ketan, parutan kelapa serta
air. Campuran tersebut lalu dibentuk kemudian digoreng. Jajan-jajan
tersebut ada yang diberi nama: Kekeber, Kuluban, Puspa, Karna,
Katibuan-udang, Panji, Ratu-magelung, Bungantemu dan lain sebagainya.
Yang
perlu diperhatikan di sini adalah perbandingan antara jajan yang
berwarna putih hendaknya lebih banyak dari pada jajan yang berwarna
kuning, misalnya 12:6, 9:5, 7:5, 5:4, dst.
Pada banten suci tiap
tempat /tamas diisi perlengkapan yang jumlahnya telah ditentukan,
seperti: tamas yang paling bawah berisi pisang, tape, buah-buahan,
masing-masing 5 biji/iris, jajan sesamuhannya 1 biji tiap jenis: tamas
yang kedua berisi 2 biji/iris, dst. Secara sederhana 1 soroh suci
terdiri dari: Suci, daksina, peras, ajuman, tipat kelan, duma (sejenis
banten) pembersihan, canag lengawangi/ buratwangi, canang sari dan buah
pisang. Pada upacara yang agak besar dilengkapi dengan perayunan.
Banten Gebogan / Pajegan
Gebogan
atau pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan
rangkaian makanan termasuk juga buah-buahan dan bunga-bungaan. Umumnya
dibawa dan ditempatkan dipura dalam rangkaian upacara Panca Yadnya. Ini
karena keindahan bentuknya, hanya digunakan hanya sebagai dekorasi.
Penjor
Pejor
adalah sarana keagamaan sebagai persembahan dan juga perlambangan
Gunung Agung, Naga Basuki dan Naga Ananta Boga.Penjor dipasang pada hari
penampahan Galungan di depan pintu masuk sebagai pertanda kemenangan
dharma. Penjor dengan segala perlengkapannya, yang menggunakan hiasan
seperti daun daunan, ibi ubian, buah buahan, jenis jajan, kain uang
kepeng sebagai simbul dari Naga Anantha Bhoga dan Naga basuki.
Kedua
Naga ini perlambang anugrah dari Hyang Widhi. Naga Anantha Boga simbul
tanah yang dapat membrikan kesejahteraan dan kemak muran bagi kehidupan
manusia. Sedangkan Naga Basuki lambang keselamatan, yaitu selamat dari
penyakit, penderitaan. Itulah sebabnya, penjor menyerupai bentuk Naga,
dengan kepalanya di bawah penjor dilukiskan mulut dari naga.
Pada
hari Umanis galungan penjor tersebut digoyang goyangkan sedikit agar
dahan perlengkapan yang tergantung jatuh dengan maksud mohon anugrah
dari Hyang Widhi. Setelah budha keliwon Pegatwakan, 35 hari setelah
Galungan penjor dicabut dan sampahnya dibakar habis abunya dimasukan ke
dalam kelapa gading ditanam di depan rumah dengan harapan agar memberi
sesuatu kekuatan untuk memperkokoh jiwa agar penghuni menjadi selamat.
Lamak
Lamak
adalah suatu ukiran dari janur, daun enau baik yang warna hijau maupun
yang warna krem sebagai alas yang ditempatkan dalam suatu bangunan
pelinggih. Dalam lamak terdapat berbagai ukiran simbol-simbol keagamaan
yaitu: Simbul Gunungan atau kekayonan, Cili-cilian, Bulan, Bintang,
Matahari dan sebagainya. Penggunaannya dilengkapi denga Plawa, Canang
dan Dupa.
ASRAMA
Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama hidupnya, yaitu :
1.Brahmacari,
2. Grhastha,
3. Vanaprastha, dan
4. Bhiksuka.
Karena
menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang tidak melaksanakan
catur ashrama dengan baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.
Brahmacari
Brahmacari
adalah masa belajar, masa menuntut ilmu/pendidikan. Brahmacari dalam
arti sempit adalah masa belajar secara formal misalnya belajar sejak TK
sampai perguruan tinggi. Brahmacari dalam arti yang lebih luas, adalah
upaya meningkatkan pengetahuan dengan berbagai cara (formal dan
informal) yang berlangsung sepanjang masa kehidupan karena sebenarnya
proses belajar-mengajar berlangsung tiada henti. Brahmacari dalam arti
khusus ada dua yaitu :
1) Brahmacari dalam kaitan masa
aguron- guron (belajar agama/spiritual) seorang
sisya (siswa) kepada Nabe (guruspiritual) dimana Nabe tidak
hanya mengajar tetapi juga mendidik dan melatih, dan
2) Brahmacari dalam arti menjauhkan diri dari keinginan sex
atau tidak kawin/nikah selama hidup. Yang terakhir ini
disebut sebagai sukhla brahmacari. Pentingnya
Brahmacari Ashrama, disebutkan dalam Atharvaveda sebagai
berikut :
Brahmacaryena tapasa, raja rastram vi raksati, acaryo brahmacaryena, brahmacarinam icchate
(XI.5.17).
Sa dadhara prthivim divam ca
(XI.5.1).
Tasmin devah sammanaso bha vanti
(XI.5.1)
Artinya :
Seorang
pemimpin dengan mengutamakan brahmacari dapat melindungi rakyatnya, dan
seorang guru yang melaksanakan brahmacari menjadikan siswanya orang
yang sempurna; Seseorang yang melaksanka brahmacari akan menjadi
penopang kekuatan dunia; Tuhan (Hyang Widhi) bersemayam pada diri
seorang brahmacari.
Dari kutipan Veda itu
jelaslah kiranya bahwa kewajiban manusia yang utama dan yang pertama
dilakukan adalah menuntut ilmu atau belajar dan berpendidikan, karena
dari pendidikan / pengajaranlah pikiran dikembang kan untuk menuju
kepada Catur purushaarta seperti yang telah dikemukakan dalam uraian
tentang catur purushaarta terdahulu. Pelajaran dan pendidikan juga akan
membangun kemampuan berpikir untuk memilah antara dharma (perbuatan
baik) dan adharma (perbuatan tidak baik) sehingga manusia dapat mencapai
kesempurnaan hidup.
Kitab suci Sarasamusccaya 2 :
Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu samavistam subhesvevavakarayet.
Artinya :
Diantara
semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang
dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam
perbuatan baik segala yang buruk itu; demikianlah pahalanya menjadi
manusia.
Dalam Upanisad disebutkan pula bahwa arti
kata Manusah adalah : Manu = kebijaksanaan, sah = mempunyai. Jadi
manusia adalah mahluk yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan
diperoleh dari tiga kemampuan kodrati manusia yaitu:
1. Sabda (kemampuan berbicara),
2. Bayu (kemampuan bergerak) dan
3. Idep (kemampuan berpikir).
"Idep"
yang dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan akan menjadikan
manusia itu lebih bijaksana sehingga disebut sebagai manusia yang
sempurna.
Mahluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua
kemampuan saja yaitu kemampuan bergerak (bayu) dan kemampuan bersuara
(sabda). Binatang tidak mempunyai kemampuan berpikir (idep) oleh karena
itu binatang beraktivitas berdasarkan naluri, tidak berdasar kan
pikiran. Tumbuh-tumbuhan hanya mempunyai kemampuan tumbuh (bayu) saja,
tidak mempunyai sabda dan idep.Selanjutnya Sarasamusccaya menyatakan
bahwa kita wajib bersyukur karena atman telah menjelma menjadi manusia,
mahluk yang utama, karena itu gunakanlah kesempatan hidup yang sempit
ini dengan sebaik-baiknya, kesempatan mana sungguh sangat sulit
diperoleh; lakukanlah segala sesuatu yang baik (melalui brahmacari) yang
mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan, gunakanlah kesempatan ini untuk
mencapai moksa/sorga. "Paramarthanya, pengpengen ta pwa katemwaniking si
dadi wwang, durlabha wi ya ta, saksat handaning mara ring swarga ika,
sanimittaning tan tiba muwah ta pwa damelakena"
Dana Punia
Apakah Pengertian dari Dana Punia itu ?
Dana Punia terdiri dari dua kata yaitu Dana = Pemberian, sedangkan Punia artinya selamat, baik, bahagia, indah, dan suci.
Jadi Dana Punia artinya pemberian yang baik dan suci.
Apakah yang menjadi landasan Dana Punia ?
Sedikitnya ada dua landasan dari Dan Punia itu antara lain :
1. Landasan Filosofis : Tat Twam Asi
2. Landasan Sastra :
1. Weda Smerti
2. Manawadharmasastra Bab IV, sloka 33,226
3. Sarasamuscaya sloka no. 175, 176, 192, 198, 217,178,207, 211,
182, 183, 184, 222, 181, 202, 205,206,216,187, 188, 191, 193,
194, 212, 213, 223, 261, 262,263.
4. Sanghyang Kamahayanika, sloka 56,57,58.
5. Slokantara, Sloka nomor 2,4,5.
6. Ramayana, sargah I, bait 5, sargahII bait 53, 54.
7. Nitisastra, sargah III bait 8, sargah XIII bait 11.
8. Lontar Yadnya Praketi.
Berapa jeniskah kita mengenal Dana Punia ? Perincian dana punia
yang dapat mendatangkan pahala yang besar adalah :
1. Desa : harta benda
2. Agama : ajaran sastra, agama, dan ilmu pengetahuan
3. Drewya : benda benda duniawi/material.
Dalam Sanghyang Kamahayanika dijelaskan bentuk dana punia yaitu:
1. Dana : harta benda
2. Atidana : anak gadis yang cantik
3. Mahatidana : jiwa raga
Siapakah yang berkewajiban melaksanakan dana punia ?
* Para pengusaha negara / pemerintah
* Para pemuka agama
* Penyelenggara yadnya
* Saudagar, usahawan
* Orang orang yang mampu
* Sewaktu waktu diwajibkan bagisemua umat
* Bagi umat yang berpenghasilan tetap
* Bagi umat yang berpenghasilan tinggi.
Siapakah yang berhak menerima Dana Punia ?
* Para Guru Rohani / Nabe
* Dangacarya /Sulinggih
* Orang miskin yang terlantar
* Orang cacat
* Orang yang terkena musibah
* Tempat suci / Parahyangan
* Lembaga lembaga sosial
* Rumah sakit
* Pasraman / Pendidikan
Bagaimana Pelaksanaan Dana Punia ?
Saat yang baik melaksanakan dana punia adalah :
* Uttarayana (purnama kedasa ) Umat Hindu diwajibkan melaksanakan dana punia secara serentak
* Sewaktu waktu tepatnya pada purnama dan tilem baik Uttarayana,
swakala, daksinayana (matahari menuju utara, di
katulistiwa, dan menuju selatan).
* Saat gerhana matahari dan bulan
* Dalam keadaan pancabaya.
Apakah dasarnya dana Punia ?
Dalam
Sarasamuscaya sloka 261, 262, 263 dan Ramayana sarga II bait 53, 34
disebutkan bahwa harta yang didapat (hasil guna kaya) hendaknya dibagi
tiga yaitu untuk kepentingan:
* Dharma 30%
* Kama 30%
* Dana harta ( Modal Usaha 40% )
Sampai kapankah Dana Punia itu dilaksanakan ?
* Selama dalam status grehaste untuk setiap umat wajib melakukan dana punia.
* Dalam rangka pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran berdana
punia di kalangan anak anak maka perlu kegiatan dana punia
MOKSA
Menurut
kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala
bentuk ikatan dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma adalah
roh, jiwa. Sedangkan hal-hal yang termasuk ikatan adalah :
1) pengaruh panca indria,
2) pikiran yang sempit,
3) ke-akuan,
4) ketidak sadaran pada hakekat Brahman-Atman,
5) cinta kasih selain kepada Hyang Widhi,
6) rasa benci,
7) keinginan,
8) kegembiraan,
9) kesedihan,
10) kekhawatiran/ketakutan, dan
11) khayalan.
Moksa
dapat dicapai oleh seseorang baik selama ia masih hidup (disebut :
Jivam Mukta), maupun setelah meninggal dunia (disebut : Videha Mukta).
Jika selama masih hidup seseorang itu mencapai moksa maka ia telah
mencapai tingkat moral yang tertinggi, kehidupannya sempurna
(krtakrtya), penuh dengan kesenangan (atmarati) karena terbebas dari 11
jenis ikatan yang disebutkan diatas, memandang dirinya ada pada semua
mahluk (eka-atma-darsana), memandang dirinya ada pada alam semesta
(sarva-atma-bhava-darsana). Kesenangan juga tercapai karena pengetahuan
dan kesadaran bahwa brahman-lah atman yang ada didirinya
(brahmanbhavana). Jika moksa dicapai setelah meninggal dunia maka
terjadilah proses menyatunya atman dengan brahman sehingga atman tidak
lahir kembali sebagai mahluk apapun atau bebas dari samsara, disebut
juga sebagai kedamaian abadi (sasvatisanti).
Moksa adalah tujuan hidup manusia yang tertinggi yang dapat dicapai oleh setiap manusia bila ia :
1) Mampu membebaskan atman dari ikatan.
2) Mempunyai pengetahuan utama (paravidya) tentang brahman.
3) Melaksanakan disiplin kehidupan yang suci.
Oleh
karena itu moksa juga dikatakan sebagai pahala yang tertinggi dari
Hyang Widhi atas karma manusia utama, suatu anugerah yang maha mulia.
Ada kutipan Svetasvatara Upanisad I.6 yang sangat indah :
Sarvajive sarvasamsthe brhante asmis, hamso bhramyate brahmacakre, prthag atmanam pretitaram ca justas, tatas tenamrtatwam eti.
Artinya :
Dalam
roda Brahman yang maha besar dan maha luas, didalamnya segala sesuatu
hidup dan beristirahat, sang Angsa mengepak-epakkan sayapnya dalam
melakukan perjalanan sucinya. Sejauh dia berpikir bahwa dirinya berbeda
dengan Sang Maha Penggerak maka ia dalam keadaan tidak abadi. Apabila
dia diberkahi oleh Hyang Widhi maka ia mencapai kebahagiaan sejati dan
abadi.
Makna dari sloka upanisad di atas adalah :
Sekalipun
anda telah melaksanakan disiplin kehidupan suci dan membebaskan atman
dari ikatan-ikatan, namun bila anda tidak menyadarkan atman bahwa
Brahmanlah atman, maka anda belum mencapai moksa
KESIMPULAN :
Moksa adalah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati adalah sorga yang
sebenarnya. Moksa dapat dicapai dengan upaya yang tekun melaksanakan
SELESAI
suksma atas informasinya jik (*_^)
BalasHapussuksma gus, tulisannya masih belepotan niki, kanggeyang dumun, benjangan malih ajik benahi, semoga bermanfaat untuk semeton sami, yadian akidik, kanggeyang.
HapusSuksma atas Pencerahannya dan mohon ijin Copy Paste Jik
HapusBecik Tuaji... seneng titiang ngewacenin.
BalasHapusTuaji yening wenten indik wariga pedewasan upload akidik. Suksma.
inggih gus, sampun wenten ring warigha putus
Hapussinampura,ini tidak menyangkut isi. tyang tdk mampu membacanya krn warna merahnya membuat silau dan mata tdk kuat melihatnya. suksma
BalasHapusmohon maaf bapak kalau tulisan saya menganggu bapak.
Hapussumbernya dari mana jik
BalasHapusdari berbagai sumber.....
Hapus