BHUTA YADNYA
oleh Ida Bagus Bajra pada 22 November 2011 pukul 10:50 ·
BHUTA YADNYA
Bhuta
 Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada Bhuta Kala yang mengganggu 
keten traman hidup manusia. Bagi masyarakat  Hindu bhuta kala ini 
diyakini sebagai kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang sering 
menimbulkan gangguan serta bencana, tetapi dengan Bhuta Yadnya ini maka 
kekuatan-kekuatan  tersebut akan dapat menolong dan melindungi kehidupan
 manusia
.
Adapun tujuan Upacara Bhuta Yadnya adalah
 disamping untuk memohon kehadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) 
agar beliau memberi kekuatan lahir bathin, juga untuk menyucikan dan 
menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang disebut bhuta 
kala tersebut sehingga dapat berfungsi dan berguna bagi kehidupan 
manusia.
Bhuta Yadnya, pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
- Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan kecil seperti segehan dan yang setingkat.
- Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan sedang (madya) yang disebut "caru".
- Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar (utama).
a. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan   yang kecil.
Upacara
 ini di sebut dengan “ Segehan “, dengan lauk pauknya yang sangat 
sederhana seperti bawang merah, jahe, garam dan lain-lainnya. 
Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna 
nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan 
Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten 
Prayascita.
 b. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang sedang ( madya ).
Tingkatan
 upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “ Caru “. Pada 
tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka 
di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan 
tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-jenis
 caru tersebut adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru
 panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan 
dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang 
menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain 
sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
c. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar ( utama ).
 Tingkatan
 yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi 
yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta 
Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra 
yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.
Caru Adalah Memaknai Ruang dan Waktu
Setiap
 upacara agama yang berdasarkan Veda selalu ada lima unsur yang   
memvisualkan nilai-nilai suci upacara agama Hindu. Lima unsur tersebut 
adalah   Mantra, Tantra, Yantra, Yadnya dan Yoga. Yantra itu berasal 
dari bahasa   Sanskerta yang artinya alat atau sarana dalam bentuk 
simbol.
Yantra   dalam upacara agama Hindu di Bali disebut banten 
atau upakara. Banten inilah   yang menggunakan sarana tumbuh-tumbuhan 
dan hewan di samping unsur unsur   panca maha bhuta lainya.
Dalam 
  Lontar Yadnya Prakerti disebutkan, sebagai berikut, " ..... Sehananing
   bebanten pinaka raganta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, 
pinaka Andha   Bhuwana." Artinya, semua bebanten adalah lambang dirimu 
sendiri, lambang   kemahakuasaan Tuhan dan lambang isi alam semesta. 
Berdasarkan uraian Lontar   Yadnya Prakerti ini banten memiliki tiga 
makna. Banten bermakna sebagai   simbol manusia, baik lahir maupun 
batin, bermakna untuk melambangkan berbagai   wujud kemahakuasaan Tuhan 
dan banten juga melambangkan keberadaan isi alam   semesta ini berupa 
planet-planet isi ruang angkasa.
Caru Artinya Cantik 
Dalam
   kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau 
harmonis.   Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut caru. Hal itu 
disebabkan salah satu   tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan
 hubungan manusia dengan alam   lingkunganya. Dalam kitab Sarasamuscaya 
135 disebutkan, bahwa untuk menjamin   terwujudnya tujuan hidup 
mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih   dahulu harus 
melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam   
lingkungan.
Untuk   melakukan Butha Hita, itu dengan cara 
melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha   Yadnya itu adalah menjaga 
keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra.   Alam yang sejahtera 
itu artinya alam yang cantik.
ButhaYadnya   pada hakekatnya 
merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah,   air, 
api, udara dan ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara   
alami, maka dari kelima unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan. 
Tumbuh-tumbuhan   itulah sebagai bahan dasar makanan hewan dan manusia. 
Kalau keharmonisan   kelima unsur alam itu terganggu maka fungsinya pun 
juga akan terganggu. Dalam   Bhagawadgita III.14 disebutkan tentang 
proses berkembangnya makhluk hidup   dari makanan. Dari hujan datangnya 
makanan. Hujan itu datang dari Yadnya.   yadnya itu adalah Karma. Dalam 
Bhagawadgita ini memang disebutkan hanya   hujan. Namun dalam proses 
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan tidaklah hanya hujan   saja yang dapat 
melahirkan tumbuh-tumbuhan. Kelima unsur alam tersebut juga   berfungsi 
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
Tanah,   api (matahari), udara dan 
ether juga berfungsi untuk menumbuhkan   tumbuh-tumbuhan. Peredaran 
kelima unsur alam itu melahirkan iklim serta siang   dan malam. Karena 
itu upacara mecaru itu berfungsi untuk menanamkan   nilai-nilai 
spiritual kepada umat manusia agar memiliki wawasan kesemestaan   alam.
Hubungan
   antara manusia dehgan alam haruslah berdasarkan konsep Cakra Yadnya  
 sebagaimana ditegaskan dalam kitab Bhagawadgita III.16. ini artinya 
antara   alam dan manusia harus menjaga kehidupan yang saling memelihara
 berdasarkan   Yadnya. Keberadaan alam ini karena Yadnya dari Tuhan. 
Karena itu manusia   berutang moral pada Tuhan dan alam secara langsung.
 Utang moral itulah yang   disebut rina dalam kitab Manawa Dharmasastra.
 Dalam Yajurveda XXXX.l   disebutkan bahwa Tuhan itu berstana pada alam 
yang bergerak atau tidak   bergerak (Isavasyam Idam Jagat). Ini artinya 
alam itu adalah badan raga dari   Tuhan. Karena itu upacara mecaru itu 
berarti suatu kewajiban merawat badan   raga Tuhan dalam wujud merawat 
alam.
Di   dalam kitab Manawa Dharmasastra V.40 disebutkan, tujuan
 digunakan tumbuhtumbuhan   dan, hewan tertentu sebagai sarana upacara 
yadnya adalah sebagai upaya dan   doa agar semua makhluk hidup tersebut 
meningkat kualitas dan kuantitasnya   pada kelahiran yang akan datang.
Akan
   menjadi tidak cantik kalau penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan 
tersebut   hanya mentok di tingkat upacara semata. Tujuan hakiki dari 
upacara mecaru itu   adalah pelestarian alam dengan eko sistemnya. Dari 
alam yang lestari itu   manusia mendapatkan sumber kehidupan. Jadinya 
hakekat Butha yadnya itu adalah   mecaru untuk membangun kecantikan alam
 lingkungan sebagai sumber kehidupan   semua makhluk ciptaan Tuhan. Dan 
sudut pandang upacara; caru itu adalah salah   satu jenis upacara Butha 
Yadnya.
Kalau   Banten Butha Yadnya itu masih menggunakan nasi 
dengan lauknya bawang jahe   belum menggunakan hewan itu disebut 
Segehan. Segehan itu pun banyak jenisnya.   Ada segehan Nasi Sasah, ada 
Segehan Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada   Segehan Naga dan 
sebagainya. Kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan   ayam, 
banten itulah yang disebut Caru. Ada Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca   
Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.
Menurut   Lontar Dang Dang Bang 
Bungalan, kalau banten Butha Yadnya itu sudah   menggunakan binatang 
kerbau tidak lagi ia disebut banten Caru. Banten itu   sudah bernama 
Banten Tawur. Misalnya Tawur Agung sudah menggunakan binatang   kerbau 
seekor. Umumnya dipergunakan untuk Tawur Kesanga setiap menyambut   
tahun baru Saka. Kalau ditambah lagi dengan tiga ekor kerbau disebut 
Mesapuh   Agung, ditambah lagi dengan lima ekor kerbau. Demikian antara 
lain disebutkan   dalam Lontar Dang Dang Bang Bungalan. Namun pada 
hakekatnya semuanya itu   tujuannya adalah mecaru mewujudkan 
keharmonisan sistem alam semesta.
Dengan   Caru Mengatasi Bhutakala
Bhuta
   Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah 
serem   menakutkan. Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah 
mendelik, rambut   tergerai tanpa aturan, perut gendut dengan sikap 
garang. Keadaan itu sering   diwujudkan dengan ogoh-ogoh menjelang 
Nyepi. Penggambaran Bhuta Kala itu   sangatlah wajar sebagai imajinasi 
para seniman dan rohaniawan. Karena kalau   manusia. tidak harmonis 
dengan Bhuta Kala perasaan ngeri seperti melihat   Bhuta Kala yang 
digambarkan di atas. Dalam bahasa sehari-hari di kalangan   umat Hindu 
terutama di Bali ada istilah mecaru untuk nyomia Bhuta Kala.   Upacara 
nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi   
bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik.
Jadi
   hakekat upacara mecaru itu adalah memotivasi spiritual agar selalu 
berbuat mengubah   sifat ganas menjadi lembut tentang keberadaan Bhuta 
Kala itu. Dengan demikian   terjadilah suatu hubungan yang harrnonis 
antara manusia dengan Bhuta Kala,   Keharmonisan itulah tujuan dari 
upacara mecaru itu.
Bhuta   Kala yang digambarkan itu tidak lain 
dari pada sifat-sifat alam kita ini.   Manusia hidup bersama alam bahkan
 jasmani manusia juga disebut alam kecil   atau Bhuwana Alit. Sifat alam
 kadang-kadang sebagai sahabat manusia   kadang-kadang sebagai musuh 
manusia. Api dan air bisa menjadi sahabat dan membantu   kehidupan 
manusia. Bisa juga menjadi musuh manusia seperti menimbulkan   
kebakaran, banjir dan lainnya. Agar alam itu selalu dapat bersahabat 
dengan   manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah 
manusia itu   sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan 
dengan cara sekala atau   nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara
 kerokhanian. Upacara mecaru   adalah membangun persahabatan dengan alam
 dengan cara niskala. Cara niskala   ini harus seimbang dengan cara 
sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan   selalu menjadi sahabat 
membantu kehidupan manusia.
Dari   sudut arti kata, Bhuta Kala 
berasal dari kata Bhuta yang artinya unsur-unsur   alam kita ini. Bhuta 
dibangun oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta,   yaitu unsur 
tanah, air, api, udara dan ether. Lima unsur itulah yang   membangun 
alam ini seperti planet-planet yang bertebaran di kolong langit   ini. 
Planet-planet yang paling dekat dengan kita adalah bumi, bulan dan   
matahari. Perputaran planet-planet itu menimbulkan waktu dan musim. 
Waktu   dalam bahasa Sanskerta adalah Kala. Bhuta Kala arti sebenarnya 
adalah Ruang   dan Waktu. Manusia hidup dalam suatu ruang dan waktu 
tertentu. Tidak ada   manusia hidup tidak berada pada ruang dan waktu 
tertentu itu. Ruang dan wakru   itu dapat menjadi sahabat manusia dapat 
pula menjadi musuh yang menyusahkan   manusia. Dalam persahabatan ini 
manusialah yang semestinya aktif menjalin   persahabatan dengan ruang 
dan waktu itu. Untuk itu manusia hendaknya memahami   peredaran ruang 
dan waktu itu dan segala potensi yang dikandung dalam   peredaran 
tersebut. Dengan caru itu berarti kita dapat memanfaatkan secara   
positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala, sehingga Bhuta Kala tidak lagi 
  mengerikan.
Mengapa   caru Menggunakan Binatang
Banten   
Bhuta Yadnya yang disebut caru selalu menggunakan binatang kurban. 
Penggunaan   binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten 
caru tersebut.   Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau 
lima warna. Caru Panca   Sata menggunakan lima ekor ayam.
Demikian
   seterusnya. Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana 
upacara   Yadnya telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40. 
Tumbuh-tumbuhan dan   binatang yang digunakan sebagai sarana upacara 
Yadnya itu akan meningkat   kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya. 
Manusia yang memberikan kesempatan   kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan 
tersebut juga akan mendapatkan pahala yang   utama. Karena setiap 
perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani   meningkat 
kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan   
membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu 
penggunaan   binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan
 untuk   meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju 
sifat-sifat   kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.
Tingkatan Caru dan Binatang yang Dipakai
CARU
pada
 hakikatanya dipahami sebagai persembahan untuk Bhuta Kala. Upacara caru
 dimaknai sebagai upacara untuk menjaga keharmonisan alam, manusia dan 
waktu.
Di Bali Dikenal Tiga Jenis Caru
           
 1. Caru Palemahan Bumi Sudha yaitu   upacara caru untuk tempat atau 
wilayah.           Baik itu untuk mengharmoniskan tempat             
untuk dipakai tempat suci, dibangun      rumah, atau sebuah wilayah yang
 tertimpa         musibah.
            2. Caru Sasih yaitu caru 
yang       dilaksanakan berkaitan dengan waktu-  waktu tertentu yang 
dipandang perlu      diharmoniskan. Misalnya Caru Sasih     Sanga 
(sehari sebelum Nyepi)
            3. Caru Oton yaitu caru untuk 
orang atau          benda sebagai unsur bhuana agung yang             
mengalami berbagai siklus, baik terhadap         waktu maupun 
perkembangannya.         Misalnya caru oton untuk anak yang baru  lahir,
 untuk perkawinan, akil balik,           kematian dll. yang sering juga 
disebut           dengan byakala.
Banten caru biasanya berisikan hal-hal khas
            1. Aneka macam nasi, baik warna           maupun bentuk
            2. Aneka bumbu-bumbuan (bawang, jahe,       terasi, garam)
            3. Daging (terutama bagian jeroan)
            4. Arang
            5. Darah
            6. Blulang atau bayang-bayang binatang
            7. Tuak, arak dan berem
            8. Api takep
            9. Aneka bunyi-bunyian
Dewasa Caru
Upacara caru yang baik dilakukan pada:
            - Sasih Kanem, Kapitu, Kawolu dan        Kasanga.
            - Hari/tanggal Panglong, atau Tilem                                - Kajeng Kliwon
            - Ingkel Bhuta.
Khusus
 untuk Caru Palemahan atau Bumi Sudha dilakukan secara insidental maupun
 rutin menurut waktu atau sasih atau peristiwa dengan memperhitungkan 
hari dan ingkel.
Jenis Caru Palemahan:
 * Caru Eka Sata
Sarana:
 Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang --bahasa Bali-red) 
dialasi sengkuwi dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina,
 penyeneng dan canang (untuk semua jenis caru).
* Caru Panca Sata
Sarana memakai 5 (lima) ekor ayam.
Ayam
 bulu hitam tempatnya Kaja (utara), putih siung (kuning) tempatnya Kauh 
(barat), ayam bulu merah (barak) Kelod (selatan). Kangin (timur) ayam 
bulu berwarna putih dan di tengah ayam bulu berwarna brumbun (segala 
warna). Selain itu dilengkapi juga dengan seekor bebek blang kalung.
* Caru Panca Sanak
Untuk Caru Panca Sanak dasarnya adalah caru Panca Sata sedangkan kelengkapannya ada beberapa jenis binatang, jika dilengkapi:
            a. Asu atau Anjing maka tempatnya                        terletak di arah Barat Daya/Kelod-Kauh.
           
 b. Bebek bulu Singkep diperuntukkan                    diletakan di 
arah Kelod-Kangin                            (Tenggara).
            c. Angsa letaknya Timur Laut/Kaja-Kangin
            d. Kambing nerupakan caru yang                            diperuntukkan pada arah Kaja Kauh 
                (Barat Laut)
Itulah
 beberapa caru dari segi sarana hewannya dan masih banyak lagi caru 
sesuai dengan namanya dan sarana hewan yang diper sembahkan.
Yang 
disebutkan tadi dengan sarana bebek, kambing, anjing, ini merupakan 
tingkatan caru yang disebut dengan Panca Sanak. Ini pun dapat dibagi 
lagi menjadi Panca Sanak yang sarananya asu, dan bebek bulu sikep. 
Sedangkan Panca Sanak Agung sarananya, hewan angsa dan asu atau anjing.
* Caru Panca Sanak Madurga
Sarananya
 sama dengan Caru Panca Sanak ditambah dengan anak babi jantan hitam 
yang belum dikebiri (kucit selem butuhan) dengan tambahan bebek atau 
yang lain.
* Caru Sanak Magodel
Sarana tambahannya dipakai anak sapi atau yang dalam bahasa Balinya disebut godel.
* Caru Rsigana
Adalah Caru Panca Sanak yang disertai dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai dewa penghalau rintangan.
* Caru Balik Sumpah
Di
 tingkat yang lebih tinggi ada juga caru yang dikenal dengan nama Caru 
Balik Sumpah yang sarana hewannya berupa kerbau dan kambing. Sedangkan 
yang lebih tingi lagi ada sejenis upakara Malinggia Bhumi dan ini sarana
 binatangnya adalah sebanyak 45 kurban.
Pengertian Banten 
Caru, Banten Caru, BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti 
sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten 
disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna 
Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga 
hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu: "Pinaka 
Raganta Tuwi" artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai 
manusia. "Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara" artinya banten merupakan 
perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan "Pinaka 
Andha Bhuvana" artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta
 atau Bhuvana Agung. Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat 
dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti Ulu atau 
Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku (Nistama 
Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki 
fungsi sebagai ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya maupun 
Sanggar Tawang. Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten 
ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah 
Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun
Banten
 Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang 
menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang 
terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang 
terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam 
Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika 
lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang 
mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang memiliki fungsi sebagai
 suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan 
sebagainya.
Sedangkan banten yang berfungsi sebagai 
penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan 
cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, 
Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten
 yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten 
Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman. 
Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu 
bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang 
bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang 
demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh 
karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau 
yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai
 berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten yang 
memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten 
yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina 
Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng, 
Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya. Banten sebagai Anda 
Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam
 semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai 
alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya 
berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung 
anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu 
dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini. 
Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: Daksina, Suci, 
Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan sebagainya.**
Mecaru
 (upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin 
dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu 
bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta ) Panca Maha 
Bhuta.
Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:
Nista
 ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup   keluarga tanpa ada peristiwa 
yang          sifatnya khusus (kematian dalam      keluarga, melanggar 
adat dll)
Madya ~ selain 
dilakukan dalam lingkungan    kekerabatan/banjar (biasanya dalam      
wujud tawur kesanga, juga wajib            dilakukan dalam keluarga 
dalam kondisi           khusus, pembangunan merajan juga            
memerlukan caru jenis madya
Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh     segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia
Biasanya
 ayam berumbun (tri warna?) digunakan sebagai pelengkap panca sata, 
urutan penempatan caru (madya) panca sata adalah sebagai berikut:
            1. ayam putih timur
            2. ayam merah/biing selatan
            3. ayam putih siungan barat
            4. ayam hitam/selem utara
            5. ayam brumbun tengah
Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan 'Car'
 dalam bahasa Sanskrit artinya 'keseimbangan / keharmonisan'. Jika 
dirangkaikan, maka dapat diartikan : Caru adalah korban (binatang) untuk
 memohon keseimbangan dan keharmonisan.
'Keseimbangan/keharmonisan'
 yang dimaksud adalah terwujudnya 'Trihita Karana' yakni keseimbangan 
dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), sesama 
manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan).
Bila 
salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu 
terganggu, misalnya : pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan 
(gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian, huru-hara
 yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang merusak 
palemahan, patut diadakan pecaruan.
Kenapa dalam pecaruan 
dikorbankan binatang ? Binatang terutama adalah binatang peliharaan / 
kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang 
dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang 
peliharaan.
Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:
Segehan
Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu.
Penyajiannya
 diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman
 rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Bahan utamanya adalah nasi berwarna beberapa kepal. Yang umum segehan: putih dan kuning.
Dalam Lontar Carcaning Caru,
 penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis 
warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, 
merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata 
(kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni 
unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga 
akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja,
 sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau 
tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan 
berikutnya.
Caru
Sedangkan pancasanak sampai dengan pancakelud dalam lontar Carcaning Caru tersebut mulai digolongkan sebagai caru yang berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta),
 di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun 
pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20
 tahun, tergantung tempat upacara.
Penyelenggaraan caru juga dapat
 dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses 
pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar.
Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta).
Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.
Adapun
 tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih
 maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra 
atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna 
sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, 
maupun negara.
Rsi Gana
Dalam 
upacara agama Hindu memang ada dikenal istilah Rsi Gana. Patut dipahami 
terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk 
pemujaan kepada Gana Pati (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai 
Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan 
tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan.
Namun 
dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari
 penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru ~ kebanyakan orang menyebut dengan istilah caru Rsi Gana.
Upacara
 Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang 
mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana 
bersangkutan.
- Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna).
- Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda).
- Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru.
Jadi,
 pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah bertujuan untuk memuja Dewa Gana 
Pati atau Ganesa yang merupakan Dewa Penguasa para Gana atau para abdi 
Dewi Durga, Dewa Siwa, dan Gana Pati sendiri.
SUMBER SASTRA DAN TEMPAT PELAKSANAAN TAWUR PANCA WALI KRAMA DI BESAKIH.
Sumber sastranya.
Cukup
 banyak lontar-lontar yang mengung kapkan Taur Panca Wali Krama. 
Kebanyakan  mengungkapkan periode pelaksanaan Taur Panca Wali Krama yang
 dikaitkan dengan upacara Eka Dasa Rudra hingga Eka Bhuwana sebagai satu
 siklus upacara seratus tahunan. Diantara sumber-sumber tersebut antara 
lain :.  
Lontar Widhi Sastraning Taur Eka Dasa Rudra, dari Wanasari Tabanan, menyebutkan :”Huwusning
 Eka Dasa Rudra patawurakena Bhuta Panca Wali Krama, gaweya sanggar 5, 
tekaning panggungan panca desa. Wusning mangkana patawurakena Tri 
Bhuwana, ngaran, patawurakena Gurunya. Sanggar Tawang sanunggal 
panggungan sawiji. Mangkana yogyaniya gelarakena de sang rumakseng praja
 mandala, lawan para wiku Aji, sang sampun kreta yaseng yadnya sinanggah
 Weda Paraga.
Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur, menyebutkan : Ngadasa
 tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput panca Wali Krama ping 10 
mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra  
rah windu, tenggek windu.  .
Widhi Sastra Niti Pedanda Sakti 
Wahu rawuh, antara lain menguraikan bahwa bilamana terjadi “prawesaning 
jagat rusak” seperti bencana alam, banyak terjadi wabah penyakit patut 
dilaksanakan upacara Taur Panca Wali Karma di Besakih, dan di 
batas-batas desa dilaksanakan upacara yang lebih kecil.
Lontar Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede,  menyebutkan Wusni
 Eka dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, 
pur, da, pas, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggar
 tawang tiga saha panggungan siji sowang, u, ma, da. Wus mangkana 
patawurakna Gurudya.
Lontar Bhama Kretih, menguraikan :”Wusning
 Eka Dasa Rudra patawurakna bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, 
marep pur, da, pas, u, ma,. I Tlas mangkana muwah patawurakena Tri 
Bhuwana angadegaken sanggar tawang 3, saha panggungan siji sowang, u, 
ma, da,. Wus mangkana malih patawurakena Guruniya sanggar tawang 1.  
Lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama, Geriya Telaga Sanur: menyebutkan : Nihan
 tingkahing karya Panca Wali Krama keangge ring Negara krama, ring 
pempatan agung, durung keangge ring parhyangan dewa pacang mahayu jagate
 ring Bali  nganut I sojar ira Sri Jaya Kasunu. Sumber ini 
menyebutkan Panca Wali Krama untuk tingkat negara karma  (desa-desa), 
tidak digunakan di pura-pura besar seperti Besakih.
Purana Pura 
Agung Besakih, tidak menyinggung periode pelaksanaannya, hanya 
menguraikan tentang rincian upakaranya yang sedikit berbeda dalam hal 
binatang korban yang dipergunakan bila dibandingkan dengan sumber-sumber
 lainnya.
Tempat pelaksanaannya. 
Tempat
 pelaksanaan upacara Taur Panca Wali Krama adalah di Bencingah Pura 
Agung Besakih. Tempat ini diyakini merupakan sentral, oleh karena  
sesuai dengan struktur pura Agung Besakih, dari tempat ini ke arah bawah
 disebut soring ambal-ambal” yang melambangkan alam bawah (adhah) yang 
terdiri atas sapta patala. Sedangkan kearah atas dari bencingah agung  
disebut luhuring ambal-ambal yang melambangkan alam atas (urdhah) yang 
terdiri atas saptra loka Disamping Pura Agung Besakih secara umum 
diyakini sebagai central (madyaning mandala) .
BEBERAPA JENIS TAUR PANCA WALI KRAMA
Jenis-jenis upacara Taur Panca Wali Krama:
Upacara yang bersifat rutin yaitu ketika tahun saka bilangan satuannya menemui angka nol ( Tenggek windu).
 Ngadasa tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput Panca Wali Krama 
ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa 
rudra  rah windu, tenggek windu. (Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur).
Panca Wali Krama sebagai penutup Eka Dasa Rudra. (Wusni
 Eka Dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, 
pur, da, pa, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken 
sanggartawang tiga saha panggungan siji sowing, u, ma, da. Wus mangkana 
patawurakna Gurudya. (Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, Hal. 9b).
Sesuai
 dengan Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran, Sanur, bahwa 
terkait dengan rangkaian Eka Dasa Rudra, ada Panca Wali Krama di Danu  
Nyegjegang Bhatari Danu.  Diuraikan sebagai berikut : ….. mwah Danu Panca Wali Krama nyegjegang Bhatari Danu nlasang kebo 4, tekaning pangelem. 
Panca
 Wali Krama ketika jagat rusak, wenang gelaran Tawur Panca walikrama, 
sebagaimana disebut dalam lontar Widhi Sastra Niti Pedanda Sakti 
Wahurawuh:
Panca Wali Krama di Negara krama, sebagaimana diuraikan dalam lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama, Geriya Telaga Sanur:
RANGKAIAN UPACARA PANCA WALI KRAMA
Sebagaimana
 biasa diawali dengan ngatur piuning bahwa akan dilaksanakan  Taur Panca
 Wali Krama pada waktunya, dilanjutkan dengan Nuwasen Karya yang 
disertai dengan nunas tirta pengandeg untuk disiratkan di setra. 
 Dilanjutkan dengan rangkaian-rangkaian persiapan lainnya seperti 
memineh empehan, membuat madu parka, nanding catur, nanding bagia 
pulakerti, nyukat genah, nunas tirtha penyaksi karya, dll. Rangkaian 
lainnya adalah melaksanakan upacara melasti, yang perjalanannya 
 mengikuti rute tertentu sesuai dengan tradisi. Sehari sebelum puncak 
upacara dilaksanakan upacara Mepepada, dan sore harinya upacara menben. 
Pada puncak Taur Panca Wali Krama, juga disertai dengan Upacara Padanan,
 Upacara di Ayun Widhi, pemujaannya dilaksanakan dari Bale Gajah,  dan 
Upacara Tedun ke Paselang bertempat di Bale Paselang Penataran Agung. 
Tiga hari setelah puncak Taur Panca Wali Krama ditutup dengan upacara 
Pangremekan. Setelah itu menyusul rangkaian upacara Bhatara Turun Kabeh 
seperti biasa. Rangkaian terakhir adalah Upacara Penyineban yang 
disertai dengan melaksanakan tirta panglebar dan akhirnya ditutup dengan
 upacara Mejauman.
UPAKARA TAUR PANCA WALI KRAMA
Sesuai
 dengan lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Sanur, bahwa Taur Panca 
Wali Krama di Besakih yang dilaksanakan dalam siklus sepuluh tahunan 
sekali merupakan satu kesatuan dengan Candi Narmada, Panca Wali Krama di
 Danu (Nyegjegang Bhatari Danu), Eka Dasa Rudra, Tri Bhuwana dan Eka 
Bhuwana yang dilaksanakan  dalam siklus seratus tahunan sekali.
Dalam
 satu paket upakara Eka Dasa Rudra dengan rangkaiannya menghabiskan 
kerbau sebanyak 45 ekor yaitu: rangkaian upacara yang pertama adalah 
Candi Narmada menghabiskan 5 ekor kerbau, diikuti dengan Panca Wali 
Krama di Danu, menghabiskan 4 ekor kerbau, dilanjutkan dengan Eka Dasa 
Rudra menghabiskan 26 ekor kerbau, diikuti lagi dengan Panca Wali Krama,
 menghabiskan 4 ekor kerbau, setelah itu Tri Bhuwana menghabiskan 4 ekor
 kerbau dan  sebagai rangkaian terakhir Eka Bhuwana menghabiskan 2 ekor 
kerbau. Tampaknya standar yang dipergunakan dalam upakaranya ditentukan 
berdasarkan jumlah kerbau yang dipergunakan, tentunya yang lain akan 
menyesuaikan, seperti banyaknya bebangkit, catur, suci, padudusan agung,
  dan sebagainya.
Uraian tentang upakara Taur Panca Wali 
Krama disini tidak dimaksudkan secara teknis dan mendetail, melainkan 
akan dikemukakan beberapa kelompok upakara yang dipandang menonjol untuk
 pengkajian lebih lanjut tentang  makna filosofisnya. Beberapa kelompok 
upakara tersebut adalah :
Upakara  di sanggar Tawang, Akasa dan Pertiwi.
Upakara di Sanggar Tawang : 
Banten
 yang utama adalah catur, suci, dewa-dewi, dilengkapi pula dengan siwa 
bahu, pucuk bahu, gana pikulan, panca saraswati, wedya, serta 
kelengkapan lainnya. Sanggar tawangnya sendiri seperti biasa dihias 
dengan dahuduh dan peji.
Upakara di Sanggar Luhuring Akasa. Memakai Bebangkit putih dengan ulamnya itik putih.
Upakara untuk Ibu Pertiwi. Bebangkit ireng (merah ?),dengan ulam babi.
Ketiga
 kelompok upakara ini tampaknya juga memiliki makna untuk pelestarian 
ketiga alam tersebut. Untuk mencapat kesejahtraan hidup di dunia ini 
patut di dukung dengan kelestarian dan keharmonisan alam bawah dan alam 
atas, yang dikiaskan sebagai bapa akasa dan ibu pertiwi .
Upakara di panggungan,
Upakara
 di panggungan  yang terletak pada empat penjuru mata angin (nyatur 
desa) berupa bebangkit agung masing-masing  1 pasang yaitu memakai ulam 
itik dan satu lagi memakai ulama bawi, dengan warna sesuai dengan 
kiblatnya. Kelengkapan lainnya tentu saja tidak dapat dilepaskan adanya 
gayah utuh, karena tingkat bebangkitnya yang diperguanakan adalah 
bebangkit agung. 
Sedangkan panggungan yang di tengah memakai bebangkit agung 5 buah (manca warna).
Pada masing-masing panggungan juga dilengkapi dengan penjor,  di dalam lontar disebutkan :
penjorniya petung kinerik denabersih plawaniya andong, paku saji, sinwi wangun pramangke,  masurat sanjata paideran.
Upakara tawur dengan kelengkapannya.
Upakara
 tawur Panca Wali Krama yang biasa diperguanakan di Bencingan Pura Agung
 Besakih adalah dalam tingkatan yang utama yaitu dengan “lawa tiga”, 
(tiga lapisan), bawah (adhah), tengah (madya) dan atas (urdhah). Ketiga 
lapisan taur tersebut ditandai dengan memakai masing-masing tiga jenis 
binatang korban pada kelima penjuru: mulai dari timur, selatan, barat, 
utara dan tengah masing sebagai berikut: lawa paling bawah (adhah) 
memakai  ayam putih, merah, kuning (putih siyungan), hitam dan brumbun. 
Pada lawa yang ditengah (madya) bertutur-turut  menggunakan : angsa, asu
 bang bungkem, banyak, bawi butuan serta itik belang kalung. Pada lawa 
yang paling atas (urdhah) terdiri dari: sapi (lembu), kidang, menjangan,
 kebo serta  kambing belang.
Tiga lapisan upakara taur ini mungkin
 juga ada kaitannya dengan pelestarian tiga lapisan alam semesta yaitu 
alam bawah, tengah dan atas.
Upakara Tri Samaya di sanggar suku tiga
Upakara
 yang dikenal dengan “tri semaya” ditempatkan pada tempat khusus  berupa
 sanggar suku tiga mengingatkan kita pada ceritra Dewa Wisnu ketika 
mengalahkan raksasa Bali dengan melangkahkan kakinya (sukunya) pada tiga
 dunia ini.  Apakah ada korelasi makna upakara ini dengan pelestarian 
tiga alam bhur, bhwah dan swah menarik untuk kita kaji bersama. Inti 
upakaranya adalah bebangkit.
Upakara Panunggun Tawur, 
Diantaranya memakai daksina sarwa 7, beras 7 catu, bebangkit, serta kelengkapan upakara lainnya
Upakara lantaran bhatara 
Upakara
 ini diletakkan di sor sanggar tawang  yang ada di tengah, yang utama 
memakai kebo yosbrana dengan kelengkapan upakaranya, seperti cau-cau, 
kekuduk, pering, bebangkit,  dan lain-lain, disertai pula dengan upakara
 Yama Raja, yang memakai sarana tepung sebagai alas untuk menuliskan 
aksara-aksara suci  simbul Yama Raja. Alat penulisnya menggunakan duri 
pohon bila.
Upakara di tempat pemujaan.
Upakara 
yang utama disini adalah upakara-upakara yang bersifat menyucikan yang 
utama adalah padyus-dyusan (padudusan agung) dengan tirtha nawa ratna, 
dan berbagai jenis tirtha penyucian lainnya .
Upakara Padanan.
Khusus
 untuk padanan merupakan satu kesatuan tersendiri karena lengkap dengan 
Sangar Tawangnya, disertai dengan upakara di Bale Padanan, serta upakara
 caru dalam tingkat “wrhaspati kalpa” (Memakai sarana ayam lima warna 
dan asu bangbungkem, diletakkan di arah barat daya (Kelod kauh).
Upakara Ayun Widhi,
Upacara
 di Ayun Widhi juga meliputi tiga unsur, yaitu upakara di luhur  yang 
ditempatkan di Sanggar Tawang lengkap dengan Sanggar Akasa dan 
Pertiwinya. Upakara di madia, yaitu upakara-upakara di bale panggungan, 
yang terdiri dari bebangkit agung beserta gayah utuhnya. Dan upakara di 
sor adalah caru di sor sanggar tawang yang merupakan dasar dari lantaran
 Ida Bhatara.
Upacara tedun ke Paselang. 
Paselang
 juga merupakan satu kesatuan upakara yang terdiri dari upakara di 
Sanggar Tutuwan, upakara lantaran di sor  dan upakara di Bale Paselang. 
Upakara di Bale paselang yang menonjol adalah pemujaan kehadapan 
Sanghyang Semara Ratih, yang disertai pula dengan upacara “Majijiwan”
Makna upakara secara umum diuraikan dalam lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama Geriya Telaga Sanur sebagai berikut
Apan
 pabanten pinaka sarira bhatara, Ikang Sanggar Tawang pinaka Siwalingga 
Bhatara, bantene ring panggungan agung  pinaka Bahuangga Bhatara, Ikang 
paselang pinaka Jagana bhaga-purus Bhatara Ikang caru sor pinaka Suku 
delamakan Bhatara,.
Semua binatang korban yang 
dipergunakan dalam kelompok-kelompok upakara tersebut ditekankan yang 
masih muda, tidak cacat, dan khusus untuk binatang yang berkaki empat  
agar belum “metelusuk” dan umurnya telah lewat 6 bulan
Dalam 
rangkaian taur Panca Wali Krama  dan Bhatara Turun Kabeh tahun ini semua
 pura Pedharman diharapkan agar ikut ngiringang Ida Bhatara melasti ke 
segara Klotok, dan nyejer sebisanya, sebagai wujud ikut “ngertiyang 
karya agung ini”.Selanjutnya untuk upakara dalam hubungan dengan Bhatara
 Turun Kabeh, pada dasarnya berlaku seperti biasa karena telah rutin 
dilaksanakan setiap tahun sekali. Tidak ada kekhusan walaupun diawali 
dengan taur Panca Wali Krama.
Banten
Beberapa Jenis Persembahan:
Canang Genten
Sebagai
 alas dapat digunakan taledan, ceper ataupun daun pisang yang berbentuk 
segi empat. Diatasnya berturut-turut disusun perlengkapan yang lain 
seperti: bunga dan daun-daunan, porosan yang terdiri dari satu/dua 
potong sirih diisi sedikit kapur dan pinang, lalu dijepit dengan 
sepotong janur, sedangkan bunganya dialasi dengan janur yang berbentuk 
tangkih atau kojong. Kojong dengan bentuk bundar disebut "uras-sari".
Bila
 keadaan memungkinkan dapat pula ditambahkan dengan pandan-arum, 
wangi-wangian dan sesari (uang). Waulupun perlengkapan banten ini sangat
 sederhana, tetapi hampir semuanya mempunyai arti simbolis antara lain:
jejaitan/tetuwasan reringgitan, melambangkan kesungguhan hati,
daun-daunan melambangkan ketenangan hati.
Sirih, melambangkan dewa wisnu,
kapur melambangkan dewa siva,
pinang melambangkan dewa brahma,
suci bersih, dan wangi-wangian sebagai alat untuk menenangkan pikiran kearah kesegaran dan kesucian.
Canang
 ini, baik besar maupun kecil bahkan selalu digunakan untuk melengkapi 
sesajen-sesajen yang lain, hanya saja bentuk alat serta porosannya 
berbeda-beda.
Canang Buratwangi
Bentuk 
banten ini seperti canang genten dengan ditambahkan "burat wangi" dan 
dua jenis "lenga wangi". Ketiga perlengkapan tersebut masing-masing 
dialasi kojong atau tangkih. Burat wangi dibuat dari beras dan kunir 
yang dihaluskan dicampur dengan air cendana atau mejegau. Ada kalanya 
dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lenga Wangi ( minyak 
wangi) yang berwarna putih dibuat dari menyan, 'malem" ( sejenis lemak 
pada sarang lebah), dicampur dengan minyak kelapa. Lenga wangi (minyak 
wangi) yang berwarna kehitam-hitaman dibuat dari minyak kelapa dicampur 
dengan kacang putih, komang yang digoreng sampai gosong lalu dihaluskan.
Ada
 kalanya campuran tersebut dilengkapi dengan ubi dan keladi (talas), 
yang juga digoreng sampai gosong. Biasanya untuk memperoleh campuran 
yang baik, terlebih dahulu minyak kelapa dipanaskan, kemudian barulah 
dicampur dengan perlengkapan lainnya. Secara keseluruhan "lenga-wangi" 
dan "burat-wangi" melambangkan Hyang Sambhu. Menyan melambangkan Hyang 
Siva, Majegau melambangkan Hyang Sadasiva sedang cendana melambangkan 
Hyang Paramasiva
 Banten ini dipergunakan pada hari-hari tertentu 
seperti pada hari Purnama, Tilem, hari raya Saraswati dan melengkapi 
sesajen-sesajen yang lebih besar.
Canang Sari
Bentuk
 banten ini agak berbeda dengan banten/canang genten sebelumnya, yaitu 
dibagi menjadi dua bagian. Bagian bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun 
segiempat seperti ceper atau taledan. Sering pula diberi hiasan 
"Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini terdapat pelawa, 
porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan dari tepung beras), pisang emas 
atau yang sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih. Dapat 
pula ditambah dengan burat wangi dan lengawangi seperti pada canang 
buratwangi. Di atasnya barulah diisi bermacam-macam bunga diatur seindah
 mungkin dialasi dengan sebuah "uras sari/sampian uras".
Canang 
sari dilengkapi dengan sesari berupa uang kertas, uang logam maupun uang
 kepeng. Perlengkapan seperti tebu, kekiping, dan pisang emas disebut 
"raka-raka".
Raka-raka melambangkan Hyang Widyadhara- Widyadhari.
Pisang emas melambangkan Mahadewa,
secara umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara,
sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma.
Canang
 sari dipergunakan untuk melengkapi persembahan lainnya atau 
dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti: Kliwon, Purnama, Tilem 
atau persembahyangan di tempat suci.
Canang Pesucian
Canang
 ini disebut juga canang pengeraos yang terdiri atas dua buah aled atau 
ceper. Pada bagian bawah berisi kapur, pinang, gambir, tembakau yang 
dialasi dengan kojong. disusuni beberapa lembar daun sirih, sedangkan 
aled atau ceper yang lain berisi bija serta minyak wangi yang dialasi 
celemik atau kapu-kapu kemudian dilengkapi bunga yang harum.
Tadah Pawitrah / Tadah Sukla
Bentuknya
 seperti canang genten ditambahkan dengan pisang kayu yang mentah, 
kacang komak, kacang putih, ubi dan keladi. Semua perlengkapan digoreng 
dan masing-masing dialasi tangkih dan kojong. Banten ini dipergunakan 
untuk melengkapi beberapa jenis sesajen seperti: daksina Pelinggih dan 
lain-lainnya.
Cane
Dipakai sebuah 
dulang kecil dihiasi dengan sesertiyokan dari janur. Ditengah-tengahnya 
ditancapkan batang pisang. Disekitarnya diisi perlengkapan lain seperti:
 Bija, Air cendana dan burat wangi, masing-masing dialasi dengan empat 
buah tangkir atau mangkuk kecil. Dilengkapi pula dengan kojong empat 
buah yang berisi tembakau, pinang dan lekesan yaitu, 2 lembar sirih yang
 dilengkapi dengan gambir dan kapur dan diikat dengan benang. Dapat pula
 ditambah dengan rokok dan korek api sebanyak empat batang.
Bunganya
 ditancapkan menlingkar pada batang pisang dan paling diatas diisi cili 
atau hiasan-hiasan lainnya. Cane dipergunakan terutama pada waktu 
upacara melasti dijunjung mendahului pratima atau dasksina pelinggih. 
Cane juga digunakan pada rapat-rapat desa adat untuk memohon agar 
pertemuan berjalan lancar. Setelah pertemuan selesai, cane akan dilebar 
yaitu dengan jalan membagi-bagikan air cendana, Bidja, Bunga serta 
perlengkapan lainnya.
Canang Meraka
Sebagai
 alas dari canang ini digunakan ceper atau tamas, diatasnya diisi tebu, 
pisang, buah-buahan, beberapa jenis jajan dan sebuah "sampian" disebut 
"Srikakili" dibuat dari janur berbentuk kojong diisi plawa, porosan 
serta bunga. Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis canang tubungan, 
Canang Gantal, Canang Yasa. Canang pengraos dan lain-lain.
Pada 
umumnya bahan yang diperlukan hampir sama, hanya bentuk porosan dan cara
 pengaturannya yang berbeda. Rupanya pemakaian sirih, kapur dan pinang 
mempunyai dua fungsi sebagai simbul atau lambang yaitu:
            - Sirih melambangkan Dewa Wisnu
            - Pinang melambangkan Dewa Brahma
            - Kapur melambangkan Dewa Siwa
Untuk persembahan biasa berfungsi sebagai makanan, dalam hal ini penggunaannya dilengkapi dengan tembakau dan gambir.
Daksina
Alas
 Daksina disebut wakul Daksina atau bebedogan. Kedalamnya berturut-turut
 dimasukan tampak (sejenis jejahitan berbentuk silang atau tampak dara) 
beras, sebutir kelapa yang sudah dikupas sampai bersih (mekelas), serta 
beberapa perlengkapan yang dialasi dengan kojong seperti telur itik yang
 mentah, bija ratus (campuran berbagai biji-bijian), gantusan (campuran 
berbagai jenis bumbu), Kelawa peselan (Daun salak, ceruring, 
Manggis,durian, dll), base-tampel, kemiri (tingkih), tangi, Pisang kayui
 yang mentah, uang, canang payasan, yaitu sejenis canang genten tetapi 
alasnya berbentuk segitiga ditempelin dengan reringgitan yang khusus. 
Dapat pula dilengkapi dengan canang buratwangi atau canang sari atau 
yang lain.
Perlengkapan seperti telur itik uang, ataupun gantusan 
kiranya dapat digolongkan buah sebab pengertian buah mempunyai arti yang
 agak luas. Persembahan yang berupa daksina dianggap sudah lengkap 
sebagai mana disut dalam Bagawadgitha. Disamping itu penggunaan telir 
itik dan uang rupanya mempunyai fungsi tersendiri secara umum kelapa 
dapat digolongkan sebagai buah, tatapi yang lebih diutamakan airnya
Diusahakan
 mempergunakan telur itik bukan telur ayam sebab itik lebih banyak 
menunjukan sifat-sifat satwam sedangkan ayam lebih banyak menunjukan 
sifat rajas dan tamas oleh karena itu pula beberapa daksina terutama 
yang melambangkan bhutkala dipergunakan telur ayam, tetapi bila 
ditujukan kepada Hyang Widhi para Dewat dan Leluhur sedapat mungkin 
dipergunakan telur itik. Penggunaan uang yang disebut pula sesari atau 
akah kiranya untuk menyempurnakan isi daksina sehingga persembahan yang 
dilengkapi dilengkapi dengan daksina benar-benar diharapkan memberikan 
kesukseskan atau hasil yang sebagai mana diharapkan.
Daksina
 disebut Juga "YadnyaPatni" yang artinya istri atau sakti daipada 
yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda 
terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan 
sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakerti 
disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua 
nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
Ajuman
Bahan
 perlengkapan yang diperlukan untuk membuat ajuman adalah: nasi yang 
disebut "penek" atau "telompokan", beberapa jenis jajan, buah-buahan, 
lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, 
telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, 
dan sambal. Sebagai alasnya dapat digunakan "taledan" atau yang lainnya.
 Di atasnya diisi dua buah penek, lauk pauk yang dialasi dengan tangkih 
berbentuk segitiga, jajan buah-buahan dan sampaian soda (sampian ajuman)
 berbentuk tangkih. Kadang bagian atasnya dibuat agak indah seperti 
kipas disebut "sampian kepet-kepetan". Dapat pula dilengkapi dengan 
canang genten/ canang sari/ canang burat wangi.
Ajuman disebut 
juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun 
melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para 
leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi 
kuning, disebut "perangkat atau perayun" yaitu jajan serta 
buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya 
masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek
 yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat 
wangi atau yang lain.
Peras
Perlengkapan
 serta cara penyusunannya hampir sama dengan ajuman, tetapi nasinya 
berbentuk tumpeng (dua buah), alasnya ditempeli "Kulit-peras" yaitu 
sejenis jejahitan yang khusus, sedangkan sampaiannya disebut Sampian 
Tupeng (Sampian Peras).
Banten ini boleh dikatakan tidak pernah 
dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain 
seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa 
hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. 
Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya 
pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada "kulit-peras", dan 
menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada lontar Yajna-prakerti disebut
 bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.
Kiranya 
kata "Peras" dapat diartikan "sah" atau resmi, seperti kata: "meras 
anak" mengesahkan anak, "Banten pemerasan", yang dimaksud adalah sesajen
 untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak 
dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya "tan 
perasida", yang dapat diartikan "tidak sah", oleh karena itu banten 
peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai
 tujuan-tujuan tertentu.
Banten Jotan
Banten
 jotan (saiban) disebut pula "Yajnasesa", merupakan yadnya setiap hari 
bagi umat Hindu di Bali khususnya. Di India juga dapat ditemukan hal 
yang sama. Bahan perlengkapannya adalah: sedikit nasi, garam, serta lauk
 pauk lainnya yang baru dimasak. sebagai alas dapat dipakai daun atau 
piring kecil-kecil.
Banten Suci
Alas dari 
banten suci ini adalah beberapa buah tamas. Warna jajan yang 
dipergunakan adalah putih dan kuning, jajan yang berwarna putih 
ditempatkan disebelah kanan dan yang kuning ditempatkan disebelah kiri. 
Di antara jajan tersebut ada yang dinamakan "sasamuhan" terbuat dari 
tepung beras yang dicampur sedikit tepung ketan, parutan kelapa serta 
air. Campuran tersebut lalu dibentuk kemudian digoreng. Jajan-jajan 
tersebut ada yang diberi nama: Kekeber, Kuluban, Puspa, Karna, 
Katibuan-udang, Panji, Ratu-magelung, Bungantemu dan lain sebagainya.
 Yang
 perlu diperhatikan di sini adalah perbandingan antara jajan yang 
berwarna putih hendaknya lebih banyak dari pada jajan yang berwarna 
kuning, misalnya 12:6, 9:5, 7:5, 5:4, dst.
Pada banten suci tiap 
tempat /tamas diisi perlengkapan yang jumlahnya telah ditentukan, 
seperti: tamas yang paling bawah berisi pisang, tape, buah-buahan, 
masing-masing 5 biji/iris, jajan sesamuhannya 1 biji tiap jenis: tamas 
yang kedua berisi 2 biji/iris, dst. Secara sederhana 1 soroh suci 
terdiri dari: Suci, daksina, peras, ajuman, tipat kelan, duma (sejenis 
banten) pembersihan, canag lengawangi/ buratwangi, canang sari dan buah 
pisang. Pada upacara yang agak besar dilengkapi dengan perayunan.
Banten Gebogan / Pajegan
Gebogan
 atau pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan 
rangkaian makanan termasuk juga buah-buahan dan bunga-bungaan. Umumnya 
dibawa dan ditempatkan dipura dalam rangkaian upacara Panca Yadnya. Ini 
karena keindahan bentuknya, hanya digunakan hanya sebagai dekorasi.
Penjor
Pejor
 adalah sarana keagamaan sebagai persembahan dan juga perlambangan 
Gunung Agung, Naga Basuki dan Naga Ananta Boga.Penjor dipasang pada hari
 penampahan Galungan di depan pintu masuk sebagai pertanda kemenangan 
dharma. Penjor dengan segala perlengkapannya, yang menggunakan hiasan 
seperti daun daunan, ibi ubian, buah buahan, jenis jajan, kain uang 
kepeng sebagai simbul dari Naga Anantha Bhoga dan Naga basuki.
Kedua
 Naga ini perlambang anugrah dari Hyang Widhi. Naga Anantha Boga simbul 
tanah yang dapat membrikan kesejahteraan dan kemak muran bagi kehidupan 
manusia. Sedangkan Naga Basuki lambang keselamatan, yaitu selamat dari 
penyakit, penderitaan. Itulah sebabnya, penjor menyerupai bentuk Naga, 
dengan kepalanya di bawah penjor dilukiskan mulut dari naga.
Pada 
hari Umanis galungan penjor tersebut digoyang goyangkan sedikit agar 
dahan perlengkapan yang tergantung jatuh dengan maksud mohon anugrah 
dari Hyang Widhi. Setelah budha keliwon Pegatwakan, 35 hari setelah 
Galungan penjor dicabut dan sampahnya dibakar habis abunya dimasukan ke 
dalam kelapa gading ditanam di depan rumah dengan harapan agar memberi 
sesuatu kekuatan untuk memperkokoh jiwa agar penghuni menjadi selamat.
Lamak
Lamak
 adalah suatu ukiran dari janur, daun enau baik yang warna hijau maupun 
yang warna krem sebagai alas yang ditempatkan dalam suatu bangunan 
pelinggih. Dalam lamak terdapat berbagai ukiran simbol-simbol keagamaan 
yaitu: Simbul Gunungan atau kekayonan, Cili-cilian, Bulan, Bintang, 
Matahari dan sebagainya. Penggunaannya dilengkapi denga Plawa, Canang 
dan Dupa.
ASRAMA
Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama hidupnya, yaitu :
            1.Brahmacari, 
            2. Grhastha, 
            3. Vanaprastha, dan 
            4. Bhiksuka. 
Karena
 menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang tidak melaksanakan 
catur ashrama dengan baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.
Brahmacari
Brahmacari
 adalah masa belajar, masa menuntut ilmu/pendidikan. Brahmacari dalam 
arti sempit adalah masa belajar secara formal misalnya belajar sejak TK 
sampai perguruan tinggi. Brahmacari dalam arti yang lebih luas, adalah 
upaya meningkatkan pengetahuan dengan berbagai cara (formal dan 
informal) yang berlangsung sepanjang masa kehidupan karena sebenarnya 
proses belajar-mengajar berlangsung tiada henti. Brahmacari dalam arti 
khusus ada dua yaitu :
            1) Brahmacari dalam kaitan masa
 aguron-        guron (belajar agama/spiritual) seorang             
sisya (siswa) kepada Nabe (guruspiritual)          dimana Nabe tidak 
hanya mengajar tetapi             juga mendidik dan melatih, dan
           
 2) Brahmacari dalam arti menjauhkan diri         dari keinginan sex 
atau tidak kawin/nikah             selama hidup. Yang terakhir ini 
disebut             sebagai sukhla brahmacari. Pentingnya             
Brahmacari Ashrama, disebutkan dalam           Atharvaveda sebagai 
berikut :
Brahmacaryena tapasa, raja rastram vi raksati, acaryo brahmacaryena, brahmacarinam icchate
(XI.5.17).
Sa dadhara prthivim divam ca
(XI.5.1).
Tasmin devah sammanaso bha vanti
(XI.5.1)  
Artinya : 
Seorang
 pemimpin dengan mengutamakan brahmacari dapat melindungi rakyatnya, dan
 seorang guru yang melaksanakan brahmacari menjadikan siswanya orang 
yang sempurna; Seseorang yang melaksanka brahmacari akan menjadi 
penopang kekuatan dunia; Tuhan (Hyang Widhi) bersemayam pada diri 
seorang brahmacari.
Dari kutipan Veda itu 
jelaslah kiranya bahwa kewajiban manusia yang utama dan yang pertama 
dilakukan adalah menuntut ilmu atau belajar dan berpendidikan, karena 
dari pendidikan / pengajaranlah pikiran dikembang kan untuk menuju 
kepada Catur purushaarta seperti yang telah dikemukakan dalam uraian 
tentang catur purushaarta terdahulu. Pelajaran dan pendidikan juga akan 
membangun kemampuan berpikir untuk memilah antara dharma (perbuatan 
baik) dan adharma (perbuatan tidak baik) sehingga manusia dapat mencapai
 kesempurnaan hidup.
Kitab suci Sarasamusccaya 2 :
Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu samavistam subhesvevavakarayet.
Artinya :
Diantara
 semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang 
dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam 
perbuatan baik segala yang buruk itu; demikianlah pahalanya menjadi 
manusia.
Dalam Upanisad disebutkan pula bahwa arti 
kata Manusah adalah : Manu = kebijaksanaan, sah = mempunyai. Jadi 
manusia adalah mahluk yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan 
diperoleh dari tiga kemampuan kodrati manusia yaitu:
            1. Sabda (kemampuan berbicara),
            2. Bayu (kemampuan bergerak) dan
            3. Idep (kemampuan berpikir).
"Idep"
 yang dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan akan menjadikan 
manusia itu lebih bijaksana sehingga disebut sebagai manusia yang 
sempurna.
Mahluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua 
kemampuan saja yaitu kemampuan bergerak (bayu) dan kemampuan bersuara 
(sabda). Binatang tidak mempunyai kemampuan berpikir (idep) oleh karena 
itu binatang beraktivitas berdasarkan naluri, tidak berdasar kan 
pikiran. Tumbuh-tumbuhan hanya mempunyai kemampuan tumbuh (bayu) saja, 
tidak mempunyai sabda dan idep.Selanjutnya Sarasamusccaya menyatakan 
bahwa kita wajib bersyukur karena atman telah menjelma menjadi manusia, 
mahluk yang utama, karena itu gunakanlah kesempatan hidup yang sempit 
ini dengan sebaik-baiknya, kesempatan mana sungguh sangat sulit 
diperoleh; lakukanlah segala sesuatu yang baik (melalui brahmacari) yang
 mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan, gunakanlah kesempatan ini untuk 
mencapai moksa/sorga. "Paramarthanya, pengpengen ta pwa katemwaniking si
 dadi wwang, durlabha wi ya ta, saksat handaning mara ring swarga ika, 
sanimittaning tan tiba muwah ta pwa damelakena"
Dana Punia
Apakah Pengertian dari Dana Punia itu ?
Dana Punia terdiri dari dua kata yaitu Dana = Pemberian, sedangkan Punia artinya selamat, baik, bahagia, indah, dan suci.
Jadi Dana Punia artinya pemberian yang baik dan suci.
Apakah yang menjadi landasan Dana Punia ? 
Sedikitnya ada dua landasan dari Dan Punia itu antara lain :
1. Landasan Filosofis : Tat Twam Asi
2. Landasan Sastra :
            1. Weda Smerti
            2. Manawadharmasastra Bab IV, sloka   33,226
           
 3. Sarasamuscaya sloka no. 175, 176,    192, 198, 217,178,207, 211, 
182, 183,     184, 222, 181, 202, 205,206,216,187,        188, 191, 193,
 194, 212, 213, 223, 261,   262,263.
            4. Sanghyang Kamahayanika, sloka        56,57,58.
            5. Slokantara, Sloka nomor 2,4,5.
            6. Ramayana, sargah I, bait 5, sargahII                   bait 53, 54.
            7. Nitisastra, sargah III bait 8, sargah       XIII bait 11.
            8. Lontar Yadnya Praketi.
           
  Berapa jeniskah kita mengenal Dana     Punia ? Perincian dana punia 
yang        dapat mendatangkan pahala yang          besar adalah :
1. Desa : harta benda
2. Agama : ajaran sastra, agama, dan ilmu        pengetahuan
3. Drewya : benda benda duniawi/material.
Dalam Sanghyang Kamahayanika dijelaskan bentuk dana punia yaitu:
            1. Dana : harta benda 
            2. Atidana : anak gadis yang cantik
            3. Mahatidana : jiwa raga
Siapakah yang berkewajiban melaksanakan dana punia ?
            * Para pengusaha negara / pemerintah
            * Para pemuka agama
            * Penyelenggara yadnya
            * Saudagar, usahawan
            * Orang orang yang mampu
            * Sewaktu waktu diwajibkan bagisemua               umat
            * Bagi umat yang berpenghasilan tetap
            * Bagi umat yang berpenghasilan            tinggi.
Siapakah yang berhak menerima Dana Punia ?
            * Para Guru Rohani / Nabe
            * Dangacarya /Sulinggih
            * Orang miskin yang terlantar
            * Orang cacat
            * Orang yang terkena musibah
            * Tempat suci / Parahyangan
            * Lembaga lembaga sosial
            * Rumah sakit
            * Pasraman / Pendidikan
Bagaimana Pelaksanaan Dana Punia ?
Saat yang baik melaksanakan dana punia adalah :
            * Uttarayana (purnama kedasa ) Umat    Hindu diwajibkan melaksanakan dana               punia secara serentak
           
 * Sewaktu waktu tepatnya pada    purnama dan tilem baik Uttarayana, 
       swakala, daksinayana (matahari       menuju utara, di 
katulistiwa, dan             menuju selatan).
            * Saat gerhana matahari dan bulan
            * Dalam keadaan pancabaya.
Apakah dasarnya dana Punia ?
Dalam
 Sarasamuscaya sloka 261, 262, 263 dan Ramayana sarga II bait 53, 34 
disebutkan bahwa harta yang didapat (hasil guna kaya) hendaknya dibagi 
tiga yaitu untuk kepentingan:
            * Dharma 30%
            * Kama 30%
            * Dana harta ( Modal Usaha 40% )
Sampai kapankah Dana Punia itu dilaksanakan ?
            * Selama dalam status grehaste untuk   setiap umat wajib melakukan dana punia.
           
 * Dalam rangka pembinaan untuk           menumbuhkan kesadaran berdana 
punia        di kalangan anak anak maka perlu kegiatan dana punia
MOKSA
Menurut
 kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala 
bentuk ikatan dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma adalah 
roh, jiwa. Sedangkan hal-hal yang termasuk ikatan adalah :
            1) pengaruh panca indria,
            2) pikiran yang sempit,
            3) ke-akuan,
            4) ketidak sadaran pada hakekat Brahman-Atman,
            5) cinta kasih selain kepada Hyang Widhi,
            6) rasa benci,
            7) keinginan,
            8) kegembiraan, 
            9) kesedihan,
            10) kekhawatiran/ketakutan, dan
            11) khayalan.
Moksa
 dapat dicapai oleh seseorang baik selama ia masih hidup (disebut : 
Jivam Mukta), maupun setelah meninggal dunia (disebut : Videha Mukta). 
Jika selama masih hidup seseorang itu mencapai moksa maka ia telah 
mencapai tingkat moral yang tertinggi, kehidupannya sempurna 
(krtakrtya), penuh dengan kesenangan (atmarati) karena terbebas dari 11 
jenis ikatan yang disebutkan diatas, memandang dirinya ada pada semua 
mahluk (eka-atma-darsana), memandang dirinya ada pada alam semesta 
(sarva-atma-bhava-darsana). Kesenangan juga tercapai karena pengetahuan 
dan kesadaran bahwa brahman-lah atman yang ada didirinya 
(brahmanbhavana). Jika moksa dicapai setelah meninggal dunia maka 
terjadilah proses menyatunya atman dengan brahman sehingga atman tidak 
lahir kembali sebagai mahluk apapun atau bebas dari samsara, disebut 
juga sebagai kedamaian abadi (sasvatisanti).
Moksa adalah tujuan hidup manusia yang tertinggi yang dapat dicapai oleh setiap manusia bila ia :
            1) Mampu membebaskan atman dari      ikatan.
            2) Mempunyai pengetahuan utama        (paravidya) tentang brahman.
            3) Melaksanakan disiplin kehidupan yang         suci.
Oleh
 karena itu moksa juga dikatakan sebagai pahala yang tertinggi dari 
Hyang Widhi atas karma manusia utama, suatu anugerah yang maha mulia.
Ada kutipan Svetasvatara Upanisad I.6 yang sangat indah :
Sarvajive sarvasamsthe brhante asmis, hamso bhramyate brahmacakre, prthag atmanam pretitaram ca justas, tatas tenamrtatwam eti.
Artinya : 
Dalam
 roda Brahman yang maha besar dan maha luas, didalamnya segala sesuatu 
hidup dan beristirahat, sang Angsa mengepak-epakkan sayapnya dalam 
melakukan perjalanan sucinya. Sejauh dia berpikir bahwa dirinya berbeda 
dengan Sang Maha Penggerak maka ia dalam keadaan tidak abadi. Apabila 
dia diberkahi oleh Hyang Widhi maka ia mencapai kebahagiaan sejati dan 
abadi.
Makna dari sloka upanisad di atas adalah :
Sekalipun
 anda telah melaksanakan disiplin kehidupan suci dan membebaskan atman 
dari ikatan-ikatan, namun bila anda tidak menyadarkan atman bahwa 
Brahmanlah atman, maka anda belum mencapai moksa
KESIMPULAN :
 Moksa adalah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati adalah sorga yang 
sebenarnya. Moksa dapat dicapai dengan upaya yang tekun melaksanakan
SELESAI
 
 
 
suksma atas informasinya jik (*_^)
BalasHapussuksma gus, tulisannya masih belepotan niki, kanggeyang dumun, benjangan malih ajik benahi, semoga bermanfaat untuk semeton sami, yadian akidik, kanggeyang.
HapusSuksma atas Pencerahannya dan mohon ijin Copy Paste Jik
HapusBecik Tuaji... seneng titiang ngewacenin.
BalasHapusTuaji yening wenten indik wariga pedewasan upload akidik. Suksma.
inggih gus, sampun wenten ring warigha putus
Hapussinampura,ini tidak menyangkut isi. tyang tdk mampu membacanya krn warna merahnya membuat silau dan mata tdk kuat melihatnya. suksma
BalasHapusmohon maaf bapak kalau tulisan saya menganggu bapak.
Hapussumbernya dari mana jik
BalasHapusdari berbagai sumber.....
Hapus