Jumat, 06 April 2012

PURA BALA UTTAMA UBUD


BENDESA MANIK MAS

Semoga tidak ada halangan dan berhasil.

Sembah sujud hamba ke hadapan para leluhur, beliau yang telah paham akan saripati Hyang Ratna Ongkara Mantram, suci lahir-bathin hingga disebut Sang Yogiswara. Semoga beliau memberkati hamba untuk menceritakan perihal terdahulu yang amat suci. Bebas hamba dari kesalahan, kekeliruan, segala mala pataka serta dimaafkan oleh beliau untuk keselamatan dan panjang umur seluruh keluarga hingga keturunan kelak, semoga sejahtera.
Tersebutlah zaman dahulu, keadaan dunia masih kosong bagaikan perahu yang terombang-ambing yakni di tanah Bali dan Selaparang, sirna semua yang ada di jagat Bali ini. Adapun ceritanya :
Semula ada empat gunung bernama Gunung Catur Loka Pala, yakni :
·         di timur adalah Gunung Lempuyang,
·         di selatan ada Gunung Andakasa,
·         di sisi utara adalah Gunung Manghu,
·         di sisi barat ada Gunung Watukaru.
Demikian keberadaan gunung itu, yang pada hakikatnya sebagai kunci penguat jagat Bali sejak zaman dulu. Itu sebabnya terasa sulit Hyang Hari Bawana (Wisnu) menjaga Bali ini.
Bersedihlah Hyang Tri Nayana menyaksikan Bali ini bagaikan pralaya (kiamat). Segera berupaya mencabut puncak Gunung Mahameru, Hyang Badhawang Nala sebagai dasar gunung, Hyang Ananta Boga dan Hyang Basuki sebagai talinya, Hyang Naga Taksaka menerbangkan hingga di Bali dan Selaparang. Itu sebabnya ada Gunung Agung dan Gunung Rinjani. Hampir sama dengan perihal ketika para dewata memutar Gunung Mandara di lautan susu (KsirĂ rnawa). Demikian cerita kedua pulau itu (Bali, Lombok).
Entah berapa lamanya, bertepatan pada wuku Prangbakat sasih kadasa (Panca Indra Bhumi) bernama Anggara Kasih Prangbakat, sasih kadasa bertemu purnama, tahun Candra sangkala: Sukita Pawaka Mastaka Witangsi, satuannya (rah) 3, puluhannya (tenggek) 1, atau Wesakyam Ghni Bhudara (Isaka ..13), meletus Tohlangkir (Gunung Agung), muncullah Bhatara Tri Purusa, yakni :
·         Bhatara Hyang Aghni Jaya berstana di Pura Lempuyang,
·         Bhatara Putra Jaya yang juga bergelar Bhatara Hyang Mahadewa berstana di Pura Besakih, dan
·         Bhatari Hyang Dewi Danuh beristana di Pura Ulun Danu Batur.
Ada lagi putra Hyang Pasupati, ditugaskan menjaga jagat Bali bergelar Sang Hyang Tri Purusa, seperti
·         Bhatara Hyang Tugu berstana di Gunung Andakasa,
·         Bhatara Hyang Tumuwuh berstana di Gunung Watukaru,
·         Bhatara Hyang Manik Gumawang di Gunung Bratan, dan
·         Bhatara Hyang Manik Galang (Corong) di Pejeng.
Entah berapa lama beliau berstana di Sad Kahyangan dan disembah jagat Bali, ceritakan kini pada siwa kuja Julung Mrik yang bernama Anggara Kliwon Julungwangi, Sadara marga uttara badrawada, bernama sasih Karo, ketika Hyang Surya bergerak ke utara, bertepatan pada sukla pawaka bhudara, yakni pananggal ke-13 (tahun Candra Sangkala: swanita kala bhumi sirsaya janma) bernama rah (satuan) 8, tenggek (puluhan) 1 (Naga wulan witangsu Udaning Jagadhitaya) atau tahun Isaka 18. Ketika itu Bhatara Hyang Aghni Jaya dan Bhatara Hyang Putra Jaya beryoga dan meletuslah Hyang Tohlangkir (Gunung Agung) mengeluarkan lahar api membasmi segala yang dilaluinya. Kemudian menjadi sungai yang dinamai Lwah Embah Ghni hingga kini.
Berkat yoga Bhatara Hyang Putra Jaya lahirlah putranya yang tertua bernama Bhatara Ghana. Adiknya bernama Bhatari Manik Ghni. Berkat yoga Bhatara Hyang Ghni Jaya lahir putranya empat orang, yakni Sanghyang Sri Mahadewa bergelar Mpu Witta Dharma, Sanghyang Sidhi Mantra yang sangat sakti, Sang Kulputih, serta yang terbungsu bernama Ratu Sakti menjadi raja di Madura. Berkat yoga Mpu Witta Dharma, lahir seorang putra bernama Mpu Bajra Satwa, bergelar Mpu Wira Dharma. Adapun adiknya bernama Mpu Dwijendra bergelar Mpu Raja Kretta.
Ceritakan berkat yoga yang dilakukan Mpu Dwijendra, lahir empat orang putra, yakni
·         Mpu Gagak Aking, 
·         Mpu Bubuk Sah,
·         Mpu Brahma Wisesa, dan
·         Mpu Lingga Nata.
Hentikan beliau yang demikian itu, ceritakan berkat yoga beliau Mpu Bajra Satwa yang bergelar Mpu Wira Dharma, lahir seorang putra bernama Mpu Tanuhun yang juga bernama Mpu Lampitha. Adapun dari yoganya Mpu Tanuhun lahir lima orang putra, yakni:
·         Sang Brahmana Pandita,
·         Mpu Sumeru,
·         Mpu Ghana,
·         Mpu Kuturan, dan
·         Mpu Baradah.
Kelimanya disebut panca pandita atau panca tirta dan panca dewata. Semuanya menghadap Bhatara Gana dan Bhatari Manik Ghni yang berada di Gunung Sumeru seraya melakukan yoga semadi menghadap anugrah Bhatara Hyang Pasupati. Ada kata bhisama Bhatara Hyang Pasupati kepada Bhatara Hyang Panca Tirta sebagai berikut. “Oh cucuku sekalian, dengarkanlah baik-baik, jangan lupa terhadap perilaku seorang pendeta, yang taat akan tutur kamoksan dan kebenaran aksara. jika begini mestinya begini, jika begitu mestinya begitu. Yang terpenting anugrah beliau, adalah segala ilmu yang tersurat dalam Sanghyang Manu, Tri Kaya Parisudha, dan Tatwa Dyatmika.
Kemudian jika ada keturunanmu, sampaikan juga bhisamaku ini, untuk mengingatkan perilaku seorang pendeta utama. Jika ada keturunanku melanggar, tidak hirau isi lontar (lepihan), ia bukan keturunanmu. Semoga ia kalah dan turun wangsanya”.
Demikian anugrah serta bhisama Bhatara Hyang Pasupati kepada Panca Pandita, sepi bagaikan diperciki tirta amerta kamandalu setelah merasuk ke ubun-ubunnya.
Hentikan dan diganti ceritanya, tersebutlah entah berapa lamanya Sang Panca Pandita berada di bumi Jawa. Ceritakan kini telah berada di jagat Bali. Sang Brahmana Pandita memperistri putri Bhatari Manik Ghni, hingga bergelar Mpu Ghni Jaya Sakti. Kemudian berputra tujuh orang yang disebut Sapta Rsi, yakni:
·         Mpu Ketek,
·         Mpu Kananda,
·         Mpu Wiradnyana,
·         Mpu Wita Dharma,
·         Mpu Ragarunting,
·         Mpu Prateka,
·         Mpu Dangka.
Adapun Mpu Ghni Jaya Sakti datang ke tanah Bali pada Kamis Umanis Dunggulan, tahun Isaka 928, mendirikan parhyangan di Lempuyang Madya.
Sementara Mpu Sumeru datang ke tanah Bali pada Jumat Kliwon Pujut, purnama Kaulu, tahun Isaka 921 berstana di Besakih.
Adapun Mpu Gana turun ke tanah Bali pada Senin Kliwon Kuningan, tahun Isaka 923, berstana di Gelgel.
Adapun Mpu Kuturan datang ke tanah Bali pada Rabu Kliwon Pahang tanggal 6 Isaka 923 berstana di Silayukti Padang bai.
Mpu Baradah tidak ikut datang ke Bali, beliau berstana di Lemah Tulis Pajarakan sebagai pendeta oleh sang prabu di kerajaan Kediri (Jawa).
Hentikan yang demikian, kini ceritakan sang Sapta Rsi telah mempunyai keturunan, seperti tersurat dalam lepihan (lontar), Adapun kini disebutkan Mpu Witta Dharma, putra keempat dari Mpu Ghni Jaya mempersunting putri Mpu Darmaja bernama Dewi Darmika. Datang ke Bali dan menetap di Lempuyang Madya berbakti dan memelihara parhyangan Bhatara Kawitan Hyang Abra Sinuhun. Kemudian berkat keutamaan yoganya, muncul tirta Tunggang (tirta utama) dari kemaluannya sebagai tirta pangentas orang mati.
Entah berapa lama fase grehasta yang dijalaninya, lalu melahirkan seorang putra diberi nama Mpu Bajra Sandi Wira Dharma. Adapun Mpu Bajra Sandi Wira Dharma sebagai suami putri Mpu Siwa Gandu yang bernama Dewi Giri Nata melahirkan tiga putra laki, yang tertua Mpu Lampitha, yang menengah Mpu Adnyana atau bergelar Mpu Pananda, dan terbungsu adalah Mpu Pastika. Adapun Mpu Pastika dan Mpu Pananda dijadikan murid oleh Mpu Kuturan. Keduanya tiada pernah kawin (sukla brahmacari), turut di Silayukti Padang. Sedangkan Mpu Lampitha dijadikan suami oleh Ni Ayu Subrata melahirkan seorang putra bernama Mpu Dwijaksara. Adapun Mpu Dwijaksara berputra Mpu Jiwaksara, yang kemudian bernama Ki Patih Wulung.
Ceritakan kini pada tahun Saka 1246, zaman pemerintahan Sri Aji Tapa Wulung di Bali pulina bergelar Sri Aji Gajah Waktra dan Sri Aji Gajah Wahana nama lain beliau. Sebagai patih agung adalah Kriyan Pasung Grigis keturunan Sanghyang Sidhi Mantra Sakti dan Kriyan Kebo Iwa sebagai adipati, didampingi oleh para mantri lainnya seperti
·         Ki Patih Wulung,
·         Ki Wudug Basur,
·         Ki Kala Gemet,
·         Ki Tumenggung
serta empat mantri andalan, yakni
·         Ki Tunjung Tutur di Karangasem,
·         Ki Tunjung Biru di Tenganan,
·         Ki Kopang di Seraya,
·         Ki Bwahan di Batur,
·         Ki Walung Singkal di Taro,
·         Ki Tambiak di Badung,
·         Ki Girik Mana di Buleleng, dan
·         Ki Ularan di Kalopaksa.
Demikian banyak bala mantri yang memperkuat raja dalam memegang tapuk pemerintahan di Bali Pulina. Entah berapa lama beliau memerintah, kemudian beliau melaksanakan yajna Eka Dasa Rudra di Besakih didamping oleh Sang Sapta Rsi. Tak disebutkan keagungan yajna, kini setelah yajna usai negeri menjadi tentram karena kebijakan beliau memerintah. Rasa bahagia di dunia seakan mengalir. Itu sebabnya beliau diberi gelar Sri Aji Dalem Asta Sura Bumi Banten.
Demikian sejarahnya seperti tersurat dalam lepihan (lontar).
Kembali kini ceritakan tentang Mpu Dwijaksara yang datang ke Bali tahun Saka 1265. Atas permohonan Mahapatih Gajah Mada untuk menata jagat Bali setelah kekalahan raja Sri Aji Dalem Bedahulu oleh Majapahit dan tidak ada yang memerintah di jagat Bali. Setibanya di tanah Bali segera membangun parhyangan di Gelgel bernama Pura Panganggihan Batur Gelgel. Disebutkan bahwa beliau punya seorang putra bernama Mpu Jiwaksara dan bergelar Ki Patih Wulung. Kemudian beliau beristrikan Ni Ayu Swara Reka, menurunkan dua orang putra yang tertua bernama
·         I Gusti Smaranata
·         I Gusti Bandesa Manik.
Adapun I Gusti Smaranata beristrikan Ni Ayu Rudini menurunkan seorang putra bernama I Gusti Rare Angon. Adapun Ki Gusti Bandesa Manik beristrikan Ni Luh Ayu Manik Hyang menurunkan Ni Luh Ayu Made Manikan dan dijadikan istri oleh Ki Gusti Rare Angon.

Ceritakan I Gusti Bandesa Mas sebagai Bandesa di desa Mas tahun Saka 1257, menetap di Taman Pule. Kemudian menurunkan tiga orang, yang tertua bernama
I Gusti Bandesa Mas, yang menengah bernama Ni Luh Made Manikan, dan terbungsu bernama Ni Luh Nyoman Manikan. Adapun I Gusti Rare Angon, dari istri beliau I Gusti Bandesa Manik melahirkan tiga orang putra, yakni:
·         I Gusti Pasek Gelgel,
·         I Gusti Pasek Denpasar, dan
·         I Gusti Pasek Tangkas.
Lagi I Gusti Rare Angon yang istrinya dari Tohjiwa berputrakan tiga orang, yakni
·         I Gusti Pasek Tohjiwa,
·         I Gusti Pasek Nongan, dan
·         I Gusti Pasek Prateka.
Enam orang putra dari Gusti Rare Angon dan tujuh hingga I Gusti Bandesa Mas menjadikan sebutan Pasek Sanak Pitu di dunia ini.
Adapun I Gusti Bandesa Mas menurunkan tiga orang putra, yang tertua bernama
·         Pangeran Bandesa Mas di Banjar Tarukan, Taman Pule Desa Mas Gianyar,
·         Bandesa Mas di Desa Gading Wani Jembrana,
·         Bandesa Mas di Desa Mundeh Kaba-Kaba Tabanan.
Hentikan lagi cerita itu, kini ceritakan ketika pemerintahan Sri Aji Dalem Waturenggong pada tahun Saka 1382 sebagai raja Bali. Beliau sakti mandraguna, gunawan penegak dharma dan bijaksana, seorang raja yang disegani rakyat sehingga banyak negeri tetangga tunduk kepada raja, seperti Sasak, Sumbawa, Bone, Blambangan, dan Puger. Tetapi negeri Pasuruan belum kalah olehnya. Itu sebabnya raja mengadakan rapat besar mengundang para bahudanda mantri seperti Rakyan Patandakan, Manginte, Batan Jeruk, Panyarikan Dauh Bale Agung, Gusti Jelantik, Sanak Pitu Pangeran Pasek Gelgel dan Pangeran Bandesa Mas berikut punggawa dan prajuru, disaksikan oleh purahita Siwa-Budha. Karena teringat akan yang terdahulu, adanya duta baginda raja menyerang Sri Aji Pasuruan yang dipimpin Arya Patih Ularan, Arya Kuta Waringin, Arya Manguri, Arya Delancang, dan Arya Muda. Ada lagi tentang masalah pada diri Pangeran Pasek dan Pangeran Bandesa, yang zaman dulu sebagai senapati perang oleh Dalem Cili Kresna Kapakisan. Tak disebutkan perihal duta perang di Pasuruan, akhirnya kalah Sri Aji Pasuruan, namun tetap tidak mau diajak ke Bali. Betapa marah Patih Ularan segera dipenggal kepala Sri Aji Pasuruan dan dibawa ke Bali, berikut seluruh kekayaan istana dihaturkan kepada raja Bali, sebagai bukti beliau telah mengalahkan negeri Pasuruan.
Setibanya Ki Patih Ularan dan kedua Pangeran seperti Pangeran Pasek Gelgel dan Pangeran Bandesa di balairung, lalu bersujud kepada Dalem seraya berkata: “hamba mohon maaf sebagai abdimu, kini telah berhasil mengalahkan negeri Pasuruan, seperti Sri Aji Pasuruan, telah dipenggal kepalanya olehku, ini hamba serahkan kepada paduka”. Pangeran Bandesa juga berkata: “Oh paduka, hamba telah hancurkan istana Pasuruan yang dilapisi permata, dan kini telah mampu hamba raih sebagai bukti mengalahkan kerajaan Sri Aji Pasuruan”. Ketika Kriyan Ularan dan Pangeran Bandesa mengatakan semua itu, raja terdiam bisu bagaikan tertindih gunung mendengarkannya. Wajah beliau merah bagaikan api menyala karena sangat marahnya. Segera turun dari singasana beliau langsung masuk istana dan menutup pintu. Ada terdengar kata-kata beliau:
“ Hai kamu Kriyan Ularan, ada bisama / putusanku kepadamu, kini kamu tak bisa menghadap aku, karena dosamu yang amat berat terhadap kakakku Sri Aji Pasuruan. Ini ada pemberianku padamu, rakyat dua ratus orang, sawah dua ratus sikut. Pergilah kamu dari sekarang. Aku harap kamu menuju Patemon sebelah selatan bukit (Singaraja). Jangan kamu menghadap aku. Dan kamu Pangeran Bandesa, karena telah mengambil permata mas manik di gapura Pasuruan, mulai sekarang kamu bernama Pangeran Bandesa Manik Mas hingga keturunanmu seterusnya. Tidak kena hukuman mati, jika dosa sangat berat harus diusir. Jika salah usir wajib dimaafkan. Sekarang juga pikiranku padamu Pangeran Pasek Gelgel, karena kamu masih satu berkat Kriyan Patih Ulung dulu, senantiasa berbakti padaku. Aku beri rakyat sama-sama seratus orang, sawah masing-masing seratus wit, dan ladang seratus wit, wajib diterima olehmu sekeluarga hingga keturunanmu”.
Demikian kata Dalem tersurat dalam lepihan.
Kemudian Pasek Gelgel dan Bandesa Manik Mas membangun rumah di Sweca Lingga Pura (Klungkung) bernama Jero Kuta sebelah selatan Puri Agung, diperkuat oleh dua ratus orang rakyat bersama Pangeran Mas sebagai pemuka Desa Gelgel atas perintah Sri Aji. Sangat utama dan berkembang keturunannya, didampingi oleh para mantri, dibantu para pemuka desa, seperti:
·         I Gusti Agung,
·         I Gusti Nginte,
·         I Gusti Jelantik,
·         I Gusti Pinatih,
·         I Gusti Panyarikan Dauh Bale Agung,
·         I Gusti Lanang Jungutan,
·         I Gusti Tapa Lare,
·         I Gusti Kaler,
·         I Gusti Lod,
·         I Gusti Pangyasan, dan
·         I Gusti Batan Jeruk.
Itulah seluruh arya di Gelgel dan para pangeran, yakni:
·         I Gede Pasek Gelgel,
·         I Gede Bandesa Manik Mas,
·         I Gede Dangka,
·         I Gede Gaduh,
·         I Gede Ngukuhin,
·         I Gede Tangkas Kori Agung,
·         I Gede Kubayan,
·         I Gede Mregan, dan
·         I Gede Abyan Tubuh.
Lagi ada pangeran dari predana (wanita) Sri Aji, seperti:
·         I Gede Salahin,
·         I Gede Cawu,
·         I Gede Moning,
·         I Gede Lurah.
Dan ada pangeran keturanan Sri Aji dari Dalem Tarukan, seperti :
·         Gede Sekar,
·         Gede Pulasari,
·         Gede Belayu,
·         Gede Babalan,
·         Gede Bandem, dan
·         Gede Dangin.
Demikian banyak satria (pangeran) dan pemuka masyarakat yang ada di Gelgel.
Hentikan dan diganti ceritanya. Kini tersebutlah Danghyang Nirartha, seorang pendeta utama datang ke tanah Bali pada tahun Saka 1411 bersama istri dan putra-putranya, yakni:
·         Ida Ayu Swabawa,
·         Ida Kuluwan,
·         Ida Lor,
·         Ida Wetan,
·         Ida Rai Istri,
·         Ida Tlaga,
·         Ida Nyoman Kaniten.
Adapun Danghyang Nirartha menaiki waluh kele / waluh pahit, istri dan putra-putranya menaiki perahu bocor. Karena kesaktiannya segera sampai di Bali, istirahat di bawah pohon ancak. Kemudian didirikan parhyangan bernama Pura Ancak. Ada bisama / putusannya kepada keturunannya, tidak boleh makan waluh seterusnya.
Dikisahkan ke arah timur perjalanan Danghyang Nirartha, tiba-tiba bertemu dengan seekor naga menganga bagaikan goa. Masuklah beliau, dan ada telaga berisi bunga tunjung sedang mekar, ada yang putih, merah dan hitam. Lalu dipetik bunga itu. Baru keluar dari perut naga, sirnalah naga itu, menyeramkan dan berubah-ubah wajah Dang hyang Nirartha, terkadang merah, hitam, dan putih silih berganti. Itu sebabnya pucat istri dan para putranya melihat sang rsi. Kemudian terlihat istrinya Sri Patni Kiniten demikian juga putra-putranya. Tetapi Ida Ayu Swabawa terlihat paling akhir dalam keadaan pingsan, karena diperdaya oleh orang desa di Pagametan. Lalu marah sang Rsi seraya mengutuk orang Desa Pagametan menjadi wong samar bernama wong Sumedang berikut desanya disirnakan. Demikian kisahnya.
Adapun Ida Ayu Swabawa sirna sebagai dewa wong Sumedang, berstana di Pura Dalem Mlanting disembah sebagai Dewa Pasar. Dan beliau Patni Kaniten sirna di Pulaki menjadi Bhatara Dalem Pulaki. Demikian juga putranya yang bernama Ida Rai Istri, ketika mengikuti perjalanan Danghyang Nirartha, lalu sirna di Alas Sepi bernama Suwung, disembah di Pura Griya Tanah Kilat Desa Suwung Badung, bergelar Bhatari Ratu Niyang Sakti.
Ceritakan lagi perjalanan Danghyang Nirartha, lalu tiba di Desa Gading Wani Jembrana, ketika penduduk desa kena gering gerubug tak bisa diobati. Di sanalah Bandesa Mas sebagai bandesa di Gading Wani mohon kepada Rsi agar berkenan mengobati penduduk Desa Gading Wani. Tak lama dapat disembuhkan oleh kesaktian Danghyang Nirartha. Kemudian Ki Bandesa Mas Gading Wani didwijati oleh Danghyang Nirartha bergelar Ki Dukuh Macan Gading. Sejak itu Dang hyang Nirartha diberi gelar Padanda Sakti Bawu Rawuh, juga Dang hyang Dwijendra. Di sana Bandesa Gading Wani menghaturkan putrinya kepada Dang hyang Nirartha bernama Ni Jero Patapan, serta dayangnya bernama Ni Berit.
Entah berapa lama Dang hyang Nirartha berada di gading Wani, lalu terdengar oleh Bandesa Mas di Desa Mas dan Bandesa Mas di Kaba-Kaba Tabanan akan kesaktian Dang hyang Nirartha. Lalu mengutus seorang duta agar sang Rsi berkenan datang ke Desa Mas.
Tak disebutkan perjalanan beliau, di tengah jalan dijemput oleh Ki Bandesa Mas di desa Kaba-Kaba. Tetapi beliau tidak berkenan, karena Ki Bandesa Mas Kaba-Kaba memohon di perjalanan. Namun, ada anugrah beliau berupa Siwa-Lingga agar dipuja oleh penduduk setempat, kemudian didirikan Pura bernama Pura Griya Kawitan Rsi hingga kini. Setelah demikian, lalu Danghyang Nirartha berjalan melewati Badung. Tak dikisahkan.
Kini diceritakan perihal Bandesa Mas sebagai Bandesa di Desa Mas bergelar Bandesa Manik Mas atas anugrah Sri Aji dalem Waturenggong, ketika mengalahkan Sri Aji Pasuruan terdahulu bersama Pangeran Pasek Gelgel dan Arya Ularan.
Dikisahkan sekarang Dang hyang Nirartha setelah tiba di Desa Mas, dijemput oleh Bandesa Manik Mas, seraya dibuatkan griya (rumah) di Taman Pule Desa Mas. Entah berapa lamanya, lalu didwijati Bandesa manik Mas oleh Dang hyang Nirartha. Ketika itu, Bandesa Manik Mas menghaturkan adiknya yang bernama Ni Luh Nyoman Manikan, diganti namanya menjadi Sang Ayu Mas Genitir sebagai istri Dang hyang Nirartha.
Kemudian menurunkan seorang putra bernama Ida Putu Kidul. Selanjutnya menurunkan Brahmana Mas di tanah Bali. Dari perkawinan Dang hyang Nirartha dengan Jero Patapan, menurunkan seorang putra bernama Ida Wayahan Sangsi, juga bernama Ida Andapan atau Ida Patapan. Juga beristrikan dayangnya yang bernama Ni Berit, menurunkan Ida wayan Temesi atau Ida Bendu sebutan lainnya. Kemudian datang I Gusti Panyarikan Dauh Bale Agung sebagai duta Sri Aji Dalem Waturenggong, agar Dang hyang Nirartha berkenan menjadi Bhagawanta atau purahitanya. Itulah sebabnya Dang hyang Nirartha sebagai pendetanya sang raja. Kemudian Sri Aji Dalem mengadakan Yajna Homa, yakni Aghni Hotra, digelar oleh pendeta Siwa-Sogata, yakni Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka. dan didwijati Sri Aji dalem oleh Dang hyang Nirartha. Semakin kuat negerinya karena kesaktian sang raja menguasai jagat Bali.

Hentikan sejenak dan diganti ceritanya, Dikisahkan Bandesa Manik Mas di Banjar Tarukan Taman Pule Desa Mas, menurunkan tiga orang putra, yakni:
·         Bandesa Mas di Taman Pule Desa Mas,
·         Bandesa Mas di Desa Lod Tunduh,
·         Bandesa Mas di Desa Mawang Gianyar.
Adapun Bandesa Mas di Desa Lod Tunduh Gianyar menurunkan keturunan di
·         Desa Ungasan,
·         Bandesa Mas di Kesiman,
·         Bandesa Mas di Sangeh,
·         Bandesa Mas di Desa Abiansemal, dan
·         Bandesa Mas di Desa Pangastulan Buleleng.
Adapun Bandesa Mas di Desa Mawang Gianyar menurunkan
·         Bandesa Mas di desa Wanayu Bedulu,
·         Bandesa Mas di Desa Celuk,
·         Bandesa Mas ring Desa Malinggih,
·         Bandesa Mas di Desa Paguyangan, dan
·         Bandesa Mas di Desa Sanur.
Hentikan cerita itu sejenak, kini ceritakan entah berapa lama Bandesa Manik Mas sebagai pemuka Desa Mas secara bergantian sebagai bandesa di Desa Mas, selalu berbakti kepada junjungan.
Dikisahkan sekarang, ketika zaman Sri Agung Anom Sirikan sebagai pemegang kekuasaan Desa Timbul bergelar Sri Aji Dalem Wijaya Tanu Ratna Pangkaja, Dalem Sukawati sebutan lainnya, sekitar tahun Saka 1672-1742, ada rencana Dalem agar Ki Bandesa Manik Mas menghaturkan pustaka leluhur ke Puri Sukawati, seperti Tombak, keris, mirah manawa ratna manik mas. Mungkin telah takdir datangnya kehancuran, Ki Bandesa tidak setuju menyerahkannya karena semua itu adalah pustaka/ senjata andalan sejak dulu. Itu sebabnya, meletus perang maha dahsyat. Dikisahkan perang mulai berkecamuk, balatentara perang Ki Bandesa Mas telah bersiap-siap. Ada di ladang, persawahan, sebelah selatan Desa Mas, semua siap menunggu kehadiran musuh dari Timbul. Perang sengit saling penggal, berhadapan-hadapan dengan perwira, mengamuk sejadi-jadinya, bunuh-membunuh, karena rasa sayang dan bakti kepada rajanya.
Tak terhitung yang mati dan terluka ibarat perang Baratayuda terdahulu. Demikian juga amukan Kyayi Bandesa Manik Mas, bagikan Abhimaniu yang direbut seratus Korawa di medan laga Kuru Ksetra. Wajar saja, karena banyaknya musuh mengitari, akhirnya balatentara dan Kyayi Bandesa Manik Mas tiada berkutik.
Sepeninggal Kyayi Bandesa Manik Mas, maka yang masih hidup dan seluruh keluarganya berlari mencari persembunyian, termasuk seluruh keluarga Brahmana Mas. Semua nyineb wangsa agar tak diketahui oleh musuh. Ini adalah sebuah bhisama Kyayi Bandesa Manik Mas sebelum kalah di medan laga. Itu sebabnya semua berlari hingga jauh dari Desa Mas, agar tidak dibunuh oleh musuh. Ada yang bersembunyi :
·         Tangkulak,
·         Bedulu,
·         Tampaksiring,
·         Tegalalang,
·         Pujungan,
·         Bon Dalem,
·         Banyu Atis,
·         Banyuning,
·         Kubu Tambahan,
·         Gitgit,
·         Baturiti,
·         Candi Kuning,
·         Mengwi Kapal,
·         Kaba-Kaba,
·         Jembrana,
·         Negara,
·         Yeh Embang,
·         Badung,
·         Kapisah,
·         Pedungan,
·         Desa Ungasan menetap di Banjar Kangin,
·         Pabangbai,
·         Karangasem,
·         Klungkung,
·         Nusa Penida,
·         Abianbase,
·         Balahpane, ada di Bukit,
dan ada di Desa Dusun (perkampungan) memenuhi jagat Bali.  Kyai Bendesa Mas yang memerintah di Jagat Mas, dicintai rakyatnya, dibawah bimbingan para Brahmana Mas yang juga tinggal tidak jauh dari kedaton Mas. Beliau mempunyai putra laki-laki 3 orang. Masih muda-muda, masing-masing bernama :
·         I Gede Mas atau I Gede Selat.
·         I Gede Samping
·         I Gede Kebon Tubuh
Pada saat Bhumi mas diserang oleh bala tentara Sukawati, dibawah perintah Dalem Sukawati, Kyai Bendesa manik Mas dan pasukannya melakukan perang puputan, sampai akhirnya beliau dan para prajuritnya gugur di medan perang, itu karena terlalu banyak musuh yang harus dihadapi, beliau gugur  tertancap panah di dadanya, konon  mata panah itu terbuat dari batu kilap yang dibentuk sebagai ujung tombak. Batang panah terbuat dari rotan merah, kendalinya terbuat dari bulu burung merak, dilumuri dengan minyak dedes harum. Kyai bendesa manik mas gugur sebagai pahlawan jagat mas, yang mempertahankan pusaka pemberian Dalem Bali, juga membuktikan bahwa beliau rela mempersembahkan nyawa beliau demi sebuah keyakinan dan pengabdian terhadap Dalem Bali.
Ketiga putra beliau pada saat itu masih sangat muda, lalu dilarikan oleh seorang hamba dari Desa Batuan yang bernama Paman Batuan, juga ikut dalam pelarian itu seorang brahmana Mas, bernama Ida Nyoman manik, perjalanan itu dilakukan dengan sembunyi sembunyi, saat hari telah gelap, menyebrang kearah timur, dari tempat pertempuran yang penuh mayat bergelimpangan, lalu menyebrangi tukad Petungan, terus menuju ketimur, menyebrangi kembali Tukad Petanu, hingga akhirnya sampai di lembahnya pura Goa Gajah. Disanalah ketiga putra Mas, abdi dari dari batuan, serta Ida Nyoman manik bermalam. Sama sekali tidak berani membuat api untuk menghangatkan tubuh, takut ketahuan oleh para prajurit Sukawati yang masih mengejar dan mencari keberadaan ketiga putra mas tersebut. Padahal waktu itu hujan sedang deras, air tukad petanu juga sedikit-demi sedikit meninggi, hampir menyentuh dataran tempat mereka beristirahat. Disana kemudian para pelarian itu memanjatkan doa kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud Dewi Gangga dan Bhatara Segara, agar diberikan perlindungan dari ancaman banjir yang bergelombang seperti samudra tersebut. Lapal doa diucapkan oleh Ida Nyoman Manik, diikuti oleh Paman Batuan dan ketiga putra mas. Pada saat itulah kemudian hujan mulai reda,banjir sungai Petanu juga mulai surut, sehingga terbebas keempat orang pelarian tersebut dari bahaya banjir.
Sekitar satu uku lamanya mereka bersembunyi di lembah pura gua gajah, mengandalkan hidup dari umbi-umbian, tanpa merebusnya terlebih dahulu, tetapi berkat wara nugraha Ida sang Hyang Widhi Wasa, mereka selalu dalam keadaan sehat. Selama tujuh hari tersebut, para putra mas banyak sekali mendapat pelajaran hidup, dari tuntunan Ida Nyoman manik, juga pelajaran hidup dari Paman Batuan. Menjadikan mereka bertiga kuat secara mental menerima keadaan yang telah berubah, menghapus dendam, juga bersyukur dengan segala anugrah Ida Hyang Widhi Wasa.
Setelah satu uku mereka hidup di lembah gua gajah, ada keramaian di daerah samuan tiga, suara gong terdengar sampai di lembah gua gajah, membuat para putra ingin naik menyaksikan keramaian tersebut. Setelah diselidiki oleh Paman Batuan, ternyata sedang ada piodalan di pura samuan tiga. Dirasa keadaan sudah sedikit aman, mereka kemudian naik dan membaur dengan penduduk di dalam keramaian Samuan tiga. Disanalah terdengar berita, bahwa bhumi mas sudah hancur, semua pusaka dan kekayaan kedaton mas dirampas, termasuk tombak, keris dan permata Manawa ratna, bekas pemberian Dalem Bali dulu.
Dari samuan tiga mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju timur, tidak meninggalkan hari mereka terus berjalan, belum tahu arah tujuan, sampai akhirnya mereka di lembah Tukad jurang, wilayah bagian selatan Pejeng. Disana mereka bertemu dengan seorang pedagang yang juga keturunan bendesa dari Tampaksiring, tetapi Bendesa itu juga dalam keadaan nyineb wangsa, tidak berani menyatakan dirinya sebagai keturunan Bendesa Mas. Di tampaksiring inilah kemudian para putra Mas, juga Ida Nyoman manik serta Paman batuan tinggal bersembunyi. Sambil melihat-lihat situasi aman. Karena pada saat itu para prajurit Sukawati tidak ada yang lewat sampai Tampaksiring, jadi amanlah keadaan para pelarian tersebut.
Sesudah keadaan benar-benar aman, para putra mas bertiga sudah tumbuh semakin dewasa, lalu datang ke rumah Bendesa Tampaksiring seorang saudaranya pedagang dari Selat, saat mampir dilihatnyalah ketiga putra mas tersebut, lalu ada keinginan dari Bandesa Selat untuk mengangkat salah satu dari ketiga putra itu untuk diajak ke Selat karangasem. Karena I gede Mas yang paling besar, maka I Gede Mas yang diboyong ke Selat, dinikahkan dengan putrinya Bendesa Selat, setelah itu mulailah I Gede Mas memakai nama I Gede Selat. Di desa selat, beliau banyak menurunkan putra, dan mulai menggunakan pungkusan pasek. Tanpa menggunakan pungkusan Bandesa.  I Gede Selat mempunyai putra 8 orang, masing-masing setelah besar kemudian mengembara ke wilayah jauh, ada yang kemudian menetap di Duda, Tista, Gianyar, Taman Bali, Penarungan, Marga, dan Buleleng.
Kembali diceritakan keadaan di Tampaksiring, Dirumah Bendesa Tampaksiring masih tinggal dua putra mas, Paman Batuan dan Ida Nyoman Manik. Suatu hari Bendesa Tampakasiring ada perjalanan menuju Mengwi,untuk membawa dagangan, karena keinginan dari Bendesa Tampaksiring untuk mengajari para putra mas untuk berniaga, maka diajaklah I Gede Samping bersama. Tidak diceritakan dalam perjalanan tibalah rombongan itu di sebelah selatan Taman Ayun, masih jauh disebelah selatan Puri Mengwi. Di tepi barat Tukad Sayan. Disanalah Bendesa Tampaksiring berjualan. Laris barang dagangan Bandesa Tampaksiring waktu itu. Tidak terasa waktu sampai malam, jadinya mereka menginap di Mengwi. Entah bagaimana awalnya menjelang malam terjadi kekacauan di mengwi, terjadi bentrokan antara para prajurit, tepat di jalan tempat bendesa Tampaksiring berjualan. Situasi waktu itu sangat kacau, banyak mayat, juga sorak-sorai para prajurit, membuat I Gede Samping yang masih remaja tergerak ingin menonton, apa yg terjadi. I Gede Samping tanpa sadar mengikuti perjalanan para prajurit yang bertempur sampai jauh ke barat wilayah mengwi, Sampai di wilayah tukad Ukian, Barulah I Gede Samping sadar. Hari sudah larut malam, kabut tebal menyelimuti wilayah sekitar Tukad Ukian, membuat I gede Samping tidak bisa mencari jalan menuju mengwi. Jadilah dia bermalam di tepi Tukad ukian.
Keesokan harinya I Gede Samping mencoba mencari tempat dimana Bendesa Tampaksiring berjualan, tetapi tidak ditemukannya. Setelah beberapa hari berkat tuntunan dari seorang prajurit mengwi yang dikenal dengan nama batu Bata, diantarlah kemudian I Gede Samping menuju pasar Mengwi, tempat Bendesa Tampaksiring membuka dagangan. Tetapi tidak ditemukan, mungkin bendesa tampaksiring sudah kembali ke tampakasiring, menganggap I Gede Samping hilang atau terbunuh saat terjadi kekacauan di Mengwi.Akhirnya I Gede Samping diberikan tempat di wilayah sekitar  Punggul, di tepi tukad Tabah. Itu semua diberikan oleh kyai Branjingan, seorang pembesar di kerajaan mengwi, karena kyai branjingan mempunyai tegalan yang luas sekali di wilayah Blahkiuh dan Sangeh . Di sepanjang tepian tukad Tabah. Disana kemudian I Gede Samping memulai kehidupan berumah tangga, Salah seorang Pelayan Kyai Branjingan diberikan untuk diperistri oleh I Gede Samping.
Dari perkawinan itu I Gede Samping mempunyai putra tiga orang, laki-laki, diantaranya bernama :
·         I Pasek Badung.
·         I Pasek mengwi.
·         I Pasek Krambitan.
I Pasek Badung setelah dewasa, mengikuti perjalanan I Gusti Alangkajeng ke wilayah Badung kemudian tinggal menetap di wilayah Angantaka. Disana kemudian menurunkan banyak keturunan, ada yang memakai nama Pasek ada juga yang memakai nama bendesa. Tetapi sebagian besar masih ingat dengan perjalanan leluhurnya berasal dari bhumi mas dulu.
I Pasek Krambitan kemudian meninggalkan Punggul, menuju Tabanan, disana kemudian beliau menurunkan banyak keturunan yang kemudian menjadi banyak di wilayah Tabanan. Tapi kemudian lebih banyak memakai pungkusan Pasek, sesuai dengan daerah tempat tinggalnya.
I Pasek mengwi masih tetap tinggal di wilayah Punggul, hidup bertani berkebun dan memelihara hewan, juga bermacam-macam jenis ikan air tawar. I Pasek Mengwi yang mendampingi ayahnya melaksanakan tugas di Punggul, juga melaksanakan segala bhisama dari orang tuanya, diantara bhisama tersebut juga diharapkan kalau nanti besar, agar keturunannya ingat dengan wit, yang ada di mas, juga mencari saudara-saudaranya yang ada di selat dan Tampaksiring. I Pasek Mengwi lalu mengambil istri dari Pacung, lalu mempunyai putra tiga orang antara lain :
·         I Pasek Kaleran.
·         I Pasek Sableg.
·         I Pasek Kerug.
Ketiga putra I Pasek Mengwi ini kemudian bersepakat setelah dewasa akan mencari tempat kawitannya dulu, juga mencari saudara-saudaranya yang ada di wilayah tampakasiring dan Selat.
Saat itu musim hujan sedang keras-kerasnya, Wilayah Carangsari hancur terendam banjir bandang, limpahan air dari tukad Bangkung dan Tukad ayung, lalu diutuslah pekerja dari mengwi untuk menanggulangi masalah banjir tersebut, dikirim ratusan rakyat mengwi menuju arah utara, lengkap bersenjata, seperti sedang menuju medang perang, tujuannya adalah membuat danggul atau bendungan kecil, agar pada saat hujan air tidak terus mengalir menuju selatan, yang menjadi pinpinan rakyat waktu itu adalah Kyai Ngurah Ayunan, yang terkenal sebagai seorang berkemampuan amat tinggi di bidang ilmu gaib. Dalam rombongan itu ikut pula, Kyai Branjingan, I Pasek mengwi, dan putranya yang bernama I Pasek Kaleran.
Tidak diceritakan dalam perjalanan sampai rombongan pekerja Mengwi itu di pertemuan antara aliran sungai tukad Bangkung dan Tukad ayung. Pohon-pohon besar dirobohkan disekitar tempat itu, dipakai untuk membuat tanggul, suara hiruk pikuk disekitar tempat bekerja tersebut membuat beberapa penduduk di wilayah Payangan terkejut, dikiranya ada musuh yang menyerang Payangan dari barat.
Kyai Ngurah Ayunan cepat tanggap, dengan banyaknya orang di tepian timur sungai ayung, lalu diutusnyalah Ki Branjingan, Pasek Mengwi, dan I Pasek Kaleran untuk menyebrang kearah timur, untuk menerangkan apa yang mereka kerjakan di tepian barat sungai. Serta juga beberapa orang batu bata Mengwi. Utusan itu sampai diseberang, lalu menghadap kepada Anak Agung Geria. Setelah menghaturkan surat dari Kyai Ngurah Ayunan, barulah anak agung geria tahu apa yang terjadi di sebelah barat tepian sungai, para utusan diperbolehkan kembali, tetapi harus ada seorang  dari utusan tersebut yang mengawasi dari tepian timur sungai, maka dipilihlah I Pasek Kaleran yang tinggal di tepian timur sungai. Pekerjaan bendungan itu berlangsung sangat lama. I Pasek kaleran bisa bergaul dengan masyarakat di wilayah tepian timur, apalagi setelah diketahui I Pasek kaleran adalah keturunan Bendesa Mas. Sementara di wilayah itu sudah lebih dahulu ada keturunan Bendesa Mas yang bermukim, dan menjadi pengabih raja Payangan.
Entah karena apa,suatu ketika terjadi bencana itu, pada saat para pekerja sedang bekerja, tiba-tiba ada air bah besar datang dari hulu sungai, menerobos danggul yang hampir selesai itu kembali jebol, banyak yang menjadi korban dalam bencana itu, diantaranya adalah Ki Branjingan, dan I Pasek Mengwi, juga banyak pekerja dan para batu bata mengwi. Karena kegagalannya itu kemudian Kyai Ngurah Ayunan di tarik kembali pulang oleh penguasa Mengwi, juga semua pekerja bendungan tersebut, karena pada saat itu Bhagawanta Mengwi konon mendapat pawisik agar raja tidak melanjutkan  pekerjaan membendung aliran sungai. Jadilah pekerjaan membuat danggul itu dihentikan.
Sementara I Pasek Kaleran menetap di tepian timur sungai, wilayah dari kerajaan Payangan.Kedua orang saudara I Pasek Kaleran, yaitu I Pasek Sableg dan I Pasek Kerug, kemudian ikut meninggalkan Mengwi, menuju arah timur. Karena situasi di mengwi juga kacau balau, banyak pemberontakan –pemberontakan , juga hubungan yang tidak bagus antara bangsawan Mengwi denga bangsawan  dan raja Badung. Mengwi juga mempunyai masalah dengan Panji sakti di den Bukit Buleleng. Maka pada saat itu kerajaan mengwi sedikit sekali mempunyai sekutu, Mengwi berhubungan baik dengan Kerajaan Karangasem, tetapi bala bantuan dari karangasem tidak bisa menyebrangi wilayah kekuasaan I Dewa Agung di Klungkung. Jadilah Mengwi dalam keadaan terjepit.Kedua bersaudara itu tahu bahwa saudaranya sudah menetap di Payangan, mereka meninggalkan Punggul menuju ke Sayan, dari sayan menyusuri jalan akhirnya sampai di Petulu. Di Desa petulu kakak beradik itu lama tinggal, kemudian mencari keterangan tentang keberadaan generasi Bendesa Tampaksiring, juga generasi bendesa Selat. Di petulu itulah mereka kemudian bertemu setiap ada kesempatan, para penerus Pasek mengwi, Pasek badung, dan Pasek Kerambitan, juga saudara dari Payangan, Bedulu, Tampaksiring, tegalalang, Pujungan, Baturiti, Kelungkung, Abianbase dan Blahpane. Mereka kemudian memutuskan untuk bergabung dengan laskar bala yuda Sukawati, dibawah komando Dewa Manggis Api, semula mengabdi di Sukawati.
Dikisahkan Manca Agung Puri Grenceng yang beranama Kiyayi Anglurah Wayahan Grenceng salah satu cucu Ida Bhatara Sakti Pemcutan yang merupakan putra tertua Kiyayi Anglurah Nengah Tanjung dari Jero Dlod Bale Lantang Pemecutan pernah mengalahkan Raja Sukawati yang bernama I Dewa Agung Gde Sukawati.
Berawal dari I Dewa Agung Jambe dari Puri Kelungkung yang beribu dari Putri Kyayi Anglurah Pemecutan I/ Kiyayi Jambe Pule mempunyai 3 putra :
  1. I Dewa Agung Made - menggantikan kedudukan I Dewa Agung Jambe sebagai raja di Kerajaan Kelungkung
  2. I Dewa Agung Anom - mendirikan Puri Sukawati
  3. I Dewa Agung Ketut Agung - kembali ke puri lama Gelgel
I Dewa Agung Anom raja Sukawati mempunyai 2 orang putra yang sulung I Dewa Agung Gde dan yang bungsu I Dewa Agung Made. Setelah dewasa kedua putranya kurang memperhatikan masalah pemerintahan dan jarang sekali berada di Puri sehingga membuat Raja Sukawati sangat khawatir akan kelanjutan pemerintahan di Puri Sukawati.

Pada sutu hari datanglah menghadap Dewa Manggis Api dari Desa Beng untuk mengabdi di Kerajaan Sukawati. Raja Sukawati menerima dengan baik permohonan Dewa Manggis Api dan setelah diterima mengabdi di Kerajaan Sukawati Dewa Manggis Api dapat menempatkan diri sebagai abdi yang setia dan sangat membantu kelangsungan pemerintahan Kerajaan Sukawati.

Oleh karena itu lambat-laun Dewa Manggis Api mendapat kepercayaan besar dari Raja Sukawati untuk mengurus jalannya pemerintahan karena kedua putranya kurang memperhatikan masalah pemerintahan Kerajaan Sukawati.

Pada suatu ketika Raja Sukawati menderita sakit yang sangat parah dan Dewa Manggis Api sebagai Abdi yang setia berusaha dengan segala cara untuk mencarikan pengobatan untuk Raja Sukawati, namun usahanya sia-sia sampai Akhirnya raja Sukawati kembali ke alam baka.
Setelah Raja Sukawati meninggal terjadilah perebutan kekuasaan antara kedua putra Raja Sukawati yaitu I Dewa Agung Gde dan I Dewa Agung Made, masing masing ingin menggantikan kedudukan ayahnya sebagai kepala pemerintahan di Kerajaan Sukawati. Perselisihan yang akhirnya menyulut perang saudara dan menimbulkan banyak korban di kalangan rakyat Sukawati. Hal itu juga menyebar sampai ke kalangan rakyat di Ubud. Masing-masing pengikut dari kedua raja itu juga saling bertempur I Gusti Taman dan para pengikutnya bentrok dengan I Gusti Padang Tegal, masing-masing membela junjungannya, maka pada saat itu ubud dalam keadaan mencekam. Untuk meredam perselisihan itu maka dikirimlah bala yuda bayangan, artinya yang tidak berseragam masuk ke ubud. Pengiriman bala yuda itu atas prakarsa I Dewa Manggis yang mempunyai kekuasaan cukup besar di Kerajaan Sukawati, dan di dukung oleh puri srongga. Diantara bala yuda yang terkirim ke ubud itulah dua bersaudara treh Bendesa, I Pasek Sableg dan I Pasek Kerug ikut serta. Juga beberapa saudara yang sering berkumpul di Petulu.Treh Bendesa yang ikut dalam bala yuda ke ubud itu tidak kurang dari 125 orang. Setelah beberapa lama kemudian, kalahlah Ki Gusti Padang tegal, lalu pergi meninggalkan ubud menuju Mengwi, diiringi oleh para pengikutnya yang masih selamat. Sementara Ki Gusti Taman yang memenangkan keributan itu juga tidak berani kembali ke Sukawati atau Gianyar, takut kena murka oleh penguasa pada saat itu, jadilah beliau tinggal menetap di wilayah taman ubud. I Pasek Sableg dan I Pasek kerug, serta beberapa bala yuda juga masih tinggal di wilayah Taman, untuk menjaga keamanan disana. Begitu wilayah ubud mulai berangsur baik dan aman, kedua bersaudara ini kemudian memutuskan untuk tinggal menetap di wilayah sekitar tempat peperangan dulu, tepatnya di Taman, bekas pertapaan seorang yogi dahulu, berupa tanah lapang yang berundak-undak, dikelilingi hamparan sawah dan ladang diantara aliran tukad Tawar dan tukad dawa. Konon dahulu tempat itu adalah pasraman tempat Ki Dukuh Angsana, seorang dukuh yang melakukan perjalanan suci dari lembah Gunung Kawi diutara ubud.

Didalam peperangan ini I Dewa Agung Made menderita kekalahan yang menyebabkan beliau menyingkir dari wilayah Sukawati menuju desa Peliatan dan mendirikan Puri baru yang bernama Puri Peliatan. Walaupun I Dewa Agung Gde sudah mendapat kemenangan hati beliau belum puas sebelum dapat menyingkirkan adik beliau selama lamanya, maka diseranglah kembali Puri Peliatan.

Dalam peperangan tersebut I Dewa Agung Made dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan I Dewa Agung Gde dan minta perlindungan ke Kerajaan Badung. Ida Bhatara Sakti sebagai penguasa di wilayah Badung menerima dengan baik I Dewa Agung Made yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Puri Agung Pemecutan. Sekian lama I Dewa Agung Made di Kerajaan Badung dan Puri Peliatan telah dikuasai oleh kakaknya yaitu I Dewa Agung Gde.

Kembali kepada Dewa Manggis api yang mengabdi di kerajaan Sukawati, beliau adalah keturunan Ida Dalem Segening (Raja Gelgel) yang beribu dari penawing (rakyat biasa). Ayah beliau bernama Dewa Manggis Bengkel yang mendirikan desa Beng. Ayahnya mempunyai 2 orang saudara dari lain ibu yaitu Dewa Ketut Pinatih dari Puri Serongga dan Dewa Gde Kesiman dari Puri Bitra.

Sesudah Raja Sukawati meninggal maka Dewa Manggis Api meninggalkan Kerajaan Sukawati kembali ke asalnya yaitu desa Beng. Kembalinya Dewa Manggis Api ke Desa Beng ternyata menimbulkan masalah dengan Cokorda Anom Bende yang merupakan saudara angkatnya dari Puri Pejeng. Perselihan tersebut menyebabkan Dewa Manggis api mengalah dan pergi dari Desa Beng menuju Desa Taman Bali untuk mengabdi kepada Raja Taman Bali yaitu I Dewa Gde Ngurah Pemecutan yang beribu dari keluarga Puri Agung Pemecutan.

Setelah beberapa lamanya Dewa Manggis Api mengabdi di Kerajaan Taman Bali, beliau dijemput oleh pamannya yaitu Dewa Ketut Pinatih dan Dewa Gde Kesiman yang mempunyai maksud untuk mendirikan kerajaan Baru sebab banyak rakyat Sukawati yang dulunya setia kepada Dewa Manggis Api pada waktu mengabdi di Kerajaan Sukawati yang pindah ke Puri Serongga,

Adapun Maksud kedua paman Dewa Manggis Api mendapat dukungan penuh dari I Dewa Gde Ngurah pemecutan asalkan kerajaan tersebut tidak dibangun di Desa Beng. Akhirnya diputuskan bahwa kerajaan baru tersebut akan dibangun agak keselatan di tempat Griya Ida Pedanda Tarukan.
Untuk mendukung rencana tersebut maka I Dewa Gde Ngurah pemecutan menyediakan ahli bangunan dari Kerajaan Taman Bali diantaranya I Tarukan, I Karang dan I Gunung. Tidak berapa lama Kerajaan Baru telah selesai didirikan dan diberi nama Geriya Anyar karena didirikan diatas Geriya Ida Pedanda Tarukan. Lama kelamaan Geriya Anyar berubah menjadi Puri Agung Gianyar dan Dewa Manggis Api dinobatkan sebagai Raja I Puri Gianyar dengan gelar I Dewa Manggis Sukawati tahun 1771 Masehi.

Kembali lagi kepada I Dewa Agung Made setelah sekian lama beliau berdiam di Kerajaan Badung minta perlindungan Ida Bhatara Sakti, beliau ingin mengembalikan kedudukannya sebagai raja di Puri Peliatan. Ida Bhatara Sakti dapat mengerti hal tersebut dan setelah dilakukan perundingan dengan putra putra beliau maka diputuskan untuk memberi tugas kepada Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng untuk melaksanakan tugas tersebut.


Ida Bhatara Sakti memerintahkan untuk mengempur kerajaan Sukawati sampai bertekuk lutut, Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng mohon restu Ida Bhatara Sakti dan meninggalkan bale penangkilan puri Agung Pemecutan dan mempersiapkan laskar Badung untuk menggempur Kerajaan Sukawati dengan kekuatan inti warga Pulasari karena ibu beliau berasal dari warga Pulasari, maka Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng dianggap sebagai kewangen oleh warga Pulasari dan mereka akan membantu sampai titik darah penghabisan.

Diceritakan laskar Pemecutan dibawah pimpinan Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng sudah berada di seberang sungai disebelah Barat Puri Sukawati, Rakyat Sukawati yang sudah mengetahui kedatangan musuh tersebut mengadakan perlawanan dengan hebat, korban berjatuhan diantara kedua belah pihak. Karena kewalahan menghadapi serangan tersebut laskar Sukawati yang ada di Puri Peliatan terpaksa ditarik untuk mempertahankan Puri Sukawati.

Namun usaha tersebut gagal karena kuatnya perlawanan dari laskar Badung maka Raja Sukawati I Dewa Agung Gde merintahkan kepada seluruh pasukannya untuk mundur dan menyingkir ke Tojan Blahbatuh. Namun karena di desa Blahbatuh dirasa masih kurang aman maka beliau memutuskan untuk minta perlindungan kepada I Dewa Manggis Sukewati yang baru dinobatkan sebagai Raja Gianyar.

Laskar Badung terus menyerbu kedalam Puri Sukawati dan berhasil menduduki Puri Sukawati. Sungai yang dipakai untuk medan pertempuran kemudian dinamakan sungai Gerenceng dan lama kelamaan disebut sungai Cengceng. Kembali kepada adik Raja Sukawati yaitu I Dewa Agung Made yang minta perlindungan kepada Raja Pemecutan, setelah mendengar kekalahan I Dewa Agung Gde, beliau kemudian mohon pamit kepada Ida Bhatara Sakti untuk kembali ke Purinya di Peliatan.

I Dewa Agung Gde yang minta perlindungan kepada Raja Gianyar I Dewa Manggis, disana beliau diterima dengan sangat baik karena I Dewa Manggis merasa berhutang budi kepada ayah beliau semasa I Dewa Manggis mengabdi di kerajaan Sukawati. Dibawah bimbingan raja Gianyar tersebut tingkah laku I Dewa Agung Gde banyak mengalami perubahan, dimana dulunya tidak hirau dengan ilmu kenegaraan maka sekarang beliau dapat belajar banyak dari I Dewa Manggis tentang bagamana seharusnya tingkah laku sebagai seorang Raja sehingga dicintai oleh rakyat.

Melihat perubahan sikap I Dewa Agung Gde tersebut timbul niat Raja Gianyar I Dewa Manggis untuk mengembalilan posisi I Dewa Agung Gde sebagai Raja Sukawati. Untuk maksud tersebut sebagai tahap awal I Dewa Manggis mengadakan kontak dengan I Dewa Agung Made Raja Peliatan untuk menjelaskan maksud beliau agar kedua Raja bersaudara tersebut bisa hidup rukun kembali.

I Dewa Manggis mengharapkan keiklasan I Dewa Agung Made untuk datang ke Kerajaan Badung mohon kepada Ida Bhatara Sakti untuk menarik laskar pemecutan dibawah pimpinan Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng di Kerajaan Sukawati.
I Dewa Agung Made dapat menyetujui saran tersebut dan setelah melalui beberapa kali perundingan antara Raja Peliatan dengan Raja Badung maka akhirnya diputuskan untuk menarik laskar Badung dari Kerajaan Sukawati. Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng selama menjalankan pemerintahan di Kerajaan Sukawati pernah membangun Banjar Pemecutan dan peninggalan tersebut masih ada sampai sekarang.

Dan sebagai rasa terima kasih raja Gianyar I Dewa Manggis Sukawati kepada pimpinan laskar Badung Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng maka seorang gadis keturunan Meranggi putri pembesar kerajaan Gianyar diserahkan kepada Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng. Putri tersebut akhirnya diberikan kepada Putra beliau yaitu Kiyayi Agung Made Gerenceng sehingga melahirkan keturunan Kiyayi Agung Gde Meranggi.

Untuk menjamin suasana perdamaian tersebut maka Raja Gianyar I Dewa Manggis memberikan maklumat kepada kedua raja bersaudara tersebut bahwa bila ada salah satu dari Raja tersebut menyerang Raja lainnya maka Raja Gianyar akan memihak kepada Raja yang diserang. Maka mulai saat itu kedua kerajaan bersaudara tersebut ada dibawah kekuasaan Raja Gianyar.

I Dewa Agung Gde kemudian kembali memerintah kerajaan Sukawati dan menurukan pertisentana (keturunan) Cokorda Ubud, Cokorda Payangan dan Cokorda Singapadu.
Kembali ke perjalanan para putra Mas . I Pasek Sableg mendiami bekas pesraman dukuh angsana, sementara I Pasek kerug mendiami wilayah tepian timur tukad tawar, masing-masing kemudian mempunyai keturunan-keturunan yang semakin banyak. Berdasarkan izin dari penguasa di Sukawati, I Pasek sableg, I Pasek Kerug dan saudaranya, I Pasek Kaleran, dengan putra-putranya mulai membangun tempat pemujaan, dengan pelinggih utama meru tumpang tiga, serta pelinggih panyiwiyan ke segara dan danau. Tempat itu sekaligus dipakai sebagai tempat pertemuan para sentana Mas yang tersebar di beberapa wilayah, keturunan dari Bendesa Mas.

Dengan semakin pesatnya perkembangan zaman, dengan izin para penguasa sukawati, Peliatan dan ubud kembali dibagun parhyangan yang lebih besar, tempatnya di sebelah barat Pura Segara.lengkap dengan pelinggih-pelinggih pendukung. Tujuannya adalah agar ada tempat yang lebih luas untuk melakukan persembahyangan, memuja Ida sang Hyang Widhi wasa, dan memuja para leluhur. Pura Bala uttama juga dari awal adalah sebagai tempat pemersatu, tempat berkumpul para putra putu dari Bendesa Mas, terutama treh Bendesa Mengwi.

Bagaikan pohon beringin besar banyak rantingnya merasuk ke pertiwi, lebat daunnya, banyak buahnya tiada terhitung. Lama-kelamaan ada angin ribut, entah dari mana asal daun dan buahnya, dan ada burung - burung mencari makanan hingga ke desa-desa.
Akhirnya, ada yang kaya dan miskin, ada yang pandai dan bodoh, ada yang masih setia dengan wangsa serta tidak tahu akan sejarah leluhur. Itu semua adalah takdir Tuhan atau titah Sang hyang Parama Wisesa, karenanya jangan bersedih, ceritakan perihal kejelekan, karena yang namanya manusia tiada luput akan suka-duka, ibarat roda berputar, walaupun sangat lambat putarannya, itu pasti akan dijumpai oleh manusia di dunia.
Untuk menghilangkan kekotoran di dalam diri, mesti dibersihkan dengan kesucian pikiran, Sang hyang Sastra dipakai penuntun agar dapat meraih kebahagiaan dan keselamatan. Karena segala bentuk buta, manusialah yang mampu menjadikan semua itu bersifat suba dan asubakarma. Tiada lain, sifat subakarmalah yang mampu merubah sifat asubakarma, sehingga meraih keselamatan dan panjang umur. Itu sebabnya, janganlah lupa terhadap bhisama Bhatara Kawitan (leluhur) kepada keturanan Bandesa Manik Mas dan wahyu Dang hyang Nirartha yang bergelar Dang hyang Dwijendra, bahwa keturunan Bandesa Manik Mas dapat memakai sastra utama, yang dijadikan menjaga jiwanya di kemudian hari, baik suka-duka, sekala-niskala, bisa mempelajari tutur tentang perilaku dharma, layaknya seorang pendeta, juga seluruh isi Weda dan ilmu dyatmika, seperti menjalani tapa brata dan yoga semadi.
Yang paling utama adalah melakukan olah nafas dalam diri (pranayama sarira). Adapun anugrah Ida Dang hyang Dwijendra kepada seluruh keturunan Bandesa Manik Mas, yaitu :
·         Weda Salambang Geni,
·         Pasupati, Rencana,
·         Siwer Mas seperti
·         Aji Kepatian (kematian),
wajib menikmati secara wahya dan dyatmika (sekala-niskala), oleh seluruh keturunan Bandesa Manik Mas sejak dulu atau mulai sekarang. Ada lagi anugrah Pranda Sakti Wawu Rawuh, ketika Bandesa Mas menikmati keberhasilannya di Desa Mas berdasarkan keutamaan dharma dan senantiasa mengikuti perilaku seorang pendeta.
Seluruh rakyat yang ada di Bali Tengah, bersikap baik dan tulus lahir bathin kepada Pangeran Bandesa Manik Mas, ibaratkan Dewa Kusala beliau yang senantiasa berbakti kepada raja Bali (Klungkung), terlebih kepada Ida Pranda Sakti (Danghyang Nirartha) sebagai hadiahnya, maka Bandesa Manik Mas menghaturkan putrinya kepada Ida Pranda Sakti Wawu Rawuh.
Menurunkan Ida Putu Kidul yang bergelar Ida Buk Cabe. Itu sebabnya, ada wangsa Brahmana Mas adalah karena istri Dang hyang Nirartha adalah putri Bandesa Manik Mas. Sejak itu, Ida Pranda (Danghyang Nirartha) mendirikan Pura untuk para Brahmana di Desa Mas bernama Pura Pule di bagian utama dan stana putra beliau yang bernama Ida Buk Cabe. Itu makanya dipuja oleh para Bandesa Manik Mas. Jika tidak sesuai dengan prasasti ini, tidak akan bahagia selamat, semakin kurang kharismanya. Demikian bhisama Bandesa Manik Mas. (Juga) akan pendek umur, salah perilaku, bingung, tak tahu keluarga, tiada henti halangan hingga keturunan seterusnya. Jangan lupa kalian semua, kata-kataku kepadamu, juga anugrah Dang hyang Dwijendra.
Jika ada upacara kematian di kemudian hari, kalian bisa mengikuti sebagaimana tertera di depan (prasasti), antara lain :
·         mantri laksana,
·         bertumpang tujuh,
·         dua warna,
·         sancak,
·         taman,
·         kapas berwarna sembilan,
·         memakai karang gajah,
·         berisi bhoma,
memakai ulon Acintya Reka, seluruh upakara selalu yang utama, berisi kajang, klasa, dan memakai tirta tunggang dari Gunung Lempuyang, beralaskan daun pisang ikik, dan bisa kalian memakai segala jenis upakara Nyawa Madya Kebasen (nista, madya, utama).
Yang utama memakai uang (kepeng) 16.000, yang madya (menengah) memakai uang 8.000, dan yang nista (terkecil) memakai uang 4.000.
Jangan berputus asa tentang kawitan. Memuja kawitan itu perlu karena meliputi tiga dari Pancasrada yaitu: Widhi Tattwa, Atma Tattwa, dan Punarbhawa.
Kawitan berasal dari kata "Wit" artinya asal-usul. Bhisama leluhur yang dimuat di Prasasti antara lain berbunyi sbb.: (terjemahan)
"tulah" hukumnya bagi orang-orang yang tidak tahu kawitan; bagi mereka yang demikian itu akan tertimpa kesusahan seperti:
·         "sabe asanak" (: berkelahi antar keluarga),
·         "tanpegat agering" (:sakit terus menerus tanpa sebab yang jelas),
·         "katemah dening bhuta kala dengen" (: diganggu pikiran yang tidak pernah tenang),
·         "surud kawibawaan" (: tidak punya wibawa/ kharisma),
·         "surud kawisesan" (: bodoh, malas dan kata-katanya tidak berarti),
·         "kelangenan tan genah" (: hidup boros sehingga menjadi miskin),
·         "sedina anangun yuda neng pomahan" (:tidak pernah rukun dengan anak-istri),
·         "rame ing gawe kirang pangan" (: banyak kerjaan tetapi hasilnya kurang/ tidak memadai)

……….oo0oo………
Selesai dikumpulkan Pada Budha Umanis Julungwangi, Pangelong ping 3 Sasih Kapitu 1933. Tanggal Masehi 11 Januari 2012.



Daftar Pustaka :
·         Babad Dalem (versi 7) Koleksi :I Dewa Gde Puja. Alamat :Jero Kanginan, Sidemen, Karangasem. Bahasa :Jawa Kuna. Huruf :Bali.
·         Babad Dalem Milik Dianas Kebudayaan Provinsi Bali, editor Drs I Wayan warna Dkk, tahun 1986. Lontar bertahun 1840, tulisan Ida bagus Nyoman, Giriya Pidada.
·         Babad Dalem, Druwen Ida Cokorda gede Agung, Puri Kaleran Sukawati, tahun 1981.
·         Babad Pasek diterjemahkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa tahun 1956.
·         3 cakep lontar tua milik sentana mas yang tinggal di Taman Ubud.
·         Babad Brahmana Siwa, Milik Giriya Gunung Payangan Gianyar, bertahun 1858 masehi.
·         Babad Mengwi  Nomor/ kode : Va. 1340/12, Gedong Kirtya Singaraja. Koleksi : I Gusti Putu Mayun. Alamat :Abiansemal, Badung.
·         Babad Mengwi Buleleng Nomor/ kode : Va.1135/10, Gedong Kirtya Singaraja. Koleksi : Ida Anak Agung Negara Buleleng,
·         Author: I Wajan Simpen; Babad Mengwi. Publisher: Denpasar : Pustaka Balimas, 1958.
·         The Spell Of Power oleh Henk Sculte Nordholt tahun 2006. Diterjemahkan oleh Ida Bagus Putra Yadnya
·         Hindoe-recht in Indonesie Teunis Cornelis Lekkerkerker, amsterdam: J.H Bussy, tahun 1918. Milik Perpustakaan Universitas Gajah mada.
·         Monografi pulau Bali I Gusti Gde Raka, Bagian Publikasi, Pusat Djawatan Pertanian Rakjat, 1955
·         Babad Gajah Mada Nomor/ kode : Va. 4432, Gedong Kirtya Singaraja,  Koleksi : Universitas Udayana Denpasar. 25 November 1978.

……….oo0oo………


Tidak ada komentar:

Posting Komentar