Sabtu, 23 November 2019

DHARMA WARNANA PURA ULUNSWI APUAN SUSUT BANGLI


BAB III
PURA ULUNSWI APUAN, SUSUT BANGLI
II.1. Nama, Rupa, Guna, Sakti
Secara etimologis kata Ulunswi dapat diuraikan sebagai berikut: Ulun yang berasal dari kata Ulu yang artinya atas, kepala, pusat atau sumber, sedangkan kata Swi artinya sawah. Keterangan ini sesuai dengan keterangan yang ditulis dalam Lontar Uttara Kanda Dewa Purana Bangsul, lembar ke-18. Disamping itu arti kata Swi, juga berarti air. Jadi Pura Ulunswi artinya Ulun Sawah atau Ulun Carik, atau pusat atau sumber kemakmuran sawah. Dengan demikian Pura Ulunswi berarti pura pusat kemakmuran sawah.
Pura Ulunswi Apuan terletak di perbatasan antara Desa Apuan dan Desa Srokadan Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, pada koordinat -8.4792261 Lintang Selatan dan 115.3324939,15 Bujur Timur. Berjarak lebih kurang 9,6 km di sebelah barat Kota Bangli. Keadaan alam sekitarnya adalah susunan pedesaan dan pura berada di tengah-tengah desa dilindungi oleh perumahan-perumahan penduduk dan sebagian besar terdiri dari tanah sawah dan tegalan sepanjang jalan. Secara umum rentang ketinggian wilayah berdirinya Pura Ulunswi Apuan berada pada 225 hingga 950 meter diatas permukaan laut, Ditinjau dari aspek Geologi, secara umum formasi geologi wilayah ini termasuk dalam formasi geologi Buyan, Beratan dan Gunung Batur (Qpbb) yang berumur kuarter. Formasi ini pada bagian permukaan di dominasi oleh tufa pasiran dan di beberapa tempat dijumpai tufa batu apung dan endapan lahar.
Wilayah Susut Bangli
Tufa pasiran umumnya melapuk menengah hingga tinggi berwarna kuning kecoklatan, berukuran pasir halus hingga kasar. Tufa batu apung berwarna putih kecoklatan, agak rapuh dan mudah lepas. Endapan lahar berwarna abu-abu sampai abu-abu kehitaman terdiri dari batuan beku andesit dan batuapung dengan masa tufa pasiran bersifat agak rapuh. Memiliki iklim tropis, suhu udara relatif rendah berkisar antara 15̊C hingga 30̊C, semakin ke utara suhu semakin dingin. Angka curah hujan rata-rata tahunan terendah adalah 900 mm dan tertinggi 3.500 mm. Penyebaran curah hujan relatif tinggi berkisar antara 2.500 hingga 3.500 mm meliputi bagian utara (lereng Gunung Batur) dan semakin rendah ke arah selatan wilayah. Curah hujan tertinggi terjadi bulan Desember hingga Maret dan terendah pada bulan Agustus.
Candi Bentar Pura Ulunswi
Data historis primer yang dipergunakan untuk mengetahui sejarah pura ini adalah keterangan-keterangan tertulis yang terdapat dalam lontar Usana Dewa, koleksi Perpustakaan Universitas Udayana Denpasar. Di dalam lembar ke-17 lontar ini ada disebutkan :
“………nihan prateka kutara ring Bali kaungwan denira Empu Kuturan, bhiseka maring majapahit, magawe maring Bali unggwan Bhatara kabeh, Bhatara ring Batu Madeg, Bhatara ring Matu Panyeneng, Bhatara ring Pintu Aji, Bhatara Kadhaton, Bhatara ring Tengah Mel, Bhatara ring Tukabyang, Bhatara ring Batur Kawu, Bhatara ring Kapatigan, ring Pujung, Bhatara ring Ulu Watu, ring Manisan, ring Sakenan, ring Marga Laya, Bhatara ring Limasanak, nga, Dewa ring Delod Peken, Pengulun Gelgel, penyungsungan para punggawa ring Bali, wite tuwah Majapahit, nga, sapungkus sang bakabhumi panyeneng ring Ulunswi, ika maka uriping sawah……..”
Maksudnya :
“………….inilah hal ikhwal keadaan di Bali, diletakkan oleh Beliau Empu Kuturan, yang dinobatkan dari Majapahit (maksudnya Jawa), membawa ke Bali linggih Bhatara semua, Bhatara di Batu Madeg, Bhatara di Batu Panyeneng, Bhatara di Pintu Aji, Bhatara di Kedaton, Bhatara di Tengah Mel, Bhatara di Tukabyang, Bhatara di Batur Kawu, Bhatara di Kapatigan, di Pujung, Bhatara di Ulu Watu, di Manisan, di Sakenan, di Margalaya, Bhatara di Limasanak, yaitu Dewa di Lod Peken. Maka ulu Gelgel, pemujaan para punggawa di Bali, asalnya adalah Majapahit yaitu yang bernama Bakabhumi bersthana di Ulunswi itu menjadi jiwanya sawah………..”
Pelinggih Gedong
Seperti yang diutarakan diawal, kemungkinan Pura Ulunswi Apuan sudah berdiri pada masa pemerintahan wangsa Warmadewa di Bali, walaupun mungkin mempunyai nama yang berbeda. Untuk hal ini semoga ada waktu lebih panjang lagi untuk bisa memaparkan sejarah Pura Ulunswi dengan lebih detail.
Simbol-simbol Ida Sang Hyang Widhi di Pura Ulunswi memberikan kekuatan dan ketenangan bagi masyarakat Pangempon, sehingga mereka lebih mempercayakan nasib dan peruntungannya pada jaman bergolak itu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penduduk melaksanakan kewajibannya di Pura Ulunswi Apuan dengan cara-cara swadaya, dimulai dari pemugaran Pura, pemeliharaan saluran irigasi dan upacara dilaksanakan secara rutin, walaupun tidak secara besar-besaran. Warga Subak bahu membahu membangun dan menata pura yang sudah lama dilindas oleh jaman yang penuh hiruk pikuk perubahan kekuasaan dan politik. Dalam perkembangan selanjutnya dilakukan  pemugaran-pemugaran yang disesuaikan dengan jaman pada saat pemugaranya. Pura Swagina yang dibangun di tengah-tengah wilayah persawahan ini terletak di Desa Adat Apuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Pura Ulunswi Apuan diempon oleh Gebog 300, dengan 300 Pekaseh dengan krama Subak yang tersebar di Desa Apuan Kaler, Apuan Kelod, Bangun Lemah Kawan, sebagian Srokadan, sebagian Sala dan sebagian krama Desa Abuan.
III.2. Jajar Kemiri Pura Ulunswi Apuan
Berkat kerja keras dilandasi semangat gotong royong dan kebersamaan dalam usaha memelihara palinggih-palinggih, kini Pura Ulunswi Apuan yang terdiri dari tiga mandala ini nampak asri tanpa kehilangan kesakralannya. Pura Ulunswi Apuan berdiri dipinggir jalan antara Desa Apuan dan Abuan Pembagian letak palinggih dan bangunan pendukung yang sesuai dengan Asta Kosala-Kosali tertata dengan baik dimasing-masing mandala pura, Uttama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala Pura.
Keterangan Denah

A.Perantenan
4. Pemeletasan
B.Wilayah Utama Mandala
5. Padmasana
C.Wilayah Madya Mandala
6. Meru Tumpang 2
D. Wilayah Nista Mandala
7, 9. Ngurah Pengapit
1. Pelinggih Taman
8. Padmasari
2. Pewaregan
10. Rong 1
3. Pemedal Taman
11. Rong 1 mejajar
12. Rong 3
16,18. Gedong Pengapit
13. Rong 1
17. Pengaruman
14. Meru Tumpang 3
19. Gedong Bata
15. Rong 1
20. Panggungan

21. Gedong Penyineban Ratu Gede
27,36. Candi Bentar
22.Laapan
28,37. Pemeletasan
23.Piyasan
29,30. Apit Lawang
24. Aling-aling
31. Bale Gong
25. Dasar
33. Lebuh
26,32. Bale Pesanekan
34. Wantilan

35. Bale Kulkul
A. Perantenan
Perantenan adalah bangunan yang khusus difungsikan sebagai tempat memasak berbagai penganan sarana upacara dalam rangkaian piodalan, wali atau karya.
B.Wilayah Utama Mandala
C.Wilayah Madya Mandala
D. Wilayah Nista Mandala
Pelinggih-pelinggih diantaranya:
1. Pelinggih Taman
Pelinggih Taman merupakan sebuah tempat yang selalu berhubungan dengan sumber air suci dan berfungsi sebagai tempat para Dewata masucian (membersihkan diri). Di Taman dipuja Dewi Gangga, sumber dari air suci Menurut tradisi, bahwa ada dua kegiatan upacara yang berhubungan dengan Pelinggih Taman, yaitu pada saat pelaksanaan Upacara Nyangling dan Upacara Ngabejiang. Kedua bentuk kegiatan upacara tersebut dilaksanakan setiap upacara piodalan, baik pada saat upacara besar (karya ageng) maupun upacara kecil (karya alit).
2. Pewaregan
Perantenan adalah bangunan yang khusus difungsikan sebagai tempat memasak berbagai penganan sarana upacara dalam rangkaian piodalan, wali atau karya.
3. Pemedal Taman
4. Pemeletasan
Candi ini difungsikan oleh masyarakat Desa Adat sebagai akses dari jaba tengah ke jeroan atau dari madya mandala ke utama mandala, khusus dalam rangkaian memundut berbagai piranti upakara upacara.
5. Padmasana
Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai dan “Asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito, terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah. Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Palinggih Padmasana dikonsep oleh Dang Hyang Nirartha untuk melengkapi bangunan-bangunan palinggih yang dirintis oleh pendahulunya, yaitu Mpu Kuturan, Menurut Dang Hyang Nirartha palinggih–palinggih yang ada sebelumnya tidak ada yang khusus berfungsi sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa, namun yang ada hanya bangunan palinggih utuk memuja manifestasi Tuhan dan roh leluhur, Untuk Itu maka dibangunlah Padmasana untuk memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa. Di Pura Dalem celuk, juga dibangun palinggih Padmasana, dan posisinya berada di arah timur laut (ersanya) menghadap ke barat. Ersanya menurut pendangan Hindu, merupakan arah yang tersuci, yaitu sebagai pertemuan antara arah kaja (adya) yaitu gunung dan kangin (purwa) yaitu arah terbitnya matahari. Saat ini, hampir semua pura yang dibangun setelah kedatangan Dang Hyang Nirartha dilengkapi dengan Padmasana. Bila tidak Padmasana, setidaknya Padmasari. Perbedaan Padmasana dengan Padmasari terletak pada dasar bangunan dan pepalihannya. Ciri khas Padmasana adalah bedawangnala (kura-kura) pada dasar bangunannya yang diikat (dililit) oleh satu atau dua ekor naga. Sedangkan bangunan Padmasari tidak menggunakan bedawangnala. Demikian pula fungsinya adalah sebagai tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Sang Hyang Achintya, yang dimohonkan hadir ketika ada upacara piodalan (upacara kecil) dan pujawali atau upacara besar. Bangunan Padmasana di Pura Dalem Celuk adalah salah satu bangunan yang kuno, yang belum mendapatkan proses pemugaran.
10. Rong 1
11. Rong 1 mejajar
12. Rong 3
13. Rong 1
14. Meru Tumpang 3
15. Rong 1
16,18. Gedong Pengapit
17. Pengaruman
Pengaruman berasal dari kata parum yang artinya pertemuan. Berangkat dari etimologi katanya, fungsi palinggih adalah sebagai tempat pertemuan para ista dewata (manifests! Tuhan), ketika ada upacara yadnya, terutama upacara besar (wali ageng). Di palinggih tersebut para ista dewata dipuja dengan diberi persembahan (sesaji), dan dimohon menyaksikan jalannya upacara sekaligus cintakasih-Nya untuk memberikan keselamatan dan kesejahteraan.
19. Gedong Bata
20. Panggungan
Fungsinya sebagai tempat upakara ketika upacara piodalan dan pujawali. Terkadang para tukang banten sering menyinggung dengan ungkapan: Kudang panggung mekarya banten? Artinya: berapa panggung membikin banten? Pertanyaan tersebut juga dapat diartikan merujuk kepada tingkatan besar-kecilnya (ageng-alit) dari upacara yadnya yang dilaksanakan.
21. Gedong Penyineban Ratu Gede
22.Laapan
23.Piyasan
Bale ini difungsikan sebagai tempat Ida Bhatara / Bhatari berhias ketika upacara Piodalan, sebelum upacara pemujaan (upacara Piodalan atau Pujawali) dilaksanakan. Bale ini juga biasa difungsikan sebagai tempat Ida Bhatara Sesuhunan, (Ida Ratu Gede, Ida Ratu Ayu, Ida Ratu Lingsir dan Ida Ratu Segara) melinggih. Bale ini juga difungsikan sebagai  tempat Ida Pedanda ngweda atau muput Upacara. Dan dapat difungsikan juga  sebagai tempat banten atau aturan aturan Krama Desa.
24. Aling-aling
25. Pelinggih Dasar
Palinggih dasar adalah palinggih dimana disthanakan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi beliau sebagai Sang Hyang Ibu Pertiwi yang telah  menciptakan Bumi atau Sapta Patala atau tujuh lapisan alam bawah. Palinggih ini juga bersebelahan dengan palinggih Paku aji, yang kalau dikaitkan dengan konsep purusa pradana, palinggih dasar sebagai pradana yang mewakili unsur Ibu Pertiwi.
26,32. Bale Pesanekan
Bangunan ini berbentuk segi empat berada di sebelah timur di madya mandala, memiiki fungsi sebagai bangunan serbaguna, biasanya difungsikan untuk menyambut tamu, atau sebagai tempat rapat.
27,36. Candi Bentar
Candi ini adalah pintu masuk dari jaba sisi ke jaba tengah, candi bentar ini adalah salah satu bangunan kuno yang masih dipertahankan. Berbentuk gunung terbelah dua dimana bangunan sama tinggi layaknya segitiga yang dibagi menjadi dua bagian. Bangunan ini melambangkan pecahnya Gunung Kailasa tempat Dewa Ciwa bertapa. Jika dilihat dari bentuknya yang terbelah dua maka Candi bentar melambangkan ardhacandra pada kedua bangunan tersebut yang sejiwa bagian (kiri dan kanan) bangunan itu sebagai simbol rwa bhineda dalam kehidupan, yakni : Sifat positif dan negatif dalam aksara dengan aksara Ang dan Ah.
28,37. Pemeletasan
Candi ini difungsikan oleh masyarakat Desa Adat sebagai akses dari jaba tengah ke jeroan atau dari madya mandala ke utama mandala, khusus dalam rangkaian memundut berbagai piranti upakara upacara.
29,30. Apit Lawang
Palinggih Pengapit Lawang dibangun dikanan dan kiri dari Candi Bentar di nista  mandala sebagai tempat memuja Hyang Nandiswara. Fungsi dari pengapit lawang tersebut adalah sebagai penjaga pintu (lawang), untuk mengantisipasi roh-roh jahat yang ingin masuk ke tempat suci.
31. Bale Gong
Bale Gong dibangun di wilayah madya mandala bagian barat memanjang arah utara selatan, difungsikan sebagai tempat melantunkan tabuh gong dalam rangkaian pujawali.
33. Lebuh
34. Wantilan
Adalah bangunan serba guna yang berada di jaba sisi, bangunan ini difungsikan untuk mengadakan pertemuan-pertemuan penting, tempat pertunjukan kesenian, tempat membuat sarana upacara dan lain lain.
35. Bale Kulkul
Bale Kulkul yaitu balai tempat kentongan (Pajenengan) di tempat suci. Bentuk bangunan tinggi menyerupai menara. Bangunan dibagi menjadi tiga secara vertical, yang terdiri atas bagian kaki bangunan (tepas), bagian tubuh (batur) dan bagian puncak (sari). Kedua Kentongan yang tergantung di bangunan ini hanya disuarakan pada saat piodalan atau hal-hal penting yang menyanglcut tentang berbagai kegiatan di Pura Dalem Celuk saja. Merupakan linggih Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Iswara, dalam ilmu yoga yaitu Paratma yang ada di leher atau kerongkongan, yang berfungsi utama untuk mengeluarkan berbagai jenis suara.
III.3. Struktur Organisasi Pangempon Pura.
300 organisasi tradisional Subak yang bergabung dalam Subak Gede Apuan dan Subak Gede Bekutel membentuk Gebog 300 sebagai Pangempon Pura Ulunswi Apuan. krama Subak Gede Apuan dan Subak Gede Bekutel mempunyai logo khusus untuk organisasi Pangempon Pura yang dipakai dalam urusan surat menyurat yang bersifat dinas. dengan Makna: Padi dan Kapas sebagai lambang kesuburan dan Kemakmuran. Bentuk Pelinggih di tengah-tengah padi dan kapas melambangkan srada bakti para pengempon kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Beliau sebagai Dewi Penguasa sumber air dan penganugerah kesuburan dan kemakmuran anggota subak, dilinggihkan dalam pelinggih menyerupai gedong beratap ijuk.
Linkaran diatas gambar pelinggih melambangkan bahwa keesaan Ida Sang Hyang Widhilah sebagai sumber dari segala sumber.
III.4. Karya Agung Mamungkah di Pura Ulunswi Apuan.
Sebagai bentuk upaya mengelola air sebagai sumber hidup dan ucapan terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi dan manifestasi beliau yang berparahyangan di Pura Ulunswi Apuan, krama Pangempon pura bersepakat menghaturkan upakara upacara dengan nama Karya Agung Mamungkah, Nguntap Nuntun, Ngenteg Linggih, Mendem Pedagingan, Ngusaba Nini lan Bangun Ayu, Nyenuk, Ngebat Daun, Mapadudusan Agung, Caru Lebur Gentuh.
Yadnya sangat penting dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta, kata “Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci. Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian tanpa pamrih. Dalam Atharwa Weda XVII.3 dinyatakan bentuk Yadnya yang paling tinggi adalah pengorbanan lahir batin. Maka dari itu semangat patriotisme yang diajarkan dalam Bhagawadgita, Mahabharata, Ramayana sangat tepat ksatria yang ber-Yadnya di medan perang. Maknanya sebagai pembela tanah air, menegakkan kebenaran dan keadilan. Yadnya sebagai amalan agama mengandung pengertian: Merupakan sistem persembahyangan dalam kontak memuja Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai prinsip berkorban agar umat bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban itu sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup menuju hidup bahagia.
Konsep agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya keseimbangan, berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia. Untuk umat Hindu yang diidam-idamkan adalah terwujudnya keseimbangan antar manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Yang  dikenal dengan Tri Hita Karana. Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan. Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu: Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya dan Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang dituju, Yadnya ini disebut Panca Maha Yadnya. Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaan dalam Bisma Parwa dijelaskan:
·         Drewaya Yadnya, adalah Yadnya yang mempergunakan harta milik sebagai sarana   korban.
·         Tapa Yadnya, adalah Yadnya dengan melaksanakan tapa, yaitu tahan uji tahan derita sebagai sarana berkorban.
·         Jnana Yadnya, adalah Yadnya dengan menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, memberikan  pandangan-pandangan, atau buah pikiran yang berguna, sebagai sarana korban.
·         Yoga Yadnya, adalah Yadnya dengan pengamalan yoga, yaitu menghubungkan diri pada Sang Hyang Widhi melalui jenjangan-jenjangan yoga. Bahkan sampai dengan tingkat tertinggi yakni semadhi, sebagai sarana berkorban. 
·         Swadyaya Yadnya, adalah Yadnya dengan mengorbankan diri demi kepentingan Dharma. Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan, mereka mengorban kan diri demi sebuah kemerdekaan. Ini juga disebut Yadnya.
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan obyek yang dituju. Dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70. tersurat:
“Adhyapanam brahma Yajnah, Pitr yajnastu tarpanam, homo daivo balirbhaurto, nryajno ‘tithi pujanam.”
Selanjutnya dalam  Manawa Dharmasastra III.72. bahwa’
“Devatatithi bhrtyanam, pitrnamatmanasca yah, Na nirvapati pancanam, ucchwasanna sa jwati”.
Yang diartikan
”Tetapi ia yang tidak memberikan persembahan kepada kelima macam tadi yaitu para dewa, para tamunya, mereka yang harus dipelihara, para leluhur dan ia sendiri, pada hakekatnya tidak hidup walaupun bernafas”
Bhagawadgitha  III.4. menyebutkan
“ Na karmanam anarambhan,Naiskarmyam puruso snute Na ca sannyasanad eva, Siddhim samadhigacchati”
Yang artinya
“Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak hanya dengan melepaskan diri dari pekerjaan orang akan mencapai kesempurnaannya”.
                Dalam hal tersebut bahwa Karya  Agung  yang dilaksanakan oleh krama Pangempon Pura Ulunswi Apuan merupakan wujud sradha Bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dimana seluruh komponen Krama ikut andil dalam pelaksanaannya. Karena sesungguhnyalah alam telah memberikan kepada kita semua untuk kita pelihara sehingga keselarasan akan terpelihara. Setiap pelaksanaan Yadnya yang dilakukan oleh masyarakat Bali pada umumnya, memiliki dasar yang sangat kuat yang berdasarkan pada sastra agama.
Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa
Alam ini ada berdasarkan yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan yadnya Dewa memelihara manusia & dengan  yadnya manusia memelihara Dewa”.
Ini berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta beserta isinya ini adalah adanya yadnya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Maha Purusa.
Bhagavadgita III.11. menyatakan bahwa :
para dewa akan memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan, karena itu manusia yang mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan yadnya pada hakekatnya dia adalah pencuri”.
Juga dijelaskan dalam Bhagavadgitha III.14. bahwa;
”Dari makanan, makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya lahir dari pekerjaan.
Sehingga  dari keseluruhan perbuatan atau pekerjaan tersebut, lahirlah panca yadnya. Karena keterikatan dan timbal balik yang terjadi maka adanya hutang yang harus dibayar, sehingga manusia yang terlahir kedunia sudah berbekal hutang yang harus dibayar kepada orang tuanya, dan sebagainya. Maka adanya hutang tersebut yang disebut dengan Tri Rna.
Hal ini termuat dalam kitab Manawa dharma-sastra VI.35 yang menyebutkan bahwa :
Pikiran (manah) yang ada dalam diri kita masing-masing baru dapat diarahkan pada kelepasan setelah melunasi 3 hutang yang kita miliki”.
Jadi sebelum kita dapat melunasi hutang-hutang itu, kita tidak akan mencapai tujuan akhir agama Hindu yang disebut Moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
Semua sastra di atas mengajarkan kepada umat Hindu agar tidak jemu-jemu melaksanakan Yadnya yang pantas dan sesuai dengan kemampuan, yang paling penting didasari oleh rasa tulus dan ikhlas. Seperti halnya upacara-upacara besar, tentu memerlukan banyak piranti upacara juga jumlah krama yang mempunyai tugas dengan keahliannya masing-masing. Karena sangat banyaknya Karya Agung Mamungkah, Nguntap Nuntun, Ngenteg Linggih, Mendem Pedagingan, Ngusaba Nini lan Bangun Ayu, Nyenuk, Ngebat Daun, Mapadudusan Agung, Caru Lebur Gentuh di Pura Ulunswi, Apuan, Susut, Bangli yang puncaknya dilaksanakan pada Anggara Umanis wara Wayang, tanggal 12 November 2019 ini, maka kemudian dibentuklah Panitia atau Prawartaka Karya, antara lain sebagai berikut :
Prawartaka Karya Agung Mamungkah, Nguntap Nuntun, Ngenteg Linggih, Mendem Pedagingan, Ngusaba Nini lan Bangun Ayu, Nyenuk, Ngebat Daun, Mapadudusan Agung, Caru Lebur Gentuh di Pura Ulunswi Apuan, Susut, Bangli.
Anggara Umanis Wayang, Tanggal 12 November 2019
I
Wiku Yajamana
Ida Pedanda Putra Manggis (Giriya Siladan)
II
Wiku Tapeni
Ida Pedanda Istri Putra Manggis(Giriya Siladan)
III
Pengayom Karya
Perbekel Desa Apuan
Perbekel Desa Abuan
Bandesa Adat Apuan
Bandesa Adat Bangun Lemah Kawan
Bandesa Adat Srokadan
Bandesa Adat Abuan
Bandesa Adat Sala
IV
Manggala Karya
Jero Mangku Ulunswi
V
Ketua Umum
I Wayan Nyambuh

Bendahara Umum
I Nyoman Sudiartha

Bendahara Rutin
I Made Sudiana

Sekretaris
Anak Agung Nyoman Alit
I Wayan Sumarta
I Nyoman Suanda
VI. Ketua I:  I Nyoman Sudamia
Pembangunan:
Paebatan
Konsumsi
Penerangan, air
Keamanan
I Wayan Merta
I Ketut Payu
I Wayan Sudarma
I Made Sukarma
I Ketut Subrata
VII. Ketua II: I Nyoman Gunawan
Tamu:
Kesenian
Penggalian dana
Transportasi
Humas, Protokol
I Wayan Suasana
Ida Bagus Made Kartika
I Wayan Tata
I Nyoman Gunawan
Sang Made Suarjana
VII. Ketua III: I Made Saba
Upakara
Sulinggih, Tirta
Perlengkapan
Wawalungan
Kesehatan
Kebersihan
I Made Saba
I Wayan Darmika
I Wayan Rudita
I Wayan Arnawa
Ni Ketut Puspa
I Made Yatna
Krama Subak Pangempon yang terpilih sebagai Prawartaka Karya mempunyai tugas mengorganisasi krama lain dalam seksi-seksinya, sehingga diharapkan prosesi Karya agung bisa berjalan dengan lancar seperti yang direncanakan sebelumnya. Hal ini diperlukan karena panjangnya tahapan upacara upakara dari tanggal 13 September 2019 hingga tanggal 19 November 2019 seperti yang termuat dalam Ehedan Upacara dibawah ini:
1. Sukra Umanis Merakih, tanggal 13 September 2019, dilaksanakan upacara  Pamiut Karya di Pura Ulunswi. Dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana, didampingi oleh Pemangku, dan serati. Prosesi bertujuan untuk memberi batas secara niskala antara parahyangan dengan Tri Mandala serta memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widi, agar Karya yang akan dilaksanakan mendapat restu dan diberikan kemudahan, tuntunan  serta semuanya berjalan sesuai dengan harapan krama pengemong pura khususnya dan Bali umumnya.
Krama Pangempon Pura Ulunswi Desa Pakraman Apuan sepakat melaksanakan berbagai Yasa Kerti, dengan mengutamakan perbuatan, perkataan dan pemikiran yang penuh dengan kesucian. Yasa Kerti dalam hal perbuatan yang baik dituangkan dalam butir sebagai berikut :
1.   Semua warga Pangempon Pura agar selalu memakai pakaian adat yang pantas, juga diwajibkan memakai ikat kepala, baik laki-laki maupun wanita.
2.   Bagi Krama Pangempon Pura yang mempunyai cacat kelahiran diharapkan tidak ikut dalam ayah-ayah nanding upakara Suci, Catur dan upakara lain yang dihaturkan di Sanggar, untuk menghaturkan ayah-ayah yang lain dan muspa tidak ada larangan.
3.   Yang dianggap Cuntaka menurut sastra agama adalah warga yang kumpul kebo, anak yang lahir tanpa orang tua yang syah dan yang lainnya dilarang memasuki wilayah Pura.
4.   Semua perbuatan yang disengaja bertujuan untuk menggagalkan rangkaian upacara agar dijauhkan.
5.   Apabila ada Kematian di salah satu anggota keluarga Krama Pangempon Pura, terhitung mulai dari dilaksanakannya upacara Pengalang Sasih sampai selesai Dudonan Karya Agung, agar melaksanakan kegiatan tersebut tanpa suara kentongan.
6.   Apabila yang meninggal tidak akan boleh dipendem, seperti Sulinggih, Pemangku agar dititip dahulu (Tidak diupacara).
7.   Apabila kematian yang boleh dipendem, agar prosesi dilaksanakan setelah matahari tenggelam dengan upacara seperti biasa.
8.   Bagi Krama yang mengikuti prosesi upacara Kelayu-sekaran dianggap Cuntaka. Cuntaka satu rumah dihitung sampai selesai, sesudah 12 hari.
9.   Panumbak Pangapit terkena cuntaka selama 3 hari. Para Juru Desa dan Dinas tidak terkena cuntaka, agar tidak ikut dalam prosesi pemakaman.
10.    Apabila ada Krama Pangempon Pura yang melahirkan, terkena cuntaka 42 hari bagi yang wanita dan bagi yang laki-laki terkena cuntaka sampai kepus puser bayi.
11.    Apabila ada salah satu krama yang keguguran, kena cuntaka selama 42 hari, laki atau perempuan.
Demikian ketentuan Yasa Kerti yang disepakati oleh Krama Pangempon Pura Ulunswi Apuan dalam rangka menyambut Karya Agung yang dilaksanakan.
2. Saniscara Pahing Merakih 14 September 2019, Dilaksanakan prosesi ngawit nanceb, dipimpin oleh Jero mangku Pura Ulunswi, Apuan.
3. Redite Umanis Menahil 13 Oktober 2019, sekitar pukul 09.00 Wita, dilaksanakan acara: memulai membuat Jajan Catur dipusatkan di Pura Ulunswi, dipimpin oleh Ida Pedanda Istri Tapini dan Ida Cokorda Raka Kerthyasa (Puri Ubud).
4. Coma Umanis Bala, tanggal 28 Oktober 2019, sekitar pukul 10.00 Wita, dilaksanakan acara: Ngenteg dan Ngunggahang Sunari dipimpin oleh Ida Pedanda Yajamana
5. Budha Kliwon Ugu, tanggal 06 November 2019, pukul 09.00 Wita, diadakan acara Mepada Alit dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana
6. Wraspati Umanis Ugu 07 November 2019 pukul 10.00 Wita, dilaksanakan acara: Caru Balik Sumpah dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana, Ida Pedanda Budha, Ida Rsi Bhujangga dan Ida Cokorda Raka Kerthyasa. Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam lingkungan. Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang cantik. Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya: korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit artinya ‘keseimbangan atau keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan: Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan. ‘Keseimbangan/keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Tri Hhita Karana’ yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan). Binatang terutama adalah binatang peliharaan atau kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang peliharaan. Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam. dan seterusnya… Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya telah disebutkan dalam “Manawa Dharmasastra V.40”; Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.
7. Sukra Pahing Ugu, tanggal 08 November 2019 dilaksanakan acara Nunas kekuluh, dilaksanakan oleh jero mangku sowang-sowang.
8. Saniscara Pwon Ugu, tanggal 09 November 2019 pukul 09.00 Wita, diadakan acara Melasti dan Memasar dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana dan Ida Pedanda Manuaba. Dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan
Malasti ngarania ngiring prawatek Dewata, anganyutaken laraningjagat, papa kiesa, letuhing bhuwana
Maksudnya,
Melasti meningkatkan bakti kepada para dewata manifestasi Tuhan, agar diberi kekuatan untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa atau kekotoran diri dan kekotoran alam semesta.
Sedangkan tujuan melasti seperti yang tersurat dalam lontar Sundarigama adalah ngamet sarining amertha kamandalu ring telenging sagara-mengambil sari-sari kehidupan yang disebut tirtha kamandalu (air sumber kehidupan) di tengah samudera. Ngiring prawatek dewata dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala itu mengandung makna bahwa ciri utama orang beragama adalah berbakti kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widi). Anganyutaken laraning jagat artinya, dengan kuatnya srada dan bakti kepada. Tuhan, kepedulian sosial ümat bisa meningkat, Anganyutaken papa klesa maksudnya agar umat termotivasi untuk mengatasi lima kekotoran individu yang disebut panca klesa-awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa. Sedangkan anganyutaken letuhing bhuwana maksudnya melalui ritual melasti umat diharapkan termotivasi untuk menghilangkan kebiasaan buruk merusak sumber daya alam. Jika kebiasaan buruk ini terus dibiarkan, alam akan rusak (letuhing bhuwana) yang pada gilirannya manusia akan menderita.
Malasti berasal dari kata lasti. yang artinya menuju air. Dalam konteks prosesi melasti, umat bisa mendatangi segara (laut), danau dan campuan (pertemuan dua buah sungai). Tujuannya, nunas (mohon) tirta amertha dan menghanyutkan kekotoran dunia. Malasti ngarania ngiring prewatekan pralingga Ida Bhatara ke telengin samudera angamet tirta amerta (tirta sanjiwani), anganyutaken laraning jagat, papa klesa letuhing bhuwana. Artinya, umat ngiring Ida Bhatara ke segara mengambil Tirta Amerta dan menghanyutkan segala penderitaan umat, segala sesuatu yang menyebabkan dunia atau alam semesta ini kotor. Secara simbolik, sesungguhnya umat diingatkan untuk selalu membenahi diri supaya menjadi lebih baik, dengan menghilangkan atau menghanyutkan perilaku atau sifat-sifat buruk yang melekat dalam diri.
9. Redite Wage Wayang, tanggal 10 November 2019 pukul 10.00 Wita, diadakan acara Mendak Bagia di Desa Adat Srokadan dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana. Banten Bagia Pula-Kerti mengandung makna sesuai dengan namanya yaitu Bagia artinya kebahagiaan; Pula artinya menanam; kerti artinya perbuatan. Jadi arti keseluruhannya adalah kebahagiaan karena telah berhasil menanamkan perbuatan (suci). Maknanya lebih jauh sebagai bukti telah melakukan upacara yadnya yang utama. Banten intinya adalah bebangkit akedengan, di masukkan ke dalam sebuah gentong besar, kemudian dihias dengan kwangen 33 buah, orti, kekecer, tegteg. Dalam gentong juga diisi panca datu, yang kemudian Bagia ditanam di hulu Pura.
10. Coma Kliwon Wayang, tanggal 11 November 2019 pukul 09.00 Wita, diadakan acara Mepada Agung dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana.
11. Anggara Umanis Wayang, tanggal 12 November 2019 pukul 09.00 Wita, Puncak Karya dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana, Ida Pedanda Tanjung, Ida Pedanda Budha, Ida Pedanda Nyoman Dangin dan Ida Tjokorda Kerthyasa.
12. Budha Pahing Wayang, tanggal 13 November 2019 diadakan acara Penganyar dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana.
13. Wraspati Pwon Wayang, tanggal 14 November 2019 diadakan acara Penganyar dipuput oleh Ida Pedanda Istri Giriya Manggis.
14. Sukra Wage Wayang, tanggal 15 November 2019 pukul 14.00 Wita, dilaksanakan upacara Nyenuk Lan Ngebat daun dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana.
15. Saniscara Kliwon Wayang, tanggal 16 November 2019 diadakan acara Penganyar dipuput oleh Ida Pedanda Istri Punia.
16. Redite Umanis Klawu, tanggal 17 November 2019 pukul 10.00 Wita, dilaksanakan upacara Nyegara Gunung dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana.
17. Coma Pahing Klawu, tanggal 19 November 2019 pukul  Wita, dilaksanakan Nyepi Karya.
18. Anggara Pwon Klawu Klawu, tanggal 19 November 2019 pukul 15.00 Wita, dilaksanakan upacara Nyineb, Nuwek Bagia dan Metingkeb dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana dan Ida Pedanda Gede Manuaba.
Dengan dilaksanakannya dilaksanakan upacara Nyineb, Nuwek Bagia dan Metingkeb maka berakhirlah seluruh prosesi upacara upakara Karya Agung Mamungkah, Nguntap Nuntun, Ngenteg Linggih, Mendem Pedagingan, Ngusaba Nini lan Bangun Ayu, Nyenuk, Ngebat Daun, Mapadudusan Agung, Caru Lebur Gentuh di Pura Ulunswi, Apuan, Susut, Bangli yang puncaknya dilaksanakan pada Anggara Umanis wara Wayang, tanggal 12 November 2019 ini
Dengan demikian Masyarakat Apuan khususnya para Pangempon Pura Ulunswi Desa Pakraman Apuan berhasil mencapai tujuan pokok yadnya itu sendiri. Karena yadnya memiliki enam tujuan utama, antara lain:
1.       Yadnya bertujuan sebagai sarana untuk menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran Weda yang bersifat sangat rahasia. Karena dengan yadnya semua ajaran Weda dituangkan dalam bentuk upakara, upacara, tattwa, etika dan susila.
2.       Yadnya bertujuan sebagai Pembentuk jiwa umat yang kuat dalam menghadapi kehidupan, sehingga menambah kwalitas spiritual umat yang bermuara kepada konsep keikhlasan hakiki. sifat ini akan mampu membentuk masyarakat yang jagaditha di dunia.
3.       Yadnya bertujuan sebagai alat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi, mengungkapkan rasa syukur yang besar kepada Beliau atas semua anugerah yang sudah dilimpahkanNya.
4.       Yadnya bertujuan sebagai komponen terpenting dalam usaha manusia menciptakan keseimbangan Tri Hita Karana. Karena kedamaian dan kesejahteraan hanya akan tercipta apabila ketiga komponen Tri Hita Karana seimbang dan harmonis.
5.       Yadnya bertujuan sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa, permohonan maaf penuh ketulusan dibuktikan oleh manusia dengan nirwreti dan prawrethi.
6.       Yadnya bertujuan sebagai barometer pendidikan agama yang sersifat sangat praktis, karena seluruh komponen yadnya dibuat dengan cipta yang mengedepankan praktek berdasarkan tiori-tiori keagamaan.
Dari sekian banyak usaha pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilaksanakan dalam rangka mensukseskan Karya Agung ini diharapkan semua bertumpu pada keikhlasan memuja kebesaran Ida sang Hyang Widhi Wasa dalam seluruh manifestasi Beliau. Karena salah satu tujuan dari yadnya itu adalah menciptakan keharmonisan alam semesta beserta seluruh penghuninya.
BAB V
PENUTUP
Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu lewat berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugerah Beliau, memuja dan mensucikan Palinggih Arcana Widhi, membangun dan memperbaiki Palinggih Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial religius masyarakat setempat, adalah sebagian kecil bentuk Sradha Bakti terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat kesadaran yang maha tinggi bahwa segala sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah berkat ciptaanNya, berkat pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai kekuasaan melebur. Konsep-konsep tersebut sudah terpatri dalam jiwa setiap masyarakat Hindu di Bali. Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya di Pura Ulunswi Desa Pakraman Apuan merupakan salah satu jalan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan alam lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruhan bagian dari konsep Tri Hita Karana tersebut dipakai sebagai dasar kehidupan di Desa Pakraman. Hal ini diperkuat dengan adanya Kahyangan Puseh, Dalem dan Bale Agung atau Kayangan Tiga juga kahyangan-kahyangan lain yang bersifat khusus, seperti Pura Ulunswi Apuan yang merupakan salah satu dari ratusan kayangan swagina yang ada di Bali. Wilayah Desa Adat bagian Uttama Mandalanya terdiri dari Kahyangan Tiga dan kahyangan-kahyangan lainnya sebagai wilayah yang disakralkan oleh penduduk, dipakai sebagai tempat melaksanakan prosesi upacara keagamaan. Madya Mandala adalah wilayah pemukiman, yaitu wilayah yang berada diantara sakral dan profan, karena menjadi tempat penduduk atau masyarakat beraktivitas rumah tangga. Nista Mandala adalah wilayah Pekarangan, Sawah, Tegalan,Teba dan sebagainya, merupakan wilayah profan tempat masyarakat melakukan aktivitas pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya.
Pura atau Parahyangan sebagai suatu wadah pelaksanaan berbagai ajaran suci Agama Hindu Bali dan perkembangan berbagai kebudayaan Bali, serta berperanan aktif sebagai penyaring bagi masuknya kebudayaan asing. Oleh Pura di Bali adalah merupakan salah satu kekuatan utama masyarakat yang menjadi benteng terakhir dari gerusan budaya luar yang menyerbu Bali. Pura menjadi tempat yang paling damai untuk mencapai keharmonisan dan kesejukan jiwa dan badan. Di Pura semua rangkaian spirit dan ritual bergabung menjadi satu kesatuan yang bersama-sama membentuk jiwa dan badan masyarakat Bali menjadi siap menghadapi jaman yang semakin tua.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Giriya Gunung Payangan,
.........oo0oo.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar