Sabtu, 23 November 2019

BANDESA MANIK MAS, LUNGSIAKAN UBUD.


.......... Tidak diceritakan secara rinci perjalanan Ida Dang Hyang dalam menempuh hutan belantara bersama isteri dan para putera. Puteri tertua beliau yang bernama Ida Ayu Swabhawa mengalami gejolak dalam hatinya karena tidak bersedia mengikuti faham Tri Murti yang ada di Bali, itu sebabnya beliau memohon kepada sang ayah agar tidak diikutkan dalam perjalanan suci itu. Kisah ini dimuat dengan cerita penuh simbol-simbol magis oleh para pengawi babad yang masih patut kita ulas dengan hati-hati. Dalam berbagai babad yang kita warisi, dikisahkan Ida Ayu Swabhawa diprelina menjadi berbadan halus atau astral oleh sang ayah menjadi Dewi Mlanting dan dimuliakan di Pura Mpulaki hingga kini, diiringi oleh orang-orang Pegametan atau orang Sumedang. Sri Patni Keniten juga memohon agar mendapat anugerah dari Mpu Dang Hyang agar bisa bersama-sama dengan puterinya menjadi astral dengan gelar Bhatari Dalem Ketut, bersama puteinya dimuliakan di pura Mpu Laki hingga kini.
Keluar dari Hutan Mpulaki Ida Bhatara Dang Hyang memasuki wilayah Desa Gading Wani bersama enam orang putera beliau. Atas permohonan Ki Bandesa Gading Wani Ida Dang Hyang Nirartha mengobati penduduk desa yang terkena penyakit Sampar, setelah semua sembuh, Ki Bandesa Gading Wani menghaturkan tempat tinggal untuk sang pendeta, juga disebut orang desa sebagai Pedanda Sakti Wahu Rawuh atau Dhang Hyang Dwijendra. Pemimpin Desa Gading Wani yang tertarik kepada ilmu beliau memohon berguru dan mohon agar dibersihkan jiwanya, setelah suci bersih, bergelar Ki Dukuh Macan Gading atau Dukuh Gading Wani. Sebagai bentuk penghormatan kepada sang guru, Ki Dukuh Macan Gading menghaturkan puterinya untuk menjadi pelayan sang guru (Penguriagan). Entah berapa lama Dhang Hyang Dwijendra bersama para putera di Desa Gading Wani, terdengar berita tentang beliau oleh Kyai Gusti Bandesa Manik Mas, penguasa Desa Mas, ada keinginan beliau mengundang Dang Hyang Dwijendra untuk bersedia mampir ke Desa Mas.
Dengan senang hati Ida Dang Hyang menerima undangan tersebut, segera beliau dan para putera meninggalkan Desa Gading Wani Menuju Desa Mas. Tidak diceritakan dalam perjalanan, baik yang berkaitan dengan Desa Mundeh, Mengwi, Kapal, Tuban dan Buangan, sampailah kemudian beliau di Desa Mas. Kyai Gusti Bandesa Manik Mas menghaturi beliau pasraman untuk beliau dan para putera, berkenan beliau mengangkat Kyai Gusti Bandesa Manik Mas sebagai murid dan didiksa setelah dianggap paham tentang Agama, ilmu ketuhanan dan ilmu bhatin. Sebagai bakti seorang murid, penguasa Desa Mas menghaturkan puterinya sebagai Penguriagan. Ida Dang Hyang Dwijendra menurunkan bhisama kepada semua keturunan dari Kyai Bandesa Manik Mas, agar selalu tekun mempelajari dan mengamalkan sastra uttama, agar bisa dijadikan sebagai sarana menjaga jiwa dikemudian hari, baik suka-duka, sekala niskala. Agar selalu ingat berpedoman laku dharma layaknya prilaku seorang pendeta suci, mengerti dan paham tentang seluruh isi Weda dan ilmu dyatmika, tidak pernah merasa jemu melaksanakan tapa, brata, yoga dan semadi. Seluruh keturunan dari Kyai Gusti Bandesa Manik Mas, patut belajar tentang olah napas dalam diri atau Pranayama Sarira, agar bisa mengamalkan semua ajaran Ida Dang Hyang Nirartha, antara lain:
1.
Weda Salambang Geni
2.
Pasupati Recana
3.
Siwer Mas
4.
Aji Kepatian (kematian)
Karena ketaatan Kyai Gusti Bandesa Manik Mas menjalankan semua perintah dan bhisama Ida Dang Hyang Nirartha, juga karena anugerah berlimpah dari para leluhur, sangat bijaksana beliau memerintah Desa Mas. Rakyat Mas berbakti lahir bhatin, semua mengidahkan arahan dari pemimpinnya. Desa Mas menjadi makmur tidak pernah kekurangan sandang, pangan dan papan. Dari Puteri Kyai Bandesa Manik Mas, Ayu Mas Gumitir, ada lahir keturunan Ida Dang Hyang Dwijendra yang bernama Ida Putu Kidul setelah dewasa bergelar Ida Bukcabe yang dimuliakan oleh seluruh Rakyat Mas. Kyai Gusti Bandesa Manik Mas setelah didiksa dan dinyatakan memiliki berbagai ilmu agama dan kedyatmikan, ada banyak karya sastra beliau antara lain:
1.
Kidung Rare Jangkung
2.
Kidung Sorga Wilet
3.
Kidung Sagara Gunung
4.
Kidung Karasnagara
5.
Kidung Jagul Twa
6.
Kidung Jagul Anom
7.
Kidung Anting-Anting Timah
8.
Kidung Gagutuk Menur
9.
Kidung Dara Kusuma
10.
Kidung Sampik
11.
Kidung Mati Salangit
12.
Kidung Legarang
13.
Kakawin Darma Putus
14.
Kidung Hewer
15.
Tutur Guwar Gahir
16.
Nguni Weh Sat Kung
17.
Demung
18.
Kakawin Darma Pituturan
19.
Kakawin Nitisara
20.
Tutur Wacana Bali
21.
Kakawin Mayadanawantaka
22.
Kidung Sudamala
Juga karya sastra lainnya yang semuanya utama. Pada sebuah kesempatan Kyai Gusti Bandesa Manik Mas menurunkan bhisama kepada para putera dan pengikutnya yang antara lain berbunyi:
"Wahai Pratisentana Bandesa Manik Mas, Dimanapun Berada, Patut Kalian Mengerti Dan Paham Serta Melaksanakan Semua Isi Bhisama Ini, Apabila Tidak Dilaksanakan Dengan Sungguh-Sungguh Keturunan Kalian Akan Pendek Umur, Salah Prilaku, Selalu Bingung Dan Tidak Tahu Keluarga, Tida Henti Halangan Hingga Keturunan Seterusnya, Seperti Air Mengalir Di Sungai Demikianlah Kesedihan Yang Akan Menimpa. Patut Kalian Semua Melaksanakan Isi Bhisama Dari Ida Dhang Hyang Dengan Cara Berbakti Kepada Sekalian Guru, Taat Kepada Pemimpin Yang Uttama, Rela Berkorban Demi Tegaknya Kebenaran.
Apabila Ada Upacara Kematian Dikemudian Hari, Kalian Bisa Mengikuti Tatacara Upacara Yang Sudah Digariskan Oleh Prasasti Juga Diajarkan Oleh Para Guru Suci Dengan Memakai Tri Laksana, Bade Bertumpang Tujuh Dengan Memakai Dua Warna, Memakai Sancak, Taman, Kapas Berwarna Sembilan, Diperkenankan Mempergunakan Karang Gajah Dan Bhoma, Ulon Uttama Acintya Reka Dengan Upacara Yang Uttama. Jangan Lupa Patut Mempergunakan Kajang, Klasa Dan Tirta Tunggang Dari Gunung Lempuyang serta beralaskan daun pisang Kaikik.
Kalian diperkenankan memakai semua jenis upacara upakara Nyawa Madya Kebasen, atau Nista Madya dan Uttama. Upacara uttama patut kalian memakai uang kepeng 16.000, yang madya 8000 dan yang nista memakai uang kepeng sebanyak 4000. Jangan pernah lupa kepada kawitanmu karena berasal dari kata Wit yang artinya asal-usul, termuat dalam pustaka suci Widhi Tattwa, Atma Tattwa dan Punarbhawa.
Tulah hukumnya bagi kalian yang tidak mengenal kawitan, karena akan tertimpa berbagai macam kesedihan sekala dan niskala. Selalu Saba asanak atau berkelahi antar keluarga, Tan pegat Agering atau tidak putus-putusnya menanggung sakit tanpa sebab yang jelas, Katemah Dening Bhuta Kala Dengen atau selalu diganggu pikiranmu oleh mahluk yang tak nampak, sehingga tidak pernah merasa tenang. Bila tanpa kawitan engkau akan Surud Kawibawan atau tidak punya wibawa dan kharisma, selalu direndahkan orang, Engkau akan Surud Kawisesan atau menjadi semakin bodoh dan malas, kata-katamu tidak berarti bagi orang dan hanya menjadi sebab keburukan.
Ingat dengan seksama, apabila engkau atau keturunanmu mengabaikan keberadaan Kawitan engkau akan merasakan Kelangenan tan Genah atau Hidup sangat boros, hingga menjadi sangat miskin tak berdaya. Sadina Anangun Yuda Haneng Pomahan, setiap hari hanya akan bertengkar dan berselisih dengan anak dan isteri, serta Sugih Gawe kirang pangan atau tidak bisa mencukupi keluarga walaupun bekerja dengan sangat keras, siang dan malam. Demikian bhisamaku ini agar menjadi terang hidupmu, patut engkau teruskan kepada seluruh keturunanmu, berdosa engkau bila tidak menyampaikan bhisama ini kepada para sentanaku dimanapun berada".
Tidak diceritakan perjalanan dan Dharmayatra Ida Dang Hyang Dwijendra, yang selanjutnya mengangkat putra dharma Rakrian Penyarikan Dawuh Bale Agung dan Ida Dalem Baturenggong. Tidak Pula diceritakan kiprah beliau dalam menata konsep Siwa di Bali yang dikenal dengan nama Tri Purusa. Menanamlan pondasi yang kuat tentang kepercayaan kepada ke-Maha Esaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bersifat Tunggal tiada duanya.
Kini kembali Dikisahkan, Kyai Bandesa Manik Mas yang didiksa oleh Ida Dang Hyang Dwijendra menurunkan seorang putera bernama sama dengan sang ayah. Setelah sang ayah menyatu dengan kebesaran Ida Sang Hyang Widhi, Kyai Gusti Bandesa Manik Mas selalu tekun dan taat melaksanakan bhisama leluhur, teguh memegang ajaran dharma agama dan dharma nagara. tidak goyah jiwa beliau oleh hal-hal yang berusaha menganggu tapa brata yoga dan semadhinya. Bhumi Mas semakin hari semakin berkembang. Selalu ingat beliau akan tugas menjaga para guru putera di pasraman Mas, utamanya Ida Bukcabe. Hubungan yang baik ini terjalin diantara para putera Ida Dhang Hyang Dwijendra dan Kyai Gusti Bandesa Manik Mas, saling jaga dan saling mengingatkan. Kyai Gusti Bandesa Manik Mas kemudian menurunkan putera 4 orang, masing-masing bernama:
1.
Ki Gusti Bandesa Manik Mas  di Bhumi Mas
2.
Ki Gusti Bandesa Akah di Desa Akah
3.
Ki Gusti Bandesa Jungut di Karangasem
4.
Ki Gusti Bandesa Belong di Tampaksiring
Tidak dikisahkan tentang Ki Gusti Bandesa Akah, Ki Gusti Bandesa Jungut  dan Ki Gusti Bandesa Belong yang meninggalkan Bhumi Mas, masing-masing membangun wilayah baru, menurunkan para putera dan memimpin daerah yang luas serta banyak rakyat. Ki Gusti Bandesa Manik Mas memimpin bhumi Mas diperkirakan berkisar antara tahun 1580 Masehi, pada masa pemerintahan Dalem Sagening di Gelgel. Ki Gusti Bandesa Manik Mas menurunkan 2 orang putera masing-masing bernama:
1.
Ki Gusti Bandesa Manik Mas
2.
Ki Gusti Bandesa Pulagan.
Ki Gusti Bandesa Pulagan, menghadap kepada Dalem Bali dan selanjutnya ditugaskan untuk membangun tanah pertanian yang luas di dekat hutan Taro. Untuk selanjutnya bermukim disana dengan banyak pengiring dari Gelgel dan Bangli. Beliau menurunkan banyak putera dan mengatur wilayah yang sangat luas, terdiri dari tanah sawah, tegalan dan pekarangan penduduk. Ki Gusti Bandesa Manik Mas, meneruskan tugas sang ayah mengatur Bhumi Mas, dimuliakan oleh seluruh pengikut beliau. Banyak sekali beliau membangun parahyangan-parahyangan Widhi si sekitar Bhumi Mas. Beliau menurunkan 3 orang putera, masing-masing bernama:
1.
Ki Bandesa Manik Mas di Mas
2.
Ki Bandesa Lod Tunduh di Ubud
3.
Ki Bandesa Mawang di Gianyar
Ki Bandesa Lod Tunduh pindah dari Bhumi Mas menuju sebuah daerah baru disebelah utara wilayah Er Paku, membangun banyak sawah dan tegalan bersama para pengikutnya. Beliau menurunkan 6 orang putera masing-masing bernama:
1.
Ki Bandesa Lod Tunduh di Lodtunduh Ubud
2.
Ki Bandesa Ungasan di Bukit Bukit Badung
3.
Ki Bandesa Kesiman di Kesiman
4
Ki Bandesa Sangeh di Sangeh
5
Ki Bandesa Abiansemal di Abiansemal
6
Ki Bandesa Pengastulan di Buleleng
Ki Bandesa Mawang di Gianyar kemudian menurunkan 5 orang putera, masing-masing bernama:
1.
Ki Bandesa Wanayu di Bedulu
2.
Ki Bandesa Celuk di Sukawati
3.
Ki Bandesa Melinggih di Payangan
4
Ki Bandesa Peguyangan di Badung
5
Ki Bandesa Taman di Sanur
Sementara itu Ki Bandesa Manik Mas di Bhumi Mas Menurunkan 3 orang putera, masing-masing bernama
1.
I Gede Mas atau I Gede Selat
2.
I Gde Samping
3.
I Gede Kubontubuh
Sekian lamanya Bhumi Mas tenang dan damai, tidak ada pertikaian yang berarti, penduduk Bhumi Mas giat bekerja sesuai dengan tugasnya, masih tetap setia menjaga dan membentengi diri dengan anugerah leluhur dan bhisama-bhisama. Tidak pernah jemu melaksanakan yadnya untuk para Dewa dan Leluhur, kehidupan penduduk harmonis satu dengan yang lain, pemimpin bijaksana, rakyat sangat taat.
Bhumi Mas Hancur.
Dikisahkan Ida I Dewa Agung Jambe  yang merupakan Raja I Klungkung yang memerintah di Klungkung dari tahun 1705 hingga tahun 1775 Masehi. beliau merupakan putera dari Ida Dalem Di Made yang harus mengungsi menuju Guliang karena pemberontakan Kyai Gusti Maruti di Gelgel. Setelah berhasil merebut Gelgel dari kekuasaan pemberontak, beliau memilih membangun kraton di Klungkung dengan nama kraton Smarapura. Ida I Dewa Agung Jambe menurunkan 3 orang putera masing-masing bernama:
1.
Ida I Dewa Agung Di Made
2.
Ida I Dewa Agung Anom Sirikan
3.
Ida I Dewa Agung Ketut Agung
Ida I Dewa Agung Di Made menggantikan kedudukan Ida I Dewa Agung Jambe sebagai Raja Klungkung II, dengan masa kekuasaan dari tahun 1775 hingga tahun 1825 Masehi. Ida I Dewa Ketut Agung kembali ke Gelgel sebagai Punggawa Kerajaan Klungkung. Sementara Ida I Dewa Agung Anom Sirikan dinobatkan sebagai Raja di Timbul, menguasai sebagian wilayah Mengwi bagian timur. Beliau didampingi oleh Angelurah Sidemen sebagai penasehat kerajaan, setelah abhiseka bergelar Sri Aji Maha Sirikan Wijaya Tanu atau dikenal dengan nama Dalem Sukawati, dengan masa kekuasaan dari tahun 1710 hingga tahun 1745 Masehi. Wilayah kekuasaan kerajaan Sukawati meliputi batas-batas sebagai berikut:
1.
Batas timur
Sungai Petanu
2.
Batas selatan
Pantai Gumicik
3.
Batas barat
Sungai Ayung
4.
Batas utara
Pegunungan Batur
Melihat batas-batas wilayah beliau yang sangat luas, bisa dipastikan bahwa Bhumi Mas, masih menjadi wilayah kekuasaan dari Dalem Sukawati. Dalam berbagai babad dikisahkan terjadi penyerbuan oleh Laskar Dalem Sukawati terhadap Bhumi Mas, disebabkan karena Ki Bandesa Manik Mas menolak menyerahkan benda-benda pusaka leluhurnya yang berupa tombak, keris dan Mirah Menawaratna kepada Dalem Sukawati. Menurut analisa tim penelusur Budaya dan Sejarah Bali abad 17 Masehi, kemungkinan ada sebab-sebab lain yang lebih penting dari perebutan pusaka-pusaka tersebut. Terutama sekali dengan rencana Dalem Sukawati memindahkan kraton dari Timbul ke wilayah selatan. Hal ini diperkuat oleh asumsi bahwa pada kisaran tahun 1720 kerajaan Payangan dan Tampaksiring mulai berkembang, sehingga keraton beliau di Timbul terjepit diantara 2 kerajaan yang mulai berkembang dari generasi yang berbeda. Belum lagi gangguan-gangguan dari kelompok penduduk Bali kuno yang masih mendiami wilayah utara. Juga kemungkinan disebabkan oleh tekstur wilayah Timbul yang berbukit-bukit, sehingga susah berkembang menjadi kota yang ramai.
Penyerbuan dikisahkan dari arah utara dengan kekuatan laskar yang sangat banyak, dipimpin oleh para panglima yang sangat lihai mengatur taktik perang. Rakyat Bhumi Mas dipimpin langsung oleh Ki Bandesa Manik Mas dibantu oleh saudara-saudara beliau dari Lodtunduh dan Mawang membangun gelar perang yang dikenal dengan nama Supit Urang. Ki Bandesa Manik Mas di memimpin laskar utama ditengah-tengah, disayap kanan beliau, Ki Bandesa Mawang memimpin laskar dalam jumlah yang lebih sedikit, disayap kiri Ki Bandesa Lodtunduh memimpin laskar Mas dan Lodtunduh. Pada tengah hari, suara kentongan bertalu-talu disetiap pojok Bhumi Mas, memberi tanda bahwa laskar Dalem Sukawati sudah memasuki wilayah Bhumi Mas. Laskar kedua belah pihak tisada kenal takut saling sabet, saling tusuk, saling penggal tanpa ampun, masing-masing mengamuk, mengabaikan keselamatan diri demi bakti kepada pimpinan. Tidak terhitung laskar yang tewas dan terluka, lama kelamaan laskar Bhumi Mas terdesak sangat hebat akibat jumlah laskar Dalem Sukawati yang berlipat ganda dari jumlah laskar Mas. Kyayi Bandesa Manik Mas gugur di medan laga, karena beliau melaksanakan perang puputan. Beliau gugur  tertancap panah di dadanya, konon  mata panah itu terbuat dari batu kilap yang dibentuk sebagai ujung tombak. Batang panah terbuat dari rotan merah, kendalinya terbuat dari bulu burung merak, dilumuri dengan minyak dedes harum.
Sepeninggal Kyayi Bandesa Manik Mas, maka pengikut beliau dan keluarganya yang selamat mengungsi dari Bhumi Mas mencari tempat persembunyian, termasuk seluruh keluarga Brahmana Mas. Para pengikut Ki Bandesa Manik Mas yang mengungsi dari Bhumi Mas berpencar ke berbagai arah seperti:
1
Tangkulak
2
Bedulu
3
Tampaksiring
4
Tegalalang
5
Pujungan
6
Bon Dhalem
7
Banyu Atis
8
Banyuning
9
Kubu Tambahan
10
Gitgit
11
Baturiti
12
Candi Kuning
13
Mengwi Kapal
14
Kaba-Kaba
15
Jembrana
16
Negara
17
Yeh Embang
18
Badung
19
Kapisah
20
Pedungan
21
Ungasan
22
Pabangbai
23
Karangasem
24
Klungkung
25
Nusa Penida
26
Abianbase
27
Balahpane
28
Bukit Pecatu
Ada juga didesa dusun atau perkampungan diseluruh Nusa Bali, mereka nyineb wangsa tidak berani menyatakan jati diri sebagai wangsa Bandesa Manik Mas. Kebanyakan kemudian mereka berbaur dengan masyarakat dengan memakai pungkusan yang berbeda.......... bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar