Tengku Amir Hamzah
Amir Hamzah lahir
di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911 dan meninggal
dunia pada 20 Maret 1946 di Kuala Begumit, Binjai. Nama lengkapnya adalah
Tengku Amir Hamzah Pangeran Indrapura yang kemudian disingkat menjadi Tengku
Amir Hamzah. Nama Amir Hamzah diberikan oleh sang ayah karena kekagumannya
kepada Hikayat Amir Hamzah.
Ayahanda Tengku
Amir Hamzah bernama Tengku Muhammad Adil yang bergelar Datuk Paduka Raja.
Tengku Muhammad Adil adalah Pangeran (Raja Muda dan Wakil Sultan) untuk Luhak
Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Ayahanda Tengku Amir Hamzah mempunyai
garis kekerabatan dengan Sultan Machmud, penguasa Kesultanan Langkat yang
memerintah pada tahun 1927-1941. Berdasarkan silsilah keluarga istana
Kesultanan Langkat, Tengku Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan
Langkat. Garis keturunan tersebut memperlihatkan bahwa ia adalah pewaris tahta
salah satu kerajaan Melayu, yakni Kesultanan Langkat.
Amir Hamzah
menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman-teman sepermainannya,
Amir kecil biasa dipanggil dengan julukan Tengku Busu atau “tengku yang
bungsu”. Said Hoesny, salah seorang karib Amir Hamzah di masa kecilnya,
menggambarkan bahwa Amir Hamzah adalah anak laki-laki yang berparas “cantik”.
Ia bertubuh semampai, kulitnya kuning langsat, lehernya jenjang, dan
perkataannya lemah-lembut. Singkat kata, Amir Hamzah di waktu kecil adalah anak
manis yang menjadi kesayangan semua orang.
Amir Hamzah mulai
mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah di Langkatsche School
di Tanjung Pura pada 1916. Sekolah ini didirikan oleh Sultan Machmud Abdul
Aziz, ayahanda Sultan Machmud, pada 1906. Sebagian besar guru di sekolah Amir
Hamzah adalah orang Belanda, hanya ada satu orang saja guru Melayu. Pada
mulanya, sekolah ini hanya berupa Sekolah Desa dengan masa tempuh studi 3
tahun, kemudian berubah menjadi Sekolah Melayu dengan masa tempuh studi 5
tahun, dan terakhir menjadi Lanngkatsche School dengan masa tempuh studi 7
tahun.
Setelah tamat dari
Langkatsche School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah
tinggi di Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Batavia (Jakarta)
untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO Menjangan. Amir Hamzah lulus dari
sekolah itu pada 1927. Amir Hamzah kemudian melanjutkan studinya di AMS
(Aglemenee Middelbare School), sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa
Tengah. Ia mengambil disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Di Solo,
mula-mula Amir Hamzah tinggal di asrama, yakni di kompleks perumahan kediaman
KRT Wreksodiningrat yang berlokasi di samping istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Kemudian Amir Hamzah tinggal bersama keluarga RT Sutijo Hadinegoro di
Nggabelen.
Amir Hamzah adalah
seorang siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Simak kesan Achdiat K Mihardja
tentang kedisplinan Amir Hamzah: “Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari
keadaan kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih tersusun di atas
rak, pakaian tidak tergantung di mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin
tidak kerisit kisut. Persis seperti kamar seorang gadis remaja.”
Selama mengenyam
pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra sekaligus
obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis
beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi Buah Rindu, terbit pada 1943. Ajip Rosidi memandang
puisi-puisi dalam Buah Rindu adalah puisi Amir Hamzah pada masa-masa
“latihan kepenyairan”. Demikian pula dengan anggapan Amir Hamzah sendiri bahwa Buah
Rindu hanya sebagai latihan sebelum akhirnya ia menulis sajak-sajak
sebagaimana yang terangkum dalam Nyanyi
Sunyi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa puisi-puisi dalam Buah
Rindu belum menunjukkan kualitas sebagaimana yang terlihat dalam antologi Nyanyi
Sunyi.
Pada waktu tinggal
di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan Armijn Pane dan Achdiat K
Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka
satu kelas di sekolah itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat
tersendiri dalam ranah kesusastraan di Indonesia.
Proses kepenulisan
Amir Hamzah sewaktu di Solo merupakan proses awal yang menentukan posisi
kepenyairannya. Ini adalah proses pembentukan dan pematangan dari seorang Amir
Hamzah sebagai manusia. Intensitas proses Amir Hamzah sebagai menusia dan
penyair kemudian berlanjut ketika ia meneruskan pendidikannya di Batavia. Dua
periode ini merupakan masa proses yang paling kompleks dan intensif dalam
kehidupan Amir Hamzah.
Intensitas
pergulatan Amir Hamzah dengan berbagai peristiwa kemudian tercermin ke dalam
sajak-sajaknya. Bahkan, boleh jadi sajak-sajak Amir Hamzah indentik dengan
jalan hidupnya. Kesan seperti ini tidak dapat dihindarkan karena sajak-sajak
Amir Hamzah sepertinya secara langsung mencerminkan fakta dan peristiwa empiris
dalam kehidupan, perenungan, serta pergulatan dan pencapaiannya di dunia
sebagai manusia.
Setelah studinya
di Solo pungkas, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke
Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa di Jakarta, kesadaran
kebangsaan di dalam jiwa Amir Hamzah kian kuat dan berpengaruh pada wataknya.
Meskipun keturunan raja, ia tidak pernah memperlihatkan sikap feodal. Kesadaran
kebangsaan dan kerakyatan Amir Hamzah tercermin dari lingkungan pergaulannya,
juga dari pekerjaan tambahannya sebagai pengajar di Perguruan Rakyat, lembaga
pendidikan yang merupakan bagian dari Taman Siswa, di Jakarta. Bersama beberapa
orang rekannya di Perguruan Rakyat, temasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir
Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah
Poedjangga Baroe.
Amir Hamzah mulai
menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah Timboel
yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “Mabuk”
dan “Sunyi”
yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Selain itu,
sajak-sajaknya juga dipublikasikan di rubrik sastra Panji Pustaka asuhan
Sutan Takdir Alisyahbana. Selain menulis sajak, Amir Hamzah juga menulis prosa
dan esai tentang kesusastraan. Sajak-sajak Amir Hamzah cenderung terlihat lebih
ke gaya sastra Timur.
Sejak dimuat di
majalah Timboel, karya sastra Amir Hamzah terus muncul di berbagai media
massa, misalnya di majalah Pudjangga Baroe, Pandji Poestaka, dan
lain-lain. Nama Amir Hamzah mulai dikenal, dan lingkungan pergaulannya dengan
kalangan sastrawan pun mulai berlangsung intensif. Beberapa sastrawan yang
semasa dengan Amir Hamzah antara lain Armijn Pane, Sanusi Pane, Sutan Takdir
Alisyahbana, Muhamaad Yamin, Suman Hs, JE. Tatengkeng, HB. Jassin, dan lainnya.
Mungkin pencapaian
karya sastra Amir Hamzah bukan pencapaian terbaik dari suatu kelompok yang
mengkhususkan diri dalam mencari kemudian menemukan semacam puitika yang lain
sebagaimana yang terjadi di Barat. Namun begitu, tidak dapat dihindarkan bahwa
ada semacam ikatan maupun komitmen para beberapa pemrakarsa majalah Poedjangga
Baroe yaitu, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Amir Hamzah sendiri
untuk memajukan bahasa Indonesia. Penerbitan majalah Poedjangga Baroe
sendiri juga merupakan perwujudan komitmen hal tersebut.
Amir Hamzah
mewariskan dua buah kumpulan sajak karangannya, yaitu Buah Rindu dan Nyanyi
Sunyi. Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, banyak pengamat yang menilai
bahwa Nyanyi Sunyi bukan hanya merupakan puncak pencapaian kreatif Amir
Hamzah, namun juga menjadi salah satu puncak bagi kepenyairan Indonesia.
Antologi puisi Nyanyi Sunyi menjadi pemula bagi sajak-sajak kemudian
yang membahasakan kesunyian.
Kumpulan sajak
Amir Hamzah yang lain, yaitu Buah Rindu, sebenarnya cenderung merupakan
semacam catatan biografi. Meskipun buku kumpulan puisi ini terbit lebih
belakangan dibanding Nyanyi Sunyi, namun proses penulisannya lebih
dahulu dibanding puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak dalam
kumpulan puisi Nyanyi Sunyi adalah sajak-sajak yang sublim dengan lebih
melukiskan pergulatan eksistensial sang penyair. Melalui Nyanyi Sunyi
itulah kehidupan menjadi semacam ruang filosofis yang sunyi.
Para peneliti dan
kritikus sastra yang menyimpulkan dua hal tentang bahasa puisi Amir Hamzah. Di
satu sisi, ia seolah-olah terikat pada bahasa Melayu, namun di sisi lain Amir
Hamzah juga sangat bebas ketika memasukkan beberapa kata yang berasal dari
bahasa Jawa, Kawi, atau Sansekerta. Ketika membaca sajak-sajak Amir Hamzah, tak
jarang pembaca akan menemui beberapa kata yang bukan berasal dari bahasa
Melayu, misalnya dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma,
cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, dan lain
sebagainya.
Amir Hamzah
mewariskan 50 sajak
asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1
prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya
tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi
terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga
beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.
Revolusi sosial
yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir Hamzah. Ia
adalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revolusi sosial pada waktu itu.
Pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh feodal termasuk di antaranya adalah
Amir Hamzah yang ditangkap pada 7 Maret 1946. Kemudian, pada dini hari tanggal
20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkap itu dihukum mati.
Sunyi Itu Duka
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Padamu Jua
Habis
kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku gila, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku ....
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku gila, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku ....
Barangkali
Engkau
yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-tipis
Yang besar terangkum dunia
kecil terlindung alis
Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang
Bangkit Gunung
Buka mata-mutira-mu
Sentuh kecapi lirdusi
Dengan jarimu menirus halus
Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat
Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri
Akasa swarga nipis-tipis
Yang besar terangkum dunia
kecil terlindung alis
Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang
Bangkit Gunung
Buka mata-mutira-mu
Sentuh kecapi lirdusi
Dengan jarimu menirus halus
Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat
Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri
Hanya Satu
Timbul
niat dalam kalbumu
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh redam terbelam
Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa
***
Bersemayam sempana di jemala gembala
Duriat jelita bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda .
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad.
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musi di puncak Tursina.
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh redam terbelam
Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa
***
Bersemayam sempana di jemala gembala
Duriat jelita bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda .
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad.
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musi di puncak Tursina.
Permainanmu
Kaukeraskan
kalbunya
Bagai batu membesi benar
Timbul telangkaimu bertongkat urat
Ditunjang pengacara petah pasih
Dihadapanmu lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular
Tangannya putih, putih penyakit
Kekayaanmu nyata,terlihat terang
Kekasihmu ditindasnya terns
Tangan,tapi tersembunyi
Mengunci bagi paten
Kalbu ratu rat rapat
Kaupukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada
Putera-mula peganti diri
Pergi kembaii ke asal asli
Bertanya aku kekasihku
Permainan engkau permainkan
Kautulis kaupaparkan
Kausampaikan dengan lisan
Bagaimana aku menimbang
Kaulipu lipatkan
Kaukelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu
Kauhamparkan badan
Ditubir bibir pantai permai
Raja ramses penaka durjana
Jadi tanda di hari muka
Bagaimana aku menimbang
Kekasihku astana sayang
Ratu restu telaga sempurna
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati.
Bagai batu membesi benar
Timbul telangkaimu bertongkat urat
Ditunjang pengacara petah pasih
Dihadapanmu lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular
Tangannya putih, putih penyakit
Kekayaanmu nyata,terlihat terang
Kekasihmu ditindasnya terns
Tangan,tapi tersembunyi
Mengunci bagi paten
Kalbu ratu rat rapat
Kaupukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada
Putera-mula peganti diri
Pergi kembaii ke asal asli
Bertanya aku kekasihku
Permainan engkau permainkan
Kautulis kaupaparkan
Kausampaikan dengan lisan
Bagaimana aku menimbang
Kaulipu lipatkan
Kaukelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu
Kauhamparkan badan
Ditubir bibir pantai permai
Raja ramses penaka durjana
Jadi tanda di hari muka
Bagaimana aku menimbang
Kekasihku astana sayang
Ratu restu telaga sempurna
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati.
Turun Kembali
Kalau aku
dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?
Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia
Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku
Terlihat ke bawah.
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali.
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?
Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia
Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku
Terlihat ke bawah.
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali.
Karena Kasihmu
Karena
kasihmu
Engkau tentukan waktu
Sehari lima kali kita bertemu
Aku anginkan rupamu
Kulebihi sekali
Sebelum cuaca menali sutera
Berulang-ulang kuintai-intai
Terus-menerus kurasa-rasakan
Sampai sekarang tiada tercapai
Hasrat sukma idaman badan
Pujiku dikau laguan kawi
Datang turun dari datuku
Diujung lidah engkau letakkan
Piatu teruna ditengah gembala
Sunyi sepi pitunang poyang
Tadak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemerencing genta rebana
Hatiku, hatiku
Hatiku sayang tiada bahagia
Hatiku kecil berduka raya
Hilang ia yang dilihatnya.
Engkau tentukan waktu
Sehari lima kali kita bertemu
Aku anginkan rupamu
Kulebihi sekali
Sebelum cuaca menali sutera
Berulang-ulang kuintai-intai
Terus-menerus kurasa-rasakan
Sampai sekarang tiada tercapai
Hasrat sukma idaman badan
Pujiku dikau laguan kawi
Datang turun dari datuku
Diujung lidah engkau letakkan
Piatu teruna ditengah gembala
Sunyi sepi pitunang poyang
Tadak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemerencing genta rebana
Hatiku, hatiku
Hatiku sayang tiada bahagia
Hatiku kecil berduka raya
Hilang ia yang dilihatnya.
Sebab Dikau
Kasihkan
hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
Hidup seperti mimpi
Laku lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyelang dalang mengarak sajak.
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
Hidup seperti mimpi
Laku lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyelang dalang mengarak sajak.
Doa
Dengan
apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas payah terik
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas payah terik
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Hanyut Aku
Hanyut
aku, kekasihku!
Hanyut aku
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin
tiada air menolak ngelak
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berrepas tangan, aku tenggelam. Tenggelam dalam malam.
air diatas mendidih keras.
Bumi didawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!
Hanyut aku
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin
tiada air menolak ngelak
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berrepas tangan, aku tenggelam. Tenggelam dalam malam.
air diatas mendidih keras.
Bumi didawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!
Taman Dunia
Kau
masukkan aku ke dalam taman-dunia, kekasihku
Kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa; kuntum tersenyum.
Kautundukkan haluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kaugemelaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang aku, takjub, terdiam.
Berbisik engkau:
Taman swarga, taman swarga mutiara rupa”.
Engkaupun lenyap.
Termangu aku gilakan rupa.
Kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa; kuntum tersenyum.
Kautundukkan haluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kaugemelaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang aku, takjub, terdiam.
Berbisik engkau:
Taman swarga, taman swarga mutiara rupa”.
Engkaupun lenyap.
Termangu aku gilakan rupa.
Mengawan
Rengang
aku dari padaku, mengikut kawalku mengawan naik
Mewajah ke bawah, tertentang aku, lemah lunak, kotor, terhantar, paduan benda empat perkara.
Datang pikiran membentang kenang, membunga cahaya cuaca lampau, menjadi terang mengilau kaca.
Lewat lambat aku dan dia, ria tertawa, bersedih suka, berkasih pedih, bagi merpati bersambut mulut.
Tersenyum sukma, kasihan serta.
Benda mencintai benda………………….
Naik aku mengawan rahman, mengikut kawalku membawa warta.
Kuat, sayapku kuat, bawakan aku, biar sampai membidai-belai cecah tersentuh, di kursi kesturi.
Mewajah ke bawah, tertentang aku, lemah lunak, kotor, terhantar, paduan benda empat perkara.
Datang pikiran membentang kenang, membunga cahaya cuaca lampau, menjadi terang mengilau kaca.
Lewat lambat aku dan dia, ria tertawa, bersedih suka, berkasih pedih, bagi merpati bersambut mulut.
Tersenyum sukma, kasihan serta.
Benda mencintai benda………………….
Naik aku mengawan rahman, mengikut kawalku membawa warta.
Kuat, sayapku kuat, bawakan aku, biar sampai membidai-belai cecah tersentuh, di kursi kesturi.
Panji di Hadapanku
Kau
kibarkan panji di hadapanku.
Hijau jernih diampu tongkat mutu-mutiara.
Di kananku berjalan, mengiring perlahan, ridlamu rata, dua sebaya, putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Gelap-gelap kami berempat, menunggu-nunggu, mendengar-dengar suara sayang, panggilan-panjang, jauh-teratuh, melayang-layang.
Gelap-gelap kami berempat, meminta-minta, memohon-motion, moga terbuka selimut kabut, pembungkus halus nokta utama.
Jika nokta terduka-raya
Jika kabut tersingkap semua
Cahaya ridla mengilau ke dalam
Nur rindu memancar keluar.
Hijau jernih diampu tongkat mutu-mutiara.
Di kananku berjalan, mengiring perlahan, ridlamu rata, dua sebaya, putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Gelap-gelap kami berempat, menunggu-nunggu, mendengar-dengar suara sayang, panggilan-panjang, jauh-teratuh, melayang-layang.
Gelap-gelap kami berempat, meminta-minta, memohon-motion, moga terbuka selimut kabut, pembungkus halus nokta utama.
Jika nokta terduka-raya
Jika kabut tersingkap semua
Cahaya ridla mengilau ke dalam
Nur rindu memancar keluar.
Memuji Dikau
Kalau aku
memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup,
Sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku, hasratkan suara sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,
bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku……………………
Dan,
Iapun melayang pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.
Sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku, hasratkan suara sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,
bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku……………………
Dan,
Iapun melayang pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.
Kurnia
Kaukurnia
aku,
Kelereng kaca cerah cuaca,
Hikmat raya tersembunyi dalamnya,
Jua bahaya dikandung kurnia,
Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara.
Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku itu lisan tanganmu.
Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dada¬ku menanti sentosa.
Sebab kelereng guli riwarni, kuketahui langit tinggi
berdiri, tanah rendah membukit datar.
Kutilik diriku, dua sifat mesra satu:
Melangit tinggi, membumi keji.
Kelereng kaca cerah cuaca,
Hikmat raya tersembunyi dalamnya,
Jua bahaya dikandung kurnia,
Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara.
Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku itu lisan tanganmu.
Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dada¬ku menanti sentosa.
Sebab kelereng guli riwarni, kuketahui langit tinggi
berdiri, tanah rendah membukit datar.
Kutilik diriku, dua sifat mesra satu:
Melangit tinggi, membumi keji.
Doa Poyangku
Poyangku
rata meminta sama
Semoga sekali aku diberi
Memetik kecapi, kecapi firdusi
Menampar rebana, rebana swarga
Poyangku rata semua semata
Penabuh bunyian turun-temurun
Leka mereka karena suara
Suara sunyi suling keramat
Kini rebana di celah jariku
Tari tamparku membangkit rindu
Kucoba serentak genta genderang
Memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasih hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Jari menari doa semata
Tapi hatiku bercabang dua.
Semoga sekali aku diberi
Memetik kecapi, kecapi firdusi
Menampar rebana, rebana swarga
Poyangku rata semua semata
Penabuh bunyian turun-temurun
Leka mereka karena suara
Suara sunyi suling keramat
Kini rebana di celah jariku
Tari tamparku membangkit rindu
Kucoba serentak genta genderang
Memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasih hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Jari menari doa semata
Tapi hatiku bercabang dua.
Turun Kembali
Kalau aku
dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?
Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia
Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku.
Terlihat ke bawah,
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?
Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia
Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku.
Terlihat ke bawah,
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali
Batu Belah (kabaran)
Dalam
rimba rumah sebelah
Teratak bambu terlampau tua
Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi
Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh diatas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jamala raja
Ibu papa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Mana tempat ibu meminta.
Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk
Tiada sayang;
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta
Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Dengar…………….dengar!
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi
Menyata rupa mengasing kata
Rang………rang…………rangkup
Rang………rang…………rangkup
Batu belah batu bertangkup
Ngeri berbunyi berganda kali
Diam ibu berpikir panjang
Lupa anak menangis hampir
Kalau begini susahnya hidup
Biar ditelan batu bertangkup
Kembali pula suara bergelora
Bagai ombak datang menampar
Macam sorak semarai rampai
Karena ada hati berbimbang
Menyabut ibu sambil tersedu
Meragu langsing suara susah:
Batu belah batu dertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji
Bangkit bonda bedalan pelan
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau dermaharajalela
Mengangkat kaki melangkah cepat
Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu pikir
Berkata jiwa menanya bonda
Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sisi suara sampai
Suara raya batu bertangkup.
Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang
Terbuka pula,merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap………….
Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darak merah
Mengerti hati bonda tiada
Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu……….
Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji.
Teratak bambu terlampau tua
Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi
Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh diatas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jamala raja
Ibu papa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Mana tempat ibu meminta.
Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk
Tiada sayang;
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta
Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Dengar…………….dengar!
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi
Menyata rupa mengasing kata
Rang………rang…………rangkup
Rang………rang…………rangkup
Batu belah batu bertangkup
Ngeri berbunyi berganda kali
Diam ibu berpikir panjang
Lupa anak menangis hampir
Kalau begini susahnya hidup
Biar ditelan batu bertangkup
Kembali pula suara bergelora
Bagai ombak datang menampar
Macam sorak semarai rampai
Karena ada hati berbimbang
Menyabut ibu sambil tersedu
Meragu langsing suara susah:
Batu belah batu dertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji
Bangkit bonda bedalan pelan
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau dermaharajalela
Mengangkat kaki melangkah cepat
Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu pikir
Berkata jiwa menanya bonda
Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sisi suara sampai
Suara raya batu bertangkup.
Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang
Terbuka pula,merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap………….
Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darak merah
Mengerti hati bonda tiada
Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu……….
Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji.
Di dalam Kelam
Kembali
lagi marak-sumarak
Jilat melonjak api penyuci
Datam hatiku tumbuh jahanam
Terbuka neraka di lapangan swarga
Api melambai merengkung lurus
Merunta ria melidah belah
Menghangus debu mengitam belam
Buah tenaga bunga suwarga
Hati firdusi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
Menghalang cuaca nokta utama
Berjalan aku di dalam kelam
Terus lurus moal berhenti
jantung dilebur dalam jahanam
Kerongkong hangus kering peteri
Meminta aku kekasihku sayang:
Turunkan hujan embun rahmatmu
Biar padam api membelam
Semoga pulih pokok percayaku.
Jilat melonjak api penyuci
Datam hatiku tumbuh jahanam
Terbuka neraka di lapangan swarga
Api melambai merengkung lurus
Merunta ria melidah belah
Menghangus debu mengitam belam
Buah tenaga bunga suwarga
Hati firdusi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
Menghalang cuaca nokta utama
Berjalan aku di dalam kelam
Terus lurus moal berhenti
jantung dilebur dalam jahanam
Kerongkong hangus kering peteri
Meminta aku kekasihku sayang:
Turunkan hujan embun rahmatmu
Biar padam api membelam
Semoga pulih pokok percayaku.
Ibuku Dahulu
Ibuku
Dahulu
Ibuku dahulu marah padaku
Diam ia tiada berkata
Akupun lalu merajuk pilu
Tiada perduli apa terjadi
Matanya terus mengawas daku
Walaupun bibirnya tiada bergera
Mukanya masam menahan sedan
Hatinya pedih karena lakuku
Terus aku berkesal hati
Menurutkan sedan mengacau-balau
Jurang celaka terpandang dimuka
Kusongsong juga - biar cedera
Bangkit ibu dipegangnya aku
Dirangkumnya segera dikucupnya serta
Dahiku berapi pancaran neraka
Sejak sentosa turun ke kalbu
Demikian engkau:
Ibu, bapa, kekasih pula
berpadu satu dalam dirimu
Mengawas daku dalam dunia
Ibuku dahulu marah padaku
Diam ia tiada berkata
Akupun lalu merajuk pilu
Tiada perduli apa terjadi
Matanya terus mengawas daku
Walaupun bibirnya tiada bergera
Mukanya masam menahan sedan
Hatinya pedih karena lakuku
Terus aku berkesal hati
Menurutkan sedan mengacau-balau
Jurang celaka terpandang dimuka
Kusongsong juga - biar cedera
Bangkit ibu dipegangnya aku
Dirangkumnya segera dikucupnya serta
Dahiku berapi pancaran neraka
Sejak sentosa turun ke kalbu
Demikian engkau:
Ibu, bapa, kekasih pula
berpadu satu dalam dirimu
Mengawas daku dalam dunia
Insyaf
Segala
kupinta tiada kauberi
Segala kutanya tiada kau sahuti
Butalah aku terdiri sendiri
Penuntun tiada memimpin jari
Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dada
Buta tuli bisu kelu
Tertahan aku di muka dewala
Tertegun aku di jalan buntu
Tertebas putus sutera sempana
Besar benar salah arahku
Hampir tertahan tumpah berkahmu
Hampir tertutup pintu restu
Gapura rahsia jalan bertemu
Insyaf diriku dera durhaka
Gugur tersungkur merenang mata:
Samar terdengar suwara suwarni
Sapur melipur merindu temu.
Segala kutanya tiada kau sahuti
Butalah aku terdiri sendiri
Penuntun tiada memimpin jari
Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dada
Buta tuli bisu kelu
Tertahan aku di muka dewala
Tertegun aku di jalan buntu
Tertebas putus sutera sempana
Besar benar salah arahku
Hampir tertahan tumpah berkahmu
Hampir tertutup pintu restu
Gapura rahsia jalan bertemu
Insyaf diriku dera durhaka
Gugur tersungkur merenang mata:
Samar terdengar suwara suwarni
Sapur melipur merindu temu.
Subuh
Subuh
Kalau subuh kedengaran tabuh
Semua sepi sunyi sekali
Bulan seorang tertawa terang
Bintang mutiara bermain cahaya
Terjaga aku tersentak duduk
Terdengar irama panggilan jaya
Naik gembira meremang roma
Terlihat panji terkibar di muka
Seketika teralpa;
Masuk bisik hembusan setan
Meredakan darah debur gemuruh
Menjatuhkan kelopak mata terbuka
Terbaring badanku tiada berkuasa
Tertutup mataku berat semata
Terbuka layar gelanggang angan
Terulik hatiku di dalam kelam
Tetapi hatiku, hatiku kecil
Tiada terlayang di awang dendang
Menangis ia bersuara seni
Ibakan panji tiada terdiri.
Kalau subuh kedengaran tabuh
Semua sepi sunyi sekali
Bulan seorang tertawa terang
Bintang mutiara bermain cahaya
Terjaga aku tersentak duduk
Terdengar irama panggilan jaya
Naik gembira meremang roma
Terlihat panji terkibar di muka
Seketika teralpa;
Masuk bisik hembusan setan
Meredakan darah debur gemuruh
Menjatuhkan kelopak mata terbuka
Terbaring badanku tiada berkuasa
Tertutup mataku berat semata
Terbuka layar gelanggang angan
Terulik hatiku di dalam kelam
Tetapi hatiku, hatiku kecil
Tiada terlayang di awang dendang
Menangis ia bersuara seni
Ibakan panji tiada terdiri.
Hari Menuai
Lamanya
sudah tiada bertemu
Tiada kedengaran suatu apa
Tiada tempat duduk bertanya
Tiada teman kawan berberita
Lipu aku diharu sendu
Samar sapur cuaca mata
Sesak sempit gelanggang dada
Senak terhentak raga kecewa
Hibuk mengamuk hati tergari
Melolong meraung menyentak rentak
Membuang merangsang segala petua
Tiada percaya pada siapa
Insyaf aku
Bukan ini perbuatan kekasihku
Tiada mungkin reka tangannya
Karena cinta tiada mendera
Kutilik diriku kuselam tahunku
Timbul terasa terpancar terang
Istimewa lama merekah terang
Merona rawan membuang sedan
Tahu aku
Kini hari menuai api
Mengetam ancam membelam redam
Ditulis dilukis jari tanganku.
Tiada kedengaran suatu apa
Tiada tempat duduk bertanya
Tiada teman kawan berberita
Lipu aku diharu sendu
Samar sapur cuaca mata
Sesak sempit gelanggang dada
Senak terhentak raga kecewa
Hibuk mengamuk hati tergari
Melolong meraung menyentak rentak
Membuang merangsang segala petua
Tiada percaya pada siapa
Insyaf aku
Bukan ini perbuatan kekasihku
Tiada mungkin reka tangannya
Karena cinta tiada mendera
Kutilik diriku kuselam tahunku
Timbul terasa terpancar terang
Istimewa lama merekah terang
Merona rawan membuang sedan
Tahu aku
Kini hari menuai api
Mengetam ancam membelam redam
Ditulis dilukis jari tanganku.
Astana Rela
Tiada
bersua dalam dunia
Tiada mengapa hatiku sayang
Tiada dunia tempat selama
Layangkan angan meninggi awan
Jangan percaya hembusan cedera
Berkata tiada hanya dunia
tajam mata kepala
Sungkumkan sujud hati sanubari
Mula segala tiada ada
Pertengahan masa kia bersua
Ketika tiga bercerai ramai
Di waktu tertentu berpandang terang
Kalau kekasihmu hasratkan dikau
Restu sempana memangku daku
Tiba masa kita berdua
Berkaca bahagia di air mengalir
Bersama kita mematah buah
Sempana kerja di muka dunia
Bunga cerca melayu lipu
Hanya bahagia tersenyum harum
Di situ baru kita berdua
Sama merasa, sama membaca
Tulisan cuaca rangkaian mutiara
Di mahkota gapura astana rela.
Tiada mengapa hatiku sayang
Tiada dunia tempat selama
Layangkan angan meninggi awan
Jangan percaya hembusan cedera
Berkata tiada hanya dunia
tajam mata kepala
Sungkumkan sujud hati sanubari
Mula segala tiada ada
Pertengahan masa kia bersua
Ketika tiga bercerai ramai
Di waktu tertentu berpandang terang
Kalau kekasihmu hasratkan dikau
Restu sempana memangku daku
Tiba masa kita berdua
Berkaca bahagia di air mengalir
Bersama kita mematah buah
Sempana kerja di muka dunia
Bunga cerca melayu lipu
Hanya bahagia tersenyum harum
Di situ baru kita berdua
Sama merasa, sama membaca
Tulisan cuaca rangkaian mutiara
Di mahkota gapura astana rela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar