Kamis, 31 Januari 2019

Selayang Pandang Pura Dalem Desa Pakraman Lungsiakan













































































Selayang pandang
PURA DALEM
Desa Pakraman Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar



















Olih:
Ida Bagus Bajra










BAB I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugrahaneng hulun, muncaranākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
Karena sebuah rasa penuh tulus dan kecintaan terhadap alam, budaya serta kehidupan sosial masyarakat Hindu di Bali, berbekal keinginan mengabdi terhadap tanah kelahiran dilandasi dengan semangat bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur yang sudah menyatu di dalam rangkuman sinar suci Beliau, kami memberanikan diri meramu data-data yang ada didalam bentuk sebuah karya sastra yang sangat sederhana yang kami persembahkan sebagai yadnya kepada pembaca dan generasi penerus kita, agar bisa kelak dikemudian hari dipakai sebagai bahan kajian dalam menyusun karya sastra yang lebih sempurna.
Segala macam bentuk ketidaksempurnaan dan kekurangan memenuhi kata demi kata dalam buku ini, sehingga dengan kerendahan hati kami memohon berbagai petunjuk dalam usaha kami membuat buku ini mendekati sempurna. Karena kami yakin dalam era global ini, banyak hal yang harus bisa kita lakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan zaman, salah satu diantaranya adalah tentang sejarah. Sejarah yang ditulis dengan dasar metode penulisan yang benar, data penunjang yang kuat serta pemahaman yang dalam akan mampu membangun rasa cinta generasi terhadap tanah kelahiran serta yang bertumbuh dan berkembang di wilayahnya. Karena rasa cinta akan hadir apabila kita mengenal jati diri yang mencakup tentang berbagai pilosofi yang terkandung didalam kebiasaan kehidupan sosial budaya kita. Pada intinya kami berusaha menyelaraskan berbagai dasar budaya keagamaan kita yang terdiri dari Kuno Dresta, Loka Dresta dan Sastra Dresta dalam sebuah kajian yang bisa menggugah kesadaran kita tentang pentingnya berbagai kearifan lokal yang didukung oleh sastra agama Hindu dalam menjaga Sradha umat beragama. Semoga kemudian kita dan generasi mendatang bisa melewati masa-masa kritis sebagai penjaga agama dan budaya warisan leluhur kita dahulu, agar perjuangan dan usaha yang sudah dilakukan oleh leluhur kita semenjak dahulu tidak hanya menjadi cerita usang yang semakin hilang, hanya karena ketidaktahuan kita terhadap perjuangan mereka. Kita adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, karena sejarah adalah sumber pengetahuan yang merupakan satu-satunya media untuk mengetahui masa lampau, yaitu mengetahui peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau dengan perbagai permasalahannya. Peristiwa yang menjadi objek sejarah sarat dengan pengalaman penting manusia karena mampu membangkitkan imajinasi memperluas wawasan intelektual, memperdalam simpati, sebagai sarana ideal untuk mendidik masyarakat agar berpikir secara bebas mengajarkan kepada masyarakat cara berfikir mmeningkatkan kreatifitas dan memberikan pelajaran untuk mengenal dirinya sendiri. Sejarah juga menjadi sumber pendidikan penalaran, pendidikan moral, menciptakan kebijaksanaan, dasar pendidikan politik, perubahan, Pendidikan masa depan dan sebagai ilmu bantu untuk ilmu- ilmu yang lain.
Semoga pikiran yang jernih mengalir dari semua penjuru arah angin, sehingga kita bisa memaknai setiap langkah dalam proses hidup di bhuwana agung maupun bhuwana alit sebagai sebuah keharusan yang sudah direncanakan oleh Sang Pencipta. Yang kekal adalah perubahan dan kebenaran utama hanya nilai-nilai spririt dan ritual yang mampu memaknai setiap perubahan sebagai sebuah kebenaran utama.



BAB II
ASAL USUL BALI
Zaman Bahari
Zaman bahari tatkala Nusa Bali dan Lombok masih dalam keadaan goncang, layaknya perahu diatas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada empat gunung di Bali, di bagian Timur gunung Lempuyang namanya, dibagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu sangat mudahlah Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini. Bhatara Hyang Pasupati sangat sedih melihat situasi Nusa Bali, maka segeralah Beliau memotong puncak gunung Mahameru, untuk dibawa ke Pulau Bali dan Lombok, Badawang Nala diperintahkan mengusung puncak gunung, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan dan menurunkan di Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih Kadasa sekitar bulan April, tepat saat bulan mati atau Tilem, rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11. Menurut analisa Team Sejarah dan Budaya Bali th 2012, cerita ini menggambarkan secara terselubung bahwa Bhatara Pasupati yang dimaksud adalah seorang penguasa di pulau Jawa, Gunung Mahameru digambarkan sebagai ilmu pengetahuan, Bedawang Nala digambarkan sebagai dasar dari ilmu keagamaan, Sang Naga Anantabhoga dan Naga Basuki dimaksud sebagai lambang aturan tentang pelaksanaan ilmu keagamaan tersebut. Jadi bisa dianalisa untuk sementara, bahwa pada sekitar  tahun 11 Saka, keadaan pulau Bali dan Lombok selalu bergolak dan tidak aman akibat belum adanya tatanan ilmu pengetahuan keagamaan yang mengatur kehidupan penduduknya. Hal ini yang mengerakkan hati seorang penguasa di pulau Jawa untuk menyebarkan ajaran agama dan ilmu pengetahuan ke Bali dan Lombok. Ajaran suci itu diantaranya berupa dasar-dasar keyakinan serta aturan-aturan yang mengikat masyarakat dalam melaksanakan kewajiban terhadap bangsa dan agamanya. Karena setelah ajaran agama dan ilmu pengetahuan itu diturunkan di Bali dan Lombok, kedua pulau menjadi mulai tenang tanpa gejolak.
Selang beberapa tahun lamanya pada hari Kamis Kliwon wuku Tolu, pada Purnama raya, sasih Kasa sekitar bulan Juli, rah 7, tenggek 2, tahun Saka 27, terjadi hujan sangat lebat disertai badai, guruh dan kilat sambar menyambar. Gempa bumi gemuruh membawa hujan selama dua bulan tidak putus-putus. Puncaknya kemudian gunung Agung atau Giri Tolangkir meletus mengeluarkan sangat banyak air salodaka atau air belerang, pada hari Selasa Kliwon wuku Kulantir, sasih Kalima sekitar bulan Nopember, tepat bulan Purnama, pada tahun Saka 31, tampak turun beliau yang dimuliakan, Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya yang dikenal dengan nama Hyang Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat disana bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu berparhyangan di Ulun Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di Gunung Lempuyang. Beliau bertiga diutus oleh Bhatara Hyang Pasupati untuk turun ke Bali, sebagai junjungan rakyat Bali sampai akhir zaman.
Tahun Saka 896 kembali Bhatara Hyang Pasupati kembali mengutus murid-murid Beliau untuk turun ke Bali bertugas menyempurnakan tatanan kehidupan masyarakat Bali, walaupun penuh dengan rintangan, segala kehendak Beliau akhirnya terlaksana sehingga Bali dan Lombok menjadi daerah yang tenang tanpa gejolak.
Penyebaran Suku Bangsa Austronesia.
Sebelum kedatangan para Rsi Agung yang mengajarkan kehidupan beragama di wilayah bukit Bon, keadaan hutan-hutan tropis yang lebat menjadi tempat bermukim yang sangat baik bagi orang - orang Autronesia yang berbudaya sangat terbatas. Awalnya empat kerabat dari kelompok masyarakat yang kesehariannya memakai bahasa Austronesia, Tai-Kadai, Hmong-Mien Austro-Asiatik menepati wilayah Tiongkok bagian selatan antara tahun 2000 Sebelum Masehi hingga 1000 Sebelum Masehi. Bangsa Han yang mendiami wilayah utara Tiongkok menyerbu keselatan hingga mengusir penduduk Austronesia dan memaksa mereka untuk melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah Taiwan, kepulauan Asia Tenggara dan Samudra Pasifik lainnya. Migrasi yang bertahap dari penduduk Austronesia menjadikan mereka kemudian mendiami wilayah-wilayah yang berjauhan dan berkembang kehidupannya di masing-masing wilayah sesuai dengan kultur wilayah yang didiami, sehingga cenderung memiliki beberapa perbedaan walaupun mempunyai asal perkembangan yang awalnya sama. Penyebaran penduduk dari Taiwan ke Bali diduga melalui Maritime Asia Tenggara, sehingga budaya dan Bahasa penduduk Bali berkaitan sangat erat dengan penduduk kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Oseania.  
Bila ditinjau dari ras dan penyebarannya, penduduk Bali merupakan ras Melayu Mongoloid dalam sub ras Deutro Melayu yang juga bermukim dan berkembang di daerah Bali, Jawa dan Banjar. Bali telah dihuni oleh bangsa Austronesia sekitar tahun 2000 sebelum Masehi yang bermigrasi dan berasal dari Taiwan melalui Maritime Asia Tenggara. Budaya dan bahasa dari orang Bali demikian erat kaitannya dengan orang-orang dari kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Oseania, data juga ditunjang dengan ditemukannya oleh para peneliti berbagai jenis alat-alat batu yang berasal dari saat itu di dekat desa Cekik di bagian sebelah barat pulau Bali.
Ilmu Arkeologi yang khusus mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak membagi masa Pra Aksara atau Pra Sejarah menjadi 2 zaman. Para peneliti asing seperti: P.V. van Stein Callenfels, A.N.J. Th. van der Hoop, dan H.R. van Heekern membagi pembabakan zaman dalam ilmu Arkeologi menjadi 2 teori, yang diketahui dari berbagai penggalian dan penelitian terhadap benda dan alam zaman pra aksara. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak. Dari hasil penelitian para ahli arkeologi, maka tabir kehidupan masyarakat pra aksara Indonesia dapat diketahui. Berdasarkan penggalian arkeologi maka pra aksara atau prasejarah dapat dibagi menjadi 2 Jaman, yaitu zaman batu dan zaman perundagian. Pada zaman batu dibagi lagi menjadi 3 periode atau masa, antara lain zaman batu tua atau Paleothikum, zaman batu tengan atau Mesolithikum dan zaman batu muda atau Neolithikum. Peninggalan-peninggalan zaman batu seperti kapak genggam, kapak Sumatera, pebble, kapak persegi dan kapak lonjong  belum ada yang ditemukan di daerah Bon sehingga untuk sementara bisa kita simpulkan bahwa daerah Bon Petang belum ada tanda-tanda terjamah oleh kehidupan manusia pada zaman batu yang berlangsung kurang lebih 700.000 tahun lamanya. Pada zaman ini alat-alat kehidupan manusia sebagian besar terbuat dari batu, kayu dan tulang. Sementara itu berdasarkan para ahli memakai metode Tipologi atau metode dengan acuan bentuk dan tipe benda peninggalan menjadi zaman Batu menjadi 3 periode, antara lain zaman batu, zaman logam atau perundagian dan zaman pra aksara. Zaman batu dan zaman logam tidak bisa ditentukan dengan pasti kapan mulai dan berakhirnya karena pada zaman logam alat-alat dari batu masih juga dipergunakan oleh penduduk. Para ahli membuat pedanan zaman logam hanya sebagai tanda bahwa sudah mulai dikenal oleh penduduk alat-alat yang terbuat dari logam. Peninggalan dari zaman ini banyak ditemukan di wilayah Bali, terutama sekali berbentuk perhiasan sebagai bekal kubur di beberapa sarkofagus. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan penduduk di berbagai daerah di Bali lebih memilih untuk bermukim di wilayah - wilayah pegunungan yang berjarak dekat dengan sumber air, selain karena berlimpah sumber makanan juga sangat baik dipakai sebagai benteng alam guna menangkal serangan musuh atau binatang buas.
Wilayah Lungsiakan diperkirakan sudah didiami oleh penduduk dalam jumlah yang terbatas pada masa ini, walaupun masih bersifat nomaden atau berpindah-pindah dari suatu wilayah ke wilayah yang lain. Pada era berikutnya penduduk mulai berupaya menyiapkan bahan persediaan makanan dengan bercocok tanam, meninggalkan goa-goa tempat tinggal mereka mereka sebelumnya dan mulai tinggal di dataran dengan rumah sederhana yang berbahan baku kayu dan bambu beratap kulit kayu atau rumbia. Peneliti Barat, B.J. Miggen dan Clifford Evan Jr dalam studinya tentang kehidupan di hutan-hutan teropis menyatakan bahwa hutan tropis di wilayah Bali tengah tidak berbeda jauh dengan keadaan hutan Tropis di Amerika Selatan. Perubahan perlahan-lahan terjadi dengan terbentuknya perkampungan-perkampungan kecil semacam dukuh atau kuwu dengan beberapa rumah kecil yang tempatnya tidak beraturan. Bentuk rumah di perkampungan Bali pada masa ini berbentuk kebulat-bulatan dengan atap rumbia yang menjuntai hingga ujungnya menyentuh tanah yang hanya bisa menampung beberapa anggota keluarga saja, tidak lebih dari 4 orang. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi penyempurnaan dalam bentuk rumah penduduk Bali, dimulai dengan bentuk rumah memanjang dengan memakai tiang yang jumlahnya disesuaikan dengan luas bangunan. Rumah-rumah berbentuk balai panjang bertiang ini banyak dibangun di daerah yang dekat dengan ladang, dengan tujuan untuk menghindari serangan binatang buas. Rumah ini bisa menampung beberapa anggota keluarga inti yang semakin berkembang kemudian. Apabila rumah tiang ini dibangun jauh dari ladang, penduduk akan meninggalkan kampung mereka pada masa tanam dan masa panen, mereka membawa serta anggota keluarga dan binatang peliharaan ke ladang-ladang.
Di dekat ladang mereka membangun gubuk-gubuk darurat yang dipakai sebagai tempat tinggal sementara, yang ditinggalkan pada masa panen selesai. Semua rumah, baik yang berbentuk bulat, persegi bertiang atau gubuk di ladang-ladang dibuat dengan cara bergotong-royong oleh anggota Pedukuhan dengan upacara-upacara tertentu yang dipimpin oleh kepala Pedukuhan. Wilayah Desa Pakraman Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar  yang berada pada garis kordinat peta -8.49.28.79 Lintang Selatan  dan 115.25.34.50 Bujur Timur. Kedudukan wilayah ini tidak bisa dipisahkan dengan perjalanan sejarah kuno Bali, karena Lungsiakan sebelum menjadi sebuah desa yang tertata dengan baik, dahulunya masih berupa daerah hutan tropis yang berstruktur tanah sangat subur. Dengan sumber air yang melimpah, hawa yang sejuk dan lembab menjadikan wilayah ini sangat cocok ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman tropis yang hidup dengan subur, tanda-tanda kehidupan pada masa pra aksara hingga kini belum ditemukan oleh para ahli purbakala di areal pura. Hanya saja yang menarik dikaji adalah, letak Pura Dalem Lungsiakan dikelilingi oleh berbagai situs tua. Di bagian utara Lungsiakan di desa Margatengah dan Bukian Payangan ditemukan sarkofagus tahun 1974, dibagian timur Lungsiakan ditemukan situs Goa Raksasa di Campuan Ubud, Goa Gajah, Yeh Pulu, Sarkofagus di Bitra dan desa Tegallalang. Sementara itu dibagian selatan dari desa Lungsiakan ada ditemukan Candi Tebing di desa Jukutpaku. Sedangkan bagian barat dari desa Lungsiakan sudah sangat dekat dengan sungai tua, Ayung. Penemuan berbagai tinggalan purbakala itu untuk sementara bisa menjadi dasar pemikiran bahwa wilayah desa Lungsiakan sudah dihuni oleh penduduk pada zaman Megalithikum atau Batu Besar sekitar 250 tahun awal Masehi. Hal ini dituangkan dalam laporan 6 orang peneliti dari Balai Arkeologi dan Badan Pelestarian Cagar Budaya yang menemukan berbagai benda kuno di beberapa sarkofagus. Lebih lanjut bisa ditafsirkan bahwa daerah Lungsiakan sudah memiliki kontak dengan pendatang Tiongkok, India dan Vietnam pada masa prasejarah, karena sudah mulai dikenal simbol status pada berbagai penemuan. Ketersediaan air untuk irigasi sederhana pertanian juga sudah memungkinkan membuat penduduk kuno yang biasanya mendiami wilayah tepian sungai, berpindah ke daerah dataran yang agak tinggi. Sebaran situs prasejarah dan sejarah Bali Kuno yang tumpang tindih mengidentifikasikan keberlanjutan pemukiman masyarakat dan elit-elit dari masa prasejarah hingga awal munculnya kerajaan Hindu di Bali. Selain sumber sejarah dan penelitian juga data ripta prasasti ada juga cerita rakyat yang diyakini sebagai sebuah fakta masa lalau tentang adanya sepasang raksasa laki dan perempuan yang menghuni goa di Campuhan. Cerita rakyat ini berkembang hingga sekarang tentang bagaimana sepasang raksasa itu selalu menculik para penari rejang di Pura Gunung Lebah untuk dimakan. Sampai akhirnya perbuatan itu diketahui oleh penduduk dan beramai-ramai kemudian membunuh sepasang raksasa tersebut. Kata Raksasa ini kemungkinan menyebutkan jenis manusia yang bertubuh lebih besar dari manusia biasa dan hidup di goa-goa, walaupun tidak sangat pasti ada kaitannya antara cerita rakyat dengan yang dimaksud penduduk goa, cukup membuat para peneliti mengkait-kaitkan cerita rakyat ini dengan kehidupan manusia goa yang tanpa budaya.
BAB III
Masa Hindu Buddha
Masa perkembangan faham Hindu Buddha di Nusantara terjadi sudah sangat lama, seluruh wilayah pulau Bali mengalami masa ini, terbukti hingga sekarang faham ini menjadi warisan yang tidak pernah hilang, demikian juga daerah Lungsiakan, Kedewatan, Ubud. Pura-pura kahyangan yang berdiri megah di hampir semua pelosok wilayah ini menjadi bukti bahwa faham Hindu Buddha masuk ke seluruh wilayah Bali kemudian berkembang sesuai dengan keadaan wilayah dan perkembangan budaya penduduknya masing-masing. Tetapi karena sedikitnya peninggalan berupa tulisan yang bisa dibaca dan diteliti oleh para ahli membuat sulit memastikan era masuknya faham ini ke Bali.
Para pengungsi India.
Mulai dikenalnya keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu Buddha di Nusantara, diungkapkan oleh para ahli sejarah dunia diawali dengan kerajaan di daerah Sumatera Utara pada tahun 500 Masehi. Kebanyakan kerajaan-kerajaan itu didirikan oleh para pengungsi dari India, terdiri dari kaum Bangsawan, Pendeta dan para pedagang yang menghindar dari kemelut yang terjadi di India. Para pengungsi India ini berlayar mencari daerah baru untuk bermukim sebagai tempat melanjutkan tradisi yang mereka anut dan yakini secara turun temurun. Kerajaan-kerajaan kecil itu tersebar di beberapa wilayah di Sumatera Utara, dengan jumlah penduduk yang juga tidak terlalu banyak. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Kendahari, Pali, Malayu Sri Boja dan lain-lain yang bertahan sampai sekitar tahun 682 sampai dengan tahun 686 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perkembangan Agama Buddha Nusantara.
Di Palembang berdiri kemudian sebuah kerajaan yang bernama Sriwijaya, nama kerajaan berasal dari bahasa Sanskerta yang mengandung dua suku kata: Sri dan Wijaya, Sri berati Cahaya, Wijaya berarti kemenangan. Cikal bakal keberadaan kerajaan yang terletak di seputar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang ini menurut catatan sudah ada pada tahun 500-an. Kerajaan Sriwijaya terdiri atas tiga daerah utama: daerah ibukota yang berpusatkan di sekitar Palembang, lembah Sungai Musi dan daerah-daerah muara, pada sekitar tahun 425 Masehi,  agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya yang berlokasi di Palembang, sehingga menarik hati banyak sarjana dari negara-negara di Asia untuk datang untuk memperdalam ajaran agama Buddha. Salah satu diantara mereka adalah seorang pendeta dari Tiongkok yang bernama I Ching, dalam perjalanan studinya ke Universitas Nalanda, India pada tahun 671 hingga 695, I Ching menceritakan dalam salah satu bukunya bahwa Sriwijaya sudah menjadi rumah belajar bagi ribuan sarjana Buddha. Pendeta I Ching menulis banyak catatan tentang keberadaan Sriwijaya pada masa itu. Semua tulisannya menjadi bahan yang sangat penting untuk mengetahui keberadaan kerajaan ini. Selain catatan tersebut, bukti lain tentang keberadaan Sriwijaya bisa ditemui dari berbagai peninggalan, salah satunya berupa prasasti yang dikeluarkan oleh masing-masing raja yang berkuasa pada zamannya. Prasasti yang menuliskan tentang Sriwijaya antara lain dibuat pada tahun 683 di Palembang, bernama Prasasti Kedukan Bukit yang berisi tulisan singkat menceritakan tentang usaha Raja Sriwijaya, yang bergelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan penyerangan ke wilayah Malayu Sriboja keselatan dan dibagian utara wilayah Sumatera, juga melakukan menaklukan terhadap Kerajaan Tarumanegara. Diantara kerajaan-kerajaan Malayu, Kerajaan Kendari dan Kerajaan Pali juga dapat dikuasai, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit  yang berangka tahun 683 Masehi, Prasasti Talang Tuo bertahun 684 Masehi dan Prasasti Kota Kapur.
Expansi Sriwijaya itu yang membuat para bangsawan dan para Rsi di Sumatera meninggalkan wilayah Malayu Sriboja mencari daerah yang baru diluar kekuasaan Kerajaan Sriwijaya kearah timur dengan perahu sampai mendarat di wilayah Nusa Goh atau dikenal dengan nama Pulau Sapi. Dengan sisa kekuatan pengikutnya mendirikan kerajaan Pali yang bermula dari sebuah desa kecil terpencil yang sunyi, nama kerajaan yang baru didirikan itu sama dengan sewaktu masih di Sumatera yang berpenduduk sebagian besar memeluk  agama Buddha.
Kerajaan Kutai dan Mataram sebagai cikal Bakal perkembangan Agama Hindu di Jawa dan Bali.
Letak kerajaan Kutai berlokasi di daerah Kutai, Kalimantan Timur, keberadaan kerajaan Hindu pertama di Indonesia ini diterangkan oleh 7 buah prasasti yang berbahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa. Masyarakat Kutai pada saat itu belum mempunyai bahasa dan huruf yang baku, para ahli sejarah memperkirakan bahwa prasasti yang berbentuk Yupa mulai ditulis pada sekitaran tahun 400 Masehi. Kalimat yang terpahat pada salah satu yupa setelah diteliti dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi cikal bakal dari kerajaan Kutai adalah Kudungga yang dilanjutkan oleh Aswawarman dan pada masa pemerintahan Mulawarwan kerajaan Kutai mencapai masa kejayaanya. Kerajaan Kutai memiliki hubungan dagang yang sangat baik dengan India, hal itulah yang membuat semua prasasti di Kutai ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta yang merupakan hurup dan bahasa Hindu Selatan di India yang merupakan daerah asal agama Hindu-Buddha. Dengan perkiraan tertulisnya prasasti yang menceritakan tentang kerajaan Kutai pada sekitar tahun 400 Masehi, dapatlah disimpulkan bahwa Kutai adalah kerajaan Hindu pertama di Nusantara.
Pada tahun 730 Masehi, secara resmi Sri Maharaja Sanjaya menjadi raja di pulau Jawa, kerajaanya disebut sebagai kerajaan Mataram, wilayah kekuasaanya meliputi seluruh pulau Jawa, kecuali tanah Sunda. Sri Maharaja Sanjaya mulai melakukan penaklukan-penaklukan ke daerah sekitar, seperti Sriwijaya, Lingor atau Thailand hingga Hujung Medini atau Malaysia Barat. Beliau juga dikenal sebagai Raja Rsi yang sangat gemar menyebarkan agama Hindu di daerah-daerah taklukannya, memperkenalkan ajaran Lingga Yoni dalam penyebaran agama Hindu yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta kerajaan Mataram. Semua konsep pemerintahan beliau dapat kita lihat pada Prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah berangka tahun 732 Masehi dikisaran Tahun 730 Masehi. Salah seorang Pendeta guru dari perguruan Markandhya yang bernama Rsi Markandya melakukan perjalanan suci dari Pasraman Gunung Wukir di Damalung, tempat dimana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, kemudian menuju lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang. Di daerah lereng Gunung Raung wilayah Desa Girimulya, dan di sekitar Tirta Empul di Jawa Timur ditemukan juga  oleh para peniliti sejumlah peninggalan kuno berupa arca-arca kecil pratima. Di antaranya arca perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984, arca Rsi Markandya seukuran ibu jari ditemukan tahun 1985, tempat Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, dua buah Bokor Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, Gentha Panditha dan tujuh bilah keris ditemukan pada tahun 1976. Kemudian ditemukan juga batu Andesit  diperkirakan dipakai untuk mengolah obat saat itu. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan kuno.
Didalam Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya juga dikisahkan seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang isteri, berputera dua orang yang sangat tampan rupanya, berbudi mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. seperti yang tersurat dalam sloka Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, yang berbunyi :
Sang Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama
Yang artinya:
Sang Ayati dan Sang Niyata sama-sama berparas sangat tampan, sangat pintar dan faham berbagai ilmu pengetahuan yang menjadikan beliau berdua sangat bijaksana.
Sang Ayati berputera Sang Prana, demikian pula adiknya, yang bernama Sang Niyata, berputera Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristerikan Dewi Manaswini, berputera Maharsi Markandya. Selanjutnya Maharsi Markandya, beristerikan Dewi Dumara, menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristerikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Pada hari yang baik, salah seorang murid Maha Rsi Agastya yang bernama Sang Ila putera dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan Tapa Samadhi di  Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut  Pegunungan Dieng. Seperti halnya Maharsi Markandya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau pegunungan Dieng di gunung Damalung.
Penduduk Bali Mula dan Bali Aga.
Pada awalnya penduduk pulau Bali terdiri dari kelompok-kelompok kecil masyarakat yang membentuk kuwu-kuwu terpencil dan berjauhan letaknya antara satu dengan yang lainnya, terdiri dari ras  Austronesia yang memiliki aturan dan pemimpin masing-masing kemudian berkembang hampir ke seluruh pelosok Bali.  Penduduk Bali yang awalnya tidak menganut agama, melakukan ritual dengan cara menyembah para leluhur yang mereka kenal dengan sebutan Hyang, kepercayaan mereka bahwa tiap benda, baik yang benyawa maupun tidak bernyawa mempunyai roh, yang ditakuti dan dihormati. Meyakini bahwa semua unsur dalam dunia dikuasai Hyang sebuah kekuatan yang tidak tampak. Mereka memuliakan gunung, sungai, danau, laut, pohon dan batu serta benda-benda lain sebagai tempat bersamayamnya para Hyang. Keadaan seperti ini berlangsung sangat lama, diperkirakan hingga awal pertama tarikh Masehi atau sekitar abad pertama Masehi. Menurut Lontar Bali Tattwa, datanglah seorang Rsi yang bernama Maha Rsi Markandya ke Bali, Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah kurang lebih 800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung.
Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, segera melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti Mranggi  atau Macan, Singa, dan Ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, pengiring Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja. Mereka memilih bermukim di wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Diantaranya kampung-kampung tua di sepanjang dataran subur yang diapit oleh dua aliran sungai, Sungai Wos Lanang dan Sungai Wos Wadon. Dataran yang membentang dari utara ke selatan dari Taro sampai Campuhan Gunung Lebah di Ubud. Sebagian yang lain menyebar kearah barat dan timur Munduk Taro membangun kuwu-kuwu di daerah tepian sungai dan perbukitan yang menyedikan banyak sumber air dan makanan. pengikut Rsi Markandhya yang selamat dan menghuni berbagai wilayah Bali secara terpencar ini kemudian dikenal dengan nama Penduduk Bali Mula, yang artinya ditancapkan di Bali sebagai cikal-bakal pembuat peradaban Bali kemudian.
Sang Maharsi Markandya memutuskan untuk kembali ke Pesraman di Gunung Raung, melakukan yoga, tapa, brata dan semadhi untuk memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha untuk mengetahui sebab bencana yang sudah menimpa para pengikut beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru. Dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara yang cukup serta tidak menanam Panca Datu. Kisah ini menyiratkan sebuah pesan bahwa saat kedatangan Maha Rsi Markandhya di Bali, sudah ada penguasa-penguasa lokal yang memiliki banyak pengikut belum bisa menerima kedatangan beliau yang mengajarkan faham ke-Tuhanan di Bali. Diperkirakan para penguasa lokal dan masyarakat Bali ini menghalang- halangi usaha beliau dalam menyebarkan ajaran suci itu.
Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan III, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali dengan membawa ribuan orang pengikut dari Desa Aga, yang dikenal sebagai keturunan petani cakap mengubah hutan menjadi perkampungan dan lahan pertanian. Setelah berhasil membuka lahan pertanian, maka tanah lapang itu segera dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat dimana awal Sang Rsi melakukan pembagian lahan itu kelak menjadi satu desa yang diberi nama Desa Puwakan, yang artinya tempat pembagian yang adil. Tentang pembagian tanah dan kehadiran Maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek panditha Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Panditha prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Panditha Aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunong taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryan rumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan
Artinya :
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Panditha Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandhita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Bhatara semua, Sang panditha Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewa Yajnya dan Bhuta Yajnya, serta memuja Pertiwi.
Setelah selesai melakukan pangaci-aci atau melakukan upacara yadnya, maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara. Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tidak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandhya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha. Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa yang artinya serba dan ada, jadilah serba ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada. Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Sang Maharsi melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah barat, pada satu lokasi yang masih asri. Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandhya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung atau giri Tolangkir, di desa Besakih.
Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandhya menanam kendi yang berisi Panca Datu yang terdiri dari lima jenis logam mulia, seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lama kelamaan daerah pura Basukian dikenal dengan nama Besakih, yang berarti semua selamat dan berbahagia. Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat di Desa Puwakan, dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah berhasil dengan baik merabas hutan, Maharsi Markandhya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian. Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandhya juga membangun tempat pemujaan yang diberi nama Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan atau perwakilan Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Glanmore, Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali Sang Maha Rsi mendapat wangsit sebelum datang menyebarkan ajaran ke-Tuhanan ke Bali. Di kawasan Ubud ada ditemukan hingga kini dua areal tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya, yakni Pura Pucak Payogan dan Pura Gunung Lebah. Dikisahkan dalam semadi sang Rsi melihat seberkas sinar terang dikejauhan yang selanjutnya ditelusuri hingga sampai pada satu tempat berupa hutan lebat di daerah perbukitan. Pada lokasi sinar itu kembali Rsi Markandhya melakukan yoga semadi, di tempat semadi beliau itu selanjutnya didirikan sebuah  Pura dengan nama Pura Pucak Payogan.
Tidak jauh dari Pura Pucak Payogan, pada sebuah pertemuan dua aliran sungai suci Wos dimana beliau selalu melakukan penyucian diri dari segala unsur papa mala petaka, oleh pengikut beliau kemudian dibangun sebuah tempat suci dikenal dengan nama Pura Gunung Lebah. Selain sebagai sumber kesucian, campuhan juga sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, karena disanalah konsep penciptaan dari pertemuan sungai suci Wos Lanang sebagai unsur Purusa atau laki-laki dengan sungai suci Wos Wadon sebagai lambang Predana atau Perempuan. Pertemuan dua unsur ini disertai dengan puja mantra serta kedalaman yoga serta semadi yang tinggi menghasilkan kesehatan dan kesejahteraan lahir dan bhatin.
Dalam karya besar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa
Artinya :
Juga di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandhya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan atau Payangan, sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, dikisahkan beliau sang Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci dikenal dengan nama Murwa atau Purwa Bhumi. Pura dimaksud berlokasi di Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi Markandhya untuk pertama kalinya menurunkan ilmu pengetahuan suci keagamaan, juga ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan cara bertani yang sesuai dan benar bagi para pengikut beliau juga untuk masyarakat luas. Kesejahteraan yang diharapkan terlaksana melalui jalan yang panjang dari Jawa ke Bali berujung di Parahyangan, menyatu antara kebahagiaan sekala dan niskala dirasakan beliau dan para pengikutnya dituangkan dengan pendirian Pura Sukamerih yang berarti segala kebahagiannya yang diharapkan sudah tercapai. Sekian lama setelah masa kedatangan sang rsi yang dimulai dari tahun 858 Saka, ajaran suci beliau menyatu dengan jiwa penduduk Bali menjadi pondasi kepercayaan pengikut beliau yang kemudian menyebar tidak hanya di wilayah munduk Taro, tetapi juga dibawa oleh penduduk Aga di desa-desa seperti: Sambiran, Sangsit, Dausa, Cabongan, Lembongan, Nusa Penida, Cempaga, Tenganan, Kintamani, Sastra, Sidhatapa, Timbrah, Kedisan, Terunyan, Padarba, Kutapang, Batur, Kayubihi, Gobleg, Sental, Kawan, Bakung, Kayang, Bratan, Tigawasa, Bantang, Pangotan, Sukawana, Kembang Sari, Bayung, Ceking, Lampu, Kutadalem, Abang, Abianbase, Sambahan, Lot, Plaga, Blakiuh, Gadungan, Camangawon, Angkah, Marga, Tabuana, Pasekan, Pengalu dan lain-lain.
Melihat dan meneliti dekatnya jarak antara Desa Lungsiakan dengan Pura Gunung Lebah dan Pura Pucak Payogan, kemungkinan sangat besar desa Lungsiakan sudah didiami oleh penduduk Bali Mula dan Bali Aga pada kisaran tahun 800 hingga 900 Masehi. Berawal dari Kuwu dengan beberapa orang kepala keluarga, semakin lama semakin berkembang hingga membentuk sebuah Banua atau Desa dengan penduduk yang terdiri dari puluhan kepala keluarga. Konsep desa masa penduduk kuno yang mengutamakan hulu Gunung sebagai pokok kehidupan bermasyarakat dan kehidupan religi tampak jelas pada penataan Desa Lungsiakan. Jalan desa yang membentang dari hulu ke hilir diapit oleh rumah-rumah penduduk diperkirakan memang berasal dari jalan kuno yang sudah diwarisi dari dahulu, walaupun kemungkinan masih berupa jalan setapak berbatu-batu. Kelengkapan faktor utama terbentuknya desa kuno masih sangat lengkap diwarisi hingga sekarang, mulai dari adat istiadat, bangunan-bangunan pelinggih pura, setra dan petirtan atau beji merupakan faktor utama yang dibuat oleh penduduk kuno dalam usaha awal membangun sebuah desa atau kuwu.
Perkembangan kebudayaan yang terjadi kemudian tidak serta merta mampu menghapus jejak langkah budaya orang Bali Mula maupun Bali Aga pengikut Sang Rsi yang semakin lama semakin berkembang. Ajaran suci keagamaan yang merupakan pondasi kehidupan di Lungsiakan seakan menyatu sebagai sebuah kebiasaan yang diajarkan oleh leluhur kepada generasi penerusnya. Kebiasaan yang mengikat dalam sebuah tradisi berisikan pesan moral yang tinggi sebagai wujud nyata cara menghaturkan ungkapan rasa terimakasih kepada Sang Pencipta dan segala ciptaan Beliau.


Bab IV
Masa Bali Kuno
Ada keyakinan dari banyak ahli sejarah yang mengkaitkan cikal bakal pulau Bali dengan keberadaan kerajaan P’o-li yang ditulis dalam beberapa buku petualang bangsa Cina pada masa pemerintahan Dinasti Cui. Tetapi banyak pula pendapat berbeda dari para ahli sejarah dunia yang telah dikemukakan cenderung menyatakan bahwa P’o-li merupakan kerajaan besar, atau paling tidak terletak di wilayah yang luas. Kecenderungan itu sesuai dengan gambaran yang didapat dari kitab sejarah dinasti Sui. Menurut penulis kitab itu, panjang kerajaan P’o-li dari timur ke barat adalah selama empat bulan perjalanan, dan dari utara ke selatan selama 45 hari perjalanan. Apabila memang benar P’o-li merupakan kerajaan besar dan mempunyai wilayah yang sangat luas, maka tidak sesuai dengan Bali yang relatif kecil.
Toponim yang lebih cocok diidentifikasikan dengan Bali, menurut bagian lain pendapat Groeneveldt, adalah Dva-pa-tan yang terbaca dalam kitab sejarah Kuno dinasti T’ang. Negeri itu dikatakan terletak di sebelah selatan Kamboja dalam jarak dua bulan pelayaran, atau di sebelah timur Ho-ling atau Ka-ling. Adat istiadatnya sama dengan Ho-ling yang setiap bulannya padi sudah dapat dituai oleh petani, dan penduduk menulis pada daun rontal. Jika ada orang mati, mayatnya diberi perhiasan emas, ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar disertai dengan bau-bauan yang harum. Di dalam kitab Chu-fan-chih bagian Su-chi-tan, Bali disebut dengan nama Mali. Lebih jauh, penulis kitab Yao-i-chin-lue mencatat nama P’eng-li yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Pali atau Mali. Hingga kini kitab Chu-fan-chih menjadi acuan terkuat sebagai catatan tertua tentang keberadaan pulau Bali yang diyakini oleh para ahli sejarah dunia.
Sekta-sekta di Bali.
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi dengan didapatkan hasil penelitian tulisan pada nekara di Pejeng yang berbahasa Sanskerta. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Siwas.......ddh.......” Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siwa Siddhanta”. disimpulkan pada abad ke-8, Paksa Siwa Siddhanta telah berkembang di Bali, karena sampai terbuatnya sebuah prasasti, berarti ajaran ini sudah lama berkembang sebelumnya. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu diyakini bahwa agama Hindu sudah masuk secara perlahan-lahan di Bali sebelum abad ke-8 Masehi.
Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca Siwa di pura Putera Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali. Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Siwaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Siwakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi pembauran antara Siwa dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Pembauran antara Siwaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warna Dewa, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai banyak peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih dapat diteliti diselamatkan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairawa dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairawa di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari di Jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, diyakini bahwa perkembangan awal kedatangan agama Hindu atau Siwaisme dan Buddha atau Mahayana hampir pada saat yang bersamaan dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 ditandai oleh berkuasanya raja suami isteri Dharma Udayana Warmadewa dan Gunaprya Dharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni mulai banyaknya prasasti yang sebelumnya berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris pada tahun 1926 berjumlah 9 sekta, yang terdiri dari: Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha atau Soghata, Brahmana, Rsi, Sora atau Surya dan Ganapatya.
Dalam beberapa lontar di Bali disebutkan ada 6 sekta yang dikenal dengan nama Sad Agama, yang terdiri dari: Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu dan Kala. Intisari dari ke 6 sekta tersebut kemudian dikenal dengan Siwa Siddhanta yang mewarnai kehidupan beragama di Bali dengan peninggalan beberapa lontar-lontar tua, antara lain: Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Tattwa Jnana, Sang Hyang Maha Jnana, Catur Yuga, Widhi Sastra dan lain-lain. Sementara Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para panditha Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Puja parikrama hingga kini diyakini bersumber pada ajaran Siwa Siddhanta.
Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang panditha Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan jabatan semacam perdana mentri yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Pada ajaran Siwa Siddhanta masyarakat meyakini bahwa Dewa Siwa sebagai dewa tertinggi yang mempunyai 3 hakekat atau tattwa yaitu: Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud atau niskala, Sadasiwa-tattwa yang bersifat berwujud - tak berwujud atau sakala-niskala dan Siwa-tattwa yang bersifat berwujud atau sakala. Selain agama Siwa Siddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak masa pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri, merupakan sebuah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja Dewa Wisnu. Peradaban awal yang ditemukan pada stupa-stupa dan batu bertulis di situs Pejeng dengan angka tahun Isaka 700 atau tahun 778 Masehi  dalam bahasa Sanskerta adalah  kutipan sebuah mantra Buddha yang berbunyi:
Ye Dharma Hetu Prabawahetun Tesan Tathagato Hyawadattesanca Yo Nirodha Ewam Wadi Mahasramanah
Artinya :
Keadaan tentang sebab-sebab kejadian atau proses terciptanya dunia sudah dijelaskan oleh Sang Buddha yang maha mulia.
Banyak ahli berpendapat bahwa penduduk Bali Kuno lebih dahulu mengenal Agama Buddha dari pada Agama Hindu, tetapi karena perbedaan waktu antara kedatangan para Bhiksu dengan kedatangan para Rsi Hindu  hampir bersamaan maka terjadilah percampuran antara dua agama itu. Prasasti-prasasti yang bertarikh tahun 804 Isaka atau pada tahun 882 Masehi sudah menyebutkan nama-nama bulan kalender dengan solar system (Hindu) seperti di India. Selain itu, prasasti batu padas yang ditemukan di Blanjong Sanur telah bertuliskan tahun Saka menurut sistem Candra Sangkala dari peradaban Hindu: Khecara Wahni Murti. Murti berarti Siwa berarti 8; Wahni berarti cahaya berarti 3; Khecara berarti bintang berarti 9. Jadi sistem Candra Sangkala itu menunjukkan tahun kejadian yakni: Isaka 839 atau tahun 917 Masehi. Sistem Candra Sangkala selain menunjukkan tahun kejadian, juga berbentuk kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai pemberitaan, dalam hal ini Khecara Wahni Murti, artinya: Bintang yang terang bercahaya bagaikan Bhatara Siwa.
Kalimat ini juga ditafsirkan sebagai pujian kepada Raja: Kesari Warmadewa yang ketika itu berkuasa dan beristana di Singhadwala, beliau beragama Buddha penganut sekta Mahayana. Percampuran budaya Buddha-Mahayana dengan Hindu sekta Siwa Sidantha dan sekta Waisnawa telah terjadi di Bali kuno setidak-tidaknya sejak tahun 882 Masehi seperti yang diuraikan di atas, jauh sebelum kejadian yang sama di Jawa Timur. Siwa-Buddha berasimilasi di Jawa Timur baru diakui sejak tahun 1365 Masehi oleh Mpu Prapanca dalam tulisan kekawinnya berjudul Desawarnana, dan selanjutnya Mpu Tantular menulis hal sama pada kekawinnya yang berjudul Arjuna Wiwaha pada tahun 1367 Masehi dan Sutasoma pada tahun 1380 Masehi. Di Bali, Siwa-Buddha dan Waisnawa dilebur menjadi agama Hindu yang ada sekarang di Bali oleh Mpu Kuturan. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja suami isteri Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warnadewa yang bertahta di Bali pada tahun Saka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988 Masehi sampai dengan tahun 1011 Masehi. Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Mula yang merupakan pengikut Rsi Markandhya pada kedatangan beliau yang pertama, selanjutnya pengikut Rsi Markandhya dari  desa Aga Jawa yang mengikuti beliau pada kedatangan kedua disebut sebagai orang Bali Aga. Dengan demikian penduduk Bali pada masa itu mengenal 6 sekta yang dalam pelaksanaan keagamaanya yang berbeda pelaksanaanya satu dengan yang lainnya. Tata cara yang berbeda dalam melaksanakan keyakinan itu seringkali menimbulkan ketegangan akibat pertentangan antara satu sekta dengan sekta yang lainnya.

Kedatangan para Mpu ke Bali.
Para penganut sekta yang selalu bersaing dan bertentangan satu dengan yang lainnya itu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak buruk pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat kurang baik ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada sistem pemerintahan kerajaan, sehingga roda pemerintahan menjadi ikut terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja suami isteri Gunaprya Dharmapatni dan Udayana Warmadewa mendatangkan beberapa orang Rsi dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak lama semasih beliau di Jawa Timur, 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
1.        Mpu Semeru, dari sekta Siwa tiba di Bali pada hari Jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, Candra Sengkala Jadma Siratmaya Muka yaitu tahun Saka 921 atau tahun 999 Masehi lalu berparhyangan di Besakih.
2.        Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun Saka 922 atau tahun 1000 Masehi, lalu berparhyangan di Gelgel
3.        Mpu Kuturan, pemeluk agama Buddha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, maduraksa atau tanggal ping 6, Candra Sengkala: Agni Suku Babahan atau tahun Saka 923 atau tahun 1001 Masehi, selanjutnya berparhyangan di Cilayukti daerah Padang.
4.        Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, Prati Padha Cukla, tanggal 1, Candra Sengkala: Muka Dikwitangcu atau tahun Saka 928 atau 1006 Masehi, lalu berparhyangan di bukit Bisbis, Lempuyang.
Keempat orang Brahmana dari Jawa Timur itu sebenarnya bersaudara 5 orang, dikenal dengan nama Sang Panca Panditha atau Sang Panca Tirtha yang, setia menjalankan dharma kepanditan dan menjadi guru loka di wilayahnya masing-masing. adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah masih menetap di Jawa Timur, berparhyangan di Lemah Tulis, Pajarakan. Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti yang menyebutkan  bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat Senapati. Prasasti-prasasti tersebut ditemukan di beberapa desa tua Bali, diantaranya:
1.      Di desa Srai, Kintamani, bertahun Saka 915 atau tahun 993 Masehi, di desa Batur, Kintamani, bertahun Saka 933 atau tahun 1011 Masehi.
2.      Di desa Sambiran, Tejakula, Buleleng, bertahun Saka 938 atau tahun 1016 Masehi, di desa Batuan, Sukawati, Gianyar bertahun Saka 944 atau tahun 1022 Masehi.
3.      Di desa Ujung, Karangasem bertahun Saka 962 atau tahun 1040 Masehi,
4.      Di Pura Kehen Bangli, Bangli, (karena sudah rusak tidak tampak tahunnya) dan
5.      Di desa Buahan, Kintamani, Bangli bertahun Saka 947 atau tahun 1025 Masehi.
Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam tahun-tahun tersebut dan prasasti-prasasti itu merupakan hasil keputusan raja-raja yang bertahta di Bali yaitu: Raja Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warnadewa yang bertahta dari tahun Saka 910 sampai dengan 933 atau dari tahun 988 sampai dengan tahun 1011 Masehi menerbitkan prasasti pertama dan kedua. Sri Adnyadani yang bertahta dari tahun Saka 933 sampai 938 atau dari tahun 1011 sampai dengan tahun 1016 Masehi menerbitkan prasasti yang ketiga dan Sri Dharma Wangsa Wardhana Marakato Pangkaja Stano Tungga Dewa, yang bertahta dari tahun Saka 938 sampai 962 atau dari tahun 1016 sampai dengan tahun 1040 Masehi menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Mpu Kuturan dalam meredam gejolak yang bersumber dari banyaknya sekta atau aliran yang saling bertentangan di Bali, diantaranya adalah dengan membuat pertemuan besar di Bata Anyar. Dalam pertemuan besar itu diundang wakil-wakil aliran juga para pemuka agama dan adat di Bali. Dalam pertemuan itu kemudian diputuskan bahwa semua aliran sekta di Bali, dilebur menjadi tiga komponen dasar disebut dengan Tri Murti.
1.      Aliran pemuja air dan alam masuk dalam kategori Wisnu, dipuja dan dimuliakan pada pura Puseh.
2.      Aliran pemuja surya, bulan dan api dilebur dalam kelompok pemuja Brahma, dimuliakan di pura Bale Agung atau pura Desa.
3.      Semua sekta atau aliran yang memuja udara, bintang dan planet dilebur kedalam pemuja Iswara atau Siwa, dimuliakan di pura Dalem.
Ketiga pura yang terbentuk dari sari-sari sekta itu disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan semua aliran di Bali. Dalam pertemuan besar di Samuan Tiga juga diperkenalkan istilah Desa Adat, dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, sosial, dan spiritual. Di bekas tempat rapat itu kemudian dibangun pura Samuan Tiga, selanjutnya prasasti-prasasti yang dikeluarkan raja mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi mengganti bahasa Bali Kuno yang dipakai dalam penulisan prasasti-prasasti sebelumnya.
Masa pemerintahan awal dinasti Warmadewa di Bali  dibagi menjadi 2 poros pegunungan, barat dan timur. Bagian barat berpusat di gunung Penulisan, Batur, Abang, Batukaru, Beratan, Bon, Catur, Mangu, Sanghyang, Pohen, Tapak, Silangjana, Lesung. Adeng, Patas, Merbuk, Musi, Kutul. Klatakan, Ngandang, Banyuwedang, Perapat Agung, Gondol dan Masehe. Sementara di bagian timur ada jajaran pegunungan, dimulai dari Gunung Agung, Jambul, Seraya, Satu dan Asah. Semua gugusan gunung dan bukit ini pada masa kuno menjadi tempat tumbuh berkembangnya budaya religius di Bali. Munduk Taro yang membentang dari utara keselatan dan daerah daerah sekitar seperti Lungsiakan menjadi tempat tumbuh kembangnya budaya dan agama yang tertuang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dikenal kemudian dengan nama dresta. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan masa pemerintahan Raja Sri Ugrasena tahun 912 hingga  942 Masehi yang beristana di Kintamani yang menguasai gugusan pegunungan di wilayah barat, Raja Sri Kesari Warmadewa juga membangun wilayah kekuasaan yang berpusat di Besakih pada tahun 913 hingga tahun 955 Masehi gugusan pegunungan di wilayah timur. Pemerintahan 2 dinasti ini diperkirakan bersamaan dengan Penyebaran faham Buda dan Waisnawa dari kerajaan Mataram Kuno di Jawa ke pulau Bali. Dalam berbagai naskah tua disebutkan bahwa Rsi Ing Markandeya diiringi oleh para murid dari Desa Aga membangun kuwu atau kampung di beberapa wilayah pegunungan dan tepian sungai Wos, termasuk juga daerah Lungsiakan.
Perhatian yang besar diberikan oleh para penguasa pada jaman Bali Kuno terhadap wilayah sekitar Munduk Taro  sebagai tempat yang disakralkan. Wilayah hutan yang disucikan pada abad ke 9 Masehi inilah yang diperkirakan menjadi Desa Lungsiakan sekarang. Raja terakhir yang memerintah di Bali pada masa Bali Kuno adalah Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang diangkat menggantikan kedudukan Bhatara Sri Wala Jaya Kertaning Rat. Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten atau Sri Gajah Waktera dikenal juga dengan nama Sri Topolung, beliau mengadakan pergantian sejumlah pejabat pemerintahan . Ki Pasung Grigis diangkat menjadi Patih Mangkubhumi, berkedudukan di Tengkulak, Patih Anom dipegang oleh Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna berasrama di Blahbatuh. Beliau juga mengangkat para petinggi istana yang berkedudukan sebagai Menteri dan Demung, seperti:
1.      Menteri Ki Girikmana berkedudukan di Ularan Buleleng,
2.      Menteri Ki Tambyak di desa Jimbaran,
3.      Menteri Ki Tunjung Tutur diangkat berkedudukan di desa Tenganan.
4.      Ki Buwahan menjadi Menteri di desa Batur,
5.      Ki Tunjung Tutur diangkat menjadi Pertanda di desa Tianyar,
6.      Ki Kopang menjadi Pertanda di desa Seraya,
7.      Ki Walungsari diangkat menjadi Pertanda di desa Taro.
8.      Ki Gudug Basur menduduki jabatan sebagai Tumenggung, Ki Kala Embang menjadi Demung, Ki Kala Gemet menjabat sebagai Tumenggung berkedudukan di desa Tangkas,
9.      Ki Buwahan di Batur dan
10.  Ki Walung Singkal berkedudukan di desa Taro.
Demikianlah para Menteri Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang sebagian besar diantaranya adalah merupakan keturunan dari Ugrasena ksatria Kalingga. Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten adalah seorang penganut Buddha yang taat terbukti pada tahun 1338 Masehi beliau banyak mendirikan tempat suci agama Buddha. Keadaan yang berlangsung aman dan tentram tersebut tiba-tiba terancam karena sikap dari Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Ratu Majapahit Tribhuwana Wijaya Tunggadewi, meskipun beliau adalah juga berasal dari keturunan Majapahit.
Pada masa pemerintahan raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, daerah sebelah selatan Bayung dan sebelah utara Blanjong menjadi kekuasaan Ki Walungsari dan Ki Walung Singkal yang berkedudukan di desa Taro. Penduduk wilayah ini bertugas sebagai penjaga prasada kuno dan wilayah hutan perburuan kerajaan yang terbentang sepanjang sungai Wos, sungai Ayung, Nungnung, Taro dan Catur hingga pertapaan Sekarmukti. Sepanjang daerah ini berdiri banyak prasada yang berkaitan dengan penyebaran para pengikut Rsi Ing Markandheya yang menyebarkan ajaran-ajaran suci Hinduistik.  Prasada yang kemudian dikenal dengan nama Parahyangan dan Pura adalah tempat suci untuk berbagai prosesi ritual pemujaan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasiNya dan atau Atma Sidha Dewata yang dikenal dengan sebutan roh suci leluhur dengan sarana upacara yadnya dari Tri Marga. Sri Astasura Ratna Bumi Banten saat berkuasa mengeluarkan sebuah prasasti pada tahun 1259 Saka atau tahun 1337 Masehi. Isi prasasti yang mengatur tentang kewajiban penduduk sepanjang Drwyahaji, sepanjang sungai Wos, sungai Ayung, Nungnung, Taro Bwan dan Catur hingga pertapaan Sekarmukti. Hampir sama dengan isi prasasti yang ditemukan di Pura Tegeh Koripan walaupun dalam keadaan sudah aus, Peneliti Louis Charles Damais, memperkirakan enam tahun setelah sang raja menulis prasasti Langgahan pada tahun 1259 Saka, Majapahit melakukan ekspedisi ke Bali dibawah kendali Mapatih Gajahmada pada tahun 1265 Saka atau 1343 Masehi. Ekspedisi ini dengan gemilang berhasil menaklukkan kerajaan Bali menjadi wilayah kekuasaan Majapahit, seperti yang tertulis dalam kitab Nagara Krtagama karangan Mpu Prapanca pada pupuh 49 bait ke 4 yang berbunyi:
”Muwah ring sakabdesu masaksi nabhbhi,
Ikan
g bali nathanya dussila niccha
Dinonin bala bhrasta sakweh nasa
Arssalwir i dusta mandoh wisathta,”
(Pigeaud, 1960a: 36)
Artinya :
”Selanjutnya pada tahun Saka panah-musim-mata-pusat atau tahun 1265 Saka, kepada raja Bali yang rendah budi dan hina dina dikirimlah tentara untuk membasmi, hancurlah semuanya, ketakutan semua penjahat kemudian lari menjauh
(cf. Slametmulyana, 1979: 297; Pigeaud, 1960c: 54).
Dari sekian banyak prasasti yang ditemukan dan bisa dibaca tidak ada yang satu prasastipun yang menyebutkan nama Lungsiakan, dapatlah disimpulkan untuk sementara bahwa nama Desa Lungsiakan dibuat setelah jaman prasasti, yaitu pada jaman Babad, beberapa abad setelah masa pemerintahan raja-raja Bali Kuno. Kemungkinan yang bisa terjadi adalah daerah Lungsiakan sudah dikenal oleh penduduk dengan nama yang berbeda, berbentuk hutan, tegalan, sawah, atau bahkan sudah menjadi desa, tetapi karena terbatasnya waktu penyusunan buku ini, penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan nama Lungsiakan yang dikenal pada zaman ini belum bisa dipastikan. Semoga setelah ini masih ada kesempatan lebih banyak untuk menguak lebih dalam sejarah Desa Lungsiakan pada masa-masa Bali Kuno, atau bahkan masa sebelum Bali Kuno.



Bab V
Ekspansi Majapahit
Sri Tapolung yang bergelar Bhatara Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Gajah Wahana menurut Babad Usana Bali Pulina adalah seorang raja sakti dari Bali yang bertahta di Bedahulu sebagai  Dhalem  pada  tahun  1250 Saka atau tahun 1328 Masehi yang dalam Purana Bali Dwipa disebutkan Beliau merupakan putera dari raja suami isteri Sri Masula Masuli dari dinasti Warmadewa. Kidung Pamacangah menyebutkan bahwa Arya Damar sebagai penguasa bawahan Majapahit di Palembang yang membantu Majapahit dalam usaha menaklukkan Bali pada tahun 1343 Masehi dengan memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara. Mapatih Gajah Mada menuju arah timur Majapahit, bersama keluarga dan prajuritnya yang gagah-gagah untuk menyerang Bali. Prajurit Patih Liman Mada berjumlah 15.000 orang bersenjata lengkap, semua pada terlihat gagah pemberani. Setelah hampir berperang selama dua hari, pasukan Majapahit berhasil mengalahkan pasukan Bali pimpinan Ki Pasung Giri. Arya Damar juga kemudian berhasil menewaskan Ki Pasung Giri setelah menghujamkan keris pusakanya di lambung Ki Pasung Giri.
Mengetahui Ki Pasung Giri tewas di tangan Arya Damar, mental pasukan Bali seketika hilang, banyak diantaranya yang gugur dan menyerah, tidak sedikit juga yang berhasil melarikan diri dari medan laga. Pasukan Arya Damar segera menguasai daerah Ularan yang merupakan benteng utara kerajaan Bali. Pasukan bala bantuan dari Majapahit kembali dikirim dalam jumlah besar yang dipimpin oleh Arya Kutawaringin. Mereka mendaratkan kapal dan menggabungkan diri dengan sisa-sisa pasukan yang bertahan di benteng desa Ularan, Arya Damar bersama-sama dengan Arya Kutawaringan memimpin pasukan mengadakan serangan ke kubu-kubu pertahanan pasukan Bali. Akhirnya daerah Bali utara dan bagian Barat berhasil diduduki oleh pasukan Majapahit, akan tetapi daerah-daerah bagian timur masih tetap utuh dibawah pimpinan Ki Buwahan yang bermarkas di desa Batur. Untuk penguasaan daerah ini, sangat besar jumlah pasukan yang gugur dari kedua belah pihak, alam pulau Bali yang berbukit-bukit ditambah dengan hutan-hutannya yang masih lebat, menyebabkan peperangan itu berlangsung lama. Tidak kurang dari 7 bulan lamanya Arya Damar dan Arya Kutawaringin memimpin pasukan melakukan serangan secara terus menerus, barulah daerah Bali utara dapat dikuasai semua setelah Ki Bawahan berhasil ditewaskan.
Pertempuran di pantai selatan Bali yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada tidak kalah pula hebatnya, gelombang laut yang besar membawa keuntungan bagi pasukan Gudug Basur dan Ki Tambyak yang bertahan di pesisir pantai. Banyak perahu-perahu pasukan Majapahit yang tenggelam sebelum sempat melakukan pendaratan. Walaupun demikian pertempuran sengit terjadi pula, setelah pasukan Majapahit melakukan pendaratan yang tak henti-hentinya. 6 orang perwira Majapahit yang masing-masing memimpin pasukan yang berjumlah 15.000 orang, disambut oleh pasukan Bali yang sejak lama telah mengadakan pertahanan dengan rapat. Medan yang luas dan datar, ditambah pula dengan tidak adanya pohon-pohon besar yang melindungi pertahanan pasukan Bali, sangat memudahkan pihak penyerang untuk mengarahkan panah dan tombak dari atas perahu, sehingga banyak memakan korban dari pasukan Bali.
Demikianlah disana-sini terjadi pertempuran yang serentak, sehingga hanya dalam waktu 7 hari pesisir pantai selatan Bali telah dapat diduduki oleh pasukan Majapahit yang sangat besar jumlahnya. Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak gugur dalam pertempuran itu bersama-sama dengan ribuan pasukan lainnya dari kedua belah pihak. Walaupun tentara Majapahit telah mendapat kemenangan di pesisir utara dan timur, namun mereka belum berani melakukan penyerbuan ke pusat kota, mengingat dengan keberanian dan kegigihan rakyat Bali dalam usaha mempertahankan negerinya. Menunggu waktu yang tepat Mereka tinggal menyusup berbaur dan menetap di desa-desa Bali menyamar sebagai penduduk Bali. Sementara itu kesatuan-kesatuan pasukan Sunda yang melakukan pendaratan di pantai bagian barat, boleh dikatakan selamat tidak disambut dengan pertempuran oleh pasukan Bali, mereka tidak menjumpai perlawanan yang berarti. Hal itu terjadi karena kebetulan mereka melakukan pendaratan pada tempat-tempat yang sunyi, diantara hutan pantai kemudian segera menyusup ketengah-tengah hutan menuju ke pusat kota Beda-Ulu.
Kembali diceritakan Arya Damar dan Arya Kutawaringin yang telah memperoleh kemenangan di Bali Utara bersama-sama pasukannya terus bergerak maju menuju ke pusat pemerintahan Bali di Beda-Ulu, dengan tujuan utama untuk menghancurkan Beda-Ulu. Setelah 5 hari menempuh perjalanan yang amat sulit, bersualah mereka dengan Gajah Mada bersama induk pasukannya di desa Tawing, segera menyusun rencana dan strategi untuk menyerang ke pusat kerajaan Beda Ulu. Pasukan Majapahit menyamar menyusup masuk kedalam kota Beda Ulu, mendiami berbagai daerah di sekitar kota raja, sesudah penuh sesak orang-orang Majapahit di kota Beda Ulu, tiba-tiba mereka mengangkat senjata menyerang kraton Beda-Ulu dengan serempak dan tiba-tiba. Pasukan Sunda mengepung desa Tengkulak dari segala penjuru, pasukan Ki Pasung Grigis yang lengah tidak sempat mengadakan perlawanan. Banyak pasukannya yang tewas dalam pertempuran itu, sementara Ki Pasung Grigis ditangkap dan ditawan. Peristiwa itu terjadi pada tahun tahun 1343 Masehi, semenjak saat itu kerajaan Beda-Ulu hancur dan pulau Bali berada dibawah kekuasaan Majapahit. Jumlah tawanan pasukan Bali masing-masing: Arya Beleteng, menawan 160.000 orang,  tawanan yang dikirim ke Majapahit untuk mengabdi kepada raja, sejumlah 80.000 orang. Arya Beleteng, menawan 10.000 orang, Arya Sentong, 5.000 orang, Arya Kutawaringin, 5.000 orang,  Arya Belog, 5.000 orang,  Ki Kuda Pangasih, 3.000 orang,  Arya Damar, 40.000 orang,  Ki Pada Kaon, 20.000 orang,  Ki Pakatik, 2.000 orang,  Arya Benculuk, 4.000 orang dan tawanan Arya Kapakisan, 4.000 orang. Hentikan dahulu ceritanya demikian.
Dalam perayaan kemenangan tersebut tiba tiba muncullah utusan dari Ratu Majapahit Tri Bhuwana Tunggadewi yang bernama Kuda Pengasih yang tiada lain merupakan ipar dari Patih Gajah Mada, karena Kuda Pengasih adalah adik Ken Bebed, isteri dari Patih Gajah Mada. Kuda Pengasih putera patih Matuwa diutus dari Majapahit untuk memantau langsung pasukan Majapahit dibawah pimpinan Patih Gaja Mada yang telah lama meninggalkan Majapahit. Kuda Pengasih menyaksikan pesta ria yang dilaksanakan guna merayakan kemenangan yang baru saja diraih pasukan Majapahit yang berhasil menundukkan laskar Kryan Pasung Grigis. Kuda Pengasih kemudian menyampaikan pesan dari Ratu Tribhuwana Wijaya Tunggadewi yang isinya meminta apabila Bali telah berhasil ditaklukkan maka Patih Gajah Mada dan Arya Damar diminta kembali secepatnya ke Majapahit karena telah lama meninggalkan istana Majapahit, akan tetapi para arya yang lain diperintahkan untuk tetap tinggal di Bali untuk menjaga keamanan Pulau Bali. Para Arya yang ditugaskan di Bali diantaranya: Arya Kenceng, Arya Sentong, Beleteng, Arya Kutawaringin, Arya Belog dan Arya Binculuk. Patih Gajah Mada menyanggupi hal tersebut namun meminta waktu untuk menempatkan para Arya yang akan bertugas menjaga keamanan kekuasaan Majapahit di Pulau Bali.
Masa kekosongan pemerintahan Bali.
Secara keseluruhan pulau Bali berhasil ditaklukan oleh Majapahit pada tahun 1343 Masehi, mulai saat itu menjadi wilayah yang kosong tanpa pemimpin, sehingga pulau Bali menjadi tidak aman dengan banyaknya jenis kejahatan yang merajalela. pemindahan Patih Pasung Grigis dari Tengkulak ke Jawa sebagai orang hukuman, menjadi benih-benih kemarahan penduduk Bali. Beberapa bulan kemudian Ki Pasung Grigis diangkat menjadi Panglima Perang Majapahit dalam upaya Majapahit penaklukan Sumbawa yang menentang kekuasaan Majapahit. Ki Pasung Grigis akhirnya tewas bersama dengan Dadela Natha dalam perang tanding yang sangat seru. Berita tewasnya Ki Pasung Grigis di Sumbawa, menyebakan kembali timbul kekacauan di seluruh pelosok pedesaan Bali. Orang-orang Bali serentak mengangkat senjata di berbagai desa, mengepung dan menyerang kedudukan pasukan Majapahit. Menerima laporan kekacauan di Bali, dikirim kembali bala bantuan dalam jumlah yang besar dari Majapahit untuk memadamkan pemberontakan rakyat Bali. Pasukan Majapahit merapat di Pantai Selatan Bali, pertempuran sengit kembali terjadi, masing-masing pihak memperlihatkan keunggulannya, sampai akhirnya pasukan Majapahit berhasil mencapai kemenangan. Tempat terjadinya pertempuran itu diberi nama Yeh Selukat di wilayah Gianyar. Demikianlah antara lain disebutkan di dalam kitab Usana Jawa, tentang berbagai pemberontakan yang terjadi di desa-desa sebelum kerajaan Majapahit berhasil menempatkan wakilnya di Bali. Berdasarkan data yang tertulis di dalam kitab Usana Jawa, rupanya sebuah pura besar yang bernama Pura Kentel Gumi di desa Tusan Klungkung didirikan pada waktu itu. Nama pura mengesankan, bahwa ketentraman di Bali telah dapat dipulihkan setelah sekian lama mengalami kekacauan akibat perang. Pura Kentel Gumi dianggap sebagai lambang mulai “Kentel” atau aman Bali secara keseluruhan dari berbagai gejolak yang disebabkan oleh pemberontakan penduduk Bali kepada para Arya Majapahit. Masa guncangan yang terjadi akibat belum aman dan tentramnya pulau Bali ini, dianggap sebagai masa kekosongan kekuasaan, karena secara pasti belum ada pemerintahan yang jelas bagi seluruh rakyat Bali. Arya Kenceng, Arya Sentong, Arya Beleteng, Arya Belog, Arya Kutawaringin dan Arya Binculuk menjadi penguasa di wilayahnya masing-masing dan bersifat kedaerahan. Arya Damar kembali ke Majapahit, kemudian diangkat sebagai Raja di Palembang. Adik-adik beliau ditempatkan sebagai raja di masing-masing daerah di Bali seperti Arya Kenceng di Tabanan, Arya Sentong di Perean, Arya Belog di Kaba-kaba dan dan diberbagai daerah lainnya.


Bab VI
Dinasti Kepakisan di Bali
Ida Sri Aji Cili Ketut Soma Kresna Kepakisan.
Akibat lama tidak ada pemimpin di Bali, para Arya Bali yang merupakan keturunan dari Mpu Dwijaksara berkeinginan menghadap ke Majapahit memohon petunjuk Raja Majapahit. Para Arya  Bali yang berangkat untuk menghadap Raja Majapahit antara lain: Kyai Patih Ulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan dan Kyai Padang Subadra. Menimbang permohonan para arya dari Bali itu, segera Prabhu Jayanegara, mengirim utusan ke Kediri menghadap Ida Sri Mpu Soma Kresna Kepakisan, memohon putera beliau yang paling kecil, agar bersedia menjadi pemimpin di Bali. Tidak diceritakan sepanjang perjalanan, Ida Sri Aji Cili Ketut Soma Kresna Kepakisan tiba di Bali  tahun 1274 Saka, tahun 1352 Masehi, diangkat menjadi Adipati Bali di Keraton Samprangan, bergelar Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan. Pengikut setia beliau, Si Tan Kawur, Si Tan Mundur dan Si Tan Kober, diberikan tempat di desa Tianyar. Masa pemerintahan Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan, masih juga ada gejolak tidak terima oleh penduduk Bali terutama yang mendiami wilayah pegunungan, desa-desa di gunung yang masih belum aman, antara lain: Desa Culik, Skul, Bulakan, Tista, Kunir, Simanten, Basangalas, Sarinten, Tulamben, Get, Lokasrana, Batu Dawa, Margatiga, Puan, Juntal, Crutcut, Bantas, Kerta Bayem, Watu Wayang, Kedampal, Asti dan desa-desa lain di pegunungan Bali.
Hal itulah yang mendorong Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan mengirim utusan ke Jawa, menghadap kepada Sang Prabhu Jaya Negara, terdiri dari Kyai Patih Wulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan dan Kyai Padang Subadra. Setelah bertemu dan menghadap Raja Majapahit, dianugrahi keris pusaka Ki Lobar oleh raja Majapahit, keris pusaka Ki Durgha Dungkul adalah pemberian dari Rakryan Gajah Mada kepada Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan agar digunakan untuk mengamankan wilayah Bali. Mulai adanya keris Ki Lobar di puri Samprangan, sedikit demi sedikit mulailah aman wilayah-wilayah kekuasaan beliau di pegunungan Bali, tidak ada lagi orang gunung yang melakukan tindak kejahatan. Upaya lain yang dilakukan untuk menentramkan Bali agar bisa lebih tentram, adalah dengan mengadakan pertemuan di Puri Samprangan dengan para Arya Bali yang berpengaruh, membicarakan tentang keadaan Bali yang belum tentram. Para Arya Bali yang hadir dalam pertemuan itu, antara lain: Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Padang Subadra, Ki Pasek Penataran, Ki Pasek Kepasekan, Ki Pasek Bendesa, Ki Pasek Kubakal, Ki Pasek Kedangkan, Ki Pasek Ngukuhin, Ki Pasek Kubayan dan Ki Pasek Gaduh serta para pemuka Bali lainnya. Selain membahas tentang keamanan Bali juga tentang parahyangan yang ada di seluruh Bali, utamanya sekali membahas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Pura Besakih dan pura-pura peninggalan Bali kuno lainnya. Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan, menurunkan putera laki perempuan sebanyak 4 orang, antara lain: Sri Dewa Ile, Sri Dewa Tarukan, Isteri menikah ke Blambangan dan Sri Dewa ketut Ngulesir. Selain 4 putera diatas, ada juga putera yang lahir dari selir, yang bernama I Dewa Tegal Besung.
Ida Sri Dalem Ile.
Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan mangkat digantikan oleh putera sulung beliau yang bernama Ida Sri Dalem Ile, tetapi dalam menjalankan pemerintahan, beliau jarang sekali perduli dengan keadaan rakyat, apalagi sampai mengadakan pertemuan membahas tentang kerajaan Bali dengan  para manca dan punggawa Puri Samprangan, karena beliau lebih tertarik mengurus isterinya yang bernama Ida Sri Dewi, putri dari Pusering Tasik Besakih daripada membicarakan masalah kerajaan. Ida Dalem Tarukan mempunyai kegemaran yang berbeda dengan kakaknya, beliau amat gemar bekerja di ladang, taman, juga sawah, menanam bemacam-macam bunga dan bebijian. Karena kesalah pahaman Ida Dalem Tarukan terpaksa harus mengungsi dari kraton dan mengembara ke desa-desa menyamar seperti rakyat biasa dan menjadi orang buruan kerajaan.

Ida Sri Dewa Ketut Ngulesir bergelar Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan.
Para Arya, Manca, dan Punggawa Puri Samprangan, menganggap bahwa Ida Sri Dalem Ile tidak cakap menduduki jabatan Adipati Bali, maka para Punggawa, Arya dan Manca semua, memutuskan mengangkat Ida Sri Dewa Ketut Ngulesir menjadi Adipati Bali. Rakryan Patih Kebon Tubuh berhasil menghadap Ida Sri Dewa Ketut Ngulesir di desa Pandak. Ida Dalem Ile menderita sakit keras, mulai dari meninggalnya putri beliau, tidak berapa lama beliau mangkat pada tahun 1302 Saka atau tahun 1380 Masehi. Ida Dalem Ketut Ngulesir menggantikan kakaknya menjadi raja, dengan gelar Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan, tahun 1307 Saka, tahun 1385 Masehi di Keraton Gelgel, yang diberi nama Suweca Pura. Pada sebuah kesempatan Ida Dalem Ketut Ngulesir menghadap Sri Hayam Wuruk yang kemudian berkenan menganugrahi beliau keris pusaka yang bernama Ki Taksaka. Dalam perjalanan pulang ke Bali dari Majapahit terjadi hal-hal gaib yang membuat Ida Dalem Ketut Ngulesir memberikan nama baru Ki Bengawan Canggu untuk keris pusaka Ki Taksaka.
Dalam babad Dalem kembali diceritakan Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan, kembali lagi berlayar ke Jawa, Tepatnya di wilayah Madura, untuk memenuhi undangan dari Rakryan Mahapatih Madu, sang penguasa Madura yang sedang menyelenggarakan karya maligya leluhur beliau. Ida Sri Mpu Bujangga Kayu Manis, dari Negara Keling dipercaya sebagai pemimpin upacara maligya yang berjalan dengan sangat baik. Disela-sela prosesi upacara maligya, raja Bali menghadap kepada Mpu Bujangga Kayu Manis untuk memohon kepada Ida Bujangga agar bersedia berkunjung ke Bali sebagai pemimpin upacara Mapudgala yang akan beliau selenggarakan. Tidak diceritakan secara lengkap kedatangan Ida Sri Mpu Bujangga Kayu Manis ke Bali dan prosesi upacara Pudgala yang diadakan oleh Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan di Sweca Pura Gelgel. Tetapi dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Ida Sri Mpu Bujangga Kayu Manis yang menjadi purahita Bali pada zaman ini juga menyebarkan ajaran-ajaran Waisnawa di beberapa wilayah utama kerajaan Bali.
Beliau memberi pemahaman tentang pentingnya unsur petirtan pada masing-masing prasada sebagai lambang atau simbol bahwa ajaran Waisnawa atau ajaran Wisnu menjadi ajaran yang merakyat di Bali. Pada masa ini diyakini bahwa penduduk wilayah Lungsiakan lambat laun bisa menerima ajaran Waisnawa sebagai salah satu ajaran suci yang turut membentuk tata cara upacara upakara ditempat ini hingga sekarang. Hal ini bisa dilihat dari peninggalan petirtan yang banyak ditemukan disekitar wilayah Lungsiakan yang masih tetap disucikan dan difungsikan sebagai areal khusus dalam berbagai prosesi ritual masyarakat sampai saat ini.
Masa Pemerintahan Sri Dalem Waturenggong Jaya Kepakisan.
Ida Sri Dalem Ketut Semara Kepakisan menurunkan 2 orang putera laki-laki dan sudah beranjak dewasa, masing-masing bernama Ida Sri Dewa Watu Renggong, adiknya bernama I Dewa Gedong Arta. Ida Sri Dewa Waturenggong terpilih untuk menjadi raja dengan gelar Sri Dalem Waturenggong Jaya Kepakisan. Pada pemerintahan beliaulah kerajaan Bali mencapai masa jayanya, terkenal sampai ke daerah-daerah jauh. Saat itu di Jawa ada seorang Brahmana Buddha bernama Mpu Smaranatha, beliau mempunyai 2 orang putera laki-laki bernama Mpu Dhang Hyang Angsoka dan Mpu Dhang Hyang Nirartha. Ida Mpu Dhang Hyang Nirartha menikah dengan Ni Dewi Penataran di kerajaan Deha, mulai saat itu Mpu Dhang Hyang Nirartha berubah trah dari trah Buddha menjadi trah Siwa, mengikuti trah mertuanya. dari hasil pernikahan itu beliau mempunyai putera 2 orang laki perempuan, yang bernama Ni Dewi Sinarbhawa, yang kemudian menjadi Ida Bhatari Melanting. Adiknya bernama Ida Kemenuh, juga dikenal dengan nama Ida Agra Kulon. Dari kerajaan Deha Ida Mpu Dhang Hyang Nirartha kemudian mengungsi ke kerajaan Pasuruhan, disana beliau menikah dengan sepupunya, yang bernama Ni Dewi Manu, putri dari Ida Mpu Panawasikan. Dari hasil pernikahan itu beliau menurunkan 2 orang putera laki-laki, bernama Ida Wayan Angelor, adiknya bernama Ida Nyoman Lor. Setelah berdiam beberapa lama di Pasuruhan Ida Mpu Dhang Hyang Nirartha kemudian melanjutkan perjalanan beliau ke Blambangan, mengambil isteri, adik kandung dari Raja Blambangan, yang bernama Ni Dewi Patni Keniten, berputera 3 orang, laki dan perempuan, antara lain: Ni Dewi Swabhawa, Ida Wayahan Wetan atau Ida Telaga atau Ida Ender, Ida Nyoman Wetan. yang kemudian menurunkan Brahmana Keniten di Bali. Beberapa lama beliau tinggal di Blambangan bersama semua keluarga, sampai akhirnya beliau harus mengungsi dari Blambangan, karena beliau terkena pitnah, dituduh memasang guna-guna terhadap isteri Dalem Blambangan yang tergila-gila. Tujuan pengungsian beliau adalah Pulau Bali, menyeberang laut dengan menggunakan Waluh pahit, sedang isteri dan para putera menyeberang dengan menaiki perahu bocor.
Tidak diceritakan dalam perlayaran, sampailah Ida Mpu Dhang Hyang Nirartha beserta keluarga di Bali, rombongan merapat di Pantai Purancak. Perjalanan dilanjutkan, akhirnya sampailah beliau dan rombongan di Desa Gading Wani, pemimpin desa Gading Wani yang bernama Ki Bandesa Gading Wani memohon bimbingan kepada Ida Dang Hyang, setelah dirasa cukup pengetahuannya segera didiksa dengan gelar diksa Ki Dukuh Macan Gading, berangsur-angsur damailah desa Gading Wani. Diceritakan sudah cukup lama  Ida Dhang Hyang Nirartha tinggal di  desa Gading Wani, maka tersebarlah berita tentang kesaktian beliau sampai di Bhumi Mas, juga oleh pemimpin Mas yaitu Kyai Pangeran Mas, yang segera berangkat menghadap kepada Ida Dhang Hyang Nirartha di Gading Wani.  Kyai Pangeran Mas mohon anugerah Ida Mpu Dhang Hyang agar berkenan mampir di Bhumi Mas. Tidak diceritakan dalam perjalanan, sampailah rombongan Ida Dhang Hyang di Bhumi Mas. Disana kemudian dihaturi Pasraman oleh Kyai Bendesa Mas, juga dihaturkan putri beliau yang bernama Ni Ayu Kumitir sebagai penguriyagan agar diperisteri. Dari hasil pernikahan itu menurunkan seorang putera bernama Ida Bukcabe, sekian lama beliau mengamalkan dan menyebarkan ajaran suci di bumi Mas, sampai kemudian mendiksa Pangeran mas menjadi dwijati.
Di keraton Gelgel dikisahkan Dalem Ketut Waturenggong Jaya Kepakisan berkeinginan mengangkat Ida Sri Mpu Angsoka di Kediri, Jawa agar bersedia menjadi guru nabe Dalem Ketut Waturenggong. Akan tetapi Dhang Hyang Angsoka menolak dengan halus keinginan Dalem Waturenggong, karena di Bali sudah ada adik beliau yang bernama Ida Dhang Hyang Nirarta, sudah sangat paham dengan ajaran agama dan ilmu kesaktian. Dengan petunjuk dari Dhang Hyang Angsoka, Dalem Waturenggong kemudian mengirim Rakryan Dawuh Bale Agung sebagai utusan ke bumi Mas untuk menjemput Ida Dhang Hyang Nirartha. Rakryan Dawuh Bale Agung mendapatkan banyak petuah dari Ida Dhang Hyang tentang berbagai ilmu pengetahuan, sehingga saat Rakryan Dawuh mohon untuk didiksa, Ida Dhang Hyang berkenan mendiksanya. Rakryan Dawuh Bale Agung mengutarakan tujuan kedatangannya sebagai utusan Dalem Bali adalah untuk mengundang Ida Dhang Hyang agar berkenan berkunjung ke Swecapura di Gelgel. Ida Dhang Hyang berkenan dan segera berangkat diiringi oleh Rakryan Dawuh Bale Agung. Tidak diceritakan dalam perjalanan, tibalah rombongan di Gelgel, tetapi Ida Dalem Waturenggong sedang pergi berburu di hutan Padang. Segera Ida Dhang Hyang diantar oleh Rakryan Dawuh Bale Agung menuju desa Padang menyusul Dalem Baturenggong yang sudah beberapa hari membangun perkemahan di Silayukti. Tidak terkira marahnya Dalem Bali kepada Rakryan Dawuh Bale Agung yang dianggap tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik, karena lebih mementingkan diri sendiri, dari pada melaksanakan perintah Dalem.
Dalam perjalanan ulang dari Padang menuju Gelgel rombongan Dalem terhadang banjir di Sungai Unda, sehingga berhentilah kereta kerajaan kerajaan. Ida Dhang Hyang Nirartha merapalkan mantra sakti Aswa Siksa, sehingga dengan ajaib akhirnya rombongan Dalem Bali bisa menyeberangi sungai Unda, karena roda kereta yang dikendarai tidak tenggelam di banjir. Pada tahun 1489 Masehi, rombongan Dalem sampai di Swecapura, segera Ida Dhang Hyang dihaturkan tempat menginap di Taman Bagenda, tempat dimana Dalem Waturenggong dianugrahi banyak ilmu pengetahuan. Setelah dianggap lulus, Ida Dhang Hyang Nirartha berkenan mendiksa Ida Dalem Waturenggong menjadi Raja Rsi.
Penyerangan Dulang Mangap Bali ke Blambangan yang dipimpin oleh Kryan Ularan, Pangeran Bandesa dan Pangeran Gelgel terjadi pada tahun 1512 Masehi, berhasil menaklukan Blambangan setelah raja Blambangan tewas, disusul dengan penguasaan daerah Puger. Tahun 1520 Masehi, Ida Sri Dalem Waturenggong Jaya Kepakisan menyerang Sasak, karena banyaknya rakyat Sasak yang menjadi perompak di Selat Bali menganggu nelayan Bali ditengah laut. Setelah mengerahkan pasukan yang sangat banyak, di tahun 1460 Masehi, Sasak takluk di bawah kekuasaan Raja Bali. Pada  tahun 1478 Masehi, kerajaan Majapahit runtuh, sehingga mulai saat itu semakin cemerlanglah kerajaan Bali, banyak para cerdik pandai dari Jawa yang memutuskan untuk meninggalkan Jawa menghamba di Bali. Banyak kerajaan lain berkeinginan bersahabat dengan Kerajaan Bali, seperti Sumbawa, Madura, Bone dan yang lainnya, dengan tujuan menjalin kerjasama ekonomi disamping juga untuk mengamankan kerajaan masing-masing dari serbuan musuh. Ida Dalem Waturenggong mempunyai 3 orang putera, laki-laki dan perempuan, antara lain: I Dewa Pamayun, I Dewa Anom Sagening dan Sri Dewi Manik. Saat Dalem berpulang ke alam sunia, putera-putrinya masih semua belia, jadi roda pemerintahan di Gelgel dipegang oleh I Dewa Anggungan, putera dari I Dewa Tegal Besung. Dibantu oleh Ida Sri Dewa Gedong Arta, I Dewa Pagedangan, I Dewa Nusa dan I Dewa Bangli, dengan wilayah kekuasaan meliputi semua wilayah pulau Bali dan daerah-daerah taklukan. Khusus di Bali, raja mengangkat banyak senapati dan pangeran sebagai adipati di wilayah-wilayah yang berjarak cukup jauh dari kraton Gelgel. Para senapati ini dikenal dengan sebutan Anglurah yang setiap enam bulan sekali melaporkan keadaan daerah kekuasaanya kepada Dalem Bali. Mereka yang diberi kedudukan sebagai Angelurah adalah keturunan para arya yang berasal dari Kediri dan arya Bali yang merupakan keturunan dari para petinggi Raja Bali, Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Para Anglurah ini mempunyai kekuasaan dan tanggung jawab yang besar terhadap wilayah kekuasaanya masing-masing. Mereka yang mengatur kehidupan ekonomi, sosial dan budaya penduduk yang mendiami wilayah kekuasaanya.
Gejolak di Kraton Swecapura.
Dhalem Waturenggong mangkat tahun 1550 Masehi, putera-putera beliau masih semuanya berusia belia, sehingga sementara waktu pemerintahan dipegang oleh I Dewa Anggungan, dibantu oleh Rakryan Batan Jeruk. Sekarang dikisahkan Rakryan Batan Jeruk yang bersekutu dengan I Dewa Anggungan, berencana mengambil alih kekuasaan dengan membunuh para putera mahkota Swecapura. Rencana jahat itu didengar oleh Rakryan Kebon Tubuh yang segera mengungsikan ketiga putera Dalem Bali menuju desa Pekandelan dengan melobangi tembok, menyeberang dihalaman rumah Kryan Penulisan. Setelah Keraton dikuasai oleh pemberontak, tidak ditemukan ketiga putera Dalem didalam istana, Rakryan Batan Jeruk marah dan mengamuk membantai banyak para sahaya. Para Arya seperti Kyai Pinatih, Kyai Kapal, Kyai Abiansemal, Kyai Kebon Tubuh, Kyai Sukahet, Kyai Pegatepan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Pacung dan Kyai Brangsinga, segera berkumpul dan menangkap Kryan Batanjeruk dan berhasil memadamkan pemberontakan. Rakryan Batanjeruk akhirnya tewas tewas, Senapati perang pemberontak Ki Gusti Tusan bersembunyi dirumah pamanya, I Pande Tusan, I Gusti Bebengan dan I Gusti Gung Nangka bersembunyi di utara gunung, Kyai Prajurit bersembunyi di rumah Ki Pasek Manduang. I Dewa Anggungan menyerahkan diri kepada laskar Gelgel. Setelah pemberontakan Rakryan Batanjeruk berhasil dipadamkan, kepemerintahan di keraton Swecapura diatur oleh para punggawa Gelgel yang setia kepada Dalem Bali, menunggu para putera dalem dewasa.
Masa Ida Sri Dalem Pamayun.
Ida Sri Dewa Pamayun diangkat menjadi raja setelah dirasa cukup dewasa dibantu oleh adiknya yang bernama Ida Sri Dewa Anom Sagening. Setelah abhiseka bergelar Ida Sri Dalem Pamayun, tetapi beliau kurang cakap dalam memerintah. Ada banyak gejolak yang terjadi di Gelgel, seperti yang dilakukan oleh penguasa Kuta, I Gusti Ngurah Telabah yang menyertakan I Capung sebagai pembunuh yang tidak cepat diselesaikan sehingga berbuntut panjang, sampai hancurnya semua keluarga I Gusti Ngurah Telabah. Setelah cukup lama beliau memegang kekuasaan di Gelgel, beliau merasa tidak sanggup mengatur pemerintahan, dengan berbesar hati beliau kemudian meninggalkan Gelgel, membangun puri di Desa Kapal. Ida Sri Dalem Pamayun tidak mempunyai keturunan, itulah sebabnya beliau lebih dikenal dengan gelar Sri Dalem Bekung, yang artinya raja yang tidak mempunyai keturunan.
Ida Sri Dalem Anom Sagening Dharma Kepakisan.
Pada tahun 1580 Masehi, Ida Dalem Anom Sagening diangkat menjadi Raja Gelgel, dengan gelar Ida Sri Dalem Anom Sagening Dharma Kepakisan. Dalam masa pemerintahan beliau Kerajaan Gelgel mulai berwibawa dan menjadi kuat kembali. Tahun 1626 Masehi, kembali Dulang Mangap Bali menyerang Sasak yang ingin lepas dari kekuasaan Gelgel. Penyerangan itu dipimpin oleh Kryan Tabanan dan Kryan Tabah sementara pertahanan laskar Sasak dipimpin oleh Ki Kebo Mundar. Sasak dapat ditaklukan oleh Kryan Tabanan, sementara Kryan Tabah melarikan diri dari peperangan. Karena hal tersebut Kryan Tabah tidak diakui lagi sebagai ksatriya oleh Raja Gelgel. Ki Kebo Mundar yang menyerah masih diberikan wewenang untuk mengatur Sasak, dibawah kekuasaan Gelgel. Daerah Badung yang dulu diperintah oleh Kryan Tabah, dianugrahkan oleh Dalem Bali kepada Kyai Ngurah Tegeh Kuri, saudara dari Kryan Ngurah Tabanan yang kemudian membangun puri di Pemecutan.
Saat suatu hari Ida Dalem Sagening sedang berburu, karena kemalaman, akhirnya beliau dan rombongan menginap di puri Ki Pungakan, yang saat itu menjadi pemimpin di desa Manggis. Karena Dalem jatuh cinta kepada putri Ki Pungakan, jadilah kemudian putri Ki Pungakan hamil, menurunkan putera yang diberi nama I Dewa Manggis Kuning, diakui oleh Dalem sebagai putera beliau. Ida Sri Dalem Anom Sagening banyak mempunyai putera, yang beribu dari permaisuri antara lain; I Dewa Ayu Rangda Gowang dan Sri Dewa Dimadya. Putera beliau dari selir antara lain: I Dewa Lebah, I Dewa Karangasem, I Dewa Sumerta, I Dewa Blayu, I Dewa Bedulu, I Dewa Anom, I Dewa Cau, I Dewa Sidan, I Dewa Pasawan, I Dewa Meregan, I Dewa Kulit, dan I Dewa Kabetan.
Ida Sri Dewa Dimadya.
Ida Sri Dalem Sagening Dharma Kepakisan mangkat karena usia yang sudah lanjut, digantikan oleh putera beliau yang bernama Ida Sri Dewa Dimadya tahun 1665 Masehi, dengan gelar Ida Dalem Dimadya Buda Kepakisan. Di pemerintahan beliau kembali menurun wibawa kerajaan Gelgel, daerah taklukan Gelgel di Sasak dan Sumbawa sering diganggu oleh laskar Makasar. Daerah Blambangan diganggu oleh laskar Pasuruhan, sehingga ketiga wilayah kekuasaan Gelgel ini merasa tidak mendapat perhatian pengamanan dari kerajaan Bali. Kryan Patih Agung Manginte juga sudah berpulang karena usia lanjut, Digantikan oleh puteranya yang bernama Ki Gusti Agung Widia yang lebih dikenal dengan nama Ki Gusti Agung Maruti.
Pemberontakan Ki Gusti Agung Maruti.
Dikisahkan Ki Gusti Agung Maruti diangkat menjadi patih agung di Gelgel menggantikan kedudukan ayahnya, lama kelamaan ada rencana Ki Gusti Agung Maruti memberontak terhadap Dalem Gelgel, dimulai dengan mrnyrbarkan fitnah dikalangan pejabat yang membuat banyak Manca dan Angelurah memutuskan untuk  mengungsi keluar dari Gelgel, seperti: Kyai Tabanan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Kebon Tubuh, Kyai Pinatih, Kyai Mambal, Kyai Tegeh Kori. Sedangkan Kyai Pungakan Den Bancingah kembali ke desa Minaluah, membawa keris pusaka anugerah Dalem Bali yang bernama Ki Lobar. Tahun 1686 Masehi Ki Gusti Agung Maruti mengerahkan pasukan menyerbu kedalam Keraton. Tetapi sebelumnya Dalem Dimadya sudah diungsikan oleh I Dewa Pungakan, dibawa mengungsi ke Guliang dengan dikawal oleh para Mantra dipimpin oleh Kyai Brangsinga dan Kyai Pungakan Den Bancingah. Tanpa perlawanan yang berarti, pasukan pemberontak segera bisa menguasai keraton Swecapura. Ki Gusti Agung Maruti mendaulat dirinya sebagai penguasa Gelgel bersama dengan pengikut-pengikut setianya hingga tahun 1722 Masehi. Para Angelurah yang dulunya setia kepada Gelgel satu per satu melepaskan ikatannya dengan Gelgel dan mendaulat dirinya sebagai raja pada wilayah kekuasaannya dan tidak sudi tunduk dibawah pemerintahan Ki Gusti Agung Maruti.
Ida Sri Agung Jambe, raja pertama Smarapura.
Ida Sri Dalem Dimadya Buda Kepakisan mangkat di istana Guliang karena usia yang sudah lanjut, beliau menurunkan 2 orang putera laki-laki. Yang sulung bernama I Dewa Agung Pamayun, adiknya bernama I Dewa Agung Jambe. Ida Sri Dewa Pamayun didaulat untuk menggantikan ayahnya sebagai raja, tetapi beliau menolak karena merasa hanya tertarik untuk mempelajari sastra. Dengan ijin dari kakaknya, Ida Sri Agung Jambe berangkat menuju puri Ida Angelurah Singarsa di desa Sideman, membawa semua alat-alat kebesaran kerajaan Gelgel dengn tujuan menggalang kekuatan dengan penguasa Sideman untuk bersama-sama merebut kembali Gelgel dari kekuasaan Maruti. Usaha merebut kembali Gelgel oleh Ida Sri Agung Jambe didukung oleh Ki Gusti Ngurah Agung Singarsa, Kyai Agung Dawuh, Kyai Abian Tubuh, Kyai Dewa Pungakan. Penguasa Badung dan Penguasa Buleleng yang sangat setia kepada Gelgel juga memberikan dukungan, sebagian besar rakyat Bali semenjak lama sudah sangat ingin memiliki pemimpin yang sesuai, menggantikan I Gusti Agung yang dianggap tidak layak menjadi penguasa Bali. Setelah mempersiapkan semua perbekalan dan mengatur strategi perang, segera laskar dari Sideman dan Dawan menyerang keraton Gelgel. Penyerangan ini juga mendapat bantuan dari Buleleng, Laskar Perang Teruna Goak yang termasyur dibawah pimpinan langsung Ki Gusti Panji Sakti menggempur Gelgel dari arah utara. Dari arah selatan laskar Badung dengan jumlah yang tidak terbilang menyerbu pasukan pemberontak dipimpin langsung oleh Ki Gusti Ngurah Jambe Pule. Tidak dapat diceritakan bagaimana serunya pertempuran yang terjadi, pada sebuah kesempatan Ki Gusti Ngurah Jambe Pule bertarung dengan Ki Gusti Agung Maruti. Kyai Padang Kerta bertarung dengan patih Ki Gusti Panji Sakti yang bernama Kyai Tamblang, kalah Kyai Padang Kerta, gugur dalam pertempuran. Berselang beberapa saat setelah Kyai Padang Kerta tewas, pimpinan yang lainnya, seperti: Ki Gusti Agung Cau, Kyai Nidul, Kyai Kloping, dan Ki Pasek Gelgel melarikan diri ke Jimbaran, bersembunyi di rumah Ida Wayan Petung Gading.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama Gelgel berhasil direbut kembali dari tangan pemberontak, Ida Sri Agung Jambe menghaturkan kraton Swecapura Gelgel yang sudah berhasil direbut kembali kepada kakak Beliau, tetapi Ida Sri Dewa Pamayun tidak bersedia beristana kembali di Gelgel, beliau lebih memilih berpuri di Bukit Tampaksiring dengan pengiring sebanyak 200 orang. Dianggap sudah tercemar oleh para pemberontakan, Ida Sri Agung Jambe juga tidak mempunyai keinginan kembali berpuri di keraton Swecapura Gelgel, bersama seluruh pengikut beliau membangun pusat pemerintahan di Klungkung, kraton yang selesai dibangun tahun 1710 Masehi ini dinamakan Semarapura. Ida Sri Agung Jambe mangkat pada tahun 1775 Masehi meninggalkan tiga orang putera masing-masing I Dewa Agung Dimade yang meneruskan pemerintahan ayahandanya di kraton  Semara Pura Klungkung. I Dewa Agung Anom Sirikan yang mendirikan kerajaan Sukawati kemudian dikenal dengan nama Dalem Sukawati dan I Dewa Ketut Agung yang berpuri di kraton Sweca Pura Gelgel. Dihentikan dahulu cerita tentang pemerintahan di Swecapura dan Smarapura.
Masa Kekuasaan Mengwi.
Pada kisaran tahun 1600 hingga 1700 Masehi muncul beberapa kekuatan baru dari para Arya yang membentuk Negari kecil atau kerajaan kecil dimulai dari penguasaan Gusti Agung terhadap kraton Gelgel. Salah satu Negari yang sangat kuat adalah Mengwi, dengan raja bernama I Gusti Agung Putu yang dikabarkan mendapatkan banyak anugerah pusaka dari Ida Bhatara di Gunung Mangu. Atas perkenan Ida Sang Hyang Widhi dengan berbekal banyak pusaka sakti I Gusti Agung Putu membawa Mengwi menjadi penguasa wilayah yang sangat luas. Menurut Babad Kaba-kaba sekitar tahun 1686 Masehi wilayah kekuasaan Mengwi meliputi Kaba-kaba, Marga batas barat sampai sungai Yeh Panah. Batas Selatan Sampai Bukit Jimbaran, termasuk Pura Luhur Uluwatu. Batas timur sampai Sungai Petanu, batas utara sampai Gunung Beratan. Bahkan Mengwi yang beribukota kerajaan bernama Kawyapura ini juga menguasai wilayah Blambangan di Jawa Timur.
Banyak juga wilayah-wilayah lain di Bali yang menjadi daerah kekuasaan dari kerajaan Mengwi. Daerah Lungsiakan memasuki babak baru, sebagai wilayah dari kerajaan Mengwi bagian timur. Pemerintahan Mengwi yang sangat mengandalkan hasil sawah dan kebun dalam menopang kerajaan, membangun banyak saluran irigasi bagi wilayah-wilayah yang dikuasai. Banyak Dam atau bendungan yang dibangun dalam usaha mensejahterakan masyarakat, saluran-saluran irigasi dibangun dan ditata dengan baik sehingga wilayah-wilayah dalam kekuasaan kerajaan Mengwi memiliki sawah-sawah dan tegalan yang subur serta menghasilkan bahan pangan sangat berlimpah.
Keseriusan pemerintahan dinasti Mengwi dalam membangun wilayah pertanian membuat kerajaan ini sangat cepat berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dan kuat berkisar antara tahun 1736 hingga tahun 1767 Masehi. Menurut Henk Schulte Nordholt, selain membangun banyak sekali bendungan, dinasti Mengwi juga menepatkan para Bangsawan Mengwi di daerah-daerah kekuasaanya seperti yang tampak pada gambar di atas. Mengwi memiliki 3 aliran sungai besar sebagai pokok irigasi, antara lain Sungai Sungi, Sungai Penet dan Sungai Ayung. Raja Mengwi memerintahkan para pengikutnya di seluruh wilayah kekuasaan Mengwi untuk membangun banyak pura khusus yang difungsikan sebagai tempat memuja Tuhan dan pemujaan terhadap leluhur.
Masa Kekuasaan Sukawati dan Ubud.
Pada sekitar tahun 1713 wilayah sebelah timur Sungai Ayung dipersembahkan oleh Raja Mengwi kepada I Dewa Agung Klungkung sebagai bukti Mengwi mengakui I Dewa Agung Klungkung sebagai penguasa Bali. Oleh I Dewa Agung Klungkung wilayah tersebut dianugerahkan kepada putra beliau yang bernama I Dewa Agung Anom yang kemudian mendirikan Kerajaan Sukawati dengan  nama abhiseka Sri Aji Maha Sirikan, atau Sri Aji Wijaya Tanu atau dikenal oleh masyarakat sebagai Dhalem Sukawati. Dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, Sungai Pekerisan sebagai batas wilayah timur, Pantai Gumicik sebagai batas selatan, Sungai Ayung sebagai batas barat, dan pegunungan Batur sebagai batas utara, seperti yang tertuang dalam pustaka Babad Timbul, Babad Durmanggala, Babad Dalem Sukawati dan babad-babad yang lain. Ida Sri Dewa Agung Dalem Dimadya yang berkuasa di keraton Smarapura menganugrahkan pusaka Ki Baru Gagak dan pusaka Ki Malela Dawa kepada Sri Aji Wijaya Tanu sebagai bekal spirit dalam mengatur pemerintahan di Timbul. Dalam memegang pemerintahan Sri Aji Wijaya Tanu didampingi oleh permaisuri beliau yang bernama Gusti Ayu Agung Ratu yang merupakan putri dari Ki Gusti Agung Angelurah Made Agung, penguasa Mengwi saat itu. Perjalanan Sri Aji Wijaya Tanu dari Smara Pura menuju Timbul membawa serta pengiring pilihan dari Klungkung dipimpin oleh Kyai Agung Ngurah Singharsa yang sebelumnya merupakan tangan kanan dari Raja Dewata Sri Dewa Agung Dalem Jambe. Jumlah pengiring beliau yang sangat banyak dari Smarapura terdiri dari wangsa Brahmana, Ksatria, Para Gusti, Para Arya, Wesya, Pasek, Bandesa, Kubayan, Gaduh, Tangkas, Gunaksa, Dangka, Ngukuhin, Senggu, Pande, Sanging, Undagi, Pengukiran, dan Kahula Wisuda.
Setelah sekian lama Sri Aji Wijaya Tanu menjadi raja di Timbul, adalah lahir putra-putra beliau, dari permaisuri lahir I Dewa Agung Jambe, I Dewa Agung Karna dan I Dewa Agung Mayun. Setelah Sri Aji Wijaya Tanu mangkat ke sunia loka, digantikan oleh putra beliau yang bernama I Dewa Agung Mayun pada tahun 1733 Masehi dengan gelar raja Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun. Kedua putra beliau yang lain memilih untuk menjalankan Dharma Kepanditan dan Nyukla Brahmacari, Dewa Agung Jambe memutuskan berpuri di Geruwang atau Puri Guwang sekarang, sementara Dewa Agung Karna melaksanakan Dharma Brahmacari di Puri Ketewel, beliau sangat gemar membuat tapel yang kemudian diyakini memiliki kekuatan magis maha tinggi. Pada masa pemerintahan Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun di Sukawati dari tahun 1733 sampai tahun 1757 Masehi, Dalem Agung Pamayun banyak memerintahkan penduduk kekuasaan Sukawati untuk membangun pura-pura juga memugar kembali pura-pura kuno yang sudah berdiri sebelum pemerintahan beliau. Banyak dana kerajaan yang juga dikeluarkan untuk menyelenggarakan upacara-upacara besar di berbagai pura wilayah kekuasaan Sukawati. Laporan politik dan budaya J. Moser tahun 1808 yang kemudian dibukukan memuat data data tentang upaya pemerintahan raja-raja Bali pada kurun waktu 1740 sampai dengan 1800 Masehi dalam usaha membangun, memugar dan membuat upacara-upacara besar pada pura, puri, pasar, alun-alun dan tanah pekuburan.
Pemugaran dan pemeliharaan terhadap kayangan-kayangan tua, peninggalan Bali Kuno dan peninggalan leluhur pada masa Samprangan, Gelgel dan Klungkung terus dilaksanakan disamping pemetaan wilayah kekuasaan Sukawati yang mencakup daerah sangat luas. Pada masa ini selain dam, subak dan hutan kerajaan, jumlah kayangan juga menjadi ukuran sosial besarnya sebuah dinasti. Analisa awal para penekun bahasa yang tergabung dalam himpunan penekun aksara dan bahasa Sankrit, Jawa Kuno dan Bali Kuno, memperkirakan bahwa kata Lungsiakan berasal dari dua kata, “Alung”  yang artinya bertunas, menjulur, lentur, lemas atau luwes, dan kata “Syak” yang artinya suara yang ditimbulkan akibat gerakan seperti kepakan sayap, serta akhiran “an” yang merupakan partikel penghubung.  Dari asal kata yang ditemukan dihubungkan, kemungkinan yang dimaksud dengan kata “Lungsiakan” adalah tanaman menjulur yang sangat banyak dan lemas, ditiup angin menimbulkan suara seperti kepakan burung terbang. Analisa ini diyakini mendekati kebenaran karena jumlah kata dasar dari kata Lungsiakan terdiri dari 2 kata dasar dan sudah memasukkan unsure partikel penghubung yang menandakan bahwa kata Lungsiakan dibuat pada masa kesusastraan Bali masa kentalnya pengaruh kosa kata dari bahasa Jawa Kuno yang banyak mengambil kosa kata Sankertha. Data lapangan yang berhasil dihimpun dari penuturan beberapa tetua, para penekun satra Bali modern dan masyarakat, kemungkinan kata “Lungsiakan” berasal dari 2 kata, “Lung” yang atinya patah, dan kata “Syak” atau “syag” yang artinya retak atau pecah. Beberapa kalangan memberikan analisa bahwa kata Lungsiakan berasal dari kata “Luhung” dan “Siakan” yang konon artinya sebuag tempat utama yang mampu menciptakan ketenangan pikiran. Ketiga kemungkinan asal kata dari nama desa Lungsiakan itu sama-sama masih perlu kajian mendalam dikemudian hari, sehingga mendapat kesepakatan analisa yang bisa dipakai sebagai pedoman satu-satunya tentang sejarah desa Lungsiakan.
Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun menjadi raja yang sangat bijaksana di Sukawati, beliau menurunkan putra antara lain dua putra dari dampati Ida Sri Dewa Agung Istri Mengwi bernama: Ida Dewa Agung Gede Putra dan Ida Dewa Agung Made Putra. Ada juga putra-putri beliau yang lahir dari Penawing, antara lain: Ida Cokorda Ngurah, Ida Cokorda Karang, Ida Cokorda Anom, Ida Cokorda Tiyingan, Ida Cokorda Tangkeban, Ida Cokorda Ketut Segara, Ida Cokorda Rai Lengeng, Ida Cokorda Gunung dan seorang putri yang kemudian setelah dewasa diperisteri oleh Ida I Dewa Manggis Gredeg di Puri Gianyar. Setelah para putera beliau dewasa, Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun menyerahkan tahta kerajaan kepada Ida Dewa Agung Gede Putra pada tahun 1757 Masehi. Selanjutnya beliau memilih untuk menyepi di Puri Petemon sampai mangkat, sehingga beliau dikenal dengan gelar Dalem Petemon.
Pertentangan berkepanjangan terjadi antara Ida Dewa Agung Gede Putra dengan Ida Dewa Agung Made Putra yang menyeret para pengikut beliau masing-masing dalam sebuah situasi yang sulit dalam menentukan pilihan. Akibat pergolakan politik itu sampai-sampai Puri Sukawati sempat dikuasai oleh Ki Gusti Munang dari Puri Grenceng Badung. Raja Ida Dewa Agung Gede Putra sampai mengungsi ke Puri Ki Gusti Ngurah Jelantik di Tojan. Setelah sekian lama berseteru pada akhirnya kedua bersaudara bisa bersatu, mengumpulkan kekuatan lalu melakukan penyerangan dan berhasil mengusir I Gusti Munang dan para pengikutnya dari Sukawati dan mengembalikan kedudukan Ida Dewa Agung Gede Putra menjadi raja di Sukawati. Semua saudara dari raja Sukawati kemudian membangun puri di daerah-daerah kekuasaan Sukawati masing-masing mempunyai daerah dan pengikut dan rakyat masing-masing. Dalam masa gejolak politik yang panas ini, daerah Bali Tengah seperti Sukawati, Peliatan, Tegallalang, Ubud dan beberapa daerah lain juga sering terkena bencana alam. Pada Rabu Umanis wuku Kulantir tahun Saka 1737 atau tanggal 22 November 1815 terjadi gempa bumi pada menjelang tengah malam, karena kerasnya kekuatan gempa membuat beberapa pura dan bendungan rusak parah seperti yang diungkap oleh naskah kuno yang tersimpan di Puri Ayodya Singaraja.
Laporan politik dan budaya J. Moser 1808 banyak menuliskan tentang berbagai kegiatan politik yang terjadi disekitar wilayah bekas kekuasaan Sukawati diantaranya adalah wilayah-wilayah perbatasan yang masih berstatus abu-abu akibat terpecahnya kekuatan Sukawati menjadi 2 bagian, antara Puri Agung Sukawati dan Puri Peliatan. Terutama sekali dengan kegiatan-kegiatan ritual yang diadakan, wiku yang menjadi pemimpin upacara dan undangan yang bersifat sangat khusus menandakan hirarki kekuasaan secara tak langsung. Pajak dan upeti seperti menjadi bagian yang tidak terlalu penting bagi penguasa dalam kaitan ikatan ritual dan upacara-upacara keagamaan. Penduduk desa Lungsiakan yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani mengalami masa-masa sulit pada awal-awal abad 18 hingga pertengahan. Dimulai dengan Gagal panen yang terjadi akibat serangan hama tikus pada tahun 1862, setahun kemudian penyakit kolera dan cacar menyerang desa. Wabah kekurangan pangan dialami oleh masyarakat desa akibat gagal panen di tahun 1868 menyebabkan ratusan orang meninggal. Wabah Kolera dan Cacar menyerang sebagian besar desa-desa di Bali tengah hingga tahun 1885 menewaskan ribuan penduduk yang terjangkit. Laporan Politik Van Eck dan Van Vlijmen menuliskan semua tentang wabah mengerikan seperti hantu yang menyerang desa-desa tua di Bali, terutama wilayah Bali Tengah dan Bali pesisir. Belum lagi dengan terjadinya gempa bumi pada tahun 1888 yang mengguncang Bali membuat penderitaan masyarakat Bali pada tahap yang sangat memprihatinkan. Catatan penulis Belanda yang bernama A.M. Hocart menggambarkan situasi genting yang terjadi di wilayah ini sudah menepatkan keberadaan pura-pura tua dan dam atau bendungan menjadi sangat penting dalam sisitem sosial untuk mencari kesejahteraan masyarakat.
Ubud menjadi sebuah wilayah yang berkembang dengan sangat pesat dimulai pada paruh tahun 1886, dibawah kepemimpinan Tjokorda  Gde Sukawati yang mempunyai pertalian saudara dengan Puri Tegallalang dan Puri Peliatan, seperti laporan Residen ke Batavia tanggal 23 Januari 1889. Pada bulan Mei 1891 Ubud dibantu laskar Mengwi menyerang dan menaklukan Negara, Puri Negara dibumi hanguskan rata dengan dengan tanah, hal ini membuat wilayah-wilayah Negara mengakui kekuasaan Ubud. Laporan Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25-5-1893, laporan Residen bulan Desember 1896, laporan Contoleur  J.C Van Erde tanggal 1-6-1897 masing masing menggambarkan penguasa Ubud terus memperluas wilayahnya ketenaran Cokorda Gde Sukawati telah menyebar jauh dan luas, beliau selalu menemani pasukannya dalam setiap pertempuran, beliau menggunakan mahkota dari emas bertahtakan mutiara, seringkali beliau menghabiskan malamnya di pura-pura, sehingga dipastikan kemuliaan beliau berasal dari kesucian pikiran dan hatinya, banyak keris pusaka beliau dapatkan di berbagai pura tua di Bali, sehingga beliau seperti mendapat restu dari Dewa untuk memimpin pertempuran.
Babad Mengwi Lambing dan laporan politik Controleur J.P Van Eerde, tanggal 13 Desember 1896 mencatat pada tahun 1892 dua orang bangsawan yang sangat berpengaruh di Mengwi, yaitu Anak Agung Kerug dan Anak Agung Pekel melarikan diri dari Mengwi dan meminta suaka di Ubud mengikuti pelarian putra mahkota Mengwi yang bernama Anak Agung Gde Agung. Pelarian ini membawa tidak kurang dari 6000 pengiring setia. Para pengikut setia inilah yang menepati daerah-daerah perbatasan Ubud dengan membangun pemukiman dari utara ke selatan sepanjang sungai Ayung, mereka dilengkapi dengan senjata-senjata bertuah dan bedil-bedil sehingga fungsinya lebih mendekati Benteng pertahanan dari pada pemukiman penduduk. Para Ksatria Mengwi tersebut kemudian ditempatkan di Puri Kelodan yang khusus dibangun pada tahun 1892. Ubud juga mendirikan Giriya khusus bagi pendeta Mengwi yang ikut mengungsi ke Ubud, dinamakan Giriya Pamaron. Tahun 1893 setelah Puri Carangsari dan Petang melepaskan diri dari Bangli dan bergabung dengan Ubud, seluruh wilayah timur laut bekas kekuasaan Mengwi menjadi wilayah kekuasaan Tjokorda Gde Sukawati. Laporan politik Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25 Mei 1893. Tjokorda Gde Sukawati, penguasa Ubud mendapat kemasyuran dengan mengembangkan wilayahnya dari 40 desa menjadi 130 desa dan bersama-sama sekutunya berhasil memobilisasi 18.000 pengikut, dengan menguasai sebagian bekas kekuasaan Mengwi dan beberapa bagian daerah Gianyar pada awal tahun 1896, tertuang dalam laporan politik Controleur J.C. van Eerde tanggal 13-12-1896. Dari 130 nama desa yang bergabung dalam kekuasaan Ubud salah satunya adalah Lungsiakan, secara pemerintahan, desa Lungsiakan berada dibawah kendali Mancagra Kedewatan, setelah wilayah ini berhasil direbut kembali dari Mancagra Satelit dari bentukan kerajaan Mengwi sebelumnya.
Daerah Kedewatan, Mas, Sakah, Singapadu, Samu dan Kengetan yang dalam garis kekuasaan masuk wilayah bawahan Sukawati kurang mendapat perhatian dari para pejabat kerajaan, akibat panasnya pergolakan politik yang mengguncang kraton Sukawati dan Peliatan, hal itu yang menyebabkan para tetua desa-desa tersebut lebih sering menghadap ke Puri Ubud dalam kaitan penyelenggaraan upacara Panca Yadnya. Hal ini terjadi karena penguasa Ubud dalam rentang tahun 1870 hingga 1919 sangat berpangaruh terhadap desa-desa kekuasaan Sukawati, Peliatan, Mengwi dan Payangan, hampir semua pemimpin desa tersebut sangat loyal kepada penguasa Ubud. Tidak jarang pada masa itu Tjokorda Rai Batur dan penerusnya, yaitu Tjokorda Gde Sukawati menjadi tamu kehormatan dalam perayaan upacara-upacara besar disamping para penguasa daerah yang bersangkutan.
Masa Peralihan Kekuasaan Belanda-Jepang.
Peran Kekuasaan Belanda sangat kuat di daerah Bali dengan diangkatnya Van Heutsz sebagai Residen Bali Lombok pada tahun 1905 yang kemudian membuat kebijakan di tahun 1909 yang membagi wilayah Bali Selatan menjadi Divisi Administratif dibawah seorang Asisten Residen dan terdiri dari 6 sub wilayah, Karangasem, Bangli, Gianyar, Klungkung, Badung dan Tabanan, masing-masing dengan satu Controleur. Setiap daerah dipimpin oleh seorang Punggawa yang biasanya diangkat dari golongan kerajaan sebelumnya. Bali selatan berada dalam wilayah kekuasaan Residen Bali dan Lombok yang berdomisili tetap di Singaraja  tertuang dalam laporan Residen G.F. de Bruyn Kops tahun 1909.
Pura-pura di wilayah desa Lungsiakan yang dipugar pada pertengahan pemerintahan Sukawati sudah pula mengalami berbagai pemugaran pada palinggih-palinggihnya dilanjutkan dengan upacara-upacara yang bersifat besar maupun kecil. Sebuah catatan kuno yang ditulis oleh H.U. van Stenis mengungkapkan tentang gempa dahsyat yang melanda Bali Selatan pada tanggal 21 Januari 1917, walaupun berlangsung kurang dari lima puluh detik, tetapi cukup mengakibatkan kehancuran rumah-rumah, pura, puri tak terhitung jumlahnya, banyak jalan, bendungan yang jebol. Gempa yang menelan korban mencapai lebih dari 1.350 orang ini juga merobohkan dan menghancurkan pemukiman dan pura-pura di desa Lungsiakan, tidak terhitung jumlah penduduk yang menjadi korban. Ida Pedanda Ngurah Blayu juga mengisahkan kehancuran wilayah Bali, seperti yang tertuang dalam sastra Bhuwana Winasa yang beliau tulis pada tahun 1918, dimana beberapa bagiannya memuat tentang diserangnya sawah-sawah penduduk oleh hama tikus dan peperangan dikalangan orang-orang bersaudara dan menghancurkan Negara Bali disebabkan karena masyarakat Bali tidak lagi mengidahkan upacara di Pura Besakih. Tahun-tahun selanjutnya desa Lungsiakan benar-benar berada dalam situasi yang sangat sulit, wabah penyakit silih berganti menyerang penduduk, hama tikus menyebabkan gagal panen membuat masyarakat harus benar-benar hidup dengan sangat seadanya untuk menyesuaikan diri. Controleur Gianyar H.K. Yakobs menuliskan dalam buku laporanya bahwa masyarakat miskin dengan cepat bertambah di desa-desa yang sebelumnya hidup berkelimpahan. Pada Tahun 1930 wabah kekurangan pangan menyebar dengan lebih cepat sehingga banyak yang sampai meninggal akibat kelaparan. Nilai mata uang Belanda (1 rix-dolar) pada tahun 1931 mencapai 1.375 kepeng sampai dengan 1.785 kepeng Bali. Puncak dari krisis yang dialami Bali adalah tahun 1934 nilai tukar 1 rix-dolar mencapai angka 2.300 kepeng uang Bali. Bali menjadi wilayah administratif resmi kolonial Belanda pada tahun 1909, dengan wilayah meliputi seluruh pulau Bali.
Ketegangan politik antara Jepang dan Sekutu di Asia Tenggara mulai terjadi pada tahun 1941, Jepang mulai sedikit demi sedikit menguasai pasar di Bali, Toko-toko kelontong Jepang tumbuh bagai jamur di musim hujan, sangat laris karena barang-barangnya jauh lebih murah dari barang-barang Eropa. Tanggal 8 Desember 1941 meletus perang Pasifik, tentara Jepang menghancurkan pangkalan udara Pearl Harbour di kepulauan Hawai. Belanda dan sekutunya menyatakan perang melawan Jepan, Bali yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Hindia Belanda tentunya juga terimbas oleh peraturan-peraturan keadaan darurat perang. Masyarakat Bali masih seperti biasa melaksanakan kegiatan sehari-harinya, diakibatkan sedikit sekali media yang menerangkan tentang peperangan yang sedang berkecamuk antara Jepang dan Sekutu. Perang Pasifik mungkin hanya didengar oleh golongan-golongan intelektual dan keluarga para raja saja, sehingga tidak terlalu merisaukan masyarakat secara luas.
Bagian pasukan Kononklijk Nederlands Indisch Leger atau KNIL yang dibentuk di Bali dengan nama Prayoga yang terdiri dari 1000 orang direkrut dari pemuda-pemuda Bali yang cakap disebarkan di 4 tangsi : Buleleng, Karangasem, Badung dan Gianyar. Mereka yang ditugaskan untuk mempertahankan Bali dari serangan Jepang oleh Angkatan Darat Kerajaan Belanda dibantu oleh seluruh rakyat Bali. Tanggal 18 Februari 1942 Tentara Jepang mendarat di Sanur dengan jumlah yang sangat besar, setelah mengebom lapangan udara di Tuban terlebih dahulu. Tentara KNIL semua lari meninggalkan posnya masing-masing dengan ketakutan, sehingga dengan cepat Jepang berhasil menguasai Denpasar dan mengakhiri kekuasaan Belanda di Bali. Suasana kondusif masih terasa di wilayah swapraja Gianyar, penduduk seakan acuh tak acuh dengan perkembangan politik saat itu, mereka melakukan kegiatan kehidupannya dengan normal. Tanggal 8 Maret 1942, Stasiun pemancar radio resmi Belanda, Nirom menyiarkan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada Jepang sekaligus mengakhiri Pasifik dan masa kekuasaan Belanda terhadap Bali.
Desa Lungsiakan yang sebelumnya mengalami kerusakan parah akibat gempa tidak bisa dipugar sebagaimana mestinya, karena situasi politik swapraja Gianyar yang tidak kondusif. Masih banyak desa-desa yang rusak, pura-pura yang hancur hingga ditumbuhi rumput liar dan tanaman menjalar. Penduduk masih bingung dengan apa yang harus mereka lakukan berkaitan dengan pura-pura yang ada di wilayahnya. Situasi ini dipengaruhi oleh terkonsentrasinya para pemimpin swapraja dalam peralihan kekuasaan antara Hindia Belanda kepada Jepang. Para Punggawa dan Sedahan yang biasanya secara langsung memberi perintah untuk melakukan perbaikan pura, jalan atau bendungan tidak berani mengambil keputusan yang tegas, masih menunggu siatuasi politik menjadi tenang.
Pemerintah militer Jepang mengakui kerajaan-kerajaan di Bali dengan membentuk badan Panitia kerajaan terdiri dari Punggawa, Sedahan Agung dan seorang wakil dari Raja yang digaji oleh pemerintah Jepang. Jepang menepatkan seorang wakilnya di masing-masing swapraja dengan nama Syutjo yang bertugas mengamati perkembangan di masing masing swapraja. Syutjo ini menggantikan kedudukan para Controleur pada jaman Hindia Belanda, menjadi pejabat setingkat Bupati. Jepang memulai pemerintahan tangan besinya di Bali dengan menebar Polisi Militer yang diberi nama Kempetai yang bertindak aktif tanpa pandang bulu. Selama pemerintahan Militer Jepang, keadaan Masyarakat Bali yang sudah sulit, menjadi semakin sulit, banyak tentara yang sewenang-wenang terhadap rakyat kecil, merampas, menyiksa dan menangkap masyarakat yang dianggap melawan Jepang. Perhatian terhadap pasilitas umum seperti bendungan, jalan, pasar dan pura sangat minim. Bendungan banyak yang jebol, jalan rusak, pasar sepi tidak terurus dan pura-pura terbengkelai. Hal ini juga berlangsung setelah kemerdekaan dan tahun-tahun awal pemerintahan Republik Indonesia.

Masa Kemerdekaan dan Kekinian
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Bali yang merupakan bagian dari Republik Indonesia masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri sebagai daerah yang merdeka. Banyak usaha-usaha pemberontakan yang harus dipadamkan oleh pemerintah Indonesia, juga gerakan-gerakan pengacau keamanan Republik sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Belum lagi campur tangan Belanda yang masih dirasakan oleh masyarakat Bali yang mendompleng pada kesatuan tentara PBB. Tanggal 7 sampai dengan 24 Desember 1946 dilaksanakan Konferensi Denpasar di pendopo Bali Hotel dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook bertujuan membentuk Negara Indonesia Timur dengan ibukota Makasar.
Susunan pemerintahan Bali dikembalikan seperti pada jaman raja-raja dulu, pemerintahan dipimpin oleh Raja dibantu Patih, Punggawa, Prebekel dan pemerintahan paling bawah diatur oleh Kelian. Di atas pemerintahan raja ada dibentuk juga Dewan Raja-Raja. Setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia lewat berbagai diplomasi dengan Belanda, Bali menjadi provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur, dimulai dari
1.      Anak Agung Bagus Sutedja (1950-1958),
2.      I Gusti Bagus Oka (1958-1959),
3.      Anak Agung Bagus Sutedja (1959-1965),
4.      I Gusti Putu Mertha (1965-1967),
5.      Soekarmen (1967-1978),
6.      Ida Bagus Mantra (1978-1988),
7.      Ida Bagus Oka (1988-1998),
8.      Dewa Made Beratha (1998-2008)
9.      I Made Mangku Pastika (2008- 2018),
10.  I Wayan Koster (2018- Kini).
Sementara Kabupaten Gianyar juga mengalami beberapa kali perubahan pemimpin (Bupati) antara lain:
1.      Anak Agung Gede Raka (1950-1960)
2.      Tjokorda Ngurah (1960-1963)
3.      Drh Tjokorda Dalem Pudak (1963-1964)
4.      I Made Sayonga (1964-1864)
5.      I Made Kembar Kerepun (1964-1969)
6.      Anak Agung Gde Putra, SH (1969-1983)
7.      Tjokorda Raka Drana, SH (1983-1993)
8.      Tjokorda Gde Budi Suryawan, SH (1993-2003)
9.      Anak Agung Gde Agung Bharata, SH (2003-2008)
10.  Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (2008-2013)
11.  Anak Agung Gde Agung Bharata, SH (2013-21 Februari 2018)
12.  I Made Agus Mahaystra (21 Februari 2018- sekarang)

Bab VII
Desa Pakraman Lungsiakan.
Desa Adat Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud  terdiri dari 2 tempekan, Tempek Kauh dan Tempek Kangin. Batas-batas wilayah desa sesuai dengan Awig-awig Desa Pakraman adalah:
1.      Tukad Yeh Wos di sebelah Timur
2.      Desa Adat Kedewatan di sebelah Barat
3.      Desa Adat Payogan di sebelah Utara
4.      Desa Adat Penestanan di sebelah Selatan
Berada pada kordinat -8492803 LS, 115253442 BT, dengan sebagian besar wilayah berupa perbukitan dan lembah, diapit oleh 2 sungai besar dikanan dan kiri desa. Tekstur tanah desa sebagian besar batu padas pada tebing-tebing pinggiran sungai, tanah liat di beberapa bagiannya dan didominasi oleh tanah subur pada sebagian besar wilayah desa.
Seperti yang termuat dalam Awig-awig Desa Adat Lungsiakan yang dimaksudkan sebagai warga adat adalah penduduk yang beragama Hindu, mendapatkan hak menepati tanah ayahan desa, atau penduduk yang sudah menetap atau tinggal sementara di wilayah adat desa Adat Lungsiakan. Krama Adat Lungsiakan terdiri dari kurang lebih 73 tanah ayahan desa, dengan jumlah penduduk kurang lebih 337 jiwa. Dengan struktur pengurus Banjar Lungsiakan sebagai berikut: Kelihan Banjar Adat / Dinas dijabat oleh Anak Agung Gde Raka Suteja,SE, dibantu oleh  Penyarikan,  I Wayan Sudirja dan Angga raksa, I Made Sunia.
Desa Pakraman Lungsiakan mempunyai pengurus yang mengatur karma dalam melaksanakan kegitan-kegiatan yang berkaitan dengan adat, upacara dan upakara di Desa Lungsiakan. Antara lain: Bendesa: I Nyoman Jaya, Petajuh: I Wayan Suastika, Penyarikan : I Ketut Warta,S.Pd. Anggaraksa: I Wayan Sutarja, Kelihan Sekehe Gong: I Nyoman Sumerta Jaya,dengan sekeha gong berjumlah 51 orang. Manggala Pecalang: I Made Sukadana, dengan jumlah angga Pecalang 22 orang, Kelihan Sekehe Teruna: I Kadek Yana Dwi Yantara, dengan jumlah anggota sebanyak 255. Kelihan Pesantian: I Made Mendra. Dengan jumlah anggota 10 orang. Ketua LPD: I Wayan Darsa. Serati banten yang bertanggung jawab penuh terhadap segala bentuk upacara upakara di Desa Lungsiakan antar lain: A.A. Raka Mekar, Ni Ketut Sepuk, Ni Ketut Wetra, A.A. Raka Merta, Ni Wayan Budi, Ni Ketut Linggih, Ni Made Mentil dan Ni Wayan Sining.

Untuk segala kepentingan administrasi, disepakati logo desa Lungsiakan seperti berikut:
Dengan analisa gambar sebagai berikut:
1.      lambang Segi Lima menandakan bahwa ada lima dasar kepercayaan bagi masyarakat Lungsiakan, yaitu Pancasila sebagai dasar Negara dan Panca Srada sebagai dasar agama Hindu.
2.      Padma diujung atas dengan gambar Ong-kara, bermakna bahwa desa Lungsikan, meyakini segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Ida Sang Hyang Widhi, symbol ini juga menunjukkan bahwa seluruh penduduk meyakini, percaya dan senantiasa berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
3.      Candi bentar melambangkan jiwa yang terbuka menerima perubahan zaman, dengan pondasi yang kokoh dari nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi.
4.      Padi dan Kapas melambangkan segala bentuk usaha yang dilakukan adalah semata-mata untuk mengupayakan kebahagiaan sekala niskala, cukup sandang, pangan dan papan.
5.      Tulisan Bali dalam pita di bagian bawah candi bentar yang berbunyi” Amrih Sukaning Bhuwana” berarti senantiasa menguasahakan kebahagiaan bagi alam semesta beserta segala isinya.
6.      Dua ekor naga sebagai dasar dan mengikat segi lima melambangkan, seluruh komponen karma tanpa terkecuali diikat oleh aturan aturan yang jelas, berupa undang-undang dan awig-awig. Juga bermakna bahwa pertanggung jawaban semua karma akan dituntut dalam 2 alam, sekala dan niskala.
Desa Pakraman Lungsiakan pada wilayah adatnya terdapat 11 pura yang menjadi tanggung jawab karma desa, antara lain:
1.      Pura Desa lan Bale Agung dengan piodalan jatuh pada setiap hari Buda Kliwon Pahang. Sebagai pemangku: Jero Mangku Made Nyana dan Jero Mangku Istri Nyoman Puri.
2.      Pura Puseh dengan piodalan jatuh pada setiap hari Buda Kliwon Pahang. Sebagai pemangku: Jero Mangku Ketut Ngempi.
3.      Pura Dalem lan Prajapati Pura Tegal Suci dengan piodalan jatuh pada setiap hari Buda Umanis Medangsia. Sebagai pemangku: Jero Mangku Wayan Sana, Jero Mangku Made Suamba dan Jero Mangku Istri Kadek Ariniti.Pura Jemeng dengan piodalan jatuh pada setiap hari Buda Wage Langkir.
4.      Pura Pucak Payogan dengan piodalan jatuh pada setiap hari Anggara Kliwon Tambir.
5.      Pura Pucak Mertasari dengan piodalan jatuh pada setiap hari Anggara Kliwon Prabangkat.
6.      Pura Pucak Sari lan Pura Mlanting dengan piodalan jatuh pada setiap hari Buda Wage Klawu.
7.      Pura Catur Bhuwana, berupa Padmasana di Banjar dengan piodalan jatuh pada setiap hari Caniscara Kliwon Landep (Tumpek Landep)
8.      Pura Paibon atau Pemaksan yang terdiri dari Pura Subak dan Pura Tamansari
Pura Dalem Lungsiakan.
            Salah satu pura yang berada di wilayah desa adat Lungsiakan adalah Pura Dalem Lungsiakan, berdiri dengan megah dibagian selatan dari wilayah desa, ditimur jalan menghadap ke barat.
Pura Dalem Lungsiakan
Pura Dalem Lungsiakan merupakan salah satu komponen dari Kayangan Tiga yang menjadi acuan pokok pembentukan Desa Adat atau Desa Pakraman yang digagas oleh Senopati Kuturan pada Abad ke 11 Masehi. Karena pendirian Kahyang Tiga di setiap desa pakraman itu untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti sebagaimana dinyatakan dalam Pustaka Bhuana Kosa III. 76.
Tuhanlah yang menciptakan (utpati), melindungi (sthiti) dan mempralayakan (pralaya atau pralina) semua ciptaan-Nya.
Kemahakuasaan Tuhan untuk melakukan Utpati, Sthiti dan Pralina ini disebut Tri Kona (dengan lambang Lukisan Segi Tiga, lambang siclus Utpati, Sthiti, Pralina). Dengan pemujaan Tuhan Siwa sebagai Tri Murti mengandung dua konsep pembinaan kehidupan spiritual, yaitu konsep Tri Kona dan Tri Guna.
Dalam Bhagawata Purana dinyatakan ada tiga kelompok Maha Purana. Ada Satvika Purana dengan Ista Dewatanya Dewa Wisnu. Ada Rajasika Purana dengan Dewa Brahma sebagai Ista Dewatanya dan ada Tamasika Purana dengan Dewa Siwa sebagai Ista Dewatanya. Dengan demikian Tri Murti menurut Bhagawata Purana adalah Brahma, Wisnu dan Siwa sebagai Guna Awatara. Artinya Tuhan-lah yang menjadi sumber pengendali tertinggi tiga dasar sifat manusia yang disebut Tri Guna itu.
Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti di desa pakraman Lungsiakan sebagai media sakral untuk menerapkan konsep menguatkan kehidupan spiritual. Penguatan kehidupan spiritual melalui penguatan sistem pemujaan pada Tuhan, agar umat hidupnya terarah dengan baik. Tri Kona dan Tri Guna diyakini sebagai pegangan hidup untuk mencapai 4 tujuan hidup berupa Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Dua konsep spiritual tersebut akan membina kehidupan di desa pakraman untuk menuntun umat mewujudkan empat tujuan hidup tersebut sesuai dengan tahapan hidup yang disebut Catur Asrama.
 







Pura Dalem Lungsikan adalah salah satu pura dari sekian banyak pura yang ada di desa Lungsiakan dibangun untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Siwa. Dewa pemrelina atau pelebur segala ciptaan Beliau. Sementara Pura Prajapati atau Mrajapati dibangun pada hulu setra berbentuk bangunan Padma dan bebaturan sebagai niasa atau linggih Sang Sedahan Setra. Pura Dalem Desa Pakraman Lungsiakan terdiri dari 3 mandala dengan fungsi masing-masing yang berbeda tetapi berkaitan satu dengan yang lainnya. Dikenal dengan nama Tri Mandala:
A.     Utama Mandala. Wilayah paling suci, sebagai tempat karma menghaturkan sembah bakti kehadapan Ida Sang Hyang Hyang Widhi dan segala manifestasi Beliau. Beberapa bangunan pelinggih berada pada utama mandala, antara lain:
1.      Pelinggih Arca, atau dikenal dibeberapa tempat sebagai Pelinggih Blabur, difungsikan untuk melinggihkan arca-arca kuno maupun baru yang pernah terpakai atau terpasang di Pura Dalem.
2.      Pelinggih Penyawangan Pura Sakenan, difungsikan sebagai niasa tempat memuja Ida Bhatara Bhatari yang melinggih di Pura Sakenan.
3.      Pelinggih Limas Catu Nubung, difungsikan untuk memuja Tuhan sebagai pencipta jiwa dan raga atau Purusa dan Pradana. Manusia tercipta oleh Tuhan dari Purusa dan Pradana. Bertemunya Purusa dan Pradana itulah yang menyebabkan adanya hidup ini. Menurut ajaran Hindu memuja Tuhan itu bukan sekadar memuja. Memuja Tuhan Yang Mahakuasa itu untuk dapat dimanfaatkan untuk menguatkan kehidupan lahir batin.
4.      Pelinggih Padmasana, difungsikan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti yang termuat dalam Lontar Catur Winasasari, bahwa ada fungsi yang berbeda bila Padmasana letaknya sebagai berikut:  di timur laut, sebagai linggih Sang Hyang Siwa Raditya, di timur sebagai  linggih Sang Hyang Iswara, di selatan adalah linggih Sang Hyang Brahma, di utara sebagai linggih Sang Hyang Wisnu dan di tengah-tengah berupa padma kurung memakai tiga ruangan (rong telu), dipuncaknya sebagai linggih Sang hyang Samodaya. 
5.      Pelinggih Limas Catu Meres difungsikan sebagai niasa memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai pencipta segala bentuk isi alam semesta yang dipergunakan oleh ketiga mahluk untuk tumbuh berkembang.
6.      Pelinggih Gedong Dalem, difungsikan sebagai niasa Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Siwa dan saktinya.
7.      Pelinggih Penyawangan Dalem Puri, difungsikan sebagai sebagai niasa tempat memuja Ida Bhatara Bhatari yang melinggih di Pura Dalem Puri.
8.      Pelinggih Sedahan Ngurah Agung, difungsikan sebagai tempat memuja Ida Bhatara Kala, Putra Ida Bhatara Siwa dan sekaligus sebagai tempat memuja Sang Catur Sanak.
9.      Pelinggih Bale Pengingkupan, difungsikan sebagai niasa atau tempat memuja seluruh Bhatara maupun Bhatari yang sedang berkumpul berkaitan dengan yadnya atau karya yang dilaksanakan.
10.  Pelinggih Bale Peselang, difungsikan khusus sebagai niasa memuja unsure Purusa Pradana atau Arda Nareswari pada saat melakukan penciptaan alam semesta beserta segala isinya.
11.  Pelinggih Bale Pelik, difungsikan sebagai tempat penyajian dan perlengkapan upakara saat melaksanakan upacara. Juga sering dipakai sebagai tempat mapurwa daksina pada saat melaksanakan upacara besar.
12.  Pelinggih Bale Pengaruman difungsikan sebagai tempat menghias atau merangkai simbul, seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersembahkan.
13.  Bale Patok difungsikan untuk tempat Pemangku pura dalam menghaturkan upacara upakara pada saat diadakan upacara
14.  Bale Angklung, difungsikan sebagai tempat melantunkan tabuh angklung dalam rangkaian pujawali.
15.  Kori Agung difungsikan sebagai tempat penyucian bagi karma yang melewatinya, sebabnya Kori Agung disebukan juga sebagai niasa dari gunung Khailasa, linggih Hyang Siwa seperti yang diungkapkan dalam sastra Uttara Kandha.
B.     Madya Mandala, adalah wilayah penggabungan unsure kesucian dan kekotoran dari para pemedek. Difungsikan oleh karma sebagai tempat untuk menyiapkan berbagai bentuk upakara yang akan dihaturkan. Di wilayah ini terdapat 9 banguan pelinggih dengan fungsi yang juga berbeda-beda, antara lain:
16. Pelinggih Apit lawang Kanan, difungsikan sebagai tempat niasa dari Hyang Maha Kala.
17. Pelinggih Apit lawang Kiri, difungsikan sebagai tempat niasa dari Hyang Adi Kala.
18. Pelinggih Panggungan Madya Mandala difungsikan sebagai tempat menghaturkan berbagai upacara pada saat Ida Bhatara tedun ke Panggungan, juga sebagai tempat pemujaan Hyang Sunia Kala.
C. Nista Mandala, merupakan daerah paling luar dari tiga mandala yang ada, difungsikan untuk menyiapkan berbagai sarana upacara upakara sebelum diolah dalam bentuk banten. Memiliki beberapa bangunan antara lain:
19. Bale Perantenan yang difungsikan untuk memasak berbagai keperluan yadnya. Baik berupa piranti upakara maupun untuk dinikmati oleh karma desa.
20. Bale Wantilan yang difungsikan sebagai ajak pergelaran berbagai hiburan pada saat upacara berlangsung.
21. Bale Gong difungsikan sebagai tempat melantunkan tabuh gong dalam rangkaian pujawali.
22. Bale Kulkul, dibangun berbentuk menara Merupakan linggih Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Iswara, dalam ilmu yoga yaitu Paratma yang ada di leher atau kerongkongan, yang berfungsi utama untuk mengeluarkan berbagai jenis suara.
23. Pelinngih tetanduran difungsikan untuk tempat menghaturkan upacara seperlunya pada saat upacara yang berkaitan dengan tetanduran di pura.
24. Candi Bentar diyakini sebagai niyasa dari Gunung Mahameru, sebagai sumber dari segala sumber kehidupan semesta.
25. Pelinggih Tanggun Desa, difungsikan sebagai pertanda batas-batas kesucian sebuah wilayah yang masuk dalam lingkungan desa Pakraman Lungsiakan, sehingga diharapkan apapun yang masuk ke dalam lingkungan desa yang sebelumnya kotor agar menjadi suci.
Disebalah utara Padmasana, diluar tembok penyengker utama mandala terdapat pelinggih Tegal Suci.
Disebelah timur Padmasana dibangun pelinggih Beji.
Sementara didepan Balai Wantilan, disebelah selatan pelinggih Apit Lawang dibangun pelinggih Sang Hyang Segara.
            Rata-rata keadaan semua bangunan pelinggih dan bangunan pendukung dalam keadaan baik dan baru, karena sudah melalui berbagai pemugaran. Masyarakat Lungsiakan sangat faham bagaimana cara menjaga dan merawat semua prasada atau pura-pura yang ada di wilayah Desa Pakraman Lungsiakan. Setelah seluruh pemugaran pura selesai dilaksanakan dilanjutkan dengan usaha menjaga kekuatan spiritual desa dengan jalan melaksanakan upacara Karya Agung Mupuk Pedagingan lan Pedudusan Agung di Pura Dalem, Desa Pakraman Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Masyarakat Desa Lungsiakan sangat faham bahwa Yadnya sangat penting dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta, kata “Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci. Prinsip - prinsip yang harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian tanpa pamrih. Dalam Atharwa Weda XVII.3 dinyatakan bentuk Yadnya yang paling tinggi adalah pengorbanan lahir batin. Maka dari itu semangat patriotisme yang diajarkan dalam Bhagawadgita, Mahabharata, Ramayana sangat tepat ksatria yang ber-Yadnya di medan perang. Maknanya sebagai pembela tanah air, menegakkan kebenaran dan keadilan. Yadnya sebagai amalan agama mengandung pengertian: Merupakan sistem persembahyangan dalam kontak memuja Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai prinsip berkorban agar umat bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban itu sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup menuju hidup bahagia.
Konsep agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan, dengan terwujudnya keseimbangan, berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia. Untuk umat Hindu yang diidam-idamkan adalah terwujudnya keseimbangan antar manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Yang  dikenal dengan Tri Hita Karana. Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan. Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu: Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya dan Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang dituju, Yadnya ini disebut Panca Maha Yadnya. Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaan dalam Bisma Parwa dijelaskan:
·         Drewaya Yadnya, adalah Yadnya yang mempergunakan harta milik sebagai sarana   korban.
·         Tapa Yadnya, adalah Yadnya dengan melaksanakan tapa, yaitu tahan uji tahan derita sebagai sarana berkorban.
·         Jnana Yadnya, adalah Yadnya dengan menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, memberikan  pandangan-pandangan, atau buah pikiran yang berguna, sebagai sarana korban.
·         Yoga Yadnya, adalah Yadnya dengan pengamalan yoga, yaitu menghubungkan diri pada Sang Hyang Widhi melalui jenjangan-jenjangan yoga. Bahkan sampai dengan tingkat tertinggi yakni semadhi, sebagai sarana berkorban. 
·         Swadyaya Yadnya, adalah Yadnya dengan mengorbankan diri demi kepentingan Dharma. Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan, mereka mengorban kan diri demi sebuah kemerdekaan. Ini juga disebut Yadnya.
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan obyek yang dituju. Dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70. tersurat:
“Adhyapanam brahma Yajnah, Pitr yajnastu tarpanam, homo daivo balirbhaurto, nryajno ‘tithi pujanam.”
Selanjutnya dalam  Manawa Dharmasastra III.72. bahwa’
“Devatatithi bhrtyanam, pitrnamatmanasca yah, Na nirvapati pancanam, ucchwasanna sa jwati”.
Yang diartikan
”Tetapi ia yang tidak memberikan persembahan kepada kelima macam tadi yaitu para dewa, para tamunya, mereka yang harus dipelihara, para leluhur dan ia sendiri, pada hakekatnya tidak hidup walaupun bernafas”
Bhagawadgitha  III.4. menyebutkan
“ Na karmanam anarambhan,Naiskarmyam puruso snute Na ca sannyasanad eva, Siddhim samadhigacchati”
Yang artinya
“Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak hanya dengan melepaskan diri dari pekerjaan orang akan mencapai kesempurnaannya”.
            Dalam hal tersebut bahwa Karya  Agung  yang dilaksanakan oleh Krama Desa Pakraman Lungsikan merupakan wujud sradha Bakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa. Dimana seluruh komponen Krama ikut andil dalam pelaksanaannya. Karena sesungguhnyalah alam telah memberikan kepada kita semua untuk kita pelihara sehingga keselarasan akan terpelihara. Setiap pelaksanaan Yadnya yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, memiliki dasar yang sangat kuat yang berdasarkan pada sastra agama.
Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa
Alam ini ada berdasarkan yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan yadnya Dewa memelihara manusia & dengan  yadnya manusia memelihara Dewa”.
Ini berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta beserta isinya ini adalah adanya yadnya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Maha Purusa.
Bhagavadgita III.11. menyatakan bahwa :
para dewa akan memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan, karena itu manusia yang mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan yadnya pada hakekatnya dia adalah pencuri”.
Juga dijelaskan dalam Bhagavadgitha III.14. bahwa;
”Dari makanan, makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya lahir dari pekerjaan.
Sehingga  dari keseluruhan perbuatan atau pekerjaan tersebut, lahirlah panca yadnya. Karena keterikatan dan timbal balik yang terjadi maka adanya hutang yang harus dibayar, sehingga manusia yang terlahir kedunia sudah berbekal hutang yang harus dibayar kepada orang tuanya, dan sebagainya. Maka adanya hutang tersebut yang disebut dengan Tri Rna.
Hal ini termuat dalam kitab Manawa dharma-sastra VI.35 yang menyebutkan bahwa :
Pikiran (manah) yang ada dalam diri kita masing-masing baru dapat diarahkan pada kelepasan setelah melunasi 3 hutang yang kita miliki”.
Jadi sebelum kita dapat melunasi hutang-hutang itu, kita tidak akan mencapai tujuan akhir agama Hindu yang disebut Moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
            Semua sastra di atas mengajarkan kepada umat Hindu agar tidak jemu-jemu melaksanakan Yadnya yang pantas dan sesuai dengan kemampuan, yang paling penting didasari oleh rasa tulus dan ikhlas. Seperti halnya upacara-upacara besar, tentu memerlukan banyak piranti upacara juga jumlah krama yang mempunyai tugas dengan keahliannya masing-masing. Karena sangat banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dalam melaksanakan Karya Agung Mupuk Pedagingan dan Padudusan Agung di Pura Dalem, Desa Pakraman Lungsiakan yang puncaknya dilaksanakan pada Buda Umanis Medangsia, 16 Januari 2019 ini, maka kemudian dibentuklah Panitia atau Prawartaka Karya, antara lain sebagai berikut :
Prawartaka
Karya Mupuk Pedagingan dan Padudusan Agung
di Pura Dalem,
Desa Pakraman Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali
Pada Buda Umanis Medangsia, 16 Januari 2019

I.Wiku Manggala Karya Ratu Peranda Griya Peling Padangtegal
II Wiku Pemuput :
1
Ida Pedanda Griya Batubulan
8
Ida Pedanda Budha Griya Tebesaya
2
Ida Pedanda Griya Padangtegal Baleran
9
Ida Pedanda Griya Babakan Bitra
3
Ida Pedanda Griya Sanur Denpasar
10
Rhsi Bujangga Griya Angkling
4
Ida Pedanda Budha Griya Gunung Sari
11
Ida Pedanda Griya Blega Dauhan
5
Ida Pedanda Budha Griya Batuan
12
Ida Pedanda Griya Batuan
6
Ida Pedanda Griya Darmasaba
13
Ida Pedanda Griya Kerambitan
7
Ida Ratu Begawan Pasraman Lungsiakan
14
Ida Pedanda Griya Blega Danginan
III. Wiku Tapini :
Ida Pedanda Istri Griya Peling Padangtegal
IV Pengerajeg Karya:
Drs. Tjokorda Gde Putra Sukawati
Tjokorda Raka Kerthyasa,S.Sos.M.Si.
V. Penasehat Karya:
Dr.Ir. Tjokorda Oka Arta Ardana Sukawati. M,si.
VI. Manggala Karya :
I Nyoman Jaya (Jro Bendesa)
A.A. Gde Raka Suteja, SE (Klian Banjar)
VII. Penyarikan
1.       I Ketut Warta,S.Pd.
2.       I Nyoman Suardika
3.       I Wayan Sama
4.       I Made Sarda
VIII. Anggaraksa
1.      I Wayan Sutarja
2.      I Made Sunia
3.      I Wayan Lanus
4.      I Made Jaya
5.      I Wayan Erik Saputra
IX. Baga-Baga
1.Baga Banten/Upakara
KOORDINATOR
1.       Ratu Peranda Istri Griya Peling Padangtegal
2.       A.A. Biang Mekar
3.       Men Ruma
 1
I Wayan Suastika
6
I Wayan Wardana
2
I Wayan Gde Artana
7
I Ketut Wardana
3
I Made Sumiada
8
I Wayan Patna
4
I Wayan Sangra
9
I Wayan Suarka
5
I Nyoman Sulandra
10
A.A. Gde Agung
6
I Wayan Tambun
11
I Nyoman Jiwi
12
I Made Nyana Arta




 PENGEROMBO TUKANG :
1
A.A. Biang Merta
29
Ni Made Badri
2
Men Sudar
30
A. A. Raka Puspa
3
Nyoman Landuh
31
Jro Kartika
4
Ni Wayan Linggih
32
Ni Wayan Sulasih
5
Ni Nyoman Budi
33
Ni Wayan Karini
6
Ni Made Mentil
34
Ni Made Rani
7
Ni Wayan Srining
35
Ni Wayan Lami
8
Ni Nyoman Darni
36
Luh Sadniasi
9
A.A. Biang Mas
37
Ni Wayan Suastini
10
Ida Ayu Ratih
38
Ni Wayan Sriati
11
A.A. Istri Prihatiningsih
39
Ida Ayu Astiti
12
Ni Wy. Sari
40
Luh Ketut Alit Lestari
13
Ni Nyoman Suarni
41
Ni Wayan Budiasih
14
Ni Ketut Sukaadi
42
A.A. Dwiyas Rabawati
15
Ni Luh Ananta Dewi
43
Ni Wayan Reni
16
Ni Made Suparti
44
Ni Ketut Wiryani
17
Ni Kadek Saptarini
45
Ni Ketut Novita Sari
18
Ni Nyoman Sutini
46
Ni Nyoman Sirat
19
Ni Made Ramin
47
Ni Wayan Suri
20
Ni Made Kantri
48
Ni Made Adnyani
21
Ni Ketut Sridi
49
Ni Wayan Karsi
22
Ni Ketut Trisnawati
50
A.A. Rai Rasmin
23
Ida Ayu Kartika
51
Ni Wayan Karni
24
Ni Wayan Roni
52
A.A. Oka Rasmini
25
Ni Nyoman Suci
53
Jro Sri
26
Ni Ketut Kapri ( Men Lempo)
54
Ni Wayan Sukasih
27
Ni Nyoman Sukarti
55
Ni Made Warni
28
Sang Ayu Tinawati
56
Ni Wayan Rika




2.Baga Sulinggih /Jro Mangku
1
A.A. Anom Adnyana
KOORDINATOR
7
I Wayan Suparta
2
A.A. Bagus Mahendra
8
I Ketut Redi
3
A.A. Raka Bawa
9
A.A. Anom Suyadnya
4
I Wayan Kasta
10
I Ketut Selamet
5
I Wayan Sudarsana
11
A.A. Gde Muliaarta
6
I Made Sukarda






3 Baga Ebat /Olahan Upakara
1
A.A. Oka Karma
KOORDINATOR
7
I Wayan Lidra
2
I Putu Suamba
8
I Mongoh
3
I Wayan Artayasa
9
I Narka (Dangin)
4
I Wayan Sudana
10
I Kt. Artana
5
I Made Bawa (Dangin)
11
A.A. Oka Suparta
6
I Made Ruma
12
I Wayan Sumerta




4.Baga Mendak Tirta/ Toya Ning
1
I Wayan Sudirja KOORDINATOR
4
I Wayan Sumberjaya
2
I Made Korji (Dangin)
5
I Nyoman Budiasa
3
I Nyoman Rusma
6
I Nym. Gepeng Sumada




5 Baga Wewangunan
1
I Made Korji  ( Dauhan)
 KOORDINATOR
6
I Wayan Regig
2
A.A. Rai Pujana
7
I Wayan Ardita
3
A.A. Gde Oka ( Kocak )
8
I Wayan Karma
4
I Nyoman Aryana
9
I Wy. Mustika
5
I Ketut Sujantra
10
I Wayan Ardana




6 Baga Utsaha Dana/ Dana Punia
1
A.A. Raka Suana
KOORDINATOR
5
I Made Priksa
2
I Wayan Sudiarsa
6
I Wayan Reken
3
I Wayan Darsa
7
I Wayan Patrayasa
4
I Kt. Sunarja
8
A.A. Anom Bajra




7 Baga Penerangan/Suar/ Sound System
1
I Nyoman Lodera
KOORDINATOR
4
I Ketut Suparta
2
I Wayan Teja
5
A.A. Gd. Bagus
3
I Made Sugita
6
I Made Suradnya ,ST




8 Baga Kebersihan
1
A.A. Rai Karmi
KOORDINATOR
9
I Guru Kotia
2
I Wayan Jiwa
10
I Wayan Kantun
3
Guru Wedia
11
I Nyoman Kemit
4
I Ketut Ngesir
12
I Wayan Mondel
5
I Made Dana
13
I Made Suarjana
6
I Ketut Suandra
14
A.A. Rai Sirat
7
I Made Pedana
15
A.A. Oka Adiasa
8
I Ketut Dika
16
A.A. Raka Suardana




9 Baga Dekorasi
1
Skaa Truna Sila Dharma
KOORDINATOR
4
I Wayan Pariana Jaya
2
A.A. Rai Nata
5
I Made Sura Darma
3
I Made Kertayasa
6
I Kd. Suambawa




10 Baga Kesenian
1
I Made Sucipta,SSn
KOORDINATOR
4
I Nyoman Sumerta Jaya
 2
I Wayan Tilem Paryana
5
Skaa Gong Dharma Santi
3
Dsk Nym.Sri Utari,S.St





11 Baga Pesantian
1
I Made Mendra
KOORDINATOR
2
Jro Puspa


12 Baga Tamiu/Humas
1
Drs. A.A. Gde Oka
KOORDINATOR
6
I Made Wartayasa
2
I Made Sumantra
7
I Wayan Pageh/Ananda
3
I Ketut Raka
8
A.A. Oka Putra (Campuan)
4
I Wayan Kantra, B.A.
9
A. A. Raka Yasa (Campuan )
5
I Made Jendra


13 Baga Kesehatan
1
dr. Ni Made Ayu Swandewi
KOORDINATOR
3
drg. Dsk. Ketut Sukmawati
2
dr. Ni Made Mindawati





14 Baga Ancangan


1
I Nyoman Wirya
KOORDINATOR
8
I Wayan Budiarta
2
I Ketut Parta
9
A.A. Pujana
3
I Wayan Naru
10
I Wayan Patra
4
I Nyoman Jarim
11
I Wayan Sumiada
5
I Wayan Arsana
12
I Nyoman Gatra
6
I Md. Balon Astana
13
I Wayan Mika
7
I Nym. Belong




15 Baga Tukang Sambleh
1
I Made Arta
KOORDINATOR
2
I Ketut Rudana

16 Baga Belanja/Pengadaan Barang
1
Ni Wayan Sri Astuti
KOORDINATOR
4
I Ketut Sujana
2
Ni Wayan Suwitri
5
G.A. Nym. Sri Ayu Putrini
3
I Nyoman Nadi
6
I Made Putra Jaya


7
Ni Wayan Santi


17 Baga Perlengkapan
1
I Nyoman Giling
KOORDINATOR
5
I Ketut Suarjana
2
I Made Suardana
6
I Made Sutar
3
I Made Gus Suarta
7
I Made Wirawan
4
I Nyoman Suastika
8
I Wy. Eka Nopiyana


9
I Wayan Budiana
18 Baga Jahit Menjahit
1
Ni Nyoman Jelih Aryani
KOORDINATOR
2
A.A. Raka Serigu


19 Baga Pengerahan Tenaga
1
Bendesa Pakraman Lungsiakan
KOORDINATOR
2
Kelihan Banjar Lungsiakan


20 Baga Pemuspan
1
Seksi Agama Skaa Teruna
KOORDINATOR
21 Baga Transportasi
1
Merta Sari Transport
KOORDINATOR
3
I Made Sugiarta
2
A.A. Raka Yasa
4
I Wayan Tirta




22 Baga Nepak Kulkul
1
I Made Malen
KOORDINATOR
3
I Wayan Duduk
2
I Ketut Lastra
4
I Wayan Liput




23 Baga Konsumsi
1
I Wayan Suarsa
KOORDINATOR
18
I Made Adnyana
2
Sang Ayu Merti
19
Ni Wayan Rasih
3
Ni Wayan Tirtawati
20
Ni Wayan Soja
4
Ni Nyoman Mariani
21
Ni Wayan Puji
5
I Wayan Wijana
22
A.A. Rai Suratni
6
Ni Ketut Wartini
23
A.A. Anom Sriati
7
Ni Kadek Asih
24
A.A. Oka Puspawati
8
Ni Ketut Sumiati
25
Ni Made Rusnekawati
9
I Wayan Suartana
26
I Wayan Karta
10
Ni Wayan Sukerti
27
Ni Nengah Yatni
11
Ni Wayan Renun
28
Ni Kadek Ayu Ani
12
Ni Made Sarwi
29
I Made Sukadana
13
Ni Nyoman Jasmini
30
I Nym. Apel Subawa
14
Ni Wayan Merni
31
Ni Nyoman Muliati
15
Ni Made Sulandri
32
Ni Made Mudani
16
Ni Nyoman Murtini
33
Ni Made Suari
17
I Wy. Gde Swastra
34
Ni Nyoman Sukerni




24 Baga Dokumentasi
1
Sie Dokumentasi Skaa Teruna
KOORDINATOR
2
I Made Agus Suka Adi Surya


25 Baga Keamanan
1
Pecalang Desa Pakraman Lungsiakan
2
Polisi


Klihan Banjar Lungsiakan


Anak Agung Gde Raka Suteja,SE
Lungsiakan, 19 September 2018 Bendesa Desa Pakraman Lungsiakan

I Nyoman Jaya
Krama Desa yang terpilih sebagai Prawartaka Karya mempunyai tugas mengorganisasi krama lain dalam baga-baganya, sehingga diharapkan prosesi Karya agung bisa berjalan dengan lancar seperti yang direncanakan sebelumnya. Persiapan pelaksanaan yadnya dimulai dengan melaksanakanYasa Kerti, dengan mengutamakan perbuatan, perkataan dan pemikiran yang penuh dengan kesucian. Yasa Kerti dalam hal perbuatan yang baik dituangkan dalam butir sebagai berikut :
1.      Semua warga Desa Pakraman yang melaksanakan tugas yang berkaitan dengan Karya Agung agar selalu memakai pakaian adat yang pantas, juga diwajibkan memakai ikat kepala, baik laki-laki maupun wanita.
2.      Bagi Krama Desa Pakraman yang mempunyai cacat kelahiran diharapkan tidak ikut dalam ayah-ayah nanding upakara Suci, Catur dan upakara lain yang dihaturkan di Sanggar, untuk menghaturkan ayah-ayah yang lain dan muspa tidak ada larangan.
3.      Yang dianggap Cuntaka menurut sastra agama adalah warga yang kumpul kebo, anak yang lahir tanpa orang tua yang syah dan hal lain yang disepakati oleh ketentuan Desa Pakraman dilarang memasuki wilayah Pura.
4.      Semua perbuatan yang disengaja bertujuan untuk menggagalkan rangkaian upacara agar dijauhkan.
5.      Apabila ada Kematian di salah satu anggota keluarga Krama Desa Pakraman, terhitung mulai dari dilaksanakannya upacara Pengalang Sasih sampai selesai Dudonan Karya Agung, agar melaksanakan kegiatan tersebut tanpa suara kentongan.
6.      Apabila yang meninggal tidak akan boleh dipendem, seperti Sulinggih, Pemangku agar dititip dahulu (Tidak diupacara).
7.      Apabila kematian yang boleh dipendem, agar prosesi dilaksanakan setelah matahari tenggelam dengan upacara seperti biasa.
8.      Bagi Krama yang mengikuti prosesi upacara Kelayu-sekaran dianggap Cuntaka. Cuntaka satu rumah dihitung sampai selesai, sesudah 12 hari.
9.      Panumbak Pangapit terkena cuntaka selama 3 hari. Para Juru Desa dan Dinas tidak terkena cuntaka, agar tidak ikut dalam prosesi pemakaman.
10.  Apabila ada Krama Desa Pakraman yang melahirkan, terkena cuntaka 42 hari bagi yang wanita dan bagi yang laki-laki terkena cuntaka sampai kepus puser bayi.
11.  Apabila ada salah satu krama yang keguguran, kena cuntaka selama 42 hari, laki atau perempuan.
            Demikian ketentuan Yasa Kerti yang disepakati oleh Krama Desa Pakraman Lungsiakan dengan tujuan utama mensukseskan Karya Agung Mupuk Pedagingan dan Padudusan Agung di Pura Dalem, Desa Pakraman Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali Pada Budha Umanis Medangsia, 16 Januari 2019.
Hal ini diperlukan karena panjangnya tahapan upacara upakara dari tanggal 9 September 2018 hingga tanggal 30 Januari 2019 seperti yang termuat dalam Ehedan Upacara dibawah ini:
1. Tanggal 9 September 2018; Redite Pahing Ugu; dilaksanakan Nyukat Genah; dipuput oleh Ida Pedanda Griya Peling Padangtegal; pukul 10:00 Wita pagi. Prosesi bertujuan untuk memberi batas secara niskala antara parahyangan dengan Tri Mandala serta memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widi, agar Karya yang akan dilaksanakan mendapat restu dan diberikan kemudahan, tuntunan  serta semuanya berjalan sesuai dengan harapan krama pengemong pura khususnya dan Bali umumnya.
2. Tanggal 24 Oktober 2018; Buda Pahing Landep; dilaksanakan Nuasen Karya, dipuput oleh Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal Ida Pedanda Istri Tapini Giriya Peling, bertujuan memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widi, agar Karya yang akan dilaksanakan mendapat restu dan diberikan kemudahan,
3. Tanggal 7 Desember 2018, Sukra Umanis Warigadian dilaksanakan acara Nunas Jatun Karya, dilaksanakan oleh Para Juru, Prawartaka. Bermakna memohon anugerah kepada Ida Sang Hyang Widhi agar menurunkan berbagai kemudahan dalam menyiapkan segala macam bentuk piranti upakara upacara.
4. Tanggal 10 Desember 2018, Coma Wage Julungwangi, dilaksanakan upacara Negtegang pukul 10.00 Wita dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal. Bermakna upaya penyimpanan segala piranti upacara yang sudah siap, terutama sarwa pala.
5. Tanggal 18 Desember 2018, Anggara Pahing Sungsang, dilaksanakan upacara Ngingsah dan Nyangling pukul 10.00 Wita dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Padangtegal Baleran. merupakan simbol dari kesiapan umat untuk melaksanakan upacara selanjutnya. Nyangling sama artinya dengan nyelir yang pada intinya menunjukkan kesiapan seluruh umat Hindu untuk melaksanakan upacara. Sedangkan upacara ngingsah beras dimaksudkan sebagai upaya untuk menyucikan beras yang akan dipergunakan selama pelaksanaan upacara ini.
6. Tanggal 19 Desember 2018, Buda Pwon Sungsang, dilaksanakan upacara Ngadegang Bagia Pulakerti dan Nanding Bagia pukul 10.00 Wita dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal.
7. Tanggal 21 Desember 2018, Sukra Kliwon Sungsang, dilaksanakan upacara Caru Rsi Ghana pukul 09.00 Wita dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Sanur Denpasar, Ida Pedanda Griya Budha Batuan, Ida Pedanda Griya Peling Padangtegal, Ida Pedanda Griya Budha Gunung Sari. Ritual Rsi Ghana umumnya dikenal sebagai Caru Rsi Ghana. Menurut Mardiwarsito (1978:49), kata  caru  diartikan sebagai kurban. Kata caru  identik dengan upacara bhuta yadnya yang berarti kurban suci yang ditujukan kepada para bhuta  atau bhuta kala.  Rsi  adalah orang atas usahanya melakukan tapa, yoga, dan semadi, memiliki kesucian yang dapat menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi sehingga dapat melihat hal-hal yang sudah lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Ghana adalah  simbol dewa bencana (vighnesvara), mahatahu (vinayaka), dan  pengelukat  (pengeruat). Caru Rsi Ghana adalah usaha manusia untuk membuat hubungan yang harmonis antara keadaan diri, lingkungan, dan Tuhan, yang diwujudkan dalam bentuk atau wujud sesaji dengan menghadirkan manifestasi Tuhan sebagai Dewa Ghana.  Rsi Ghana berarti golongan atau kelompok resi Rsi Ghana terdiri atas kata rsi dan ghanaRsi berarti ‘pendeta; dewa’.  Ghana  berarti  makhluk setengah dewa; angkasa; langit. Yang dimaksud dengan kelompok resi adalah kekuatan Dewata Nawa Sanga yang bergabung menjadi satu dalam tubuh Dewa Ghana. Makhluk setengah dewa dimaksudkan sebagai wujud Dewa Ghana yang berupa manusia berkepala gajah yang datang dari langit dengan kekuatan para dewa. Jadi, Rsi Gana berarti Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Ghana yang turun ke dunia sebagai penghalau rintangan atau penyelamat. Ritual Rsi Ghana dimaksudkan sebagai sebuah ritual dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai penyelamat atau pelindung.
8. 7. Tanggal 22 Desember 2018, Saniscara Umanis Sungsang, dilaksanakan acara Nuhur Pakuluh di Gunung Batur, Gunung Agung, Pura Pasar Agung dan Danau Batur. Pada pukul 14.00 Wita dilaksanakan upacara Mendak Pengrajeg Karya di Pura Taman Pule Mas, dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Darmasaba.
9. Tanggal 08 Januari 2019, Anggara Pwon Langkir, dilaksanakan acara Ngaturan Pakelem di Gunung Agung dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batubulan, Ngaturan Pakelem di Gunung Batur dipimpin oleh Ida Ratu Begawan Pesraman Lungsiakan. Ngaturan Pakelem di Campuan dipimpin oleh Jero Mangku, dilanjutkan dengan Nedunan Ida Bhatara  dipimpin oleh Jero Mangku.
10. Tanggal 09 Januari 2019, Buda Wage Langkir, dilaksanakan acara Melasti dan Mepekelem di Segara Masceti, pukul 05,00 Wita dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Peling Padangtegal  dan Ida Pedanda Griya Budha Gunung Sari. Dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan
Malasti ngarania ngiring prawatek Dewata, anganyutaken laraningjagat, papa kiesa, letuhing bhuwana
Maksudnya,
Melasti meningkatkan bakti kepada para dewata manifestasi Tuhan, agar diberi kekuatan untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa atau kekotoran diri dan kekotoran alam semesta.
            Sedangkan tujuan melasti seperti yang tersurat dalam lontar Sundarigama adalah ngamet sarining amertha kamandalu ring telenging sagara-mengambil sari-sari kehidupan yang disebut tirtha kamandalu (air sumber kehidupan) di tengah samudera. Ngiring prawatek dewata dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala itu mengandung makna bahwa ciri utama orang beragama adalah berbakti kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widi). Anganyutaken laraning jagat artinya, dengan kuatnya srada dan bakti kepada. Tuhan, kepedulian sosial ümat bisa meningkat, Anganyutaken papa klesa maksudnya agar umat termotivasi untuk mengatasi lima kekotoran individu yang disebut panca klesa-awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa. Sedangkan anganyutaken letuhing bhuwana maksudnya melalui ritual melasti umat diharapkan termotivasi untuk menghilangkan kebiasaan buruk merusak sumber daya alam. Jika kebiasaan buruk ini terus dibiarkan, alam akan rusak (letuhing bhuwana) yang pada gilirannya manusia akan menderita.
            Malasti berasal dari kata lasti. yang artinya menuju air. Dalam konteks prosesi melasti, umat bisa mendatangi segara (laut), danau dan campuan (pertemuan dua buah sungai). Tujuannya, nunas (mohon) tirta amertha dan menghanyutkan kekotoran dunia. Malasti ngarania ngiring prewatekan pralingga Ida Bhatara ke telengin samudera angamet tirta amerta (tirta sanjiwani), anganyutaken laraning jagat, papa klesa letuhing bhuwana. Artinya, umat ngiring Ida Bhatara ke segara mengambil Tirta Amerta dan menghanyutkan segala penderitaan umat, segala sesuatu yang menyebabkan dunia atau alam semesta ini kotor. Secara simbolik, sesungguhnya umat diingatkan untuk selalu membenahi diri supaya menjadi lebih baik, dengan menghilangkan atau menghanyutkan perilaku atau sifat-sifat buruk yang melekat dalam diri. Pemendak Melasti dilaksanakan di Madya Mandala dan Utama Mandala Pura pada pukul 19.00 Wita, dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Padangtegal Baleran Ida Pedanda Giriya Batubulan.
11.Tanggal 10 Januari 2019 Wraspati Kliwon Langkir, 16.00 Wita dilaksanakan acara Mendak Bagia Pula Kerthi di Pura Dalem Swargan Kedewatan dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Budha Gunung Sari. Pukul 19.00 Wita Rauh Bagia Pula Kerthi Pura Dalem dihaturi pemendak dan ayaban, dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batubulan.
12. Tanggal 12 Januari 2019 Saniscara Pahing Langkir, pukul 09.00 Wita, dilaksanakan upacara Mepepada Alit, dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Budha Tebesaya. Pada Pukul 19.00 Wita dilaksanakan upacara Memben dan Mlaspas Banten dipimpin oleh Ida Ratu Begawan Pesraman Lungsiakan.
13. Tanggal 13 Januari 2019 Redite Pwon Medangsia, pukul 09.00 Wita dilaksanakan upacara Mepedanan dan Tawur Agung dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Padangtegal Baleran, Ida Pedanda Giriya Budha Gunung Sari, Ida Pedanda Giriya Babakan Bitra dan Rhsi Bujangga Griya Angkling.
14. Tanggal 14 Januari 2019 Come Wage Medangsia, pukul 09.00 Wita dilaksanakan upacara Mepepada Agung Wewalungan dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Darmasaba dan Ida Pedanda Giriya Budha Gunung Sari.
15. Tanggal 15 Januari 2019 Anggara Kliwon Medangsia, pukul 19.00 Wita, dilaksanakan upacara Memben Banten dan Mlaspas Banten dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Belega Dauhan.
16. Tanggal 16 Januari 2019 Buda Umanis Medangsia dilaksanakan upacara Puncak Karya. Di Pura Mrajapati dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batuan, Ida Pedanda Giriya Batubulan dan Ida Pedanda Giriya Budha Gunung Sari. Di Puncak Karya dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal dan Ida Pedanda Giriya Babakan Bitra. Di Peselang dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batubulan, Ida Pedanda Giriya Budha Batuan, Ida Pedanda Istri Tapini Giriya Peling, Ida Pedanda Istri Giriya Budha Gunung Sari dan Ida Pedanda Istri Giriya Batubulan.
17. Tanggal 17 Januari 2019, Wraspati Pahing Medangsia, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Kerambitan.
18. Tanggal 18 Januari 2019 Sukra Pwon Medangsia, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Kesiman.
19. Tanggal 19 Januari 2019 Saniscara Wage Medangsia, pukul 10.00 Wita dilaksanakan upacara Ngeremek, Bangun Ayu, Mekebat Daun dan Pedudusan Alit dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Budha Sukawati, Ida Pedanda Giriya Bakbakan Bitera dan Ida Pedanda Giriya Batubulan.
20. Tanggal 20 Januari 2019 Redite Kliwon Pujut, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin oleh Ida Pedanda Istri Giriya Buda Tebesaya.
21. Tanggal 21 Januari 2019 Coma Umanis Pujut, pukul 10.00 Wita dilaksanakan upacara Ngusaba Dalem bertempat di Pura Mrajapati, dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Bakbakan Bitera, Ida Pedanda Buda Giriya Gunungsari dan Ida Pedanda Giriya Batubulan. Pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Kerambitan.
22. Tanggal 22 Januari 2019 Anggara Pahing Pujut, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Dharmasaba.
23. Tanggal 23 Januari 2019 Buda Pwon Pujut, pukul 16.00 Wita dilaksanakan upacara Nyenuk di Pura Dalem Gede Bunutan dipimpin oleh Ida Pedanda Buda Giriya Gunungsari Ubud. Pukul 19.00 Wita dilaksanakan upacara Ngaturan Ayaban Rawuh Sakeng Nyenuk di Pura Dalem dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batubulan.
24. Tanggal 24 Januari 2019 Wraspati Wage Pujut, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Belega Danginan.
25. Tanggal 25 Januari 2019 Sukra Kliwon Pujut, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin oleh Ida Pedanda Buda Giriya Tebesaya Ubud.
26. Tanggal 26 Januari 2019 Saniscara Umanis Pujut, pukul 10.00 Wita dilaksanakan upacara Rsi Bhojana dan Nganyarin diikuti oleh Para Wiku Pemuput  dipimpin oleh Ida Pedanda Buda Giriya Gunungsari Ubud dan Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal Ubud.
27. Tanggal 27 Januari 2019 Redite Pahing Pahang, pukul 14.00 Wita dilaksanakan acara Ngamudalang Ida Bhatara Pengrajeg Karya di Pura Tamanpule Mas dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batubulan. Pukul 20.00 Wita dilaksanakan upacara Nyineb di Pura Dalem, dipimpin oleh Ida Pedanda Buda Giriya Peling Padangtegal Ubud, Ida Pedanda Istri Tapeni Giriya Peling Padangtegal dan Ida Pedanda Buda Giriya Gunungsari Ubud. Pukul 24.00 Wita dilaksanakan acara Mendem Bagia di Pura Dalem, dilaksanakan oleh Angga Juru, Pemangku dan Krama Desa Pakraman Lungsiakan.
28. Tanggal 28 Januari 2019, Buda Kliwon Pahang, Pukul 07.00 Wita dilaksnakan Upacara Nyegara Gunung, bertempat di Segara Goalawah dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal. Filosofi upacara Nyegara Gunung : nyegara (ke-segara) mensucikan roh leluhur dengan sapta (7) gangga (air suci), yakni 7 sungai suci di India: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Narmada, Sarayu. Di tempat-tempat tersebut Weda diwahyukan kepada 7 Maha Rsi: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, Kanwa. Maka timbullah keyakinan adanya tirta amertha kamandalu itu di tengah laut (ring telenging samudra). Nyegara Gunung adalah filosofi Bali bahwa antara laut (segara) dan gunung adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Oleh karena itu, setiap tindakan di gunung akan berdampak pada laut. Demikian pula sebaliknya
           


Bab VIII
Penutup
Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu lewat berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugrah Beliau, memuja dan mensucikan Pelinggih Arcana Widhi, membangun dan memperbaiki Pelinggih Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial religius masyarakat Desa Pakraman Lungsiakan, adalah sebagian kecil bentuk Sradha Bhakti terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat kesadaran yang maha tinggi bahwa segala sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah berkat ciptaanNya, berkat pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai kekuasaan melebur. Konsep-konsep tersebut sudah terpatri dalam jiwa setiap masyarakat Hindu di Desa Pakraman Lungsiakan.Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di wilayah Lungsiakan khususnya merupakan salah satu jalan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan alam lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruhan bagian dari konsep Tri Hita Karana tersebut dipakai sebagai dasar kehidupan di masing-masing Krama Desa.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Giriya Gunung Payangan, 19 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar