Selayang pandang
PURA DALEM
Desa
Pakraman Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar
Olih:
Ida Bagus Bajra
BAB I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om
prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam
widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam
mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā,
pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam.
Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang
ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugrahaneng hulun, muncaranākna
ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi,
wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu
jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar
Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang
telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga
tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang
Purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari
alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa petaka, bisa
terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan
yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin,
anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk
keluarga dan alam semesta.
Karena sebuah
rasa penuh tulus dan kecintaan terhadap alam, budaya serta kehidupan sosial
masyarakat Hindu di Bali, berbekal keinginan mengabdi terhadap tanah kelahiran
dilandasi dengan semangat bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para
leluhur yang sudah menyatu di dalam rangkuman sinar suci Beliau, kami
memberanikan diri meramu data-data yang ada didalam bentuk sebuah karya sastra
yang sangat sederhana yang kami persembahkan sebagai yadnya kepada pembaca dan
generasi penerus kita, agar bisa kelak dikemudian
hari dipakai sebagai bahan kajian dalam menyusun karya sastra yang lebih
sempurna.
Segala macam
bentuk ketidaksempurnaan dan kekurangan memenuhi kata demi kata dalam buku ini,
sehingga dengan kerendahan hati kami memohon berbagai petunjuk dalam usaha kami membuat buku ini mendekati sempurna. Karena kami
yakin dalam era global ini, banyak hal
yang harus bisa kita lakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan zaman, salah satu diantaranya adalah
tentang sejarah. Sejarah yang ditulis dengan dasar metode penulisan yang benar,
data penunjang yang kuat serta pemahaman yang dalam akan mampu membangun rasa
cinta generasi terhadap tanah kelahiran serta yang
bertumbuh dan berkembang di wilayahnya. Karena rasa cinta akan hadir apabila kita
mengenal jati diri yang mencakup tentang berbagai pilosofi yang terkandung
didalam kebiasaan kehidupan sosial budaya kita. Pada intinya kami berusaha
menyelaraskan berbagai dasar budaya keagamaan kita yang terdiri dari Kuno
Dresta, Loka Dresta dan Sastra Dresta dalam sebuah kajian yang bisa menggugah
kesadaran kita tentang pentingnya berbagai kearifan lokal yang didukung oleh
sastra agama Hindu dalam menjaga Sradha umat beragama. Semoga kemudian kita dan
generasi mendatang bisa melewati masa-masa kritis sebagai penjaga agama dan
budaya warisan leluhur kita dahulu, agar perjuangan dan usaha yang sudah
dilakukan oleh leluhur kita semenjak dahulu tidak hanya menjadi cerita usang
yang semakin hilang, hanya karena
ketidaktahuan kita terhadap perjuangan mereka. Kita adalah bagian dari masa
lalu, masa kini dan masa yang akan datang, karena sejarah adalah sumber pengetahuan yang
merupakan satu-satunya media untuk mengetahui masa lampau, yaitu mengetahui
peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau dengan perbagai permasalahannya. Peristiwa
yang menjadi objek sejarah sarat dengan pengalaman penting manusia karena mampu
membangkitkan imajinasi memperluas wawasan intelektual, memperdalam simpati,
sebagai sarana ideal untuk mendidik masyarakat agar berpikir secara bebas
mengajarkan kepada masyarakat cara berfikir mmeningkatkan kreatifitas dan memberikan
pelajaran untuk mengenal dirinya sendiri. Sejarah juga menjadi sumber
pendidikan penalaran, pendidikan moral, menciptakan kebijaksanaan, dasar pendidikan
politik, perubahan, Pendidikan masa depan dan sebagai ilmu bantu
untuk ilmu- ilmu yang lain.
Semoga pikiran yang
jernih mengalir dari semua penjuru arah angin, sehingga kita bisa memaknai
setiap langkah dalam proses hidup di bhuwana agung maupun bhuwana alit sebagai
sebuah keharusan yang sudah direncanakan oleh Sang Pencipta. Yang kekal adalah
perubahan dan kebenaran utama hanya nilai-nilai spririt dan ritual yang mampu
memaknai setiap perubahan sebagai sebuah kebenaran utama.
BAB II
ASAL USUL BALI
Zaman Bahari
Zaman bahari tatkala Nusa Bali dan
Lombok masih dalam keadaan goncang, layaknya perahu diatas lautan selalu goyang
dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada empat gunung di Bali, di
bagian Timur gunung Lempuyang namanya, dibagian selatan gunung Andakasa, bagian
Barat gunung Watukaru, bagian utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung
Bratan. Sebab itu sangat mudahlah Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini. Bhatara
Hyang Pasupati sangat sedih melihat situasi Nusa Bali, maka segeralah Beliau
memotong puncak gunung Mahameru, untuk dibawa ke Pulau Bali dan Lombok,
Badawang Nala diperintahkan mengusung puncak gunung, Sang Anantabhoga dan Naga
Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan dan menurunkan
di Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih Kadasa sekitar bulan April, tepat saat bulan mati atau Tilem, rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11.
Menurut analisa Team Sejarah dan Budaya Bali th 2012, cerita ini menggambarkan
secara terselubung bahwa
Bhatara Pasupati yang dimaksud adalah seorang penguasa di pulau Jawa, Gunung
Mahameru digambarkan sebagai ilmu pengetahuan, Bedawang Nala digambarkan
sebagai dasar dari ilmu keagamaan, Sang
Naga Anantabhoga dan Naga Basuki dimaksud
sebagai lambang aturan tentang pelaksanaan ilmu keagamaan
tersebut. Jadi
bisa dianalisa untuk sementara,
bahwa pada sekitar tahun 11 Saka,
keadaan pulau Bali dan Lombok selalu bergolak dan tidak aman akibat belum adanya tatanan
ilmu pengetahuan keagamaan yang mengatur kehidupan
penduduknya. Hal
ini yang mengerakkan hati seorang penguasa di pulau Jawa untuk menyebarkan
ajaran agama dan ilmu pengetahuan ke Bali dan Lombok. Ajaran suci itu diantaranya berupa dasar-dasar keyakinan
serta aturan-aturan yang mengikat
masyarakat dalam melaksanakan kewajiban terhadap
bangsa dan agamanya. Karena
setelah ajaran agama dan ilmu pengetahuan itu diturunkan di Bali dan Lombok,
kedua pulau menjadi mulai tenang
tanpa gejolak.
Selang
beberapa tahun lamanya pada hari Kamis Kliwon wuku Tolu, pada Purnama raya,
sasih Kasa sekitar bulan Juli,
rah 7, tenggek 2, tahun Saka
27, terjadi hujan sangat lebat disertai badai, guruh dan kilat sambar
menyambar. Gempa bumi gemuruh membawa hujan selama dua bulan tidak putus-putus.
Puncaknya kemudian gunung
Agung atau Giri Tolangkir meletus
mengeluarkan sangat banyak air salodaka atau
air belerang, pada hari Selasa Kliwon wuku Kulantir, sasih Kalima sekitar bulan Nopember, tepat bulan Purnama, pada tahun Saka 31, tampak turun beliau yang dimuliakan,
Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya yang
dikenal dengan nama Hyang Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih,
terus menetap bertempat disana bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu
berparhyangan di Ulun Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di
Gunung Lempuyang. Beliau bertiga diutus oleh Bhatara Hyang Pasupati untuk turun
ke Bali, sebagai junjungan rakyat Bali sampai akhir zaman.
Tahun
Saka 896 kembali Bhatara Hyang Pasupati
kembali mengutus murid-murid Beliau
untuk turun ke Bali bertugas menyempurnakan tatanan kehidupan masyarakat Bali, walaupun penuh dengan rintangan, segala
kehendak Beliau akhirnya terlaksana
sehingga Bali dan Lombok menjadi daerah yang tenang tanpa gejolak.
Penyebaran Suku Bangsa Austronesia.
Sebelum
kedatangan para Rsi Agung yang mengajarkan kehidupan beragama di wilayah bukit Bon,
keadaan hutan-hutan tropis yang lebat menjadi tempat bermukim yang sangat baik
bagi orang - orang Autronesia yang berbudaya sangat terbatas. Awalnya empat
kerabat dari kelompok masyarakat yang kesehariannya memakai bahasa Austronesia, Tai-Kadai, Hmong-Mien Austro-Asiatik menepati wilayah Tiongkok bagian selatan antara tahun
2000 Sebelum Masehi hingga 1000 Sebelum Masehi. Bangsa Han yang mendiami
wilayah utara Tiongkok menyerbu keselatan hingga mengusir penduduk Austronesia
dan memaksa mereka untuk melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah Taiwan,
kepulauan Asia Tenggara dan Samudra Pasifik lainnya. Migrasi yang bertahap dari
penduduk Austronesia menjadikan mereka kemudian mendiami wilayah-wilayah yang
berjauhan dan berkembang kehidupannya di masing-masing wilayah sesuai dengan
kultur wilayah yang didiami, sehingga cenderung memiliki beberapa perbedaan
walaupun mempunyai asal perkembangan yang awalnya sama. Penyebaran penduduk
dari Taiwan ke Bali diduga melalui Maritime Asia Tenggara, sehingga budaya dan
Bahasa penduduk Bali berkaitan sangat erat dengan penduduk kepulauan Indonesia, Malaysia,
Filipina, dan Oseania.
Bila ditinjau dari ras dan penyebarannya, penduduk
Bali merupakan ras Melayu Mongoloid dalam sub ras Deutro Melayu yang juga
bermukim dan berkembang di daerah Bali, Jawa
dan Banjar. Bali telah dihuni oleh bangsa Austronesia sekitar tahun 2000 sebelum
Masehi yang bermigrasi dan berasal dari Taiwan melalui Maritime Asia Tenggara. Budaya dan bahasa dari orang Bali
demikian erat kaitannya dengan orang-orang dari kepulauan Indonesia, Malaysia,
Filipina, dan Oseania, data juga ditunjang dengan ditemukannya oleh para
peneliti berbagai jenis alat-alat
batu yang berasal dari saat itu di dekat desa Cekik di bagian sebelah barat pulau Bali.
Ilmu Arkeologi
yang khusus mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak
membagi masa Pra Aksara atau Pra Sejarah menjadi 2 zaman. Para peneliti asing seperti: P.V. van Stein Callenfels, A.N.J.
Th. van der Hoop, dan H.R. van Heekern membagi pembabakan zaman dalam ilmu
Arkeologi menjadi 2 teori, yang diketahui dari berbagai penggalian dan
penelitian terhadap benda dan alam zaman
pra aksara. Arkeologi
adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak.
Dari hasil penelitian para ahli arkeologi, maka tabir kehidupan masyarakat pra
aksara Indonesia
dapat diketahui. Berdasarkan penggalian arkeologi maka pra aksara
atau prasejarah dapat
dibagi menjadi 2 Jaman, yaitu zaman
batu dan zaman perundagian. Pada zaman batu dibagi lagi menjadi 3 periode
atau masa, antara lain zaman
batu tua atau Paleothikum, zaman batu tengan atau Mesolithikum dan zaman batu muda atau Neolithikum.
Peninggalan-peninggalan zaman
batu seperti kapak genggam, kapak Sumatera, pebble, kapak persegi dan kapak lonjong
belum ada yang ditemukan di daerah Bon sehingga untuk sementara bisa
kita simpulkan bahwa daerah Bon Petang belum ada tanda-tanda terjamah oleh
kehidupan manusia pada zaman
batu yang
berlangsung kurang lebih 700.000 tahun lamanya. Pada zaman ini alat-alat
kehidupan manusia sebagian besar terbuat dari batu, kayu dan tulang. Sementara
itu berdasarkan para ahli memakai metode Tipologi atau metode dengan acuan
bentuk dan tipe benda peninggalan menjadi zaman Batu menjadi 3 periode, antara
lain zaman
batu, zaman logam atau perundagian dan zaman pra aksara. Zaman batu dan zaman logam tidak bisa ditentukan dengan
pasti kapan mulai dan berakhirnya karena pada zaman logam alat-alat dari batu
masih juga dipergunakan oleh penduduk. Para ahli membuat pedanan zaman logam
hanya sebagai tanda bahwa sudah mulai dikenal oleh penduduk alat-alat yang
terbuat dari logam. Peninggalan dari zaman ini banyak ditemukan di wilayah
Bali, terutama sekali berbentuk perhiasan sebagai bekal kubur di beberapa
sarkofagus. Pada masa
berburu dan mengumpulkan makanan penduduk di berbagai
daerah di Bali lebih
memilih untuk bermukim di
wilayah - wilayah pegunungan yang berjarak
dekat dengan sumber
air, selain karena berlimpah
sumber makanan juga sangat baik
dipakai sebagai benteng alam guna
menangkal serangan musuh atau binatang buas.
Wilayah Lungsiakan diperkirakan sudah didiami oleh
penduduk dalam jumlah yang terbatas pada masa ini, walaupun masih bersifat
nomaden atau berpindah-pindah dari suatu wilayah ke wilayah yang lain. Pada era
berikutnya penduduk mulai berupaya menyiapkan bahan persediaan makanan dengan bercocok
tanam, meninggalkan goa-goa tempat tinggal mereka mereka sebelumnya dan mulai
tinggal di dataran dengan rumah sederhana yang berbahan baku kayu dan bambu
beratap kulit kayu atau rumbia. Peneliti Barat, B.J. Miggen
dan Clifford Evan Jr dalam studinya tentang kehidupan di hutan-hutan teropis menyatakan bahwa
hutan tropis di wilayah Bali tengah tidak berbeda jauh dengan keadaan hutan
Tropis di Amerika Selatan. Perubahan perlahan-lahan terjadi dengan terbentuknya
perkampungan-perkampungan kecil semacam dukuh atau kuwu dengan beberapa rumah
kecil yang tempatnya tidak beraturan. Bentuk rumah di perkampungan Bali pada
masa ini berbentuk kebulat-bulatan dengan atap rumbia yang menjuntai hingga
ujungnya menyentuh tanah yang hanya bisa menampung beberapa anggota keluarga
saja, tidak lebih dari 4 orang.
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi penyempurnaan dalam bentuk rumah
penduduk Bali, dimulai dengan bentuk rumah memanjang dengan memakai tiang yang
jumlahnya disesuaikan dengan luas bangunan. Rumah-rumah berbentuk balai panjang
bertiang ini banyak dibangun di daerah yang dekat dengan ladang, dengan tujuan
untuk menghindari serangan
binatang buas. Rumah ini bisa menampung beberapa anggota keluarga inti yang
semakin berkembang kemudian. Apabila rumah tiang ini dibangun jauh dari ladang,
penduduk akan meninggalkan kampung mereka pada masa tanam dan masa panen,
mereka membawa serta
anggota keluarga dan binatang peliharaan ke ladang-ladang.
Di dekat ladang mereka membangun gubuk-gubuk darurat yang dipakai sebagai
tempat tinggal sementara, yang ditinggalkan pada masa panen selesai. Semua
rumah, baik yang berbentuk bulat, persegi bertiang atau gubuk di ladang-ladang
dibuat dengan cara bergotong-royong oleh anggota Pedukuhan dengan
upacara-upacara tertentu yang dipimpin oleh kepala Pedukuhan. Wilayah Desa Pakraman Lungsiakan, Desa
Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar yang berada pada garis kordinat peta -8.49.28.79 Lintang Selatan dan 115.25.34.50 Bujur Timur. Kedudukan wilayah
ini tidak bisa dipisahkan dengan perjalanan sejarah kuno Bali, karena Lungsiakan
sebelum menjadi sebuah desa yang tertata dengan baik, dahulunya masih berupa daerah
hutan tropis yang berstruktur tanah sangat subur. Dengan sumber air yang
melimpah, hawa yang
sejuk dan lembab menjadikan wilayah
ini sangat cocok
ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman tropis yang hidup dengan subur, tanda-tanda
kehidupan pada masa pra aksara hingga kini belum ditemukan oleh para ahli
purbakala di areal
pura. Hanya saja yang menarik dikaji adalah, letak Pura Dalem
Lungsiakan dikelilingi oleh berbagai situs tua. Di bagian utara Lungsiakan di desa
Margatengah dan Bukian Payangan ditemukan sarkofagus tahun 1974, dibagian timur
Lungsiakan ditemukan situs Goa Raksasa di Campuan Ubud, Goa Gajah, Yeh Pulu, Sarkofagus
di Bitra dan desa Tegallalang. Sementara itu dibagian selatan dari desa
Lungsiakan ada ditemukan Candi Tebing di desa Jukutpaku. Sedangkan bagian barat
dari desa Lungsiakan sudah sangat dekat dengan sungai tua, Ayung. Penemuan
berbagai tinggalan purbakala itu untuk sementara bisa menjadi dasar pemikiran
bahwa wilayah desa Lungsiakan sudah dihuni oleh penduduk pada zaman
Megalithikum atau Batu Besar sekitar 250 tahun awal Masehi. Hal ini dituangkan
dalam laporan 6 orang peneliti dari Balai Arkeologi dan Badan Pelestarian Cagar
Budaya yang menemukan berbagai benda kuno di beberapa sarkofagus. Lebih lanjut
bisa ditafsirkan bahwa daerah Lungsiakan sudah memiliki kontak dengan pendatang
Tiongkok, India dan Vietnam pada masa prasejarah, karena sudah mulai dikenal
simbol status pada berbagai penemuan. Ketersediaan air untuk irigasi sederhana
pertanian juga sudah memungkinkan membuat penduduk kuno yang biasanya mendiami
wilayah tepian sungai, berpindah ke daerah dataran yang agak tinggi. Sebaran
situs prasejarah dan sejarah Bali Kuno yang tumpang tindih mengidentifikasikan
keberlanjutan pemukiman masyarakat dan elit-elit dari masa prasejarah hingga
awal munculnya kerajaan Hindu di Bali. Selain sumber sejarah dan penelitian
juga data ripta prasasti ada juga cerita rakyat yang diyakini sebagai sebuah
fakta masa lalau tentang adanya sepasang raksasa laki dan perempuan yang
menghuni goa di Campuhan. Cerita rakyat ini berkembang hingga sekarang tentang
bagaimana sepasang raksasa itu selalu menculik para penari rejang di Pura
Gunung Lebah untuk dimakan. Sampai akhirnya perbuatan itu diketahui oleh
penduduk dan beramai-ramai kemudian membunuh sepasang raksasa tersebut. Kata
Raksasa ini kemungkinan menyebutkan jenis manusia yang bertubuh lebih besar
dari manusia biasa dan hidup di goa-goa, walaupun tidak sangat pasti ada kaitannya
antara cerita rakyat dengan yang dimaksud penduduk goa, cukup membuat para
peneliti mengkait-kaitkan cerita rakyat ini dengan kehidupan manusia goa yang
tanpa budaya.
BAB III
Masa Hindu Buddha
Masa perkembangan faham Hindu Buddha di Nusantara terjadi sudah sangat
lama, seluruh wilayah pulau Bali mengalami masa ini, terbukti hingga sekarang
faham ini menjadi warisan yang tidak pernah hilang, demikian juga daerah Lungsiakan,
Kedewatan, Ubud. Pura-pura kahyangan yang berdiri megah di hampir semua pelosok
wilayah ini menjadi bukti bahwa faham Hindu Buddha masuk ke seluruh wilayah Bali kemudian
berkembang sesuai dengan keadaan wilayah dan perkembangan budaya penduduknya
masing-masing. Tetapi karena sedikitnya peninggalan berupa tulisan yang bisa
dibaca dan diteliti oleh para ahli membuat sulit memastikan era masuknya faham
ini ke Bali.
Para pengungsi India.
Mulai dikenalnya keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu Buddha di Nusantara,
diungkapkan oleh para ahli sejarah dunia diawali dengan kerajaan di daerah
Sumatera Utara pada tahun 500 Masehi. Kebanyakan kerajaan-kerajaan itu
didirikan oleh para pengungsi dari India, terdiri dari kaum Bangsawan, Pendeta
dan para pedagang yang menghindar dari kemelut yang terjadi di India. Para
pengungsi India ini berlayar mencari daerah baru untuk bermukim sebagai tempat
melanjutkan tradisi yang mereka anut dan yakini secara turun temurun. Kerajaan-kerajaan
kecil itu tersebar di beberapa wilayah di Sumatera Utara, dengan jumlah
penduduk yang juga tidak terlalu banyak. Kerajaan-kerajaan itu antara lain
Kendahari, Pali, Malayu Sri Boja dan lain-lain yang bertahan sampai
sekitar tahun 682 sampai dengan
tahun 686 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perkembangan Agama Buddha Nusantara.
Di Palembang berdiri kemudian sebuah kerajaan yang
bernama Sriwijaya, nama kerajaan berasal dari bahasa Sanskerta yang mengandung
dua suku kata: Sri dan Wijaya,
Sri berati Cahaya,
Wijaya berarti kemenangan. Cikal bakal keberadaan kerajaan yang terletak di
seputar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang ini menurut catatan sudah ada
pada tahun 500-an. Kerajaan Sriwijaya
terdiri atas tiga daerah utama: daerah ibukota yang berpusatkan di sekitar
Palembang, lembah Sungai Musi dan daerah-daerah muara, pada sekitar tahun 425
Masehi, agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya yang berlokasi di
Palembang, sehingga
menarik hati banyak
sarjana dari negara-negara di Asia untuk datang untuk memperdalam ajaran
agama Buddha.
Salah satu diantara mereka adalah seorang pendeta
dari Tiongkok yang bernama I
Ching, dalam perjalanan studinya ke Universitas Nalanda, India pada tahun 671 hingga 695, I Ching menceritakan dalam salah satu
bukunya bahwa
Sriwijaya sudah menjadi
rumah belajar bagi
ribuan sarjana Buddha. Pendeta I
Ching menulis banyak catatan tentang
keberadaan Sriwijaya pada masa itu.
Semua tulisannya
menjadi bahan yang sangat penting
untuk mengetahui keberadaan kerajaan ini. Selain
catatan tersebut, bukti lain tentang keberadaan Sriwijaya bisa ditemui dari
berbagai peninggalan, salah satunya berupa prasasti yang dikeluarkan oleh
masing-masing raja yang berkuasa pada zamannya. Prasasti yang menuliskan tentang Sriwijaya antara
lain dibuat pada tahun 683 di Palembang, bernama Prasasti
Kedukan Bukit yang berisi tulisan singkat menceritakan tentang usaha Raja Sriwijaya, yang bergelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga
melakukan penyerangan ke wilayah Malayu Sriboja keselatan dan dibagian utara
wilayah Sumatera,
juga melakukan menaklukan
terhadap Kerajaan
Tarumanegara. Diantara kerajaan-kerajaan Malayu, Kerajaan Kendari dan Kerajaan
Pali juga
dapat dikuasai, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 683
Masehi, Prasasti Talang Tuo bertahun
684 Masehi dan Prasasti Kota Kapur.
Expansi
Sriwijaya itu yang membuat para bangsawan dan para Rsi di Sumatera meninggalkan
wilayah Malayu Sriboja mencari daerah yang baru diluar kekuasaan Kerajaan
Sriwijaya kearah timur dengan perahu sampai
mendarat di wilayah Nusa Goh atau dikenal dengan nama Pulau Sapi. Dengan sisa kekuatan pengikutnya mendirikan
kerajaan Pali yang
bermula dari sebuah desa kecil terpencil yang sunyi, nama kerajaan yang baru didirikan itu sama dengan
sewaktu masih di Sumatera yang berpenduduk sebagian besar memeluk agama Buddha.
Kerajaan Kutai dan Mataram sebagai cikal Bakal perkembangan Agama Hindu di
Jawa dan Bali.
Letak kerajaan
Kutai berlokasi di daerah Kutai, Kalimantan Timur, keberadaan kerajaan Hindu
pertama di Indonesia ini diterangkan oleh 7 buah prasasti yang berbahasa
Sanskerta dan berhuruf Pallawa. Masyarakat Kutai pada saat itu belum mempunyai
bahasa dan huruf yang baku, para ahli sejarah memperkirakan bahwa prasasti yang
berbentuk Yupa mulai ditulis pada sekitaran tahun 400 Masehi. Kalimat yang
terpahat pada salah satu yupa setelah diteliti dapat ditarik kesimpulan bahwa
yang menjadi cikal bakal dari kerajaan Kutai adalah Kudungga yang dilanjutkan
oleh Aswawarman dan pada masa pemerintahan Mulawarwan kerajaan Kutai mencapai
masa kejayaanya. Kerajaan Kutai memiliki hubungan dagang yang sangat baik
dengan India, hal itulah yang membuat semua prasasti di Kutai ditulis dalam
huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta yang merupakan hurup dan bahasa Hindu
Selatan di India yang merupakan daerah asal agama Hindu-Buddha. Dengan
perkiraan tertulisnya prasasti yang menceritakan tentang kerajaan Kutai pada
sekitar tahun 400 Masehi, dapatlah disimpulkan bahwa Kutai adalah kerajaan
Hindu pertama di Nusantara.
Pada tahun 730
Masehi, secara resmi Sri Maharaja Sanjaya menjadi raja di pulau Jawa,
kerajaanya disebut sebagai kerajaan Mataram, wilayah kekuasaanya meliputi
seluruh pulau Jawa, kecuali tanah Sunda. Sri Maharaja Sanjaya mulai melakukan
penaklukan-penaklukan ke daerah sekitar, seperti Sriwijaya, Lingor atau
Thailand hingga Hujung Medini atau Malaysia Barat. Beliau juga dikenal sebagai
Raja Rsi yang sangat gemar menyebarkan agama Hindu di daerah-daerah
taklukannya, memperkenalkan ajaran Lingga Yoni dalam penyebaran agama Hindu
yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta kerajaan Mataram. Semua konsep pemerintahan beliau dapat kita lihat pada Prasasti
Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah berangka tahun 732 Masehi dikisaran Tahun 730 Masehi. Salah seorang Pendeta guru
dari perguruan Markandhya yang bernama Rsi Markandya melakukan perjalanan suci
dari Pasraman Gunung Wukir di Damalung, tempat dimana prasasti Canggal
ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, kemudian menuju
lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi berakhir di Gunung Agung atau Lingga
Acala tempat Pura Besakih sekarang. Di
daerah lereng
Gunung Raung wilayah
Desa Girimulya, dan di sekitar Tirta Empul di Jawa Timur ditemukan juga oleh para
peniliti sejumlah peninggalan kuno berupa
arca-arca kecil pratima. Di antaranya arca
perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984, arca Rsi Markandya seukuran ibu jari
ditemukan tahun 1985, tempat Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, dua buah
Bokor Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, Gentha Panditha
dan tujuh bilah keris ditemukan pada tahun
1976. Kemudian ditemukan juga batu Andesit
diperkirakan dipakai untuk mengolah obat saat itu. Dan terakhir
ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan kuno.
Didalam Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi
Markandya juga
dikisahkan seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil
seorang isteri,
berputera dua orang yang sangat
tampan rupanya, berbudi mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Yang sulung
diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. seperti yang tersurat dalam sloka Bhuwana Tatwa Maharsi
Markandya, yang berbunyi :
Sang
Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira
apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama
Yang artinya:
Sang Ayati dan
Sang Niyata sama-sama berparas sangat tampan, sangat pintar dan faham berbagai
ilmu pengetahuan yang menjadikan beliau berdua sangat bijaksana.
Sang Ayati berputera Sang Prana, demikian pula adiknya, yang bernama
Sang Niyata, berputera Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristerikan
Dewi Manaswini, berputera Maharsi Markandya. Selanjutnya Maharsi Markandya,
beristerikan Dewi Dumara, menurunkan
Maharsi Dewa Sirah, yang beristerikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan
banyak putera. Pada hari yang
baik, salah seorang murid Maha Rsi Agastya yang bernama Sang Ila putera dari Maharsi
Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa
dan Sang Anaka, melakukan Tapa Samadhi di
Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Pegunungan Dieng. Seperti halnya Maharsi Markandya
juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau pegunungan Dieng di gunung Damalung.
Penduduk Bali Mula dan Bali Aga.
Pada awalnya penduduk pulau Bali terdiri dari
kelompok-kelompok kecil masyarakat yang membentuk kuwu-kuwu terpencil dan
berjauhan letaknya antara satu dengan yang lainnya, terdiri dari ras Austronesia yang memiliki aturan dan pemimpin
masing-masing kemudian berkembang hampir ke seluruh pelosok Bali. Penduduk Bali yang awalnya tidak menganut
agama, melakukan ritual dengan cara menyembah para leluhur yang mereka kenal
dengan sebutan
Hyang, kepercayaan mereka bahwa tiap benda, baik yang benyawa maupun tidak
bernyawa mempunyai roh, yang ditakuti dan dihormati. Meyakini bahwa semua unsur
dalam dunia dikuasai Hyang sebuah kekuatan yang tidak tampak. Mereka memuliakan
gunung, sungai, danau, laut, pohon dan batu serta benda-benda lain sebagai
tempat bersamayamnya para Hyang. Keadaan seperti ini berlangsung sangat lama,
diperkirakan hingga awal pertama tarikh Masehi atau sekitar abad pertama
Masehi. Menurut
Lontar Bali Tattwa, datanglah seorang Rsi yang bernama
Maha Rsi Markandya ke Bali, Setelah
menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah kurang
lebih 800 orang,
yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandya ke
arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung.
Rombongan
Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, segera melakukan pembukaan hutan dengan
menebangi kayu-kayu besar untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan
tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah
penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti
Mranggi atau Macan, Singa, dan Ular, ada juga
yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua
kejadian itu, pengiring Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya
tersisa hidup sejumlah 200 orang saja. Mereka memilih bermukim di
wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali tengah, yang dikenal dengan nama
Munduk Taro. Diantaranya kampung-kampung tua di sepanjang
dataran subur yang diapit oleh dua aliran sungai, Sungai Wos Lanang dan Sungai
Wos Wadon. Dataran yang membentang dari utara ke selatan dari Taro sampai Campuhan Gunung Lebah di
Ubud. Sebagian yang lain menyebar kearah barat dan timur Munduk
Taro membangun kuwu-kuwu di daerah tepian sungai dan perbukitan yang menyedikan
banyak sumber air dan makanan. pengikut Rsi Markandhya yang selamat dan
menghuni berbagai wilayah Bali secara terpencar ini kemudian dikenal dengan
nama Penduduk Bali Mula, yang artinya ditancapkan di Bali sebagai cikal-bakal
pembuat peradaban Bali kemudian.
Sang
Maharsi Markandya memutuskan untuk kembali ke Pesraman di Gunung Raung, melakukan yoga, tapa, brata dan semadhi untuk
memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha untuk mengetahui sebab bencana yang sudah menimpa para
pengikut beliau di
Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru. Dari Tapa Semadhi
itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung
Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara yang cukup
serta tidak menanam
Panca Datu. Kisah ini menyiratkan sebuah pesan bahwa saat kedatangan
Maha Rsi Markandhya di Bali, sudah ada penguasa-penguasa lokal yang memiliki
banyak pengikut belum bisa menerima kedatangan beliau yang mengajarkan faham
ke-Tuhanan di Bali. Diperkirakan para penguasa lokal dan masyarakat Bali ini
menghalang- halangi usaha beliau dalam menyebarkan ajaran suci itu.
Dalam
buku Sejarah Bali Jilid I dan III, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman
Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali
dengan membawa
ribuan orang pengikut dari
Desa Aga, yang
dikenal sebagai keturunan petani
cakap mengubah
hutan menjadi perkampungan dan lahan pertanian. Setelah berhasil membuka
lahan pertanian,
maka tanah lapang itu segera dibagi-bagikan
kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan
rumah. Tempat dimana awal
Sang Rsi melakukan
pembagian lahan itu
kelak menjadi satu desa yang diberi nama Desa Puwakan, yang artinya tempat pembagian
yang adil. Tentang
pembagian tanah dan kehadiran Maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada
dijelaskan:
Saprapta
ira sang Yoghi Markandya maka di watek panditha Adji, mwah wadwan ira sadya
ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Panditha
prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh,
sang Panditha Aji anguncar aken wedha panulak sarwa
marana, tarmalupeng puja
samadhi, Dewa yajna
mwang Bhhuta yajna,
Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan
ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunong taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh
sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang
tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira
araryan rumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang
tegal karang paumahan
Artinya
:
Setibanya
Sang Yoghi Markandya seperti juga para Panditha Aji, bersama rakyatnya semua di
tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para
pandhita semuanya
melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta
weda memohon
perkenan Ida Bhatara semua, Sang panditha Aji mengucapkan weda penolakan
terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan
upacara Dewa Yajnya
dan Bhuta Yajnya,
serta memuja Pertiwi.
Setelah selesai melakukan pangaci-aci atau melakukan upacara yadnya, maka seluruh rakyatnya
diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai
dari selatan setelah itu baru ke utara. Atas
perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tidak mendapat
halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya
untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian
membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah
tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandhya
kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha.
Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha. Sarwadha sendiri berasal dari
kata sarwa yang artinya serba dan ada, jadilah serba ada,
artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada. Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Sang Maharsi melanjutkan perjalanan serta memindahkan
tempat pertapaan ke arah barat, pada
satu lokasi yang masih asri. Tempat-tempat
suci yang berhubungan dengan Rsi Markandhya di Bali meliputi Pura Basukian di
kaki Gunung Agung atau giri
Tolangkir, di desa Besakih.
Semula,
lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandhya menanam kendi yang
berisi Panca Datu yang terdiri dari lima jenis logam mulia,
seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi
beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lama kelamaan daerah pura Basukian dikenal dengan nama Besakih, yang berarti semua selamat dan berbahagia. Berikutnya
ada Pura Pucak Cabang Dahat di
Desa Puwakan, dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya
melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah
berhasil dengan baik
merabas hutan, Maharsi Markandhya kemudian membagi-bagikan lahan kepada
pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian. Masih
di wilayah Desa Taro, Rsi Markandhya juga membangun tempat
pemujaan yang diberi nama Pura
Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan atau
perwakilan
Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Glanmore, Banyuwangi, Jawa
Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali Sang Maha Rsi mendapat wangsit
sebelum datang menyebarkan ajaran ke-Tuhanan ke Bali. Di
kawasan Ubud ada ditemukan hingga kini dua areal tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi
Markandhya, yakni Pura Pucak Payogan dan Pura Gunung Lebah.
Dikisahkan dalam semadi sang
Rsi melihat
seberkas sinar
terang dikejauhan yang selanjutnya
ditelusuri
hingga sampai pada satu tempat berupa
hutan lebat di daerah perbukitan. Pada lokasi sinar itu kembali Rsi Markandhya melakukan yoga
semadi, di tempat
semadi beliau itu
selanjutnya didirikan sebuah Pura dengan nama Pura Pucak Payogan.
Tidak jauh dari Pura
Pucak Payogan, pada sebuah pertemuan dua aliran sungai suci Wos dimana
beliau selalu melakukan penyucian diri dari segala unsur papa mala petaka, oleh
pengikut beliau kemudian dibangun sebuah tempat suci dikenal dengan nama Pura
Gunung Lebah.
Selain sebagai sumber kesucian, campuhan juga sebagai sumber kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat, karena disanalah konsep penciptaan dari pertemuan
sungai suci Wos Lanang sebagai unsur Purusa atau laki-laki dengan sungai suci
Wos Wadon sebagai lambang Predana atau Perempuan. Pertemuan dua unsur ini
disertai dengan puja mantra serta kedalaman yoga serta semadi yang tinggi
menghasilkan kesehatan dan kesejahteraan lahir dan bhatin.
Dalam karya besar Bhuwana
Tatwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan:
Mwah
ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para
sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa
Artinya :
Juga di
pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi
Markandhya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga
Waisnawa.
Ketika
melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan atau Payangan,
sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde
Sara Sastra, dikisahkan beliau sang Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci dikenal
dengan nama Murwa atau Purwa
Bhumi. Pura
dimaksud berlokasi di Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah
Maharsi Markandhya
untuk pertama
kalinya
menurunkan ilmu pengetahuan suci keagamaan, juga ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan cara bertani yang sesuai dan benar bagi para pengikut beliau
juga untuk masyarakat luas. Kesejahteraan yang diharapkan terlaksana melalui
jalan yang panjang dari Jawa ke Bali berujung di Parahyangan, menyatu antara
kebahagiaan sekala dan niskala dirasakan beliau dan para pengikutnya dituangkan
dengan pendirian Pura Sukamerih yang berarti segala kebahagiannya yang
diharapkan sudah tercapai. Sekian lama setelah masa kedatangan sang rsi yang
dimulai dari tahun 858 Saka, ajaran suci beliau menyatu dengan jiwa penduduk
Bali menjadi pondasi kepercayaan pengikut beliau yang kemudian menyebar tidak
hanya di wilayah munduk Taro, tetapi juga dibawa oleh penduduk Aga di desa-desa
seperti: Sambiran,
Sangsit, Dausa, Cabongan, Lembongan, Nusa Penida, Cempaga, Tenganan,
Kintamani, Sastra, Sidhatapa, Timbrah, Kedisan, Terunyan, Padarba, Kutapang, Batur,
Kayubihi, Gobleg, Sental, Kawan, Bakung, Kayang, Bratan, Tigawasa, Bantang,
Pangotan, Sukawana, Kembang
Sari, Bayung, Ceking, Lampu, Kutadalem, Abang, Abianbase, Sambahan, Lot, Plaga,
Blakiuh, Gadungan, Camangawon, Angkah, Marga, Tabuana, Pasekan, Pengalu dan
lain-lain.
Melihat dan meneliti dekatnya jarak antara Desa
Lungsiakan dengan Pura Gunung Lebah dan Pura Pucak Payogan, kemungkinan sangat
besar desa Lungsiakan sudah didiami oleh penduduk Bali Mula dan Bali Aga pada
kisaran tahun 800 hingga 900 Masehi. Berawal dari Kuwu dengan beberapa orang
kepala keluarga, semakin lama semakin berkembang hingga membentuk sebuah Banua
atau Desa dengan penduduk yang terdiri dari puluhan kepala keluarga. Konsep
desa masa penduduk kuno yang mengutamakan hulu Gunung sebagai pokok kehidupan
bermasyarakat dan kehidupan religi tampak jelas pada penataan Desa Lungsiakan.
Jalan desa yang membentang dari hulu ke hilir diapit oleh rumah-rumah penduduk
diperkirakan memang berasal dari jalan kuno yang sudah diwarisi dari dahulu,
walaupun kemungkinan masih berupa jalan setapak berbatu-batu. Kelengkapan
faktor utama terbentuknya desa kuno masih sangat lengkap diwarisi hingga
sekarang, mulai dari adat istiadat, bangunan-bangunan pelinggih pura, setra dan
petirtan atau beji merupakan faktor utama yang dibuat oleh penduduk kuno dalam
usaha awal membangun sebuah desa atau kuwu.
Perkembangan kebudayaan yang terjadi kemudian tidak serta
merta mampu menghapus jejak langkah budaya orang Bali Mula maupun Bali Aga
pengikut Sang Rsi yang semakin lama semakin berkembang. Ajaran suci keagamaan
yang merupakan pondasi kehidupan di Lungsiakan seakan menyatu sebagai sebuah
kebiasaan yang diajarkan oleh leluhur kepada generasi penerusnya. Kebiasaan
yang mengikat dalam sebuah tradisi berisikan pesan moral yang tinggi sebagai
wujud nyata cara menghaturkan ungkapan rasa terimakasih kepada Sang Pencipta
dan segala ciptaan Beliau.
Bab IV
Masa Bali Kuno
Ada keyakinan dari banyak ahli sejarah yang mengkaitkan
cikal bakal pulau Bali dengan keberadaan kerajaan P’o-li yang ditulis
dalam beberapa buku petualang bangsa Cina pada masa pemerintahan Dinasti Cui.
Tetapi banyak pula pendapat
berbeda dari para ahli sejarah dunia yang
telah dikemukakan cenderung menyatakan bahwa P’o-li merupakan kerajaan
besar, atau paling tidak terletak di wilayah yang luas. Kecenderungan itu
sesuai dengan gambaran yang didapat dari kitab sejarah dinasti Sui. Menurut
penulis kitab itu, panjang kerajaan P’o-li dari timur ke barat adalah
selama empat bulan perjalanan, dan dari utara ke selatan selama 45 hari
perjalanan. Apabila memang benar P’o-li merupakan kerajaan besar dan
mempunyai wilayah yang sangat luas,
maka tidak sesuai dengan Bali yang relatif kecil.
Toponim
yang lebih cocok diidentifikasikan dengan Bali, menurut bagian lain pendapat
Groeneveldt, adalah Dva-pa-tan yang terbaca dalam kitab sejarah Kuno
dinasti T’ang. Negeri itu dikatakan terletak di sebelah selatan Kamboja dalam
jarak dua bulan pelayaran, atau di sebelah timur Ho-ling atau
Ka-ling.
Adat istiadatnya sama dengan Ho-ling yang setiap bulannya padi sudah dapat dituai
oleh petani, dan
penduduk menulis pada daun rontal. Jika ada orang mati, mayatnya diberi
perhiasan emas, ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar
disertai dengan bau-bauan yang harum. Di dalam kitab Chu-fan-chih
bagian Su-chi-tan, Bali disebut dengan nama Mali. Lebih jauh,
penulis kitab Yao-i-chin-lue mencatat nama P’eng-li yang
mungkin dapat diidentifikasikan
dengan Pali atau Mali. Hingga kini kitab Chu-fan-chih menjadi acuan terkuat sebagai catatan
tertua tentang keberadaan pulau Bali yang diyakini oleh para ahli sejarah
dunia.
Sekta-sekta di Bali.
Masuknya
agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi dengan didapatkan hasil penelitian tulisan pada nekara di Pejeng yang berbahasa
Sanskerta. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Siwas.......ddh.......” Dr. R. Goris
menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siwa
Siddhanta”. disimpulkan pada abad
ke-8, Paksa Siwa Siddhanta telah berkembang di Bali, karena sampai terbuatnya sebuah
prasasti, berarti ajaran ini sudah lama berkembang sebelumnya. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja
dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu diyakini bahwa agama Hindu sudah masuk secara perlahan-lahan di Bali sebelum abad ke-8 Masehi.
Bukti lain
yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca
Siwa di pura Putera Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut
merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa dari candi Dieng yang berasal dari
abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca
Hindu Bali. Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882
Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Siwaprajna, Bhiksu
Siwa Nirmala dan Bhiksu Siwakangsita membangun pertapaan di Cintamani,
menunjukkan kemungkinan telah terjadi pembauran antara Siwa dan Buddha di Bali
dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya
berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Pembauran antara Siwaisme dan
Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa
pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warna Dewa, karena kedua agama tersebut
menjadi agama negara.
Bersamaan
dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai banyak
peninggalan yang
menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha
Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar
di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di
pura Penataran Sasih dapat diteliti diselamatkan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar
abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairawa dengan peninggalan
berupa arca-arca Bhairawa di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini berkembang
sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari di Jawa Timur
pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, diyakini bahwa perkembangan awal kedatangan agama Hindu atau Siwaisme dan Buddha atau Mahayana hampir pada saat yang bersamaan dan bahkan akhirnya
agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali
saat ini.
Masa Bali Kuno
merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada
abad ke-10 ditandai oleh berkuasanya raja suami isteri Dharma Udayana Warmadewa dan Gunaprya Dharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di
Bali, yakni mulai banyaknya prasasti yang sebelumnya
berbahasa Bali Kuno digantikan
dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa
dan dikembangkan di Bali. Sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut
penelitian Dr. R.Goris pada tahun 1926 berjumlah 9 sekta, yang terdiri dari: Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha atau Soghata, Brahmana, Rsi, Sora atau Surya dan Ganapatya.
Dalam beberapa
lontar di Bali disebutkan ada 6 sekta yang dikenal dengan nama Sad
Agama, yang terdiri dari: Sambhu, Brahma, Indra,
Bayu, Wisnu dan Kala. Intisari dari ke 6 sekta tersebut kemudian dikenal dengan
Siwa Siddhanta yang mewarnai kehidupan beragama di Bali dengan peninggalan
beberapa lontar-lontar tua, antara
lain: Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Tattwa Jnana, Sang Hyang Maha Jnana, Catur Yuga, Widhi Sastra dan lain-lain. Sementara Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para
panditha Hindu di Bali dalam
aktivitas ritual pelaksanaan Puja parikrama hingga kini diyakini bersumber pada ajaran Siwa
Siddhanta.
Pada masa
pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang panditha Hindu bernama Mpu Rajakerta
menjabat Senapati I Kuturan jabatan semacam
perdana mentri yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga
kini. Pada
ajaran Siwa Siddhanta masyarakat meyakini bahwa Dewa Siwa sebagai dewa
tertinggi yang mempunyai 3
hakekat atau tattwa yaitu: Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud atau niskala, Sadasiwa-tattwa yang
bersifat berwujud - tak berwujud atau sakala-niskala dan Siwa-tattwa yang bersifat
berwujud atau sakala. Selain
agama Siwa Siddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang
muncul sejak masa
pemerintahan Raja Jayabhaya dari
Kediri, merupakan sebuah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja Dewa Wisnu. Peradaban awal yang ditemukan pada
stupa-stupa dan batu bertulis di situs Pejeng dengan angka tahun Isaka 700 atau tahun 778
Masehi dalam bahasa Sanskerta adalah kutipan sebuah mantra Buddha yang berbunyi:
Ye
Dharma Hetu Prabawahetun Tesan Tathagato Hyawadattesanca Yo Nirodha Ewam Wadi
Mahasramanah
Artinya :
Keadaan tentang sebab-sebab kejadian
atau proses terciptanya
dunia sudah dijelaskan oleh Sang Buddha yang maha mulia.
Banyak ahli
berpendapat bahwa penduduk Bali Kuno lebih dahulu mengenal
Agama Buddha dari pada Agama Hindu, tetapi karena
perbedaan waktu antara kedatangan para Bhiksu dengan kedatangan para Rsi
Hindu hampir bersamaan maka terjadilah
percampuran antara dua agama itu. Prasasti-prasasti
yang bertarikh tahun 804 Isaka atau pada tahun
882 Masehi sudah menyebutkan nama-nama bulan kalender dengan solar system
(Hindu) seperti di India. Selain itu, prasasti batu padas
yang ditemukan di Blanjong Sanur telah bertuliskan tahun Saka menurut sistem
Candra Sangkala dari peradaban Hindu: Khecara Wahni Murti. Murti berarti Siwa berarti 8; Wahni berarti cahaya berarti 3; Khecara berarti bintang berarti 9. Jadi sistem Candra Sangkala itu
menunjukkan tahun kejadian yakni: Isaka 839 atau tahun 917 Masehi. Sistem Candra Sangkala selain
menunjukkan tahun kejadian, juga berbentuk kalimat yang dapat ditafsirkan
sebagai pemberitaan, dalam hal ini Khecara Wahni Murti, artinya: Bintang yang
terang bercahaya bagaikan Bhatara Siwa.
Kalimat ini juga ditafsirkan sebagai pujian kepada
Raja: Kesari Warmadewa yang ketika itu berkuasa dan
beristana di Singhadwala, beliau beragama
Buddha penganut sekta Mahayana. Percampuran budaya Buddha-Mahayana
dengan Hindu sekta Siwa Sidantha dan sekta Waisnawa telah terjadi di Bali kuno setidak-tidaknya sejak tahun 882
Masehi seperti yang diuraikan di atas, jauh sebelum kejadian yang sama di Jawa
Timur. Siwa-Buddha berasimilasi di
Jawa Timur baru diakui sejak tahun 1365 Masehi oleh Mpu Prapanca dalam tulisan
kekawinnya berjudul Desawarnana, dan selanjutnya Mpu Tantular menulis hal sama
pada kekawinnya yang berjudul
Arjuna Wiwaha pada tahun 1367
Masehi dan Sutasoma pada tahun 1380
Masehi. Di Bali,
Siwa-Buddha dan Waisnawa dilebur menjadi agama Hindu yang ada sekarang di Bali
oleh Mpu Kuturan. Peristiwa itu
terjadi pada masa pemerintahan Raja suami isteri Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warnadewa yang
bertahta di Bali pada tahun Saka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988 Masehi
sampai dengan tahun 1011 Masehi. Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah
mayoritas orang Bali Mula yang merupakan pengikut
Rsi Markandhya pada kedatangan beliau yang pertama, selanjutnya pengikut Rsi Markandhya dari desa Aga Jawa yang mengikuti beliau pada kedatangan kedua disebut sebagai orang Bali Aga. Dengan demikian penduduk Bali pada masa itu mengenal 6 sekta yang dalam pelaksanaan keagamaanya yang berbeda pelaksanaanya satu dengan
yang lainnya. Tata cara yang berbeda dalam melaksanakan keyakinan itu seringkali menimbulkan ketegangan
akibat pertentangan antara satu sekta
dengan sekta yang lainnya.
Kedatangan para Mpu ke Bali.
Para penganut sekta yang selalu bersaing dan bertentangan satu dengan yang
lainnya itu merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di
masyarakat yang membawa dampak buruk pada hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Akibat yang bersifat kurang baik ini bukan saja menimpa desa
bersangkutan, tetapi meluas sampai pada sistem pemerintahan
kerajaan, sehingga roda pemerintahan menjadi ikut terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja suami isteri Gunaprya Dharmapatni dan Udayana Warmadewa mendatangkan beberapa orang Rsi dari Jawa
Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak lama semasih beliau di Jawa Timur, 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
1.
Mpu Semeru, dari sekta Siwa tiba di Bali pada hari Jumat Kliwon, wuku
Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, Candra Sengkala Jadma
Siratmaya Muka yaitu tahun Saka 921 atau tahun 999 Masehi lalu berparhyangan di Besakih.
2.
Mpu Ghana, penganut
aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7
tahun Saka 922 atau tahun 1000 Masehi, lalu berparhyangan di Gelgel
3.
Mpu Kuturan, pemeluk
agama Buddha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku
Pahang, maduraksa atau tanggal ping
6, Candra Sengkala: Agni Suku
Babahan atau tahun Saka 923 atau tahun 1001 Masehi, selanjutnya berparhyangan di Cilayukti daerah Padang.
4.
Mpu Gnijaya, pemeluk
Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih
kadasa, Prati Padha Cukla, tanggal 1,
Candra Sengkala: Muka Dikwitangcu atau tahun Saka 928 atau 1006 Masehi, lalu berparhyangan di bukit
Bisbis, Lempuyang.
Keempat orang Brahmana dari Jawa Timur itu sebenarnya bersaudara 5 orang, dikenal dengan nama Sang Panca Panditha atau Sang Panca Tirtha yang, setia
menjalankan dharma kepanditan dan menjadi guru loka di wilayahnya masing-masing. adiknya
yang bungsu bernama Mpu Bharadah masih menetap di Jawa
Timur, berparhyangan di Lemah Tulis, Pajarakan. Tentang
adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti yang
menyebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat Senapati. Prasasti-prasasti tersebut ditemukan di beberapa desa tua Bali, diantaranya:
1.
Di desa Srai, Kintamani, bertahun Saka 915 atau tahun 993 Masehi, di desa Batur, Kintamani, bertahun Saka 933 atau tahun 1011 Masehi.
2.
Di desa Sambiran, Tejakula, Buleleng, bertahun Saka 938 atau tahun 1016 Masehi, di desa Batuan, Sukawati, Gianyar bertahun Saka 944 atau tahun 1022 Masehi.
3.
Di desa Ujung, Karangasem
bertahun Saka 962 atau tahun 1040 Masehi,
4.
Di Pura Kehen
Bangli, Bangli, (karena sudah rusak tidak tampak tahunnya) dan
5.
Di desa Buahan, Kintamani, Bangli bertahun Saka 947 atau
tahun 1025 Masehi.
Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu
Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam tahun-tahun tersebut dan
prasasti-prasasti itu merupakan hasil keputusan
raja-raja yang bertahta di Bali yaitu: Raja Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warnadewa yang bertahta dari tahun
Saka 910 sampai dengan 933 atau dari tahun 988 sampai dengan tahun 1011 Masehi menerbitkan prasasti pertama dan kedua. Sri Adnyadani yang bertahta
dari tahun Saka 933 sampai 938 atau dari tahun 1011 sampai dengan tahun 1016 Masehi menerbitkan prasasti yang ketiga dan Sri Dharma Wangsa Wardhana Marakato Pangkaja Stano Tungga Dewa, yang bertahta dari
tahun Saka 938 sampai 962 atau dari tahun 1016 sampai dengan tahun 1040 Masehi menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Mpu Kuturan dalam
meredam gejolak yang bersumber dari banyaknya sekta atau aliran yang saling
bertentangan di Bali, diantaranya adalah dengan membuat pertemuan besar di Bata
Anyar. Dalam pertemuan besar itu diundang wakil-wakil aliran juga para pemuka
agama dan adat di Bali. Dalam pertemuan itu kemudian
diputuskan bahwa semua aliran sekta di Bali, dilebur menjadi tiga komponen
dasar disebut dengan Tri Murti.
1.
Aliran pemuja air dan alam masuk
dalam kategori Wisnu, dipuja dan dimuliakan pada pura Puseh.
2.
Aliran pemuja surya, bulan dan
api dilebur dalam kelompok pemuja Brahma, dimuliakan di pura Bale Agung atau
pura Desa.
3.
Semua sekta atau aliran yang
memuja udara, bintang dan planet dilebur kedalam pemuja Iswara atau Siwa,
dimuliakan di pura Dalem.
Ketiga pura yang terbentuk dari sari-sari sekta
itu disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang
persatuan semua aliran di Bali.
Dalam pertemuan besar di Samuan Tiga
juga diperkenalkan istilah Desa Adat, dan sejak saat itu berbagai perubahan
diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, sosial, dan spiritual.
Di bekas tempat rapat itu kemudian dibangun
pura Samuan Tiga, selanjutnya
prasasti-prasasti yang dikeluarkan raja mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuno
atau Bahasa Kawi mengganti bahasa Bali Kuno yang dipakai dalam penulisan
prasasti-prasasti sebelumnya.
Masa pemerintahan
awal dinasti Warmadewa di Bali dibagi
menjadi 2 poros pegunungan, barat dan timur. Bagian barat berpusat di gunung
Penulisan, Batur, Abang, Batukaru,
Beratan, Bon, Catur, Mangu, Sanghyang, Pohen, Tapak, Silangjana, Lesung. Adeng,
Patas, Merbuk, Musi, Kutul. Klatakan, Ngandang, Banyuwedang, Perapat Agung,
Gondol dan Masehe. Sementara
di bagian timur ada jajaran pegunungan, dimulai dari Gunung Agung, Jambul,
Seraya, Satu dan Asah. Semua gugusan gunung dan bukit ini pada masa kuno menjadi
tempat tumbuh berkembangnya budaya religius di Bali. Munduk Taro
yang membentang dari utara keselatan dan daerah daerah sekitar seperti
Lungsiakan menjadi tempat tumbuh
kembangnya budaya
dan agama yang tertuang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
dikenal kemudian dengan nama dresta. Pada
waktu yang hampir bersamaan dengan masa pemerintahan Raja Sri Ugrasena tahun
912 hingga 942 Masehi yang beristana di
Kintamani yang menguasai gugusan pegunungan di wilayah barat, Raja Sri Kesari
Warmadewa juga membangun wilayah kekuasaan yang berpusat di Besakih pada tahun
913 hingga tahun 955 Masehi gugusan pegunungan di wilayah timur. Pemerintahan 2
dinasti ini diperkirakan
bersamaan dengan Penyebaran faham Buda dan Waisnawa dari kerajaan Mataram Kuno
di Jawa ke pulau Bali. Dalam berbagai naskah tua disebutkan bahwa Rsi Ing
Markandeya diiringi oleh para murid dari Desa Aga membangun kuwu
atau kampung di
beberapa wilayah pegunungan dan tepian sungai Wos, termasuk juga daerah
Lungsiakan.
Perhatian yang besar
diberikan oleh para penguasa pada jaman Bali Kuno terhadap wilayah sekitar Munduk
Taro sebagai tempat yang disakralkan. Wilayah hutan
yang disucikan pada
abad ke 9 Masehi inilah yang diperkirakan menjadi Desa
Lungsiakan sekarang.
Raja terakhir yang memerintah di Bali pada masa
Bali Kuno adalah Bhatara
Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang diangkat
menggantikan kedudukan Bhatara
Sri Wala Jaya Kertaning Rat.
Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten atau Sri
Gajah Waktera dikenal juga dengan nama Sri Topolung, beliau mengadakan
pergantian sejumlah pejabat pemerintahan . Ki Pasung Grigis diangkat menjadi Patih Mangkubhumi, berkedudukan di
Tengkulak, Patih Anom dipegang oleh Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna berasrama di
Blahbatuh. Beliau juga mengangkat para
petinggi istana yang berkedudukan sebagai Menteri dan Demung, seperti:
1.
Menteri Ki Girikmana berkedudukan
di Ularan Buleleng,
2.
Menteri Ki Tambyak di desa
Jimbaran,
3.
Menteri Ki Tunjung Tutur diangkat
berkedudukan di desa Tenganan.
4.
Ki Buwahan menjadi Menteri di
desa Batur,
5.
Ki Tunjung Tutur diangkat menjadi
Pertanda di desa Tianyar,
6.
Ki Kopang menjadi Pertanda di
desa Seraya,
7.
Ki Walungsari diangkat menjadi
Pertanda di desa Taro.
8.
Ki Gudug Basur menduduki jabatan
sebagai Tumenggung, Ki Kala Embang menjadi Demung, Ki Kala Gemet menjabat
sebagai Tumenggung berkedudukan di desa Tangkas,
9.
Ki Buwahan di Batur dan
10. Ki
Walung Singkal berkedudukan di desa Taro.
Demikianlah para Menteri Bhatara Sri Astasura Ratna
Bhumi Banten yang sebagian besar diantaranya adalah merupakan keturunan dari
Ugrasena ksatria Kalingga. Raja Sri Astasura Ratna Bhumi
Banten adalah seorang penganut Buddha yang taat terbukti pada tahun 1338 Masehi
beliau banyak mendirikan tempat suci agama Buddha. Keadaan yang berlangsung
aman dan tentram tersebut tiba-tiba terancam karena sikap dari Raja Sri Astasura
Ratna Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan
Ratu Majapahit Tribhuwana Wijaya Tunggadewi, meskipun beliau
adalah juga berasal dari keturunan Majapahit.
Pada masa
pemerintahan raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, daerah sebelah selatan
Bayung dan sebelah utara Blanjong menjadi kekuasaan Ki Walungsari dan Ki Walung
Singkal yang berkedudukan di desa Taro. Penduduk wilayah ini bertugas sebagai
penjaga prasada kuno dan wilayah
hutan perburuan kerajaan yang terbentang sepanjang sungai Wos, sungai Ayung,
Nungnung, Taro dan Catur hingga pertapaan Sekarmukti. Sepanjang daerah ini
berdiri banyak prasada yang berkaitan dengan penyebaran para pengikut Rsi Ing Markandheya yang menyebarkan ajaran-ajaran suci Hinduistik. Prasada yang
kemudian dikenal dengan nama Parahyangan dan Pura
adalah tempat
suci untuk berbagai
prosesi ritual pemujaan Tuhan atau Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam berbagai manifestasiNya
dan atau Atma Sidha Dewata yang dikenal
dengan sebutan roh suci leluhur dengan sarana
upacara yadnya dari Tri Marga. Sri
Astasura Ratna Bumi Banten saat berkuasa mengeluarkan sebuah prasasti pada tahun 1259 Saka atau
tahun 1337 Masehi. Isi prasasti yang mengatur tentang kewajiban penduduk
sepanjang Drwyahaji, sepanjang sungai Wos, sungai Ayung, Nungnung, Taro Bwan dan Catur hingga
pertapaan Sekarmukti. Hampir sama dengan isi prasasti yang ditemukan di Pura
Tegeh Koripan walaupun dalam keadaan sudah aus, Peneliti Louis Charles Damais, memperkirakan enam tahun setelah sang raja menulis prasasti Langgahan
pada tahun 1259
Saka, Majapahit melakukan ekspedisi ke Bali dibawah kendali Mapatih Gajahmada
pada tahun 1265 Saka
atau 1343 Masehi. Ekspedisi ini dengan gemilang berhasil menaklukkan
kerajaan Bali menjadi wilayah kekuasaan Majapahit, seperti yang tertulis dalam
kitab Nagara Krtagama karangan Mpu Prapanca pada pupuh 49 bait ke 4 yang
berbunyi:
”Muwah ring sakabdesu masaksi
nabhbhi,
Ikang bali nathanya dussila niccha
Dinonin bala bhrasta sakweh nasa
Arssalwir i dusta mandoh wisathta,”
(Pigeaud, 1960a: 36)
Ikang bali nathanya dussila niccha
Dinonin bala bhrasta sakweh nasa
Arssalwir i dusta mandoh wisathta,”
(Pigeaud, 1960a: 36)
Artinya :
”Selanjutnya pada tahun Saka panah-musim-mata-pusat
atau tahun 1265 Saka, kepada raja Bali yang rendah budi dan hina dina
dikirimlah tentara untuk membasmi, hancurlah semuanya, ketakutan semua penjahat
kemudian lari
menjauh
(cf. Slametmulyana, 1979: 297; Pigeaud, 1960c: 54).
Dari sekian banyak prasasti yang
ditemukan dan bisa dibaca tidak ada yang satu prasastipun yang menyebutkan nama
Lungsiakan, dapatlah disimpulkan untuk sementara bahwa nama Desa Lungsiakan
dibuat setelah jaman prasasti, yaitu pada jaman Babad, beberapa abad setelah
masa pemerintahan raja-raja Bali Kuno. Kemungkinan yang bisa terjadi adalah
daerah Lungsiakan sudah dikenal oleh penduduk dengan nama yang berbeda,
berbentuk hutan, tegalan, sawah, atau bahkan sudah menjadi desa, tetapi karena
terbatasnya waktu penyusunan buku ini, penelitian lebih lanjut tentang
kemungkinan nama Lungsiakan yang dikenal pada zaman ini belum bisa dipastikan.
Semoga setelah ini masih ada kesempatan lebih banyak untuk menguak lebih dalam
sejarah Desa Lungsiakan pada masa-masa Bali Kuno, atau bahkan masa sebelum Bali
Kuno.
Bab V
Ekspansi Majapahit
Sri Tapolung yang bergelar Bhatara
Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Gajah Wahana menurut
Babad Usana Bali Pulina adalah seorang raja sakti dari Bali yang bertahta
di Bedahulu sebagai Dhalem pada tahun 1250 Saka atau tahun 1328 Masehi yang dalam
Purana Bali Dwipa disebutkan Beliau merupakan putera dari raja suami isteri Sri
Masula Masuli dari dinasti Warmadewa. Kidung Pamacangah menyebutkan bahwa Arya Damar sebagai penguasa bawahan
Majapahit di
Palembang yang
membantu Majapahit
dalam usaha menaklukkan
Bali pada tahun
1343 Masehi dengan memimpin 15.000 prajurit
menyerang Bali dari arah utara. Mapatih Gajah Mada menuju arah timur Majapahit, bersama keluarga dan prajuritnya yang gagah-gagah
untuk menyerang Bali. Prajurit Patih
Liman Mada berjumlah
15.000 orang bersenjata lengkap,
semua pada terlihat gagah pemberani. Setelah
hampir berperang selama dua hari, pasukan Majapahit berhasil mengalahkan
pasukan Bali pimpinan Ki Pasung Giri. Arya Damar juga kemudian berhasil
menewaskan Ki Pasung Giri setelah menghujamkan keris pusakanya di lambung Ki
Pasung Giri.
Mengetahui Ki Pasung Giri tewas di tangan Arya Damar, mental pasukan
Bali seketika hilang, banyak diantaranya yang gugur dan menyerah, tidak sedikit
juga yang berhasil melarikan diri dari medan laga. Pasukan Arya Damar segera
menguasai daerah Ularan yang merupakan benteng utara kerajaan Bali. Pasukan bala
bantuan dari Majapahit kembali dikirim dalam jumlah besar yang dipimpin oleh
Arya Kutawaringin. Mereka mendaratkan kapal dan
menggabungkan diri dengan sisa-sisa pasukan yang bertahan di benteng desa
Ularan, Arya Damar bersama-sama dengan Arya Kutawaringan memimpin pasukan
mengadakan serangan ke kubu-kubu pertahanan pasukan Bali. Akhirnya daerah Bali utara dan bagian Barat berhasil
diduduki oleh pasukan Majapahit, akan tetapi daerah-daerah bagian timur masih
tetap utuh dibawah pimpinan Ki Buwahan yang bermarkas di desa Batur. Untuk
penguasaan daerah ini, sangat besar jumlah pasukan yang gugur dari kedua belah
pihak, alam pulau Bali yang berbukit-bukit ditambah dengan hutan-hutannya yang
masih lebat, menyebabkan peperangan itu berlangsung lama. Tidak kurang dari 7
bulan lamanya Arya Damar dan Arya Kutawaringin memimpin
pasukan melakukan serangan secara terus
menerus, barulah daerah Bali utara dapat
dikuasai semua setelah Ki Bawahan berhasil
ditewaskan.
Pertempuran di pantai selatan Bali
yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada tidak kalah pula hebatnya, gelombang
laut yang besar membawa keuntungan bagi pasukan Gudug Basur dan Ki Tambyak yang
bertahan di pesisir pantai. Banyak perahu-perahu pasukan Majapahit yang
tenggelam sebelum sempat melakukan pendaratan. Walaupun demikian pertempuran
sengit terjadi pula, setelah pasukan Majapahit melakukan pendaratan yang tak
henti-hentinya. 6 orang perwira Majapahit yang masing-masing memimpin pasukan
yang berjumlah 15.000 orang, disambut oleh pasukan Bali yang sejak lama telah
mengadakan pertahanan dengan rapat. Medan yang
luas dan datar, ditambah pula dengan tidak adanya pohon-pohon besar yang
melindungi pertahanan pasukan Bali, sangat memudahkan pihak penyerang untuk
mengarahkan panah dan tombak dari atas perahu, sehingga banyak memakan korban
dari pasukan Bali.
Demikianlah disana-sini terjadi pertempuran
yang serentak, sehingga hanya dalam waktu 7 hari pesisir pantai selatan Bali
telah dapat diduduki oleh pasukan Majapahit yang sangat besar jumlahnya. Ki Gudug
Basur dan Ki Tambyak gugur dalam pertempuran itu bersama-sama dengan ribuan
pasukan lainnya dari kedua belah pihak. Walaupun tentara Majapahit telah
mendapat kemenangan di pesisir utara dan timur, namun mereka belum berani
melakukan penyerbuan ke pusat kota, mengingat dengan keberanian dan kegigihan
rakyat Bali dalam usaha mempertahankan negerinya. Menunggu waktu yang tepat
Mereka tinggal menyusup berbaur dan menetap di desa-desa Bali menyamar sebagai
penduduk Bali. Sementara itu kesatuan-kesatuan pasukan Sunda yang melakukan
pendaratan di pantai bagian barat, boleh dikatakan selamat tidak disambut
dengan pertempuran oleh pasukan Bali, mereka tidak menjumpai perlawanan yang
berarti. Hal itu terjadi karena kebetulan mereka melakukan pendaratan pada tempat-tempat
yang sunyi, diantara hutan pantai kemudian segera menyusup ketengah-tengah
hutan menuju ke pusat kota Beda-Ulu.
Kembali diceritakan Arya Damar dan
Arya Kutawaringin yang telah memperoleh kemenangan di Bali Utara bersama-sama
pasukannya terus bergerak maju menuju ke pusat pemerintahan Bali di Beda-Ulu,
dengan tujuan utama untuk menghancurkan Beda-Ulu. Setelah 5 hari menempuh
perjalanan yang amat sulit, bersualah mereka dengan Gajah Mada bersama induk
pasukannya di desa Tawing, segera menyusun rencana dan strategi untuk menyerang
ke pusat kerajaan Beda Ulu. Pasukan
Majapahit menyamar menyusup masuk kedalam kota Beda Ulu, mendiami berbagai
daerah di sekitar kota raja, sesudah penuh sesak orang-orang Majapahit di kota
Beda Ulu, tiba-tiba mereka mengangkat senjata menyerang kraton Beda-Ulu dengan
serempak dan tiba-tiba. Pasukan Sunda mengepung desa Tengkulak dari segala penjuru,
pasukan Ki Pasung Grigis yang lengah tidak sempat mengadakan perlawanan. Banyak
pasukannya yang tewas dalam pertempuran itu, sementara Ki Pasung Grigis
ditangkap dan ditawan. Peristiwa itu terjadi pada tahun
tahun 1343 Masehi, semenjak saat itu kerajaan Beda-Ulu hancur dan pulau Bali
berada dibawah kekuasaan Majapahit. Jumlah tawanan pasukan Bali masing-masing:
Arya Beleteng, menawan 160.000 orang, tawanan yang
dikirim ke Majapahit untuk mengabdi kepada raja, sejumlah 80.000 orang. Arya Beleteng, menawan 10.000 orang, Arya
Sentong, 5.000 orang, Arya Kutawaringin, 5.000 orang, Arya Belog, 5.000 orang, Ki Kuda Pangasih, 3.000 orang, Arya Damar, 40.000 orang, Ki Pada Kaon, 20.000 orang, Ki Pakatik, 2.000 orang, Arya Benculuk, 4.000 orang dan tawanan Arya
Kapakisan, 4.000 orang. Hentikan dahulu ceritanya demikian.
Dalam perayaan
kemenangan tersebut tiba tiba muncullah utusan dari Ratu Majapahit Tri Bhuwana
Tunggadewi yang bernama Kuda Pengasih yang tiada lain merupakan ipar dari Patih
Gajah Mada, karena Kuda Pengasih adalah adik Ken Bebed, isteri dari Patih Gajah
Mada. Kuda Pengasih putera patih Matuwa diutus dari Majapahit untuk memantau
langsung pasukan Majapahit dibawah pimpinan Patih Gaja Mada yang telah lama
meninggalkan Majapahit. Kuda Pengasih menyaksikan pesta ria yang dilaksanakan guna merayakan kemenangan yang baru saja diraih
pasukan Majapahit yang berhasil
menundukkan laskar Kryan
Pasung Grigis. Kuda Pengasih kemudian menyampaikan pesan dari Ratu Tribhuwana
Wijaya Tunggadewi yang isinya meminta apabila Bali telah berhasil ditaklukkan
maka Patih Gajah Mada dan Arya Damar diminta kembali secepatnya ke Majapahit
karena telah lama meninggalkan istana Majapahit, akan tetapi para arya yang
lain diperintahkan untuk tetap tinggal di Bali untuk menjaga keamanan Pulau
Bali. Para Arya yang ditugaskan di Bali diantaranya: Arya Kenceng, Arya
Sentong, Beleteng, Arya Kutawaringin, Arya Belog dan Arya Binculuk. Patih Gajah Mada menyanggupi hal
tersebut namun meminta waktu untuk menempatkan para Arya yang akan bertugas
menjaga keamanan kekuasaan Majapahit di Pulau
Bali.
Masa
kekosongan pemerintahan Bali.
Secara keseluruhan pulau Bali berhasil ditaklukan oleh Majapahit
pada tahun 1343 Masehi, mulai
saat itu menjadi wilayah yang kosong tanpa pemimpin, sehingga pulau Bali menjadi tidak aman dengan banyaknya jenis kejahatan yang merajalela.
pemindahan Patih Pasung Grigis dari Tengkulak ke Jawa sebagai orang hukuman,
menjadi benih-benih kemarahan penduduk Bali. Beberapa bulan kemudian Ki Pasung
Grigis diangkat menjadi Panglima Perang Majapahit dalam upaya Majapahit penaklukan Sumbawa yang menentang
kekuasaan Majapahit. Ki Pasung Grigis akhirnya tewas bersama dengan Dadela
Natha dalam perang tanding yang sangat seru. Berita tewasnya Ki Pasung Grigis di Sumbawa, menyebakan kembali
timbul kekacauan di seluruh pelosok pedesaan Bali. Orang-orang Bali serentak
mengangkat senjata di berbagai desa, mengepung dan menyerang kedudukan pasukan
Majapahit. Menerima laporan kekacauan di Bali, dikirim kembali bala bantuan
dalam jumlah yang besar dari Majapahit untuk memadamkan pemberontakan rakyat
Bali. Pasukan Majapahit merapat di Pantai Selatan Bali, pertempuran
sengit kembali terjadi, masing-masing pihak memperlihatkan keunggulannya, sampai akhirnya pasukan Majapahit berhasil mencapai kemenangan. Tempat terjadinya
pertempuran itu diberi
nama Yeh Selukat di wilayah Gianyar. Demikianlah antara lain disebutkan di dalam
kitab Usana Jawa, tentang berbagai pemberontakan yang terjadi di desa-desa
sebelum kerajaan Majapahit berhasil menempatkan wakilnya di Bali. Berdasarkan
data yang tertulis di dalam kitab Usana
Jawa, rupanya sebuah pura besar yang bernama Pura Kentel Gumi di desa Tusan
Klungkung didirikan pada waktu itu. Nama pura mengesankan, bahwa ketentraman di
Bali telah dapat dipulihkan
setelah sekian lama mengalami kekacauan akibat perang. Pura Kentel Gumi dianggap sebagai
lambang mulai “Kentel” atau aman Bali secara keseluruhan dari berbagai gejolak
yang disebabkan oleh pemberontakan
penduduk Bali kepada para Arya
Majapahit. Masa guncangan yang terjadi akibat belum
aman dan tentramnya pulau Bali ini, dianggap sebagai masa kekosongan kekuasaan,
karena secara pasti belum ada pemerintahan yang jelas bagi seluruh rakyat Bali. Arya
Kenceng, Arya Sentong, Arya Beleteng, Arya Belog, Arya Kutawaringin dan Arya
Binculuk menjadi penguasa di wilayahnya
masing-masing dan bersifat kedaerahan. Arya Damar kembali ke Majapahit,
kemudian diangkat sebagai Raja di Palembang. Adik-adik beliau ditempatkan
sebagai raja di masing-masing daerah di Bali seperti Arya Kenceng di Tabanan,
Arya Sentong di Perean, Arya Belog di Kaba-kaba dan dan diberbagai daerah
lainnya.
Bab VI
Dinasti Kepakisan di Bali
Ida Sri Aji Cili Ketut Soma Kresna Kepakisan.
Akibat lama tidak ada pemimpin di Bali, para Arya Bali yang
merupakan keturunan
dari Mpu Dwijaksara berkeinginan menghadap ke Majapahit memohon petunjuk Raja
Majapahit.
Para Arya Bali yang berangkat untuk menghadap
Raja Majapahit antara lain: Kyai Patih Ulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan
dan Kyai Padang Subadra. Menimbang permohonan para arya dari Bali itu, segera
Prabhu Jayanegara, mengirim utusan ke Kediri menghadap Ida Sri Mpu Soma Kresna
Kepakisan, memohon putera beliau yang paling kecil, agar bersedia menjadi
pemimpin di Bali. Tidak diceritakan sepanjang perjalanan, Ida Sri Aji Cili Ketut
Soma Kresna Kepakisan tiba di Bali tahun
1274 Saka, tahun 1352 Masehi, diangkat menjadi Adipati Bali di Keraton Samprangan, bergelar Sri Aji Dalem Ketut Kresna
Kepakisan. Pengikut setia beliau, Si Tan
Kawur, Si Tan Mundur dan Si Tan Kober, diberikan tempat di desa Tianyar. Masa pemerintahan Sri Aji
Dalem Ketut Kresna Kepakisan, masih
juga ada gejolak tidak terima oleh penduduk Bali terutama yang mendiami wilayah
pegunungan, desa-desa di gunung yang masih belum aman, antara lain: Desa Culik,
Skul, Bulakan, Tista, Kunir, Simanten, Basangalas, Sarinten, Tulamben,
Get, Lokasrana, Batu Dawa, Margatiga, Puan, Juntal, Crutcut, Bantas, Kerta
Bayem, Watu Wayang, Kedampal, Asti dan desa-desa lain di pegunungan Bali.
Hal
itulah yang mendorong Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan mengirim utusan ke Jawa, menghadap kepada Sang Prabhu Jaya Negara,
terdiri dari Kyai Patih Wulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan dan Kyai Padang
Subadra. Setelah bertemu dan menghadap Raja Majapahit, dianugrahi keris pusaka
Ki Lobar
oleh raja Majapahit, keris pusaka
Ki
Durgha Dungkul adalah
pemberian dari Rakryan Gajah Mada kepada Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan agar digunakan untuk mengamankan
wilayah Bali. Mulai adanya keris Ki Lobar di puri Samprangan, sedikit demi
sedikit mulailah aman
wilayah-wilayah kekuasaan beliau di pegunungan Bali, tidak ada lagi orang
gunung yang melakukan tindak kejahatan. Upaya lain yang dilakukan untuk
menentramkan Bali agar bisa lebih tentram, adalah dengan mengadakan pertemuan di Puri Samprangan dengan para Arya Bali yang berpengaruh,
membicarakan tentang keadaan Bali yang belum tentram. Para Arya Bali yang hadir dalam
pertemuan itu, antara lain: Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Padang
Subadra, Ki Pasek Penataran, Ki Pasek Kepasekan, Ki Pasek Bendesa, Ki Pasek
Kubakal, Ki Pasek Kedangkan, Ki Pasek Ngukuhin, Ki Pasek Kubayan dan Ki Pasek
Gaduh serta para pemuka Bali lainnya. Selain membahas tentang keamanan Bali
juga tentang parahyangan yang ada di seluruh Bali, utamanya sekali membahas
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Pura Besakih dan pura-pura
peninggalan Bali kuno lainnya. Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan, menurunkan putera laki perempuan
sebanyak 4 orang, antara lain: Sri Dewa Ile, Sri Dewa Tarukan, Isteri menikah
ke Blambangan dan Sri Dewa ketut Ngulesir. Selain 4 putera diatas, ada juga putera
yang lahir dari selir, yang bernama I Dewa Tegal Besung.
Ida Sri Dalem Ile.
Sri
Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan mangkat
digantikan oleh putera sulung beliau yang bernama Ida Sri Dalem Ile, tetapi dalam
menjalankan pemerintahan, beliau jarang sekali perduli dengan keadaan rakyat,
apalagi sampai mengadakan pertemuan membahas tentang kerajaan Bali dengan para manca dan punggawa Puri Samprangan,
karena beliau lebih tertarik mengurus isterinya yang bernama Ida Sri Dewi, putri
dari Pusering Tasik Besakih daripada membicarakan masalah kerajaan. Ida Dalem
Tarukan mempunyai kegemaran yang berbeda dengan kakaknya, beliau amat gemar
bekerja di ladang, taman, juga sawah, menanam bemacam-macam bunga dan bebijian.
Karena kesalah pahaman
Ida Dalem Tarukan terpaksa harus mengungsi dari kraton dan mengembara ke
desa-desa menyamar seperti rakyat biasa dan menjadi orang buruan kerajaan.
Ida Sri Dewa Ketut Ngulesir bergelar Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan.
Para
Arya, Manca, dan Punggawa Puri Samprangan, menganggap bahwa Ida Sri
Dalem Ile tidak
cakap menduduki jabatan Adipati Bali, maka para Punggawa, Arya dan Manca semua, memutuskan mengangkat Ida Sri Dewa Ketut
Ngulesir menjadi Adipati
Bali.
Rakryan Patih Kebon Tubuh berhasil menghadap Ida Sri Dewa Ketut Ngulesir di desa Pandak. Ida Dalem Ile menderita sakit keras, mulai dari meninggalnya putri beliau, tidak berapa
lama beliau mangkat pada tahun 1302 Saka atau tahun 1380 Masehi. Ida Dalem
Ketut Ngulesir menggantikan kakaknya menjadi raja, dengan gelar Sri Dalem Ketut
Smara Kepakisan, tahun 1307 Saka, tahun 1385 Masehi di Keraton Gelgel, yang
diberi nama Suweca Pura. Pada sebuah kesempatan Ida Dalem Ketut Ngulesir menghadap
Sri Hayam Wuruk yang kemudian berkenan menganugrahi beliau keris pusaka yang
bernama Ki Taksaka. Dalam perjalanan pulang ke Bali dari Majapahit terjadi
hal-hal gaib yang membuat
Ida Dalem Ketut Ngulesir memberikan nama baru Ki
Bengawan Canggu untuk keris pusaka Ki Taksaka.
Dalam
babad Dalem kembali diceritakan Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan, kembali lagi
berlayar ke Jawa, Tepatnya di wilayah Madura, untuk memenuhi undangan dari Rakryan
Mahapatih Madu, sang penguasa Madura yang sedang menyelenggarakan karya maligya
leluhur beliau. Ida Sri Mpu Bujangga Kayu Manis, dari Negara Keling dipercaya sebagai
pemimpin upacara maligya yang berjalan dengan sangat baik. Disela-sela prosesi
upacara maligya, raja Bali menghadap kepada
Mpu Bujangga Kayu Manis untuk
memohon kepada Ida Bujangga agar bersedia berkunjung ke Bali sebagai pemimpin
upacara Mapudgala yang akan beliau selenggarakan. Tidak diceritakan secara lengkap
kedatangan Ida Sri Mpu Bujangga Kayu Manis ke Bali dan prosesi upacara Pudgala
yang diadakan oleh Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan di Sweca Pura Gelgel. Tetapi
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Ida
Sri Mpu Bujangga Kayu Manis yang menjadi purahita Bali pada zaman ini juga menyebarkan
ajaran-ajaran Waisnawa di beberapa wilayah utama kerajaan Bali.
Beliau
memberi pemahaman tentang pentingnya unsur petirtan pada masing-masing prasada sebagai
lambang atau simbol bahwa ajaran Waisnawa atau ajaran Wisnu menjadi ajaran yang
merakyat di
Bali.
Pada masa ini diyakini bahwa penduduk wilayah Lungsiakan lambat laun bisa menerima ajaran Waisnawa sebagai salah
satu ajaran suci yang turut membentuk tata cara upacara upakara
ditempat ini hingga sekarang.
Hal ini bisa dilihat dari peninggalan petirtan yang banyak ditemukan disekitar wilayah
Lungsiakan yang masih tetap disucikan dan difungsikan sebagai areal khusus
dalam berbagai prosesi ritual masyarakat sampai saat ini.
Masa Pemerintahan Sri Dalem
Waturenggong Jaya Kepakisan.
Ida
Sri Dalem Ketut Semara Kepakisan menurunkan 2 orang putera laki-laki dan sudah
beranjak dewasa, masing-masing bernama Ida Sri Dewa Watu Renggong, adiknya
bernama I Dewa Gedong Arta. Ida Sri
Dewa Waturenggong terpilih untuk menjadi raja dengan gelar Sri Dalem
Waturenggong Jaya Kepakisan. Pada pemerintahan beliaulah kerajaan Bali mencapai
masa jayanya, terkenal sampai ke daerah-daerah jauh. Saat itu di Jawa ada
seorang Brahmana Buddha bernama Mpu Smaranatha,
beliau mempunyai 2 orang putera laki-laki bernama Mpu Dhang Hyang Angsoka dan
Mpu Dhang Hyang Nirartha. Ida Mpu Dhang Hyang Nirartha menikah dengan Ni Dewi
Penataran di kerajaan Deha, mulai saat itu Mpu Dhang Hyang Nirartha berubah trah
dari trah Buddha
menjadi trah Siwa, mengikuti trah mertuanya. dari hasil pernikahan itu beliau
mempunyai putera 2 orang laki perempuan, yang bernama Ni Dewi Sinarbhawa, yang kemudian menjadi Ida Bhatari Melanting. Adiknya bernama Ida
Kemenuh, juga dikenal dengan nama Ida Agra Kulon. Dari kerajaan Deha Ida Mpu
Dhang Hyang Nirartha kemudian
mengungsi ke kerajaan Pasuruhan, disana beliau menikah dengan sepupunya, yang
bernama Ni Dewi Manu, putri dari Ida Mpu Panawasikan. Dari hasil pernikahan itu
beliau menurunkan 2 orang putera laki-laki, bernama Ida Wayan Angelor, adiknya
bernama Ida Nyoman Lor. Setelah berdiam beberapa lama di Pasuruhan Ida Mpu
Dhang Hyang Nirartha kemudian melanjutkan perjalanan beliau ke Blambangan,
mengambil isteri, adik kandung dari Raja Blambangan, yang bernama Ni Dewi Patni
Keniten, berputera 3 orang, laki dan perempuan, antara lain: Ni Dewi Swabhawa,
Ida Wayahan Wetan atau Ida Telaga atau Ida Ender, Ida Nyoman Wetan. yang
kemudian menurunkan Brahmana Keniten di Bali. Beberapa lama beliau tinggal di
Blambangan bersama semua keluarga, sampai akhirnya beliau harus mengungsi dari
Blambangan, karena beliau terkena pitnah, dituduh memasang guna-guna terhadap
isteri Dalem Blambangan yang tergila-gila. Tujuan pengungsian beliau adalah
Pulau Bali, menyeberang laut dengan menggunakan Waluh pahit, sedang isteri dan
para putera menyeberang dengan menaiki perahu bocor.
Tidak
diceritakan dalam perlayaran, sampailah Ida Mpu Dhang Hyang Nirartha beserta
keluarga di Bali, rombongan merapat di Pantai Purancak. Perjalanan dilanjutkan,
akhirnya sampailah beliau dan rombongan di Desa Gading Wani, pemimpin
desa Gading Wani yang bernama Ki Bandesa Gading Wani memohon bimbingan kepada
Ida Dang Hyang, setelah dirasa cukup pengetahuannya segera didiksa dengan gelar
diksa Ki
Dukuh Macan Gading, berangsur-angsur damailah desa Gading Wani. Diceritakan sudah cukup
lama Ida Dhang Hyang Nirartha tinggal
di desa Gading Wani, maka tersebarlah
berita tentang kesaktian beliau sampai di Bhumi Mas, juga oleh pemimpin Mas yaitu
Kyai Pangeran Mas, yang
segera berangkat menghadap kepada Ida Dhang Hyang Nirartha di Gading Wani. Kyai Pangeran Mas mohon anugerah Ida Mpu
Dhang Hyang agar berkenan mampir di Bhumi Mas. Tidak diceritakan dalam
perjalanan, sampailah rombongan Ida Dhang Hyang di Bhumi Mas. Disana kemudian
dihaturi Pasraman oleh Kyai Bendesa Mas, juga dihaturkan putri beliau yang
bernama Ni Ayu Kumitir sebagai
penguriyagan agar diperisteri. Dari hasil pernikahan itu menurunkan seorang putera
bernama Ida Bukcabe, sekian lama beliau mengamalkan dan menyebarkan
ajaran suci di bumi Mas, sampai kemudian mendiksa Pangeran mas menjadi dwijati.
Di
keraton Gelgel dikisahkan Dalem Ketut Waturenggong
Jaya Kepakisan berkeinginan mengangkat Ida Sri Mpu Angsoka di Kediri, Jawa agar
bersedia menjadi guru nabe Dalem Ketut Waturenggong.
Akan tetapi Dhang Hyang Angsoka menolak dengan halus keinginan Dalem Waturenggong,
karena di Bali sudah ada adik beliau yang bernama Ida Dhang Hyang Nirarta,
sudah sangat paham dengan ajaran agama dan ilmu kesaktian. Dengan petunjuk dari
Dhang Hyang Angsoka, Dalem Waturenggong kemudian mengirim Rakryan Dawuh Bale
Agung sebagai utusan
ke bumi
Mas untuk
menjemput Ida Dhang Hyang Nirartha. Rakryan Dawuh Bale Agung mendapatkan banyak
petuah dari
Ida Dhang Hyang tentang berbagai ilmu pengetahuan, sehingga saat Rakryan Dawuh
mohon untuk didiksa, Ida Dhang Hyang berkenan mendiksanya. Rakryan Dawuh Bale Agung
mengutarakan tujuan kedatangannya sebagai utusan Dalem Bali adalah untuk mengundang
Ida Dhang Hyang agar berkenan berkunjung ke Swecapura di Gelgel. Ida Dhang
Hyang berkenan dan segera berangkat diiringi oleh Rakryan Dawuh Bale Agung.
Tidak diceritakan dalam perjalanan, tibalah rombongan di Gelgel, tetapi Ida
Dalem Waturenggong sedang pergi berburu di hutan Padang. Segera Ida Dhang Hyang diantar oleh Rakryan
Dawuh Bale Agung menuju desa Padang menyusul Dalem Baturenggong yang sudah beberapa hari
membangun perkemahan di Silayukti.
Tidak terkira marahnya Dalem Bali kepada Rakryan Dawuh Bale Agung yang dianggap
tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik, karena lebih mementingkan diri sendiri,
dari pada melaksanakan perintah Dalem.
Dalam perjalanan ulang
dari Padang menuju Gelgel
rombongan Dalem terhadang banjir di Sungai Unda, sehingga berhentilah kereta
kerajaan kerajaan.
Ida
Dhang Hyang Nirartha merapalkan mantra sakti Aswa Siksa, sehingga dengan ajaib
akhirnya rombongan Dalem Bali bisa menyeberangi sungai Unda, karena roda kereta
yang dikendarai
tidak tenggelam di banjir. Pada tahun 1489 Masehi, rombongan Dalem
sampai di
Swecapura, segera Ida Dhang Hyang
dihaturkan tempat menginap di Taman Bagenda, tempat dimana Dalem Waturenggong
dianugrahi banyak ilmu pengetahuan. Setelah dianggap lulus, Ida Dhang Hyang Nirartha
berkenan mendiksa Ida Dalem
Waturenggong menjadi Raja Rsi.
Penyerangan Dulang Mangap Bali ke Blambangan yang dipimpin oleh Kryan
Ularan, Pangeran Bandesa dan Pangeran Gelgel terjadi pada tahun 1512 Masehi,
berhasil menaklukan
Blambangan setelah raja Blambangan
tewas, disusul dengan penguasaan daerah Puger. Tahun 1520 Masehi,
Ida Sri Dalem Waturenggong Jaya Kepakisan menyerang Sasak, karena banyaknya
rakyat Sasak yang menjadi
perompak di Selat Bali menganggu nelayan Bali ditengah laut. Setelah mengerahkan
pasukan yang sangat banyak, di tahun 1460 Masehi, Sasak takluk di bawah
kekuasaan Raja Bali. Pada tahun 1478 Masehi, kerajaan Majapahit runtuh, sehingga mulai saat itu semakin
cemerlanglah kerajaan Bali, banyak para cerdik pandai dari Jawa yang memutuskan
untuk meninggalkan Jawa menghamba di Bali. Banyak kerajaan lain berkeinginan
bersahabat dengan Kerajaan Bali, seperti Sumbawa, Madura, Bone dan yang lainnya, dengan
tujuan menjalin kerjasama ekonomi disamping juga untuk mengamankan kerajaan
masing-masing dari serbuan musuh.
Ida Dalem Waturenggong mempunyai 3 orang putera, laki-laki dan perempuan,
antara lain: I Dewa Pamayun, I Dewa Anom Sagening dan Sri Dewi Manik. Saat
Dalem berpulang ke alam sunia, putera-putrinya masih semua belia, jadi roda
pemerintahan di Gelgel dipegang oleh I Dewa Anggungan, putera dari I Dewa Tegal
Besung. Dibantu oleh Ida Sri Dewa Gedong Arta, I Dewa Pagedangan, I Dewa Nusa
dan I Dewa Bangli, dengan wilayah kekuasaan meliputi semua wilayah pulau Bali
dan daerah-daerah taklukan. Khusus di Bali, raja mengangkat banyak senapati dan
pangeran sebagai adipati di wilayah-wilayah yang berjarak cukup jauh dari
kraton Gelgel. Para senapati ini dikenal dengan sebutan Anglurah yang setiap enam
bulan sekali melaporkan keadaan daerah kekuasaanya kepada Dalem Bali. Mereka
yang diberi kedudukan sebagai Angelurah adalah keturunan para arya yang berasal
dari Kediri dan arya Bali yang merupakan keturunan dari para petinggi Raja
Bali, Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Para Anglurah ini mempunyai kekuasaan
dan tanggung jawab yang besar terhadap wilayah kekuasaanya
masing-masing.
Mereka yang mengatur kehidupan ekonomi, sosial dan budaya penduduk yang
mendiami wilayah kekuasaanya.
Gejolak di Kraton Swecapura.
Dhalem
Waturenggong mangkat tahun 1550 Masehi, putera-putera beliau masih semuanya
berusia belia, sehingga sementara waktu pemerintahan dipegang oleh I Dewa
Anggungan, dibantu oleh Rakryan Batan Jeruk. Sekarang dikisahkan Rakryan Batan
Jeruk yang bersekutu dengan I Dewa Anggungan, berencana mengambil
alih kekuasaan dengan membunuh
para putera mahkota Swecapura. Rencana jahat itu didengar oleh Rakryan Kebon
Tubuh yang segera mengungsikan ketiga putera Dalem Bali menuju desa Pekandelan
dengan melobangi tembok, menyeberang dihalaman rumah Kryan Penulisan. Setelah
Keraton dikuasai oleh pemberontak, tidak ditemukan ketiga putera Dalem didalam
istana, Rakryan Batan Jeruk marah dan mengamuk membantai banyak para sahaya. Para
Arya seperti Kyai Pinatih, Kyai Kapal, Kyai Abiansemal, Kyai Kebon Tubuh, Kyai
Sukahet, Kyai Pegatepan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Pacung dan Kyai Brangsinga,
segera berkumpul dan menangkap Kryan Batanjeruk dan berhasil memadamkan
pemberontakan. Rakryan Batanjeruk akhirnya tewas tewas, Senapati perang pemberontak
Ki Gusti Tusan bersembunyi dirumah pamanya, I Pande Tusan, I Gusti Bebengan dan
I Gusti Gung Nangka bersembunyi di utara gunung, Kyai Prajurit bersembunyi di
rumah Ki Pasek Manduang. I Dewa Anggungan menyerahkan diri kepada laskar
Gelgel. Setelah pemberontakan Rakryan Batanjeruk berhasil dipadamkan,
kepemerintahan di keraton Swecapura diatur oleh para punggawa Gelgel yang setia
kepada Dalem Bali, menunggu para putera dalem dewasa.
Masa Ida Sri Dalem Pamayun.
Ida
Sri Dewa Pamayun diangkat menjadi raja setelah dirasa cukup dewasa dibantu oleh
adiknya yang bernama Ida Sri Dewa Anom Sagening. Setelah abhiseka bergelar Ida
Sri Dalem Pamayun, tetapi beliau kurang cakap dalam memerintah. Ada banyak gejolak yang
terjadi di Gelgel, seperti yang dilakukan oleh penguasa Kuta, I Gusti Ngurah
Telabah yang menyertakan I Capung sebagai pembunuh yang
tidak cepat diselesaikan sehingga
berbuntut panjang, sampai hancurnya semua keluarga I Gusti Ngurah Telabah.
Setelah cukup lama beliau memegang kekuasaan di Gelgel, beliau merasa tidak
sanggup mengatur pemerintahan, dengan berbesar hati beliau kemudian
meninggalkan Gelgel, membangun puri di Desa Kapal. Ida Sri Dalem Pamayun tidak
mempunyai keturunan, itulah sebabnya beliau lebih dikenal dengan gelar Sri
Dalem Bekung, yang artinya raja yang tidak mempunyai keturunan.
Ida Sri Dalem Anom Sagening Dharma Kepakisan.
Pada
tahun 1580 Masehi, Ida Dalem Anom Sagening diangkat menjadi Raja Gelgel, dengan
gelar Ida Sri Dalem Anom Sagening Dharma Kepakisan. Dalam masa pemerintahan
beliau Kerajaan Gelgel mulai berwibawa dan menjadi kuat kembali. Tahun 1626 Masehi,
kembali Dulang Mangap Bali menyerang Sasak yang ingin lepas dari kekuasaan
Gelgel. Penyerangan itu dipimpin oleh Kryan Tabanan dan Kryan Tabah sementara
pertahanan laskar Sasak dipimpin oleh Ki Kebo Mundar. Sasak dapat ditaklukan
oleh Kryan Tabanan, sementara Kryan Tabah melarikan diri dari peperangan.
Karena hal tersebut Kryan Tabah tidak diakui lagi sebagai ksatriya oleh Raja
Gelgel. Ki Kebo Mundar yang menyerah masih diberikan wewenang untuk mengatur
Sasak, dibawah kekuasaan Gelgel. Daerah Badung yang dulu diperintah oleh Kryan
Tabah, dianugrahkan oleh Dalem Bali kepada Kyai Ngurah Tegeh Kuri, saudara dari
Kryan Ngurah Tabanan yang kemudian membangun puri di Pemecutan.
Saat
suatu hari Ida Dalem Sagening sedang berburu, karena kemalaman, akhirnya beliau
dan rombongan menginap di puri Ki Pungakan, yang saat itu menjadi pemimpin di
desa Manggis. Karena Dalem jatuh cinta kepada putri Ki Pungakan, jadilah kemudian
putri Ki Pungakan hamil, menurunkan putera yang diberi nama I Dewa Manggis
Kuning, diakui oleh Dalem sebagai putera beliau. Ida Sri Dalem Anom Sagening
banyak mempunyai putera, yang beribu dari permaisuri antara lain; I Dewa Ayu
Rangda Gowang dan Sri Dewa Dimadya. Putera beliau dari selir antara lain: I
Dewa Lebah, I Dewa Karangasem, I Dewa Sumerta, I Dewa Blayu, I Dewa Bedulu, I
Dewa Anom, I Dewa Cau, I Dewa Sidan, I Dewa Pasawan, I Dewa Meregan, I Dewa
Kulit, dan I Dewa Kabetan.
Ida Sri Dewa Dimadya.
Ida
Sri Dalem Sagening Dharma Kepakisan mangkat karena usia yang sudah lanjut,
digantikan oleh putera beliau yang bernama Ida Sri Dewa Dimadya tahun 1665
Masehi, dengan gelar Ida Dalem Dimadya Buda Kepakisan. Di pemerintahan beliau
kembali menurun wibawa kerajaan Gelgel, daerah taklukan Gelgel di Sasak dan
Sumbawa sering diganggu oleh laskar Makasar. Daerah Blambangan diganggu oleh laskar
Pasuruhan, sehingga ketiga wilayah kekuasaan Gelgel ini merasa tidak mendapat
perhatian pengamanan dari kerajaan Bali. Kryan Patih Agung Manginte juga sudah
berpulang karena usia lanjut, Digantikan oleh puteranya yang bernama Ki Gusti
Agung Widia yang lebih dikenal dengan nama Ki Gusti Agung Maruti.
Pemberontakan Ki Gusti Agung Maruti.
Dikisahkan
Ki Gusti Agung Maruti diangkat menjadi patih agung di Gelgel menggantikan
kedudukan ayahnya, lama kelamaan ada rencana Ki Gusti Agung Maruti memberontak
terhadap Dalem Gelgel, dimulai dengan mrnyrbarkan fitnah dikalangan pejabat yang
membuat banyak Manca dan Angelurah memutuskan untuk mengungsi keluar dari Gelgel, seperti: Kyai
Tabanan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Kebon Tubuh, Kyai Pinatih, Kyai Mambal, Kyai
Tegeh Kori. Sedangkan Kyai Pungakan Den Bancingah kembali ke desa Minaluah,
membawa keris pusaka anugerah Dalem Bali yang bernama Ki Lobar. Tahun 1686
Masehi Ki Gusti Agung Maruti mengerahkan pasukan menyerbu kedalam Keraton.
Tetapi sebelumnya Dalem Dimadya sudah diungsikan oleh I Dewa Pungakan, dibawa mengungsi
ke Guliang dengan dikawal oleh para Mantra dipimpin oleh Kyai Brangsinga dan
Kyai Pungakan Den Bancingah. Tanpa perlawanan yang berarti, pasukan pemberontak
segera bisa menguasai keraton Swecapura. Ki Gusti Agung Maruti mendaulat
dirinya sebagai penguasa Gelgel bersama dengan pengikut-pengikut setianya
hingga tahun 1722 Masehi. Para Angelurah yang dulunya setia kepada Gelgel satu
per satu melepaskan ikatannya dengan Gelgel dan mendaulat dirinya sebagai raja
pada wilayah kekuasaannya dan tidak sudi tunduk dibawah pemerintahan Ki Gusti
Agung Maruti.
Ida Sri Agung Jambe, raja pertama Smarapura.
Ida
Sri Dalem Dimadya Buda Kepakisan mangkat di istana Guliang karena usia yang
sudah lanjut,
beliau menurunkan 2 orang putera laki-laki. Yang sulung bernama I Dewa Agung
Pamayun, adiknya bernama I Dewa Agung Jambe. Ida Sri Dewa Pamayun didaulat
untuk menggantikan ayahnya sebagai raja, tetapi beliau menolak karena merasa hanya tertarik
untuk mempelajari sastra. Dengan ijin dari kakaknya, Ida Sri Agung Jambe berangkat
menuju puri Ida Angelurah Singarsa di desa Sideman, membawa semua alat-alat
kebesaran kerajaan Gelgel dengn tujuan menggalang kekuatan dengan penguasa
Sideman untuk bersama-sama merebut kembali Gelgel dari kekuasaan Maruti. Usaha merebut kembali Gelgel oleh Ida Sri Agung Jambe didukung oleh Ki Gusti Ngurah
Agung Singarsa, Kyai Agung Dawuh, Kyai Abian Tubuh, Kyai Dewa Pungakan. Penguasa
Badung dan Penguasa Buleleng yang sangat setia kepada Gelgel juga memberikan
dukungan, sebagian besar rakyat Bali semenjak lama sudah sangat ingin memiliki
pemimpin yang sesuai, menggantikan I Gusti Agung yang dianggap tidak layak
menjadi penguasa Bali. Setelah
mempersiapkan semua perbekalan dan mengatur strategi perang, segera laskar dari
Sideman dan Dawan menyerang keraton Gelgel. Penyerangan
ini juga mendapat bantuan dari Buleleng, Laskar Perang Teruna Goak yang
termasyur dibawah pimpinan langsung Ki Gusti Panji Sakti
menggempur Gelgel dari arah utara.
Dari arah selatan laskar Badung dengan jumlah yang tidak terbilang menyerbu
pasukan pemberontak dipimpin langsung oleh Ki Gusti Ngurah Jambe Pule. Tidak
dapat diceritakan bagaimana serunya pertempuran yang terjadi, pada sebuah kesempatan Ki
Gusti Ngurah Jambe Pule bertarung dengan Ki Gusti Agung Maruti. Kyai Padang
Kerta bertarung dengan patih Ki Gusti Panji Sakti yang bernama Kyai Tamblang,
kalah Kyai Padang Kerta, gugur dalam pertempuran. Berselang
beberapa saat setelah
Kyai Padang Kerta tewas, pimpinan yang lainnya, seperti: Ki Gusti Agung Cau,
Kyai Nidul, Kyai Kloping, dan Ki Pasek Gelgel melarikan diri ke Jimbaran,
bersembunyi di rumah Ida Wayan Petung Gading.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama Gelgel berhasil
direbut kembali dari tangan pemberontak, Ida Sri Agung Jambe menghaturkan kraton Swecapura
Gelgel yang sudah berhasil direbut kembali kepada kakak Beliau, tetapi Ida Sri
Dewa Pamayun tidak bersedia beristana kembali di Gelgel, beliau lebih memilih berpuri di Bukit Tampaksiring
dengan pengiring sebanyak 200 orang. Dianggap sudah tercemar
oleh para pemberontakan,
Ida Sri Agung Jambe juga tidak mempunyai keinginan kembali berpuri di keraton
Swecapura Gelgel, bersama seluruh pengikut beliau membangun pusat pemerintahan
di Klungkung, kraton yang selesai dibangun tahun 1710 Masehi ini dinamakan Semarapura. Ida Sri Agung
Jambe mangkat pada tahun 1775 Masehi meninggalkan tiga orang putera
masing-masing I Dewa Agung Dimade yang meneruskan pemerintahan ayahandanya di
kraton Semara Pura Klungkung. I Dewa
Agung Anom Sirikan yang
mendirikan kerajaan Sukawati kemudian dikenal dengan nama Dalem Sukawati dan I Dewa Ketut Agung
yang berpuri di kraton Sweca Pura Gelgel. Dihentikan dahulu cerita tentang
pemerintahan di Swecapura dan Smarapura.
Masa Kekuasaan Mengwi.
Pada kisaran tahun 1600 hingga 1700 Masehi muncul beberapa
kekuatan baru dari para Arya yang membentuk Negari kecil atau kerajaan kecil
dimulai dari penguasaan Gusti Agung terhadap kraton Gelgel. Salah satu Negari
yang sangat kuat adalah Mengwi, dengan raja bernama I Gusti Agung Putu yang dikabarkan
mendapatkan banyak anugerah pusaka dari Ida Bhatara di Gunung Mangu. Atas perkenan Ida
Sang Hyang Widhi dengan berbekal banyak pusaka sakti I Gusti Agung Putu membawa
Mengwi menjadi penguasa wilayah yang sangat luas. Menurut Babad Kaba-kaba
sekitar tahun 1686 Masehi wilayah kekuasaan Mengwi meliputi Kaba-kaba, Marga
batas barat sampai sungai Yeh Panah. Batas Selatan Sampai Bukit Jimbaran,
termasuk Pura Luhur Uluwatu. Batas timur sampai Sungai Petanu, batas utara
sampai Gunung Beratan. Bahkan Mengwi yang beribukota kerajaan bernama Kawyapura
ini juga menguasai wilayah Blambangan di Jawa Timur.
Banyak juga
wilayah-wilayah lain di Bali yang menjadi daerah kekuasaan dari kerajaan
Mengwi. Daerah Lungsiakan memasuki babak baru, sebagai wilayah dari kerajaan
Mengwi bagian timur. Pemerintahan Mengwi yang sangat mengandalkan hasil sawah
dan kebun dalam menopang kerajaan, membangun banyak saluran irigasi bagi
wilayah-wilayah yang dikuasai. Banyak Dam atau bendungan yang dibangun dalam
usaha mensejahterakan masyarakat, saluran-saluran irigasi dibangun dan ditata
dengan baik sehingga wilayah-wilayah dalam kekuasaan kerajaan Mengwi memiliki
sawah-sawah dan tegalan yang subur serta menghasilkan bahan pangan sangat
berlimpah.
Keseriusan
pemerintahan dinasti Mengwi dalam membangun wilayah pertanian membuat kerajaan
ini sangat cepat berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dan kuat berkisar
antara tahun 1736 hingga tahun 1767 Masehi. Menurut Henk Schulte Nordholt,
selain membangun banyak sekali bendungan, dinasti Mengwi juga menepatkan para
Bangsawan Mengwi di daerah-daerah kekuasaanya seperti yang tampak pada gambar
di atas. Mengwi memiliki 3 aliran sungai besar sebagai pokok irigasi, antara
lain Sungai Sungi, Sungai Penet dan Sungai Ayung. Raja Mengwi memerintahkan
para pengikutnya di seluruh wilayah kekuasaan Mengwi untuk membangun banyak
pura khusus yang difungsikan sebagai tempat memuja Tuhan dan pemujaan terhadap
leluhur.
Masa Kekuasaan Sukawati dan Ubud.
Pada sekitar tahun 1713 wilayah sebelah timur Sungai Ayung
dipersembahkan oleh Raja Mengwi kepada I Dewa Agung Klungkung sebagai bukti
Mengwi mengakui I Dewa Agung Klungkung sebagai penguasa Bali. Oleh I Dewa Agung
Klungkung wilayah tersebut dianugerahkan kepada putra beliau yang bernama I
Dewa Agung Anom yang kemudian mendirikan Kerajaan Sukawati dengan nama abhiseka Sri Aji Maha Sirikan, atau Sri
Aji Wijaya Tanu atau dikenal oleh masyarakat sebagai Dhalem Sukawati. Dengan
wilayah kekuasaan yang sangat luas, Sungai Pekerisan sebagai batas wilayah timur,
Pantai Gumicik sebagai batas selatan, Sungai Ayung sebagai batas barat, dan
pegunungan Batur sebagai batas utara, seperti yang tertuang dalam pustaka Babad
Timbul, Babad Durmanggala, Babad Dalem Sukawati dan babad-babad yang lain. Ida
Sri Dewa Agung Dalem Dimadya yang berkuasa di keraton Smarapura menganugrahkan
pusaka Ki Baru Gagak dan pusaka Ki Malela Dawa kepada Sri
Aji Wijaya Tanu sebagai bekal spirit dalam mengatur pemerintahan di Timbul.
Dalam memegang pemerintahan Sri Aji Wijaya Tanu didampingi oleh permaisuri
beliau yang bernama Gusti Ayu Agung Ratu yang merupakan putri dari Ki
Gusti Agung Angelurah Made Agung, penguasa Mengwi saat itu. Perjalanan
Sri Aji Wijaya Tanu dari Smara Pura menuju Timbul membawa serta pengiring
pilihan dari Klungkung dipimpin oleh Kyai Agung Ngurah Singharsa yang
sebelumnya merupakan tangan kanan dari Raja Dewata Sri Dewa Agung Dalem Jambe.
Jumlah pengiring beliau yang sangat banyak dari Smarapura terdiri dari wangsa
Brahmana, Ksatria, Para Gusti, Para Arya, Wesya, Pasek, Bandesa, Kubayan,
Gaduh, Tangkas, Gunaksa, Dangka, Ngukuhin, Senggu, Pande, Sanging,
Undagi, Pengukiran, dan Kahula Wisuda.
Setelah sekian lama Sri Aji Wijaya Tanu menjadi raja di
Timbul, adalah lahir putra-putra beliau, dari permaisuri lahir I Dewa Agung
Jambe, I Dewa Agung Karna dan I Dewa Agung Mayun. Setelah Sri Aji Wijaya Tanu
mangkat ke sunia loka, digantikan oleh putra beliau yang bernama I Dewa Agung
Mayun pada tahun 1733
Masehi dengan gelar raja Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun.
Kedua putra beliau yang lain memilih untuk menjalankan Dharma Kepanditan dan
Nyukla Brahmacari, Dewa Agung Jambe memutuskan berpuri di Geruwang atau Puri
Guwang sekarang, sementara Dewa Agung Karna melaksanakan Dharma Brahmacari di
Puri Ketewel, beliau sangat gemar membuat tapel yang kemudian diyakini memiliki
kekuatan magis maha tinggi.
Pada masa pemerintahan Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun di
Sukawati dari tahun 1733 sampai tahun 1757 Masehi, Dalem Agung Pamayun banyak
memerintahkan penduduk kekuasaan Sukawati untuk membangun pura-pura juga
memugar kembali pura-pura kuno yang sudah berdiri sebelum pemerintahan beliau.
Banyak dana kerajaan yang juga dikeluarkan untuk menyelenggarakan
upacara-upacara besar di berbagai pura wilayah kekuasaan Sukawati. Laporan
politik dan budaya J.
Moser tahun 1808 yang kemudian dibukukan memuat data data tentang upaya
pemerintahan raja-raja Bali pada kurun waktu 1740 sampai dengan 1800 Masehi
dalam usaha membangun, memugar dan membuat upacara-upacara besar pada pura,
puri, pasar, alun-alun dan tanah pekuburan.
Pemugaran dan
pemeliharaan terhadap kayangan-kayangan tua, peninggalan Bali Kuno dan
peninggalan leluhur pada masa Samprangan, Gelgel dan Klungkung terus
dilaksanakan disamping pemetaan wilayah kekuasaan Sukawati yang mencakup daerah
sangat luas. Pada masa ini selain dam, subak dan hutan kerajaan, jumlah
kayangan juga menjadi ukuran sosial besarnya sebuah dinasti. Analisa awal para penekun bahasa yang tergabung dalam
himpunan penekun aksara dan bahasa Sankrit, Jawa Kuno dan Bali Kuno,
memperkirakan bahwa kata Lungsiakan berasal dari dua kata, “Alung” yang artinya bertunas, menjulur, lentur,
lemas atau luwes, dan kata “Syak” yang artinya suara yang ditimbulkan akibat
gerakan seperti kepakan sayap, serta akhiran “an” yang merupakan partikel
penghubung. Dari asal kata yang
ditemukan dihubungkan, kemungkinan yang dimaksud dengan kata “Lungsiakan”
adalah tanaman menjulur yang sangat banyak dan lemas, ditiup angin menimbulkan
suara seperti kepakan burung terbang. Analisa ini diyakini mendekati kebenaran
karena jumlah kata dasar dari kata Lungsiakan terdiri dari 2 kata dasar dan
sudah memasukkan unsure partikel penghubung yang menandakan bahwa kata Lungsiakan
dibuat pada masa kesusastraan Bali masa kentalnya pengaruh kosa kata dari
bahasa Jawa Kuno yang banyak mengambil kosa kata Sankertha. Data lapangan yang
berhasil dihimpun dari penuturan beberapa tetua, para penekun satra Bali
modern dan masyarakat, kemungkinan kata “Lungsiakan” berasal dari 2 kata,
“Lung” yang atinya patah, dan kata “Syak” atau “syag” yang artinya retak atau
pecah. Beberapa kalangan memberikan analisa bahwa kata Lungsiakan berasal dari
kata “Luhung” dan “Siakan” yang konon artinya sebuag tempat utama yang mampu
menciptakan ketenangan pikiran. Ketiga kemungkinan asal kata dari nama desa
Lungsiakan itu sama-sama masih perlu kajian mendalam dikemudian hari, sehingga
mendapat kesepakatan analisa yang bisa dipakai sebagai pedoman satu-satunya tentang
sejarah desa Lungsiakan.
Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun menjadi raja yang sangat bijaksana di
Sukawati, beliau menurunkan putra antara lain dua putra dari dampati Ida Sri Dewa
Agung Istri Mengwi bernama: Ida Dewa Agung Gede Putra dan Ida Dewa Agung Made Putra.
Ada juga putra-putri beliau yang lahir dari Penawing, antara lain: Ida Cokorda Ngurah,
Ida Cokorda Karang, Ida Cokorda Anom, Ida Cokorda Tiyingan, Ida Cokorda Tangkeban,
Ida Cokorda Ketut Segara, Ida Cokorda Rai Lengeng, Ida Cokorda Gunung dan
seorang putri yang kemudian setelah dewasa diperisteri oleh Ida I Dewa Manggis Gredeg
di Puri Gianyar. Setelah para putera beliau dewasa, Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun
menyerahkan tahta kerajaan kepada Ida Dewa Agung Gede Putra pada tahun 1757
Masehi. Selanjutnya beliau memilih untuk menyepi di Puri Petemon sampai
mangkat, sehingga beliau dikenal dengan gelar Dalem Petemon.
Pertentangan
berkepanjangan terjadi antara Ida Dewa Agung Gede Putra dengan Ida Dewa Agung
Made Putra yang menyeret para pengikut beliau masing-masing dalam sebuah
situasi yang sulit dalam menentukan pilihan. Akibat pergolakan politik itu
sampai-sampai Puri Sukawati sempat dikuasai oleh Ki Gusti Munang dari Puri
Grenceng Badung. Raja Ida Dewa Agung Gede Putra sampai mengungsi ke Puri Ki
Gusti Ngurah Jelantik di Tojan. Setelah sekian lama berseteru pada akhirnya
kedua bersaudara bisa bersatu, mengumpulkan kekuatan lalu melakukan penyerangan
dan berhasil mengusir I Gusti Munang dan para pengikutnya dari Sukawati dan
mengembalikan kedudukan Ida Dewa Agung Gede Putra menjadi raja di Sukawati.
Semua saudara dari raja Sukawati kemudian membangun puri di daerah-daerah
kekuasaan Sukawati masing-masing mempunyai daerah dan pengikut dan rakyat
masing-masing. Dalam masa gejolak politik yang panas ini, daerah Bali Tengah
seperti Sukawati, Peliatan, Tegallalang, Ubud dan beberapa daerah lain juga
sering terkena bencana alam. Pada Rabu Umanis wuku Kulantir tahun Saka 1737
atau tanggal 22 November 1815 terjadi gempa bumi pada menjelang tengah malam, karena
kerasnya kekuatan gempa membuat beberapa pura dan bendungan rusak parah seperti
yang diungkap oleh naskah kuno yang tersimpan di Puri Ayodya Singaraja.
Laporan politik dan budaya J.
Moser 1808 banyak menuliskan tentang berbagai kegiatan politik yang terjadi
disekitar wilayah bekas kekuasaan Sukawati diantaranya adalah wilayah-wilayah
perbatasan yang masih berstatus abu-abu akibat terpecahnya kekuatan Sukawati
menjadi 2 bagian, antara Puri Agung Sukawati dan Puri Peliatan. Terutama sekali
dengan kegiatan-kegiatan ritual yang diadakan, wiku yang menjadi pemimpin
upacara dan undangan yang bersifat sangat khusus menandakan hirarki kekuasaan
secara tak langsung. Pajak dan upeti seperti menjadi bagian yang tidak terlalu
penting bagi penguasa dalam kaitan ikatan ritual dan upacara-upacara keagamaan.
Penduduk desa Lungsiakan yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani
mengalami masa-masa sulit pada awal-awal abad 18 hingga pertengahan. Dimulai dengan
Gagal panen yang terjadi akibat serangan hama tikus pada tahun 1862, setahun
kemudian penyakit kolera dan cacar menyerang desa. Wabah kekurangan pangan
dialami oleh masyarakat desa akibat gagal panen di tahun 1868 menyebabkan
ratusan orang meninggal. Wabah Kolera dan Cacar menyerang
sebagian besar desa-desa di Bali tengah hingga tahun 1885 menewaskan ribuan
penduduk yang terjangkit. Laporan Politik Van Eck dan Van Vlijmen menuliskan
semua tentang wabah mengerikan seperti hantu yang menyerang desa-desa tua di
Bali, terutama wilayah Bali Tengah dan Bali pesisir. Belum lagi dengan
terjadinya gempa bumi pada tahun 1888 yang mengguncang Bali membuat penderitaan
masyarakat Bali pada tahap yang sangat memprihatinkan. Catatan penulis Belanda
yang bernama A.M. Hocart menggambarkan situasi genting yang terjadi di wilayah
ini sudah menepatkan keberadaan pura-pura tua dan dam atau bendungan menjadi
sangat penting dalam sisitem sosial untuk mencari kesejahteraan masyarakat.
Ubud menjadi sebuah wilayah yang berkembang dengan sangat
pesat dimulai pada paruh tahun 1886, dibawah kepemimpinan Tjokorda Gde Sukawati yang mempunyai pertalian saudara
dengan Puri Tegallalang dan Puri Peliatan, seperti laporan Residen ke Batavia
tanggal 23 Januari 1889. Pada bulan Mei 1891 Ubud dibantu laskar Mengwi
menyerang dan menaklukan Negara, Puri Negara dibumi hanguskan rata dengan dengan
tanah, hal ini membuat wilayah-wilayah Negara mengakui kekuasaan Ubud. Laporan Controleur J.H. Liefrinck
tanggal 25-5-1893, laporan Residen bulan Desember 1896, laporan Contoleur J.C Van Erde tanggal 1-6-1897 masing masing
menggambarkan penguasa Ubud terus memperluas wilayahnya ketenaran Cokorda Gde
Sukawati telah menyebar jauh dan luas, beliau selalu menemani pasukannya dalam
setiap pertempuran, beliau menggunakan mahkota dari emas bertahtakan mutiara,
seringkali beliau menghabiskan malamnya di pura-pura, sehingga dipastikan
kemuliaan beliau berasal dari kesucian pikiran dan hatinya, banyak keris pusaka
beliau dapatkan di berbagai pura tua di Bali, sehingga beliau seperti mendapat
restu dari Dewa untuk memimpin pertempuran.
Babad Mengwi
Lambing dan laporan politik Controleur J.P Van Eerde, tanggal 13 Desember 1896
mencatat pada tahun 1892 dua orang bangsawan yang sangat berpengaruh di Mengwi,
yaitu Anak Agung Kerug dan Anak Agung Pekel melarikan diri dari Mengwi dan
meminta suaka di Ubud mengikuti pelarian putra mahkota Mengwi yang bernama Anak
Agung Gde Agung. Pelarian ini membawa tidak kurang dari 6000 pengiring setia.
Para pengikut setia inilah yang menepati daerah-daerah perbatasan Ubud dengan
membangun pemukiman dari utara ke selatan sepanjang sungai Ayung, mereka
dilengkapi dengan senjata-senjata bertuah dan bedil-bedil sehingga fungsinya
lebih mendekati Benteng pertahanan dari pada pemukiman penduduk. Para Ksatria
Mengwi tersebut kemudian ditempatkan di Puri Kelodan yang khusus dibangun pada
tahun 1892. Ubud juga mendirikan Giriya khusus bagi pendeta Mengwi yang ikut
mengungsi ke Ubud, dinamakan Giriya Pamaron. Tahun 1893 setelah Puri Carangsari
dan Petang melepaskan diri dari Bangli dan bergabung dengan Ubud, seluruh
wilayah timur laut bekas kekuasaan Mengwi menjadi wilayah kekuasaan Tjokorda
Gde Sukawati. Laporan politik Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25 Mei 1893.
Tjokorda Gde Sukawati, penguasa Ubud mendapat kemasyuran dengan mengembangkan
wilayahnya dari 40 desa menjadi 130 desa dan bersama-sama sekutunya berhasil
memobilisasi 18.000 pengikut, dengan menguasai sebagian bekas kekuasaan Mengwi
dan beberapa bagian daerah Gianyar pada awal tahun 1896, tertuang dalam laporan
politik Controleur J.C. van Eerde tanggal 13-12-1896. Dari 130 nama desa yang
bergabung dalam kekuasaan Ubud salah satunya adalah Lungsiakan, secara
pemerintahan, desa Lungsiakan berada dibawah kendali Mancagra Kedewatan,
setelah wilayah ini berhasil direbut kembali dari Mancagra Satelit dari
bentukan kerajaan Mengwi sebelumnya.
Daerah Kedewatan, Mas,
Sakah, Singapadu, Samu dan Kengetan yang dalam garis kekuasaan masuk wilayah
bawahan Sukawati kurang mendapat perhatian dari para pejabat kerajaan, akibat
panasnya pergolakan politik yang mengguncang kraton Sukawati dan Peliatan, hal
itu yang menyebabkan para tetua desa-desa tersebut lebih sering menghadap ke
Puri Ubud dalam kaitan penyelenggaraan upacara Panca Yadnya. Hal ini terjadi
karena penguasa Ubud dalam rentang tahun 1870 hingga 1919 sangat berpangaruh
terhadap desa-desa kekuasaan Sukawati, Peliatan, Mengwi dan Payangan, hampir
semua pemimpin desa tersebut sangat loyal kepada penguasa Ubud. Tidak jarang
pada masa itu Tjokorda Rai Batur dan penerusnya, yaitu Tjokorda Gde Sukawati
menjadi tamu kehormatan dalam perayaan upacara-upacara besar disamping para penguasa
daerah yang bersangkutan.
Masa
Peralihan Kekuasaan Belanda-Jepang.
Peran Kekuasaan Belanda sangat kuat di daerah Bali dengan
diangkatnya Van Heutsz sebagai Residen Bali Lombok pada tahun 1905 yang
kemudian membuat kebijakan di tahun 1909 yang membagi wilayah Bali Selatan menjadi Divisi Administratif
dibawah seorang Asisten Residen dan terdiri dari 6 sub wilayah, Karangasem,
Bangli, Gianyar, Klungkung, Badung dan Tabanan, masing-masing dengan satu
Controleur. Setiap daerah dipimpin oleh seorang Punggawa yang biasanya diangkat
dari golongan kerajaan sebelumnya. Bali selatan berada dalam wilayah kekuasaan
Residen Bali dan Lombok yang berdomisili tetap di Singaraja tertuang dalam laporan Residen G.F. de Bruyn
Kops tahun 1909.
Pura-pura di
wilayah desa Lungsiakan yang dipugar pada pertengahan pemerintahan Sukawati
sudah pula mengalami berbagai pemugaran pada palinggih-palinggihnya dilanjutkan
dengan upacara-upacara yang bersifat besar maupun kecil. Sebuah
catatan kuno yang ditulis oleh H.U. van Stenis mengungkapkan tentang gempa
dahsyat yang melanda Bali Selatan pada tanggal 21 Januari 1917, walaupun
berlangsung kurang dari lima puluh detik, tetapi cukup mengakibatkan kehancuran
rumah-rumah, pura, puri tak terhitung jumlahnya, banyak jalan, bendungan yang
jebol. Gempa yang menelan korban mencapai lebih dari 1.350 orang ini juga
merobohkan dan menghancurkan pemukiman dan pura-pura di desa Lungsiakan, tidak
terhitung jumlah penduduk yang menjadi korban. Ida Pedanda Ngurah Blayu juga
mengisahkan kehancuran wilayah Bali, seperti yang tertuang dalam sastra Bhuwana
Winasa yang beliau tulis pada tahun 1918, dimana beberapa bagiannya memuat
tentang diserangnya sawah-sawah penduduk oleh hama tikus dan peperangan
dikalangan orang-orang bersaudara dan menghancurkan Negara Bali disebabkan
karena masyarakat Bali tidak lagi mengidahkan upacara di Pura Besakih.
Tahun-tahun selanjutnya desa Lungsiakan benar-benar berada dalam situasi yang
sangat sulit, wabah penyakit silih berganti menyerang penduduk, hama tikus
menyebabkan gagal panen membuat masyarakat harus benar-benar hidup dengan
sangat seadanya untuk menyesuaikan diri. Controleur Gianyar H.K. Yakobs
menuliskan dalam buku laporanya bahwa masyarakat miskin dengan cepat bertambah
di desa-desa yang sebelumnya hidup berkelimpahan. Pada Tahun 1930 wabah
kekurangan pangan menyebar dengan lebih cepat sehingga banyak yang sampai
meninggal akibat kelaparan. Nilai mata uang Belanda (1 rix-dolar) pada tahun
1931 mencapai 1.375 kepeng sampai dengan 1.785 kepeng Bali. Puncak dari krisis
yang dialami Bali adalah tahun 1934 nilai tukar 1 rix-dolar mencapai angka
2.300 kepeng uang Bali. Bali menjadi wilayah administratif resmi kolonial
Belanda pada tahun 1909, dengan wilayah meliputi seluruh pulau Bali.
Ketegangan politik
antara Jepang dan Sekutu di Asia Tenggara mulai terjadi pada tahun 1941, Jepang
mulai sedikit demi sedikit menguasai pasar di Bali, Toko-toko kelontong Jepang
tumbuh bagai jamur di musim hujan, sangat laris karena barang-barangnya jauh
lebih murah dari barang-barang Eropa. Tanggal 8 Desember 1941 meletus perang
Pasifik, tentara Jepang menghancurkan pangkalan udara Pearl Harbour di
kepulauan Hawai. Belanda dan sekutunya menyatakan perang melawan Jepan, Bali
yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Hindia Belanda tentunya juga
terimbas oleh peraturan-peraturan keadaan darurat perang. Masyarakat Bali masih
seperti biasa melaksanakan kegiatan sehari-harinya, diakibatkan sedikit sekali
media yang menerangkan tentang peperangan yang sedang berkecamuk antara Jepang
dan Sekutu. Perang Pasifik mungkin hanya didengar oleh golongan-golongan
intelektual dan keluarga para raja saja, sehingga tidak terlalu merisaukan
masyarakat secara luas.
Bagian pasukan
Kononklijk Nederlands Indisch Leger atau KNIL yang dibentuk di Bali dengan nama
Prayoga yang terdiri dari 1000 orang direkrut dari pemuda-pemuda Bali yang
cakap disebarkan di 4 tangsi : Buleleng, Karangasem, Badung dan Gianyar. Mereka
yang ditugaskan untuk mempertahankan Bali dari serangan Jepang oleh Angkatan
Darat Kerajaan Belanda dibantu oleh seluruh rakyat Bali. Tanggal 18 Februari
1942 Tentara Jepang mendarat di Sanur dengan jumlah yang sangat besar, setelah
mengebom lapangan udara di Tuban terlebih dahulu. Tentara KNIL semua lari meninggalkan
posnya masing-masing dengan ketakutan, sehingga dengan cepat Jepang berhasil
menguasai Denpasar dan mengakhiri kekuasaan Belanda di Bali. Suasana kondusif
masih terasa di wilayah swapraja Gianyar, penduduk seakan acuh tak acuh dengan perkembangan
politik saat itu, mereka melakukan kegiatan kehidupannya dengan normal. Tanggal
8 Maret 1942, Stasiun pemancar radio resmi Belanda, Nirom menyiarkan bahwa
pemerintah Hindia Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada Jepang sekaligus
mengakhiri Pasifik dan masa kekuasaan Belanda terhadap Bali.
Desa Lungsiakan
yang sebelumnya mengalami kerusakan parah akibat gempa tidak bisa dipugar
sebagaimana mestinya, karena situasi politik swapraja Gianyar yang tidak
kondusif. Masih banyak desa-desa yang rusak, pura-pura yang hancur hingga
ditumbuhi rumput liar dan tanaman menjalar. Penduduk masih bingung dengan apa
yang harus mereka lakukan berkaitan dengan pura-pura yang ada di wilayahnya.
Situasi ini dipengaruhi oleh terkonsentrasinya para pemimpin swapraja dalam
peralihan kekuasaan antara Hindia Belanda kepada Jepang. Para Punggawa dan
Sedahan yang biasanya secara langsung memberi perintah untuk melakukan
perbaikan pura, jalan atau bendungan tidak berani mengambil keputusan yang
tegas, masih menunggu siatuasi politik menjadi tenang.
Pemerintah militer
Jepang mengakui kerajaan-kerajaan di Bali dengan membentuk badan Panitia
kerajaan terdiri dari Punggawa, Sedahan Agung dan seorang wakil dari Raja yang
digaji oleh pemerintah Jepang. Jepang menepatkan seorang wakilnya di
masing-masing swapraja dengan nama Syutjo yang bertugas mengamati perkembangan
di masing masing swapraja. Syutjo ini menggantikan kedudukan para Controleur
pada jaman Hindia Belanda, menjadi pejabat setingkat Bupati. Jepang memulai
pemerintahan tangan besinya di Bali dengan menebar Polisi Militer yang diberi
nama Kempetai yang bertindak aktif tanpa pandang bulu. Selama pemerintahan
Militer Jepang, keadaan Masyarakat Bali yang sudah sulit, menjadi semakin
sulit, banyak tentara yang sewenang-wenang terhadap rakyat kecil, merampas,
menyiksa dan menangkap masyarakat yang dianggap melawan Jepang. Perhatian
terhadap pasilitas umum seperti bendungan, jalan, pasar dan pura sangat minim.
Bendungan banyak yang jebol, jalan rusak, pasar sepi tidak terurus dan
pura-pura terbengkelai. Hal ini juga berlangsung setelah kemerdekaan dan
tahun-tahun awal pemerintahan Republik Indonesia.
Masa
Kemerdekaan dan Kekinian
Setelah Indonesia
merdeka tahun 1945, Bali yang merupakan bagian dari Republik Indonesia masih
memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri sebagai daerah yang
merdeka. Banyak usaha-usaha pemberontakan yang harus dipadamkan oleh pemerintah
Indonesia, juga gerakan-gerakan pengacau keamanan Republik sangat berpengaruh
pada kehidupan masyarakat. Belum lagi campur tangan Belanda yang masih
dirasakan oleh masyarakat Bali yang mendompleng pada kesatuan tentara PBB.
Tanggal 7 sampai dengan 24 Desember 1946 dilaksanakan Konferensi Denpasar di
pendopo Bali Hotel dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook bertujuan membentuk
Negara Indonesia Timur dengan ibukota Makasar.
Susunan
pemerintahan Bali dikembalikan seperti pada jaman raja-raja dulu, pemerintahan
dipimpin oleh Raja dibantu Patih, Punggawa, Prebekel dan pemerintahan paling
bawah diatur oleh Kelian. Di atas pemerintahan raja ada dibentuk juga Dewan
Raja-Raja. Setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia lewat berbagai
diplomasi dengan Belanda, Bali menjadi provinsi yang dipimpin oleh seorang
Gubernur, dimulai dari
1. Anak Agung Bagus Sutedja (1950-1958),
2. I Gusti Bagus Oka (1958-1959),
3. Anak Agung Bagus Sutedja (1959-1965),
4. I Gusti Putu Mertha (1965-1967),
5. Soekarmen (1967-1978),
6. Ida Bagus Mantra (1978-1988),
7. Ida Bagus Oka (1988-1998),
8. Dewa Made Beratha (1998-2008)
9. I Made Mangku Pastika (2008- 2018),
10. I Wayan Koster (2018- Kini).
Sementara
Kabupaten Gianyar juga mengalami beberapa kali perubahan pemimpin (Bupati)
antara lain:
1. Anak Agung Gede Raka (1950-1960)
2. Tjokorda Ngurah (1960-1963)
3. Drh Tjokorda Dalem Pudak (1963-1964)
4. I Made Sayonga (1964-1864)
5. I Made Kembar Kerepun (1964-1969)
6. Anak Agung Gde Putra, SH (1969-1983)
7. Tjokorda Raka Drana, SH (1983-1993)
8. Tjokorda Gde Budi Suryawan, SH
(1993-2003)
9. Anak Agung Gde Agung Bharata, SH
(2003-2008)
10. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati
(2008-2013)
11. Anak Agung Gde Agung Bharata, SH
(2013-21 Februari 2018)
12. I Made Agus Mahaystra (21 Februari
2018- sekarang)
Bab
VII
Desa
Pakraman Lungsiakan.
Desa Adat Lungsiakan,
Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud terdiri
dari 2 tempekan, Tempek Kauh dan Tempek Kangin. Batas-batas wilayah desa sesuai
dengan Awig-awig Desa Pakraman adalah:
1. Tukad Yeh Wos di sebelah Timur
2. Desa Adat Kedewatan di sebelah Barat
3. Desa Adat Payogan di sebelah Utara
4. Desa Adat Penestanan di sebelah Selatan
Berada pada
kordinat -8492803 LS, 115253442 BT, dengan sebagian besar wilayah berupa
perbukitan dan lembah, diapit oleh 2 sungai besar dikanan dan kiri desa.
Tekstur tanah desa sebagian besar batu padas pada tebing-tebing pinggiran
sungai, tanah liat di beberapa bagiannya dan didominasi oleh tanah subur pada
sebagian besar wilayah desa.
Seperti yang
termuat dalam Awig-awig Desa Adat Lungsiakan yang dimaksudkan sebagai warga
adat adalah penduduk yang beragama Hindu, mendapatkan hak menepati tanah ayahan
desa, atau penduduk yang sudah menetap atau tinggal sementara di wilayah adat
desa Adat Lungsiakan. Krama Adat Lungsiakan terdiri dari kurang lebih 73 tanah
ayahan desa, dengan jumlah penduduk kurang lebih 337 jiwa. Dengan struktur
pengurus Banjar Lungsiakan sebagai berikut: Kelihan
Banjar Adat / Dinas dijabat oleh Anak Agung Gde Raka Suteja,SE, dibantu
oleh Penyarikan, I Wayan Sudirja dan Angga raksa, I Made Sunia.
Desa
Pakraman Lungsiakan mempunyai pengurus yang mengatur karma dalam melaksanakan
kegitan-kegiatan yang berkaitan dengan adat, upacara dan upakara di Desa
Lungsiakan. Antara lain: Bendesa: I Nyoman Jaya, Petajuh: I Wayan
Suastika, Penyarikan : I Ketut Warta,S.Pd. Anggaraksa: I Wayan Sutarja, Kelihan
Sekehe Gong: I Nyoman Sumerta Jaya,dengan sekeha gong berjumlah 51 orang.
Manggala Pecalang: I Made Sukadana, dengan jumlah angga Pecalang 22 orang,
Kelihan Sekehe Teruna: I Kadek Yana Dwi Yantara, dengan jumlah anggota sebanyak
255. Kelihan Pesantian: I Made Mendra. Dengan jumlah anggota 10 orang. Ketua
LPD: I Wayan Darsa. Serati banten yang bertanggung jawab penuh terhadap segala
bentuk upacara upakara di Desa Lungsiakan antar lain: A.A. Raka Mekar, Ni Ketut
Sepuk, Ni Ketut Wetra, A.A. Raka Merta, Ni Wayan Budi, Ni Ketut Linggih, Ni
Made Mentil dan Ni Wayan Sining.
Untuk
segala kepentingan administrasi, disepakati logo desa Lungsiakan seperti
berikut:
Dengan analisa gambar sebagai
berikut:
1. lambang Segi Lima menandakan bahwa ada lima dasar
kepercayaan bagi masyarakat Lungsiakan, yaitu Pancasila sebagai dasar Negara
dan Panca Srada sebagai dasar agama Hindu.
2. Padma diujung atas dengan gambar Ong-kara, bermakna
bahwa desa Lungsikan, meyakini segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Ida
Sang Hyang Widhi, symbol ini juga menunjukkan bahwa seluruh penduduk meyakini,
percaya dan senantiasa berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
3. Candi bentar melambangkan jiwa yang terbuka menerima
perubahan zaman, dengan pondasi yang kokoh dari nilai-nilai kemanusiaan yang
tinggi.
4. Padi dan Kapas melambangkan segala bentuk usaha yang
dilakukan adalah semata-mata untuk mengupayakan kebahagiaan sekala niskala,
cukup sandang, pangan dan papan.
5. Tulisan Bali dalam pita di bagian bawah candi bentar
yang berbunyi” Amrih Sukaning Bhuwana” berarti senantiasa menguasahakan
kebahagiaan bagi alam semesta beserta segala isinya.
6. Dua ekor naga sebagai dasar dan mengikat segi lima
melambangkan, seluruh komponen karma tanpa terkecuali diikat oleh aturan aturan
yang jelas, berupa undang-undang dan awig-awig. Juga bermakna bahwa pertanggung
jawaban semua karma akan dituntut dalam 2 alam, sekala dan niskala.
Desa Pakraman Lungsiakan pada
wilayah adatnya terdapat 11 pura yang menjadi tanggung jawab karma desa, antara
lain:
1. Pura Desa lan Bale Agung dengan piodalan jatuh pada
setiap hari Buda Kliwon Pahang. Sebagai pemangku: Jero Mangku Made Nyana dan
Jero Mangku Istri Nyoman Puri.
2. Pura Puseh dengan piodalan jatuh pada setiap hari Buda
Kliwon Pahang. Sebagai pemangku: Jero Mangku Ketut Ngempi.
3. Pura Dalem lan Prajapati Pura Tegal Suci dengan
piodalan jatuh pada setiap hari Buda Umanis Medangsia. Sebagai pemangku: Jero
Mangku Wayan Sana, Jero Mangku Made Suamba dan Jero Mangku Istri Kadek Ariniti.Pura
Jemeng dengan piodalan jatuh pada setiap hari Buda Wage Langkir.
4. Pura Pucak Payogan dengan piodalan jatuh pada setiap
hari Anggara Kliwon Tambir.
5. Pura Pucak Mertasari dengan piodalan jatuh pada setiap
hari Anggara Kliwon Prabangkat.
6. Pura Pucak Sari lan Pura Mlanting dengan piodalan
jatuh pada setiap hari Buda Wage Klawu.
7. Pura Catur Bhuwana, berupa Padmasana di Banjar dengan
piodalan jatuh pada setiap hari Caniscara Kliwon Landep (Tumpek Landep)
8.
Pura Paibon atau
Pemaksan yang terdiri dari Pura Subak dan Pura Tamansari
Pura
Dalem Lungsiakan.
Salah
satu pura yang berada di wilayah desa adat Lungsiakan adalah Pura Dalem
Lungsiakan, berdiri dengan megah dibagian selatan dari wilayah desa, ditimur
jalan menghadap ke barat.
Pura Dalem Lungsiakan
Pura Dalem Lungsiakan merupakan salah satu komponen dari Kayangan
Tiga yang menjadi acuan pokok pembentukan Desa Adat atau Desa Pakraman yang
digagas oleh Senopati Kuturan pada Abad ke 11 Masehi. Karena pendirian Kahyang
Tiga di setiap desa pakraman itu untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Tri Murti sebagaimana dinyatakan dalam Pustaka Bhuana Kosa III. 76.
Tuhanlah yang
menciptakan (utpati), melindungi (sthiti) dan mempralayakan (pralaya atau
pralina) semua ciptaan-Nya.
Kemahakuasaan Tuhan untuk melakukan Utpati,
Sthiti dan Pralina ini disebut Tri Kona (dengan lambang Lukisan Segi Tiga,
lambang siclus Utpati, Sthiti, Pralina). Dengan pemujaan Tuhan Siwa sebagai Tri
Murti mengandung dua konsep pembinaan kehidupan spiritual, yaitu konsep Tri
Kona dan Tri Guna.
Dalam Bhagawata Purana dinyatakan ada tiga
kelompok Maha Purana. Ada Satvika Purana dengan Ista Dewatanya Dewa Wisnu. Ada
Rajasika Purana dengan Dewa Brahma sebagai Ista Dewatanya dan ada Tamasika
Purana dengan Dewa Siwa sebagai Ista Dewatanya. Dengan demikian Tri Murti menurut
Bhagawata Purana adalah Brahma, Wisnu dan Siwa sebagai Guna Awatara. Artinya
Tuhan-lah yang menjadi sumber pengendali tertinggi tiga dasar sifat manusia
yang disebut Tri Guna itu.
Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti di desa pakraman Lungsiakan
sebagai media sakral untuk menerapkan konsep menguatkan kehidupan spiritual.
Penguatan kehidupan spiritual melalui penguatan sistem pemujaan pada Tuhan,
agar umat hidupnya terarah dengan baik. Tri Kona dan Tri Guna diyakini sebagai
pegangan hidup untuk mencapai 4 tujuan hidup berupa Dharma, Artha, Kama dan
Moksha. Dua konsep spiritual tersebut akan membina kehidupan di desa pakraman
untuk menuntun umat mewujudkan empat tujuan hidup tersebut sesuai dengan
tahapan hidup yang disebut Catur Asrama.
Pura Dalem Lungsikan adalah salah satu pura dari sekian banyak
pura yang ada di desa Lungsiakan dibangun untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi
dalam manifestasinya sebagai Siwa. Dewa pemrelina atau pelebur segala ciptaan
Beliau. Sementara Pura Prajapati atau Mrajapati dibangun pada hulu setra
berbentuk bangunan Padma dan bebaturan sebagai niasa atau linggih Sang Sedahan
Setra. Pura Dalem Desa Pakraman Lungsiakan terdiri dari 3 mandala dengan fungsi
masing-masing yang berbeda tetapi berkaitan satu dengan yang lainnya. Dikenal
dengan nama Tri Mandala:
A. Utama Mandala. Wilayah paling suci,
sebagai tempat karma menghaturkan sembah bakti kehadapan Ida Sang Hyang Hyang
Widhi dan segala manifestasi Beliau. Beberapa bangunan pelinggih berada pada
utama mandala, antara lain:
1. Pelinggih Arca, atau dikenal dibeberapa
tempat sebagai Pelinggih Blabur, difungsikan untuk melinggihkan arca-arca kuno
maupun baru yang pernah terpakai atau terpasang di Pura Dalem.
2. Pelinggih Penyawangan Pura Sakenan,
difungsikan sebagai niasa tempat memuja Ida Bhatara Bhatari yang melinggih di
Pura Sakenan.
3. Pelinggih Limas Catu Nubung, difungsikan untuk memuja Tuhan sebagai pencipta jiwa dan raga
atau Purusa dan Pradana. Manusia tercipta oleh Tuhan dari Purusa dan Pradana.
Bertemunya Purusa dan Pradana itulah yang menyebabkan adanya hidup ini. Menurut
ajaran Hindu memuja Tuhan itu bukan sekadar memuja. Memuja Tuhan Yang Mahakuasa
itu untuk dapat dimanfaatkan untuk menguatkan kehidupan lahir batin.
4. Pelinggih Padmasana,
difungsikan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti yang termuat dalam
Lontar Catur Winasasari, bahwa ada fungsi yang berbeda bila Padmasana letaknya
sebagai berikut: di timur laut, sebagai
linggih Sang Hyang Siwa Raditya, di timur sebagai linggih Sang Hyang Iswara, di selatan adalah linggih Sang Hyang Brahma,
di utara sebagai linggih Sang Hyang Wisnu dan di tengah-tengah
berupa padma kurung memakai tiga ruangan (rong telu), dipuncaknya
sebagai linggih Sang hyang Samodaya.
5. Pelinggih Limas Catu Meres difungsikan
sebagai niasa memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai pencipta
segala bentuk isi alam semesta yang dipergunakan oleh ketiga mahluk untuk
tumbuh berkembang.
6. Pelinggih Gedong Dalem, difungsikan
sebagai niasa Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Siwa dan
saktinya.
7. Pelinggih Penyawangan Dalem Puri,
difungsikan sebagai sebagai niasa tempat memuja Ida Bhatara Bhatari yang
melinggih di Pura Dalem Puri.
8. Pelinggih Sedahan Ngurah Agung,
difungsikan sebagai tempat memuja Ida Bhatara Kala, Putra Ida Bhatara Siwa dan
sekaligus sebagai tempat memuja Sang Catur Sanak.
9. Pelinggih Bale Pengingkupan, difungsikan
sebagai niasa atau tempat memuja seluruh Bhatara maupun Bhatari yang sedang
berkumpul berkaitan dengan yadnya atau karya yang dilaksanakan.
10. Pelinggih Bale Peselang, difungsikan
khusus sebagai niasa memuja unsure Purusa Pradana atau Arda Nareswari pada saat
melakukan penciptaan alam semesta beserta segala isinya.
11. Pelinggih Bale Pelik, difungsikan sebagai
tempat penyajian dan perlengkapan upakara saat melaksanakan upacara. Juga
sering dipakai sebagai tempat mapurwa daksina pada saat melaksanakan upacara
besar.
12. Pelinggih Bale Pengaruman difungsikan sebagai tempat menghias atau merangkai
simbul, seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci
dan tempat upakara yang akan dipersembahkan.
13. Bale Patok difungsikan untuk tempat
Pemangku pura dalam menghaturkan upacara upakara pada saat diadakan upacara
14. Bale Angklung, difungsikan sebagai tempat melantunkan tabuh angklung
dalam rangkaian pujawali.
15. Kori Agung difungsikan sebagai tempat
penyucian bagi karma yang melewatinya, sebabnya Kori Agung disebukan juga
sebagai niasa dari gunung Khailasa, linggih Hyang Siwa seperti yang diungkapkan
dalam sastra Uttara Kandha.
B. Madya Mandala, adalah wilayah penggabungan
unsure kesucian dan kekotoran dari para pemedek. Difungsikan oleh karma sebagai
tempat untuk menyiapkan berbagai bentuk upakara yang akan dihaturkan. Di
wilayah ini terdapat 9 banguan pelinggih dengan fungsi yang juga berbeda-beda,
antara lain:
16. Pelinggih Apit lawang Kanan, difungsikan sebagai tempat niasa
dari Hyang Maha Kala.
17. Pelinggih Apit lawang Kiri, difungsikan sebagai tempat niasa
dari Hyang Adi Kala.
18. Pelinggih Panggungan Madya Mandala difungsikan sebagai tempat
menghaturkan berbagai upacara pada saat Ida Bhatara tedun ke Panggungan, juga
sebagai tempat pemujaan Hyang Sunia Kala.
C.
Nista Mandala, merupakan daerah paling luar dari tiga mandala yang ada,
difungsikan untuk menyiapkan berbagai sarana upacara upakara sebelum diolah
dalam bentuk banten. Memiliki beberapa bangunan antara lain:
19.
Bale Perantenan yang difungsikan untuk memasak berbagai keperluan yadnya. Baik
berupa piranti upakara maupun untuk dinikmati oleh karma desa.
20.
Bale Wantilan yang difungsikan sebagai ajak pergelaran berbagai hiburan pada
saat upacara berlangsung.
21. Bale Gong
difungsikan sebagai tempat melantunkan tabuh gong dalam rangkaian pujawali.
22.
Bale Kulkul, dibangun berbentuk menara Merupakan linggih Hyang Widhi dalam
manifestasi sebagai Iswara, dalam ilmu yoga yaitu Paratma yang ada di leher
atau kerongkongan, yang berfungsi utama untuk mengeluarkan berbagai jenis
suara.
23.
Pelinngih tetanduran difungsikan untuk tempat menghaturkan upacara seperlunya
pada saat upacara yang berkaitan dengan tetanduran di pura.
24.
Candi Bentar diyakini sebagai niyasa dari Gunung Mahameru, sebagai sumber dari
segala sumber kehidupan semesta.
25.
Pelinggih Tanggun Desa, difungsikan sebagai pertanda batas-batas kesucian
sebuah wilayah yang masuk dalam lingkungan desa Pakraman Lungsiakan, sehingga
diharapkan apapun yang masuk ke dalam lingkungan desa yang sebelumnya kotor
agar menjadi suci.
Disebalah
utara Padmasana, diluar tembok penyengker utama mandala terdapat pelinggih
Tegal Suci.
Disebelah
timur Padmasana dibangun pelinggih Beji.
Sementara
didepan Balai Wantilan, disebelah selatan pelinggih Apit Lawang dibangun
pelinggih Sang Hyang Segara.
Rata-rata
keadaan semua bangunan pelinggih dan bangunan pendukung dalam keadaan baik dan
baru, karena sudah melalui berbagai pemugaran. Masyarakat Lungsiakan sangat
faham bagaimana cara menjaga dan merawat semua prasada atau pura-pura yang ada
di wilayah Desa Pakraman Lungsiakan. Setelah seluruh pemugaran pura selesai
dilaksanakan dilanjutkan dengan usaha menjaga kekuatan spiritual desa dengan
jalan melaksanakan upacara Karya Agung Mupuk Pedagingan lan Pedudusan Agung di
Pura Dalem, Desa Pakraman Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten
Gianyar. Masyarakat Desa Lungsiakan sangat faham bahwa Yadnya sangat penting dalam kehidupan
masyarakat Hindu di Bali. Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta,
kata “Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci.
Prinsip - prinsip yang harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian
dan pengabdian tanpa pamrih. Dalam Atharwa Weda XVII.3 dinyatakan bentuk Yadnya yang paling tinggi
adalah pengorbanan lahir batin. Maka dari itu semangat patriotisme yang diajarkan
dalam Bhagawadgita, Mahabharata, Ramayana sangat tepat ksatria yang ber-Yadnya
di medan perang. Maknanya sebagai pembela tanah
air, menegakkan kebenaran dan keadilan. Yadnya sebagai amalan agama mengandung
pengertian: Merupakan sistem persembahyangan dalam kontak memuja Tuhan Yang
Maha Esa. Sebagai prinsip berkorban agar umat bersedia, rela dan menyadari
bahwa berkorban itu sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup menuju hidup
bahagia.
Konsep agama Hindu adalah
mewujudkan keseimbangan, dengan terwujudnya keseimbangan, berarti terwujud pula
keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia. Untuk umat Hindu
yang diidam-idamkan adalah terwujudnya keseimbangan antar manusia dengan
Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.
Yang dikenal dengan Tri Hita Karana.
Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan. Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu: Panca
Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya dan Panca Yadnya berdasarkan
tujuan dan objek yang dituju,
Yadnya ini disebut Panca Maha Yadnya. Panca
Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaan dalam Bisma Parwa dijelaskan:
·
Drewaya Yadnya, adalah Yadnya yang mempergunakan harta milik sebagai
sarana korban.
·
Tapa Yadnya, adalah Yadnya dengan melaksanakan tapa, yaitu tahan uji
tahan derita sebagai sarana berkorban.
·
Jnana Yadnya, adalah Yadnya dengan menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu
pengetahuan, memberikan
pandangan-pandangan, atau buah pikiran yang berguna, sebagai sarana
korban.
·
Yoga Yadnya, adalah Yadnya dengan pengamalan yoga, yaitu menghubungkan
diri pada Sang Hyang Widhi melalui jenjangan-jenjangan yoga. Bahkan sampai
dengan tingkat tertinggi yakni semadhi, sebagai sarana berkorban.
·
Swadyaya Yadnya, adalah Yadnya dengan mengorbankan diri demi kepentingan Dharma.
Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan, mereka mengorban kan diri demi sebuah
kemerdekaan. Ini juga disebut Yadnya.
Panca
Yadnya berdasarkan tujuan dan obyek yang dituju. Dalam kitab Manawa
Dharmasastra III. 70. tersurat:
“Adhyapanam brahma Yajnah,
Pitr yajnastu tarpanam, homo daivo balirbhaurto, nryajno ‘tithi pujanam.”
Selanjutnya
dalam Manawa Dharmasastra III.72. bahwa’
“Devatatithi bhrtyanam, pitrnamatmanasca yah,
Na nirvapati pancanam, ucchwasanna sa jwati”.
Yang diartikan
”Tetapi ia yang tidak memberikan persembahan
kepada kelima macam tadi yaitu para dewa, para tamunya, mereka yang harus
dipelihara, para leluhur dan ia sendiri, pada hakekatnya tidak hidup walaupun
bernafas”
Bhagawadgitha III.4.
menyebutkan
“ Na karmanam anarambhan,Naiskarmyam
puruso snute Na ca
sannyasanad eva, Siddhim samadhigacchati”
Yang artinya
“Bukan dengan jalan tiada bekerja orang
mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak hanya dengan melepaskan diri
dari pekerjaan orang akan mencapai kesempurnaannya”.
Dalam hal tersebut bahwa Karya Agung
yang dilaksanakan oleh Krama Desa Pakraman Lungsikan merupakan wujud
sradha Bakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa. Dimana seluruh komponen Krama
ikut andil dalam pelaksanaannya. Karena sesungguhnyalah alam telah memberikan
kepada kita semua untuk kita pelihara sehingga keselarasan akan terpelihara. Setiap pelaksanaan Yadnya yang dilakukan oleh
masyarakat pada umumnya, memiliki dasar yang sangat kuat yang berdasarkan pada
sastra agama.
Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide
pertama dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa
“Alam
ini ada berdasarkan yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan yadnya Dewa memelihara
manusia & dengan yadnya manusia
memelihara Dewa”.
Ini
berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta beserta isinya ini adalah
adanya yadnya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Maha Purusa.
Bhagavadgita III.11. menyatakan bahwa :
”para
dewa akan memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan, karena itu manusia
yang mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan yadnya
pada hakekatnya dia adalah pencuri”.
Juga dijelaskan dalam Bhagavadgitha III.14. bahwa;
”Dari makanan, makhluk menjelma, dari hujan
lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya lahir dari
pekerjaan.
Sehingga dari keseluruhan perbuatan atau pekerjaan
tersebut, lahirlah panca yadnya. Karena keterikatan dan timbal balik yang
terjadi maka adanya hutang yang harus dibayar, sehingga manusia yang terlahir
kedunia sudah berbekal hutang yang harus dibayar kepada orang tuanya, dan
sebagainya. Maka adanya hutang tersebut yang disebut dengan Tri Rna.
Hal ini
termuat dalam kitab Manawa dharma-sastra
VI.35 yang menyebutkan bahwa :
“Pikiran
(manah) yang ada dalam diri kita masing-masing baru dapat diarahkan pada
kelepasan setelah melunasi 3 hutang yang kita miliki”.
Jadi
sebelum kita dapat melunasi hutang-hutang itu, kita tidak akan mencapai tujuan
akhir agama Hindu yang disebut Moksartham
jagadhita ya ca iti dharma.
Semua
sastra di atas mengajarkan kepada umat Hindu agar tidak jemu-jemu melaksanakan
Yadnya yang pantas dan sesuai dengan kemampuan, yang paling penting didasari
oleh rasa tulus dan ikhlas. Seperti halnya upacara-upacara besar, tentu
memerlukan banyak piranti upacara juga jumlah krama yang mempunyai tugas dengan
keahliannya masing-masing.
Karena sangat banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dalam melaksanakan Karya Agung Mupuk Pedagingan dan Padudusan Agung di Pura Dalem, Desa Pakraman Lungsiakan yang
puncaknya dilaksanakan pada Buda Umanis
Medangsia, 16 Januari 2019 ini,
maka kemudian dibentuklah Panitia atau Prawartaka Karya, antara lain
sebagai berikut :
Prawartaka
Karya
Mupuk
Pedagingan dan Padudusan Agung
di
Pura Dalem,
Desa
Pakraman Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud,
Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali
Pada Buda Umanis Medangsia, 16 Januari 2019
I.Wiku
Manggala Karya Ratu Peranda Griya Peling
Padangtegal
II
Wiku Pemuput :
1
|
Ida
Pedanda Griya Batubulan
|
8
|
Ida
Pedanda Budha Griya Tebesaya
|
2
|
Ida
Pedanda Griya Padangtegal Baleran
|
9
|
Ida
Pedanda Griya Babakan Bitra
|
3
|
Ida
Pedanda Griya Sanur Denpasar
|
10
|
Rhsi
Bujangga Griya Angkling
|
4
|
Ida
Pedanda Budha Griya Gunung Sari
|
11
|
Ida
Pedanda Griya Blega Dauhan
|
5
|
Ida
Pedanda Budha Griya Batuan
|
12
|
Ida
Pedanda Griya Batuan
|
6
|
Ida
Pedanda Griya Darmasaba
|
13
|
Ida
Pedanda Griya Kerambitan
|
7
|
Ida
Ratu Begawan Pasraman Lungsiakan
|
14
|
Ida
Pedanda Griya Blega Danginan
|
III.
Wiku Tapini :
Ida
Pedanda Istri Griya Peling Padangtegal
IV
Pengerajeg Karya:
Drs.
Tjokorda Gde Putra Sukawati
Tjokorda
Raka Kerthyasa,S.Sos.M.Si.
V. Penasehat Karya:
Dr.Ir. Tjokorda Oka Arta Ardana Sukawati. M,si.
VI.
Manggala Karya :
I Nyoman Jaya (Jro
Bendesa)
A.A. Gde Raka Suteja,
SE (Klian Banjar)
VII. Penyarikan
1. I
Ketut Warta,S.Pd.
2. I
Nyoman Suardika
3. I
Wayan Sama
4. I
Made Sarda
VIII. Anggaraksa
1. I
Wayan Sutarja
2. I
Made Sunia
3. I
Wayan Lanus
4. I Made Jaya
5. I
Wayan Erik Saputra
IX.
Baga-Baga
1.Baga
Banten/Upakara
KOORDINATOR
1.
Ratu Peranda Istri
Griya Peling Padangtegal
2.
A.A. Biang Mekar
3.
Men Ruma
1
|
I
Wayan Suastika
|
6
|
I
Wayan Wardana
|
2
|
I
Wayan Gde Artana
|
7
|
I
Ketut Wardana
|
3
|
I
Made Sumiada
|
8
|
I
Wayan Patna
|
4
|
I
Wayan Sangra
|
9
|
I
Wayan Suarka
|
5
|
I
Nyoman Sulandra
|
10
|
A.A.
Gde Agung
|
6
|
I
Wayan Tambun
|
11
|
I
Nyoman Jiwi
|
12
|
I
Made Nyana Arta
|
|
|
|
|
PENGEROMBO TUKANG :
1
|
A.A.
Biang Merta
|
29
|
Ni
Made Badri
|
2
|
Men
Sudar
|
30
|
A.
A. Raka Puspa
|
3
|
Nyoman
Landuh
|
31
|
Jro
Kartika
|
4
|
Ni
Wayan Linggih
|
32
|
Ni
Wayan Sulasih
|
5
|
Ni
Nyoman Budi
|
33
|
Ni
Wayan Karini
|
6
|
Ni
Made Mentil
|
34
|
Ni
Made Rani
|
7
|
Ni
Wayan Srining
|
35
|
Ni
Wayan Lami
|
8
|
Ni
Nyoman Darni
|
36
|
Luh
Sadniasi
|
9
|
A.A.
Biang Mas
|
37
|
Ni
Wayan Suastini
|
10
|
Ida
Ayu Ratih
|
38
|
Ni
Wayan Sriati
|
11
|
A.A.
Istri Prihatiningsih
|
39
|
Ida
Ayu Astiti
|
12
|
Ni
Wy. Sari
|
40
|
Luh
Ketut Alit Lestari
|
13
|
Ni
Nyoman Suarni
|
41
|
Ni
Wayan Budiasih
|
14
|
Ni
Ketut Sukaadi
|
42
|
A.A.
Dwiyas Rabawati
|
15
|
Ni
Luh Ananta Dewi
|
43
|
Ni
Wayan Reni
|
16
|
Ni
Made Suparti
|
44
|
Ni
Ketut Wiryani
|
17
|
Ni
Kadek Saptarini
|
45
|
Ni
Ketut Novita Sari
|
18
|
Ni
Nyoman Sutini
|
46
|
Ni
Nyoman Sirat
|
19
|
Ni
Made Ramin
|
47
|
Ni
Wayan Suri
|
20
|
Ni
Made Kantri
|
48
|
Ni
Made Adnyani
|
21
|
Ni
Ketut Sridi
|
49
|
Ni
Wayan Karsi
|
22
|
Ni
Ketut Trisnawati
|
50
|
A.A.
Rai Rasmin
|
23
|
Ida
Ayu Kartika
|
51
|
Ni
Wayan Karni
|
24
|
Ni
Wayan Roni
|
52
|
A.A.
Oka Rasmini
|
25
|
Ni
Nyoman Suci
|
53
|
Jro
Sri
|
26
|
Ni
Ketut Kapri ( Men Lempo)
|
54
|
Ni
Wayan Sukasih
|
27
|
Ni
Nyoman Sukarti
|
55
|
Ni
Made Warni
|
28
|
Sang
Ayu Tinawati
|
56
|
Ni
Wayan Rika
|
|
|
|
|
2.Baga Sulinggih /Jro Mangku
1
|
A.A.
Anom Adnyana
KOORDINATOR
|
7
|
I
Wayan Suparta
|
2
|
A.A.
Bagus Mahendra
|
8
|
I
Ketut Redi
|
3
|
A.A.
Raka Bawa
|
9
|
A.A.
Anom Suyadnya
|
4
|
I
Wayan Kasta
|
10
|
I
Ketut Selamet
|
5
|
I
Wayan Sudarsana
|
11
|
A.A.
Gde Muliaarta
|
6
|
I
Made Sukarda
|
|
|
|
|
|
|
3
Baga Ebat /Olahan Upakara
1
|
A.A.
Oka Karma
KOORDINATOR
|
7
|
I
Wayan Lidra
|
2
|
I
Putu Suamba
|
8
|
I
Mongoh
|
3
|
I
Wayan Artayasa
|
9
|
I
Narka (Dangin)
|
4
|
I
Wayan Sudana
|
10
|
I
Kt. Artana
|
5
|
I
Made Bawa (Dangin)
|
11
|
A.A.
Oka Suparta
|
6
|
I
Made Ruma
|
12
|
I
Wayan Sumerta
|
|
|
|
|
4.Baga Mendak Tirta/ Toya Ning
1
|
I
Wayan Sudirja KOORDINATOR
|
4
|
I
Wayan Sumberjaya
|
2
|
I
Made Korji (Dangin)
|
5
|
I
Nyoman Budiasa
|
3
|
I
Nyoman Rusma
|
6
|
I
Nym. Gepeng Sumada
|
|
|
|
|
5
Baga Wewangunan
1
|
I
Made Korji (
Dauhan)
KOORDINATOR
|
6
|
I
Wayan Regig
|
2
|
A.A.
Rai Pujana
|
7
|
I
Wayan Ardita
|
3
|
A.A.
Gde Oka ( Kocak )
|
8
|
I
Wayan Karma
|
4
|
I
Nyoman Aryana
|
9
|
I
Wy. Mustika
|
5
|
I
Ketut Sujantra
|
10
|
I
Wayan Ardana
|
|
|
|
|
6
Baga Utsaha Dana/ Dana Punia
1
|
A.A.
Raka Suana
KOORDINATOR
|
5
|
I
Made Priksa
|
2
|
I
Wayan Sudiarsa
|
6
|
I
Wayan Reken
|
3
|
I
Wayan Darsa
|
7
|
I
Wayan Patrayasa
|
4
|
I
Kt. Sunarja
|
8
|
A.A.
Anom Bajra
|
|
|
|
|
7
Baga Penerangan/Suar/ Sound System
1
|
I
Nyoman Lodera
KOORDINATOR
|
4
|
I
Ketut Suparta
|
2
|
I
Wayan Teja
|
5
|
A.A.
Gd. Bagus
|
3
|
I
Made Sugita
|
6
|
I
Made Suradnya ,ST
|
|
|
|
|
8
Baga Kebersihan
1
|
A.A.
Rai Karmi
KOORDINATOR
|
9
|
I
Guru Kotia
|
2
|
I
Wayan Jiwa
|
10
|
I
Wayan Kantun
|
3
|
Guru
Wedia
|
11
|
I
Nyoman Kemit
|
4
|
I
Ketut Ngesir
|
12
|
I
Wayan Mondel
|
5
|
I
Made Dana
|
13
|
I
Made Suarjana
|
6
|
I
Ketut Suandra
|
14
|
A.A.
Rai Sirat
|
7
|
I
Made Pedana
|
15
|
A.A.
Oka Adiasa
|
8
|
I
Ketut Dika
|
16
|
A.A.
Raka Suardana
|
|
|
|
|
9
Baga Dekorasi
1
|
Skaa
Truna Sila Dharma
KOORDINATOR
|
4
|
I
Wayan Pariana Jaya
|
2
|
A.A.
Rai Nata
|
5
|
I
Made Sura Darma
|
3
|
I
Made Kertayasa
|
6
|
I
Kd. Suambawa
|
|
|
|
|
10
Baga Kesenian
1
|
I
Made Sucipta,SSn
KOORDINATOR
|
4
|
I
Nyoman Sumerta Jaya
|
|
2
|
I
Wayan Tilem Paryana
|
5
|
Skaa
Gong Dharma Santi
|
|
3
|
Dsk
Nym.Sri Utari,S.St
|
|
|
|
|
|
|||
11 Baga Pesantian
1
|
I
Made Mendra
KOORDINATOR
|
2
|
Jro
Puspa
|
|
|
12 Baga Tamiu/Humas
1
|
Drs.
A.A. Gde Oka
KOORDINATOR
|
6
|
I
Made Wartayasa
|
2
|
I
Made Sumantra
|
7
|
I
Wayan Pageh/Ananda
|
3
|
I
Ketut Raka
|
8
|
A.A.
Oka Putra (Campuan)
|
4
|
I
Wayan Kantra, B.A.
|
9
|
A.
A. Raka Yasa (Campuan )
|
5
|
I
Made Jendra
|
|
|
13 Baga Kesehatan
1
|
dr.
Ni Made Ayu Swandewi
KOORDINATOR
|
3
|
drg.
Dsk. Ketut Sukmawati
|
|
2
|
dr.
Ni Made Mindawati
|
|
|
|
|
|
|||
14 Baga Ancangan
|
|
|||
1
|
I
Nyoman Wirya
KOORDINATOR
|
8
|
I
Wayan Budiarta
|
|
2
|
I
Ketut Parta
|
9
|
A.A.
Pujana
|
|
3
|
I
Wayan Naru
|
10
|
I
Wayan Patra
|
|
4
|
I
Nyoman Jarim
|
11
|
I
Wayan Sumiada
|
|
5
|
I
Wayan Arsana
|
12
|
I
Nyoman Gatra
|
|
6
|
I
Md. Balon Astana
|
13
|
I
Wayan Mika
|
|
7
|
I
Nym. Belong
|
|
|
|
|
|
|||
15 Baga Tukang Sambleh
1
|
I
Made Arta
KOORDINATOR
|
2
|
I
Ketut Rudana
|
16
Baga Belanja/Pengadaan Barang
1
|
Ni
Wayan Sri Astuti
KOORDINATOR
|
4
|
I
Ketut Sujana
|
2
|
Ni
Wayan Suwitri
|
5
|
G.A.
Nym. Sri Ayu Putrini
|
3
|
I
Nyoman Nadi
|
6
|
I
Made Putra Jaya
|
|
|
7
|
Ni
Wayan Santi
|
|
|
17
Baga Perlengkapan
1
|
I
Nyoman Giling
KOORDINATOR
|
5
|
I
Ketut Suarjana
|
2
|
I
Made Suardana
|
6
|
I
Made Sutar
|
3
|
I
Made Gus Suarta
|
7
|
I
Made Wirawan
|
4
|
I
Nyoman Suastika
|
8
|
I
Wy. Eka Nopiyana
|
|
|
9
|
I
Wayan Budiana
|
18
Baga Jahit Menjahit
1
|
Ni
Nyoman Jelih Aryani
KOORDINATOR
|
2
|
A.A.
Raka Serigu
|
|
|
19
Baga Pengerahan Tenaga
1
|
Bendesa
Pakraman Lungsiakan
KOORDINATOR
|
2
|
Kelihan
Banjar Lungsiakan
|
|
|
20
Baga Pemuspan
1
|
Seksi
Agama Skaa Teruna
KOORDINATOR
|
21
Baga Transportasi
1
|
Merta
Sari Transport
KOORDINATOR
|
3
|
I
Made Sugiarta
|
2
|
A.A.
Raka Yasa
|
4
|
I
Wayan Tirta
|
|
|
|
|
22
Baga Nepak Kulkul
1
|
I
Made Malen
KOORDINATOR
|
3
|
I
Wayan Duduk
|
2
|
I
Ketut Lastra
|
4
|
I
Wayan Liput
|
|
|
|
|
23
Baga Konsumsi
1
|
I
Wayan Suarsa
KOORDINATOR
|
18
|
I
Made Adnyana
|
2
|
Sang
Ayu Merti
|
19
|
Ni
Wayan Rasih
|
3
|
Ni
Wayan Tirtawati
|
20
|
Ni
Wayan Soja
|
4
|
Ni
Nyoman Mariani
|
21
|
Ni
Wayan Puji
|
5
|
I
Wayan Wijana
|
22
|
A.A.
Rai Suratni
|
6
|
Ni
Ketut Wartini
|
23
|
A.A.
Anom Sriati
|
7
|
Ni
Kadek Asih
|
24
|
A.A.
Oka Puspawati
|
8
|
Ni
Ketut Sumiati
|
25
|
Ni
Made Rusnekawati
|
9
|
I
Wayan Suartana
|
26
|
I
Wayan Karta
|
10
|
Ni
Wayan Sukerti
|
27
|
Ni
Nengah Yatni
|
11
|
Ni
Wayan Renun
|
28
|
Ni
Kadek Ayu Ani
|
12
|
Ni
Made Sarwi
|
29
|
I
Made Sukadana
|
13
|
Ni
Nyoman Jasmini
|
30
|
I
Nym. Apel Subawa
|
14
|
Ni
Wayan Merni
|
31
|
Ni
Nyoman Muliati
|
15
|
Ni
Made Sulandri
|
32
|
Ni
Made Mudani
|
16
|
Ni
Nyoman Murtini
|
33
|
Ni
Made Suari
|
17
|
I
Wy. Gde Swastra
|
34
|
Ni
Nyoman Sukerni
|
|
|
|
|
24
Baga Dokumentasi
1
|
Sie
Dokumentasi Skaa Teruna
KOORDINATOR
|
2
|
I
Made Agus Suka Adi Surya
|
|
|
25
Baga Keamanan
1
|
Pecalang
Desa Pakraman Lungsiakan
|
2
|
Polisi
|
Klihan Banjar
Lungsiakan
Anak Agung Gde Raka Suteja,SE
|
Lungsiakan,
19 September 2018 Bendesa Desa Pakraman Lungsiakan
I Nyoman Jaya
|
Krama Desa yang terpilih
sebagai Prawartaka Karya mempunyai tugas mengorganisasi krama lain dalam
baga-baganya, sehingga diharapkan prosesi Karya agung bisa berjalan dengan
lancar seperti yang direncanakan sebelumnya. Persiapan pelaksanaan yadnya
dimulai dengan melaksanakanYasa Kerti, dengan mengutamakan perbuatan, perkataan
dan pemikiran yang penuh dengan kesucian. Yasa Kerti dalam hal perbuatan yang
baik dituangkan dalam butir sebagai berikut :
1. Semua warga Desa Pakraman yang melaksanakan tugas yang
berkaitan dengan Karya Agung agar selalu memakai pakaian adat yang pantas, juga
diwajibkan memakai ikat kepala, baik laki-laki maupun wanita.
2. Bagi Krama Desa Pakraman yang mempunyai cacat
kelahiran diharapkan tidak ikut dalam ayah-ayah nanding upakara Suci, Catur dan
upakara lain yang dihaturkan di Sanggar, untuk menghaturkan ayah-ayah yang lain
dan muspa tidak ada larangan.
3. Yang dianggap Cuntaka menurut sastra agama adalah
warga yang kumpul kebo, anak yang lahir tanpa orang tua yang syah dan hal lain
yang disepakati oleh ketentuan Desa Pakraman dilarang memasuki wilayah Pura.
4. Semua perbuatan yang disengaja bertujuan untuk
menggagalkan rangkaian upacara agar dijauhkan.
5. Apabila ada Kematian di salah satu anggota keluarga
Krama Desa Pakraman, terhitung mulai dari dilaksanakannya upacara Pengalang
Sasih sampai selesai Dudonan Karya Agung, agar melaksanakan kegiatan tersebut
tanpa suara kentongan.
6. Apabila yang meninggal tidak akan boleh dipendem,
seperti Sulinggih, Pemangku agar dititip dahulu (Tidak diupacara).
7. Apabila kematian yang boleh dipendem, agar prosesi
dilaksanakan setelah matahari tenggelam dengan upacara seperti biasa.
8. Bagi Krama yang mengikuti prosesi upacara
Kelayu-sekaran dianggap Cuntaka. Cuntaka satu rumah dihitung sampai selesai,
sesudah 12 hari.
9. Panumbak Pangapit terkena cuntaka selama 3 hari. Para
Juru Desa dan Dinas tidak terkena cuntaka, agar tidak ikut dalam prosesi
pemakaman.
10. Apabila ada Krama Desa Pakraman yang melahirkan,
terkena cuntaka 42 hari bagi yang wanita dan bagi yang laki-laki terkena
cuntaka sampai kepus puser bayi.
11. Apabila ada salah satu krama yang keguguran, kena
cuntaka selama 42 hari, laki atau perempuan.
Demikian
ketentuan Yasa Kerti yang disepakati oleh Krama Desa Pakraman Lungsiakan dengan
tujuan utama mensukseskan Karya Agung Mupuk Pedagingan dan Padudusan Agung di Pura Dalem, Desa Pakraman
Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi
Bali Pada Budha Umanis Medangsia, 16 Januari 2019.
Hal ini diperlukan karena
panjangnya tahapan upacara upakara dari tanggal 9 September 2018 hingga tanggal
30 Januari 2019 seperti yang termuat dalam Ehedan Upacara dibawah ini:
1. Tanggal 9 September 2018; Redite
Pahing Ugu; dilaksanakan Nyukat Genah; dipuput oleh Ida Pedanda Griya Peling
Padangtegal; pukul 10:00 Wita pagi. Prosesi bertujuan untuk memberi batas
secara niskala antara parahyangan dengan Tri Mandala serta memohon kehadapan
Ida Sang Hyang Widi, agar Karya yang akan dilaksanakan mendapat restu dan
diberikan kemudahan, tuntunan serta
semuanya berjalan sesuai dengan harapan krama pengemong pura khususnya dan Bali
umumnya.
2. Tanggal 24 Oktober 2018; Buda
Pahing Landep; dilaksanakan Nuasen Karya, dipuput oleh Ida
Pedanda Giriya Peling Padangtegal Ida Pedanda Istri Tapini Giriya Peling,
bertujuan memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widi, agar Karya yang akan
dilaksanakan mendapat restu dan diberikan kemudahan,
3. Tanggal 7 Desember 2018, Sukra
Umanis Warigadian dilaksanakan acara Nunas Jatun Karya, dilaksanakan oleh Para
Juru, Prawartaka. Bermakna memohon anugerah kepada Ida Sang Hyang Widhi agar
menurunkan berbagai kemudahan dalam menyiapkan segala macam bentuk piranti upakara
upacara.
4. Tanggal 10 Desember 2018, Coma
Wage Julungwangi, dilaksanakan upacara Negtegang pukul 10.00 Wita dipimpin oleh
Ida Pedanda Giriya Peling Padangtegal. Bermakna upaya
penyimpanan segala piranti upacara yang sudah siap, terutama sarwa pala.
5. Tanggal 18 Desember 2018, Anggara
Pahing Sungsang, dilaksanakan upacara Ngingsah dan Nyangling pukul 10.00 Wita
dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Padangtegal Baleran.
merupakan simbol dari kesiapan umat untuk melaksanakan upacara selanjutnya.
Nyangling sama artinya dengan nyelir yang pada intinya menunjukkan kesiapan
seluruh umat Hindu untuk melaksanakan upacara. Sedangkan upacara ngingsah beras
dimaksudkan sebagai upaya untuk menyucikan beras yang akan dipergunakan selama
pelaksanaan upacara ini.
6. Tanggal 19 Desember 2018, Buda
Pwon Sungsang, dilaksanakan upacara Ngadegang Bagia Pulakerti dan Nanding Bagia
pukul 10.00 Wita dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya
Peling Padangtegal.
7. Tanggal 21 Desember 2018, Sukra Kliwon
Sungsang, dilaksanakan upacara Caru Rsi Ghana pukul 09.00 Wita dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Sanur Denpasar, Ida Pedanda Griya Budha
Batuan, Ida Pedanda Griya Peling Padangtegal, Ida Pedanda Griya Budha Gunung
Sari. Ritual Rsi Ghana umumnya dikenal sebagai Caru Rsi Ghana. Menurut
Mardiwarsito (1978:49), kata caru
diartikan sebagai kurban. Kata caru identik
dengan upacara bhuta yadnya yang
berarti kurban suci yang ditujukan kepada para bhuta atau bhuta kala. Rsi adalah orang atas usahanya
melakukan tapa, yoga, dan semadi, memiliki kesucian yang dapat menghubungkan
diri dengan Sang Hyang Widhi sehingga
dapat melihat hal-hal yang sudah lampau, masa sekarang, dan masa yang akan
datang. Ghana adalah
simbol dewa bencana (vighnesvara),
mahatahu (vinayaka), dan pengelukat (pengeruat). Caru Rsi Ghana adalah usaha
manusia untuk membuat hubungan yang harmonis antara keadaan diri, lingkungan,
dan Tuhan, yang diwujudkan dalam bentuk atau wujud sesaji dengan menghadirkan
manifestasi Tuhan sebagai Dewa Ghana. Rsi Ghana berarti
golongan atau kelompok resi Rsi Ghana terdiri
atas kata rsi dan ghana. Rsi berarti ‘pendeta; dewa’. Ghana berarti makhluk setengah dewa; angkasa;
langit. Yang dimaksud dengan kelompok resi adalah kekuatan Dewata Nawa Sanga yang bergabung menjadi satu dalam tubuh
Dewa Ghana. Makhluk setengah dewa dimaksudkan sebagai wujud
Dewa Ghana yang berupa manusia berkepala gajah yang datang dari
langit dengan kekuatan para dewa. Jadi, Rsi Gana berarti Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai
Dewa Ghana yang turun ke dunia sebagai penghalau rintangan atau
penyelamat. Ritual Rsi Ghana dimaksudkan
sebagai sebuah ritual dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai
penyelamat atau pelindung.
8. 7. Tanggal 22 Desember 2018, Saniscara Umanis
Sungsang, dilaksanakan acara Nuhur Pakuluh di Gunung Batur, Gunung Agung, Pura
Pasar Agung dan Danau Batur. Pada pukul 14.00 Wita dilaksanakan upacara Mendak
Pengrajeg Karya di Pura Taman Pule Mas, dipimpin oleh
Ida Pedanda Giriya Darmasaba.
9. Tanggal 08 Januari 2019, Anggara Pwon
Langkir, dilaksanakan acara Ngaturan Pakelem di Gunung Agung dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batubulan, Ngaturan Pakelem di
Gunung Batur dipimpin oleh Ida Ratu Begawan Pesraman
Lungsiakan. Ngaturan Pakelem di Campuan dipimpin oleh Jero Mangku, dilanjutkan dengan Nedunan Ida Bhatara dipimpin oleh Jero Mangku.
10. Tanggal 09 Januari 2019, Buda Wage
Langkir, dilaksanakan acara Melasti dan Mepekelem di Segara Masceti, pukul
05,00 Wita dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Peling
Padangtegal dan Ida Pedanda Griya Budha
Gunung Sari. Dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala
disebutkan
Malasti ngarania ngiring prawatek
Dewata, anganyutaken laraningjagat, papa kiesa, letuhing bhuwana
Maksudnya,
Melasti
meningkatkan bakti kepada para dewata manifestasi Tuhan, agar diberi kekuatan
untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa atau
kekotoran diri dan kekotoran alam semesta.
Sedangkan tujuan melasti seperti
yang tersurat dalam lontar Sundarigama adalah ngamet sarining amertha kamandalu
ring telenging sagara-mengambil sari-sari kehidupan yang disebut tirtha
kamandalu (air sumber kehidupan) di tengah samudera. Ngiring
prawatek dewata dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala itu mengandung makna
bahwa ciri utama orang beragama adalah berbakti kepada Tuhan (Ida Sang Hyang
Widi). Anganyutaken laraning jagat artinya, dengan kuatnya srada dan bakti
kepada. Tuhan, kepedulian sosial ümat bisa meningkat, Anganyutaken papa klesa
maksudnya agar umat termotivasi untuk mengatasi lima kekotoran individu yang
disebut panca klesa-awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa. Sedangkan anganyutaken letuhing bhuwana maksudnya melalui ritual
melasti umat diharapkan termotivasi untuk menghilangkan kebiasaan buruk merusak
sumber daya alam. Jika kebiasaan buruk ini terus dibiarkan, alam akan rusak
(letuhing bhuwana) yang pada gilirannya manusia akan menderita.
Malasti berasal dari kata lasti.
yang artinya menuju air. Dalam konteks prosesi melasti, umat bisa mendatangi
segara (laut), danau dan campuan (pertemuan dua buah sungai). Tujuannya, nunas
(mohon) tirta amertha dan menghanyutkan kekotoran dunia. Malasti
ngarania ngiring prewatekan pralingga Ida Bhatara ke telengin samudera angamet
tirta amerta (tirta sanjiwani), anganyutaken laraning jagat, papa klesa
letuhing bhuwana. Artinya, umat ngiring Ida Bhatara ke segara mengambil Tirta
Amerta dan menghanyutkan segala penderitaan umat, segala sesuatu yang
menyebabkan dunia atau alam semesta ini kotor. Secara simbolik, sesungguhnya
umat diingatkan untuk selalu membenahi diri supaya menjadi lebih baik, dengan
menghilangkan atau menghanyutkan perilaku atau sifat-sifat buruk yang melekat
dalam diri. Pemendak Melasti dilaksanakan di Madya Mandala dan Utama Mandala
Pura pada pukul 19.00 Wita, dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Padangtegal
Baleran Ida Pedanda Giriya Batubulan.
11.Tanggal 10 Januari
2019 Wraspati Kliwon Langkir, 16.00 Wita dilaksanakan acara Mendak Bagia Pula
Kerthi di Pura Dalem Swargan Kedewatan dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Budha
Gunung Sari. Pukul 19.00 Wita Rauh Bagia Pula Kerthi Pura Dalem dihaturi
pemendak dan ayaban, dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batubulan.
12. Tanggal 12 Januari
2019 Saniscara Pahing Langkir, pukul 09.00 Wita, dilaksanakan upacara Mepepada
Alit, dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Budha Tebesaya. Pada Pukul 19.00 Wita dilaksanakan upacara Memben dan Mlaspas
Banten dipimpin oleh Ida Ratu Begawan Pesraman Lungsiakan.
13. Tanggal 13 Januari 2019 Redite
Pwon Medangsia, pukul 09.00 Wita dilaksanakan upacara Mepedanan dan Tawur Agung
dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Padangtegal Baleran, Ida Pedanda Giriya Budha
Gunung Sari, Ida Pedanda Giriya Babakan Bitra dan Rhsi Bujangga Griya Angkling.
14. Tanggal 14 Januari
2019 Come Wage Medangsia, pukul 09.00 Wita dilaksanakan upacara Mepepada Agung
Wewalungan dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Darmasaba dan Ida Pedanda Giriya
Budha Gunung Sari.
15. Tanggal 15 Januari 2019 Anggara Kliwon Medangsia, pukul 19.00
Wita, dilaksanakan upacara Memben Banten dan Mlaspas Banten dipimpin oleh Ida
Pedanda Giriya Belega Dauhan.
16. Tanggal 16 Januari
2019 Buda Umanis Medangsia dilaksanakan upacara Puncak Karya. Di Pura Mrajapati dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya
Batuan, Ida Pedanda Giriya Batubulan dan
Ida Pedanda Giriya Budha Gunung Sari. Di Puncak Karya dipimpin oleh Ida Pedanda
Giriya Peling Padangtegal dan Ida Pedanda Giriya Babakan Bitra. Di
Peselang dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batubulan, Ida Pedanda
Giriya Budha Batuan, Ida Pedanda Istri Tapini Giriya Peling, Ida Pedanda Istri
Giriya Budha Gunung Sari dan Ida Pedanda Istri Giriya Batubulan.
17. Tanggal 17 Januari
2019, Wraspati Pahing Medangsia, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin
oleh Ida Pedanda Giriya Kerambitan.
18. Tanggal 18 Januari
2019 Sukra Pwon Medangsia, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin
oleh Ida Pedanda Giriya Kesiman.
19. Tanggal 19 Januari
2019 Saniscara Wage Medangsia, pukul 10.00 Wita dilaksanakan upacara Ngeremek,
Bangun Ayu, Mekebat Daun dan Pedudusan Alit dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Budha
Sukawati, Ida Pedanda Giriya Bakbakan Bitera dan Ida Pedanda Giriya Batubulan.
20. Tanggal 20 Januari
2019 Redite Kliwon Pujut, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin
oleh Ida Pedanda Istri Giriya Buda Tebesaya.
21. Tanggal 21 Januari
2019 Coma Umanis Pujut, pukul 10.00 Wita dilaksanakan upacara Ngusaba Dalem
bertempat di Pura Mrajapati, dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Bakbakan Bitera,
Ida Pedanda Buda Giriya Gunungsari dan Ida Pedanda Giriya Batubulan. Pukul 19.00
Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Kerambitan.
22. Tanggal 22 Januari
2019 Anggara Pahing Pujut, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin
oleh Ida Pedanda Giriya Dharmasaba.
23. Tanggal 23 Januari
2019 Buda Pwon Pujut, pukul 16.00 Wita dilaksanakan upacara Nyenuk di Pura
Dalem Gede Bunutan dipimpin oleh Ida Pedanda Buda Giriya Gunungsari Ubud. Pukul
19.00 Wita dilaksanakan upacara Ngaturan Ayaban Rawuh Sakeng Nyenuk di Pura
Dalem dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Batubulan.
24. Tanggal 24 Januari
2019 Wraspati Wage Pujut, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin
oleh Ida Pedanda Giriya Belega Danginan.
25. Tanggal 25 Januari
2019 Sukra Kliwon Pujut, pukul 19.00 Wita dilaksanakan acara Nganyarin dipimpin
oleh Ida Pedanda Buda Giriya Tebesaya Ubud.
26. Tanggal 26 Januari
2019 Saniscara Umanis Pujut, pukul 10.00 Wita dilaksanakan upacara Rsi Bhojana
dan Nganyarin diikuti oleh Para Wiku Pemuput
dipimpin oleh Ida Pedanda Buda Giriya Gunungsari Ubud dan Ida Pedanda
Giriya Peling Padangtegal Ubud.
27. Tanggal 27 Januari
2019 Redite Pahing Pahang, pukul 14.00 Wita dilaksanakan acara Ngamudalang Ida
Bhatara Pengrajeg Karya di Pura Tamanpule Mas dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya
Batubulan. Pukul 20.00 Wita dilaksanakan upacara Nyineb di Pura Dalem, dipimpin
oleh Ida Pedanda Buda Giriya Peling Padangtegal Ubud, Ida Pedanda Istri Tapeni
Giriya Peling Padangtegal dan Ida Pedanda Buda Giriya Gunungsari Ubud. Pukul
24.00 Wita dilaksanakan acara Mendem Bagia di Pura Dalem, dilaksanakan oleh
Angga Juru, Pemangku dan Krama Desa Pakraman Lungsiakan.
28. Tanggal 28 Januari
2019, Buda Kliwon Pahang, Pukul 07.00 Wita dilaksnakan Upacara Nyegara Gunung,
bertempat di Segara Goalawah dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Peling
Padangtegal. Filosofi upacara Nyegara
Gunung : nyegara (ke-segara) mensucikan roh leluhur dengan sapta (7) gangga (air
suci), yakni 7 sungai suci di India: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna,
Godawari, Narmada, Sarayu.
Di tempat-tempat tersebut Weda diwahyukan
kepada 7 Maha Rsi: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista,
Kanwa. Maka timbullah keyakinan adanya tirta amertha kamandalu itu di
tengah laut (ring telenging samudra). Nyegara Gunung adalah filosofi Bali bahwa
antara laut (segara) dan gunung adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Oleh
karena itu, setiap tindakan di gunung akan berdampak pada laut. Demikian pula
sebaliknya
Bab VIII
Penutup
Pada hakikatnya,
bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu lewat
berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugrah Beliau, memuja dan mensucikan
Pelinggih Arcana Widhi, membangun dan memperbaiki Pelinggih Kahyangan,
menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial religius
masyarakat Desa Pakraman Lungsiakan, adalah sebagian kecil bentuk Sradha Bhakti
terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat kesadaran yang maha
tinggi bahwa segala sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah berkat
ciptaanNya, berkat pemeliharaanNya,
dan terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai kekuasaan melebur. Konsep-konsep
tersebut sudah terpatri dalam jiwa setiap masyarakat Hindu di Desa Pakraman
Lungsiakan.Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di wilayah
Lungsiakan khususnya
merupakan salah satu jalan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan alam
lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruhan
bagian dari konsep
Tri Hita Karana tersebut dipakai sebagai dasar kehidupan di masing-masing
Krama Desa.
Om
Santhi Santhi Santhi Om
Giriya Gunung Payangan, 19 Desember 2018