PURANA
PURA PENATARAN
ANTAPSAI BON
Bon,
Petang, Badung
Olih:
Ida Bagus Bajra
BAB I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om
prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam
widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam
mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā,
pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam.
Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang
ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugrahaneng hulun, muncaranākna
ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi,
wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu
jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang
bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan
segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah
semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang
Hyang Purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari
alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa petaka, bisa
terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan
yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin,
anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk
keluarga dan alam semesta.
Karena sebuah
rasa penuh tulus dan kecintaan terhadap alam, budaya serta kehidupan sosial
masyarakat Hindu di Bali, berbekal keinginan mengabdi terhadap tanah kelahiran
dilandasi dengan semangat bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para
leluhur yang sudah menyatu di dalam rangkuman sinar suci Beliau, kami
memberanikan diri meramu data-data yang ada didalam bentuk sebuah karya sastra
yang sangat sederhana yang kami persembahkan sebagai yadnya kepada pembaca dan
generasi penerus kita, agar bisa kelak dikemudian
hari dipakai sebagai bahan kajian dalam menyusun karya sastra yang lebih
sempurna.
Segala macam
bentuk ketidak sempurnaan dan
kekurangan memenuhi kata demi kata dalam buku ini, sehingga dengan kerendahan
hati kami memohon berbagai petunjuk dalam usaha kami
membuat buku ini mendekati sempurna. Karena kami yakin dalam era global ini, banyak hal yang harus bisa kita lakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan
zaman, salah satu diantaranya adalah tentang sejarah. Sejarah
yang ditulis dengan dasar metode penulisan yang benar, data penunjang yang kuat
serta pemahaman yang dalam akan mampu membangun rasa cinta generasi terhadap tanah
kelahiran serta yang bertumbuh dan berkembang
di wilayahnya. Karena rasa cinta akan hadir apabila kita mengenal jati diri yang
mencakup tentang berbagai pilosofi yang terkandung didalam kebiasaan kehidupan
sosial budaya kita. Pada intinya kami berusaha menyelaraskan berbagai dasar
budaya keagamaan kita yang terdiri dari Kuna Dresta, Loka Dresta dan Sastra
Dresta dalam sebuah kajian yang bisa menggugah kesadaran kita tentang
pentingnya berbagai kearifan lokal yang didukung oleh sastra agama Hindu dalam
menjaga Sradha umat beragama. Semoga kemudian kita dan generasi mendatang bisa
melewati masa-masa kritis sebagai penjaga Agama dan budaya warisan leluhur kita
dahulu, agar perjuangan dan usaha yang sudah dilakukan semenjak dahulu tidak
hanya menjadi cerita usang yang semakin hilang, hanya karena ketidaktahuan kita terhadap perjuangan mereka dahulu. Kita
adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, karena sejarah
adalah sumber pengetahuan yang merupakan satu-satunya media untuk mengetahui
masa lampau, yaitu mengetahui peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau
dengan perbagai permasalahannya. Peristiwa yang menjadi objek sejarah syarat
dengan pengalaman penting manusia karena mampu membangkitkan imajinasi
memperluas wawasan intelektual, memperdalam simpati, sebagai sarana ideal untuk
mendidik masyarakat agar berpikir secara bebas mengajarkan kepada masyarakat cara
berfkir mmeningkatkan kreatifitas dan memberikan pelajaran untuk mengenal
dirinya sendiri. Sejarah juga menjadi sumber pendidikan penalaran, pendidikan
moral, menciptakan kebijaksanaan, dasar pendidikan politik, perubahan,
Pendidikan masa depan dan sebagai
ilmu bantu untuk ilmu yang lain.
Semoga pikiran yang
jernih mengalir dari semua penjuru arah angin, sehingga kita bisa memaknai
setiap langkah dalam proses hidup di bhuwana agung maupun bhuwana alit sebagai
sebuah keharusan yang sudah direncanakan oleh Sang Pencipta. Yang kekal adalah
perubahan dan kebenaran utama hanya nilai-nilai spririt dan ritual yang mampu
memaknai setiap perubahan sebagai sebuah kebenaran utama.
BAB II
ASAL USUL BALI
Zaman Bahari
Zaman bahari tatkala Nusa
Bali dan Lombok masih dalam keadaan goncang, layaknya perahu diatas lautan
selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada empat gunung
di Bali, di bagian Timur gunung Lempuyang namanya, dibagian selatan gunung
Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian utara Gunung Mangu namanya dan
pula gunung Bratan. Sebab itu sangat mudahlah Hyang Haribhawana menggoyangkan
nusa ini. Bhatara Hyang Pasupati
sangat sedih melihat situasi Nusa Bali, maka segeralah Beliau memotong puncak
gunung Mahameru, untuk dibawa ke Pulau Bali dan Lombok, Badawang Nala
diperintahkan mengusung puncak gunung, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi
tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan dan menurunkan di Bali pada
hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih Kadasa (April) bulan mati (Tilem), rah
1, tanggek 1, tahun Caka 11. Menurut analisa Team Sejarah dan Budaya Bali th
2012, cerita ini menggambarkan secara terselubung, Bhatara Pasupati yang
dimaksud adalah seorang penguasa di pulau Jawa, Gunung Mahameru digambarkan
sebagai ilmu pengetahuan, Bedawang Nala digambarkan sebagai dasar dari ilmu
keagamaan, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki adalah aturan tentang pelaksanaan
ilmu keagamaan tersebut. jadi bisa dianalisa sementara, bahwa pada sekitar tahun 11 Saka, keadaan pulau Bali dan Lombok
selalu bergolak, akibat belum adanya tatanan ilmu pengetahuan keagamaan yang
mengatur penduduknya. hal ini yang mengerakkan hati seorang penguasa di pulau
Jawa untuk menyebarkan ajaran agama dan ilmu pengetahuan ke Bali dan Lombok.
ajaran suci itu berupa dasar-dasar keyakinan serta aturan-aturan pengikat
masyarakat dalam melaksanakan kewajiban untuk bangsa dan agamanya. karena
setelah ajaran agama dan ilmu pengetahuan itu diturunkan di Bali dan Lombok,
kedua pulau menjadi tenang tanpa gejolak.
Selang beberapa tahun lamanya pada hari Kamis Kliwon wuku Tolu, pada
Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, terjadi hujan
sangat lebat disertai badai, guruh dan kilat sambar menyambar. Gempa bumi
gemuruh membawa hujan selama dua bulan tidak putus-putus. Puncaknya gunung
Agung (Tolangkir) meletus mengeluarkan air salodaka (air belerang) sangat
banyak, pada hari Selasa Kliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember),
kebetulan bulan Purnama, tahun Saka 31, tampak keluar Bhatara Hyang Puterajaya
disertai adiknya Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih, terus menetap
bertempat di sana bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu berparhyangan di
Ulun Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di Gunung Lempuyang.
Beliau bertiga diutus oleh Bhatara Hyang Pasupati untuk turun ke Bali, sebagai
junjungan rak yat Bali sampai akhir zaman. Tahun Saka 896 kembali Bhatara Hyang
pasupati mengutus murid-murid Beliau untuk turun ke Bali bertugas
menyempurnakan tatanan kehidupan masyarakat Bali. Walaupun penuh dengan
rintangan, segala kehendak Beliau akhirnya terlaksana.
Penyebaran Suku Bangsa
Austronesia.
Sebelum
kedatangan para Rsi Agung yang mengajarkan kehidupan beragama di wilayah Bon,
keadaan hutan-hutan tropis yang lebat menjadi tempat bermukim yang ideal bagi
orang - orang Autronesia yang berbudaya terbatas. Empat kerabat dari kelompok
masyarakat yang kesehariannya memakai bahasa Austronesia, Tai-Kadai, Hmong-Mien Austro-Asiatik menepati
wilayah Tiongkok bagian selatan antara tahun 2000 Sebelum Masehi hingga 1000
Sebelum Masehi. Bangsa Han yang mendiami wilayah utara Tiongkok menyerbu
keselatan hingga mengusir penduduk Austronesia dan memaksa mereka untuk
melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah Taiwan, kepulauan Asia Tenggara dan
Samudra Pasifik lainnya. Migrasi yang bertahap dari penduduk Austronesia
menjadikan mereka mendiami wilayah-wilayah yang berjauhan dan berkembang
kehidupannya dimasing-masing wilayah, sesuai dengan kultur wilayah yang
didiami, sehingga cenderung memiliki beberapa perbedaan walaupun mempunyai asal
perkembangan yang awalnya sama.
Peta Penyebaran
Ras Austronesia
Penyebaran
penduduk dari Taiwan ke Bali diduga melalui Maritime Asia Tenggara, sehingga
budaya dan Bahasa penduduk Bali berkaitan sangat erat dengan penduduk kepulauan Indonesia, Malaysia,
Filipina, dan Oseania. Bila ditinjau dari ras dan penyebarannya, penduduk Bali merupakan ras
Melayu Mongoloid dalam sub ras Deutro Melayu yang juga bermukim dan berkembang
di daerah Bali, Jawa dan Banjar. Bali telah dihuni oleh bangsa Austronesia sekitar
tahun 2000 sebelum Masehi yang bermigrasi dan berasal dari Taiwan melalui
Maritime Asia Tenggara. Budaya dan bahasa dari orang Bali demikian erat
kaitannya dengan orang-orang dari kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan
Oseania. Alat-alat batu yang berasal dari saat itu telah ditemukan di dekat
desa Cekik di sebelah barat
pulau Bali.
Ilmu Arkeologi
yang khusus mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak
membagi masa Pra Aksara atau Pra Sejarah menjadi 2 zaman. Para peneliti asing seperti: P.V. van Stein Callenfels, A.N.J.
Th. van der Hoop, dan H.R. van Heekern membagi
pembabakan zaman dalam
ilmu Arkeologi menjadi 2 teori, yang diketahui dari berbagai penggalian dan
penelitian terhadap benda dan alam zaman
pra aksara. Arkeologi
adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak.
Dari hasil penelitian para ahli arkeologi, maka tabir kehidupan masyarakat pra
aksara Indonesia
dapat diketahui. Berdasarkan penggalian arkeologi maka pra aksara
atau prasejarah
dapat dibagi menjadi 2 Jaman, yaitu Zaman Batu dan Zaman Perundagian. Pada
Zaman Batu dibagi lagi menjadi 3 periode atau masa, antara lain Zaman Batu Tua
atau Paleothikum, Zaman Batu Tengan atau Mesolithikum dan Zaman Batu Muda atau
Neolithikum. Peninggalan-peninggalan Zaman Batu seperti Kapak Genggam, Kapak
Sumatera, Pebble, Kapak Persegi dan Kapak Lonjong belum ada yang ditemukan di daerah Bon
sehingga untuk sementara bisa kita simpulkan bahwa daerah Bon Petang belum ada
tanda-tanda terjamah oleh kehidupan manusia pada Zaman Batu yang berlangsung
kurang lebih 700.000 tahun lamanya. Pada zaman ini alat-alat kehidupan manusia
sebagian besar terbuat dari batu, kayu dan tulang. Sementara itu berdasarkan
para ahli memakai metode Tipologi atau metode dengan acuan bentuk dan tipe
benda peninggalan menjadi zaman Batu menjadi 3 periode, antara lain Zaman Batu,
Zaman Logam atau Perundagian dan zaman Pra Aksara. Zaman Batu dan Zaman Logam
tidak bisa ditentukan dengan pasti kapan mulai dan berakhirnya karena pada
zaman logam alat-alat dari batu masih juga dipergunakan oleh penduduk. Para
ahli membuat pedanan zaman logam hanya sebagai tanda bahwa sudah mulai dikenal
oleh penduduk alat-alat yang terbuat dari logam. Peninggalan dari zaman ini
banyak ditemukan di wilayah Bali, terutama sekali berbentuk perhiasan sebagai
bekal kubur di beberapa sarkofagus. Masa berburu dan mengumpulkan makanan
penduduk Bali lebih memilih untuk mendiami wilayah-wilayah pegunungan yang dekat
dengan sumber air, selain berlimpah sumber makanan juga bagus dipakai sebagai
benteng alam untuk menangkal serangan musuh atau binatang buas. Wilayah Pucak
Bon diperkirakan sudah didiami oleh penduduk dalam jumlah yang terbatas pada
masa ini, walaupun masih bersifat nomaden atau berpindah-pindah dari suatu
wilayah ke wilayah yang lain. Pada era berikutnya penduduk mulai berupaya
menyiapkan bahan persediaan makanan dengan bercocok tanam, meninggalkan goa-goa
tempat tinggal mereka mereka sebelumnya dan mulai tinggal di dataran dengan
rumah sederhana yang berbahan baku kayu dan bambu beratap kulit kayu atau
rumbia. Peneliti Barat, B.J. Miggen dan Clifford Evan Jr dalam studinya tentang
kehidupan di hutan-hutan teropis
menyatakan bahwa hutan tropis di wilayah Bali tengah tidak berbeda
jauh dengan keadaan hutan Tropis di Amerika Selatan. Perubahan perlahan-lahan
terjadi dengan terbentuknya perkampungan-perkampungan kecil semacam Padukuhan
dengan beberapa rumah kecil yang tempatnya tidak beraturan. Bentuk rumah di
perkampungan Bali pada masa ini berbentuk kebulat-bulatan dengan atap rumbia
yang menjuntai hingga ujungnya menyentuh tanah. Rumah-rumah kecil ini hanya
bisa menampung beberapa anggota keluarga saja, tidak lebih dari 4 orang. Dalam
perkembangan selanjutnya, terjadi penyempurnaan dalam bentuk rumah penduduk
Bali, dimulai dengan bentuk rumah memanjang dengan memakai tiang yang jumlahnya
disesuaikan dengan luas bangunan. Rumah-rumah berbentuk balai panjang bertiang
ini banyak dibangun di daerah yang dekat dengan ladang, dengan tujuan untuk
menghindari serangan
binatang buas. Rumah ini bisa menampung beberapa anggota keluarga inti yang
semakin berkembang kemudian. Apabila rumah tiang ini dibangun jauh dari ladang,
penduduk akan meninggalkan kampung mereka pada masa tanam dan masa panen,
mereka membawa serta
anggota keluarga dan binatang peliharaan ke ladang-ladang. Di wilayah ladang
mereka membangun gubuk-gubuk darurat yang dipakai sebagai tempat tinggal
sementara, Setelah masa panen selesai mereka akan kembali ke rumah tiang. Semua
rumah, baik yang berbentuk bulat, persegi bertiang atau gubuk di ladang-ladang
dibuat dengan cara bergotong-royong oleh anggota Pedukuhan dengan
upacara-upacara tertentu yang dipimpin oleh kepala Pedukuhan. Dari beberapa tinggalan benda
purbakala di Pucak Bon dan sekitarnya diperkirakan penduduk terdiri dari ras
Mongoloid dan ras Austromelanesoid
yang mengkonsumsi Keladi atau taro, colocasia esculenta sebagai makanan
pokok disamping berbagai jenis buah, seperti analisa ahli Botani, C.H.M Heeren.
Pada masa ini penduduk sudah mulai membuat irigasi sederhana untuk pertanian
dan menjinakkan anjing, babi dan beberapa jenis ungas untuk berbagai
kepentingan.
Dua orang Peneliti barat P.V van
Stein Callefels dan H.R van Heekeren melakukan klasifikasi terhadap peninggalan
Megalitik yang terdiri dari Menhir, bhatara-bhataran batu, pelinggih-pelinggih
batu, jalanan batu berundak dan undak-undak batu berbentuk piramida untuk
merekontruksi bentuk kehidupan pada masa bercocok tanam di wilayah Bon.
Penelitian ini dilanjutkan oleh Profesor Doktor Raden Pandji Soejono pada tahun
1970 yang hasilnya kemudian memastikan bahwa penduduk sekitar Pucak Bon mulai
mendiami wilayah sekitar Bon pada masa penduduk sudah mengenal bahan logam.
Wilayah
Desa Adat Bon, kedinasan Desa Belok, Kecamatan Petang,
Badung yang berada pada garis kordinat peta 08.25.29.32 Lintang Selatan dan 115.22.79.19 Bujur Timur. Wilayah ini tidak bisa
dipisahkan dengan perjalanan
sejarah kuno Bali, karena Desa Bon sebelum menjadi
sebuah desa yang tertata dengan baik, dahulunya
masih berupa
daerah hutan tropis yang berstruktur tanah sangat subur. Dengan sumber air yang
melimpah, hawa yang
sejuk dan lembab menjadikan wilayah
Bon sebagai daerah yang sangat cocok ditumbuhi oleh berbagai
jenis tanaman tropis hidup dengan subur, tanda-tanda kehidupan pada masa pra aksara hingga kini
belum ditemukan oleh para ahli purbakala, di
areal pura, tetapi peninggalan
arkeologi banyak ditemukan disekitar pura, seperti di Pura Pucak Rinjani di Desa
Sidan, Pura Gelang Agung di Buangga, Pura Puseh, Pura Pengubengan dan Pura
Luhur Antapsai Bon serta banyak lagi tinggalan arkeologi yang sudah ditemukan
tetapi belum terungkap atau terpendam di beberapa wilayah desa Bon dan
sekitarnya.
Ada dilakukan penelitian oleh Pusat
Penelitian Purbakala Dan Peninggalan Nasional Jakarta tahun 1977 tentang
Tinggalan Arkeologi di Pura Luhur Entapsai dilaporkan oleh I Ketut Linus. Di
Pura Luhur Antapsai terdapat tinggalan arkeologi berupa Lingga Yoni, Jero
Mangku Dani menuturkan bahwa sebelum terjadi gempa bumi tahun 1917 Lingga Yoni
yang terbuat dari batu berwarna hitam keabu-abuan ini dilinggihkan di Meru tumpang 7. Lingga
yang mempunyai tinggi 20 cm, tinggi bagian silinder 16 cm, berdiameter 13,5 cm,
tinggi bagian segi delapan 4 cm masih dalam keadaan baik.
Pelinggih Meru Tumpang 7
Yoni dalam keadaan sudah retak
dan tidak memakai cerat dengan ukuran tinggi keseluruhan 40 cm, kedalaman
lubang 28 cm, sisi bagian atas 39 cm x 39 cm, tinggi sisi bagian atas 8 cm x 8 cm,
sisi bagian bawah 50 x50 cm, tinggi sisi bagian bawah 9 x9 cm, tinggi pelipit
bagian atas masing-masing sisi 4,5 x 4,5 cm, tinggi pelipit bagian bawah
masing-masing sisi berukuran sama dengan pelipit bagian atas. sementara di
halaman pura ditempat yang berbeda ditemukan lingga sebanyak 2 buah dalam
keadaan masih utuh, terbuat dari batu yang berwarna hitam keabu-abuan. Diutara
Pelinggih Lingga Yoni, Lingga yang ditemukan berukuran tinggi 41 cm, tinggi
bagian silinder 15 cm, diameter 16 cm, tinggi bagian segi delapan 12,5 cm,
lebar segi delapan 7,5 cm, tinggi bagian segi empat 13,5 cm dan lebar bagian
segi empat 16 cm.
Lingga Yoni di Pura
Pucak Antapsai Bon
Disamping lingga juga ditemukan 2 fragmen batu
bulat panjang dengan masing-masing bagian berukuran tinggi 34 cm, diameter 16
cm dam yang satu lagi berukuran tinggi 25 cm dengan diameter 15 cm.
Dibagian barat Pelinggih Lingga
Yoni juga ditemukan Lingga yang yang lebih kecil dari lingga disebelah utara
pelinggih, berukuran tinggi 29 cm, tinggi bagian silinder 14 cm, diameter 10
cm, tinggi bagian segi delapan 6 cm, lebar segi delapan 7,5 cm, tinggi bagian
segi empat 9 cm. diselah selatan lingga ditemukan Arca Nandi terbuat dari batu
yang berwarna hitam keabu-abuan dengan keadaan badan masih terbilang baik,
hanya sebagian dari bagian kepala ada yang retak.
Tiga Lingga di Pura Pucak Antapsai Bon
Arca Nadi ini berukuran tinggi
dengan alas pada bagian depan arca 36 cm, tinggi dengan alas pada bagian
belakang arca 29 cm, tinggi arca bagian depan 25 cm, tinggi arca bagian
belakang 18 cm, panjang alas arca 46 cm,
lebar alas arca 26 cm, tinggi alas arca 11 cm, panjang arca bagian bawah 40 cm.
Di Pura luhur Antapsai Bon juga ditemukan Fragmen Puncak Bangunan yang
berbentuk seperti kuncup teratai dengan ukuran tinggi keseluruhan 42 cm, tinggi
bagian dasar pelipit 22 cm, tinggi bagian sisi genta 5,5 cm, panjang pelipit
atas 21 cm, tinggi bagian kelopak 14,5 cm, tinggi bunga 3 cm dan diameter bunga
19 cm.
Sementara itu di Pura Pengubengan
pada lereng timur Gunung Bon, kira-kira sejauh 2 Kilometer dari Pura Puncak
Antapsai Bon pada pelinggih Muncak Sari juga terdapat sebuah Lingga Yoni berukuran lebih kecil dari
Lingga Yoni yang ditemukan di Pura Pucak Antapsai, Lingganya terbuat dari batu
hitam keabu-abuan dengan kondisi masih sangat baik.
Lingga dan Arca
Nandi
Dengan ukuran tinggi bagian
bulatan yang kelihatan 7 cm dengan diameter 10 cm. Semtara Yoninya yang tanpa
cerat terbuat dari batu yang berwarna merah dengan bintik-bintik hitam dengan
keadaan sedikit rusak. Berukuran tinggi keseluruhan 30 cm, sisi-sisi bagian
atas 37 x 37 cm, tinggi sisi bagian atas 4 x 4 cm, sisi-sisi bagian bawah 39
x39 cm dan tinggi sisi bagian bawah 8 x8 cm. Yoni ini berisi batu berbentuk
segi empat berlubang sebagai tempat Lingga dengan ukuran tinggi sisi-sisi 10
x10 cm dengan panjang keempat sisinya 23 x23 cm. Dari
berbagai situs ini ilmuan Belanda G.Y.
Graden mengungkapkan tahun 1960, bahwa Pura Luhur Antapsai atau Pura Luhur
Pucak Bon difungsikan sebagai Pura Kerajaan tempat memuja Siwa pada masa
Kerajaan Mengwi yang ada pada tahun 1690 hingga tahun 1891 Masehi.
|
|
Bentuk Konsep
Pertiwi
Lingga Yoni di Pura Pucak Antapsai Bon dikenal dengan
sebutan Pejenengan yang artinya peninggalan para leluhur yang disucikan,
sementara peninggalan purbakala yang ditemukan ditanah disebut dengan Pertiwi
yang artinya sumber dari segala sumber hidup. Hal ini senada dengan wawancara
khusus tim Peneliti dahulu dengan Pemangku Gede Dani. Menurut Pemangku Jero
Wayan Rinten, Tapakan Ida Bhatara ini diyakini sebagai sumber pemberi kesuburan
dan keselamatan hidup, dipuja sebagai Bhatara Sri Amretha oleh seluruh penduduk
disekitar pura. Pura yang saling berhubungan satu dengan yang lain, bila
diibaratkan badan manusia dan tingkatan alam semesta, Pura Luwur Pucak Antapsai
Bon seperti Kepala atau Swah Loka yang merupakan lapisan-lapisan dimensi alam
positif, Pura Pengubengan sebagai Badan atau Bwah Loka tempat
penyempurnaan lapisan-lapisan dimensi siklus
samsara, siklus kehidupan-kematian dan Pura Penataran Antapsai sebagai
Kaki atau Bhur Loka yang merupakan tempat penyempurnaan lapisan-lapisan dimensi alam negatif.
Selain dari ketiga Pura diatas, masih ada
beberapa pura yang menyimpan tinggalan arkeologi antara lain: Pura Banua di
Bilok Sidan ketinggian 1009 diatas permukaan laut berupa Yoni. Di Pura Bukit
Belok Sidan, ketinggian 1121 diatas permukaan laut, ditemukan tinggalan situs
arkeologi berupa Bebaturan yang terdiri dari susunan bebeatuan alam yang
disusun sedemikian rupa dan arca kuno perwujudan Bhatari. Di areal Jaba Tengah
dari Pura Desa Baleagung Belok Sidan ketinggian 991 diatas permukaan laut, ditemukan
tinggalan situs arkeologi berupa sebuah Dolmen atau meja batu dan sebuah Menhir
atau batu tegak. Di Pura Puseh Bon Belok Sidan ketinggian 1193 diatas permukaan
laut, ditemukan tinggalan situs arkeologi berupa 3 kelompok bebaturan atau
mretiwi yang berisikan susunan batu-batu alam, juga ditemukan tinggalan
arkeologi diantaranya berupa 10 buah Lingga Yoni, sebuah fragmen Lingga, sebuah
Lingga dari batu alam, 12 buah arca perwujudan Bhatara Bhatari, 5 buah fragmen
arca, sebuah arca Nandi, 2 buah arca perwujudan binatang dan sebuah stamba. Di
pura Taman Beji Penataran Agung Bukian yang terletak di desa Bukian Pelaga pada
ketinggian 879 meter diatas permukaan laut, terdapat 3 buah lingga dan sebuah
fitur petirtan. Di areal Pura Bukit Lawak daerah Lawak Belok Sidan yang
terletak pada ketiggian 1096 meter diatas permukaan laut, terdapat sebuah arca
perwujudan dan 2 buah lingga. Di areal Pura Puseh Lawak yang terletak di Lawak
Belok Sidan pada ketinggian 1136 meter diatas permukaan laut terdapat Bebaturan
yang berisi susunan batu-batu alam juga 11 buah Lingga, sebuah Lingga Yoni, 6
buah Fragmen Lingga, 2 buah arca perwujudan, 6 buah fragmen arca perwujudan, 3
buah arca berupa binatang dan 9 buah lingga terdapat di Pura Taman yang masih
didalam satu area dengan Pura Puseh Lawak. Di Pura Manik Galih desa Nungnung
Plaga yang terletak pada 902 meter diatas permukaan laut, terdapat onggokan
berupa susunan batu-batu alam. Di Pura Penataran Jeruk daerah Selantang Belok
Sidan yang terletak pada ketinggian 981 meter diatas permukaan laut, terdapat
Bebaturan dengan susunan 2 buah batu alam. Sementara itu di Pura Pucak Rinjani
daerah Selantang Belok Sidan yang terletak pada 965 meter diatas permukaan
laut, terdapat Onggokan batu-batu alam yang tersusun juga 5 buah Lingga, 6 buah
Umpak, sebuah Arca Ganesha, sebuah fragmen kaki arca dan sebuah fragmen arca
perwujudan.
Di Pura Bet, wilayah Sidan, Belok Sidan
yang terletak pada 969 meter diatas permukaan laut, terdapat tinggalan
arkeologi berupa Batu Pipisan dengan Fragmen Arca, Fragmen Umpak dan Fragmen
Menhir. Di Pura Pucak Gede yang terletak di wilayah Sidan Belok Sidan yang
terletak pada 970 meter diatas permukaan laut, terdapat 2 buah onggokan yang
terdiri dari susunan batu-batu alam. Di Pura Jugul wilayah Sidan Belok Sidan
yang terletak pada 869 meter diatas permukaan laut, terdapat susunan onggokan
batu-batu alam dengan sebuah Yoni, sebuah Fragmen Yoni dan sebuah Fragmen
Lingga. Di Pura Bukit wilayah Penikit Belok Sidan yang terletak pada 773 meter
diatas permukaan laut, ditemukan susunan batu-batu alam yang membentuk
onggokan. DR Hooykas menyatakan bahwa gunung sangat
berperanan pada konsep magis agama Hindu di Bali seperti yang dituangkan dalam
wiracarita perburuan Tirtha Amretha atau pemutaran lautan susu dan perjuangan para
Dewa melawan Raksasa atau Asura untuk memperoleh Amretha atau Air Kehidupan.
Gunung pada wiracarita tersebut dipakai sebagai tongkat pengaduk lautan susu,
konsep ini diyakini sebagai hal yang melandasi adanya bangunan petirthan di
beberapa wilayah di Bali. Khusus pada situs Taman Beji Penataran Agung Bukian
yang terletak dilembah sisi timur Banjar Kiadan dan sebelah barat desa Belok
Sidan berada di sisi timur Pura Penataran Agung yang berbatasan dengan dinding
lembah, tempat keluarnya mata air menuju kolam. Pada zaman ini merupakan lambang dari
Siwa, berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat,
khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki, terutama lingga
Siwa dalam bentuk tiang batu, patung dewa, titik tuju pemujaan. titik pusat,
pusat, poros, atau sumbu, seperti yang diaungkapkan oleh ilmuan kelahiran
Utrecht Belanda, Prof Dr Petrus Josephus Zoetmulder. Sementara di Bali Lingga
diidentikan dengan Linggih yang artinya tempat duduk, atau Linggih Dewa Siwa.
Konsep Lingga diyakini berasal dari lembah Hindus pada awal peradaban Harappa
yang merupakan peradaban pra-Weda dan pada masa Weda kemudian diyakini sebagai
lambang Kesuburan. Sebuah sekte yang khusus memuja Lingga
sebagai perwujudan Siwa berkembang ke Bali dari India Selatan dan India Tengah
pada masa India kuno dengan nama Sekte Linggayat. Lingga tertua di Indonesia
ditemukan pada prasasti Canggal di Jawa Tengah berangka tahun 732 Masehi,
ditulis dengan huruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta yang indah,
mengisahkan tentang pendirian Lingga diatas bukit daerah Kunjara Kunja oleh
raja Sanjaya. Sekte Linggayat berkembang kemudian di wilayah Jawa Timur pada
masa pemerintahan Gajayana tahun 760 Masehi di Kanjuruhan dengan nama sekte
Siwa atau Siwaisme. Prasasti Dinoyo menyebutkan raja Gajayana mendirikan sebuah
tempat pemujaan di desa Kejuron berupa Candi Badut yang didalamnya ditemukan
sebuah Lingga. Ilmuan Belanda Prof. Dr. Bram Kempers menuliskan tentang
tinggalan Arkeologi pada masa kerajaan Majapahit berupa Candi Sukuh dan Candi
Ceto di lereng Gunung Lawu Karanganyar Jawa Tengah, pada masing-masing puncak
candi terdapat Lingga yang naturalis dengan tinggi 2 meter, yang kini tersimpan
di Musium Jakarta, sebagai tanda bahwa pada zaman Majapahit di Abad 14 hingga
15 Masehi pemujaan Siwa dalam bentuk Lingga di candi-candi berhubungan sangat
erat dengan upacara kesuburan. Lingga-lingga di Bali tersimpan dengan sangat
aman di pura-pura tua, disucikan dan diupacarai sebagai sarana memohon
keselamatan, kesuburan dan kesentosaan. Selain Lingga yang ditemukan di
pura-pura sekitar Bon, lingga juga ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak
diberbagai pura tua di Bali. Dalam kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa
karya Mpu Tanakung ada disebutkan:
Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman.
Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.
Artinya:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau,
warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Diterangkan sebagai tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam
semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan
kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga Purana menyebutkan bahwa Lingga adalah simbol Dewa
Siwa atau Siwa Lingga. Semua wujud diresapi
oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah Lingga dan Dewa Siwa. Sementara itu didalam Siwaratri Kalpa disebutkan:
Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya.
Artinya:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya Siwalingga
yang bersemayam di alam Siwa.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja
alam Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini
semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada
hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dalam wujudnya sebagai Siwa. Bentuk Lingga yang ditemukan di beberapa
daerah di desa Bon diyakini merujuk pada konsep Tri Loka dan Tri Murti dengan
bagian Lingga, lapik segi empat dan Yoni tanpa carat. Menurut Gopinatha Rao,
jenis Lingga di Bon berbentuk Tripushakara atau berbentuk seperti buah mentimun
berdiri, beberapa ilmuan menyebutnya sebagai Ganapatya Lingga. Beliau dengan tegas memaparkan tentang jenis lingga di desa Bon merupakan Manusa lingga karena
langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi.
Lingga ini umumnya mencerminkan konsep Tri Bhaga yang Brahma bhaga dibagian dasar, Wisnu bhaga pada bagian badan dan Rudra bhaga pada puncak Lingga. Pada awal abad ke 14 Masehi penggunaan Lingga
dalam pemujaan mulai memudar, terutama di wilayah-wilayah yang dekat dengan
pusat pemerintahan disebabkan karena pengaruh ajaran Tantri Bhairawa dan Dewa
Raja. Lingga Yoni mulai digantikan dengan konsep Murti Puja yang memakai patung-patung
Dewa sebagai sarana Pemujaan.
BAB III
Masa Hindu Buddha
Masa
perkembangan faham Hindu Buddha di Nusantara terjadi sudah sangat lama, seluruh
wilayah pulau Bali mengalami masa ini, terbukti hingga sekarang faham ini
menjadi warisan yang tidak pernah hilang, demikian juga daerah Bon Petang.
Pura-pura kahyangan yang berdiri megah di hampir semua pelosok Petang menjadi
bukti bahwa faham ini masuk ke seluruh
wilayah Bali kemudian berkembang sesuai dengan keadaan wilayah dan perkembangan
budaya penduduknya. Tetapi sedikitnya peninggalan sastra yang bisa dibaca dan
diteliti oleh para ahli membuat sulit memastikan era masuknya faham ini ke
Bali. Keterbatasan sastra itu tidak mengurangi keinginan para ahli untuk
melakukan penelitian, berbagai artefak, candi dan peninggalan-peninggalan arca Kuna
yang ditemukan kemudian diteliti, sehingga dapatlah kemudian ditemukan teori masuknya faham Hindu Buddha di Bali.
Para pengungsi India.
Dikenalnya
kerajaan-kerajaan Hindu Buddha di Nusantara, diungkapkan oleh para ahli sejarah
dunia dimulai pada tahun 500 Masehi, di daerah Sumatera Utara. Kebanyakan
kerajaan-kerajaan itu didirikan oleh para pengungsi dari India, terdiri dari
kaum Bangsawan, Pendeta dan para pedagang yang menghindar dari kemelut yang
terjadi di India. Para pengungsi India ini berlayar mencari daerah baru untuk
bermukim sebagai tempat melanjutkan tradisi yang mereka anut dan yakini secara
turun temurun.
Kerajaan-kerajaan
kecil itu tersebar di beberapa wilayah di Sumatera Utara, dengan jumlah
penduduk yang juga tidak terlalu banyak. Kerajaan-kerajaan itu antara lain
Kendahari, Pali, Malayu Sri Boja dan lain-lain. Para pengungsi India yang terdiri dari Bangsawan, Pendeta
Rsi dan pedagang itu kebanyakan menghuni wilayah Kendhari dan Pali. Mereka
menerapkan kebudayaan dan agama yang dianutnya dalam tatanan pemerintahan
kerajaan, sehingga dalam waktu beberapa dekade daerah Sumatra Utara tertata dengan baik, aman dan
tentram. Suasana aman tentram dan damai itu bisa bertahan di kerajaan-kerajaan kecil Sumatera
Utara sampai sekitar tahun 682 sampai dengan tahun 686 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perkembangan Agama Buddha Nusantara.
Di Palembang berdiri kemudian sebuah kerajaan yang
bernama Sriwijaya, nama kerajaan berasal dari bahasa Sanskerta yang mengandung
dua suku kata: Sri dan Wijaya,
Sri berati Cahaya,
Wijaya berarti kemenangan. Cikal bakal keberadaan kerajaan yang terletak di
seputar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang ini menurut catatan sudah ada
pada tahun 500-an. Kerajaan ini terdiri atas tiga daerah utama: daerah ibukota
yang berpusatkan di sekitar Palembang, lembah Sungai Musi dan daerah-daerah
muara. Mengingat
lokasinya, kerajaan ini diperkirakan menjadi pusat perdagangan dan merupakan
negara maritim penting pada abad keenam.
Bahkan pada sekitar
tahun 425 Masehi, agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya
yang berlokasi di
Palembang menarik banyak sarjana dari negara-negara di Asia
sebagai tempat belajar agama Buddha.
Salah satu diantaranya adalah
pendeta dari Tiongkok I Ching, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam
perjalanan studinya ke Universitas Nalanda, India pada tahun 671 dan 695. Ia
menuliskan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Buddha. Pengunjung
yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir
kerajaan.
I Ching banyak menulis
tentang keberadaan Sriwijaya. Catatannya kemudian menjadi bahan penting untuk
mengetahui keberadaan kerajaan ini. Selain
catatan tersebut, bukti lain tentang keberadaan Sriwijaya bisa ditemui dari
berbagai peninggalan. Antara lain prasasti. Prasasti yang menuliskan tentang
Sriwijaya antara lain dibuat pada tahun 683 di Palembang. Namanya Prasasti Kedukan Bukit. Raja Sriwijaya, yang bergelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga
melakukan penyerangan ke wilayah Malayu Sriboja keselatan dan dibagian utara
wilayah Sumatera,
juga menaklukan Kerajaan Tarumanegara. Diantara kerajaan-kerajaan Malayu,
Kerajaan Kendari dan Kerajaan Pali juga
dapat dikuasai, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 683
Masehi, Prasasti Talang Tuo bertahun
684 Masehi dan Prasasti Kota Kapur.
Hal itu yang kemudian membuat para bangsawan dan para Rsi
memutuskan untuk meninggalkan wilayah Malayu Sriboja, tujuan mereka adalah
mencari daerah yang baru di luar kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Para bangsawan
dan Rsi yang dulunya berasal dari India tersebut menyingkir kearah timur dengan
perahu sampai mendarat di wilayah Nusa Goh atau dikenal dengan nama Pulau Sapi. Di pulau inilah kemudian mereka
mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil yang masih sunyi dan
terpencil. Nama yang baru didirikan itu sama dengan sewaktu masih di Sumatera, yaitu kerajaan Pali yang berpenduduk sebagian besar beragama
Buddha.
Kerajaan Kutai dan Mataram sebagai cikal Bakal perkembangan Agama Hindu di
Jawa dan Bali.
Letak kerajaan
Kutai berlokasi di daerah Kutai, Kalimantan Timur, keberadaan kerajaan Hindu
pertama di Indonesia ini diterangkan oleh 7 buah prasasti yang berbahasa Sanskerta
dan berhuruf Pallawa. Masyarakat Kutai pada saat itu belum mempunyai bahasa dan
huruf yang baku, para ahli sejarah memperkirakan bahwa prasasti yang berbentuk
Yupa mulai ditulis pada sekitaran tahun 400 Masehi. Pada salah satu Yupa dapat
ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi cikal bakal dari kerajaan Kutai adalah
Kudungga yang dilanjutkan oleh Aswawarman dan pada masa pemerintahan Mulawarwan
kerajaan Kutai mencapai masa kejayaanya.
Dalam sebuah prasasti dinyatakan bahwa
Raja Mulawarman sudah melaksanakan upacara korban emas kepada rakyatnya. Dalam
suasana kejayaan itu muncullah banyak golongan terdidik yang terdiri dari clan
Ksatria dan Brahmana, dalam usaha pencerdasan itu, raja Kutai beberapa kali
mengirim para cendikiawan untuk belajar Agama Hindu ke India dan daerah-daerah
maju di wilayah Asia Tenggara, seperti yang termuat dalam buku IPS Terpadu Sosiologi, Geografi, Ekonomi,
Sejarah karya Mamat Ruhimat, Nana Supriatna dan Kosim tahun 2006.
Kerajaan Kutai memiliki hubungan dagang
yang sangat baik dengan India, hal itulah yang membuat semua prasasti di Kutai
ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta yang merupakan hurup dan
bahasa Hindu Selatan di India yang merupakan daerah asal agama Hindu-Buddha.
Dengan perkiraan tertulisnya prasasti yang menceritakan tentang kerajaan Kutai
pada sekitar tahun 400 Masehi, dapatlah disimpulkan bahwa Kutai adalah kerajaan
Hindu pertama di Nusantara. Letak kerajaan Kutai di daerah tepi sungai Mahakam
pada pertemuan sungai Mahakam dengan anak-anak sungainya itu yang membuat
sungai Mahakam bisa dilayari oleh kapal para saudagar hingga ke Muarakaman,
dengan lancarnya pelayaran para saudagar ini membuat perdagangan disepanjang
sungai menjadi sangat maju. Penduduk Kutai pada masa itu terdiri dari Petani
dan peternak sapi yang handal yang kemudian menjadi komoditi utama masyarakat
Kutai.
Raja Mulawarman adalah raja yang paling
masyhur di Kutai mempunyai ikatan sangat mesra dengan masyarakat dan golongan
Brahmana, itu dibuktikan dengan upacara kurban Emas dan 20.000 ekor lembu untuk
rakyat dan para Brahmana yang diceritakan dalam sebuah Yupa bertulis yang
dibuat oleh golongan Brahmana Kutai. Adapun raja-raja yang pernah memimpin
kerajaan Kutai antara lain Kudungga atau Dewawarman, Aswawarman, Mulawarman,
Marawijaya Warman, Gajayana Warman, Tungga Warman, Jayanaga Warman, Nalasingha
Warman, Rajanala Parana Tungga, Gadingga Warmandewa, Indra Warmandewa, Sangga
Warmandewa, Candrawarman, Srilangka Dewa, Guna Parana Dewa, Raja Wijaya Warman,
Sri Aji Dewa, Raja Mulia Putera, Raja Nala Panditha, Raja Indra Paruta Dewa dan
Raja Dharma Setia.
Pada tahun 730 Masehi, secara resmi Sri
Maharaja Sanjaya menjadi raja di pulau Jawa, kerajaanya disebut sebagai
kerajaan Mataram, wilayah kekuasaanya meliputi seluruh pulau Jawa, kecuali tanah
Sunda. Sri Maharaja Sanjaya mulai melakukan penaklukan-penaklukan ke daerah
sekitar, seperti Sriwijaya, Lingor atau Thailand, Hujung Medini atau Malaysia
Barat. Beliau juga dikenal sebagai Raja Rsi yang sangat gemar menyebarkan agama
Hindu di daerah-daerah taklukannya, beliau yang memperkenalkan ajaran Lingga
Yoni dalam penyebaran agama Hindu yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta
kerajaan Mataram. Semua konsep pemerintahan beliau dapat kita lihat pada Prasasti
Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah berangka tahun 732 Masehi dikisaran Tahun 730 Masehi.
Salah seorang Pendeta Kerajaan Mataram
yang bernama Rsi Markandya pada tahun 730 Masehi melakukan perjalanan suci dari
Pasraman Gunung Wukir di Damalung, tempat di mana prasasti Canggal ditemukan.
Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung
Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi, kemudian berakhir di Gunung Agung atau Lingga
Acala tempat Pura Besakih sekarang. Di
lereng Gunung Raung di sekitar Desa Girimulya, Kecamatan Glenmore dan di
sekitar Tirta Empul, di Jawa Timur ditemukan juga peninggalan- peninggalan Kuna berupa
arca-arca kecil pratima. Di antaranya arca
perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984, arca Rsi Markandya seukuran ibu jari
ditemukan tahun 1985, tempat Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, dua buah
Bokor Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, Gentha Panditha
dan tujuh bilah keris ditemukan tahun 1976. Kemudian ditemukan juga batu
Andesit diperkirakan dipakai untuk
mengolah obat saat itu. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan
kuna.
Didalam Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, dikisahkan seorang
Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang isteri, berputera dua orang, yang sulung
diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang
Niyata sangat tampan rupanya, berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana.
Seperti yang tertulis dalam sloka Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, yang
berbunyi :
Sang
Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira
apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama
Sang Ayati berputera Sang
Prana. Demikian pula adiknya, yang
bernama Sang Niyata, berputera Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda
beristerikan Dewi Manaswini, berputera Maharsi Markandya. Selanjutnya Maharsi
Markandya, beristerikan Dewi Dumara. Menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang
beristerikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian
dikemukakan di dalam pustaka Kuna Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, tentang
asal-usul Maharsi Markandya. Pada hari yang
baik, salah seorang murid Maha Rsi Agastya yang bernama Sang Ila putera dari Maharsi Trenawindhu,
sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang
Anaka, melakukan Tapa Samadhi di
Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Pegunungan Dieng. Seperti halnya Maharsi Markandya
juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau pegunungan Dieng di gunung Damalung.
Prasasti Dinaya yang berangka tahun 682 Saka, atau sekitar tahun 760
Masehi, menuliskan
bahwa Maha Rsi Agastya yang mengembangkan ajaran Tri Murthi Paksa di Bhumi
Nusantara ini, sebuah ajaran
yang menyatukan Tiga Paksa, yakni Salwa Paksa,
Brahmana Paksa, dan Waisnawa Paksa. Ajaran Tri
Murthi Paksa inilah kemudian berkembang di Bali, dianut oleh hampir sebagian
besar penduduk Bali. Karena beliau dianggap sebagai guru besar ajaran Tri
Murthi Paksa, sebagai permulaan terbentuknya ajaran Hindu di Bali, beliau
kemudian dikenal dengan sebutan Sri Bhatara Guru.
Kedatangan orang-orang Aga ke Bali.
Pada awalnya pulau Bali terdiri dari
kelompok-kelompok kecil masyarakat yang membentuk desa-desa kecil dengan
pemimpinnya masing-masing dihuni
oleh penduduk keturunan Austronesia yang kemudian berkembang ke seluruh pelosok
Bali, keturunan mereka menjadi orang Bali Mula yang lebih dikenal dengan nama
orang Pasek Bali. Penduduk Bali yang awalnya tidak menganut agama, mereka melakukan
ritual dengan cara menyembah para leluhurnya yang dikenal dengan sebutan Hyang.
Karena sedikitnya ajaran-ajaran keTuhanan yang diajarkan di Bali, membuat pulau
Bali sangat rendah kondisi spiritualnya. Keadaan yang dianggap kosong secara
spiritual ini berlangsung hingga awal tarikh Masehi atau sekitar abad pertama
Masehi.
Bali mengalami kekosongan spiritual cukup lama, sampai dengan kedatangan
para Rsi dari luar pulau Bali yang datang ke Bali untuk mengajarkan agama Hindu
dan cara memajukan sektor-sektor kehidupan para penduduk. Menurut Lontar Bali Tattwa, untuk
mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, kemudian datanglah seorang
Maha Rsi ke Bali, beliau bernama Maha Rsi
Markandya. Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah
kurang lebih 800
orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi
Markandya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung.
Rombongan Sang Maha Rsi
turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian
melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng
Gunung Agung atau yang dikenal dengan nama Gunung Tohlangkir, untuk lahan
pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha
banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang
meninggal diterkam binatang buas seperti Mranggi (Macan), Singa, dan Ular, ada
juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan
semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800
orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja, mereka kemudian mendiami
wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali
Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Diantaranya kampung-kampung tua di sepanjang dataran subur yang
diapit oleh dua aliran sungai, Sungai Wos Lanang dan Sungai Wos Wadon. Dataran
yang membentang dari utara ke selatan
dari Taro sampai Campuhan Gunung Lebah di Ubud. Sebagian
yang lain menyebar kearah barat dan timur pulau Bali berdiam di daerah tepian
sungai dan perbukitan yang menyimpan banyak sumber makanan dan sumber air.
Melihat keadaan yang
demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandya memutuskan untuk kembali ke
Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali
beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa murid-murid beliau
di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke
Gunung Agung. Maha Rsi Markandya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk
memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari Tapa Semadhi itulah diketahui
bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak
menghaturkan upacara dan tidak menanam Panca Datu.
Dalam buku Sejarah Bali
Jilid I dan III, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada
menerangkan, kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali dengan
mengikutsertakan ribuan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal
sebagai petani kuat hidup di hutan. beliau mengajak pengikut orang Aga guna
diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas,
maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah,
ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu
kelak menjadi satu desa bernama Puwakan, Gianyar.
Tentang pembagian tanah
dan kehadiran Maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta
ira sang Yoghi Markandya maka di watek panditha Adji, mwah wadwan ira sadya
ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Panditha
prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh,
sang Panditha Aji anguncar aken wedha panulak sarwa
marana, tarmalupeng puja
samadhi, Dewa yajna
mwang Bhhuta yajna,
Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan
ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh
sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang
tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira
araryan rumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang
tegal karang paumahan
Artinya
:
Setibanya
Sang Yoghi Markandya seperti juga para Panditha Aji, bersama rakyatnya semua di
tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para
pandhita semuanya
melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta
weda memohon
perkenan Ida Bhatara semua, Sang panditha Aji mengucapkan weda penolakan
terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan
upacara Dewa Yajnya
dan Bhuta Yajnya,
serta memuja Pertiwi.
Setelah selesai melakukan pangaci-aci atau melakukan upacara yadnya, maka seluruh rakyatnya
diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai
dari selatan setelah itu baru ke utara. Atas
perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tidak mendapat
halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya
untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian
membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah
tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai
melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandhya kembali melakukan pertapaan di
satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi
Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar. Sarwadha sendiri berasal dari
kata sarwa atau serba dan ada, jadilah serba ada,
artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada. Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi
kemudian melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah
barat. Pada satu lokasi yang masih asri. Di tempat baru itu Beliau mendapat petunjuk suci dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya
dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan, dan kini disebut
Payangan. Jejak
perjalanan Rsi Markandhya menelusuri tanah Bali Dwipa, banyak meninggalkan atau
ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan
jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman. Tempat-tempat
suci yang berhubungan dengan Rsi Markandhya di Bali meliputi Pura Basukian di
kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir),
tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula,
lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandhya menanam kendi yang
berisi Panca Datu yang terdiri dari lima jenis logam mulia,
seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi
beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lama kelamaan daerah pura Basukian dikenal dengan nama Besakih. Berikutnya
ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro,
Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta
pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung
Agung. Setelah berhasil dengan baik
merabas hutan, Maharsi Markandhya kemudian membagi-bagikan lahan kepada
pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian. Masih
di wilayah Desa Taro, Rsi Markandhya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai
tempat panyawangan atau perwakilan Gunung Raung yang terdapat di
Desa Sugih Waras, Glanmore, Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah
pertama kali Sang Maha Rsi mendapat wangsit sebelum datang ke Bali. Di
kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya,
yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan,
Ubud, Gianyar. Setelah
berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandhya kemudian bersemadi. Dalam
semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Sang Maha Rsi ini
menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat
agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandhya
melakukan yoga semadi, tempat
itu selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan. Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan,
tepatnya di Campuhan Ubud,
Rsi Markandhya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai
tempat Sang Yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat
panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan:
Mwah
ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para
sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa
Artinya :
Juga di
pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi
Markandhya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga
Waisnawa.
Ketika melanjutkan
perjalanan ke wilayah Parhyangan atau Payangan, sesuai yang tersurat di buku
Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi
Markandhya juga membangun tempat suci Murwa atau Purwa
Bhumi. Pura
dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat meyakini di
tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali (Purwa) memberikan proses
pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain
menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian. Setelah
berhasil memberikan pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan
sukses dalam mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat
suci yang diberi nama Sukamerih yang artinya mencapai
kesukaan.
Pura Pucak Payogan,
adalah Tempat Yoga Semadi Mahayogi Markandhya. Dan Tempat ini tempat beliau
moksa sebagai akhir penjalanan Dharmayatra beliau. Dalam
Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandhya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama
pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan, Taro Tegalalang, Gianyar, sekarang, kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk
upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya
saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro, Ubud dan Payangan. Keturunan dari orang-orang Aga itulah yang sekarang
disebut wong Bali Aga, atau Wong Bali Mula, sebagai penduduk asli Bali. Mereka
itu tinggal di desa : Sambiran,
Sangsit, Dausa, Cabongan, Lembongan,
(Nusa Penida), Cempaga, Tenganan, Kintamani, Sastra, Sidhatapa, Timbrah,
Kedisan, Terunyan, Padarba,
Kutapang, Batur, Kayubihi, Gobleg, Sental, Kawan, Bakung, Kayang, Bratan, Tigawasa,
Bantang, Pangotan, Sukawana, Kembang
Sari, Bayung, Ceking, Lampu, Kutadalem, Abang, Abianbase, Sambahan, Lot, Plaga,
Blakiuh, Gadungan, Camangawon, Angkah, Marga, Tabuana, Pasekan, Pengalu dan
lain-lain. Melihat situs dan Tinggalan yang banyak ditemukan di daeran sekitar
Bon dapatlah ditarik kesimpulan bahwa, banyak penduduk Aga yang sebelumnya
berasal dari Gunung Raung Jawa bermukim di Bon, mendiami wilayah-wilayah dengan
sumber air yang melimpah. Berawal dari Kuwu dengan beberapa orang kepala keluarga,
semakin lama semakin berkembang hingga membentuk sebuah Banua atau Desa dengan
penduduk yang terdiri dari puluhan kepala keluarga.
Konsep desa masa penduduk Aga yang mengutamakan hulu Gunung sebagai pokok
kehidupan bermasyarakat dan kehidupan religi tampak jelas pada penataan Desa
Bon. Jalan desa yang membentang dari hulu ke hilir diapit oleh rumah-rumah
penduduk diperkirakan memang berasal dari jalan kuno yang sudah diwarisi dari
dahulu, walaupun kemungkinan masih berupa jalan setapak berbatu-batu. Kelengkapan
faktor utama terbentuknya desa kuno masih sangat lengkap diwarisi hingga
sekarang, mulai dari adat istiadat, bangunan-bangunan pelinggih pura, setra dan
petirtan atau beji merupakan faktor utama yang dibuat oleh penduduk Aga dalam
usaha awal membangun sebuah desa atau kuwu............................bersambung di 081291454000