Kamis, 15 Desember 2016

Purana Pura Sakti Baung Sayan Ubud











PURANA
PURA SAKTI
Baung, Sayan, Ubud









BAB I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugrahaneng hulun, muncaranākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
Karena sebuah rasa penuh tulus dan kecintaan terhadap alam, budaya serta kehidupan sosial masyarakat Hindu di Bali, berbekal keinginan mengabdi terhadap tanah kelahiran dilandasi dengan semangat bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur yang sudah menyatu di dalam rangkuman sinar suci Beliau, kami memberanikan diri meramu data-data yang ada didalam bentuk sebuah karya sastra yang sangat sederhana yang kami persembahkan sebagai yadnya kepada pembaca dan generasi penerus kita, agar bisa kelak dipakai sebagai bahan kajian dalam menyusun karya sastra yang lebih sempurna dikemudian hari.
Segala macam bentuk ketidak sempurnaan dan kekurangan memenuhi kata demi kata dalam buku ini, sehingga dengan kerendahan hati kami memohon berbagai petunjuk dalam penyempurnaanya. Karena kami yakin dalam era global banyak hal yang harus bisa kita lakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan jaman, diantaranya adalah sejarah yang akan membangun rasa cinta generasi terhadap tanah kelahiranya. Karena rasa cinta akan hadir apabila kita mengenal jati diri kita yang mencakup tentang berbagai pilosofi yang terkandung didalam kebiasaan kehidupan sosial budaya kita. Pada intinya kami berusaha menyelaraskan berbagai dasar budaya keagamaan kita yang terdiri dari Kuna Dresta, Loka Dresta dan Sastra Dresta dalam sebuah kajian yang bisa menggugah kesadaran kita tentang pentingnya berbagai kearifan lokal yang didukung oleh sastra agama Hindu dalam menjaga Sradha umat beragama. Semoga kemudian kita dan generasi mendatang bisa melewati masa-masa kritis sebagai penjaga Agama dan budaya warisan leluhur kita dahulu, agar perjuangan dan usaha yang sudah dilakukan semenjak dahulu tidak hanya menjadi cerita usang yang semakin hilang. Hanya karena ketidaktahuan kita terhadap perjuangan mereka dahulu. Kita adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Sejarah adalah sumber pengetahuan merupakan media untuk mengetahui masa lampau, yaitu mengetahui peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau dengan perbagai permasalahannya. Peristiwa yang menjadi objek sejarah syarat dengan pengalaman penting manusia karena mampu membangkitkan imajinasi memperluas wawasan intelektual, memperdalam simpati, sebagai sarana ideal untuk mendidik masyarakat agar berpikir secara bebas mengajarkan kepada masyarakat cara berfkir mmeningkatkan kreatifitas dan emberikan pelajaran untuk mengenal dirinya sendiri. Sejarah juga menjadi sumber pendidikan penalaran, pendidikan moral, menciptakan kebijaksanaan, dasar pendidikan politik, perubahan, Pendidikan masa depan dan Sebagai ilmu bantu




BAB II
Masa Pra Aksara
Wilayah Baung Sayan tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Kuna, karena Baung Sayan sebelum menjadi sebuah desa yang tertata dengan baik, masih merupakan daerah hutan tropis yang berstruktur tanah sangat subur. Dengan sumber air yang melimpah menjadikan berbagai jenis tanaman tropis hidup dengan subur, tanda-tanda kehidupan pada masa pra aksara hingga kini belum ditemukan oleh para ahli purbakala di wilayah Baung, tetapi bukan berarti masa pra aksara tidak berlangsung di wilayah ini. Sebelum kedatangan para Rsi Agung yang mengajarkan kehidupan beragama di wilayah ini, keadaan hutan-hutan tropis yang lebat menjadi tempat tinggal orang-orang Autronesia yang berbudaya terbatas. Dalam ilmu Arkeologi pembagian jaman menjadi 2 teori, yang diketahui dari berbagai penggalian dan penelitian terhadap benda dan alam jaman pra aksara. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak. Dari hasil penelitian para ahli arkeologi, maka tabir kehidupan masyarakat pra aksara Indonesia dapat diketahui. Berdasarkan penggalian arkeologi maka pra aksara atau prasejarah dapat dibagi menjadi 2 Jaman, seperti:
II.1. Jaman Batu.
Jaman batu menunjuk pada suatu periode di mana alat-alat kehidupan manusia umumnya atau dominan terbuat dari batu, walaupun ada juga alat-alat tertentu yang terbuat dari kayu dan tulang. Dari alat-alat peninggalan Jaman batu tersebut, melalui Metode Tipologi (cara menentukan umur berdasarkan bentuk atau tipe benda peninggalan), maka Jaman batu dibedakan lagi menjadi 3 periode atau masa, yaitu:
II.1.a.Batu Tua atau Palaeolithikum
Merupakan suatu masa di mana alat-alat kehidupan manusia terbuat dari batu kasar dan belum diasah atau diupam, sehingga bentuknya masih sederhana.
Contohnya: kapak genggam.
II.1.b.Batu Tengah Madya atau Mesolithikum.
Merupakan masa peralihan di mana cara pembuatan alat-alat kehidupannya lebih baik dan lebih halus dari Jaman batu tua. Contohnya: Pebble atau Kapak Sumatera.
II.1.c.Batu Muda atau Neolithikum
Merupakan suatu masa di mana alat-alat kehidupan manusia dibuat dari batu yang sudah dihaluskan, serta bentuknya lebih sempurna dari Jaman sebelumnya. Contohnya : kapak persegi dan kapak lonjong.
II.2. Jaman Logam atau Jaman Perundagian.
Dimulainya Jaman logam bukan berarti berakhirnya Jaman batu, karena pada Jaman logampun alat-alat dari batu terus berkembang bahkan sampai sekarang istilah kebudayaan batu besar atau Mega berarti besar; Lithos berarti batu. Kebudayaan Megalithikum bukanlah suatu Jaman yang berkembang tersendiri, melainkan suatu hasil budaya yang timbul pada Jaman Neolithikum dan berkembang pesat pada Jaman logam. Sesungguhnya nama Jaman logam hanyalah untuk menyatakan bahwa pada Jaman tersebut alat-alat dari logam telah dikenal dan dipergunakan secara dominan. Jaman logam disebut juga dengan Jaman perundagian, di Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya tidak mengalami Jaman tembaga seperti di eropa tetapi langsung memasuki Jaman perunggu dan besi secara bersamaan. Dan hasil temuan yang lebih dominan adalah alat-alat dari perunggu sehingga Jaman logam disebut juga dengan Jaman perunggu.


II.3. Ciri kehidupan Masyarakat Pra aksara.
Sedangkan pembabakan Jaman Pra aksara atau Prasejarah berdasarkan Ciri-ciri Kehidupan masyarakat. Makhluk manusia adalah makhluk yang hidup berkelompok dan mempunyai organisme yang secara biologis berbeda dan lebih lemah dari jenis binatang. Namun otak manusia berevolusi paling jauh bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kemampuan otak manusia yang berupa proses berpikir menyebabkan manusia dapat memilah-milah tindakan yang dapat menguntungkan kelangsungan hidupnya.
Dalam rangka kelangsungan hidupnya maka manusia merupakan makhluk pembentuk kebudayaan dan manusia juga sebagai pembentuk masyarakat. Karena pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi harus berkelompok. Berikut ini adalah paparan perkembangan manusia Indonesia yang hidup pada Jaman prasejarah atau pra aksara. Kehidupan masyarakat atau manusia pada Jaman prasejarah terbagi menjadi 3 periode, yaitu:
II.3.1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan.
Pada masa ini secara fisik manusia masih terbatas usahanya dalam menghadapi kondisi alam. Tingkat berpikir manusia yang masih rendah menyebabkan hidupnya berpindah-pindah tempat dan menggantungkan hidupnya kepada alam dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa hidup berburu dan mengumpul makanan, penduduk Bali mendiami wilayah-wilayah tepian sungai secara nomaden atau berpindah-pindah. Mereka mengikuti jalur berburu di hutan-hutan lebat yang penuh dengan pohon dan binatang sebagai sumber makanan. setelah masa-masa berburu dan mengunpul makanan itu berlangsung sangat lama, mulailah kemudian memasuki masa menetap di suatu tempat.
Masa ini didahului dengan proses memilih tempat yang cocok untuk menetap, terutama di pinggir-pinggir sungai di dalam gua-gua, tepian danau dan pesisir pantai. Mereka mulai mengembangkan kehidupan baru berupa kegiatan bercocok tanam yang bersifat masih sederhana, juga mulai menjinakkan hewan-hewan tertentu, seperti sapi, anjing, angsa dan berbagai jenis ungas hutan. Beberapa kelompok lebih memilih di dataran tinggi berupa bukit-bukit curam yang dikelilingi sungai dengan tujuan melindungi diri dari serangan-serangan musuh dan binantang buas.


II.3.2. Masa bercocok tanam.
Pada masa ini kemampuan berpikir manusia mulai berkembang. Sehingga timbul upaya menyiapkan persediaan bahan makanan yang cukup dalam suatu masa tertentu. Dalam upaya tersebut maka manusia bercocok tanam dan tidak lagi tergantung kepada alam. Setelah masa tinggal di gua-gua, mereka mulai membuat tempat tinggal di dataran dengan rumah sederhana yang berbahan baku kayu dan bambu, dengan atas kulit kayu dan rumbia. Hal ini disampaikan oleh dua orang peneliti barat yang bernama B.J. Miggen dan Clifford Evan Jr dalam studinya tentang kehidupan di hutan-hutan teropis. Bahwa hutan tropis di wilayah Bali tengah tidak berbeda jauh dengan keadaan hutan Tropis di Amerika Selatan. Perubahan perlahan-lahan terjadi dengan terbentuknya perkampungan-perkampungan kecil semacam Padukuhan dengan beberapa rumah kecil yang tempatnya tidak beraturan. Bentuk rumah di perkampungan Bali pada masa ini berbentuk kebulat-bulatan dengan atap rumbia yang menjuntai hingga ujungnya menyentuh tanah. Rumah-rumah kecil ini hanya bisa menampung beberapa anggota keluarga saja, tidak lebih dari 4 orang.
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi penyempurnaan dalam bentuk rumah penduduk Bali, dimulai dengan bentuk rumah memanjang dengan memakai tiang yang jumlahnya disesuaikan dengan luas bangunan. Rumah-rumah berbentuk balai panjang bertiang ini banyak dibangun di daerah yang dekat dengan ladang, dengan tujuan untuk menghindari banjir dan binatang buas. Rumah ini bisa menampung beberapa anggota keluarga inti yang semakin berkembang kemudian. Apabila rumah tiang ini dibangun jauh dari ladang, penduduk akan meninggalkan kampung mereka pada masa tanam dan masa panen, mereka membawa serta anggota keluarga dan binatang peliharaan ke ladang-ladang. Di wilayah ladang mereka membangun gubuk-gubuk darurat yang dipakai sebagai tempat tinggal sementara mereka, setelah masa panen selesai mereka akan kembali ke rumah tiang. Semua rumah, baik yang berbentuk bulat, persegi bertiang atau gubuk di ladang-ladang bisanya dibuat dengan cara bergotong-royong oleh anggota Pedukuhan dengan upacara-upacara tertentu yang dipimpin oleh kepala Pedukuhan.
Penduduk Pedukuhan ini terdiri dari 2 ras penduduk, yaitu ras Mongoloid dan penduduk ras Austromelanesoid. Pada masa ini perkembangan jumlah penduduk menjadi bertambah dengan pesat, wanita mendapat kedudukan yang khusus di dalam Pedukuhan, mereka bertugas mengolah bahan makanan dan pakaian, juga menyiapkan berbagai alat-alat upacara yang masih sangat sederhana. Ilmuan botani yang bernama C.H.M Heeren, memperkirakan beberapa jenis buah yang biasa dikunsumsi sebagai makanan pada masa ini antara lain:
Keladi
taro, Colocasia Esculenta
Ubi
vam, Dioscorea Alata
Sukun
breadfruit, Artocarpus Communis
Pisang
banana, Musa paradisiaca
Durian
Durio Zibethinus
Manggis
Manggosteen, Garcinia mangostana
Rambutan
Nephelium lappaceum
Duku
Lansium domestikum
Salak
Salacca edulis
Kelapa
Cocos nusifera

Makanan pokok pada masa ini adalah keladi yang mulai diberdayakan oleh penduduk dengan membuat sistem irigasi sederhana. Sementara hewan-hewan yang penting pada masa ini adalah anjing dan babi, anjing merupakan binatang peliharaan yang dijinakkan untuk membantu dalam proses berburu, sedangkan babi dijinakkan dan dipelihara untuk kepentingan sebagai binatang yang dikonsumsi dan sebagai korban dalam berbagai prosesi upacara keagamaan.
Sistem perdagangan barter sudah pula mulai dikenal, seiring dengan mulai dikenalnya perahu atau jukung sebagai alat transportasi antara pedukuhan satu dengan pedukuhan yang lain, dengan memakai sungai sebagai jalur utama transportasi. Setelah berkembang kemudian secara perlahan penduduk sudah mulai meninggalkan sifat ketergantungannya terhadap alam, mereka sudah melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan membuat perubahan-perubahan dalam kehidupan. Mereka sangat mempercayai keberadaan roh anggota penduduk yang sudah meninggal masih bisa melakukan interaksi dengan anggota keluarga yang masih hidup. Bagi anggota penduduk yang mempunyai jasa besar dalam desanya kemudian meninggal, akan dipuja oleh warga desa dengan upacara-upacara meriah dan distanakan di tempat-tempat keramat dengan membuatkan bangunan-bangunan batu sebagai tempat tinggal rohnya. Bangunan ini berupa peti batu atau batu besar yang didirikan tegak dengan hiasan-hiasan berukir juga lukisan yang melambangkan kehidupan si mati. Mayat juga dibekali berbagai benda berharga dalam hidupnya saat penguburan, berupa perhiasan, periuk, alat-alat perladangan dan lain-lain.
Benda-benda sakral pada masa ini sering kali tertimbun oleh tanah dan tersimpan ratusan tahun di wilayah-wilayah Bali tengah, saat ditemukan kemudian menjadi dasar penelitian para ahli purbakala, berupa perhiasan, peti batu atau sarkofagus dan berbagai arca tua yang sangat sederhana bentuknya. Peninggalan-peninggalan purbakala ini ditemukan tersebar di seluruh wilayah Bali, terutama sekali di wilayah tepian sungai, tepi danau dan pesisir pantai. Sepanjang sungai Wos di wilayah Ubud yang membentang keutara dan selatan, ditemukan goa-goa yang diyakini sebagai tempat tinggal orang-orang dari kedua ras diatas. Goa-goa ini dikenal sebagai goa raksasa oleh penduduk sekitar dan diyakini sangat sakral dan keramat.
Peninggalan Megalitik di Bali terdiri dari Menhir, bhataran-bhataran batu dan sarkofagus yang berukuran kecil antara 80 cm sampai dengan 140 cm, hanya beberapa diantaranya yang berukuran sampai 2 meter. Pada tahun 1960, dua orang peneliti asing, P.V van Stein Callenfels dan H.R van Heekeren melakukan klasifikasi dan tipologi terhadap peninggalan-peninggalan itu, klasifikasi dan tipologi kemudian berhasil dilakukan oleh Prof. Dr. Raden Pandji Soejono, hasil penelitiannya terhadap sarkofagus di Bali, dipastikan bahwa sarkofagus itu berkembang pada masa penduduk Bali sudah mengenal bahan logam, mengingat benda-benda bekal kuburnya kebanyakan dibuat dari perunggu. Prof. Dr. Raden Pandji Soejono membagi sarkofagus Bali menjadi 7 tipe dasar, antara lain: Celuk, Angantiga, Bona, Bunutin, Cacang, Ambyarsari dan Manuaba. Sisa-sisa peninggalan Megalitik yang berupa Menghir, pelinggih batu, bhataran batu, jalanan batu berundak,  dan undak-undak batu berbentuk piramida.
II.3.3. Masa perundagian.
Pada masa ini masyarakat sudah mengenal teknik-teknik pengolahan logam. Pengolahan logam memerlukan suatu tempat serta keahlian khusus. Tempat untuk mengolah logam dikenal dengan nama perundagian dan orang yang ahli mengerjakannya dikenal dengan sebutan Undagi. Pada masa Perundagian kemudian muncullah peradaban yang lebih baik, ilmuan G.E. Rumpius melakukan penelitian yang seksama terhadap nekara di Pejeng pada tahun 1704. Laporan Rumpius dikumpulkan dalam sebuah buku dengan judul D’Amboinsche Rariteitenkamer, yang kemudian diterbitkan di Amsterdam tahun 1705. Para ahli setelahnya kemudian meyakini nekara perunggu itu berpusat di Khmer dan menyebar ke Indonesia, termasuk Pejeng Bali. Nekara Pejeng berbeda dengan nekara-nekara lain yang ditemukan di Indonesia, karena nekara Pejeng berukuran besar, dengan tinggi 1,96 meter dan menjorong keluar dari bahu sekitar 25 cm, bagian bahu lurus ke Bawah dan melengkung kedalam di bagian pinggang yang berbentuk silinder, bagian kaki berbentuk genta yang melebar di bagian bawah. Pada masa ini penduduk sudah mulai membuat berbagai perkakas yang dipakai sebagai penunjang kehidupan, seperti: kapak, mata panah, mata tombak, gerabah, mata pancing, alat menenun dan berbagai perhiasan sederhana dari perunggu.
Demikianlah pembabakan jaman pra aksara, atau pra sejarah yang diungkapkan oleh para pakarnya, sehingga mampu memberi gambaran kepada kita, bahwa sebelum kita mengenal tulisan dan kebudayaan seperti sekarang ini, para pendahulu kita sudah sekian lama bahkan ratusan tahun mempertahankan hidup dengan berbagai alat dan keadaan yang sangat sederhana.
BAB III
Masa Hindu Buddha
Masa perkembangan faham Hindu Buddha di Nusantara terjadi sudah sangat lama, seluruh wilayah pulau Bali mengalami masa ini, terbukti hingga sekarang faham ini menjadi warisan yang tidak pernah hilang, demikian juga daerah Baung Sayan. Pura-pura kahyangan yang berdiri megah di hampir semua pelosok Bali menjadi bukti bahwa faham ini masuk ke seluruh wilayah Bali kemudian berkembang sesuai dengan keadaan wilayah dan perkembangan budaya penduduknya. Tetapi sedikitnya peninggalan sastra yang bisa dibaca dan diteliti oleh para ahli membuat sulit memastikan era masuknya faham ini ke Bali. Keterbatasan sastra itu tidak mengurangi keinginan para ahli untuk melakukan penelitian, berbagai artefak, candi dan peninggalan-peninggalan arca Kuna yang ditemukan kemudian diteliti, sehingga dapatlah kemudian ditemukan teori masuknya faham Hindu Buddha di Bali.
III.1. Para pengungsi India.
Dikenalnya kerajaan-kerajaan Hindu Buddha di Nusantara, diungkapkan oleh para ahli sejarah dunia dimulai pada tahun 500 Masehi, di daerah Sumatera Utara. Kebanyakan kerajaan-kerajaan itu didirikan oleh para pengungsi dari India, terdiri dari kaum Bangsawan, Pendeta dan para pedagang yang menghindar dari kemelut yang terjadi di India. Para pengungsi India ini berlayar mencari daerah baru untuk bermukim sebagai tempat melanjutkan tradisi yang mereka anut dan yakini secara turun temurun.
Kerajaan-kerajaan kecil itu tersebar di beberapa wilayah di Sumatera Utara, dengan jumlah penduduk yang juga tidak terlalu banyak. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Kendahari, Pali, Malayu Sri Boja dan lain-lain. Para pengungsi India yang terdiri dari Bangsawan, Pendeta Rsi dan pedagang itu kebanyakan menghuni wilayah Kendhari dan Pali. Mereka menerapkan kebudayaan dan agama yang dianutnya dalam tatanan pemerintahan kerajaan, sehingga dalam waktu beberapa dekade daerah Sumatra Utara tertata dengan baik, aman dan tentram. Suasana aman tentram dan damai itu bisa bertahan di kerajaan-kerajaan kecil Sumatera Utara sampai sekitar tahun 682 sampai dengan tahun 686 Masehi.
III.2. Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perkembangan Agama Buddha Nusantara.
Di Palembang berdiri kemudian sebuah kerajaan yang bernama Sriwijaya, nama kerajaan berasal dari bahasa Sanskerta yang mengandung dua suku kata: Sri dan Wijaya, Sri berati Cahaya, Wijaya berarti kemenangan. Cikal bakal keberadaan kerajaan yang terletak di seputar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang ini menurut catatan sudah ada pada tahun 500-an. Kerajaan ini terdiri atas tiga daerah utama: daerah ibukota yang berpusatkan di sekitar Palembang, lembah Sungai Musi dan daerah-daerah muara. Mengingat lokasinya, kerajaan ini diperkirakan menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim penting pada abad keenam.
Bahkan pada sekitar tahun 425 Masehi,  agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya yang berlokasi di Palembang menarik banyak sarjana dari negara-negara di Asia sebagai tempat belajar agama Buddha. Salah satu diantaranya adalah pendeta dari Tiongkok I Ching, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya ke Universitas Nalanda, India pada tahun 671 dan 695. Ia menuliskan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
I Ching banyak menulis tentang keberadaan Sriwijaya. Catatannya kemudian menjadi bahan penting untuk mengetahui keberadaan kerajaan ini. Selain catatan tersebut, bukti lain tentang keberadaan Sriwijaya bisa ditemui dari berbagai peninggalan. Antara lain prasasti. Prasasti yang menuliskan tentang Sriwijaya antara lain dibuat pada tahun 683 di Palembang. Namanya Prasasti Kedukan Bukit. Raja Sriwijaya, yang bergelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan penyerangan ke wilayah Malayu Sriboja keselatan dan dibagian utara wilayah Sumatera, juga menaklukan Kerajaan Tarumanegara. Diantara kerajaan-kerajaan Malayu, Kerajaan Kendari dan Kerajaan Pali juga dapat dikuasai, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit  yang berangka tahun 683 Masehi, Prasasti Talang Tuo bertahun 684 Masehi dan Prasasti Kota Kapur.
Hal itu yang kemudian membuat para bangsawan dan para Rsi memutuskan untuk meninggalkan wilayah Malayu Sriboja, tujuan mereka adalah mencari daerah yang baru di luar kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Para bangsawan dan Rsi yang dulunya berasal dari India tersebut menyingkir kearah timur dengan perahu sampai mendarat di wilayah Nusa Goh atau dikenal dengan nama Pulau Sapi. Di pulau inilah kemudian mereka mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil yang masih sunyi dan terpencil. Nama yang baru didirikan itu sama dengan sewaktu masih di Sumatera, yaitu kerajaan Pali yang berpenduduk sebagian besar beragama Buddha.
III.3. Kerajaan Kutai dan Mataram sebagai cikal Bakal perkembangan Agama Hindu di Jawa dan Bali.
Letak kerajaan Kutai berlokasi di daerah Kutai, Kalimantan Timur, keberadaan kerajaan Hindu pertama di Indonesia ini diterangkan oleh 7 buah prasasti yang berbahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa. Masyarakat Kutai pada saat itu belum mempunyai bahasa dan huruf yang baku, para ahli sejarah memperkirakan bahwa prasasti yang berbentuk Yupa mulai ditulis pada sekitaran tahun 400 Masehi. Pada salah satu Yupa dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi cikal bakal dari kerajaan Kutai adalah Kudungga yang dilanjutkan oleh Aswawarman dan pada masa pemerintahan Mulawarwan kerajaan Kutai mencapai masa kejayaanya.
Dalam sebuah prasasti dinyatakan bahwa Raja Mulawarman sudah melaksanakan upacara korban emas kepada rakyatnya. Dalam suasana kejayaan itu muncullah banyak golongan terdidik yang terdiri dari clan Ksatria dan Brahmana, dalam usaha pencerdasan itu, raja Kutai beberapa kali mengirim para cendikiawan untuk belajar Agama Hindu ke India dan daerah-daerah maju di wilayah Asia Tenggara, seperti yang termuat dalam buku  IPS Terpadu Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah karya Mamat Ruhimat, Nana Supriatna dan Kosim tahun 2006.
Kerajaan Kutai memiliki hubungan dagang yang sangat baik dengan India, hal itulah yang membuat semua prasasti di Kutai ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta yang merupakan hurup dan bahasa Hindu Selatan di India yang merupakan daerah asal agama Hindu-Buddha. Dengan perkiraan tertulisnya prasasti yang menceritakan tentang kerajaan Kutai pada sekitar tahun 400 Masehi, dapatlah disimpulkan bahwa Kutai adalah kerajaan Hindu pertama di Nusantara. Letak kerajaan Kutai di daerah tepi sungai Mahakam pada pertemuan sungai Mahakam dengan anak-anak sungainya itu yang membuat sungai Mahakam bisa dilayari oleh kapal para saudagar hingga ke Muarakaman, dengan lancarnya pelayaran para saudagar ini membuat perdagangan disepanjang sungai menjadi sangat maju. Penduduk Kutai pada masa itu terdiri dari Petani dan peternak sapi yang handal yang kemudian menjadi komoditi utama masyarakat Kutai.
Raja Mulawarman adalah raja yang paling masyhur di Kutai mempunyai ikatan sangat mesra dengan masyarakat dan golongan Brahmana, itu dibuktikan dengan upacara kurban Emas dan 20.000 ekor lembu untuk rakyat dan para Brahmana yang diceritakan dalam sebuah Yupa bertulis yang dibuat oleh golongan Brahmana Kutai. Adapun raja-raja yang pernah memimpin kerajaan Kutai antara lain Kudungga atau Dewawarman, Aswawarman, Mulawarman, Marawijaya Warman, Gajayana Warman, Tungga Warman, Jayanaga Warman, Nalasingha Warman, Rajanala Parana Tungga, Gadingga Warmandewa, Indra Warmandewa, Sangga Warmandewa, Candrawarman, Srilangka Dewa, Guna Parana Dewa, Raja Wijaya Warman, Sri Aji Dewa, Raja Mulia Putera, Raja Nala Panditha, Raja Indra Paruta Dewa dan Raja Dharma Setia.
Pada tahun 730 Masehi, secara resmi Sri Maharaja Sanjaya menjadi raja di pulau Jawa, kerajaanya disebut sebagai kerajaan Mataram, wilayah kekuasaanya meliputi seluruh pulau Jawa, kecuali tanah Sunda. Sri Maharaja Sanjaya mulai melakukan penaklukan-penaklukan ke daerah sekitar, seperti Sriwijaya, Lingor atau Thailand, Hujung Medini atau Malaysia Barat. Beliau juga dikenal sebagai Raja Rsi yang sangat gemar menyebarkan agama Hindu di daerah-daerah taklukannya, beliau yang memperkenalkan ajaran Lingga Yoni dalam penyebaran agama Hindu yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta kerajaan Mataram. Semua konsep pemerintahan beliau dapat kita lihat pada Prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah berangka tahun 732 Masehi dikisaran Tahun 730 Masehi.
Salah seorang Pendeta Kerajaan Mataram yang bernama Rsi Markandya pada tahun 730 Masehi melakukan perjalanan suci dari Pasraman Gunung Wukir di Damalung, tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi, kemudian berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang. Di lereng Gunung Raung di sekitar Desa Girimulya, Kecamatan Glenmore dan di sekitar Tirta Empul, di Jawa Timur ditemukan juga  peninggalan- peninggalan Kuna berupa arca-arca kecil pratima. Di antaranya arca perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984, arca Rsi Markandya seukuran ibu jari ditemukan tahun 1985, tempat Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, dua buah Bokor Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, Gentha Panditha dan tujuh bilah keris ditemukan tahun 1976. Kemudian ditemukan juga batu Andesit  diperkirakan dipakai untuk mengolah obat saat itu. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan kuna.
Didalam Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, dikisahkan seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang isteri, berputra dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya, berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, yang berbunyi :
Sang Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama
Sang Ayati berputra Sang Prana.  Demikian pula adiknya, yang bernama Sang Niyata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristerikan Dewi Manaswini, berputra Maharsi Markandya. Selanjutnya Maharsi Markandya, beristerikan Dewi Dumara. Menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristerikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam pustaka Kuna Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, tentang asal-usul Maharsi Markandya. Pada hari yang baik, salah seorang murid Maha Rsi Agastya yang bernama Sang Ila putra dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan Tapa Samadhi di  Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut  Pegunungan Dieng. Seperti halnya Maharsi Markandya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau pegunungan Dieng di gunung Damalung.
Prasasti Dinaya yang berangka tahun 682 Saka, atau sekitar tahun 760 Masehi, menuliskan bahwa Maha Rsi Agastya yang mengembangkan ajaran Tri Murthi Paksa di Bhumi Nusantara ini, sebuah ajaran yang menyatukan Tiga Paksa, yakni Salwa Paksa, Brahmana Paksa, dan Waisnawa Paksa. Ajaran Tri Murthi Paksa inilah kemudian berkembang di Bali, dianut oleh hampir sebagian besar penduduk Bali. Karena beliau dianggap sebagai guru besar ajaran Tri Murthi Paksa, sebagai permulaan terbentuknya ajaran Hindu di Bali, beliau kemudian dikenal dengan sebutan Sri Bhatara Guru.
III.4. Kedatangan orang-orang Aga ke Bali.
Pada awalnya pulau Bali terdiri dari kelompok-kelompok kecil masyarakat yang membentuk desa-desa kecil dengan pemimpinnya masing-masing dihuni oleh penduduk keturunan Austronesia yang kemudian berkembang ke seluruh pelosok Bali, keturunan mereka menjadi orang Bali Mula yang lebih dikenal dengan nama orang Pasek Bali. Penduduk Bali yang awalnya tidak menganut agama, mereka melakukan ritual dengan cara menyembah para leluhurnya yang dikenal dengan sebutan Hyang. Karena sedikitnya ajaran-ajaran keTuhanan yang diajarkan di Bali, membuat pulau Bali sangat rendah kondisi spiritualnya. Keadaan yang dianggap kosong secara spiritual ini berlangsung hingga awal tarikh Masehi atau sekitar abad pertama Masehi.
Bali mengalami kekosongan spiritual cukup lama, sampai dengan kedatangan para Rsi dari luar pulau Bali yang datang ke Bali untuk mengajarkan agama Hindu dan cara memajukan sektor-sektor kehidupan para penduduk. Menurut Lontar Bali Tattwa, untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, kemudian datanglah seorang Maha Rsi ke Bali, beliau bernama Maha Rsi Markandya. Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah kurang lebih 800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung.
Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung atau yang dikenal dengan nama Gunung Tohlangkir, untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti Mranggi (Macan), Singa, dan Ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja, mereka kemudian mendiami wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Diantaranya kampung-kampung tua di sepanjang dataran subur yang diapit oleh dua aliran sungai, Sungai Wos Lanang dan Sungai Wos Wadon. Dataran yang membentang dari utara ke selatan dari Taro sampai Campuhan Gunung Lebah di Ubud.
Melihat keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandya memutuskan untuk kembali ke Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa murid-murid beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung. Maha Rsi Markandya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara dan tidak menanam Panca Datu.
Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan III, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di hutan. beliau mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan, Gianyar.
Tentang pembagian tanah dan kehadiran Maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek panditha Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Panditha prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Panditha Aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryan rumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan
Artinya :
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Panditha Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandhita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Bhatara semua, Sang panditha Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewa Yajnya dan Bhuta Yajnya, serta memuja Pertiwi.
Setelah selesai melakukan pangaci-aci atau melakukan upacara yadnya, maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara. Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tidak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandhya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar. Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa atau serba dan ada, jadilah serba ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada. Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi kemudian melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah barat. Pada satu lokasi yang masih asri. Di tempat baru itu Beliau mendapat petunjuk suci dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan, dan kini disebut Payangan. Jejak perjalanan Rsi Markandhya menelusuri tanah Bali dwipa, banyak meninggalkan atau ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman. Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandhya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandhya menanam kendi yang berisi Panca Datu yang terdiri dari lima jenis logam mulia, seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lama kelamaan daerah pura Basukian dikenal dengan nama Besakih. Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah berhasil dengan baik merabas hutan, Maharsi Markandhya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian. Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandhya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan atau perwakilan Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Glanmore, Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali Sang Maha Rsi mendapat wangsit sebelum datang ke Bali. Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Gianyar. Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandhya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Sang Maha Rsi ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandhya melakukan yoga semadi, tempat itu selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan. Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandhya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat Sang Yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa
Artinya :
Juga di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandhya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan atau Payangan, sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci Murwa atau Purwa Bhumi. Pura dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali (Purwa) memberikan proses pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian. Setelah berhasil memberikan pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan sukses dalam mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat suci yang diberi nama Sukamerih yang artinya mencapai kesukaan.
Pura Pucak Payogan, adalah Tempat Yoga Semadi Mahayogi Markandhya. Dan Tempat ini tempat beliau moksa sebagai akhir penjalanan Dharmayatra beliau. Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandhya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan, Taro Tegalalang, Gianyar, sekarang, kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro, Ubud dan Payangan. Keturunan dari orang-orang Aga itulah yang sekarang disebut wong Bali Aga, atau Wong Bali Mula, sebagai penduduk asli Bali. Mereka itu tinggal di desa : Sambiran, Sangsit, Dausa, Cabongan,       Lembongan, (Nusa Penida), Cempaga, Tenganan, Kintamani, Sastra, Sidhatapa, Timbrah, Kedisan, Terunyan, Padarba, Kutapang, Batur, Kayubihi, Gobleg, Sental, Kawan, Bakung, Kayang, Bratan, Tigawasa, Bantang, Pangotan, Sukawana, Kembang Sari, Bayung, Ceking, Lampu, Kutadalem, Abang, Abianbase, Sambahan, Lot, Plaga, Blakiuh, Gadungan, Camangawon, Angkah, Marga, Tabuana, Pasekan, Pengalu dan lain-lain.
Bab IV
Masa Bali Kuna
Pendapat-pendapat yang telah dikemukakan cenderung menyatakan bahwa P’o-li merupakan kerajaan besar, atau paling tidak terletak di wilayah yang luas. Kecenderungan itu sesuai dengan gambaran yang didapat dari kitab sejarah dinasti Sui. Menurut penulis kitab itu, panjang kerajaan P’o-li dari timur ke barat adalah selama empat bulan perjalanan, dan dari utara ke selatan selama 45 hari perjalanan. Apabila memang benar P’o-li merupakan kerajaan besar, maka tidak sesuai dengan Bali yang relatif kecil.
Toponim yang lebih cocok diidentifikasikan dengan Bali, menurut bagian lain pendapat Groeneveldt, adalah Dva-pa-tan yang terbaca dalam kitab sejarah Kuna dinasti T’ang. Negeri itu dikatakan terletak di sebelah selatan Kamboja dalam jarak dua bulan pelayaran, atau di sebelah timur Ho-ling atau Ka-ling. Adat istiadatnya sama dengan Ho-ling. Di sana, tiap bulan padi sudah dapat dituai, dan penduduk menulis pada daun rontal. Jika ada orang mati, mayatnya diberi perhiasan emas, ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar disertai dengan bau-bauan yang harum. Di dalam kitab Chu-fan-chih bagian Su-chi-tan, Bali disebut dengan nama Mali. Lebih jauh, penulis kitab Yao-i-chin-lue mencatat nama P’eng-li yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Pali atau Mali.
IV.1. Sekta-sekta di Bali.
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Siwas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siwa Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8, Paksa Siwa Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama Hindu sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.
Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca Siwa di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali. Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Siwaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Siwakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi pembauran antara Siwa dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan terjadinya pembauran antara Siwaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warna Dewa, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatkan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairawa dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairawa di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari  di Jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Siwaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaan dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuna merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami isteri Dharma Udayana Warna Dewa dan Gunapryadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuna digantikan dengan bahasa Jawa Kuna dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuna dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Saat itu di Bali berkembang ajaran Hindu yang disebut sekta. Sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris pada tahun 1926 jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha atau Soghata, Brahmana, Rsi, Sora atau Surya dan Ganapatya.
Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta yang dikenal dengan nama Sad Agama, yang terdiri dari: Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu dan Kala. Intisari dari ke 6 sekta tersebut kemudian dikenal dengan Siwa Siddhanta yang mewarnai kehidupan beragama di Bali dengan peninggalan beberapa lontar-lontar tua, antara lain: Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Tattwa Jnana, Sang Hyang Maha Jnana, Catur Yuga, Widhi Sastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para panditha Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Puja parikrama bersumber pada ajaran Siwa Siddhanta.
Pada masa Bali Kuna ini antara abad ke-10 sampai dengan ke-14 pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang panditha Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan jabatan semacam perdana mentri yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini.  Pada ajaran Siwa Siddhanta yang berkembang sangat pesat di Bali, masyarakat meyakini bahwa Dewa Siwa sebagai dewa tertinggi yang mempunyai 3 hakekat atau tattwa yaitu: Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud atau niskala, Sadasiwa-tattwa yang bersifat berwujud - tak berwujud atau sakala-niskala dan Siwa-tattwa yang bersifat berwujud atau sakala. Selain agama Siwa Siddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan dikenal sebagai aliran Kapalika, pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata), terdapat pula agama Waisnawa yang memuja Dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung dalam Istadewata. Peradaban awal yang ditemukan pada stupa-stupa dan batu bertulis di situs Pejeng dengan angka tahun Isaka 700 atau tahun 778 Masehi  dalam bahasa Sanskerta adalah  kutipan sebuah mantra Buddha:
Ye Dharma Hetu Prabawahetun Tesan Tathagato Hyawadattesanca Yo Nirodha Ewam Wadi Mahasramanah
Artinya :
Keadaan tentang sebab-sebab kejadian atau proses terciptanya dunia sudah dijelaskan oleh Sang Buddha yang maha mulia.
Beliau sudah menerangkan pula apa yang seharusnya dilakukan manusia di dunia ini.  Ini membuktikan Bali Kuna lebih dahulu mengenal Agama Buddha dari pada Agama Hindu. Karena perbedaan waktu antara kedatangan para Bhiksu dengan kedatangan para Rsi Hindu  tidak banyak, atau boleh dikatakan hampir bersamaan maka terjadilah percampuran antara dua agama itu. Prasasti-prasasti yang bertarikh tahun 804 Isaka atau pada tahun 882 Masehi sudah menyebutkan nama-nama bulan kalender dengan solar system (Hindu) seperti di India. Selain itu, prasasti batu padas yang ditemukan di Blanjong Sanur telah bertuliskan tahun Saka menurut sistem Candra Sangkala dari peradaban Hindu: Khecara Wahni Murti. Murti berarti Siwa berarti 8; Wahni berarti cahaya berarti 3; Khecara berarti bintang berarti 9. Jadi sistem Candra Sangkala itu menunjukkan tahun kejadian yakni: Isaka 839 atau tahun 917 Masehi. Sistem Candra Sangkala selain menunjukkan tahun kejadian, juga berbentuk kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai pemberitaan, dalam hal ini Khecara Wahni Murti, artinya: Bintang yang terang bercahaya bagaikan Bhatara Siwa.
Oleh para ahli kalimat ini ditafsirkan sebagai pujian kepada Raja: Kesari Warna Dewa yang ketika itu berkuasa dan beristana di Singhadwala, beragama Buddha dari sekta Mahayana. Percampuran budaya Buddha-Mahayana dengan Hindu sekta Siwa Sidantha dan sekta Waisnawa telah terjadi di Bali Kuna setidak-tidaknya sejak tahun 882 Masehi seperti yang diuraikan di atas, jauh sebelum kejadian yang sama di Jawa Timur. Percampuran Siwa-Buddha di Jawa Timur baru secara resmi diakui sejak tahun 1365 Masehi oleh Mpu Prapanca dalam tulisan kekawinnya berjudul: Desawarnana, dan selanjutnya Mpu Tantular menulis hal sama pada kekawinnya: Arjuna Wiwaha pada tahun 1367 Masehi dan Sutasoma pada tahun 1380 Masehi. Di Bali, Siwa-Buddha dan Waisnawa dilebur menjadi agama Hindu yang ada sekarang di Bali oleh Mpu Kuturan. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja suami isteri Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warna Dewa yang bertahta di Bali pada tahun Saka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988 Masehi sampai dengan tahun 1011 Masehi. Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Aga yang merupakan orang Bali asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali, jadi ada orang Bali Aga dan orang Bali yang sudah sejak lama memeluk dan menganut ajaran agama orang-orang Hindu dari berbagai paksa atau sekta. Yang terbanyak adalah dari sekta Indra disamping yang menganut sekta Bayu, Khala, Brahma, Wisnu, dan Syambhu. Dengan demikian di Bali terdapat 6 sekta yang dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekta dengan sekta yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
IV.2. Kedatangan para Mpu ke Bali.
Para penganut sekta yang selalu bersaing dan bertentangan satu dengan yang lainnya itu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak buruk pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat kurang baik ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warma Dewa mendatangkan beberapa Rsi dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharma Patni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warna Dewa bersepakat untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
1.        Mpu Semeru, dari sekta Ciwa tiba di Bali pada hari Jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, Candra Sengkala Jadma Siratmaya Muka yaitu tahun Saka 921 atau tahun 999 Masehi lalu berparhyangan di Besakih.
2.        Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun Saka 922 atau tahun 1000 Masehi, lalu berparhyangan di Gelgel
3.        Mpu Kuturan, pemeluk agama Buddha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, maduraksa atau tanggal ping 6, Candra Sengkala: Agni Suku Babahan atau tahun Saka 923 atau tahun 1001 Masehi, selanjutnya berparhyangan di Cilayukti daerah Padang.
4.        Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, Prati Padha Cukla, tanggal 1, Candra Sengkala: Muka Dikwitangcu atau tahun Saka 928 atau 1006 Masehi, lalu berparhyangan di bukit Bisbis, Lempuyang.
Keempat orang Brahmana dari Jawa Timur itu sebenarnya bersaudara 5 orang, adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah yang masih menetap di Jawa Timur, berparhyangan di Lemah Tulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini dikenal dengan nama Sang Panca Panditha atau Sang Panca Tirtha. Sebagai guru loka di daerahnya masing-masing, menjalankan dharma kabrahmanan. Mpu Semeru yang berparhyangan di Besakih dan Mpu Ghana yang berparhyangan di Gelgel, menjalankan kehidupan Nyukla Brahmacari maka keduanya tidak mengadakan keturunan. Sedangkan Mpu Kuturan yang berparhyangan di Cilayukti sebagai Swala Brahmacari mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali, yang ditinggalkan di Jawa bersama ibunya yang kemudian kawin dengan salah satu putera Mpu Bharadah yaitu Mpu Bahula.
Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat Senapati, dan prasasti-prasasti tersebut ditemukan di beberapa desa tua Bali, diantaranya:
1.    Di desa Srai, Kintamani, bertahun Saka 915 atau tahun 993 Masehi
2.    Di desa Batur, Kintamani, bertahun Saka 933 atau tahun 1011 Masehi.
3.    Di desa Sambiran, Tejakula, Buleleng, bertahun Saka 938 atau tahun 1016 Masehi.
4.    Di desa Batuan, Sukawati, Gianyar bertahun Saka 944 atau tahun 1022 Masehi.
5.    Di desa Ujung, Karangasem bertahun Saka 962 atau tahun 1040 Masehi.
6.    Di Pura Kehen Bangli, Bangli, (karena sudah rusak tidak tampak tahunnya)
7.    Di desa Buahan, Kintamani, Bangli bertahun Saka 947 atau tahun 1025 Masehi.
Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam tahun-tahun tersebut dan prasasti-prasasti itu merupakan hasil keputusan raja-raja yang bertahta di Bali yaitu:
1.    Raja Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warna Dewa yang bertahta dari tahun Saka 910 sampai dengan 933 atau dari tahun 988 sampai dengan tahun 1011 Masehi menerbitkan prasasti pertama dan kedua
2.    Sri Adnyadani yang bertahta dari tahun Saka 933 sampai 938 atau dari tahun 1011 sampai dengan tahun 1016 Masehi menerbitkan prasasti yang ketiga
3.    Sri Dharma Wangsa Wardhana Marakato Pangkaja Stano Tungga Dewa, yang bertahta dari tahun Saka 938 sampai 962 atau dari tahun 1016 sampai dengan tahun 1040 Masehi menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh
Dari lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga sebab yaitu:
1.    Memenuhi permintaan raja suami isteri yang disebut diatas, yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adat dan agama untuk memperbaiki keadaan setelah timbulnya ketegangan - ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
2.    Karena bertentangan dengan isteri beliau yang menguasai ilmu hitam. Sebab itu isteri beliau ditinggalkan di Jawa yang dijuluki Walu Natheng Girah atau Rangda Natheng Girah yang berarti bebas jandanya Raja dari Girah
3.    Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Mpu Kuturan dalam meredam gejolak yang bersumber dari banyaknya sekta atau aliran yang saling bertentangan di Bali, diantaranya adalah dengan membuat pertemuan besar di Bata Anyar. Dalam pertemuan besar itu diundang wakil-wakil aliran di Bali, Masyarakat Bali Aga, Masyarakat Bali, para pemuka agama dan adat di Bali.
Dalam pertemuan itu kemudian diputuskan bahwa semua aliran sekta di Bali, dilebur menjadi tiga komponen dasar disebut dengan Tri Murti. Aliran pemuja air dan alam masuk dalam kategori Wisnu, dipuja dan dimuliakan pada pura Puseh. Aliran pemuja surya, bulan dan api dilebur dalam kelompok pemuja Brahma, dimuliakan di pura Bale Agung atau pura Desa. Semua sekta atau aliran yang memuja udara, bintang dan planet dikelompokkan sebagai pemuja Iswara atau Siwa, dimuliakan di pura Dalem.
Ketiga pura yang terbentuk dari sari-sari sekta itu disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan semua aliran di Bali. Dalam pertemuan besar di Samuan Tiga juga diperkenalkan istilah Desa Pakraman yang lebih dikenal sebagai Desa Adat, dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, sosial, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut datang ke Bali, semua prasasti masih ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna. Sementara sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna atau bahasa Kawi. Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.
Di Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali dirayakan dengan sunyi atau sunyata. Di Bali Selatan, ada Pura Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya Kuningan, sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni yang merupakan nama asli Sidartha Gautama. Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha.
IV.3. Raja-raja dari dinasti Warmadewa di Bali.
            Berdasarkan hasil pembacaan terhadap prasasti-prasasti yang berasal dari masa Bali Kuna selanjutnya dapat diketahui dua puluh tokoh raja atau ratu dan seorang rajapatih yang pernah menduduki pucuk pemerintahan di Bali. Di antaranya, ada yang memerintah sendiri dan ada pula yang memerintah bersama-sama dengan tokoh lain, yakni suami, permaisuri, atau ibu surinya.
Nama raja Bali Kuna yang tercantum pertama kali dalam prasasti adalah Sri Kesari Warmadewa. Prasasti-prasasti atas nama raja itu, atau yang dapat diidentifikasikan demikian, adalah prasasti Blanjong bertahun 835 Saka, dan prasasti Penempahan, dan prasasti Malet Gede bertahun 835 Saka. Keadaan ketiga prasasti itu telah aus. Banyak bagiannya tidak terbaca lagi secara utuh, termasuk nama raja yang disebut di dalamnya. Dalam masa Bali Kuna dikenal beberapa raja yang memimpin Bali, diantaranya:
·         Sri Ugrasena memerintah dari tahun 912 sampai dengan tahun 942 Masehi, beristana di Singhamandawa di Kintamani.
·         Sri Kesari Warmadewa memerintah dari tahun 913 sampai dengan tahun 955 Masehi, beristana di Singhadwala di Besakih.
·         Sri Hari Tabanendra Warmadewa dan Sri Subadrika Warmadewa yang  memerintah dari tahun 955 sampai dengan tahun  967 Masehi, beristana di Tabanan.
·         Sri Candrabhayasingha Warmadewa yang  memerintah dari tahun 967 sampai dengan tahun  968 Masehi, beristana di Tampaksiring.
·         Sri Janasadhu Warmadewa yang  memerintah dari tahun 968 sampai dengan tahun 983 Masehi, beristana di Bedahulu.
·         Sri Wijaya Mahadewi yang  memerintah dari tahun 983 sampai dengan tahun 988 Masehi, beristana di Kadiri.
·         Sri Dharmodayana Warmadewa atau Udayana dan Sri Mahendradatta atau Sri Gunaprya Dharma Patni yang  memerintah dari tahun 983 sampai dengan tahun 1011 Masehi, beristana di Bedahulu.
·         Sri Ajnyadewi yang  memerintah dari tahun 1001 sampai dengan tahun 1015 Masehi, beristana di Kintamani.
·         Sri Suradhipa yang  memerintah dari tahun 1011 sampai dengan tahun 1072 Masehi, beristana di Bedahulu.
·         Anak Wungsu atau Dharma Wangsa Wardana Marakata Pangkaja Sthana Uttunggadewa, yang  memerintah dari tahun 1072 sampai dengan tahun 1098 Masehi, beristana di Tampaksiring.
·         Sakala Indukirana Isana Guna Dharma Laksmi Dharawijaya Uttunggadewi yang  memerintah dari tahun 1098 sampai dengan tahun 1133 Masehi, beristana di Tampaksiring.
·         Jayapangus yang  memerintah dari tahun 1133 sampai dengan tahun 1173 Masehi, beristana di Kintamani.
·         Jayasakti yang  memerintah dari tahun 1173 sampai dengan tahun 1198 Masehi, beristana di  Kintamani.
·         Bhatara Sri Parameswara Sri Hyang -Ning Hyang Adidewa yang  memerintah dari tahun 1198 sampai dengan tahun 1284 Masehi, beristana di  Kintamani.
·         Kebo Parud dibawah kekuasaan Kerajaan Singhasari-Jawa yang  memerintah dari tahun 1284 sampai dengan tahun 1324 Masehi, beristana di Bedahulu.
·         Sri Tarunajaya yang  memerintah dari tahun 1324 sampai dengan tahun 1325 Masehi, beristana di Bedahulu.
·         Dharma Uttungga Warmadewa yang  memerintah dari tahun 1325 sampai dengan tahun 1328 Masehi, beristana di Bedahulu.
·         Bhatara Sri Wala Jaya Kertaning Rat yang  memerintah dari tahun 1328 sampai dengan tahun 1337 Masehi, beristana di Bedahulu.
·         Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten atau Sri Tapolung yang  memerintah dari tahun 1337 sampai dengan tahun 1343 Masehi, beristana di Bedahulu.
IV.3. Sri Astasura Ratna Bhumi Banten raja terakhir dinasti Warmadewa di Bali.
Raja terakhir yang memerintah di Bali pada masa Bali Kuna adalah Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten atau Sri Tapolung. Beliau memerintah di Bali menggantikan kedudukan Bhatara Sri Wala Jaya Kertaning Rat.
Masa Bali Kuna ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura Ratna Bhumi Banten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada. Pada tahun 1337 raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten atau Sri Gajah Waktera dikenal juga dengan nama Sri Topolung mulai berkuasa di Pulau Bali, beliau sangat bijaksana serta adil dalam mengendalikan pemerintahan dan taat dalam melaksanakan upacara keagamaan, beliau terkenal sebagai seorang pemberani serta sangat sakti. dalam pemerintahannya beliau mengadakan pergantian sejumlah pejabat pemerintahan antara lain : Senapati Kuturan yang sebelumnya dijabat oleh Ki Dalang Camok diganti oleh Ki Mabasa Sinom, Senapati Danda yang sebelumnya dijabat oleh Ki Kuda Langkat-Langkat diganti oleh Ki Bima Sakti.
Sang raja juga membentuk Senapati baru, yaitu Senapati Manyiringin yang dipegang oleh Ki Lembu Lateng. Dalam bidang keagamaan, beliau juga melakukan beberapa perubahan seperti: pendeta Siwa untuk kerajaan yang dahulunya tinggal di Dewastana, dialihkan ke Kunjarasana, pandita Siwa kerajaan lainnya yang sebelumnya tinggal di Trinayana dipindahkan ke Dharmajanyar. Kedudukan Dhang Upadyaya Pujayanta sebagai pendeta kerajaan yang sebelumnya dijabat oleh pendeta di daerah Biharanasi diganti oleh Pendeta Dang Upadyaya Dharma.
Raja juga membentuk badan baru pembantu raja disebut dengan Makarun Di Hyang Karamus yang dipercayakan kepada Ki Panji Sukaningrat. Untuk wilayah Buruan dibuat 2 wakil kerajaan yang masing-masing diduduki oleh Sira Maha Guru dan Dang Upadyaya Kangka, yang mengurus masalah pemerintahan dan spiritual di Buruan sebagai wakil dari kerajaan. Ki Pasung Grigis diangkat menjadi Patih Mangkubhumi, berkedudukan di Tengkulak, Patih Anom dipegang oleh Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna berkedudukan di Blahbatuh.
Dalam bidang pemerintahan, selain mengangkat Patih Mangkubhumi dan Patih Anom, raja Bali Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten juga mengangkat para petinggi istana yang berkedudukan sebagai Menteri dan Demung, seperti: Menteri Ki Girikmana berkedudukan di Ularan Buleleng, Menteri Ki Tambyak di desa Jimbaran, Menteri Ki Tunjung Tutur diangkat berkedudukan di desa Tenganan. Ki Buwahan menjadi Menteri di desa Batur, Ki Tunjung Tutur diangkat menjadi Pertanda di desa Tianyar, Ki Kopang menjadi Pertanda di desa Seraya, Ki Walungsari diangkat menjadi Pertanda di desa Taro. Ki Gudug Basur menduduki jabatan sebagai Tumenggung, Ki Kala Embang menjadi Demung, Ki Kala Gemet menjabat sebagai Tumenggung berkedudukan di desa Tangkas, Ki Buwahan di Batur dan Ki Walung Singkal berkedudukan di desa Taro. Demikianlah para Menteri Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang sebagian besar diantaranya adalah merupakan keturunan dari Ugrasena ksatria Kalingga.
Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten adalah seorang penganut Buddha yang taat terbukti pada tahun 1338 Masehi beliau banyak mendirikan tempat tempat suci agama Buddha. Keadaan yang berlangsung aman dan tentram tersebut tiba tiba terancam karena sikap dari Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Ratu Majapahit Tribhuwana Wijaya Tunggadewi, meskipun beliau adalah keturunan Majapahit. Keputusan Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten untuk menentang Majapahit tercetus dalam rapat dengan para menterinya dimana Keputusan tersebut akibat pengaruh dari Menteri Pertahanan (Senapati danda) yang bernama Ki Bima Sakti.
Adapun politik pemerintah Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten sekarang sungguh sangat berbeda dibandingkan yang sudah sudah, bahkan beliau sekarang bersikap membangkang dan tidak menghiraukan perintah-perintah dari Majapahit. Karena sikap beliau tersebut maka beliau dijuluki Raja Bedahulu, Beda artinya berbeda pendapat dan Hulu berarti atasan. Sikap membangkang ini didengar oleh Ratu Majapahit karena itu Ratu Tribhuwana Tunggadewi merencanakan untuk mengirim pasukan besar ke Bali dibawah pimpinan Maha Patih Gajah Mada dan panglima Arya Damar atau Adityawarman.
Pada masa pemerintahan raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, daerah sebelah selatan Bayung dan wilayah sebelah utara Blanjong menjadi wilayah kekuasaan dari Ki Walungsari dan Ki Walung Singkal yang berkedudukan di desa Taro. Penduduk wilayah ini bertugas sebagai pemuja parahyangan-parahyangan peninggalan Rsi Markandya dahulu, juga menjaga wilayah hutan perburuan kerajaan yang terbentang sepanjang sungai Wos dan sungai Ayung. Sepanjang aliran kedua sungai ini berdiri banyak parahyangan yang menceritakan tentang kisah penyebaran agama Hindu di Bali yang dibawa oleh Rsi Markandhya dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Aga. Parhyangan-parahyangan tersebut hingga kini masih berdiri kokoh dan dimuliakan oleh penduduk sekitarnya, walaupun luas dan bentuknya sudah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan jaman. Desa adat atau Desa Pakraman menjadi tulang punggung dalam usaha menjaga dan melestarikan pura-pura tua di Bali.
Pura sebagai tempat suci merupakan tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam manifestasiNya dan atau Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur) dengan sarana upacara yadnya dari Tri Marga. Pura difungsikan sebagai tempat untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya, sebagai tempat umat mendekatkan diri dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan, sebagai tempat dialog atau komunikasi sosial masyarakat dan tempat persaksian atas suatu aktivitas dan sebagai tempat mengasah dan mendidik calon-calon pemimpin masyarakat.
Bersambung........



Tidak ada komentar:

Posting Komentar