SELAYANG PANDANG
PURA
MASCETI
DESA PAKRAMAN SAYAN
Om awighnam astu namā
śidyam.
Om prânamyam sirā sang
widyam, bhukti mukti
hitartwatam, prawaksyā
tattwam
widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanam,
sirā ghranā stityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam,
bhupa-lakam, satyam loka.
Om nama dewayā,
pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Ong kara panga bali puspanam. Prajā
pasyā. nugrah akam, janowa papā wināsayā, dirgha pramanaming sang ngadyut,
sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugerahaneng hulun, muncaranākna
ikang tattwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi,
wastu pari purņā hanmu rahayu, katkeng
kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagadhitayā.
sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Sembah pengaksama kami kehadapan
Bhatara Hyang Mami yang bergelar Ongkara Hradaya
Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugerahkanlah
hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis
dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om
Bhur, Bhuwah, Swah semoga tidak berdosa,
terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa,
begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida
Hyang Widhi, lara wigraha mala papa pataka, bisa
terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan
yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin,
anugerahkanlah hamba agar sempurna
menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
Pura atau
kahyangan selalu dibangun di tempat-tempat yang
dianggap suci seperti yang tertulis dalam kitab Tantra Samuccaya, antara lain: di Tìrtha
atau Patìrthan, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau
lebih sungai-sungai atau Campuhan.
Di muara sungai, di puncak-puncak gunung atau bukit, di lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa, di
kota atau pusat-pusat kota dan di tempat-tempat lain yang dapat memberikan
suasana bahagia.
Bernet
Kempers, seorang ahli purbakala memberi julukan pulau Bali sebagai Land
of One Thousand Temples, pulau dengan
seribu pura. Menurut data Departemen Agama
Provinsi Bali tahun 2012 di Bali terdapat 4.356 Pura Kahyangan Tiga dari setiap wilayah Desa
Pakraman di
Bali. Selain
itu terdapat 723 buah pura kahyangan jagat dan 923 buah pura kawitan. bila ditotal
keseluruhan maka jumlahnya mencapai 6.002 buah pura. Masih
banyak ahli-ahli dunia memberikan julukan yang mendunia terhadap pulau Bali,
sehingga Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang menggabungkan unsur alam,
budaya, seni, ekonomi, sejarah menjadi satu kesatuan yang saling bertautan.
Masa Kedatangan Maha Rsi Markandhya.
Pura Masceti Sayan merupakan salah satu dari ribuan kahyangan yang ada di
Bali, berdiri di tengah-tengah hamparan sawah. tepat sekali kemudian
difungsikan sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dalam manifestasi Beliau sebagai Dewi Sri, yang dalam khasanah Hindu diyakini
sebagai dewi kemakmuran. Pura Masceti Sayan memiliki sejarah panjang dalam
pendirianya, dimulai dari masa penyebaran faham Siwa Buda di Bali pada kisaran
tahun 800 Masehi. Seperti yang dipaparkan pada bagian awal, Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya penguasa kerajaan Medang
di Jawa Tengah mengutus seorang Rsi dari perguruan Markandhya dan para
pengikutnya untuk menyebarkan agama Hindu keseluruh Nusantara, Perjalanan
Beliau dimulai pada bulan Oktober tahun 730 Masehi. Rsi yang dimaksud adalah
Rsi Ing Markandhya yang kemudian dikenal di Bali dengan nama Rsi Markandhya.
Perjalanan suci ini dimulai dari Gunung Wukir atau Damalung, berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke
lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi, berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih
sekarang.
Pada masa ini dikisahkan sebagian besar para pengikut Rsi Markadhya
pada kedatangan yang pertama membangun kuwu-kuwu atau desa-desa kecil sepanjang tepian
sungai Ayung dan sungai Wos, memanjang dari utara ke selatan, diperkirakan juga menghuni berbagai tempat di daerah
Sayan, terutama sekali wilayah tepian sungai yang masih sangat subur dan alami. Selain mengajarkan tentang ilmu keTuhanan maha suci
beliau juga mengajarkan cara bercocok tanam yang baik. Bercocok tanam dengan
penyelarasan unsur-unsur alam yang diberdayakan dengan keyakinan apabila alam
harmonis akan mampu memberikan banyak hal kepada mahluk penghuninya.
Dalam usaha membangun perkampungan dan areal
pertanian di desa Puwakan ini diperkirakan mulai ditata sistem organisasi
pertanian di daerah Taro, Payangan, Kedewatan, Ubud juga Sayan yang dikenal
dengan nama Subak hingga sekarang. Selain menata daerah beliau juga menata
kehidupan spiritual Ketuhanan dalam bentuk wujud atau lambang. Setiap memulai
membuka wilayah baru dilaksanakan upacara atau Wali di daerah garapan yang
diyakini sebagai tempat yang paling suci untuk melaksanakan upacara. Guna
mengingatkan tempat-tempat suci itu agar tetap utuh tidak beralih fungsi, maka
ditandailah tempat-tempat suci tersebut dengan cara menumpukkan batu-batu atau
menanam pohon-pohon suci.
Masa Kekuasaan kerajaan
Kadiri.
Data tertua
yang berhasil didapat adalah dengan ditemukannya kitab tua dari Cina yang
berjudul Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 Masehi
dan kitab tua yang berjudul Chu-fan-chi
tahun 1178 yang disusun oleh Chaujukua yang menggambarkan kehidupan sosial
politik pada masa Kediri dengan sangat detail, termasuk wilayah-wilayah yang
menjadi daerah kekuasaanya, termasuk Bali.
Pada saat Dinasti Jin berkuasa di Cina utara disekitaran tahun 1115 sampai
dengan tahun 1234 Masehi, Raja Kediri Sri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri
Kameshwara Sakala Bhuwana Tushtikarana Sarwwani Waryya Wiryya Parakrama Digjayo
Tunggadewa, mendapat kunjungan 9 biksu dari Cina, mereka memperkenalkan dan
menyebarkan agama Budha di wilayah Kediri dan sekitarnya. Empat orang biksu
Cina tersebut melakukan perjalanan suci ke wilayah pulau Bali yang masih
merupakan wilayah kekuasaan Kediri, bertujuan mencari tempat yang cocok untuk
mendirikan wihara dan menyebarkan agama Budha.
Dalam tulisan tangannya yang
berbahasa Cina, salah seorang dari 4 biksu yang melakukan perjalanan suci di
pulau Bali bernama Biksu Cin Hoan menuturkan daerah Bali bagian tengah sudah
tertata dalam kehidupan berkelompok terdiri dari hampir 50 keluarga yang mendiami
lembah pegunungan yang membentang dari utara ke selatan, diapit oleh 2 buah
sungai terjal. Dalam siklus 1 tahun kalender Bali selalu mengadakan ritual
dengan menyembelih kerbau dan kijang. Daging dari semua persembahan itu
dibagi-bagikan kepada penghuni kawasan dengan sama rata, memakai alas daun.
Cara menimbangnya dengan memakai batok kelapa bertali yang dikaitkan pada
sebatang bambu kecil yang bertali di bagian tengahnya. Sehingga mirip seperti
timbangan untuk mencari berat yang sama antara ke dua bagiannya. Biksu Cin Hoan
berkeliling dalam misinya ke kuwu-kuwu diseputaran Bali tengah, termasuk di
dalamnya adalah kuwu-kuwu yang terdapat di pinggiran Kali atau Tukad. Bulan November tahun
1244 Masehi Biksu Cin Hoan dan
beberapa biksu lain mengunjungi
kuwu-kuwu sepanjang sungai Petanu, Pekerisan, Tukad Lawas, Tukad Kunggang,
Tukad Mas, Tukad Wos (Woh), Tukad Ayung, Tukad Lauh, Tukad Apit, Tukad Dawa dan
Tukad Tawar.
Diperkirakan
oleh para ahli orang-orang Aga (gunung) tersebut membangun kuwu masih memakai
tatanan satu garis lurus utara selatan atau hulu teben, dengan jalan desa
sebagai garis tengahnya, sementara di kanan dan kiri jalan dibangun
rumah-rumah sangat sederhana dengan bahan yang hampir seluruhnya terbuat dari
balok-balok kayu hasil tebangan saat merabas hutan. Hal itu bisa dianalisa dari tulisan Biksu Cin Hoan dan beberapa pengikutnya
yang menyatakan rumah-rumah penduduk di Bali tengah diantara tahun 1200 sampai
dengan tahun 1256 Masehi berupa bangunan bangunan kecil berjajar di sepanjang jalan dengan kayu-kayu
sebagai dinding serta atap alang-alang yang dijalin dengan rapi. Di ujung desa atau di tengah desa ada sebuah bangunan yang
agak besar memanjang, tanpa dinding bertiang 12 beratap alang-alang. Di
bangunan besar inilah para penduduk berkumpul pada sore hari membicarakan
berbagai hal yang berkaitan dengan hasil perburuan, hasil ladang, bersenda
gurau sambil mengunyah sirih.
Di langit-langit rumah besar tergantung berbagai hiasan
dari kayu-kayu tua juga tulang-tulang binatang buruan serta beberapa
pahatan-pahatan kayu yang masih sederhana. Di pojok bangunan bersandar perkakas dari besi yang
ditempa berbentuk pipih memanjang. Asap mengepul dari berbagai pojok batas
desa, asap ini muncul dari gundukan kayu-kayu yang dibakar penduduk dengan
tujuan penandaan daerah dan dipakai juga untuk mengusir binatang buas agar
tidak mendekati areal perumahan penduduk.
Semua catatan ini tersimpan rapi di
sebuah kuil daerah Yunan beratus-ratus tahun lamanya, sampai kemudian diteliti
oleh para ahli dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa sebagai media analisa
tentang keadaan Bali pada masa itu. Dalam berbagai kesimpulan ahli didapat
kesepakatan ilmiah, bahwa pada tahun itu di daerah Bali, di pinggiran kali-kali
besar sudah hidup penduduk yang berbudaya dan menjalin hubungan sosial religius
antara sesama penduduk, alam dan hyang atau leluhur. Kata pura atau parahyangan
tidak ada disebutkan dalam semua sumber Cina tersebut. Kemungkinan yang paling
mendekati adalah mereka melakukan pemujaan kepada Hyang ditempat-tempat yang
dianggap sakral dan disediakan oleh alam dari sebelumnya.
Masa akhir pemerintahan Bali Kuno.
Pada masa pemerintahan raja Sri
Astasura Ratna Bhumi Banten tahun 1337
sampai tahun 1343 Masehi yang berkedudukan di Bendulu, daerah Sayan, Kedewatan, Taro, Payangan, Ubud, Tegallalang dan wilayah sekitarnya utara Blanjong menjadi wilayah
kekuasaan dari Ki Walungsari dan Ki Walung Singkal yang berkedudukan di desa
Taro. Penduduk wilayah ini bertugas sebagai pemelihara parahyangan-parahyangan peninggalan Rsi Markadhya dahulu, juga menjaga
wilayah hutan perburuan kerajaan yang terbentang sepanjang sungai Wos dan
sungai Ayung. Sepanjang aliran kedua sungai ini berdiri banyak parahyangan yang
menceritakan tentang kisah penyebaran agama Hindu di Bali yang dibawa oleh Rsi
Markandhya.
Tugas khusus
penduduk sebagai panghulu kahyangan dan penjaga kelestarian hutan perburuan
raja disepanjang perbukitan sungai Ayung dan Wos memberikan kebebasan kepada
penduduk yang mendiami wilayah itu bebas dari pajak atau root. Daerah
perbukitan ini kemudian dikenal kemudian dengan nama Sima atau Swatantra yang
berarti wilayah Desa, Perdikan atau Kuwu. Pajak yang dibebaskan itu meliputi
root ing huma atau pajak sawah basah, root ing parlak atau pajak sawah kering,
root ing mmal atau tegalan dan root ing kbwan atau pajak ladang. Daerah sebelah
selatan campuhan menjadi satu daerah swatantra dengan nama Swatantra Di Campuh,
masih menjadi bagian dari Banwa Taro.
Struktur
organisasi Swatantra Di Campuh terdiri dari Hulu Swatantra disebut Basta, juru
tulisnya disebut dengan nama Tayung dibantu oleh jabatan-jabatan yang lebih
rendah seperti Hulu Lapu atau Kuncang, Kulapati atau Sadhyaguna Maghana, Gansar
dan Rahit. Para Pang-Hulu inilah yang bertanggung jawab terhadap Swatantranya
sekaligus sebagai penyambung keinginan penduduk Swatantra dengan Hulu Banwa di Taro. Pada setiap bulan Caitra,
yaitu antara bulan Maret-April para Pang-Hulu Swatantra Di Campuh menghadap ke
Hulu Taro untuk mempersembahkan Root Ing Banyu atau pajak sumber air Wos dan
Ayung sebesar 2 Masaka.
Kebudayaan
Jawa sudah masuk di wilayah Bali tengah pada masa ini diakibatkan dari pengaruh
kerajaan Singasari yang berkuasa di Jawa Timur mulai tahun 1272 hingga tahun
1292 Masehi. Perlahan tapi pasti bahasa Bali Kuno tergeser penggunaannya oleh
bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Wilayah ini selain berpusat pemerintahan
ke adipati Walung Sari dan Walung Singkal di Taro juga berhulu agem ke Giriya
Siwa Air Gajah disekitar wilayah Goa Gajah sekarang. Penduduk yang melakukan
ritual di Prasada atau candi atau parahyangan selalu memohon petunjuk Giriya
Air Gajah Bedulu, khusus untuk upacara-upacara yang bersifat sangat besar.
Untuk upacara upakara yang bersifat kecil kebanyakan dipimpin oleh Hulu-agem
yang diangkat oleh penduduk Swatantra, atas persetujuan dari Demung.
Penduduk Swatantra
Di-Campuh kebanyakan yang bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang serta
pengrajin alat-alat rumah tangga, seperti gerabah, alat-alat pertanian dan alat-alat
pertukangan. Mereka menepati rumah-rumah panggung yang berjajar ditepian sungai
dengan masing-masing kepala keluarga dikenal dengan nama Hulu-Bah berkedudukan
paling berpengaruh di dalam satu keluarga besar yang mendiami rumah-rumah
panggung tersebut. Seorang Hulu-Bah membawahi 10 hingga 20 jiwa, terdiri dari
orang tua, paruh baya, remaja dan anak-anak.
Pertanian di
wilayah Swatantra Di-Campuh sudah cukup berkembang dengan adanya pengangkatan
pejabat kepala pengairan yang disebut Makahaser oleh pejabat di Hulu-Taro.
Jabatan Makahaser itu diperkirakan sebagai jabatan Pekaseh atau Sedahan
sekarang. Makahaser bertugas sebagai pengantar penduduk membawa bukti panen ke
petugas kerajaan di Taro. Iring-iringan pejalan kaki yang membawa berbagai
hasil panen dan hasil perternakan dari Swatantra Di-Campuh menyusuri tepian
sungai Wos menuju Taro. Hasil panen itu berupa padi, gaga, trisana atau kelapa,
hano atau enau, tingkir atau kemiri, kapulaga, talas, pipakan atau jahe, bawang
merah bawang putih, pusang atau pinang, hartak atau kacang ijo, kapas dan kapir
atau kapuk.
Sebagian bukti
ini dipikul sebagian lagi dijinjing dan digotong dengan memakai bilah bambu
kecil-kecil dijalin sehingga membentuk seperti tikar yang digulung. Digulungan
bambu bagian atas ditusukkan bambu yang panjang sebagai alat pikul oleh dua
orang lelaki paruh baya yang kekar dan berotot. Wanita-wanita muda yang lincah
menjinjing dan memikul anyaman daun enau yang berbentuk seperti keranjang
tempat membungkus rempah-rempah dan beras. Iring-iringan penduduk penduduk dari
satu swatantra biasanya akan bertemu dengan iring-iringan penduduk swatantra
yang lain sepanjang perjalanan kemudian bergabung membentuk barisan yang
mengekor hingga sampai di Bale Bang.
Prosesi ini
terus berlangsung sebagai bentuk wujud bakti para penghuni swatantra kepada
yang dirajakan, pada akhirnya persembahan atau bukti ini sebagian besar dipakai
sebagai biaya dalam memelihara berbagai prasada atau kahyangan kerajaan.
Sebagian kecil dipakai sebagai gaji para pejabat dan biaya hidup raja serta
para bangsawan. Penduduk Swatantra membagi peruntukan tanah pertanian menjadi 2
janis, yaitu lahan kering dan lahan basah. Banyak istilah yang dipakai untuk
jenis-jenis tanah garapan yang merupakan tanah milik raja, antara lain Mmal
atau Tegal, Huma adalah tanah yang dipakai sebagai tempat menanam padi gaga,
Parlak atau ladang, Sawah, kebuan atau kebun dan Padang yang merupakan areal
luas berupa tegal yang ditumbuhi rumput-rumput.
Pada masa
ini sudah dikenal undagi pengarung yang bertugas untuk membuat trowongan air,
sudah pula dikenal nama Dawuhan atau bendungan, kata Sawah, Tembuku, Makahaser,
Kilan dan Kasuwakan. Oleh para akhli, Kasuwakan inilah yang merupakan cikal
bakal Subak di Bali yang diwarisi hingga sekarang.
Masa Peralihan Majapahit.
Masa
Peralihan ini dimulai saat politik di Jawa demikian panas, kerajaan Majapahit
berkembang dengan sangat pesat. Ratu Tribhuwanottunggadewi Maharajasa
Jayawisnuwardhani yang menjadi ratu dari tahun 1328 hingga tahun 1351. Sebelum
menjadi ratu Majapahit menggantikan Jayanegara, beliau bernama Dyah Gitarja
berkedudukan sebagai Bhre Kahuripan. Berdasarkan kitab Pararaton, Ratu
Tribhuwana memerintah di Majapahit didampingi oleh suaminya yang bernama
Kertawardhana. Gajah Mada yang diangkat sebagai Patih Amangkubhumi di Majapahit
pada tahun 1334 Masehi mendampingi pemerintahan sang Ratu.
Mahapatih
Gajahmada mengucapkan Sumpah Palapa, yang isinya tidak akan menikmati makanan
enak sebelum berhasil menaklukan seluruh kepulauan Nusantara dibawah
panji-panji kebesaran Majapahit. Dalam Lontar Kidung Pamancangah, Ratu
Majapahit mengerahkan kekuatan 30.000 prajurit yang yang dibagi menjadi 2 dalam
menaklukan Bali, setengah menyerang dari utara dipimpin oleh Arya Damar,
sebagian lagi menyerang dari pantai selatan dipimpin oleh Mahapatih Gajamada.
Dalam penyerangan ini turut pula para Arya, tidak diceritakan sepanjang
pertempuran yang berlangsung selama 7 bulan, akhirnya Bali takluk kepada
Majapahit pada tahun 1343 Masehi.
Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog
ditugaskan untuk tinggal di Bali memimpin Bali untuk sementara waktu.
Mpu Jiwaksara ditugaskan di pusat kota sebagai wakil sementara, untuk
tugas ini Sang Mpu diberi gelar Patih Ulung. Akan tetapi Bali belum bisa
ditenangkan, sering terjadi gejolak antara orang Bali dengan para Arya yang
berkuasa. Pemberontakan Ki Tokawa di Ularan,
dan Ki Buwahan di Batur membuat Bali semakin mencekam. Pada tahun 1350 Masehi
Ki Patih Ulung, Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan menghadap ke Majapahit
melaporkan situasi di Bali dan memohon kepada Sang Ratu agar menunjuk seorang
Raja untuk Bali.
Ratu Tribhuwana kemudian menunjuk
Ida Ketut Kresna Kepakisan untuk menjadi Adipati Bali. Beliau merupakan putra
dari penasehat kerajaan Majapahit yang bernama Dang Hyang Soma Kepakisan.
Seorang Brahmana utama yang memahami seluruh isi tattwa agama dan sangat masyur
tentang kebijaksanaannya. Pada masa peralihan, antara tahun tahun 1343 sampai dengan
tahun 1350 Masehi keadaan swatantra menjadi tidak terurus dengan baik, termasuk
Swatantra Di-Campuh. Walaupun penduduk masih menjalankan kegiatan mereka
seperti biasa, bercocok tanam, berternak dan berdagang, tetapi kehidupan mereka
secara pemerintahan tidak teratur. Seperti
anak ayam yang kehilangan induknya, sering juga terjadi berbagai permasalahan
yang tidak bisa diselesaikan dengan baik, sehingga menimbulkan pertentangan
diantara para tetua swatantra. Terutama dalam bidang pembagian air untuk
pertanian tidak jarang menjadi perselisihan berakhir dengan perkelahian
diantara para petani.
Keamanan swatantra juga mulai
terusik dengan mulai munculnya para pencuri dan begal, terutama pada masa-masa
sesudah panen. Para begal seringkali juga melakukan kekerasan bahkan pembunuhan
saat menjalankan aksinya. Para petani tidak tenang meninggalkan rumah dan
keluarganya untuk bertani, pada pedagang enggan berdagang keluar swatantra,
para peternak sibuk menjaga ternak-ternak mereka hingga tidak berani mengembala
ternaknya jauh dari perkampungan.
Selama kurun waktu hampir sepuluh
tahun keadaan seperti itu dialami oleh para penghuni swatantra Di-Campuh.
Hilang senyum dan senda gurau para penduduk, lenyap nyanyian indah romantis
anak-anak yang menginjak usia remaja juga canda tawa bocah dihalaman rumah
tidak pernah terdengar lagi. Yang tersisa hanya wajah-wajah kaku penuh
kekhawatiran, Swatantra menjadi seperti
tempat yang sangat menakutkan
bagi penghuninya sendiri.
Binatang dan
pepohonan juga seperti enggan membagi kebahagiaan dengan para penduduk,
Binatang peliharaan kurus, sakit-sakitan dan banyak yang mati tanpa sebab.
Tanaman penduduk kerdil, mengering dan layu, bunga-bunga layu sebelum berbunga.
Keadaan menjadi semakin menyedihkan. Demikian sisi penggambaran suasana
swatantra Di-Campuh pada masa pertengahan, masa antara kehancuran kerajaan
Bedahulu hingga berdirinya kerajaan Samprangan.
Masa Kekuasaan Samprangan.
Pada suatu
hari yang baik di tahun 1350 Masehi, merapat sebuah kapal besar dari Majapahit
di pantai Lebih, pesisir selatan Bali. Kapal kerajaan ini membawa Sri
Kresna Kepakisan beserta para bangsawan Majapahit dan Kediri yang yang gagah
perkasa dan berilmu sangat tinggi. Sri Kresna Kepakisan diperintahkan sebagai
penguasa tunggal Bali sebagai Adipati. Penduduk Bali mengenal beliau sebagai
Dewa Tegal Besung atau Dewa Wahu Rawuh. Dari Lebih rombongan itu kemudian
menuju arah timur laut dan dengan segera membangun kraton di Samprangan.
Sebagai pendamping beliau dipilih Sri NarArya Kresna Kepakisan berkedudukan
Patih Agung. Ki Patih Ulung diangkat menjadi Mangku Bhumi juga berkedudukan di
Samprangan.
Sri Kresna
Kepakisan memerintah di Bali dengan bekal pakaian kebesaran kerajaan dan
sebilah keris pusaka yang bernama Ki Ganja Dungkul. Beliau mempunyai dua orang
istri, Ni Gusti Ayu Gajah Para dan Ni Gusti Ayu Kutawaringin. Dari istri
pertama beliau mempunyai 4 orang putra-putri, antara lain Dalem Wayan atau
Dalem Samprangan, Dalem Dimadya atau Dalem Tarukan, putri bernama Dewa Ayu Wana
yang meninggal remaja dan Dalem Ketut atau Dalem Ngulesir. Dari istri kedua,
beliau mempunyai putra bernama I Dewa Tegalbesung.
Perubahan
besar terjadi pada masa beliau memerintah, kedudukan dan wewenang para bangsawan
Bali kuno digeser oleh para Arya dari Jawa, baik Arya yang sudah menetap lebih
dahulu maupun Arya yang menyertai beliau datang ke Bali. Sehingga dalam masa
pemerintahan beliau hampir seluruh wilayah Bali sudah ditempatkan para Arya
sebagai petugas kerajaan Samprangan yang sangat setia kepada Sri Kresna Kepakisan sebagai wakil dari
Majapahit di Bali.
Para Arya
itu antara lain: Arya Kenceng
berkedudukan di Tabanan, Arya Kanuruhan di Tangkas, Kyai
Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belog di Kaba Kaba, Arya
Pangalasan, Arya Manguri, Arya Gajah Para dan adiknya Arya
Getas di Toya Anyar, Arya Tumenggung di Petemon, Arya Kutawaringin di Toya Anyar Klungkung, Arya Beleteng di Pacung dan Arya Sentong Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh
di Tamukti, Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang Mataram bertempat tinggal tidak
menetap, Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem. Sementara Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur
di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cagahan.
Demikian banyak jumlah Arya yang
disebar di seluruh Bali untuk mengamankan wilayah-wilayah pegunungan, terutama
wilayah-wilayah yang berjarak jauh dari kotaraja Samprangan. Wilayah Swatantra
Di-Campuh bagian utara berada dalam wilayah kekuasaan Arya Sentong yang
berkedudukan di Pacung, sementara setengah bagian selatan berada dalam wilayah
kekuasaan Kryan Punta di Mambal. Dengan demikian hubungan ke wilayah Taro yang
terbangun dari ikatan pemerintahan Bali Kuno menjadi putus. Sementara rasa
tidak puas penduduk Bali terhadap cara pemerintahan para Arya banyak yang
melakukan pemberontakan yang bersifat kecil, terdiri dari letupan-letupan emosi
penduduk swatantra yang bergabung mengangkat senjata. Gejolak terjadi di Batur,
Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung,
Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas,
Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Pemberontakan yang bersifat
kedaerahan itu berhasil dipadamkan oleh pemerintah, konon setelah memohon
petunjuk ke Majapahit dan Adipati Bali mendapat anugerah berupa simbol-simbol
kerajaan, pakaian kebesaran dan keris pusaka yang bernama Ki Lobar. Raja
merupakan pemegang otoritas politik tertinggi, didampingi oleh dewan penasehat
raja yang bernama Pahem Narendra yang beranggotakan para kerabat raja yang
dinilai sangat ahli dalam berbagai bidang. Dalam bidang keagamaan, raja dibantu
oleh dewan pertimbangan yang bernama Dharma Dhyaksa terdiri dari 3 kelompok
ajaran, Siwa Bodha dan Bhujangga atau Kasaiwan, Kasogatan dan Kabhujanggan.
Dari sinilah muncul istilah Sang Trini yang diakui oleh kerajaan Samprangan
sebagai guru jagat.
Masa
Kekuasaan Gelgel.
Sri Kresna Kepakisan berpulang ke
alam Wisnuloka pada tahun 1373 Masehi, digantikan oleh putranya yang bernama
Dalem Wayan atau Sri Agra Samprangan. Beliau melanjutkan pemerintahan
pendahulunya dengan kraton masih di Samprangan. Karena dianggap tidak cakap
dalam memimpin Bali, beberapa bangsawan kerajaan yang diprakarsai oleh Kyai
Klapodyana kemudian membujuk Dalem Ketut
Ngulesir menjadi raja dengan kraton baru di Gelgel dengan nama kraton Sweca
Lingga Arsa Pura. Setelah abhiseka bergelar Sri Semara Kepakisan. Sebagai patih
agung diangkat Kyai Gusti Arya Petandakan menggantikan ayahnya, Pangeran Nyuhaya
yang sudah mangkat. Sri Semara Kepakisan yang berkuasa mulai dari tahun 1380
hingga tahun 1460 Masehi pernah menyelenggarakan upacara penghormatan terhadap
arwah para raja Bali Kuno di pura Tegeh Kahuripan atau Pura Bukit Penulisan dan
mendirikan Pura Dasar Bhuwana di Gelgel sehingga mampu menarik hati masyarakat
Bali. Beliau juga tercatat sebagai satu-satunya penguasa Bali yang pernah
menghadap ke Majapahit pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk.
Masa keemasan Bali terjadi pada masa
pemerintahan Dalem Waturenggong yang memerintah dari tahun 1460 sampai dengan
1550 Masehi. Bali berdaulat penuh dan menguasai wilayah Pasuruwan, Blambangan,
Lombok dan Sumbawa. Patih Agung Gelgel dijabat oleh Kryan Batanjeruk yang
merupakan putra dari Kyai Petandakan. Kedatangan Dhang Hyang Nirartha sebagai
Bhagawanta Gelgel membuat Bali semakin bersinar. Beliau yang memimpin upacara
Eka Dasa Ludra di Besakih bersama dengan Dang Hyang Astapaka. Dalem
Waturenggong mangkat pada tahun 1552 meninggalkan 2 putra yang masih sangat belia
I Dewa Pamahyun atau Dalem Bekung dan I Dewa Anom Dimade atau Dhalem Sagening.
Dalem Bekung yang masih sangat belia
menjadi pelanjut tahta Gelgel dari tahun 1550 hingga tahun 1580 Masehi. Akan
tetapi urusan pemerintahan dipegang oleh Kryan Batanjeruk beserta
paman-pamanya. Karena keinginannya berkuasa sangat besar Kryan Batanjeruk melakukan
pemberontakan bersama dengan I Dewa Anggungan, I Gusti Tohjiwa dan I Gusti
Pandhe Basa yang merupakan putera dari pangeran Dauh Penulisan. Kyai Kebontubuh
dan Kryan Manginte dari Kapal kemudian berhasil menumpas pemberontakan Kryan
Batanjeruk yang tewas di Bungaya atau Jungutan pada tahun 1556 Masehi, ikut
terbunuh I Gusti Tohjiwa. I Dewa Anggungan diturunkan kebangsawananya,
sementara I Gusti Pandhe Basa tewas kemudian pada pemberontakan berikutnya
yaitu pada tahun 1578 Masehi. Dalem Bekung memutuskan untuk membangun puri dan
menetap di daerah Kapal.
Tahun 1580 Dhalem Sagening diangkat
sebagai raja menggantikan kakaknya. Jabatan patih agung dipegang oleh putra
dari I Gusti Agung Manginte yang bernama I Gusti Agung Widia atau I Gusti Agung
Maruti. Jabatan Demung dipegang oleh I Gusti Di Ler Pranawa. Dalem Sagening
yang memerintah dari tahun 1580 hingga tahun 1665 Masehi mempunyai banyak putra
yang beliau tempatkan diberbagai daerah dengan jabatan Anglurah. Selanjutnya I
Dewa Anom Pemahyun naik tahta menggantikan ayahnya yang mangkat karena usia.
Akan tetapi beliau kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama I Dewa Dimade,
beliau sendiri memilih menyerahkan tahta Gelgel kemudian mengungsi dan berpuri
di Purasi Karangasem. Dari Purasi beliau kemudian menuju Desa Temega bersama
putranya yang bernama I Dewa Anom Pamahyun Dimade.
I Dewa Dimade menjadi raja dengan
waktu yang sangat singkat, akibat digulingkan oleh pemberontakan I Gusti Agung
Maruti yang berhasil menduduki kraton Gelgel. Dalem mengungsi menuju Desa
Guliang Bangli bersama dengan putranya yang bernama I Dewa Jambe. Pengungsian
itu diiringi oleh rakyat sebanyak 300 orang, sementara I Dewa Pamayun sudah
lebih dahulu berpuri di Tampaksiring.
I Gusti Agung Maruti mengangkat diri
menjadi pemimpin di Gelgel dengan masa berkuasa mulai dari tahun 1686 sampai
dengan 1705 Masehi. Para Anglurah yang dulunya berada dalam kekuasaan Gelgel
satu persatu kemudian melepaskan diri dan menyatakan diri berdaulat dan
membangun Kerajaan sendiri di wilayahnya. Selama pemerintahan Maruti muncul
kerajaan-kerajaan baru seperti Mengwi, Gianyar, Klungkung dan Sukawati.
I Gusti Agung Maruti melarikan diri
dari Gelgel setelah diserang oleh pasukan gabungan, Denbukit, Badung dan
Singharsa dibawah pimpinan I Dewa Agung Jambe dan Anglurah Singharsa. Pelarian
Patih Agung menuju Jimbaran, Badung, Kapal dan berakhir di Kuramas atau Keramas
Gianyar. Beberapa sumber sejarah menyebutkan hal yang berbeda tentang pelarian
Patih Agung Gelgel ini. menurut data KITLV, Coll. De Graaf: Tahun 1687 surat
resmi Dewa Agung Klungkung sampai di Batavia yang memperkenalkan diri sebagai
raja baru di Bali, setelah berhasil menumpas pemberontakan I Gusti Agung Maruti
yang dinyatakan tewas oleh Lurah Batu Lepang, yang melarikan diri dari Gelgel
dengan pengiring 1200 orang sementara 4 orang cucu dari Gusti Agung ditahan di
Klungkung.
Pada Masa pemerintahan Gelgel ini
yang berlangsung mulai tahun 1380 sampai dengan 1705 terjadi perubahan yang
sangat besar di daerah-daerah kekuasaan Gelgel. Nama Banua mulai berubah
menjadi Desa yang terdiri dari sub bagian yang lebih kecil dengan nama Banjar.
Eksodus atau perpindahan penduduk selama kurun waktu ini terjadi dalam jumlah
sangat banyak dan bersifat dinamis. Hal ini terjadi akibat dari penggerakan
rakyat yang dilakukan oleh raja, bangsawan atau para pemuka masyarakat yang
membuka wilayah baru untuk perluasan pemukiman. Khusus untuk wilayah desa-desa
Bali Kuno, raja menempatkan satria atau Arya yang mempunyai kemampuan tinggi,
serta yang utama mempunyai kaitan darah dengan para Arya Bali, sehingga
kedatangan mereka bisa diterima sebagai anggota keluarga.
Masa
Kekuasaan Mengwi.
I Dewa Agung Jambe atas restu dari
kakak beliau kemudian membangun kraton di Klungkung dengan nama Kraton
Smarapura yang selesai dibangun pada tahun 1710 Masehi. I Dewa Agung Jambe
berkuasa mulai tahun 1705 sampai tahun 1775 Masehi, mempunyai 3 orang putra:
Dewa Agung Dimade, Dewa Agung Anom Sirikan dan Dewa Agung Ketut Agung. Dewa
Agung Made kemudian menjadi Raja Klungkung II, Dewa Agung Anom Sirikan
mendirikan puri di Timbul, menurunkan generasi Sukawati sementara Dewa Agung
Ketut Agung berpuri di Gelgel sebagai punggawa kerajaan Klungkung. Dihentikan
untuk sementara kisah tentang Kraton Smarapura.
Pada masa ini muncul beberapa kekuatan baru para Arya yang
membentuk Negari kecil atau kerajaan kecil. Akibat dari penguasaan Gusti Agung
terhadap kraton Gelgel. Salah satu Negari yang sangat kuat adalah Mengwi, Raja
pertama Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu dikabarkan mendapatkan anugerah
dari Ida Bhatara yang melinggih di Gunung Mangu dan berbekal banyak pusaka sakti
membawa Mengwi menjadi penguasa wilayah yang sangat luas. Menurut Babad
Kaba-kaba sekitar tahun 1686 Masehi wilayah kekuasaan Mengwi meliputi
Kaba-kaba, Marga batas barat sampai sungai Yeh Panah. Batas Selatan Sampai
Bukit Jimbaran, termasuk Pura Luhur Uluwatu. Batas timur sampai Sungai Petanu,
batas utara sampai Gunung Beratan. Bahkan Mengwi yang beribukota kerajaan bernama
Kawyapura ini juga menguasai wilayah Blambangan di Jawa Timur. Banyak
juga wilayah-wilayah lain di Bali yang menjadi daerah kekuasaan dari kerajaan Mengwi.
Daerah Sayan memasuki babak baru, sebagai wilayah dari kerajaan Mengwi
bagian timur. Pemerintahan Mengwi yang sangat mengandalkan hasil sawah dan
kebun dalam menopang kerajaan, membangun banyak saluran irigasi bagi wilayah-wilayah
yang dikuasai. Banyak Dam atau bendungan yang dibangun dalam usaha
mensejahterakan masyarakat, saluran-saluran irigasi dibangun dan ditata dengan
baik sehingga wilayah-wilayah dalam kekuasaan kerajaan Mengwi memiliki
sawah-sawah dan tegalan yang subur serta menghasilkan bahan pangan sangat
berlimpah. Keseriusan pemerintahan dinasti Mengwi dalam membangun wilayah pertanian
membuat kerajaan ini sangat cepat berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dan
kuat berkisar antara tahun 1736 hingga tahun 1767 Masehi.
Menurut Henk Schulte Nordholt, selain membangun banyak sekali bendungan,
dinasti Mengwi juga menepatkan para Bangsawan Mengwi di daerah-daerah
kekuasaanya seperti yang tampak pada gambar di atas. Mengwi memiliki 3 aliran
sungai besar sebagai pokok irigasi, antara lain Sungai Sungi, Sungai Penet dan
Sungai Ayung. Blahbatuh, Kengetan dan Sayan adalah wilayah bagian paling timur
dari kekuasaan Mengwi.
Tanah pertanian di wilayah sekitar Sayan, Singakerta dan Tebongkang
mengandalkan irigasi dari Dam Sayan yang dibangun pada awal pemerintahan Mengwi
terletak di perbatasan antara desa Kedewatan dan Lungsyakan. Masyarakat sangat
memuliakan air, seperti juga ditulis dalam Canakya Nistisastra yang menyatakan
air termasuk salah satu dari tiga ratna permata di bumi selain makanan dan
kata-kata yang baik. Air sebagai pemberi kehidupan membuat masyarakat harus
mengelolanya dengan baik. Konsep pengelolaan air yang dilakukan di seluruh
wilayah pertanian Mengwi dilaksanakan dengan dua cara, dengan cara sekala dan
niskala. Upaya memelihara air secara sekala dilakukan oleh masyarakat dengan
banyak menanam pohon-pohon besar, membersihkan saluran irigasi dan mengelolanya
dalam sebuah organisasi adat yang disebut dengan Subak. Dalam konsep sekala,
masyarakat berbagai lapisan mempercayai dan meyakini bahwa air merupakan anugerah
Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada umatnya,dianugerahkan untuk modal utama
kehidupan manusia. Anugerah ini kemudian melahirkan rasa terima kasih kepada
Beliau dalam berbagai bentuk.
Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu memerintahkan para
pengikutnya di seluruh wilayah kekuasaan Mengwi untuk membangun banyak pura
khusus yang difungsikan
sebagai tempat memuja Tuhan yang melimpahkan air dan kesuburan. Menurut R
Gorris, setiap wilayah organisasi pengairan yang bersumber langsung atau tak
langsung dari sebuah danau disebut dengan Pura Dugul, dalam wilayah lain
dikenal sebagai Pura Ulun Siwi, untuk pemuliaan disatu buah bendungan dibangun
Pura Empelan dan setiap organisasi Subak selalu dibangun Pura Subak. Pada
awalnya Dam dan bendungan di daerah Sayan dikenal dengan nama Tamwak Sayan atau
Dawuhan Sayan yang dipakai sebagai sumber irigasi dari subak-subak disekitar Sayan.
Hasil bumi yang berkelimpahan itu semakin membuat masyarakat bersemangat dalam
mengerjakan tanahnya yang subur.
Tahun 1708
raja Mengwi yang sebelumnya bernama I Gusti Agung Putu menyadang gelar I Gusti Agung Made Agung Bima Sakti
atau Cokorda Sakti Blambangan
gelar lainnya. Beliau dikenal sangat sakti atau Mangueng dalam Bahasa Bali, sehingga diyakini dari kata Mangueng menjadi Mengwi hingga
sekarang.
Raja Mengwi I Gusti Agung Made Agung Bima Sakti selain ahli dalam berbagai siasat perang dan ilmu
ketata negaraan juga mempunyai kemampuan yang tinggi dalam bidang spiritual,
beliau banyak mendapatkan anugerah pusaka-pusaka bertuah dari hasil semadinya.
Pada hari-hari yang baik beliau selalu bersemadi ke pura-pura tua untuk memohon
petunjuk dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai upaya mnemperbaiki tatanan
pemerintahan kerajaannya. Pada awal bulan Maret tahun 1710 dalam perjalanan
sucinya menuju Keramas beliau beserta purahita dan para pengiring beristirahat
di Puri Bun yang terletak diantara wilayah Sibang Penarungan dan Mambal.
Menjelang sore hari para pemimpin wilayah sekitar Sibang datang untuk menghadap
beliau di Puri Bun. I Gusti Agung Made Agung duduk di atas kursi kayu berukir berbagai patra
berbusana kebesaran berwarna merah muda yang dirajut dengan benang emas
berbentuk ukiran yang indah, kain cepuk sari, bergelang kaki dan tangan yang
kesemuanya terbuat dari mas dihiasi berbagai permata mulia. Tangan kiri sang
raja memegang keris pusaka Mengwi yang dikenal dengan nama Ki Bintang Kukus
juga berbalut emas dan berhias permata utama yang cemerlang.
Di sebelah kiri beliau, juga di atas kursi
kayu berukir patra duduk purohita beliau dari Giriya Denkayu yang bernama Ida
Pedanda Sakti Bukian, berpakaian serba putih dari sutra pilihan berjubah kuning
yang juga dihiasi oleh rajutan benang emas. Dalam usia yang cukup tua masih
nampak gurat-gurat ketampanan beliau dengan wajah sangat tenang meneduhkan,
tongkat panjang terbuat dari kayu areng di ujungnya berhiasan permata besar
dengan hiasan emas disekelilingnya dipegang di tangan kanan.
Dilantai duduk para penghadap beralaskan
tikar, masing-masing menghadap tempat duduk raja dengan posisi duduk hampir
tertekuk memandang tikar. Suasana hening sampai saat masing-masing penghadap
diberikan waktu untuk berbicara. Dimulai dari utusan Desa Mambal, Penarungan,
Sibang, Bongkasa, Sayan, Kengetan dan Blahbatuh. Utusan dari Sayan terdiri dari
3 orang tetua desa yang menghadap dan melaporkan situasi desa Sayan yang sedang
dalam kesulitan. Hasil pertanian menurun jumlahnya karena aliran air dari Dam Sayan
semakin kecil juga karena adanya serangan hama tikus yang menjadi-jadi,
sehingga banyak petani yang mengalami gagal panen.
Berdasarkan petunjuk dari purohita kerajaan,
raja kemudian memerintahkan untuk membangun parahyangan di areal tengah sawah
sebagai tempat memuliakan Ida Bhatari Ulundanu dan Bhatari Sri. Pengerjaan
parahyangan ini agar dilakukan oleh penduduk desa Sayan dibantu oleh penduduk
desa Mambal, Penarungan, Sibang, Bongkasa, Kengetan dan Blahbatuh. Tidak
dikisahkan kelanjutan dari penghadapan para pemimpin desa tersebut. Segera
kemudian dilaksanakan pembangunan parahyangan di tempat yang diperintahkan
raja, segala jenis bentuk dan letak prasada atau palinggih di kahyangan
berdasarkan petunjuk dari purohita Mengwi. Batu padas disusun dengan rapi
membentuk prasada yang mendekati bentuk candi-candi, dipenuhi dengan ornamen
indah serta patung-patung yang melambangkan kemakmuran. Tidak diketahui dengan
pasti berapa lama proses pengerjaan parahyangan yang dilaksanakan oleh gabungan
penduduk desa.
Sebuah catatan Kolonial yang dilaporkan oleh De Graaf Daghregister
tanggal 29 Juli tahun 1710 Gusti Agung dari Mengwi
menghadiri upacara besar berkaitan dengan peresmian sebuah Pura Subak di ujung
timur kekuasaan Mengwi yang terletak tidak jauh kehilir dari Dam Sayan, dipimpin
oleh purohitanya yang bernama Ida Pedanda Bukian. Dari catatan ini bisa
diyakini bahwa pada tanggal tersebut adalah upacara besar pertama yang
dilaksanakan di pura Masceti Sayan. Tidak ada data yang menerangkan seberapa
besar upacara yang dilaksanakan pada saat itu, akan tetapi dengan hadirnya Raja
Mengwi pada prosesi upacara dapatlah ditarik kesimpulan bahwa upacara yang
dilakukan tergolong upacara yang besar.
Setelah upacara besar tersebut berlangsung,
petani desa Sayan dan sekitarnya merasakan hal baik terjadi pada hasil panen
mereka, padi menghasilkan sangat banyak, pisang, kacang-kacangan, sayuran dan
palawija yang lain berlimpah. Seorang pengamat Sosial politik barat yang
bernama Pierre
De Bois menuliskan tentang keberhasilan dinasti Mengwi
membangun sebuah kekuatan besar yang menopang kemegahan kerajaan Mengwi yang
salah satunya dengan membangun kekuatan pertanian yang handal dengan mencetak
sawah-sawah, irigasi dan bendungan. Mengikat kepercayaan masyarakat kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dan sinar sucinya yang bersemayam di pura-pura swagina, diantaranya
Pura Mlanting bagi para pedagang, Pura Segara bagi para nelayan dan Pura
Masceti, subak, Empelan, Dugul dan pura Sang Hyang Tegal bagi para petani basah
dan kering. Semua yang berstana dipura-pura tersebut lebih dikenal dengan
sebutan Dewi atau Dewa yang merupakan putra-putri dari Ida Bhatara yang
berlingga di Besakih, Batur, Mangu, dan Gunung, Bukit lain yang diyakini
sebagai linggih para Dewa.
Karena fungsi pura Masceti sebagai
tempat memuliakan Dewi Kemakmuran dalam setiap upacara piodalannya kemudian
dilaksanakan ritual Ngusaba Tipat atau Perang Tipat. Ritual ini bermakna sebagai wujud rasa syukur para petani terhadap berkah yang telah
dilimpahkan Ida Batara Masceti berupa
kesuburan dan berkah yang melimpah. Nama Masceti menurut
Jero Mangku Pura Masceti Gianyar, terdiri atas dua suku kata, yakni Mas atau sinar dan Ceti yang berarti keluar
masuk, beliau mengartikan sebagai tempat
dimana terjadinya pergerakan sinar berkemilau seperti emas yang kadang nampak
kadang tidak. Dalam naskah babad Raja Purana I
Gusti Agung Maruti, yang tersimpan di Puri Keramas, juga
menceritakan sekilas tentang nama Masceti yang merupakan hasil dari pawisik
Hyang Embang dalam semadinya di Cawu Rangkan atau Jimbaran, disebutkan berasal
dari kata Mas yang artinya sinar kekuningan dan ceti yang berarti kilatan.
Para peneliti aksara kata Jawa Kuno
menemukan dalam buku Kamus Jawa Kuno Karya P.J Zoetmulder dan S.O. Robson, kata
Masceti berasal dari 3 kata yang masing-masing: Mas yang artinya Sinar berkilau
berwarna kuning, Cet yang artinya bergerak sangat cepat dan I sebagai hurup
suci Hyang Widhi. Penggabungan dari ketiga kata itu berarti bebas: sinar suci
Ida Sang Hyang Widhi berkilat berkemilau ditempat yang utama. Sinar berarti
anugerah yang berlimpah, seperti halnya kesuburan yang hanya bisa tercipta oleh
anugerah Beliau. Setiap ahli bahasa Jawa Kuno pasti memiliki definisi
tersendiri yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lainnya. Tetapi hampir
semua sepakat bahwa Pura Masceti adalah pura Swagina yang difungsikan sebagai
tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi beliau sebagai
dewa kesuburan dan kemakmuran.
Masa
Kekuasaan Sukawati dan Ubud.
Pada sekitar tahun 1713 wilayah
sebelah timur Sungai Ayung dipersembahkan oleh Raja Mengwi kepada I Dewa Agung
Klungkung sebagai bukti Mengwi mengakui I Dewa Agung Klungkung sebagai penguasa
Bali. Oleh I Dewa Agung Klungkung wilayah tersebut dianugerahkan kepada putra
beliau yang bernama I Dewa Agung Anom yang kemudian mendirikan Kerajaan
Sukawati dengan nama abhiseka Sri Aji
Maha Sirikan, atau Sri Aji Wijaya Tanu atau dikenal oleh masyarakat sebagai
Dhalem Sukawati. Dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, Sungai Pekerisan
sebagai batas wilayah timur, Pantai Gumicik sebagai batas selatan, Sungai Ayung
sebagai batas barat, dan pegunungan Batur sebagai batas utara, seperti yang
tertuang dalam pustaka Babad Timbul, Babad Durmanggala dan babad-babad yang
lain.
Sayan sebagai wilayah kekuasaan
paling ujung barat dari kerajaan Sukawati yang baru berdiri, tentunya pada
awal-awal perpindahan kuasa masih mempunyai ikatan secara emosional dengan
Mengwi juga desa-desa di tepian barat sungai Ayung. Pertukaran dan eksodus
penduduk masih sering terjadi antara penduduk Mengwi dan Sukawati. Ikatan darah
dari keturunan masing-masing seperti jalinan akar beringin yang saling kait
satu dengan yang lainnya. Banyak juga terjadi perpindahan penduduk yang berasal
dari daerah Bongkasa, Carangsari, Penarungan, Mambal dan Sibang yang kemudian
menetap di wilayah sekitar Kedewatan, Sayan, Singakerta dan Kengetan.
Laporan politik dan budaya J. Moser 1808 banyak
menuliskan tentang berbagai kegiatan politik yang terjadi disekitar wilayah
bekas kekuasaan Mengwi diantaranya adalah wilayah-wilayah perbatasan yang masih
berstatus abu-abu seperti halnya Kedewatan, Sayan dan Kengetan. Terutama sekali
dengan kegiatan-kegiatan ritual yang diadakan, wiku yang menjadi pemimpin
upacara dan undangan yang bersifat sangat khusus menandakan hirarki kekuasaan
secara tak langsung. Pajak dan upeti seperti menjadi bagian yang tidak terlalu
penting bagi penguasa dalam kaitan ikatan ritual dan upacara-upacara keagamaan.
Seperti pada upacara yang diadakan di pura Masceti Sayan pada tanggal 21
Desember 1751, setelah panen besar yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan
sangat megah. Utusan Dewa Gde Mayun dari Puri Sukawati menjadi tamu kehormatan
dan mendapatkan tempat duduk yang setara dengan wiku pemuput yang saat itu
dipercayakan kepada Ida Pedanda Mambal.
Masa-masa panen raya dinikmati oleh masyarakat Desa Sayan dan sekitarnya
hingga pertengahan abad ke 18. Gejolak politik yang terjadi pada pemerintahan
atas tanah dan wilayah desa rupanya tidak terlalu berpengaruh terhadap
kehidupan para petani kering dan basah di Desa Sayan, Tebongkang dan Singakerta.
Mereka tetap pada usaha meningkatkan hasil panen dengan cara-cara tradisional
baik secara sekala maupun niskala, upacara-upacara berkala selalu dilaksanakan
dengan mengedepankan gotong-royong. Pemeliharaan terhadap tanggul atau
bendungan juga saluran irigasi diatur dengan sangat rapi dalam organisasi subak
di masing-masing desa. Suasana ini dirasakan mulai memudar pada paruh tengah
abad ke 18 dengan Gagal panen yang terjadi akibat serangan hama tikus pada
tahun 1862, setahun kemudian penyakit kolera dan cacar menyerang desa. Wabah
kekurangan pangan dialami oleh masyarakat desa akibat gagal panen di tahun 1868
menyebabkan ratusan orang meninggal.
Wabah Kolera dan Cacar menyerang
sebagian besar desa-desa di Bali hingga tahun 1885 menewaskan ribuan penduduk
yang terjangkit. Laporan Politik Van Eck dan Van Vlijmen menuliskan semua
tentang wabah mengerikan seperti hantu yang menyerang desa-desa tua di Bali,
terutama wilayah Bali Tengah dan Bali pesisir. Belum lagi dengan terjadinya
gempa bumi pada tahun 1888 yang mengguncang Bali membuat penderitaan masyarakat
Bali pada tahap yang sangat memprihatinkan. Catatan penulis Belanda yang
bernama A.M. Hocart menggambarkan situasi genting yang terjadi di wilayah ini
sudah menepatkan keberadaan pura-pura tua dan Dam atau bendungan menjadi sangat
penting dalam sisitem sosial untuk mencari kesejahteraan masyarakat.
Ubud menjadi sebuah wilayah yang
berkembang dengan sangat pesat dimulai pada paruh tahun 1886, dibawah
kepemimpinan Tjokorda Gde Sukawati yang
mempunyai pertalian saudara dengan Puri Tegallalang dan Puri Peliatan, seperti
laporan Residen ke Batavia tanggal 23 Januari 1889. Pada bulan Mei 1891 Ubud
dibantu laskar Mengwi menyerang dan menaklukan Negara, Puri Negara dibumi
hanguskan rata dengan dengan tanah, hal ini membuat wilayah-wilayah Negara
mengakui kekuasaan Ubud. Setahun kemudian beliau tercatat menjadi tamu kehormatan pada upacara besar yang diadakan
di Pura Masceti Sayan oleh masyarakat subak dan desa-desa sekitar Sayan. Laporan Controleur J.H.
Liefrinck tanggal 25-5-1893, laporan Residen bulan Desember 1896, laporan
Contoleur J.C Van Erde tanggal 1-6-1897 masing
masing menggambarkan penguasa Ubud terus memperluas
wilayahnya ketenaran Cokorda Gde Sukawati telah menyebar jauh dan luas, beliau
selalu menemani pasukannya dalam setiap pertempuran, beliau menggunakan mahkota
dari emas bertahtakan mutiara, seringkali beliau menghabiskan malamnya di pura-pura, sehingga dipastikan
kemuliaan beliau berasal dari kesucian pikiran dan hatinya, banyak keris pusaka
beliau dapatkan di berbagai pura tua di Bali, sehingga beliau seperti mendapat
restu dari Dewa untuk memimpin pertempuran.
Babad Mengwi Lambing dan laporan politik Controleur J.P Van Eerde, tanggal
13 Desember 1896 mencatat
pada tahun 1892 dua orang bangsawan yang sangat berpengaruh di Mengwi, yaitu
Anak Agung Kerug dan Anak Agung Pekel melarikan diri dari Mengwi dan meminta
suaka di Ubud mengikuti pelarian putra mahkota Mengwi yang bernama Anak Agung
Gde Agung. Pelarian ini membawa tidak kurang dari 6000 pengiring setia. Para
pengikut setia inilah yang menepati daerah-daerah perbatasan Ubud dengan
membangun pemukiman dari utara ke selatan sepanjang sungai Ayung, mereka
dilengkapi dengan senjata-senjata bertuah dan bedil-bedil sehingga fungsinya
lebih mendekati Benteng pertahanan dari pada pemukiman penduduk. Para Ksatria
Mengwi tersebut kemudian ditempatkan di Puri Kelodan yang khusus dibangun pada
tahun 1892. Ubud juga mendirikan Giriya khusus bagi pendeta Mengwi yang ikut
mengungsi ke Ubud, dinamakan Giriya Pamaron. Tahun 1893 setelah Puri Carangsari
dan Petang melepaskan diri dari Bangli dan bergabung dengan Ubud, seluruh
wilayah timur laut bekas kekuasaan Mengwi menjadi wilayah kekuasaan Tjokorda
Gde Sukawati mengikuti wilayah Bunutan, Kedewatan, Sayan dan Kengetan seperti
laporan politik Controleur
J.H. Liefrinck tanggal
25 Mei 1893.
Tjokorda Gde Sukawati, penguasa Ubud mendapat kemasyuran dengan mengembangkan wilayahnya
dari 40 desa menjadi 130 desa dan bersama-sama sekutunya berhasil memobilisasi
18.000 pengikut, dengan menguasai sebagian bekas kekuasaan Mengwi dan beberapa
bagian daerah Gianyar pada awal tahun 1896, tertuang dalam laporan politik Controleur J.C. van Eerde
tanggal 13-12-1896.
Masa
Peralihan Kekuasaan Belanda-Jepang.
Peran Kekuasaan Belanda sangat kuat
di daerah Bali dengan diangkatnya Van Heutsz sebagai Residen Bali Lombok pada
tahun 1905 yang kemudian membuat kebijakan di tahun 1909 yang membagi wilayah
Bali Selatan menjadi
Divisi Administratif dibawah seorang Asisten Residen dan terdiri dari 6 sub
wilayah, Karangasem, Bangli, Gianyar, Klungkung, Badung dan Tabanan,
masing-masing dengan satu Controleur. Masing-masing daerah dipimpin oleh
seorang Punggawa. Bali selatan berada dalam wilayah kekuasaan Residen Bali dan
Lombok yang berdomisili tetap di Singaraja tertuang dalam laporan Residen G.F. de Bruyn
Kops tahun 1909. Tahun 1914 Belanda membangun empat Dam beton dibekas
Dam tradisional masyarakat sepanjang sungai Ayung yang berkapasitas mengairi
12.763 hektar sawah. Untuk membuat Dam Oongan, Peraupan, Mambal dan Kedewatan
ini Belanda menginvestasikan Dfl (Florin) Gulden 633.000 seperti yang tertulis
dalam laporan nota Van
Toelichting Badung H.J. Hoekstra tahun
1938.
Salah satu Dam inilah kemudian yang menjadi sumber dari pengairan
subak-subak yang terletak didesa sekitar Sayan hingga kini. Dengan mulainya
abad ke 19 terjadi masa peralihan, desa-desa tradisional yang sebelumnya tidak
tersentuh oleh modernisasi mulai terambah. Perdagangan-perdagangan hasil panen
meluas hingga keluar pulai, terutama hasil sawah dan kebun, seiring dengan
berkembangnya pelabuhan di utara Bali sebagai pintu masuk dan keluar
barang-barang dari Bali. Pura Masceti Sayan yang dibangun pada awal-awal
pemerintahan raja Mengwi sudah pula mengalami berbagai pemugaran pada palinggih-palinggihnya
dilanjutkan dengan upacara-upacara yang bersifat besar maupun kecil. Hal ini
yang diyakini sebagai pondasi kesuburan tanah sawah dan kebun disekitarnya
menjadikan penduduk tidak kekurangan bahan pangan, berbeda dengan daerah-daerah
lainnya yang mulai dilanda krisis bahan pangan, bahkan desa yang mempunyai tekstur
tanah agak kering sudah terkena wabah kelaparan.
Sebuah catatan kuno yang ditulis
oleh H.U. van Stenis mengungkapkan tentang gempa dahsyat yang melanda Bali
Selatan pada tanggal 21 Januari 1917, walaupun berlangsung kurang dari lima
puluh detik, tetapi cukup mengakibatkan kehancuran rumah-rumah, pura, puri tak
terhitung jumlahnya, banyak jalan, bendungan yang jebol. Gempa yang menelan
korban mencapai lebih dari 1.350 orang ini juga merobohkan dan menghancurkan
pura-pura di Desa Sayan dan sekitarnya juga mengakibatkan kerusakan parah pada
bendungan Kedewatan atau Dam Sayan yang diperbaiki oleh Belanda sebelumnya.
Pura Masceti Sayan yang menjadi salah satu dari sekian banyak pura yang rusak,
mengalami kehancuran yang parah. Palinggih-palinggih yang berbentuk bebaturan
roboh hampir rata dengan tanah, tembok penyengker pura seperti hilang dari muka
bumi, candi disemua mandala sudah tidak berbentuk lagi, patung dan stupa
berserakan. Tidak dapat digambarkan kerusakan yang terjadi pada pura Masceti
saat itu.
Ida Pedanda Ngurah Blayu juga
mengisahkan kehancuran wilayah Bali Selatan, seperti yang tertuang dalam sastra
Bhuwana Winasa yang beliau tulis pada tahun 1918, dimana beberapa bagiannya
memuat tentang diserangnya sawah-sawah penduduk oleh hama tikus dan peperangan
dikalangan orang-orang bersaudara dan menghancurkan Negara Bali disebabkan
karena masyarakat Bali tidak lagi mengidahkan upacara di Pura Besakih.
Tahun-tahun selanjutnya Bali Tengah benar-benar berada dalam situasi yang
sangat sulit, wabah penyakit silih berganti menyerang penduduk, hama tikus
menyebabkan gagal panen membuat masyarakat harus benar-benar hidup dengan
sangat seadanya untuk menyesuaikan diri. Controleur Gianyar H.K. Yakobs
menuliskan dalam buku laporanya bahwa masyarakat miskin dengan cepat bertambah
di desa-desa yang sebelumnya hidup berkelimpahan. Pada Tahun 1930 wabah
kekurangan pangan menyebar dengan lebih cepat sehingga banyak yang sampai
meninggal akibat kelaparan. Nilai mata uang Belanda (1 rix-dolar) pada tahun
1931 mencapai 1.375 kepeng sampai dengan 1.785 kepeng Bali. Puncak dari krisis
yang dialami Bali adalah tahun 1934 nilai tukar 1 rix-dolar mencapai angka
2.300 kepeng uang Bali.
Bali menjadi wilayah administratif
kolonial Belanda pada tahun 1909, Kerajaan-kerajaan Bali Selatan yang yang
dahulunya sangat jaya, berubah nama menjadi 6 sub wilayah, Gianyar, Badung,
Tabanan, Karangasem, Bangli dan Klungkung. Masing-masing wilayah dipimpin oleh
seorang Punggawa dengan seorang Controleur yang bertanggung jawab kepada
Asisten Residen, mewakili kekuasaan Residen Bali dan Lombok yang berdomisili
tetap di Singaraja seperti yang dilaporkan dalam nota politik Residen G.F. de
Bruyn Kops tahun 1909.
Ketegangan politik antara Jepang dan Sekutu di Asia Tenggara mulai
terjadi pada tahun 1941, Jepang mulai sedikit demi sedikit menguasai pasar di
Bali, Toko-toko kelontong Jepang tumbuh bagai jamur di musim hujan, sangat
laris karena barang-barangnya jauh lebih murah dari barang-barang Eropa.
Tanggal 8 Desember 1941 meletus perang Pasifik, tentara Jepang menghancurkan
pangkalan udara Pearl Harbour di kepulauan Hawai. Belanda dan sekutunya
menyatakan perang melawan Jepan, Bali yang merupakan bagian dari wilayah
kekuasaan Hindia Belanda tentunya juga terimbas oleh peraturan-peraturan
keadaan darurat perang. Masyarakat Bali masih seperti biasa melaksanakan
kegiatan sehari-harinya, diakibatkan sedikit sekali media yang menerangkan
tentang peperangan yang sedang berkecamuk antara Jepang dan Sekutu. Perang
Pasifik mungkin hanya didengar oleh golongan-golongan intelektual dan keluarga
para raja saja, sehingga tidak terlalu merisaukan masyarakat secara luas.
Bagian pasukan Kononklijk Nederlands Indisch Leger atau KNIL yang
dibentuk di Bali dengan nama Prayoga yang terdiri dari 1000 orang direkrut dari
pemuda-pemuda Bali yang cakap disebarkan di 4 tangsi : Buleleng, Karangasem,
Badung dan Gianyar. Mereka yang ditugaskan untuk mempertahankan Bali dari
serangan Jepang oleh Angkatan Darat Kerajaan Belanda dibantu oleh seluruh
rakyat Bali. Tanggal 18 Februari 1942 Tentara Jepang mendarat di Sanur dengan
jumlah yang sangat besar, setelah mengebom lapangan udara di Tuban terlebih
dahulu. Tentara KNIL semua meninggalkan posnya masing-masing dengan ketakutan,
sehingga dengan cepat Jepang berhasil menguasai Denpasar dan mengakhiri
kekuasaan Belanda di Bali. Suasana kondusif masih terasa di wilayah swapraja
Gianyar, penduduk seakan acuh tak acuh dengan perkembangan politik saat itu,
mereka melakukan kegiatan kehidupannya dengan normal. Tanggal 8 Maret 1942,
Stasiun pemancar radio resmi Belanda, Nirom menyiarkan bahwa pemerintah Hindia
Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada Jepang sekaligus mengakhiri Pasifik
dan masa kekuasaan Belanda terhadap Bali. Pura Masceti yang sebelumnya
mengalami kerusakan akibat gempa tidak bisa dipugar sebagaimana mestinya,
karena situasi politik swapraja Gianyar yang tidak kondusif. Masih banyak
bangunan palinggih yang rusak hingga ditumbuhi rumput liar dan tanaman menjalar.
Penduduk masih bingung dengan apa yang harus mereka lakukan berkaitan dengan
pura-pura yang ada di wilayahnya. Situasi ini dipengaruhi oleh
terkonsentrasinya para pemimpin swapraja dalam peralihan kekuasaan antara
Hindia Belanda kepada Jepang. Para Punggawa dan Sedahan yang biasanya secara
langsung memberi perintah untuk melakukan perbaikan pura, jalan atau bendungan
tidak berani mengambil keputusan yang tegas, masih menunggu siatuasi politik menjadi
tenang.
Pemerintah militer Jepang mengakui kerajaan-kerajaan di Bali dengan
membentuk badan Panitia kerajaan terdiri dari Punggawa, Sedahan Agung dan
seorang wakil dari Raja yang digaji oleh pemerintah Jepang. Jepang menepatkan
seorang wakilnya di masing-masing swapraja dengan nama Syutjo yang bertugas
mengamati perkembangan di masing masing swapraja. Syutjo ini menggantikan
kedudukan para Controleur pada jaman Hindia Belanda, menjadi pejabat setingkat
Bupati. Jepang memulai pemerintahan tangan besinya di Bali dengan menebar
Polisi Militer yang diberi nama Kempetai yang bertindak aktif tanpa pandang
bulu. Selama pemerintahan Militer Jepang, keadaan Masyarakat Bali yang sudah
sulit, menjadi semakin sulit, banyak tentara yang sewenang-wenang terhadap
rakyat kecil, merampas, menyiksa dan menangkap masyarakat yang dianggap melawan
Jepang. Perhatian terhadap pasilitas umum seperti bendungan, jalan, pasar dan
pura sangat minim. Bendungan banyak yang jebol, jalan rusak, pasar sepi tidak
terurus dan pura-pura terbengkelai. Hal ini juga berlangsung setelah
kemerdekaan dan tahun-tahun awal pemerintahan Republik Indonesia.
Masa Kemerdekaan dan Kekinian
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Bali yang merupakan bagian dari
Republik Indonesia masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan
diri sebagai daerah yang merdeka. Banyak pemeberontakan-pemberontakan yang
dialami Indonesia, juga gerakan-gerakan pengacau keamanan Republik juga sangat
berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Masyarakat Bali yang tersebar di seluruh
pulau tidak merasa tenang dalam melaksanakan kewajiban hidupnya, juga campur
tangan Belanda masih dirasakan oleh masyarakat Bali. Tanggal 7 sampai dengan 24
Desember 1946 dilaksanakan Konferensi Denpasar di pendopo Bali Hotel dibuka
oleh Hubertus Johannes van Mook bertujuan membentuk Negara Indonesia Timur
dengan ibukota Makasar. Susunan pemerintahan Bali dikembalikan seperti pada
jaman raja-raja dulu, pemerintahan dipimpin oleh Raja dibantu Patih, Punggawa,
Prebekel dan pemerintahan paling bawah diatur oleh Kelian. Di atas pemerintahan
raja ada dibentuk juga Dewan Raja-Raja. Dalam kurun waktu tersebut Pura Masceti
Sayan masih tetap berfungsi sebagai tempat berkumpul anggota Subak saat
melakukan pertemuan atau membangun upacara upakara. Bagi masyarakat pengemong
pura, hanya di pura sajalah tempat yang damai tanpa pertentangan.
Jajar Kemiri Palinggih Pura Masceti
Simbol-simbol Ida Sang Hyang Widhi di Pura Masceti memberikan kekuatan
dan ketenangan bagi masyarakat Pangempon, sehingga mereka lebih mempercayakan
nasib dan peruntungannya pada jaman bergolak itu kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Penduduk melaksanakan kewajibannya di Pura Masceti Sayan dengan cara-cara
swadaya, dimulai dari pemugaran Pura, pemeliharaan saluran irigasi dan upacara
dilaksanakan secara rutin, walaupun tidak secara besar-besaran. Warga Subak
bahu membahu membangun dan menata pura yang sudah lama dilindas oleh jaman yang
penuh hiruk pikuk perubahan kekuasaan dan politik.
Setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia lewat berbagai diplomasi
dengan Belanda, Bali menjadi provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur,
dimulai dari Anak Agung Bagus Sutedja (1950-1958), I Gusti Bagus Oka
(1958-1959), Anak Agung Bagus Sutedja (1959-1965), I Gusti Putu Mertha
(1965-1967), Soekarmen (1967-1978), Ida Bagus Mantra (1978-1988), Ida Bagus Oka
(1988-1998), Dewa Made Beratha (1998-2008) dan I Made Mangku Pastika (2008-
sekarang).
Candi
Kurung Pura Masceti Sayan
Pura Masceti Sayan
diyakini sudah mulai ada pada lintas kedatangan Maha Rsi Markandhya, walaupun
belum bernama seperti sekarang dan kemungkinan besar menjadi wilayah yang
disakralkan oleh penduduk Aga dengan bangunan palinggih yang sangat sederhana
yang berbentuk Mretiwi atau prasada. Dalam perkembangan selanjutnya
dilakukan pemugaran-pemugaran yang
disesuaikan dengan jaman pada saat pemugaranya. Pura Swagina yang dibangun di tengah-tengah wilayah
persawahan ini terletak di Desa Pakraman Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar,
Provinsi Bali.
bresambung