Rabu, 18 November 2015

Selayang Pandang Pura Taman Sari Payangan.



Selayang Pandang
Pura Taman Sari
Desa Pakraman Payangan Desa

Bab I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama atau permakluman kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, maka wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.


I.1. Mitologi terbentuknya jagad raya
Di dalam sebuah kitab tua berjudul Babad Pasek, ada disebutkan cerita tentang Nusa Bali pada jaman alam masih kosong. Dikisahkan Ketika alam masih kosong, ketika belum ada matahari, bulan bintang dan planet-planet, yang ada hanya Sang Hyang Embang yang maha tunggal, Beliau maha besar sehingga memenuhi alam raya, akan tetapi Beliau juga sangat kecil. Pada masa itu segala sesuatu masih bersifat sempurna dan suci, karena tidak ada apa-apa selain Beliau yang Maha sempurna. Saat tercipta Sang Hyang Licin yang juga disebut Sang Hyang Eka Aksara, yakni Ong Kara. Lewat semadi maha tinggi Sang Hyang Ong Kara, terciptalah Sang Hyang Purusa dan Predana, juga disebut dengan nama Sang Hyang Akasa dan Pritiwi, dikenal dengan sebutan Rwa Bhineda dan dalam aksara disebut dengan Sang Hyang Dwi Aksara, Ang dan Ah.
Setelah Sang Hyang Purusa Predana membangun tapa semadi, terciptalah Sang Hyang Tri Purusa, yang terdiri dari Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa, dalam wujud aksara Ang Ung Mang. Ketiga aksara ini dikenal dengan nama Sang Hyang Tri Aksara, juga sebagai lambang dari Sang Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara. Sang Hyang Tri Purusa beryoga, menciptakan alam dengan segala isinya, memelihara dan mengembalikannya ke asal atau memprelina. Setelah terciptanya jagat raya, beliau kembali mencipta sepasang benih laki-laki dan perempuan yang dikenal dengan Ardha Nare Swari, setelah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam buah kelapa, disucikan dengan mantra utama sehingga berwujud seperti seorang pertapa di lereng gunung Agung. Disanalah mereka kemudian melakukan tapa dengan menuja Bhatara Hyang Pasupati agar berkenan turun ke pulau Bali untuk menjadi junjungan dan pujaan di pulau Bali.
Dikisahkan saat Bali dan Lombok masih sunyi senyap, kedua pulau ini seakan-akan mengambang di tengah lautan, laksana perahu tanpa pengemudi, oleng kesana kemari tidak tentu arahnya, bergoyang dan kadang-kadang rapat menjadi satu. Keadaan pulau itu membuat Sang Hyang Pasupati merasa sangat kasihan. Awalnya di Bali hanya ada empat buah gunung, diantaranya, gunung Lempuyang di wilayah timur, Gunung Andakasa di sebelah selatan, gunung Batukaru diwilayah barat dan gunung Beratan di sebelah utara. Untuk menenangkan pulau Bali, Bhatara Pasupati kemudian memotong puncak gunung Semeru di Jawa Timur dengan kesaktian Beliau. Potongan puncak Gunung Semeru itulah yang kemudian ditancapkan di Bali dan Lombok. Saat membawa potongan gunung Semeru, banyak bagian-bagiannya yang tercecer, bagian kecil dari potongan itu kemudian menjadi gunung Lebah, sedang bagian yang besar menjadi gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di karangasem. Dengan adanya tambahan dua gunung itu pulau Bali dan Lombok menjadi tidak oleng lagi. Menyusul kemudian turunnya para putra dari Hyang Pasupati ke pulau Bali, melakukan tapa dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci. Beliau kemudian dikenal dengan nama Hyang Sapta Bhatara.
I.2.Perjalanan Maha Rsi Markandhya
Berdasar tinjauan sejarah, sekitar tahun 500 Masehi rombongan pengungsi asal India tiba di wilayah Sumatra Utara yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil seperti Kandhari, Pali, Malayu-Shriboja dan lainnya. Antara tahun 682-686 Masehi Dapunta Hyang Shri Jayanaga melakukan penyerangan ke beberapa wilayah, dari Malayu Shriboja ke selatan dan di bagian utara wilayah Sumatra. Termasuk kerajaan Kandhari dan kerajaan Pali kemudian berhasil dikuasainya. Ini menjadikan para bangsawan dan Rsi dari kerajaan Pali dari keturunan India menyingkir ke arah timur dengan perahu hingga mendarat di Nusa Goh, Pulau Sapi. Disini mereka kemudian mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil. Nama kerajaannya sama dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang beragama Budha. Lama-kelamaan menjadi kerajaan Bali dalam tahun 683 Masehi. Pernyataan pustaka ini bisa dicocokkan dengan penelitian R. Goris. Pada tahun 732 Masehi prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram, Shri Maharaja Sanjaya secara resmi menjadi raja Pulau Jawa tidak termasuk tanah Sunda. Walaupun sebelumnya Sanjaya adalah pewaris kerajaan Sunda dari istri pertamanya dan sekaligus pewaris kerajaan Galuh Tasikmalaya dari ayahnya yang bernama Sanna, Sena, Brata Senawa. Setelah Sanjaya berhasil mengalahkan pamannya yang bernama Purbasora yang sebelumnya Purbasora  menguasai tahta Sanna dengan pemberontakan berdarah. Tahun 730 Masehi,  Raja Sanjaya berhasil menaklukkan Shriwijaya, Ligor Thailand, Hujung Medini Malaysia Barat.
Dan Raja Sanjaya pula yang berhasil mengHindukan kerajaan Bali di tahun 730 Masehi. Sang Raja Sanjaya dalam pemerintahannya gemar memelopori dan membudayakan serta mengembangkan ajaran agama Hindu dalam bentuk bangunan linggayoni. Termasuk prasasti Canggal yang didirikannya. Rsi Markandhya yang merupakan Purohita atau Pendeta Kerajaan Sanjaya. pada tahun 730 Masehi tercatat pergi ke arah timur untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari pasraman Gunung Wukir atau Demalung tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga Banyuwangi kemudian berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang. Dikisahkan  dalam Lontar Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang istri, berputra dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya, berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, yang berbunyi :
Sang Ayati mwang Sang Niata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama…….”
Sang Ayati melanjutkan jejak leluhurnya menjadi seorang pertapa, beliau berputra, Sang Prana.  Demikian pula adiknya, yang bernama Sang Niata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristrikan Dewi Manaswini, berputra Maharsi Markandhya. Selanjutnya Maharsi Markandhya, beristrikan Dewi Dumara. menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristrikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam pustaka kuno Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, tentang asal-usul Maharsi Markandhya. Salah seorang murid Maharsi Agastya yang bernama Sang Ila putra dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan tapa samadhi di  Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut  Pegunungan Dieng, seperti halnya Maharsi Markandhya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau Dieng, di Wukir Damalung, Jawa Dwipa Mandala.
Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali, mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya atau pemimpin-pemimpin mereka masing-masing. Kelompok-kelompok ini nantinya yang menjadi cikal bakal desa-desa di Bali, Mereka adalah Orang Bali Mula, dan kemudian mereka lebih dikenal dengan nama Pasek Bali. Ketika itu, orang-orang Bali Mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan Para Rsi dari luar pulau ke Bali. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Menurut Lontar Bali Tattwa, Untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, kemudian datanglah seorang  Maha Rsi ke Bali, beliau bernama Maharsi Markandhya.
Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah 800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandhya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung atau Gunung Tolangkir, untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang mangkat diterkam binatang buas seperti mranggi atau harimau, singa, dan ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maha Rsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sekitar 200 orang saja, yang kemudian mendiami wilayah-wilayah di sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro.
Melihat keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandhya memutuskan untuk kembali ke Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang  sudah menimpa murid-murid beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung. Maha Rsi Markandhya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari tapa semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara dan tidak menanam Panca Datu.
Setelah mendapatkan petunjuk dari Hyang Jagatnatha, Maharsi Markandhya kembali datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Pengiring yang berjumlah 400 orang ini semuanya membawa sekta atau paksa agama masing-masing, yang dianut oleh mereka sejak dari tanah Hindu, Bhatarawarsa - India. Jenisnya ada enam sekta paksa, seperti yang dikemukakan dalam Lontar Sadagama di Bali. Masing-masing rinciannya adalah: Sambhu Paksa, Brahma Paksa, Indra Paksa, Kala Paksa, Bayu Paksa dan Wisnu Paksa. Sebenarnya dalam penjelasan seperti yang dikemukakan dalam Lontar Markandhya Purana itu, hanya ada perbedaan pelaksanaan tata upacara saja diantara keenam Paksa diatas, tetapi filsafat dasarnya tidak ada yang berbeda.
Gambar Pura Agung Besakih
Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandhya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Maharsi Markandhya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Maharsi Markandhya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci dan dikemudian hari nama Wali lebih dikenal dengan nama Bali, yang berarti dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci.
Lokasi pura Besakih merupakan tempat yajnya dimana Rsi Markandhya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi.  Tujuan penanaman Panca Datu adalah permohonan keselamatan untuk Sang Maha Rsi dan para pengikutnya. Lama-kelamaan komplek pura Basukian dikenal dengan nama Pura Besakih.
Setelah beberapa tahun lamanya beliau dan para pengikutnya melakukan perabasan hutan di lereng Gunung Agung akhirnya beliau melanjutkan perabasan hutan menuju arah barat, sampai di suatu daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya kembali merabas hutan.

Gambar Pura Gunung Raung di Taro.
Wilayah yang datar dan luas itu kemudian  dinamakan Puwakan, dari kata Puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak. Di sebuah Sloka dalam Prasasti Pandak Badung – Tabanan, dari hasil penelitian Persubakan di Bali tahun 1975, diterangkan bahwa Subak berasal dari kata Kaswakan di daerah Tabanan dan Badung kata Subak berasal dari kata Seuwak yang artinya Hal yang di bagi dengan adil. Di Puwakan beliau bersama para pengikutnya menanam berbagai jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Hyang Jagatnatha lewat perantara Sang Maha Rsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu atau taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari. Di wilayah ini Maharsi Markandhya kemudian mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasraman beliau di Gunung Raung. Pura ini dinamakan  pula Pura Gunung Raung. Ada beberapa bait dalam lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya termuat sebagai berikut :
“…..wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaranan lemah Sarwada. Sarwada ngaran, salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markandhya, ajnana ngaran kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro ………….dan seterusnya”

Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandhya Purana ada dijelaskan dalam slokanya, antara lain:
“Saprapta ira sang Yoghi Markandhya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandhya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar  aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandhya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,”

Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan oleh I Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, antara lain: kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali dengan mengikut sertakan ratusan orang dari Desa  Aga, Jawa.
Gambar Pura Puseh di Desa Taro
Orang Aga ini dikenal sebagai petani yang kuat hidup di hutan belantara. Maharsi Markandhya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja.
Berikutnya ada pula Pura Pucak Cabang Dehet. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura Pucak Cabang Dahat dibangun sebagai tanda pertama kali Maha Rsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung.
 Gambar Keadaan Pura Mretiwi di Cabaang Dehet
Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah  di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar. Dalam lontar Bhuwana Tattwa Rsi Markandhya dijabarkan, antara lain :
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandhya kemudian bersemadi. Dalam semadinya beliau menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandhya melakukan yoga semadi.

Di tempat yang bersinar dalam yoganya itulah kemudian beliau dan para pengikutnya membangun pura yang diberi nama Pura Pucak Payogan.
Menurut lontar Widhi Sastra Roga Sanggara Bhumi milik Giriya Giri Jati Soetha
Gambar Pura Gunung Lebah, Campuan Ubud.
Sentana, Bukit Bangli, yang berparahyangan di Pura Pucak Payogan adalah Ida Bhatara Luhuring Akasa  atau Sang Dewa Rsi.
Arah tenggara Pura Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandhya mendirikan pura yang diberi nama Pura Gunung Lebah, Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala. Dalam Bhuwana Tattwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan di bait slokanya antara lain berbunyi:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira Rsi Markandhya iniring para sisyan ira……
Hermawan Kertajaya dalam bukunya, yang berjudul : Ubud The Spirit of Bali, menyebutkan bahwa setelah menetap beberapa lama di Besakih, Rsi Markandhya kemudian melanjutkan perjalanan ke arah perbukitan di sebelah barat, Karena saat itu belum ada jalan, beliau dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Aga menyusuri aliran sungai untuk bermeditasi.
Di aliran sungai dimana Sang Rsi sering bersuci dan menyatakan bahwa air sungai tersebut memiliki kekuatan penyembuhan. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Wos, kependekan dan kata Wosada, bahasa Sanskerta yang beranti Sehat. Dalam perkembangannya, kata Wosada kemudian di adaptasi menjadi kata Ubad, dalam
Pura Pucak Payogan
bahasa Bali atau Ubud yang berarti obat. Di pertemuan kedua aliran sungai itu  Maha Rsi Markandhya bersama pengikutnya kemudian mendirikan Pura Gunung Lebah sebagai tempat pemujaan.
Menurut ulasan beberapa pinisepuh Ubud, Cikal bakal nama Ubud berasal dari kata U, yang berarti ulah berkonotasi dengan kata Sila, Solah atau Prawerti. Kata Bud, Bu mempunyai arti Bhudi, Dha, Dharma, apabila artinya dijabarkan menjadi : pandai membawa diri mampu berprilaku sesuai dengan tingkatan tata lungguh. Hal itu sebagai tonggak dasar menegakkan Dharma di dunia sehingga bisa mendapatkan Bhudi, Satya, Sadhu, Dharma, terpakai kemudian sebagai obat, Ubad kemelaratan dunia  atau Papa Neraka.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan atau Payangan, sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci yang diberi nama Pura Murwa atau Purwa Bhumi. Yang bisa diartikan bebas sebagai Parhyangan yang sudah dibangun sejak dahulu kala. Nama daerah tersebut dikenal dengan nama Pangaji yang arti bebasnya: tempat melakukan atau mebicarakan segala jenis ilmu pengetahuan, agama, ekonomi, pertanian, dan ilmu-ilmu sosial lainya atau Pangajian.
Sedangkan asal kata Payangan dipercaya berasal dari kata Parhyangan yang berarti tempat tinggal para leluhur (Hyang), jadi kalau di jabarkan semua kata diatas, Parhyangan adalah tempat berstana nya para hyang atau leluhur sebagai tempat
 Gambar Pura Murwa Bhumi, Payangan.
yang utama untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan atau pangajian.
Setelah dirasa semua ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh Sang Maha Rsi kepada para pengikutnya dimengerti dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan para pengikut Sang Maha Rsi mendapatkan kebahagiaan hidup. Sebagai tanda terima kasih kepada Hyang Jagatnatha maka dibangunlah sepelebahan pura di depan Pura Murwa Bhumi, diberi nama Pura Sukamrih, yang berasal dari dua kata, Suka dan Mrih, Suka artinya kebahagiaan, Mrih artinya Mendapatkan. Jadi Pura Sukamrih dibangun setelah dirasa para pengikut beliau mendapatkan semua kebahagiaan yang dicita-citakan dari dahulu.
Selain peningalan tua berupa palinggih, di Pengaji, Payangan sampai saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad atau delapan tingkatan, mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, Pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang.
Ajaran dari Maha Rsi Markandhya dilanjutkan oleh para pengikut beliau yang tersebar di daerah-daerah yang pernah beliau singgahi, juga dengan membangun berbagai pura sederhana sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud atau Manifestasi. Dari berbagai analisa para ahli sejarah dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Rsi Markandhya adalah pemimpin perguruan Markandhya di sekitar Gunung Wukir, Kedu  pada awal pemerintahan dinasti Sanjaya, tahun 746 Masehi, juga tersurat Prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya yang memerintah di kerajaan Mataram Kuno mulai tahun 717 sampai dengan tahun 746 Masehi, berisi tentang pendirian sebuah bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit serta lingga.
Dalam Babad Parahyangan dan Prasasti  Mantyasih yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung  tahun 907 Masehi, tertulis nama Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya pada urutan pertama dari para raja yang pernah memerintah Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu, sementara Perguruan Markandhya dipastikan ada pada masa Sanjaya, antara tahun 717 sampai dengan tahun 907 Masehi. Perjalanan Beliau ke Bali menurut beberapa prasasti masih belum bisa dipastikan bilangan Tahunnya, hanya bisa diperkirakan bahwa Rsi Markandhya dan para pengikutnya sampai di Bali pada sekitar Abad ke 9 Masehi.
“rahyangta rumuhun i Medang i Pohpitu”
Dari berbagai peninggalan berupa Lingga dan Yoni serta arca-arca tua yang tersimpan di beberapa Pura di Payangan, dipercaya bahwa semasa faham Markandhya berkembang di wilayah ini, para pengikut Rsi Markandhya yang mendiami wilayah Payangan banyak membangun pura-pura dengan menyertakan Lingga Yoni dan Arca Dewa sebagai sarana pemujaan. Pura yang awalnya terdiri dari bangunan sangat sederhana, seiring perkembangan jaman sudah dipugar semestinya tanpa menghilangkan unsur-unsur yang mencirikan tonggak awal berdirinya pura-pura yang tersebar keberadaanya di wilayah Bali tengah tersebut.
Menurut penuturan dari para tetua dan pemangku kahyangan di desa Pakraman Payangan Desa, juga cerita rakyat yang berkembang di wilayah Payangan dan sekitarnya, tersusun sebuah kisah yang menceritakan tentang perjalanan seorang Rsi yang konon mempunyai pesraman di daerah Munduk Uma Duwur, sisi selatan sekitar Pura Penataran Ulapan sekarang. Beliau bernama Rsi Dharma Sadhu, dari nama beliau bisa diartikan, Rsi berarti guru atau orang bijaksana, Dharma berarti kebenaran yang hakiki, Sadhu berarti mulia atau orang baik, adalah sebutan bagi petapa atau orang suci, jadi kalau dilihat dari nama beliau, bisa disimpulkan sebagai Seorang Rsi yang bertapa mengamalkan kebenaran sebagai jalan menuju alam kebebasan. Rsi Dharma Sadhu mempunyai istri yang berasal dari wilayah barat, yaitu lembah Gunung Batukaru, tetapi sekian lama berjalan perkawinan mereka belum juga dikaruniai putra. Pada suatu masa saat senja di sasih kapat, Rsi Dharma Sadhu hendak bersuci di Beji Taman Magenda, beliau berpapasan dengan seorang wanita cantik yang dilihatnya mengeluarkan sinar dari dalam tubuhnya, seperti ciri-ciri wanita mulia dan utama. Setelah mengenalkan diri, diketahui wanita itu bernama Dewi Manik Mreta Sari berasal dari wilayah yang bernama Tegal Apit Pangkung, wilayah bagian barat dari daerah Munduk Uma Duwur.
Baik daerah Munduk Uma Duwur maupun Tegal Apit Pangkung merupakan daerah subur dengan berkelimpahan sumber air, sehingga menjadi dua dataran yang menghijau sepanjang masa. Kedua Munduk ini dipisahkan oleh sungai yang tidak begitu dalam, dengan air yang jernih dan penuh ikan berbagai jenis, menjadikan kedua munduk sangat cocok sebagai tempat melakukan tapa yoga dan semadi. Keindahan alam sekitar, ditambah dengan suasana yang asri membuat sesuatu menjadi lebih romantis, mungkin sudah karena kehendak Hyang Wisesa, kedua hati itu bertaut, Rsi Dharma Sadhu dan Dewi Manik Mretasari terikat perasaan yang saling menyayangi, seringnya mereka bertemu dan saling bertutur membuat banyak kata-kata manis yang terucap, lembut dan penuh cinta, Sang Rsi menandai daerah itu dengan nama Ujaring Sutra, Ujar berarti Kata atau Rawos, Sutra berarti penuh kelembutan, setelah sekian lama, terbentuk areal persawahan, dikenal dengan nama carik Jaring Sutra.
Karena perubahan prilaku Sang Rsi, istri beliaupun menjadi curiga, sang istri melarang suaminya untuk keluar pesraman, walaupun dalam hati tidak menerima larangan itu, Sang Rsi terpaksa menuruti kemauan istrinya untuk menghindari pertengkeranuntuk beberapa lama. Akan tetapi kekuatan cinta membuat Sang Rsi nekat, pada bulan gelap Rsi Dharma Sadhu kembali berusaha menemui pujaan hatinya. Seperti biasa dilihatlah kemudian Dewi Manik Mretha Sari diseberang sungai dalam perjalanan menuju Taman Magenda. Kedua insan yang sedang jatuh cinta itu melepas rindu dengan saling melambaikan tangan dari masing-masing pinggir sungai, tempat dimana Rsi Dharma Sadhu melambaikan tangan kini dikenal dengan nama Ulapan yang artinya lambaian tangan. Kembali kekuatan rasa mereka mengalahkan hal yang lain, dalam pertemuan mereka di Taman Magenda setelah sekian lama tidak bersua membuat mereka sepakat untuk menikah, tempat pernikahan mereka dikenal dengan nama Majangan, diambil dari kata Mejangkepan.
Rsi Dharma Sadhu dan Dewi Manik Mretha Sari menamakan daerah tempat tinggalnya menjadi Taman Sari, karena persatuan mereka dimulai dari pertemuan di Taman Magenda. Daerah yang mengitari Taman Sari masih dikenal dengan nama Tegal Apit Pangkung, yang kemudian setelah sekian lama menjadi daerah Tegallampit. Diceritakan istri dari Rsi Dharma Sadhu yang mengetahui pernikahan mereka, menjadi sangat marah, dengan kekuatan semadinya kemudian nyuti rupa atau menjelma sebagai babi putih. Babi putih jelmaan istri Rsi Dharma Sadhu mengamuk dibakar api amarah dan membuat kubangan besar antara daerah Munduk Uma Duwur dan Munduk Gunung Sari, dengan magsud memisahkan suaminya dari Dewi Mretha Sari. Suasana gaduh tersebut membuat seorang Dukuh yang sedang asyik memancing menjadi marah, karena tidak ada ikan yang berani mendekati umpannya, apalagi babi putih jelmaan itu bersiap-siap hendak menyerangnya, Ki Dukuh yang merasa terdesak menggunakan Joran atau Pales Pancingnya sebagai senjata mengusir babi jelmaan, babi putih jelmaan istri Rsi Dharma Sadhu yang terkena joran Ki Dukuh seketika berubah wujud, kembali berwujud manusia, bersimpuh di hadapan Ki Dukuh seraya meminta maaf, bersedia untuk meninggalkan tempat itu kembali lagi ke lembah Gunung Batukaru, ada satu permintaan beliau, agar daerah itu disebut dengan nama Batukaru, sebagai kenangan bahwa seorang wanita dari Lembah Batukaru pernah mengamuk membabi buta akibat rasa cinta yang dinodai. Demikianlah hingga kini daerah sumber air dimana kejadian itu terjadi dikenal dengan nama Beji Batukaru.
Diceritakan kemudian Rsi Dharma Sadhu memutuskan untuk melakukan perjalanan suci menuju Puncak Adri, kecintaanya terhadap keindahan juga untuk mengingat cintanya terhadap Dewi Mretha Sari, Sang Rsi mengisi waktunya dengan menanam Sarwa Sari yang kesemuanya berbau sangat harum, Puncak Adri dipenuhi dengan bunga beraneka warna dan jenis, hingga Puncak Adri dikenal dengan nama Giri Kusuma, Giri artinya Gunung atau Pucak, Kusuma artinya Bunga yang harum, di daerah Giri Kusuma sekarang dipakai sebagai tempat melasti oleh krama desa seputaran Payangan. Sementara Dewi Manik Mretha Sari juga meninggalkan kediamannya menuju arah Pucak Magenu, yang hanya terpisah oleh pangkung atau sungai tanpa air. di puncak Mengenu Dewi Manik Mretha Sari mengisi waktunya dengan menanam pohon-pohon berbuah dan berumbi, semua tanaman tumbuh dengan subur dan berbuah lebat berumbi padat, karena dipelihara dengan cinta kasih. Salah satu jenis buah-buahan yang ditanam oleh Dewi Manik Mretha Sari adalah Jeruk Linglang, yang konon pernah disuguhkan kepada Rsi Markandhya dan para pengikutnya sewaktu di Payangan.
Cerita diatas merupakan cerita rakyat atau folklor yang secara turun temurun dipercaya oleh sebagian penduduk Payangan, sebagai cikal bakal nama-nama tempat di Payangan. Cerita rakyat atau Kata folklor berasal dari bahasa Inggris folklore, yang merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Secara keseluruhan folklor dapat didefinisikan yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu. Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun.
Cerita ini saya masukkan di dalam buku ini dengan tujuan agar masyarakat bisa mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam folklor diatas, juga untuk membangun kecintaan masyarakat terhadap karya sastra lisan leluhur, terlepas dari fakta benar atau salahnya cerita itu. Tetapi yang jelas cerita ini berkembang sampai sekarang dan dipercaya secara luas oleh masyarakat Payangan, terutama masyarakat Desa Pakraman Payangan Desa, seperti yang dituturkan oleh Prebekel Desa Melinggih, I Nyoman Surata SH dan Bandesa Pakraman Payangan Desa, Drs I Wayan Renes MPd di pelataran Pura Taman Sari Payangan.




Bab II
Faham dan Sekta
II.1.Hindu Budha di Bali
                Jambulas, seorang musafir dari Yunani pernah berkunjung ke Bali pada tahun 50 Masehi, dia membuat catatan perjalanan selama tujuh bulan lamanya menetap di pulau Bali. Keindahan dan keramah tamahan penduduknya sangat berkesan di hatinya, tambahan pula ia dapat menghadap raja yang sedang berkuasa, peradaban dan susunan masyarakat sudah teratur baik, penduduk-penduduk berbadan tegap dan sehat, menandakan kesuburan pulau Bali. Sehingga rakyat tidak pernah kelaparan karena kekurangan makanan, kebanyakan bercocok tanam, mengusahakan sawah ladang, mereka tinggal berkampung-kampung, beberapa buah kampung menjadi satu desa yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa. Mereka menyembah dewa-dewa yang dipercayai berkahyangan di sorga, dewa yang paling dimuliakan adalah Dewa Matahari, banyak juga diantaranya yang memuliakan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, dengan demikian dapat dipastikan faham Hindu sudah berkembang di Bali pada awal tahun 50 Masehi.
Selain dari keterangan Jambulas sebagai tersebut di atas, juga pemakaian tarik Isaka hurup Dewa Nagari dapat membenarkan, bahwa paham Hindu telah berkembang di Bali. Di India tarik Isaka ini diresmikan oleh raja yang bernama Kaniskha sejak tahun 78 sesudah Masehi, kerajaanya bernama Kushana dengan ibu kotanya  Purusha Pura yang sekarang bernama Pushawar. Baginda raja memuliakan agama Bhuda. Sedangkan hurup Dewa Nagari adalah diciptakan oleh Aji Saka, seorang pengarang penganut Hindu yang mendirikan sebuah kerajaan di Jawa setelah mengalahkan raja di Jawa yang bernama Dewata Cengker.


II.2. Perpaduan Agama Budha dan Siwa Di Bali
Perpindahan empat buah gunung dari india ke Bali, yang melambangkan masuknya paham Catur Lokapala itu terjadi dalam tahun 11 isaka, perhitungan tahun isaka itu, dinyatakan dengan sebutan Candra Sengkala yang berbunyi Rudhira Bhumi. Rudhira dan Bhumi masing-masing berarti angka satu, dengan demikian Rudhira Bhumi berarti angka 11, di terangkan juga dalam kitab Purana itu bahwa Gunung Agung pernah meletus di dalam tahun 13 isaka, dengan sebutan Candra Sangkala Gni Budhara, Gni sama dengan 3, dan Bhudara sama dengan 1, letusan gunung Agung itu menimbulkan gempa bumi yang sangat hebat, disertai dengan hujan lebat tiada hentinya siang dan malam selama dua bulan. Sesudah itu turunlah dua orang Dewa dan seorang Dewi di Bali. Dewa dan dewi itu ialah: Hyang Putra Jaya, Hyang Gni Jaya, dan Dewi Danuh.
Diantara ketiga Dewa dan dewi itu,  Hyang Putra Jayalah yang paling dimuliakan, sebab itulah di sebut pula dengan Maha Dewa, berkahyangan di Puncak Gunung Agung, sebagai Siwa. Sedangkan Hyang Gni Jaya berkahyangan di Puncak Gunung Lempuyang, dan Dewi Danuh berkahyangan di Danau Batur di puja sebagai Wisnu. Adanya ketiga Dewa dan Dewi ini ialah mengesankan bahwa di samping paham Catur Lokapala, paham Tri Murti telah masuk di Bali, paham itu mengajarkan bahwa Tri Murti terdiri dari tiga Dewa, yakni; Brahma sebagai pencipta  atau Uttpti, Wisnu sebagai pemelihara atau Stiti, dan Siwa sebagai pelebur atau Pralina. Pendapat umum di Bali bahwa Siwa itu bukan saja sebagai Dewa pelebur tapi juga sebagai guru besar yang pengasih dan penyayang, sehingga diberikan julukan  Bhatara Guru. Juga Siwa telah menyelamatkan Bali dari kehancuran, ketika Beliau memerintahkan dewa-dewa memindahkan sebagian gunung Mahameru dari Yambu dwipa ke Bali. Karenanya Siwalah yang paling dimuliakan oleh penduduk Bali. Di Besakih terdapat pemujaan bagi dewa-dewa itu yakni: di Pura Kiduling Kreteg tempat memuja Dewa Brahma, di Pura Gelap tempat memuja Dewa Siwa, di Pura Batu Madeg tempat memuja Dewa Wisnu.
Pura Pentaran Agung terletak di tengah-tengah karena di anggap paling terkemuka, disitulah penduduk Bali mengadakan persembahyangan tiap-tiap tahun sekali, yang dinamakan Bhatara Turun Kabeh. Upacara ini jatuh pada Purnamaning sasih ka Dasa yang di sebut juga dengan Wesaka. Perayaan besar diadakan pada tiap 10 tahun sekali yang di sebut  Panca Wali Krama dan yang paling besar dilaksanakan tiap-tiap 100 tahun sekali yang disebut upacara Eka Dasa Rudra. Perkataan Rudra ialah pengganti nama Siwa, tatkala berganti wujud sebagai  Mahakala. Siwa yang juga berwujud Maha Dewa berkahyangan di gunung Agung. Karena gunung Agung adalah gunung yang tertinggi di Bali, maka biasa juga di sebut Giri Tolangkir. Giri berarti Gunung, To berarti Orang, dan Langkir berarti menjulang tinggi, perkataan Langkir dalam bahasa Sansekerta berarti Maha Dewa. Sedangkan Maha Dewa dalam ajaran Budha Mahayana dianggap Lokanatha atau Lokeswara yang lebih terkenal lagi dengan sebutan Awalokiteswara, yang berarti Seorang Budha yang tinggi kedudukanya.
Baik penganut agama Siwa, maupun agama Budha di Bali, sama-sama memuja dan memuliakan gunung Agung, karena Mahadewa baerkayangan disitu dianggapnya Siwa oleh penganut agama Siwa, sedangkan penganut Budha memandang Maha Dewa itu adalah Budha.
II.3. Kedatangan orang-orang Hindu ke Bali.
Pada bulan Maret atau April tahun 250 Masehi sasih ka Sanga tahun 172 Isaka, datanglah serombongan orang Hindu dari Jawa ke Bali, rombongan itu terdiri dari bangsawan, prajurit, pemuka agama, pendeta Siwa-Budha, ahli pertukangan dan kesenian, serta rakyat biasa yang berjumlah kurang lebih 400 orang. Hal itu termuat dalam prasasti yang kini tersimpan di Pura Puseh Desa Sading Kabupaten Badung. Pemimpin agama itu terdiri dari: Shri Bayu, Shri Gni Jaya Sakti, Shri Sambu, Shri Brahma, Shri Indra dan Shri Wisnu.
Sementara yang memimpin rombongan itu ialah Maha Raja Jaya Sakti. Kedatangan mereka ke Bali, mula-mula menuju sebuah Gunung yang disebut Adri Karang. Adri berarti gunung dan Karang berarti Batu Karang. Tempat itu terletak di Bali bagian timur, raja Jaya Sakti akhirnya bertolak kembali ke Jawa, dan pemimpin rombongan itu diserahkan kepada Shri Bayu yang kemudian bergelar Prabhu Maharaja Bima. Dibawah Shri Bayulah pemimpin agama menyebarkan agama di Bali, serta ahli lain mengajarkan kecakapan masing-masing kepada penduduk Bali Aga. Shri Bayu membuat sebuah pesangrahan di Bantiran Tabanan, tempat beliau pertama mengajarkan tata susila yang disebut Sila Krama, ajaran itu melarang penduduk melakukan perkawinan terhadap saudara sepupu, terutama kepada ibu atau bapak yang melahirkanya.
Shri Gni Jaya Sakti membuat pertapaan di Gunung Lempuyang, yang disebut Karang Asma, Asma berarti Asrama, perkataan yang lama-kelamaan berubah bunyinya menjadi Karangasem. Demikian banyaknya pemimpin agama menyebarkan agama di Bali, sehingga sampai sekarang masih banyak orang Bali Aga yang memeluk agama Bayu, agama Sambhu, agama Kala, agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Indra,  agama Bayu mengajarkan agar penganutnya menyembah Dewa Bintang dan Dewa Angin, serta waktu meningal mayatnya tidak dikuburkan, melainkan diletakan di tebing-tebing yang dianggap keramat, agama itu sampai sekarang masih dianut oleh orang-orang Trunyan Kintamani. Agama Sambhu mengajarkan agar penganutnya menyembah Dewa yang bersemayam di patung dan arca, serta pada waktu mangkat mayatnya harus segera dikuburkan, setelah dimandikan dengan air Petpetan Ketan.
Agama Kala mengajarkan penganutnya agar menyembah segala yang dianggapnya angker, upacara pada waktu matinya mengunakan Daun Bidara, mayat harus di buang ke dalam jurang, penganut agama itu masih ada di desa Sembiran. Agama Brahma mengajarkan pada penganutnya agar menyembah kepada Dewa Agni, pada waktu mati mayatnya dimandikan dengan daun Delima dan segera di bakar di kuburan. Agama Wisnu mengajarkan penganutnya agar menyembah Dewa Hujan, upacara pada waktu matinya mempergunakan air bunga atau air kumkuman untuk memandikan mayatnya, dan segera dihanyukan ke dalam sungai. Agama Indra mengajarkan penganutnya menyembah Dewa Gunung dan Bulan, pada waktu mati mayatnya dimandikan dengan air beras, kemudian diletakan di tebing sungai, atau di dalam goa, agama ini dianut oleh penduduk Tenganan Pagringsingan Karangasem.
Kedatangan orang Hindu ke Bali tepat pada sasih ka Sanga, maka perayaan hari raya Nyepi yang diadakan tiap tahun di Bali, dapat juga diperkirakan untuk menghormati hari kedatangan leluhur mereka dijaman bahari, keturunan orang Hindu itulah yang kini di sebut orang-orang Bali Hindu, disamping orang-orang Bali Aga yang lebih dahulu mendiami pulau Bali. Sesudah kedatangan orang-orang Hindu, pada sebuah prasasti yang kini tersimpan di Pura Puseh Desa Sading Badung, tidak terdengar lagi berita tentang Pulau Bali selama kurang lebih 3 abad. Hal itu mungkin karena orang yang datang pada waktu itu dapat menyesuaikan dirinya dengan orang-orang Bali Aga, atau mungkin catatan yang dibuat pada jaman itu belum diketemukan sampai sekarang. Akan tetapi catatan resmi di negeri Cina menunjukan bahwa pada tahun 518 dan tahun 671 Masehi ada utusan raja di Bali menghadap kepada raja di Cina, kemungkinan sejak waktu itulah uang kepeng beredar di Bali, sesudah raja-raja Bali mengadakan hubungan dengan kerajaan di Cina.
II.4. Pengaruh Siwa Buda Meluas di Bali.
Di dalam kitab sejarah Sunda, yang bernama Hikayat parahyangan, menyebutkan antara lain bahwa sebuah kerajaan kecil di Jawa Tengah yang bernama Kaling, lama kelamaan menjelma menjadi kerajaan besar. Kerajaan itu kemudian berubah namanya menjadi kerajaan Mataram, dengan ibu kotanya di Medang, seorang rajanya bernama Sanjaya yang mampu memperluas kekuasaannya hingga meliputi Nusantara bagian timur, beliau memuliakan agama Siwa, karenanya banyaklah candi-candi Siwa dibangun baik di pulau Jawa maupun di pulau Bali. Kebesaran kerajaan di bawah raja Sanjaya, diabadikan pada sebuah piagam yang terletak di Desa Canggal di wilayah Kedu di Jawa Tengah. Piagam tersebut ditulis pada sebuah batu besar yang bertahun saka 654 atau 732 Masehi.
Situs Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar
Setelah raja Sanjaya mangkat, kerajaan Mataram yang luas itu, dipimpin oleh salah seorang putranya yang bernama Pacapana, beliau mempergunakan gelar Rake Panangkaran, serta memuliakan agama Budha Mahayana, sehingga banyak candi-candi Budha yang beliau dirikan, diantaranya candi Borobudur yang dibangun kira-kira pada tahun 775 Masehi. Perkembangan agama Siwa-Budha di Jawa, sangat luas pengaruhnya di Bali, kemungkinan pada waktu itulah banyak pemuka agama yang disebut Rsi, Muni, Bhiksu, dan sebagainya, datang ke Bali.
Mereka mendirikan tempat pertapaan yang disebut dengan Wihara atau Bihara, yang hingga kini masih terdapat di daerah Gianyar, yakni di tebing sungai Pakerisan, yaitu Gunung Kawi terletak disebelah timur desa Tampaksiring, Kerobokan teletak pada pertemuan batang sungai Kerobokan, Goa Garbha terletak desebelah timur desa Patemon, dekat Pura Pangukur-ukuran. Di pinggir sungai Wos yaitu: Goa raksasa terletak dekat Pura Gunung Lebah di sebelah barat desa Ubud, Jukut Paku terletak diantara desa Nagari dan Singakerta dan Negari teletak di Nagari.
Di pinggir Sungai Kungkang ada Telaga Waja dekat Desa Sapat, lain dari pada wihara atau bihara seperti tersebut di atas terdapat pula tempat pertapaan lain yaitu: Goa Gajah di sebelah barat desa Bedulu, Yeh Pulu disebelah selatan desa Bedulu, Gunung Kawi di sebelah selatan desa Bitra. Di samping wihara yang merupakan tempat bertapa, juga didekat desa Riang Gede terdapat patilasan merupakan sebuah candi, petilasan tersebut disebut juga Goa Peminggi, yang tingginya lebih dari 10 meter, dan bentuknya sama dengan candi Kelebutan, yang terdapat disebelah barat desa Pejeng. Wihara tersebut dipungsikan sebagai tempat bertapa Siwa dan yang lainya adalah tempat pertapaan Budha, kedua golongan itu hidup berdampingan secara rukun, karena mereka percaya dengan adanya reinkarnasi, yang menyebutkan bahwa hidup itu adalah samsara. Menurut penelitian para ahli arkeologi, mereka berpendapat bahwa, wihara itu didirikan didalam abad ke 8.
Pendapat itu diperkuat lagi dengan terdapatnya beratus-ratus benda kuno disebelah selatan desa Pejeng yang terbuat dari tanah liat, bentuknya bulat kecil dengan bergaris tengah kurang lebih 2 cm, tiap 2 buah dibalut dengan tanah liat, bentuknya menyerupai stupa kecil. Sedangkan pada kedua belah permukaannya terdapat tulisan kuno yang berbunyi:
“jo dharma hetu prabhawa.
Hetun tesan tathagatho hiJawadat.
Tesancha yo nirodha.
Ewam wadi mahacramanah.
Menurut Dr R. Goris, bahasa Sanskerta tersebut berarti
“keadaan tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh tathagata (Budha), tuan maha tapa itu juga telah menerangkan juga apa yang harus diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab itu”

Tulisan itu berbentuk mantra dari ajaran Budha yang dapat menolak marabahaya, benda-benda tersebut diketemukan pada tahun 1925, dan kini sebagian tersimpan di museum kota Denpasar dan sebagian lagi tersimpan di Pura Penataran Sasih di desa Pejeng. Rupanya Pejeng pada jaman kuno menjadi pemusatan agama Budha di Bali. Tulisan yang berbunyi serupa itu, terdapat juga di pintu candi Kalasan di Jawa Tengah, bertahun Isaka 700 atau 778 Masehi, hal itu memastikan bahwa didalam abad ke VIII pengaruh Siwa Budha meluas di Bali, merambah jauh ke pelosok-pelosok daerah, mulai dari daerah pesisir, daerah dataran, hingga daerah pegunungan yang sulit dijangkau.
Faham Siwa Budha yang berkembang ini membuat beberapa wilayah di Bali tengah semakin berkembang peradabannya, memuja sudah dilakukan secara terorganisir, dengan dipimpin oleh pemuka agama, Bersatunya dua faham layaknya seperti badan dengan roh, menjadi dua hal akan tetapi tidak bisa dipisahkan, mereka memakai simbol-simbol keagamaan dari kedua faham, Altar, Lingga, Yoni, Arca dewa dan bentuk-bentuk daerah suci yang dipagar dengan sangat sederhana. Di wilayah Payangan berkembang dengan sangat pesat kedua kedua faham itu, dengan bukti banyaknya peninggalan peninggalan pura yang mempunyai sejarah tua dengan ciri khasnya masing-masing. Akan tetapi seiring dengan perkembangan jaman, pura-pura tua tersebut sudah dipugar mengikuti perkembangan jaman dan kemajuan teknologi arsitektur tradisional Bali. Di wilayah Desa Pakraman Payangan Desa terdapat banyak pura tua yang menyimpan nilai sejarah adiluhung dari masa lalu, baik masa Bali Kuno maupun masa-masa kerajaan Bali Majapahit, diantaranya Pura Bale Agung, Pura Dalem Alit dan Pura Taman Sari, yang hingga kini masih menyimpan artefak, arca maupun patung tua dengan baik serta sangat disakralkan, dilinggihkan di pelinggih-pelinggih khusus dan diupacara sesuai dengan petunjuk para pendeta Hindu. Di Pura Taman Sari Bentuk Yoni yang ditemukan berdenah bujur sangkar, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, di bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. Pada penampang atas Yoni terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), Jagati, Padma, Kanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga atau arca.
Lingga Yoni di Pura Taman Sari
Demikianlah perwujudan itu tidak merupakan bentuk yang sebenarnya (asli) dari dewa, tetapi sebagai manifestasi dari bentuk dewa, dan itulah sebabnya masyarakat yang menghormat langsung kepada dewa (Tuhan). Salah satu bentuk manifestasi dari dewa tersebut salah satunya adalah berupa Lingga Yoni. Lingga dan Yoni mempunyai arti dalam agama setelah melalui suatu upacara tertentu. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan masyarakat dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan mereka.
Lingga Yoni di pura Taman Sari  yang diperkirakan dibuat pada pertengahan tahun 1352 pada bulan Okteber dengan tekstur batu padas yang berasal dari lembah sungai Pekerisan Tampaksiring, merupakan salah satu bentuk ikon Siwa berbentuk bundar, eliptik, citra aniconic, diletakan di atas dasar persegi, Siwalinga adalah simbol paling kuno paling sederhana dan Siwa, khususnya Parasiwa, Tuhan di luar semua bentuk dan sifat-sifat. Pitha merepresentasikan Parashakti, kekuatan Tuhan. Di Bali lingga disamakan dengan linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa. 
Lingga adalah simbol energi generatif, sebagai phallic worship atau pemujaan palus adalah salah secara total memahami represenrasi secara miniatur atau bentuk simbolik, menciptakan dan melepaskan kekuatan dengan mana dia diasosiasikan. Ada perbedaan sangat mendasar antara dua definisi pertama dengan dua definisi terakhir.  Lingga sebagai simbol Ayah Tuhan dan Yoni sebagai Ibu pertiwi, sebagai alam semesta, telah dipuja oleh umat Hindu sejak 3.500 tahun sebelum Masehi. Lingga dan Yoni diwujudkan menjadi tempat suci atau bangunan suci dalam bentuk arca pelinggih, candi, seperti bangunan Padmasana yang kita kenal sekarang. Dalam lontar Ganapatitattwa perwujudan Bhatara siwa dilambangkan dengan lingga. Lingga pada hakekatnya mempunyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat beragama Hindu. Lingga berasal dari bahasa sanskerta yang berati tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga dewa siwa dalam bentuk tiang batu, patung dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu.
Di Pura Taman sari juga tersimpan dan dilinggihkan sebuah arca Ganesa berukuran hampir sama dengan Lingga Yoni, yang diperkirakan dibuat pada bulan Agustus tahun 1548, dengan tekstur batu padas yang hampir sama dengan tekstur batu padas di sekitar sungai ayung hulu, dengan serat persegi delapan. nama Ganesa adalah sebuah kata mejemuk dalam bahasa Sanskerta terdiri dari kata Gana yang berarti kelompok, orang banyak atau sistim pengelompokan dan Isa yang berarti penguasa atau pemimpin. Arca Ganesa di Pura Taman Sari digambarkan sebagai manusia berkepala gajah untuk menunjukkan kesatuan mahluk kecil (manusia) sebagai mikro kosmos dengan Yang Maha Agung sebagai makro kosmos. Gajah yang berkepala besar juga adalah simbol dari manusia yang seharusnya mempunyai volume otak yang besar dalam artian mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi.Telinga yang lebar sebagai simbol laksana kebijaksanaan untuk banyak mendengarkan. dipikirkan, dan dipertimbangkan untuk mengambil langkah selanjutnya. Berbelalai yang panjang, maknanya dapat memanfaatkan kemampuan yang ada untuk segala keperluan.
Arca Ganesa di Pura Taman Sari
Patung Ganesa yang dilinggihkan di Pura Taman Sari belalainya menjulur ke kanan disebut Walamburi, di beberapa pura yang lain ada yang menjulur kekiri, disebut Idamburi, sementara menjulur di tengah tidak diberi nama, karena dianggap sesuatu yang normal. Taring yang patah menyebabkan Ganesa juga disebut sebagai Ekadanta artinya yang bertaring satu. Taring yang patah adalah taring yang di sebelah kanan merupakan simbul pendukung kehidupan yang sejati (berwujud nyata) yang melenyapkan ilusi, sehingga kedua taring itu yang patah dan ynag utuh adalah simbul kesatuan antara yang berwujud dan yang tidak berwujud. Sikap tangan arca Ganesa yang memberikan anugerah (varamudra) sebagai tanda beliau yang memenuhi segala keinginan. Tangan lain yang bersikap mengusir kecemasan (abhayamudra) juga menolak segala halangan, bahaya, dan penderitaan.
Selain keberadaan Lingga Yoni dan arca Ganesa, di Pura Taman Sari juga dilinggihkan batu-batu berbagai ukuran dan bentuk yang diperkirakan sebagai reruntuhan altar atau candi masa berkembangnya kebudayaan candi berbentuk stupa di Bali, Pada tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang dinamakan Oudheidkundige Dienst yang menyimpan berbagai catatan tentang keberadaan candi di Indonesia, dalam sebuah catatan ada tersebut reruntuhan candi Tirta Sari yang terletak di bujur dan lintang yang hampir sama dengan Pura Taman Sari, yaitu 8°25'37.9"S 115°14'40.6"E, tetapi untuk lebih memastikan data candi Tirta Sari perlu dilakukan penelitian yang lebih seksama.
Pelinggih Jelalu di Pura Taman Sari
Dalam data tersebutkan ada reruntuhan bangunan menyerupai candi terbuat dari batu andesit yang secara arsitektur diperkirakan sebagai petilasan yang mirip dengan taman Bagendra, masa pemerintahan Majapahit di Jawa, hanya bentuknya lebih sederhana, dengan stupa-stupa yang berderet di tengah sebuah telaga. Beberapa bagian batu dibentuk seperti parit-parit kecil yang disusun berjajar dijadikan sebagai saluran-saluran air. Taman kemungkinan rusak akibat bencana alam yang dahsyat.


Bab III
Kerajaan Bali Kuno
Kerajaan Bali Kuno merupakan salah satu bagian dari sejarah kehidupan masyarakat Bali secara keseluruhan. Bagian pemerintahan kerajaan di Bali juga beberapa kali berganti mengingat pada masa itu terjadi banyak pertikaian antara kerajaan yang memperebutkan daerah kekuasaan mereka. Dapat dipastikan bahwa Pulau Bali pada masa kerajaan Bali Kuno tidak pernah dikuasai secara utuh oleh satu dinasti, silih berganti dan dalam kurun yang berbeda.
III.1. Shri Keshari Warmadewa.
Di dalam kitab kuno Raja Purana, tersebutlah seorang raja di Bali yang bernama Shri Wira Dhalem Kesari yang mendirikan kerajaan di lingkungan Pura Besakih, beliau amat tekun memuja dewa yang berkayangan di gunung Agung, tempat pemujaan beliau diberi nama Merajan Selonding. Tidak hanya tekun memuja, beliau juga memperbesar dan memperluas Pura Penataran Agung di Besakih yang sebelumnya masih sangat sederhana. Untuk melengkapinya, maka didirikan beberapa buah Pura di sekitar Pura penataran Agung Besakih, antara lain Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kukul, Pura Batu Madeg, Pura Manik Mas, Pura Basukihan, Pura Pucak, Pura Pangubengan, Pura Tirtha dan Pura Dhalem Puri.
Selanjutnya beliau juga mendirikan 6 Pura yang disebut Sad Khayangan, antara lain : Pura Penataran Agung di lereng gunung Agung, Pura Bukit Gamongan di lereng gunung Lempuyang, Pura Batukaru di lereng gunung Batukaru, Pura Uluwatu di Bukit Badung, Pura Er Jeruk di sebelah selatan Sukawati, Pura Penataran Sasih di desa Pejeng. Selama masa pemerintahan raja Shri Keshari Warmadewa beberapa peraturan dibuat yang merupakan undang-undang ditulis dalam lempengan tembaga yang disebut dengan prasasti kemudian disimpan di  pura-pura. Diantara prasasti itu ada yang menyangkut kewajiban tiap-tiap desa untuk memelihara pura, ketentuan pembayaran pajak, peraturan di pantai apabila ada perahu berlabuh, peraturan tentang waris, ijin para Bhiku untuk mendirikan Satra atau Pesangrahan, larangan merabas hutan pada tempat baginda berburu, ketentuan perbatasan pada tiap desa agar jangan sampai timbul perselisihan, dan banyak lagi peraturan yang lainya.
Pada masa itu telah banyak pula terdapat ahli diantaranya, ahli pembuat perahu disebut Undagi Lancing, ahli menbuat bangunan disebut Undagi Batu dan ahli membuat terowongan disebut Undagi Pangarung. Diperkirakan pada masa itu telah terjadi hubungan yang baik dengan kerajaan lain diluar negeri.
Pura Blanjong di desa Sanur Badung, dapat memberikan kita pandangan lebih dalam, Blanjong berasal dari 2 kata yakni; Belahan dan Jung atau Jong, belahan berarti pecah dan Jong berarti perahu.  Di Pura itu terdapat dua buah batu besar yang kedua belah mukanya terdapat tulisan kuno, sebagian mempergunakan bahasa Bali Kuno dan sebagian lagi mempergunakan bahasa Sanskerta, tulisan itu menyebutkan nama seorang raja yaitu Kesari Warma Dewa, bersinggasana di Singhadwala.
Tersebut juga dalam tulisan, bilangan tahun Isaka dengan mempergunakan tahun Candra Sangkala yang berbunyi Kecara Wahni Murti. beberapa ahli sejarah yang membaca dengan bunyi: Sara Wahni Murti yang berarti 835 isaka atau 913 Masehi. Dapat dipastikan kemudian bahwa Shri Wira Dhalem Kesari, adalah Shri Kesari Warmadewa yang mendirikan kerajaan Singhadwala
Prasasti Blanjong Sanur
atau Singha Mandawa,  terletak di lingkungan desa Besakih yang memerintah sekitar tahun 882 sampai 914 Masehi, seperti tersebut dalam prasasti yang hingga kini tersimpan di desa Sukawana, Bebetin, Trunyan, Bangli, di Pura Kehen, Gobleg dan Angseri. Gelar Warmadewa yang disandang memastikan beliau berasal dari keturunan Sailendra di Shriwijaya Palembang, yang datang ke Bali untuk mengembangkan agama Budha Mahayana.
III.2. Shri Ugrasena
Setelah pemerintahan Shri Keshari Warmadewa berakhir, Shri Ugrasena memerintah di Bali, walaupun beliau tidak memakai gelar Warmadewa tetapi bisa dipastikan, beliau adalah putra dari raja  Shri Keshari Warmadewa, hal itu tersebut di dalam prasasti yang dibuat pada waktu beliau memerintah yakni dari tahun 915 sampai dengan 942 Masehi, dengan pusat pemerintahan tetap di Singha Mandawa yang terletak disekitar desa Besakih. Didalam prasasti Srokadan jelas tersebut bahwa Shri Ugrasena beristana di Singha Mandawa, dalam tahun 915. prasasti Srokadan juga mempergunakan bahasa Bali kuno. Selain prasasti Srokadan, banyak lagi prasasti yang dibuat Shri Ugrasena, prasasti-prasasti itu kini tesimpan di desa Babahan, Sambiran, Pengotan, Batunya dekat danau Beratan, Dausa, Serai Kintamani, dan di desa Gobleg, akan tetapi tidaklah banyak beliau mengadakan perubahan pada pemerintahannya, hanya dibidang pertukangan dan kesenian mendapat kemajuan, dengan adanya sebutan Pande Besi, Pande Mas, Pamukul atau tukang tabuh-tabuhan, Menjahit Kajang atau tukang tenun, dan mangnila  yang artinya tukang celup.
III.3. Shri Tabanendra Warmadewa
Raja Shri Tabanendra Warmadewa yang berkuasa di Bali adalah raja yang ketiga dari keturunan dinasti  Warmadewa, merupakan putra dari Shri Ugrasena, yang mewarisi kerajaan Singha Mandawa, beliau beristri dari Jawa Timur bernama Shri Subhadri Dharmadewi. Salah seorang putri dari Mpu Sindok yang menguasai Jawa Timur. Didalam prasasti yang kini tersimpan di desa Manikliyu Kintamani, kecuali menyebutkan nama Shri Tabanendra warnadewa, dicantumkan pula nama raja putri, hal ini menandakan bahwa permaisuri beliau ikut bekuasa dalam pemerintahan dari tahun 943 sampai dengan 961 Masehi, dengan prasasti yang masih mengunakan bahasa Bali kuno.
III.4. Shri Candrabhaya Singha Warmadewa.
Sebuah piagam menyebutkan bahwa pada tahun Isaka 884 atau 962 Masehi sasih Kapat bulan Oktober atau November, raja Shri Candrabhaya Warmadewa membangun pemandian Tirta Empul, dari piagam itu dapat dipastikan diantara tahun 962, bertahta di Bali seorang raja bergelar Shri Candrabhaya Singha Warmadewa, merupakan putra dari raja suami istri Shri Tabanendra Warmadewa dengan Shri Subhandrika Dharmadewi.
III.5. Shri Djanusandhu Warmadewa
Setelah Shri Candrabhaya Singha Warmadewa mangkat, maka pemerintahan di Bali dilanjutkan oleh Shri Janusandhu Warmadewa, permaisurinya berasal dari Jawa Timur bergelar Shri Wijaya Mahadewi. Selain memperbaiki Pura, juga perbaikan dibidang lain, banyak bantuan yang diperoleh dari Jawa Timur, sehingga dalam waktu singkat penduduk Bali telah merasa pulih dari kehancuran, serta meletakan dasar yang kuat bagi keturunan beliau selanjutnya. Beliau memerintah dari tahun 975 sampai dengan tahun 988 Masehi.
III.6. Gunapriya Dharmapatni dan Dharmodayana Warmadewa.
Sebuah piagam batu bertulis yang berangka tahun 1007 Masehi menyebutkan bahwa seorang putri dari Jawa bernama Mahendradatha menikah dengan pangeran dari Bali bernama Udayana, piagam tersebut kini tersimpan di Calcuta India Timur, yang dipindahkan dari Jawa semasa pemerintahan Raffles, nama baginda suami istri itu lebih terkenal dengan sebutan Mahendradatha dan Udayana, tetapi didalam prasasti dan piagam yang dibuat pada waktu baginda berkuasa, baginda suami istri memakai gelar Gunapriya Dharmapatni dan Dharmodayana Warmadewa. Gelar tersebut adalah gelar resmi ketika dinobatkan menjadi raja yang berkuasa selama 23 tahun, dari tahun 988 sampai dengan 1011 Masehi. Dharmodayana Warmadewa adalah putra dari Shri Janusandu Warmadewa, sedangkan Gunapriya Dharmapatni adalah salah seorang putri dari Shri Makuta Wangsa Wardana yang menjadi raja di Jawa Timur.
Didalam prasasti maupun piagam, nama putri selalu dituliskan terlebih dahulu, barulah nama raja Dharmodayana Warmadewa, seperti yang tertulis dalam prasasti yang kini masih tersimpan di desa Bebetin, Serai, Buahan, Batur, Sading, dan sebuah piagam batu bertulis terletak di gunung Panulisan.
Perkawinan raja Gunapriya Dharmapatni dengan raja Dharmodhayana Warmadewa, banyak membawa pengaruh di Bali, perubahan itu terjadi didalam struktur pemerintahan, yang kemudian berpengaruh pula pada bidang kebudayaan. Semenjak itu dimulailah dipergunakan bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi dalam pembuatan prasasti yang sebelumnya mempergunakan bahasa Bali kuno. Dari perkawinan itu lahirlah beberapa putra dan putri, salah seorang putranya bernama Airlangga, yang lahir pada tahun 991 Masehi. Sesudah berumur kurang dari 16 tahun Airlangga bertolak ke Jawa Timur, hendak dikawinkan dengan putri raja Shri Dharmawangsa, akan tetapi begitu Airlangga tiba di Jawa Timur, tiba-tiba kerajaan bakal mertuanya diserang oleh musuh hingga hancur.
Ibu Airlangga, Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni, lebih dahulu mangkat, dibandingkan raja Udayana, raja putri Gunapriya mangkat tahun 1001 Masehi di desa Buruan didekat Kutri Gianyar. Untuk memuliakan beliau, diatas Bukit Dharma dibuat patung besar yang dikenal dengan nama Durga Mahisasuramardini, yaitu lukisan Durgha yang membunuh raksasa berwujud seekor kerbau, dari bentuk patungnya, disimpulkan beliau adalah penganut aliran Bherawa. Sementara raja Dharmodayana Warmadewa mangkat tahun 1011 Masehi dicandikan di Banyu Weka, sebagai lambang kebesaran beliau semasa hidupnya, maka didirikan sebuah patung Budha disamping patung Durga Mahisasuramardini yang menandakan bahwa beliau memeluk agama Budha Mahayana.
III.6. Shri Adnya Dewi dan Dharmawangsa Wardhana
Upacara perabuan raja Dharmodayana Warmadewa terjadi pada tahun 1001 Masehi, mendapat penghormatan yang sangat besar dari seluruh lapisan masyarakat Bali, semua pembesar kerajaan, pemimpin agama Siwa Budha, para pemuka rakyat Bali aga turut hadir. Utusan dari Jawa hadir pula Mpu Bradah yang diiringi oleh beberapa pembesar lainnya sebagai wakil dari Shri Airlangga, selanjutnya pemerintahan dipegang oleh putri beliau yang bergelar Shri Adnyadewi, didampingi oleh Dharmawangsa Wardana. Prasasti yang menuliskan nama beliau tersimpan di desa Sembiran, yang diterbitkan pada sasih Katiga, penanggal ping nem tahun Saka 938 atau tahun 1016 Masehi.
Pergantian pimpinan di Bali dari Dharmodayana Warmadewa kepada Ratu Adnyadewi mendapat tantangan dari luar, akan tetapi setelah pemerintahan dipegang oleh Shri Dharmowangsa Wardana Marakata Pangkaja Sthanotunggadewa, keamanan dan kemakmuran dapat tercipta kembali dengan baik, sehingga kesenian dan kebudayaan berkembang dengan suburnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa buah prasasti seperti: prasasti Batuan, prasasti Buahan, prasasti desa Ujung, yang diterbitkan selama beliau berkusa.
III.7. Anak Wungsu
Menjelang Tahun 1042 Masehi, Airlanga di Singasari mengalami kesulitan yang besar, beliau merasa sangat kawatir mengenai perkembangan kerajaan dengan sikap kedua putra beliau yang berebut untuk menjadi penguasa Singasari. Mpu Bradah dititahkan untuk pergi ke Bali, merundingkan pengangkatan salah seorang putra beliau untuk menggantikan raja Dharmawangsa Wardana yang tidak memiliki keturunan, kedatangan Mpu Bradah disambut dengan sangat baik oleh pemuka masyarakat, lebih-lebih Mpu Kuturan.
Mpu Bradah menemui Mpu Kuturan yang merupakan saudaranya sendiri yang telah lama berasrama di Silayukti, Mpu Kuturan segera memanggil semua anggota badan penasehat kerajaan, untuk merundingkan pesan dari raja Airlangga. Selain angota badan penasehat tampak hadir pula pemimpin agama Siwa Budha, para senapati yang didampingi oleh para bawahanya, sehingga halaman asrama Silayukti menjadi penuh, dalam pertemuan itu telah diputuskan bahwa permintaan raja Airlangga tidak dapat dipenuhi. Penolakan tersebut berdasarkan pertimbangan adanya Anak Wungsu yang sudah cukup Dewasa untuk menjadi raja di Bali sebagai penerus dinasti Warmadewa.
Demikian kegagalan Mpu Bradah pada tahun 1042 dalam pertemuan besar yang dilaksanakan di Silayukti. Airlangga telah mendengar laporan itu dan dapat pula membenarkan keinginan para pemimpin rakyat Bali, untuk menobatkan adik baginda Anak Wungsu. Airlangga kemudian membagi kerajaan menjadi 2, Kediri atau Panjalu dengan ibu kotanya di Daha dan kerajaan Jenggala atau Singasari dengan ibu kotanya di Kahuripan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1042 Masehi. Setelah pembagian dua kerajaan selesai, Airlangga meletakkan jabatanya, kemudian mengasingkan diri ke dalam hutan untuk bertapa di lereng gunung Pucangan, hingga akhir hidupnya pada tahun 1049 Masehi sebagai pertapa yang suci. Kebesaran nama Airlangga dilambangkan dengan sebuah patung yang berbentuk Garudha Mukha, berwujud Dewa Wisnu yang mengendarai burung garuda, melambangkan raja adalah seorang pemimpin yang prawira dalam membasmi kejahatan.
Penobatan Anak Wungsu menjadi raja di Bali, hampir bersamaan dengan kemangkatan saudaranya di Jawa Timur sekitar tahun 1049 Masehi. Lebih dari 26 buah prasasti yang kini tersimpan di Bali, yang menyebutkan jamanya raja Anak Wungsu. Prasasti tersebut sebagian mempergunakan bahasa Bali kuno, kini tersimpan di desa Trunyan Bangli tahun 1049, Bebetin Buleleng tahun 1050, Dawan Klungkung tahun 1053, Sukawana Bangli tahun 1054, Batunya Buleleng tahun 1055, Sangsit Buleleng tahun 1058, Dausa Bangli tahun 1061, Sawan Belantih tahun 1065, Sembiran Buleleng tahun 1065, Serai Bangli tahun 1067, Pangootan Bangli tahun 1069, Manikliyu Bangli tidak bertahun, Pandak Bading tahun 1071, Klungkung tahun 1073 dan Sawan Buleleng tahun 1073. Juga diwujudkan dengan beberapa patung, diantaranya hingga kini masih tersimpan di Pura Pagulingan Pejeng, arca kembar di gunung Panulisan, melambangkan kebesaran raja anak Wungsu beserta permaisuri yang bergelar Bhatara mandul.
III.8. Shri Sakalendu atau Shri Suradhipa
Setelah berakhirnya pemerintahan Anak Wungsu tahun 1077 Masehi, tersebutlah seorang raja putri yang berkuasa di Bali bergelar Shri Sakalendu Isana Gunadhrma Laksmidhara Wijayotunggadewi, tersebut dalam prasasti yang tersimpan di desa Pengotan, yang menunjukan angka tahun 1088 dan 1101, sedangkan prasasti yang disimpan di desa Sawan Belantih menunjukan tahun 1098 Masehi, seluruh prasasti tersebut sudah mempergunakan bahasa Jawa Kuno. Di pura Penataran Panglan desa Pejeng, terdapat dua bauh arca yang letaknya berdampingan, satu merupakan Hariti dan satu lagi merupakan Parwati,  keduanya berangka tahun isaka 1013 atau 1091 Masehi. Hariti berarti Indra dan parwati berarti sakti Siwa. Kedua arca ini melambangkan kebesaran raja yang berkuasa di Bali yang memuliakan Indra dan Siwa.
Demikian adanya ratu bertahta di Bali, sekitar tahun 1078 hingga tahun 1114, untuk mengantikan Anak Wungsu, tersebutlah seorang raja di Bali yang bergelar Shri Suradipa, tertulis dalam prasasti yang kini tersimpan di desa Gobleg Buleleng, menunjukan angka tahun 1115 Masehi Shri Suradipa merupakan keturunan dinasti Warmadewa, putra dari Shri Sakalendu Kirana Isana Gunadharma Laksmidhara Wijayotunggadewi.
III. 9. Shri Jaya Sakti, Shri Jaya Kasunu, Shri Jaya Pangus
Setelah Shri Suradipa mengakhiri masa  pemerintahannya, tersebutlah nama raja berturut-turut Shri Jaya Sakti, Shri Jaya Kasunu, Shri Jaya Pangus, dari gelar yang dipergunakan, kemungkinan telah terjadi percampurn antara keturunan Warmadewa dengan keturunan Maharaja Jaya Sakti yang pernah memimpin perpindahan orang-orang Hindu di masa lampau ke Bali. Dari catatan yang tersebut dalam prasasti, dapatlah diketahui, bahwa Shri Jaya Sakti memerintah mulai tahun 1133 sampai dengan tahun 1150 Masehi. Prasasti tersebut kini terdapat di desa Manikliyu Kintamani, Buahan Kintamani, dan di desa Perasi Karangasem, selanjutnya pemerintahan dipegang oleh putra beliau yang bernama Jaya Kasunu, didalam pustaka kuno Raja Purana, Jaya Kasunu dan Catur Yuga, menerangkan bahwa raja Shri Jaya Kasunu yang menciptakan adanya hari raya Galungan dan Kuningan, yang jatuh setiap 210 hari sekali, dirayakan setiap Buda Kliwon Dunggulan, sementara Kuningan dirayakan setiap Saniscara Kliwon Kuningan, kedua hari raya tersebut hingga kini tetap dilaksanakan oleh masyarakat Bali.
Sebuah pustaka kuno, Purana Tattwa, penerangkan pada tahun Isaka 1111 atau 1189 Masehi, datanglah 7 orang guru agama dari Jawa ke Bali, kedatangan mereka itu untuk merayakan upacara besar di Besakih atas undangan raja Shri Jaya Pangus. Ketujuh Mpu tersebut, Mpu Ketek, Mpu Kanandha, Mpu Wira Adnyana, Mpu Wita Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, dan Mpu Dangka. Ketujuh orang Mpu dari Jawa itu dikenal dengan nama Sapta Pandita, sebagai pemimpin upacara Eka Dasa Rudra di Besakih, yang merupakan upacara kesebelas kalinya. Selanjutnya diterangkan juga dalam kitab itu, bahwa raja Shri Jaya Pangus beristana di Pejang, dengan bukti adanya pura besar Pusering Jagat, yang berarti pula sebagai pusat dunia atau pusat kerajaan, diperkirakan beliau memerintah dari tahun 1177 sampai dengan 1199 Masehi.
III.10. Dinasti Warmadewa Merosot Di Bali
Bisa dipastikan bahwa raja-raja yang berkuasa di Bali pada masa itu berasal dari keturunan Warmadewa, yang disebut juga Dinasti Salonding. Dinasti ini berkuasa di Bali sejak akhir abad ke 9 atau sekitar tahun 882 Masehi, seperti yang termuat dalam Prasasti Sukawana, Bebetin, Trunyan, Kehen, Gobleg, dan Angseri. Dengan raja pertama Shri Kesari Warmadewa beristana di Singha Madhawa di lingkungan desa Besakih.
Sesudah Shri Jaya Pangus, mengakhiri kekuasaanya tahun 1199 Masehi, maka tersebutlah seorang raja sebagai pengantinya, bergelar Shri Eka Jaya Lencana, termuat dalam prasasti yang hingga kini tersimpan di Kintamani, berangka tahun 1200 Masehi. Dipastikan Shri Eka Jaya Lencana adalah putra mahkota dari Shri Jaya Pangus, sedangkan gelar Lencana  yang dipergunakan adalah mengambil dari klan ibunya yang berasal dari Kediri Jawa Timur. Akan tetapi dalam 4 tahun kemudian, tersebutlah dalam prasasti yang kini masih tersimpan di Pura Kehen Bangli, menyatakan antara lain bahwa pada waktu itu  Shri Dhanadiraja beserta dengan permaisurinya berkuasa di Bali. Lebih jauh prasasti tersebut menerangkan bahwa adanya perayaan pada beberapa buah Pura, diantaranya Pura Hyang Ukir. Adanya prasasti yang berangka tahun 1204 Masehi itu menunjukan bahwa di Bali telah terjadi perpindahan kekuasaan dalam waktu yang singkat.
Sebuah prasasti yang terdapat di desa Balian yang bertahun 1260 Masehi menyebutkan raja yang berkuasa di Bali bergelar Bhatara Parameswara Shri Hyangning Hyang Adi Dewa lencana, merupakan putra mahkota dari Shri Ekajaya Lencana, yang telah bertahta di kerajaan Bali sesudah masa pemerintahan raja Shri Dhanadiraja. Akan tetapi setelah kerajaan Singasari mengempur Bali tahun 1284, raja Bali yang ditundukan itu bergelar Shri Pujungan, yang beristana di Pejeng, rupanya Shri Pujungan pernah mengadakan perebutan kekuasaan dan berhasil mengulingkan raja Bhatara Parameswara Shri Hyangning Hyang Adi Dewa Lencana. Setelah Singasari berhasil menaklukan Shri Pujungan, pemerintahan dipegang oleh Kebo Parud dengan pangkat Raja Patih. Catatan mengenai adanya kekuasaan dibawah raja patih dibawah pimpinan Kebo Parud, termuat dalam prasasti yang bertahun 1296 Masehi yang kini tersimpan di desa Pengotan Bangli, dan sebuah lagi bertahun 1300 disimpan di Sukawana Bangli.
Kehancuran kerajaan Singasari, dibawah pimpinan Shri Kerta Negara pada bulan Mei 1292, memberi kesempatan kepada keturunan Warmadewa, menyusun kembali kekuatan untuk mengulingkan kekuasaan Kebo Parud. Bangkitnya kekuasaan dibawah dinasti Warmadewa itui dinyatakan oleh 2 buah prasasti yang terdapat di desa Cempaga Buleleng masing-masing bertahun 1324, dan prasasti yang terdapat di desa Tumbu Karangasem bertahun 1325. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa yang menjadi raja di Bali ketika itu Shri Maha Raja Shri Bhatara Mahaguru Dharmo Tungga Warmadewa. Di dalam kitab kuno Usana Bali dan Purana Tattwa, menuliskan pada suatu masa di Bali pernah bertahta raja suami istri yang bergelar Shri Masula-Masuli, yang bersaudara kandung yang lahir bersamaan dari kelapa di Pura Batu Madeng di Besakih, kerenanya beliau berdua kemudian disebut Dhalem Buncing. Para ahli sejarah menafsirkan bahwa baginda raja Shri Masula Masuli yang disebutkan dalam kitab Usana Bali dan Purana Tattwa adalah Shri Mahaguru beserta permaisurinya seperti tersebut dalam prasasti Tumbu Karangasem.
III.11.Shri Astasura Ratna Bhumi Banten.
Sebuah relief di Pura Pusering Jagat yang dibuat pada masa Shri Jaya Pangus berisi lukisan kuno yang berbentuk mata panah dan orang, lukisan tersebut adalah bilangan Candra Sangkala, yang menunjukan tahun Isaka 1251 atau 1329 Masehi, saat dinobatkan seorang raja di Bali yang bergelar Shri Astasura Ratna Bhumi Banten, Shri Masula Masuli. Arca di Pura Tegeh Kori dan Gunung Panulisan, melambangkan raja yang berkuasa di tahun Isaka 1254 atau 1332 Masehi, seperti lukisan pada punggung arca tersebut bergambar mata, kapak, segara atau gunung, yang merupakan tahun Candra Sangkala. Sementara kitab kuno Usana Jawa, menerangkan bahwa raja tersebut bergelar Shri Gajah Wahana atau Shri Tapolung, beristana di Bedahulu. Tersebutlah seorang raja yang teramat saktinya, bergelar Shri Gajah Wahana, beristana di Bedahulu, beliau mempunyai 2 orang patih terkemuka Pasung Grigis berdiam di Tengkulak dan Kebo Iwa bertempat tinggal di desa Blahbatuh. Disebut sebagai Dhalem Bedahulu karena beliau tidak mau tunduk terhadap Majapahit, yang kala itu sedang jaya, bercita-cita mempersatukan Nusantara dengan sumpah Palapa dari Maha Patih Gajahmada. Mungkin karena sudah kehendak Hyang Widhi Wasa, Shri Gajah Wahana menjadi generasi terakhir dari Wangsa Warmadewa di Bali setelah kerajaan Bali ditaklukkan oleh Majapahit, sekaligus memulai babakan baru pemerintahan raja-raja Bali Majapahit, dari wangsa Kepakisan.
Pada masa pemerintahan Wangsa Warmadewa atau Dinasti Dhalem Slonding dari tahun 913 Masehi hingga tahun 1265 Masehi, tidak dapat ditemukan data yang pasti tentang Pura Taman Sari Payangan, tetapi pada masa pemerintahan raja di Bedulu dan Tampaksiring dipastikan wilayah Payangan dan sekitarnya masih berupa hutan belantara dengan desa-desa kecil yang tersebar di beberapa pinggiran sungai yang melintasi Payangan hingga wilayah Ubud. Mereka terdiri dari keturunan pengikut Rsi Markandhya yang berhasil mempertahankan hidup dengan konsep hulu teben, dengan budaya Aga yang kental. Hal itu ditunjang dengan pusat-pusat pemerintahan yang cukup jauh dari Payangan dan pastinya pada masa itu sangat sulit untuk dilalui. Tekstur wilayah Bali tengah yang terdiri dari tebing dan hutan belantara turut serta secara tidak langsung menjaga peninggalan-peninggalan jaman Rsi Markandhya di Bali Tengah karena sedikit sekali tersentuh dengan unsur-unsur politik yang memanas pada masa pemerintahan Wangsa Warmadewa di Bali. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada beberapa tempat pemujaan masyarakat Payangan kebanyakan diakibatkan oleh bencana alam, gempa, tanah longsor atau banjir.


Bab IV
Kerajaan Bali Majapahit
Perang Pertama antara Majapahit melawan Kerajaan Bali Kuno terjadi di tahun Saka 1265, tahun masehi 1343. Saat perang itu, Ki kebo Waruna, dan Ki Gudug Basur gugur di medan perang. Setelah perang besar itu hancurlah Kerajaan Bali Kuno, Sehingga tidak ada penguasa yang memerintah di Bali. Kemudian ada rapat para Arya keturunan dari Mpu Dwijaksara di Bali berkeinginan menghadap ke Majapahit memohon petunjuk Raja Majapahit, apa yang harus mereka lakukan untuk mengisi kekosongan pemerintahan di Bali saat itu. Para Arya  Bali yang berangkat menghadap Raja Majapahit antara lain Kyai Patih Wulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan, Kyai Padang Subadra. Berkaitan dengan kedatangan para arya dari Bali itu, kemudian dengan segera Prabhu Jayanegara, mengirim utusan ke Kediri, Menghadap Ida Shri Mpu Soma Kresna Kepakisan, memohon putra beliau yang paling kecil, agar bersedia menjadi pemimpin di Bali.
IV.1.Dhalem Ketut Kresna Kepakisan.
                Ida Shri Aji Cili Ketut Soma Kresna Kepakisan tiba di Bali,  Tahun Saka 1274, tahun masehi 1352, diangkat menjadi raja di Keraton Samprangan, setelah upacara abiseka, Bergelar Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan. Pengikut beliau, antara lain: Si Tan Kawur, Si Tan Mundur, Si Tan Kober, diberikan tempat di desa Tianyar. Dalam pemerintahan Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan, masih juga ada pemberontakan-pemberontakan kecil di Bali, terutama yang mendiami wilayah pegunungan, desa-desa di gunung yang masih belum aman, antara lain: Desa Culik, Desa Skul, Desa Bulakan, Desa Tista, Desa Kunir, Desa Simanten, Desa Basangalas, Desa Sarinten, Desa Tulamben, Desa Get, Desa Lokasrana, Desa Batu Dawa, Desa Margatiga, Desa Puan, Desa Juntal, Desa Crutcut, Desa Bantas, Desa Kerta Bayem, Desa Watu Wayang, Desa Kedampal, Desa Asti. Setelah sekian lama pemerintahan Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan, Orang-orang gunung masih juga melakukan pembangkangan secara gerilia. Hal itulah yang mendorong Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan mengirim utusan ke ke Jawa, menghadap kepada Sang Prabhu Jaya Negara, yang dipercaya menjadi utusan saat itu, antara lain: Kyai Patih Wulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan, Kyai Padang Subadra.
Setelah bertemu dan menghadap Raja Majapahit, dianugrahi senjata utama oleh raja Majapahit, berupa pusaka keris, Ki Lobar namanya, dengan pamor keris Durgha Dungkul, pusaka tersebut pemberian dari Rakriyan Gajah Mada kepada Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan, agar digunakan untuk mengamankan wilayah Bali. Dalam perjalanan pulang dari Majapahit, melewati desa Bubat, kemudian Telaga Urung, Pejajaran, sampai di Desa Langkung, baru kemudian menuju Puri Samprangan. Mulai adanya keris Ki Lobar di puri Samprangan, sedikit demi sedikit mulailah tenah wilayah pegunungan Bali, tidak ada lagi orang gunung yang melakukan tindak kejahatan.
Upaya lain yang dipakai untuk menentramkan jagat Bali agar bisa lebih tentram, Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan mengadakan pertemuan para Pasek yang berpengaruh di jagat Bali, pertemuan itu dilaksanakan di Puri Samprangan, membicarakan tentang keadaan jagat Bali yang belum tentram. Yang ikut hadir dalam pertemuan itu, antara lain: Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Padang Subadra, Ki Pasek Penataran, Ki Pasek Kepasekan, Ki Pasek Bendesa, Ki Pasek Kubakal, Ki Pasek Kedangkan, Ki Pasek Ngukuhin, Ki Pasek Kubayan, Ki Pasek Gaduh. Selain membicarakan tentang keamanan di Bali juga membahas tentang parahyangan yang ada di seluruh Bali. utamanya sekali membahas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Pura Besakih. Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan, mempunyai permaisuri dampati, puteri Mpu dari Ketepeng, yang bernama Ni Diah Amretha Jiwa, mempunyai putra laki perempuan sebanyak 4 orang, antara lain: Shri Dewa Ile, Shri Dewa Tarukan, Istri, menikah ke Blambangan dan Shri Dewa ketut Ngulesir. Selain 4 putra diatas, ada juga putra yang lahir dari selir, yang bernama I Dewa Tegal Besung.
IV.2. Ida Shri Dhalem Ile
Setelah Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan mangkat, Puri di Samprangan dikuasai oleh putra beliau yang paling besar, bernama Ida Shri Dhalem Ile, tetapi beliau sangat jarang sekali perduli dengan keadaan Puri Samprangan, apalagi sampai mengadakan pertemuan membahas tentang kerajaan Bali dengan  para manca dan punggawa Puri Samprangan, karena beliau begitu terpikat dan mabuk oleh kecantikan istrinya, yang bernama Ida Shri Dewi, yang berasal dari Pusering Tasik Besakih. Sementara itu Ida Dhalem Tarukan mempunyai kegemaran yang berbeda dengan kakaknya, beliau amat gemar bekerja di ladang, taman, juga sawah, menanam bemacam-macam bunga dan bebijian. Karena sebuah permasalahan beliau terpaksa harus meninggalkan istana beliau di Tarukan, mengelana sebagai rakyat biasa dari satu daerah ke daerah yang lain. Sampai akhirnya beliau tinggal menetap di Pedukuhan Bunga. Ki Dukuh Bunga yang prihatin terhadap keadaan beliau, kemudian mempersembahkan putrinya yang bernama Ni Gusti Luh Kwanji, untuk diperistri. Dari pernikahan Ida Dhalem Tarukan dengan Ni Gusti Luh Kwanji, saat itu tercatat tahun saka 1302, tahun masehi 1380. Kemudian melahirkan putra 2 orang, I Gusti Gde Sekar dan I Gusti Gde Pulasari.
Selama kepemerintahan Ida Dhalem Ile di Samprangan, terpikir oleh para Arya, Manca, dan Punggawa Puri Samprangan, tidak berhasil memegang tapuk kekuasaan Bali, maka bertemulah dalam sebuah sidang para Punggawa, Arya serta para Manca semua, memutuskan akan mencari Ida Shri dewa Ketut Ngulesir, agar bersedia kembali ke puri Samprangan, menggantikan kedudukan kakaknya menjadi raja di keraton  Samprangan. Yang terpilih menjadi utusan mencari Ida Shri Dewa Ketut Ngulesir, adalah Rakriyan Patih Kebon Tubuh.  Setelah lama dicari, lalu suatu hari yang baik ditemukanlah Ida Shri dewa Ketut Ngulesir, saat beliau berjudi sabung ayam di desa Pandak. Setelah beliau ditemukan oleh Rakriyan Patih Kebon Tubuh, berkenan Ida Shri Dewa Ketut Ngulesir, kembali pulang ke Puri Samprangan.
IV.3. Shri Dhalem Ketut Semara Kepakisan.
Ida Dhalem Ile sakit keras, kemudian beliau mangkat di puri Samprangan, tahun Saka 1302 atau tahun masehi 1380. Setelah selesai upacara Pelebon, Ida Dhalem Ketut Ngulesir kemudian menggantikan beliau menjadi raja, dengan gelar Shri Dhalem Ketut Smara Kepakisan, tahun Saka 1307, tahun Masehi 1385, berkedudukan di Keraton Gelgel, keraton beliau bernama Puri Suweca Pura.
Berkisaran tahun Saka 1352, tahun Masehi 1430, Shri Dhalem Ketut Smara Kepakisan, menyelenggarakan upacara yadnya, Pitra Yadnya, ngamaligya ida raja dewata Shri Aji Beda Ulu. Setelah selesai upacara tersebut, Shri Dhalem Ketut Smara Kepakisan, diiringi oleh Kyai kebon Tubuh berlayar ke Jawa, akan menghaturkan upeti ke Majapahit, berita itu tersiar sampai ke Majapahit dan diketahui oleh Ida Shri Hayam Wuruk, Raja di Bali merupakan keturunan orang sangat utama, karena di bahunya bergambar Durgha. Karena itulah kemudian Ida Shri Hayam Wuruk menganugrahi Raja Bali keris pusaka utama yang bernama Ki Taksaka. Shri Dhalem Ketut Smara Kepakisan, kembali lagi berlayar ke Jawa, Tepatnya di wilayah Madura, karena ada undangan dari Ida Rakrian Mahapatih Madu, karena beliau sedang menyelenggarakan karya maligya leluhur beliau di Madura, sebagai peminpin upacara Ida Shri Mpu Bujangga Kayu Manis, dari negara Keling. Setelah selesai upacara maligya, lalu menghadaplah Shri Dhalem Ketut Smara Kepakisan dihadapan Mpu Bujangga Kayu Manis, mengundang Ida Bujangga agar bersedia berkunjung ke kerajaan Bali, karena Ida Dhalem Ketut berkeinginan menyelenggarakan Upacara Yadnya Mapudgala.
IV.4. Ida Shri Dhalem Waturenggong Jaya Kepakisan.
Ida Shri Dhalem Ketut Semara Kepakisan mempunyai 2 orang putra laki-laki dan sudah beranjak dewasa, bernama, Dewa Waturenggong adiknya bernama I Dewa Gedong Arta. Ida Shri Dewa Waturenggong kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja, dengan gelar Shri Dhalem Waturenggong Jaya Kepakisan. Pada pemerintahan beliaulah kerajaan Bali mencapai masa jayanya, terkenal sampai ke daerah-daerah jauh. Saat itu di Jawa ada seorang Brahmana Budha bernama Mpu Semaranatha, beliau mempunyai putra 2 orang laki-laki bernama Mpu Dhang Hyang Angsoka dan Mpu Dhang Hyang Nirartha. Mpu Dhang Hyang Nirartha melakukan perjalanan suci ke Bali bersama istri dan putra-putra, tidak dikisahkan perjalanan beliau, sampai kemudian beliau berasrama di Mas.
Di keraton Gelgel dikisahkan Dhalem Ketut Baturenggong Jaya Kepakisan berkeinginan mengangkat Ida Shri Mpu Angsoka di Kediri, Jawa agar bersedia menjadi guru nabe Dhalem Ketut Baturenggong. Akan tetapi Dhang Hyang Angsoka menolak dengan halus keinginan Dhalem Baturenggong, karena di Bali sudah ada adik beliau yang bernama Ida Dhang Hyang Nirarta, sudah sangat paham dengan ajaran agama dan ilmu kesaktian. Dengan petunjuk dari Dhang Hyang Angsoka, Dhalem Baturenggong kemudian mengirim utusan ke Bhumi Mas, menjemput Ida Dhang Hyang Nirartha. Yang menjadi utusan saat itu adalah Rakriyan Dawuh Bale Agung. Tidak diceritakan dalam perjalanan, akhirnya tibalah Rakriyan Dawuh Bale Agung di Bhumi Mas, menghadap Ida Dhang Hyang Nirartha. Rakriyan Dawuh Bale Agung banyak sekali mendapatkan petuah dari Ida Dhang Hyang tentang berbagai ilmu pengetahuan, sehingga saat Rakriyan Dawuh mohon untuk didiksa, Ida Dhang Hyang berkenan mendiksanya.
Setelah acara pediksan Rakriyan Dawuh Bale Agung baru beliau mengutarakan kedatangannya sebagai utusan Dhalem Bali, mengundang Ida Dhang Hyang agar berkenan berkunjung ke kraton Swecapura di Gelgel, Ida Dhang Hyang berkenan. Lalu berangkatlah beliau diiringi oleh Rakriyan Dawuh Bale Agung. Tidak diceritakan dalam perjalanan, tibalah beliau di tujuan. Akan tetapi Ida Dhalem Baturenggong sedang tidak di puri. Ida Dhalem Baturenggong sedang pergi berburu di hutan desa Padang, beliau menginap di Silayukti, bekas pasraman Mpu Kuturan dahulu. Itulah sebabnya kemudian Ida Dhang Hyang kemudian diantar oleh Rakriyan Dawuh Bale Agung menuju desa Padang. Sesampai di Padang, Dhalem Bali marah kepada Rakriyan Dawuh Bale Agung, dianggap oleh Dhalem Bali abdinya itu tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik, lebih mementingkan diri sendiri, dari pada melaksanakan perintah Dhalem Bali. Setelah mendapat cukup banyak hasil berburu, berkat petunjuk dari Dhang Hyang Nirartha, Dhalem Bali dan rombongannya kembali ke Keraton Swecapura Gelgel. Perjalanan rombongan Dhalem terhadang banjir yang amat besar di Sungai Unda, sehingga berhentilah kereta kerajaan yang membawa rombongan raja Bali. Tatkala itulah kemudian Dhang Hyang Nirartha menggunakan mantra sakti Aswa Siksa, sehingga dengan ajaib akhirnya rombongan Dhalem Bali bisa menyebrangi sungai unda, karena roda kereta beliau tidak tenggelam di banjir. Sangat takjub Dhalem dan rombongan menyaksikan kesaktian dari Ida Dhang Hyang. Di tahun saka 1411, (Masehi 1489), sampailah rombongan itu di Keraton Sweca Pura, di Gelgel. Ida Dhang Hyang Nirartha dihaturkan tempat menginap di Taman Bagenda, disanalah kemudian Dhalem Waturenggong dianugrahi banyak ilmu pengetahuan setelah dianggap lulus Ida Dhang Hyang Nirartha berkenan mendiksa Dhalem Waturenggong.
IV.6.Penyerangan Ke Blambangan.
Rencana pernikahan Ida Dhalem Baturenggong dengan Dewi Ayu Baas yang merupakan putri dari raja Blambangan yang bernama Dhalem Juru digagalkan dengan tipu muslihat oleh pangeran Pasuruhan yang bernama Shri Bhima Cili, membuat Dhalem Baturenggong marah dan menyerang Blambangan. Kriyan Patih Ularan, memimpin Dulang Mangap Bali menyerang Blambangan dengan membawa keris pusaka Gelgel yang bernama Ki Dulang Mangap. Tiba di pelabuhan Blambangan, Pasukan perang Bali dihadang dengan hujan panah oleh bala tentara Blambangan. Banyak yang tewas, apalagi Ida Dhalem Juru sangat lihai memainkan sanjata Jamparing, karena terluka di matanya akibat senjata Jemparing Dhalem Juru Kriyan Ularan menjadi marah dan memancung kepala Dhalem Juru. Tewaslah Raja Blambangan dengan kepala terpisah dari badannya. Saat itu tercatat tahun saka 1434, atau tahun Masehi 1512. Berkisaran tahun Saka 1442, atau 1520, Ida Shri Dhalem Waturenggong Jaya Kepakisan menggempur Sasak, karena banyaknya rakyat Sasak menjadi perompak di Selat Bali. Banyak sekali nelayan Bali yang mereka rompak di tengah laut, sampai-sampai nelayan Bali tidak berani turun ke laut. Hal itu yang membuat pikiran Ida Dhalem Bali tidak tenang. Setelah mengerahkan pasukan yang sangat banyak, di tahun 1382, (tahun 1460 masehi), Sasak takluk di bawah kekuasaan Raja Bali.
Di tahun Saka 1400, (tahun 1478 masehi), keraton Majapahit runtuh. Mulai saat itu semakin cemerlanglah kerajaan Bali, apalagi setelah Bali bisa menaklukan kerajaan Blambangan, Puger, dan Sasak. Banyak kemudian Kerajaan lain berkeinginan bersahabat dengan Kerajaan Bali, antara lain : Sumbawa, Madura, dan Bone. Ida Dhalem Waturenggong mempunyai 3 orang putra, laki-laki dan perempuan, antara lain : I Dewa Pamayun, I Dewa Anom Sagening, Shri Dewi Manik. Saat Dhalem berpulang ke alam sunia, putra-putrinya masih kecil-kecil, masih sangat belia. Jadi roda pemerintahan di Gelgel dipegang oleh I Dewa Anggungan, Putra dari I Dewa tegal Besung. Dibantu oleh Ida Shri Dewa Gedong Arta, I Dewa Pagedangan, I Dewa Nusa dan I Dewa Bangli.
IV.7. Pemberontakan Rakriyan Batan Jeruk.
Sekarang dikisahkan tentang rencana Rakriyan Batan Jeruk yang ingin melakukan pemberontakan kepada Keraton Swecapura Gelgel, Rakriyan Batan Jeruk bersekutu dengan I Dewa Anggungan, berencana akan membunuh para putra mahkota Swecapura. Rencana jahat itu didengar oleh Rakriyan Kebon Tubuh yang setia kepada putra mahkota, lalu langsung mengungsikan ketiga putra Dhalem Bali dari keraton, dengan melobangi tembok, menyebrang di halaman rumah Kriyan Penulisan, menuju ke Desa Pekandelan. Setelah Keraton bisa dikuasai oleh Rakriyan Batan Jeruk, tidak ditemukan ketiga putra Dhalem dalam istana, hal itu membuat Rakriyan Batan Jeruk marah, lalu mengamuk seperti kesetanan di dalam Puri Swecapura. Banyak hamba sahaya dan para dayang yang tewas akibat amukannya.
Melihat situasi seperti itu, maka berkumpulah para pembesar Puri Swecapura, membuat rencana menangkap Rakriyan Batan Jeruk, para punggawa itu antara lain: Kyai Pinatih, Kyai Kapal, Kyai Abiansemal, Kyai Kebon Tubuh, Kyai Sukahet, Kyai Pegatepan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Pacung dan Kyai Brangsinga. Terjadi pertempuran yang sengit di dalam Puri Swecapura, antara prajurit yang setia pada Dhalem menyerbu para pemberontak. Kalahlah para pengikut Rakriyan Batan Jeruk, Rakriyan Batan Jeruk tewas dalam pertempuran itu, para senopati bawahan Rakriyan Batan Jeruk melarikan diri, antara lain: Ki Gusti Tusan bersembunyi di rumah pamanya, I Pande Tusan, I Gusti Bebengan dan I Gusti Gung Nangka bersembunyi di utara gunung, Kyai Prajurit bersembunyi di rumah Ki Pasek Manduang. I Dewa Anggungan menyerahkan diri kepada Bala Yuda Gelgel. Setelah pemberontakan Rakriyan Batan Jeruk dapat diatasi, kepemerintahan di keraton Swecapura diatur oleh para punggawa Gelgel yang setia kepada Dhalem Bali, antara lain: I Gusti Agung, Ki Gusti Nginte, Ki Gusti Jelantik, Arya Pinatih, Arya Dawuh, Ki Gusti Lanang Jungutan, Ki Gusti Tapalara dan Ki Gusti Lod.
IV.8. Shri Dewa Pamayun.
Setelah putra mahkota Gelgel dewasa, kekuasaan Gelgel dipegang oleh Ida Shri Dewa Pamayun, dibantu oleh adiknya yang bernama Ida Shri Dewa Anom Sagening. Setelah abhiseka bergelar Ida Shri Dhalem Pamayun. Tetapi masa pemerintahan beliau, kerajaan tidak mempunyai wibawa, karena Ida Shri Dhalem Pamayun sangat tergila-gila dengan istrinya yang cantik, yang bernama Ki Gusti Ayu Samantiga, sehingga beliau tidak mempunyai waktu untuk mengurus kepemerintahan. Beliau amat suka bersenda gurau sehingga wibawa beliau di mata bawahannya tidak bagus.
Banyak kejadian-kejadian yang terjadi memerosotkan wibawa puri, karena beliau kurang tegas dalam mengambil sikap sebagai seorang raja. Ada beberapa pemberontakan kecil di Gelgel, Ida Shri Dhalem Pamayun tidak mempunyai keturunan, itulah sebabnya beliau lebih dikenal dengan nama Shri Dhalem Bekung. Setelah cukup lama beliau memegang kekuasaan di Gelgel, beliau merasa tidak sanggup mengatur pemerintahan, dengan berbesar hati beliau kemudian meninggalkan Gelgel, membangun puri di Desa Kapal.
IV.9. Ida Shri Dhalem Sagening.
Tahun Saka 1502 atau tahun 1580 Masehi, Ida Dhalem Anom Sagening diangkat menjadi Raja Gelgel, dengan gelar Ida Shri Dhalem Anom Sagening Dharma Kepakisan. Dalam pemerintahan beliau Kerajaan Gelgel mulai bangkit kembali, kerajaan menjadi sangat kuat. Tahun Saka 1545 atau tahun 1626 Masehi, kembali bala tentara Bali menyerang Sasak yang ingin lepas dari kekuasaan Gelgel. Penyerangan itu dipimpin oleh, Kriyan Tabanan dan Kriyan Tabah. Tentara Sasak dipimpin oleh Ki Kebo Mundar. Sasak dapat ditaklukan oleh Kyai Tabanan, sementara Kriyan Tabah melarikan diri dari peperangan. Karena hal tersebut Kriyan Tabah tidak diakui lagi sebagai ksatriya oleh Raja Gelgel. Ki Kebo Mundar yang menyerah masih diberikan wewenang untuk mengatur Sasak, dibawah kekuasaan Gelgel. Daerah Badung yang dulu diperintah oleh Kriyan Tabah, dianugrahkan oleh Dhalem Bali kepada Kyai Ngurah Tegeh Kuri, saudara dari Kyai Ngurah Tabanan. Kyai Tegeh Kuri Kemudian membuat puri di Pemecutan.
IV.10. Ida Shri Dewa Dimadya.
Ida Shri Dhalem Sagening Dharma Kepakisan mangkat karena usia yang sudah lanjut, digantikan oleh putra beliau yang bernama Ida Shri Dewa Dimadya, saat itu tahun Saka 1587, atau tahun 1665 Masehi, Ida Shri Dewa Dimadya menjadi raja Gelgel dengan gelar Ida Dhalem Dimadya Buda Kepakisan. Di pemerintahan beliau kembali menurun wibawa kerajaan Gelgel. Daerah taklukan di Sasak, Sumbawa sering diganggu oleh prajurit dari Makasar, Blambangan diganggu oleh prajurit dari Pasuruhan. Kriyan Patih Agung Manginte juga sudah berpulang karena usia lanjut, Digantikan oleh putranya yang bernama Ki Gusti Agung Widia yang lebih dikenal dengan nama Ki Gusti Agung Maruti.
IV.11. Pemberontakan Ki Gusti Agung Maruti.
Dikisahkan Ki Gusti Agung Maruti, beliau diangkat menjadi patih agung di Gelgel, lama kelamaan ada rencana Ki Gusti Agung Maruti memberontak terhadap Dhalem Gelgel, dengan menyebarkan fitnah diantara para pembesar kerajaan Gelgel. Akibat terlalu banyak pitnah dan dusta di keraton, banyak sekali Manca dan angelurah yang mengungsi dari Gelgel, diantaranya : Kyai Tabanan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Kebon Tubuh, Kyai Pinatih, Kyai Mambal, Kyai Tegeh Kori, sedangkan Kyai Pungakan Den Bancingah kembali ke desa minaluah, membawa keris sakti anugrah Ida Dhalem Bali yang bernama Ki Lobar. Karena suasana puri yang sepi, di tahun Saka 1608, atau tahun 1686 Masehi Ki Gusti Agung Maruti memberontak, menyerbu ke dalam Keraton. Tetapi sebelumnya Dhalem Dimadya sudah diungsikan oleh I Dewa Pungakan, dibawa ke Guliang, dikawal oleh para Mantri Kyai Brangsinga dan Kyai Pungakan Den bancingah. Mulai saat itu Keraton Swecapura dikuasai oleh Ki Gusti Agung Maruti.
IV.12. I Dewa Agung Pamayun dan Ida Shri Agung Jambe, Raja Smarapura I.
Ida Shri Dhalem Dimadia Buda Kepakisan mangkat di Guliang karena beliau sudah sangat tua, Ida Dhalem Dimadia mempunyai putra 2 orang laki-laki. Yang sulung bernama I Dewa Agung Pamayun, beribu Desak dari Desa Bakas. Adiknya bernama I Dewa Agung Jambe, beribu patni dampati, putri Ki Gusti Ngurah Jambe Tangkeban, penguasa dari Badung. Setelah Ida Dhalem Dimadia mangkat, diangkatlah Ida Shri Dewa Pamayun sebagai raja. Tetapi Ida Dhalem hanya senang mempelajari sastra, apabila ada manca atau mekel yang ingin menghadap, lebih sering diterima oleh Ida Shri Agung Jambe.
Dengan ijin dari kakaknya, Shri Agung Jambe berkeinginan merebut kembali istana Gelgel dari Kyai Ngurah Agung Maruti. Setelah semua persiapan dirasa cukup,  berangkatlah Ida Shri Agung Jambe ke Desa Sideman, membawa semua alat-alat kebesaran kerajaan Gelgel menuju puri Ida Angelurah Singarsa. Perjalanan kembali Ida Shri Agung Jambe dari Sideman dikawal oleh Ki Gusti Ngurah Agung Singarsa, Kyai Agung Dawuh, Kyai Abian Tubuh, Kyai Dewa Pungakan. Juga bala yuda lengkap dari Sideman dan Dawan menyerang keraton Gelgel yang dikuasai oleh Kyai Ngurah Agung Maruti, Ida Shri Agung Jambe juga mendapat bantuan dari Buleleng, bala yuda Ki Gusti Panji Sakti. Gelgel diserbu dari tiga penjuru. Dari utara Bala yuda Buleleng, dipimpin oleh Ki Gusti Panji Sakti, Dari timur oleh bala yuda Sideman, dipimpin oleh Ida Shri Agung Jambe, dari selatan diserbu oleh bala yuda Badung dipimpin oleh Ki Gusti Ngurah Jambe Pule. Ki Gusti Ngurah Jambe Pule bertarung dengan Ki Gusti Agung Maruti, keduanya gugur dalam perang tanding tersebut. Kyai Padang Kerta bertarung dengan patih Ki Gusti Panji Sakti yang bernama Kyai Tamblang, kalah Kyai Padang Kerta, gugur dalam pertempuran. Setelah kedua pimpinan pemberontak tewas, pimpinan yang lainnya, seperti : Ki Gusti Agung Cau, Kyai Nidul, Kyai Kloping, dan Ki Pasek Gelgel melarikan diri ke Jimbaran, bersembunyi di rumah Ida Wayan Petung Gading.
Setelah perang usai, Keraton Gelgel sudah kembali dapat dikuasai oleh Ida Shri Agung Jambe, beliau kemudian menghaturkan puri Gelgel kepada kakaknya, tetapi Ida Shri Dewa Pamayun tidak mau kembali lagi ke Gelgel, beliau memilih membuat puri di Bukit Tampaksiring dengan pengiring sebanyak 200 orang. Ida Shri Agung Jambe juga tidak mempunyai keinginan kembali ke Puri Gelgel, beliau kemudian membangun keraton di Klungkung, dinamakan Keraton Smara Pura, setelah Ida Shri Agung Jambe diangkat menjadi raja, diberi gelar Shri Dewa Agung Dhalem Jambe, yang menjadi Patih Agung Kyai Angelurah Singarsa.     


Bab V
Kerajaan Payangan
Berdirinya kerajaan Payangan bermula ketika Dhalem Dimade naik tahta di Kerajaan Gelgel mengantikan ayah beliau yakni Dhalem Sagening. Setelah pemberontakan I Gusti Agung Maruti tahun 1686 Masehi, daerah Mengwi menyatakan diri sebagai kerajaan dengan batas timurnya Sungai Ayung, selanjutnya dari batas Sungai Ayung ke Timur masih tetap di bawah kekuasaan Kerajaan Klungkung. Akan tetapi dengan adanya pergolakan kekuasaan di pusat kerajaan Bali maka daerah Payangan kurang mendapat perhatian Klungkung.
V.1. Dinasti Pacung Sakti
Sewaktu Kerajaan Klungkung dalam situasi pergolakan dan tak menentu itu, maka datanglah ekspedisi Arya Sentong turunan yang kelima yang bernama I Gusti Ngurah Pacung Gede, putra dari I Gusti Pacung Sakti di Perean datang ke daerah Payangan pada tahun 1690 Masehi. I Gusti Pacung Sakti di daerah Perean mempunyai putra enam orang yang bernama, I Gusti Pacung Gede, I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Ngurah Bukian, I Gusti Ngurah Tauman, I Gusti Gede Abiantubuh dan I Gusti Nengah Abiantubuh. Di Puri Perean pada waktu itu terjadi perang saudara di antara I Gusti Pacung Sakti dengan saudaranya yang bernama  I Gusti Made Buleleng dari Sembung, yang mengakibatkan terbunuhnya I Gusti Pacung Sakti Perean. Sejak mangkatnya I Gusti Pacung Sakti di Perean maka timbulah keresahan dan rasa kawatir di dalam hati putra-putra I Gusti Pacung Sakti yang kemudian memutuskan untuk meninggalkan Puri Perean, diantara adalah: I Gusti Pacung Gede dengan dua adiknya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ngurah Bukian, dengan diiringi oleh pengikutnya yang masih setia sejumlah kurang lebih 600 kepala keluarga menuju daerah timur Sungai  Ayung dan kemudian sampailah di daerah Payangan.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar