Sejarah
Pemrajan
Agung Umateba Krambitan
Bab I
Pendahuluan
Om
awighnam astu namā śidyam.
Om
prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam
widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam
mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā,
pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam.
Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang
ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun,
muncar anākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah
pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā,
mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama
kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha,
Sunia Loka, Sida Loka Suara Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan
segala masa lalu yang telah menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah
semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang
Hyang purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari
alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, maka wigraha mala papa petaka, bisa terbebas
dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan
datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin,
anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk
keluarga dan alam semesta.
Seorang sejarawan berkebangsaan Amerika pernah berujar bahwa sejarah itu sebagai suatu posisi atau cara
pandang, ibarat seorang penumpang kereta api, meskipun geraknya begitu
cepat namun posisi yang tepat ialah menghadap ke belakang, tentu suatu kesalahan bila sang penumpang itu menghadap ke depan, meski dia bisa menoleh ke kiri atau ke kanan. Gerakan itu dilakukan untuk mengimbangi posisinya dan agar
pandangannya pada sesuatu yang telah dilaluinya tetap. Dengan kata lain tujuan
tolehan itu, untuk mengukukuhkan totalitas dari realitas yang dilaluinya.
Tidak mengherankan bila sejarawan ataupun orang yang belajar
sejarah, hanya punya kuasa atas ruang kehidupan
masa lalu. Sering kali tanpa disadari seseorang menganggap sejarah sebagai
sesuatu yang kuno, klasik, ketinggalan zaman dan predikat negatif lainnya yang
sesungguhnya hendak menyatakan bahwa tidak ada gunanya tahu dan belajar
sejarah. Bukankah jalan hidup kita ini menuju masa yang akan datang dan sejarah
itu sendiri adalah tentang sesuatu yang telah lalu. Namun demikian, dapat juga dikatakan ironis ketika mereka
ditanya tentang asal usul serta ihwal keterangan waktu dan tempat kelahirannya,
juga sepintas mengenai perjalanan hidupnya hingga saat itu, maka dengan mudah dan tanpa perlu lama menggunakan waktu dia
langsung menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya
bila dia ditanya tentang apa dan bagaimana yang akan terjadi, seperti yang
didewakannya dalam cara pandang, mungkin harus berpikir sejenak sambil mengorek
referensi unwriting atau tidak tertulis mengingat kembali
himpunan konsepnya yang terkait dengan itu, kemudian memberikan komentar.
Tanpa bermaksud mengabaikan arti pentingnya masa depan, tetapi
hendak menunjukkan betapa masa lalu itu mudah dan tidak memerlukan
biaya, sehingga siapapun
bisa mengatakannya termasuk mereka yang hanya melihat sebelah mata masa lalu
itu, dengan kata lain pengetahuan dan kesadaran atas eksistensi serta kondisi
kekinian kita hanya bisa dipahami dengan membuka tabir transparan masa lalu, karena hanya dengan melalui cara itu pula kita dapat memprediksikan masa depan. Masyarakat yang bijak adalah masyarakat yang mengenal sejarahnya, karena ada perkataan
bijak yang mengatakan History Repeats Itself sejarah itu berulang kembali. Hal
yang pernah terjadi di masa lampau, suatu saat akan terjadi kembali dengan
variasi yang berbeda tapi esensinya sama. Manusia yang bijak adalah manusia
yang belajar dari masa lalu dan tidak mengulangi kesalahan para pendahulunya. Selain itu, dengan mempelajari catatan sejarah, kita akan lebih
menghargai apa yang kita miliki sebagai manusia.
Setiap masyarakat pasti memiliki
sejarahnya sendiri. Tetapi hanya sebagian kecil dari seluruh masyarakat di dunia ini yang mengerti dan memahami sejarahnya. Oleh karena
itu, kesadaran sejarah pada suatu masyarakat hendaknya mendapat perhatian,
sehingga masing-masing individu dalam suatu masyarakat
sadar dan memahami akan perjalanan sejarah masyarakatnya
sendiri. Kesadaran sejarah merupakan suatu
dimensi historis, dimensi itu memuat konsepsi waktu yang sesungguhnya hanya
dimiliki oleh manusia yang berbudaya, karena hanya manusia yang berbudayalah yang dapat mengenal waktu, baik waktu yang obyektif
maupun subyektif. Waktu yang obyektif adalah waktu yang dapat didasari bersama
dan dapat diakui oleh orang lain. Sedangkan waktu subyektif adalah waktu yang
bersifat internal dan di pengaruhi oleh emosi.
Kesadaran sejarah dapat dalami perorangan yang tercermin di
dalam memori. Namun, yang lebih penting adalah kesadaran sejarah bersifat
kolektif atau kelompok, yaitu suatu bentuk pengalaman bersama suatu masyarakat
sebagai ungkapan reaksi mereka kepada situasi, baik suatu kebudayaan, politik
maupun ekonomi pada masa satu ke masa lain. Peristiwa-peristiwa atau kejadian yang dialami oleh suatu masyarakat atau
suatu masyarakat di masa lampau merupakan pengalaman
sejarah yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat
tersebut. Bahkan tokoh-tokoh masyarakat menganjurkan kepada
kita untuk belajar dari masa lampau, agar dapat menyongsong keberhasilan di
masa kemudian hari. Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dalam
salah satu pidatonya berpesan pada seluruh rakyat Indonesia agar “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”. Dengan demikian, sejarah memiliki arti
yang sangat penting dalam kehidupan sebuah masyarakat, karena
peristiwa sejarah yang telah terjadi pada masa lampau dari sebuah masyarakat itu akan menjadi sebuah pedoman atau pegangan hidup dari masyarakat tersebut di masa sekarang dan dimasa depan. Sejarah dapat memberikan gambaran dan
menjadi pedoman bagi suatu bangsa untuk melangkah pada kehidupannya dimasa kini
dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, setiap masyarakat
atau bangsa didunia memiliki sejarahnya sendiri-sendiri, walaupun tidak semua
masyarakat atau bangsa meninggalkan peninggalan secara tertulis yang sampai
kepada generasi penerusnya.
Bab II
Perjalanan Suci Maha Rsi
Makandya.
Pura Pucak Payogan
Dikisahkan pula Rsi Markandya
bertapa di daerah Demalung sekitar Gunung Dieng, dari sini beliau menuju ke
timur dan bertapa di Gunung Raung Jawa Timur dengan di iringi 400 orang
pengikut, lalu beliau pergi ke Bali untuk menyelamatkan Pulau Bali, beliu
langsung menuju Gunung Agung. Perjalanan Beliau ke Bali pertama menuju Gunung
Agung. Di sanalah maha Rsi dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian.
Tapi sayang, murid-muridnya kena penyakit, banyak di antaranya meninggal.
Akhirnya Beliau kembali ke Pasramannya di Gunung Raung. Di sanalah beryoga,
ingin tahu apa sebabnya hingga bencana menimpa para pengikutnya. Hingga
mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu adalah karena Beliau tidak
melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu.
II.1.
Pura Besakih.
Pura Besakih
Setelah mendapat pawisik, Maharsi
Markandya pergi kembali ke Gunung Tahlangkir atau Tohlangkir Bali. Kali ini mengajak
serta pengikut sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih dahulu
menyeleng- garakan upacara ritual, dengan menanam Panca dhatu di lereng Gunung
Agung itu. Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat. Maka, itu wilayah
ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat
maharsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura, yang diberi nama Pura Besakih.
II.2.
Desa Puakan.
Maharsi Markandeya mengajak pengikut
orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil
menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna
dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan
pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa
Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar. Tentang pembagian
tanah dan kehadiran maha Rsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta
ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring
genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Pandita prasama
anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning
Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa marana,
tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus
puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas
ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh
sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang
tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira
araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang
tegal karang paumahan.....,
Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya
seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju,
maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha
samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Batara
semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama
dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan
Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan pangaci-aci atau melakukan upacara, maka seluruh
rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu,
di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.
Atas perkenan Tuhan Hyang Maha
Kuasa, proses perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka
Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan
hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya
untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
II.3.Desa
Taro.
Pura Gunung
Raung Taro
Entah berapa lamanya Maharsi
Markandya berada di sana, lalu Beliau pergi menuju arah Barat dan sampai di
suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah lagi merabas hutan. Wilayah yang
datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata Puwakan ini
lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi subak. Di tempat ini Rsi Markandya
menanam jenis-jenis bahan pangan. Semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan
baik. Oleh karenanya tempat itu juga disebut Sarwada yang artinya serba ada.
Keadaan ini bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi. Kehendak bahasa Balinya
kahyun atau adnyana. Dari kata kahyun menjadi kayu. Kayu bahasa Sansekertanya
taru, kemungkinan menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini kemudian. Di
wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap
pasraman Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai sekarang disebut Gunung Raung.
II.4.Desa
Ubud.
Pura Gunung
Lebah, Campuan Ubud
Setelah berhasil merabas hutan di
Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu
titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan
dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan
lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. di tempat
Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan. Sekitar dua
kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi
Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai
tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat
panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi
Markandeya ada ditegaskan:
Mwah
ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para
sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa....”
Artinya :
di pinggir sungai Oos itu terdapat
sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya,
seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.
Berikutnya Rsi Markandya pergi ke
Barat dari Payogan itu, dan sampai di sana juga membangun sebuah pura yang
diberi nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang
menjadi Payangan. Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang
dilalui. Mereka bercampur dan membaur dengan orang-orang Bali Asli. Mereka
mengajarkan cara bercocok tanam yang baik, menyelenggarakan yajna seperti yang
diajarkan oleh Rsi Markandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima
dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu. Sebagai Rohaniawan atau Pandita, orang Aga dan Bali Mula,
adalah keturunan Maharesi Markandya sendiri yang disebut Warga Bujangga
Waisnawa.
Dalam zaman raja-raja berikutnya,
Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Purohita mendampingi raja, ada yang
berkedudukan sebagai Senapati Kuturan, seperti Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi
Senapati Kuturan oleh Sang Ratu Adnyanadewi tahun 1016 Masehi, sebagai pengganti
Mpu Rajakerta atau Mpu Kuturan. Ratu ini pula yang memberikan kewenangan kepada
Sang Guru Bujangga Waisnawa untuk melakukan pacaruan Walisumpah ke atas. Karena
sang pendeta mampu membersihkan segala noda di bumi ini. Lalu Mpu Atuk yang
masih keturunan Rsi Markandya, di masa pemerintahan Shri Sakala Indukirana tahun 1098 Masehi, dinobatkan sebagai Senapati
Kuturan.
Pada masa pemerintahan Suradhipa dari tahun 1115 sampai dengan tahun 1119
Masehi,
yang dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari keturunan Sang Rsi Markandya
adalah Mpu Ceken, kemudian diganti oleh Mpu Jagathita. Kemudian ketika
pemerintahan Raghajaya tahun 1077 Masehi, yang diangkat sebagai Senapati Kuturan yakni Mpu Andona
Amenang, Demikianlah seterusnya. Ketika pemerintahan raja-raja selanjutnya,
selalu saja ada seorang Purohita Raja atau Dhalem yang diambil dari keluarga
keturunan Maharsi Markandya. Sampai terakhir masa pemerintahan Dhalem Batur
Enggong di Bali. Ketika itu yang menjadi Bagawanta Dhalem, mewakili sekte
Waisnawa, adalah dari Bujangga Waisnawa pula dari Griha Takmung. Namun sayang
dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi kesalahan Sang Guru Bujangga,
di mana Beliau selaku Acarya atau Guru telah mengawini sisyanya sendiri yakni Putri Dhalem
yaitu Dewa Ayu Laksmi. Atas kesalahan ini sang Guru Bujangga Waisnawa akan
dihukum bunuh. Tapi Beliau segera menghilang dan kemudian menetap di wilayah
Tabanan.Semenjak kejadian inilah Dhalem tidak lagi memakai Bhagawanta dari
Bujangga Waisnawa keturunan Sang Rsi Markandya.
Bab III
Sekte-sekte di Bali
Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang
pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi,
Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha. Di antara
sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa
Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuana Kosa. Sekte Siwa
memiliki cabang yang banyak. Antara lain: Pasupata, Kalamukha, Bhairawa,
Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta
berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti
dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini megutama kan pemujaan ke hadapan Tri
Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa
lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa
itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa
Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah daerah Madya Pradesh, yang kemudian
disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
Sekte Pasupata juga merupakan sekte
pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya.
Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat
turunnya atau
berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan
ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan
sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat
terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada
yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin
sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
Pura Samuan
Tiga, Bedulu Gianyar
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan
jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan
Dewi Shri. Dewi Shri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan
kemakmur an. Di kalangan petani di Bali, Dewi Shri dipandang sebagai dewanya
padi yang merupakan keperluan hidup yang utama.
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di
Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal
meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak
diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim, mantra Budha aliran Mahayana
diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya
arca Boddhi satwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhi satwa Padmapani di Pura
Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain. Sekte
Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di
India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di
Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang
bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
Mengenai sekte Rsi di Bali, Dr. R.
Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan,
bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa atau golongan Brahmana. Istilah Dewa Rsi
atau Raja Rsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari
Wangsa Ksatria. Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte
Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari
yang disebut Surya Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari
terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan
Surya Sewana ini juga terdapat sekarang di Bali.
Pura Guagajah,
Bedulu Gianyar
Selain itu yang lebih jelas lagi,
setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya
sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.
Durga
Mahisasura Nandini
Sekte Gonapatya adalah kelompok
pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya
ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu
padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca
Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada
dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di
lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah
zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil
ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi
mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung
dewa lain. Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai
Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dhalem yang ada di tiap desa
pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan
terhadap Ratu Ayu atau Rangda juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte
wacamara atau sekte
aliran kiri yang mendambakan kekuatan yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi.
Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai
Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. Pada tahun Saka 910 atau tahun 988 Masehi, Bali diperintah raja Dharma
Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni yang merupakan putri
Makutawangsa Whardana. Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta
yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi
tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati,
sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.
Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup
berdampingan secara damai, lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan, bahkan tak jarang terjadi bentrok
secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali, sehubungan dengan hal tersebut, raja
lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas
dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu
pertemuan yang dilakukan di Bata Anyar atau Samuan Tiga. Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan
keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar