Selasa, 06 Oktober 2015

Sejarah Pemrajan Agung Umateba Krambitan

Sejarah
Pemrajan Agung Umateba Krambitan
Bab I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, maka wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
Seorang sejarawan berkebangsaan Amerika pernah berujar bahwa sejarah itu sebagai suatu posisi atau cara pandang, ibarat seorang penumpang kereta api, meskipun geraknya begitu cepat namun posisi yang tepat ialah menghadap ke belakang, tentu suatu kesalahan bila sang penumpang itu menghadap ke depan, meski dia bisa menoleh ke kiri atau ke kanan. Gerakan itu dilakukan untuk mengimbangi posisinya dan agar pandangannya pada sesuatu yang telah dilaluinya tetap. Dengan kata lain tujuan tolehan itu, untuk mengukukuhkan totalitas dari realitas yang dilaluinya.
Tidak mengherankan bila sejarawan ataupun orang yang belajar sejarah, hanya punya kuasa atas ruang kehidupan masa lalu. Sering kali tanpa disadari seseorang menganggap sejarah sebagai sesuatu yang kuno, klasik, ketinggalan zaman dan predikat negatif lainnya yang sesungguhnya hendak menyatakan bahwa tidak ada gunanya tahu dan belajar sejarah. Bukankah jalan hidup kita ini menuju masa yang akan datang dan sejarah itu sendiri adalah tentang sesuatu yang telah lalu. Namun demikian, dapat juga dikatakan ironis ketika mereka ditanya tentang asal usul serta ihwal keterangan waktu dan tempat kelahirannya, juga sepintas mengenai perjalanan hidupnya hingga saat itu, maka dengan mudah dan tanpa perlu lama menggunakan waktu dia langsung menjawab pertanyaan itu.  Sebaliknya bila dia ditanya tentang apa dan bagaimana yang akan terjadi, seperti yang didewakannya dalam cara pandang, mungkin harus berpikir sejenak sambil mengorek referensi unwriting atau tidak tertulis mengingat kembali himpunan konsepnya yang terkait dengan itu, kemudian memberikan komentar.
Tanpa bermaksud mengabaikan arti pentingnya masa depan, tetapi hendak menunjukkan betapa masa lalu itu mudah dan tidak memerlukan biaya, sehingga siapapun bisa mengatakannya termasuk mereka yang hanya melihat sebelah mata masa lalu itu, dengan kata lain pengetahuan dan kesadaran atas eksistensi serta kondisi kekinian kita hanya bisa dipahami dengan membuka tabir transparan masa lalu, karena hanya dengan melalui cara itu pula kita dapat memprediksikan masa depan. Masyarakat yang bijak adalah masyarakat yang mengenal sejarahnya, karena ada perkataan bijak yang mengatakan History Repeats Itself sejarah itu berulang kembali. Hal yang pernah terjadi di masa lampau, suatu saat akan terjadi kembali dengan variasi yang berbeda tapi esensinya sama. Manusia yang bijak adalah manusia yang belajar dari masa lalu dan tidak mengulangi kesalahan para pendahulunya. Selain itu, dengan mempelajari catatan sejarah, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki sebagai manusia.
Setiap masyarakat pasti memiliki sejarahnya sendiri. Tetapi hanya sebagian kecil dari seluruh masyarakat di dunia ini yang mengerti dan memahami sejarahnya. Oleh karena itu, kesadaran sejarah pada suatu masyarakat hendaknya mendapat perhatian, sehingga masing-masing individu dalam suatu masyarakat sadar dan memahami akan perjalanan sejarah masyarakatnya sendiri. Kesadaran sejarah merupakan suatu dimensi historis, dimensi itu memuat konsepsi waktu yang sesungguhnya hanya dimiliki oleh manusia yang berbudaya, karena hanya manusia yang berbudayalah yang dapat mengenal waktu, baik waktu yang obyektif maupun subyektif. Waktu yang obyektif adalah waktu yang dapat didasari bersama dan dapat diakui oleh orang lain. Sedangkan waktu subyektif adalah waktu yang bersifat internal dan di pengaruhi oleh emosi.
Kesadaran sejarah dapat dalami perorangan yang tercermin di dalam memori. Namun, yang lebih penting adalah kesadaran sejarah bersifat kolektif atau kelompok, yaitu suatu bentuk pengalaman bersama suatu masyarakat sebagai ungkapan reaksi mereka kepada situasi, baik suatu kebudayaan, politik maupun ekonomi pada masa satu ke masa lain. Peristiwa-peristiwa atau kejadian yang dialami oleh suatu masyarakat atau suatu masyarakat di masa lampau merupakan pengalaman sejarah yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat tersebut. Bahkan tokoh-tokoh masyarakat menganjurkan kepada kita untuk belajar dari masa lampau, agar dapat menyongsong keberhasilan di masa kemudian hari. Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dalam salah satu pidatonya berpesan pada seluruh rakyat Indonesia agarJangan sekali-sekali melupakan sejarah”. Dengan demikian, sejarah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan sebuah masyarakat, karena peristiwa sejarah yang telah terjadi pada masa lampau dari sebuah masyarakat itu akan menjadi sebuah pedoman atau pegangan hidup dari masyarakat tersebut di masa sekarang dan dimasa depan. Sejarah dapat memberikan gambaran dan menjadi pedoman bagi suatu bangsa untuk melangkah pada kehidupannya dimasa kini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, setiap masyarakat atau bangsa didunia memiliki sejarahnya sendiri-sendiri, walaupun tidak semua masyarakat atau bangsa meninggalkan peninggalan secara tertulis yang sampai kepada generasi penerusnya.
Bab II
Perjalanan Suci Maha Rsi Makandya.
Pura Pucak Payogan
Dikisahkan pula Rsi Markandya bertapa di daerah Demalung sekitar Gunung Dieng, dari sini beliau menuju ke timur dan bertapa di Gunung Raung Jawa Timur dengan di iringi 400 orang pengikut, lalu beliau pergi ke Bali untuk menyelamatkan Pulau Bali, beliu langsung menuju Gunung Agung. Perjalanan Beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung. Di sanalah maha Rsi dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian. Tapi sayang, murid-muridnya kena penyakit, banyak di antaranya meninggal. Akhirnya Beliau kembali ke Pasramannya di Gunung Raung. Di sanalah beryoga, ingin tahu apa sebabnya hingga bencana menimpa para pengikutnya. Hingga mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu adalah karena Beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu.



II.1. Pura Besakih.
Pura Besakih
Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi kembali ke Gunung Tahlangkir atau Tohlangkir Bali. Kali ini mengajak serta pengikut sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih dahulu menyeleng- garakan upacara ritual, dengan menanam Panca dhatu di lereng Gunung Agung itu. Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat. Maka, itu wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat maharsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura, yang diberi nama Pura Besakih.
II.2. Desa Puakan.
Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar. Tentang pembagian tanah dan kehadiran maha Rsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,
Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan pangaci-aci atau melakukan upacara, maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.
Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
II.3.Desa Taro.
Pura Gunung Raung Taro
Entah berapa lamanya Maharsi Markandya berada di sana, lalu Beliau pergi menuju arah Barat dan sampai di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah lagi merabas hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi subak. Di tempat ini Rsi Markandya menanam jenis-jenis bahan pangan. Semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat itu juga disebut Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan ini bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi. Kehendak bahasa Balinya kahyun atau adnyana. Dari kata kahyun menjadi kayu. Kayu bahasa Sansekertanya taru, kemungkinan menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini kemudian. Di wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap pasraman Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai sekarang disebut Gunung Raung.
II.4.Desa Ubud.

Pura Gunung Lebah, Campuan Ubud
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan. Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa....”
Artinya :
di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.
Berikutnya Rsi Markandya pergi ke Barat dari Payogan itu, dan sampai di sana juga membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan. Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui. Mereka bercampur dan membaur dengan orang-orang Bali Asli. Mereka mengajarkan cara bercocok tanam yang baik, menyelenggarakan yajna seperti yang diajarkan oleh Rsi Markandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu. Sebagai Rohaniawan atau Pandita, orang Aga dan Bali Mula, adalah keturunan Maharesi Markandya sendiri yang disebut Warga Bujangga Waisnawa.
Dalam zaman raja-raja berikutnya, Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Purohita mendampingi raja, ada yang berkedudukan sebagai Senapati Kuturan, seperti Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi Senapati Kuturan oleh Sang Ratu Adnyanadewi tahun 1016 Masehi, sebagai pengganti Mpu Rajakerta atau Mpu Kuturan. Ratu ini pula yang memberikan kewenangan kepada Sang Guru Bujangga Waisnawa untuk melakukan pacaruan Walisumpah ke atas. Karena sang pendeta mampu membersihkan segala noda di bumi ini. Lalu Mpu Atuk yang masih keturunan Rsi Markandya, di masa pemerintahan Shri Sakala Indukirana tahun 1098 Masehi, dinobatkan sebagai Senapati Kuturan.
Pada masa pemerintahan Suradhipa dari tahun 1115 sampai dengan tahun 1119 Masehi, yang dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari keturunan Sang Rsi Markandya adalah Mpu Ceken, kemudian diganti oleh Mpu Jagathita. Kemudian ketika pemerintahan Raghajaya tahun 1077 Masehi, yang diangkat sebagai Senapati Kuturan yakni Mpu Andona Amenang, Demikianlah seterusnya. Ketika pemerintahan raja-raja selanjutnya, selalu saja ada seorang Purohita Raja atau Dhalem yang diambil dari keluarga keturunan Maharsi Markandya. Sampai terakhir masa pemerintahan Dhalem Batur Enggong di Bali. Ketika itu yang menjadi Bagawanta Dhalem, mewakili sekte Waisnawa, adalah dari Bujangga Waisnawa pula dari Griha Takmung. Namun sayang dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi kesalahan Sang Guru Bujangga, di mana Beliau selaku Acarya atau Guru telah mengawini sisyanya sendiri yakni Putri Dhalem yaitu Dewa Ayu Laksmi. Atas kesalahan ini sang Guru Bujangga Waisnawa akan dihukum bunuh. Tapi Beliau segera menghilang dan kemudian menetap di wilayah Tabanan.Semenjak kejadian inilah Dhalem tidak lagi memakai Bhagawanta dari Bujangga Waisnawa keturunan Sang Rsi Markandya.




Bab III
Sekte-sekte di Bali
Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha. Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuana Kosa. Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain: Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini megutama kan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah daerah Madya Pradesh, yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya atau berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata.  Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
Pura Samuan Tiga, Bedulu Gianyar
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Shri. Dewi Shri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmur an. Di kalangan petani di Bali, Dewi Shri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama.
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim, mantra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhi satwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhi satwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain. Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
Mengenai sekte Rsi di Bali, Dr. R. Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa atau golongan Brahmana. Istilah Dewa Rsi atau Raja Rsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria. Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Surya Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Surya Sewana ini juga terdapat sekarang di Bali.
Pura Guagajah, Bedulu Gianyar
Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.
Durga Mahisasura Nandini
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain. Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dhalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu atau Rangda juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara atau sekte aliran kiri yang mendambakan kekuatan yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. Pada tahun Saka 910 atau tahun 988 Masehi, Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni yang merupakan putri Makutawangsa Whardana. Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.

Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai, lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan, bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali, sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bata Anyar atau Samuan Tiga. Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar