Bab VI
Kerajaan Payangan
Berdirinya
kerajaan Payangan bermula ketika Dalam Dimade naik tahta di Kerajaan Gelgel
mengantikan ayah beliau yakni Dhalem Sagening. Di dalam lingkungan kerajaan
mulailah terjadi intrik yang mengarah kepada suatu kekeruhan politik. Intrik
ini tampak semakin menjurus ke arah perebutan kekuasaan, ketika
tindakan-tindakan Dhalem Dimade dinilai banyak menyimpang oleh para bawahannya
seperti penyerahan keris pusaka kepada I Dewa Tangkeban. Pada akhirnya hal-hal tersebut di atas telah
menyebabkan munculnya rasa ketidakpuasan di kalangan pejabat istana sehingga
mengakibatkan meletusnya pemberontakan di bawah pimpinan patih kerajaan yakni I
Gusti Agung Maruti.
Pemberontakan
ini telah membawa keruntuhan Kerajaan Gelgel yang pada saat itu berkuasa di
seluruh daratan Pulau Bali (Rai,1986: 4). Dalam pemberontakan itu Dhalem Dimade
dapat disingkirkan dan mengungsi sampai di Desa Guliang bersama dua orang
putranya yang bernama Dewagung Pemayun dan Dewagung Jambe disertai oleh
pengikutnya yang setia (Nindhia, 2003: 4). Terusirnya keluarga raja dari istana
Gelgel yang kemudian menghimpun kekuatan
di Desa Guliang. Dengan demikian, I Gusti Agung Maruti memegang tampuk
pemerintahan sampai adanya serangan balik terhadap I Gusti Agung Maruti dengan
pengikut-pengikutnya.
Setelah
para Arya di Bali yang diberi kepercayaan oleh Dhalem untuk memimpin daerah Den
Bukit (Buleleng), Karangasem, dan Badung mengetahui mengenai pemberontakan I
Gusti Agung Maruti dan mengambil alih kekuasaan Kerajaan di Klungkung, maka
para Arya ini menyatakan sikap menentang terhadap kekuasaan I Gusti Agung
Maruti di Klungkung dan masing-masing menyatakan berdiri sendiri, sambil
menyusun persiapan untuk mengembalikan kekuasaan Dhalem ke Kerajaan Klungkung.
Setelah para Arya ini menyatakan berdiri sendiri kemudian selanjutnya membentuk
kerajaan sendiri.
VI.1. Dinasti Pacung Sakti
Setelah
pemberontakan I Gusti Agung Maruti, daerah Mengwi menyatakan diri sebagai
kerajaan dengan batas timurnya Sungai Ayung, selanjutnya dari batas Sungai
Ayung ke Timur masih tetap di bawah kekuasaan Kerajaan Klungkung. Akan tetapi
dengan adanya pergolakan kekuasaan di pusat kerajaan Bali maka daerah Payangan
kurang mendapat perhatian Klungkung. Sewaktu Kerajaan Klungkung dalam situasi
pergolakan dan tak menentu itu, maka datanglah ekspedisi Arya Sentong (turunan
yang kelima) yang bernama I Gusti Ngurah Pacung Gede, putra dari I Gusti Pacung
Sakti di Perean datang ke daerah Payangan. I Gusti Pacung Sakti di daerah
Perean mempunyai putra enam orang yang bernama; I Gusti Pacung Gede, I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Ngurah Bukian, I Gusti Ngurah Tauman, I Gusti Gede
Abiantubuh dan I
Gusti Nengah Abiantubuh.
Di
Puri Perean pada waktu itu terjadi perang saudara di antara I Gusti Pacung
Sakti dengan saudaranya yang bernama I
Gusti Made Buleleng dari Sembung, yang mengakibatkan terbunuhnya I Gusti Pacung
Sakti Perean. Sejak meninggalnya I
Gusti Pacung Sakti di Perean maka timbulah keresahan dan rasa kawatir di dalam
hati putra-putra I Gusti Pacung Sakti. Kemudian timbulah keinginan di antara
mereka yang meninggalkan Puri Perean. Diantara mereka yang meninggalkan Puri
Perean adalah: I Gusti Pacung Gede dengan dua adiknya yaitu I Gusti Ngurah Rai
dan I Gusti Ngurah Bukian, dengan diiringi oleh pengikutnya yang masih setia
sejumlah kurang lebih 600 kepala keluarga menuju daerah timur Sungai Ayung dan kemudian sampailah di daerah
Payangan.
Sesampainya
di daerah Payangan I Gusti Ngurah Pacung Gede dan adiknya I Gusti Ngurah Rai
menetap di Payangan dengan para pengikutnya sejumlah 400 kepala keluarga.
Sedangkan adiknya yang bernama I Gusti Ngurah Bukian terus melanjutkan
perjalanannya menuju ke arah timur laut dengan para pengikutnya sebanyak 200
kepala keluarga, sampai di sebelah barat Sungai Wos Ulu. Di sana I Gusti Ngurah
Bukian menetap di suatu desa yang disebut Desa Bukian. Kedatangan I Gusti
Ngurah Pacung Gede ke Payangan belum bisa membentuk suatu kerajaan. Akan tetapi
masih dalam taraf pembinaan dan persiapan terbentuknya suatu kerajaan. Setelah
lama berada di Payangan I Gusti Pacung Gede berputra tiga orang yaitu: I Gusti
Ngurah Pacung Oka, I
Gusti Ngurah Rai dan I
Gusti Ngurah Taro bertempat tinggal di Desa Taro dengan pengikutnya 200 kepala
keluarga.
Setelah
I Gusti Ngurah Pacung Gede meninggal, maka yang mengambil alih sebagai pucuk
pimpinan daerah Payangan waktu itu adalah putra tertua yaitu I Gusti Pacung Oka
dengan gelar I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka.
Dalam
kepemimpinan I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka mulailah daerah Payangan diadakan
pembangunan-pembangunan dibidang pertanian dalam wujud pembuatan sawah-sawah.
Setelah I Gusti Pacung Gede Oka mampu menyusun pemerintahan dan pembangunan
pertanian sebagai modal pokok dalam pembinaan suatu wilayah maka timbulah
maksud untuk membentuk suatu kerajaan dengan cara pengangkatan diri Mebiseka Ratu, sehingga bebas dari
kekuasaan raja-raja lain, dimana waktu itu sebelah baratnya adalah kekuasaan
Kerajaan Mengwi dan sebelah timurnya adalah masih kekuasaan Kerajaan Klungkung.
Hal ini mengundang iri raja Mengwi yaitu I Gusti Agung Gede Blambangan sangat
murka dan mengadukan perihal tersebut kepada Dhalem di Klungkung yang waktu itu
masih di bawah Ida Dewa Agung Gede di Kerajaan Klungkung.
Dengan
demikian mulailah pemerintahan I Gusti Pacung Gede Oka terancam. Ancaman
tersebut dari barat akan berhadapan dengan pasukan Mengwi serta dari timur akan
berhadapan dengan kekuatan Dhalem dengan dibantu oleh laskar Nyalian. Sedangkan Bangli dan Taro sendiri sejak
semula memiliki rasa kurang harmonis antara I Gusti Pacung Gede Oka dengan I
Gusti Ngurah Taro. Pada pertempuran yang tidak seimbang itu, laskar I Gusti
Pacung Gede Oka Kalah, dan terus mengungsi ke Karangsari Bangli dengan pengikut
400 kepala keluarga. Pejenengan I Kasur Sari tertinggal di Payangan, hanya
tombak Alang-Alang Gagak saja yang tetap di bawa. Dari Karangsari Bangli beliau
terus pindah ke Samuan dan menetap di Samuan untuk beberapa saat bersama para
pengikutnya.
Sewaktu
I Gusti Ngurah Pacung Sakti di Perean dikalahkan oleh I Gusti Ngurah Beleleng
dari Sembung, maka kemudian pemerintahan wilayah Perean diatur dari Sembung,
tapi salah satu parekan I Gusti Ngurah Pacung Sakti yang bernama I Papak atau I Made Ungasan, dengan bantuan I Gusti
Ngurah Tabanan dapat menggulingkan kekuasaan I Gusti Ngurah Buleleng. Merasa
terancam hidupnya di Perean, I Gusti Ngurah Buleleng memutuskan untuk mengungsi
ke arah timur dengan diiringi oleh para pengikutnya. Sampai di Payangan I Gusti
Ngurah Beleleng dan pengikutnya bernaung di bawah kekuasaan Ida Dewa Agung Made
Sukawati yang merupakan raja pertama di kerajaan Payangan. Di wilayah Payangan
tepatnya di Desa Keliki, I Gusti Ngurah Beleleng tinggal dan menetap bersama
putra-putranya berjumlah delapan orang yaitu: I Gusti Pate, I Gusti Batan Duren, I Gusti Gunung, I Gusti Lod Pate, I Gusti Made Selat, I Gusti Ngurah Selat, I Gusti Ketut Selat dan I Gusti Lod Jalan
bertempat tinggal di Sebali, mempunyai anak bernama I Gusti Made Lod yang
kemudian bertempat tinggal di Bebalang yang dikenal dengan nama I Gusti Ngurah Bebalang (Nindha,2003: 21).
Sewaktu
I Gusti Pacung Gede Oka sampai di Samuan, didengar oleh I Gusti Ngurah Bebalang
dan bersama dengan I Telugtug pergi menjemput ke Samuan untuk memohon agar I
Gusti Pacung Gede Oka bersedia tinggal di Bebalang dan akan dibuatkan tempat
tinggal di sebelah timur Desa Bebalang dan selanjutnya disebut dengan Puri
Carang Sari. Mulai saat itu daerah
Payangan berada dalam kekuasaan Dhalem Klungkung dan menjadi wilayah kerajaan
berdiri sendiri dalam pemerintahannya dipimpin oleh raja pertama Kerajaan
Payangan adalah Ida Dewa Agung Made
Sukawati.
VI.2. Dinasti Kerajaan Payangan.
Adapun
raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Payangan menurut silsilah Puri
Agung Payangan dan dokumen Pribadi yang dibuat oleh Nindhia tahun 2003, secara
berturut-turut adalah :
VI.2.1. Ida Tjokorda Made Sukawati
(Bergelar Ida Dewa Agung Made Sukawati)
Sekitar
tahun 1776 mulailah pemerintahan Ida Tjokorda Made Sukawati di Kerajaan
Payangan dengan gelar Ida Dewagung Made Sukawati. Dengan demikian mulailah
status Payangan dianggap menjadi wilayah kerajaan yang berdiri sendiri di bawah
naungan Kerajaan Klungkung. Ida Tjokorda Made Sukawati memerintah di Kerajaan
Payangan dengan didampingi oleh permaisurinya bernama Tjokorda Istri Kompiang
yang masih sepupunya dari Puri Tampaksiring. Wilayah dan istana Payangan ini
merupakan persembahan dari I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka.
Ida
Tjokorda Made Sukawati memiliki tiga orang putra yaitu; Tjokorda Gede Anom, Tjokorda Jambe dan Tjokorda Tamu. Tjokorda Gede Anom kelak akan menjadi raja
Kerajaan Payangan yang ke-2. Akan tetapi beliau tidak memiliki putra sehingga
Tjokorda Gede Anom mengangkat seorang keponakannya yang bernama Ida Tjokorda
Putu Melinggih yang merupakan salah satu dari enam putra dari adiknya yang
kedua yaitu Tjokorda Tamu. Sementara itu adiknya yang bernama Tjokorda Jambe
adalah satria yang sangat sakti dan kebal.
Dengan
kesaktian yang tiada tanding ini, ada seorang raja dari pesisir Gianyar untuk
menguji kesaktian dan kekebalan dari Tjokorda Jambe. Akan tetapi raja dari
pesisir Gianyar itu kalah. Kemudian muncul siasat dari raja pesisir Gianyar
tersebut untuk mengadu kesaktian Tjokorda Jambe dengan seorang yang terkenal
kesaktiannya yang berada di daerah Badung (waktu itu Badung belum menjadi
kerajaan). Dengan segala tipu muslihat, diundanglah Ida Tjokorda Jambe untuk
datang ke daerah Badung dengan alasan diundang mengobati seorang kerabatnya
yang sakit keras. Akan tetapi sampai di sana beliau dihadang oleh pasukan
bertombak, akan tetapi pasukan bertombak tersebut tidak bisa menyerang Tjokorda
Jambe, malahan pasukan tersebut menari-nari. Karena beliau mengetahui dirinya
mau dibunuh maka dengan jiwa ksatrianya yang tinggi bersabdahlah beliau:
“Kalau
kalian sangat menginginkan nyawa saya,
saya akan berikan pakailah sirih pemberian saya ini untuk alat mencabut nyawa
saya, akan tetapi ingatlah, setelah saya meninggal, kamu sekalian patut
membuatkan saya pelinggih di Pura Desa Badung agar masyarakat mengenang
kematian saya”.
(Pelinggih
tersebut kemudian disebut Pelinggih Ratu Pemayun Payangan, yang terdapat di
Pura Desa Badung) (Dokumen Puri Agung Payangan, Babad Pamayun Payangan).
Setelah
itu sirih pemberian Tjokorda Jambe dilemparkan ke badan beliau, maka wafatlah
beliau di Badung. Dan sampai kini oleh keturunannya Puri Payangan beliau
disebut Betara Mantuk Ring Badung dan di Payangan sendiri dibuatkan pelinggih
di Pura Alas Angker. Sedangkan di Badung beliau disebut Ratu Pamayun Payangan.
Ida Tjokorda Jambe tidak memiliki putra.
VI.2.2. Ida Tjokorda Made Anom
(Bergelar Ida Dewa Agung Anom)
Ida
Tjokorda Made Sukawati pun berpulang dan digantikan oleh putra pertamanya yaitu
Ida Tjokorda Made Anom sebagai raja di Kerajaan Payangan. Beliau bergelar Ida
Dewagung Anom. Akan tetapi Ida Tjokorda Made Anom tidak memiliki putra maka
beliau mengangkat keponakan, yaitu Ida Tjokorda Putu Melinggih yang merupakan
putra dari Tjokorda Tamu. Dipilihnya putra
Tjokorda Tamu ini dikarenakan Tjokorda Jambe yang merupakan adik pertama dari
Ida Tjokorda Anom sudah meninggal. Untuk menjalin kesetiaan dan keharmonisan
suasana di Kerajaan Payangan, maka setelah dewasa putra-putra dari Tjokorda
Tamu di tempatkan di daerah-daerah untuk memegang suatu jabatan. Daerah-daerah
penempatan dari keenam putra Tjokorda Tamu yaitu: Tjokorda Putu Melinggih tetap
berada di istana Puri Payangan dan diangkat sebagai putra mahkota oleh Ida
Tjokorda Anom. Tjokorda
Made Kaler ditempatkan di Pengiyahan Desa Puhu Payangan. Beliau memiliki tiga
putra yaitu: Anak
Agung Sameruta, Anak
Agung Gde Pengiyahan pindah ke Desa Kedewatan, Anak Agung Anom Gunung pergi ke
Klungkung sebagai utusan dalam pembuatan
senjata. Tjokorda
Gde Rai masih tetap di istana Puri Payangan untuk membantu dan melindungi
kakaknya Tjokorda Putu Melinggih.
Tjokorda
Anom Karang ditempatkan di Puri Kelod Payangan, beliau memiliki tiga putra
yaitu: Anak
Agung Gde Ancak, Anak
Agung Made Karang dan Anak
Agung Pinatih yang pindah ke Pesanggingan Kedewatan sebagai pemucuk untuk
memperkuat benteng selatan Kerajaan Payangan. Tjokorda Raka Lencong di
tempatkan di Puri Kelod Kauh. Dimana beliau memiliki empat orang putra yaitu:
Anak Agung Gde Kocong, Anak
Agung Gde Gewar, Anak
Agung Gde Keramas dan Anak
Agung Gde Dalang yang pindah ke Desa Selat, Payangan.
Tjokorda
Geria ditempatkan di Puri Kawan dan memiliki enam orang putra yaitu: Anak Agung
Gde Begawan, Anak
Agung Gde Sampalan, Anak
Agung Ngelurah, Anak
Agung Rai Suma, Anak
Agung Anom dan Anak
Agung Meranggi pindah ke Singeperang (Nindhia, 2003: 31-33). Pada masa pemerintahan
Ida Tjokorda Gde Anom tidaklah banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang
menonjol. Setelah beliau wafat, maka beliau digantikan oleh putra mahkotanya
yaitu Ida Tjokorda Putu Melinggih.
VI.2.3. Ida Tjokorda Putu Melinggih
(Bergelar Ida Dewa Agung Rangki)
Setelah
meninggalnya raja Payangan ke-2 yaitu Ida Tjokorda Gede Anom, maka beliau
digantikan oleh putra angkatnya yang bernama Ida Tjokorda Putu Melinggih
sebagai Raja Kerajaan Payangan Ke-3. Ida Tjokorda Putu Melinggih bergelar Ida
Dewagung Rangki. Beliau memiliki tiga orang istri, antara lain: Tjokorda Istri Pejeng
yang berasal dari keturunan Tampaksiring yang pindah ke Pejeng, Ida Tjokorda Istri
Petulu yang merupakan turunan leluhurnya dari turunan Ida Dewagung Jambe dan Sang Ayu yang masih
ada hubungan darah dengan Sang Made Jematang.
Istri
pertama dan kedua dari Tjokorda Putu Melinggih berstatus Perami (kawin
pepadan). Setelah lama menikah, Ida
Tjokorda Putu Melinggih belum juga dikaruniai seorang putra mahkota. Maka dengan demikian beliau berkehendak untuk
memohon kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhurnya agar dikaruniai putra
mahkota. Kemudian beliau melakukan semedi. Setelah lama bersemedi, maka istri
ketiga beliau pun hamil. Putra Ida Tjokorda Putu Melinggih pun lahir dan diberi
nama Tjokorda Oka. Akan tetapi untuk menjadi putra mahkota harus didarmaputra oleh salah satu
permaisurinya dan yang berhak untuk mendarma
putrakan adalah permaisuri yang lebih tua yaitu Ida Tjokorda Istri Pejeng.
Sementara
itu, Ida Tjokorda Istri Petulu pun mendarmaputrakan anak dari iparnya yaitu
istri dari Tjokorda Gde Rai yang bernama Anak Agung Istri Anom. Anak itu
bernama Tjokorda Rai yang kemudian langsung diasuh oleh Tjokorda Istri Petulu
sampai dewasa. Kedua putra dari Ida Tjokorda Putu Melinggih ini terkenal akan
keberanian, ketangguhan dan kepintaranya yang sama. Akan tetapi putra yang
lebih tua agak keras hati sedangkan adiknya lemah lembut, sehingga masyarakat
Payangan waktu itu mengibaratkannya sebagai Baladewa dan Kresna. Ida Tjokorda
Putu Melinggih pun meninggal di Puri Payangan tepatnya di Puri Rangkit, maka
itu beliau dikenal dengan sebutan Betara
Mantuk ring Rangkit. Setelah itu beliaupun digantikan oleh putra
mahkotanya.
VI.2.4. Ida Tjokorda Gede Oka
(Bergelar Ida Dewa Agung Gede Agung Gde Oka)
Selanjutnya
Ida Tjokorda Gde Oka sebagai putra mahkota naik tahta sebagai Raja Payangan
ke-4 dengan gelar Ida Dewagung Gede Agung
Gde Oka. Sementara adiknya Ida Tjokorda Rai sebagai Prabu Anom dengan
gelar Ida Dewagung Rai. Ida Tjokorda
Gede Oka memiliki tiga istri yaitu: Ida Dewa Ayu Den Bencingah yang
merupakan adik dari raja Bangli. Dalam perkawinannya ini, beliau dikaruniai dua
orang putra dan putri yaitu: Ida Dewagung Mayun dan Ida Dewagung Istri Muter. Kedua
putra dan putri beliau ini terkenal akan ketampanan dan kecantikannya. Jero Tanjung dari
Banjar Badung dan melahirkan dua putra bernama, Tjokorda Rai Tanjung dan Tjokorda Oka Tanjung. Jero Gadung yang
berasal dari keturunan Pasek Susut di daerah Susut Payangan. Dalam
perkawinannya melahirkan seorang putra yang diberi nama Tjokorda Made Gadung.
Dalam
pemerintahan Ida Tjokorda Gede Oka, Kerajaan Payangan diatur menjadi dua kemancaan yaitu: Manca Puri Kelodan.
Pada manca Puri Kelodan ini diangkat Anak Agung Gde Ancak dengan sebutan
Tjokorda Gde Ancak dan diberi kepercayaan mengurus daerah Payangan sebelah
Selatan Puri Payangan sampai batas selatan Desa Kedewatan dan Sanggingan dan Manca Puri kawan
dianggap
paman beliau Tjokorda Geria sebagai manca untuk mengurus daerah Payangan dari
sebelah utara puri sampai batas utara Alas Angker.
Pada
waktu pemerintahan Ida Tjokorda Gede Oka, Kerajaan Payangan mengikuti
perjanjian Sapta Negara yang mengakui
raja Klungkung sebagai maharajanya. Dalam perjanjian ini diikuti oleh tujuh
kerajaan seperti: Kerajaan Klungkung, Kerajaan Karangasem, Kerajaan Buleleng,
Kerajaan Gianyar, Kerajaan Payangan, Kerajaan Mengwi, dan Kerajaan Bangli.
Kemudian dibentuk lagi perjanjian Asta Negara,
karena Badung di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Pemecutan dan I Gusti Ngurah
Kesiman bergabung lagi menjadi satu kerajaan di bawah naungan kekuasaan
maharaja Klungkung (Nindhia, 2003:41). Pada masa pemerintahan raja Ida Tjokorda
Gede Oka, Kerajaan Payangan mencapai puncak kejayaan, dimana wilayah
Tampaksiring yang waktu itu sukar dipersatukan dan selalu saja terdapat
pertikaian dan percekcokan antara warganya bisa dipersatukan oleh Ida Tjokorda
Gede Oka dan menjadi bagian wilayah Kerajaan Payangan.
Ini
disebabkan karena pemerintahan I Gusti Kebon di Tampaksiring tidak mendapat
kepercayaan dari rakyatnya. Mereka menganggap hanya keturunan Dhalem Pamayun
saja yang dapat memimpin di Tampaksiring sehingga I Gusti kebon menghadap ke
Puri Agung Payangan agar diizinkan seorang putra Dhalem untuk memimpin rakyat
Tampaksiring. Maka Raja Payangan menunjuk putranya yang bernama Tjokorda Rai
Tanjung ke Tampaksiring untuk menjadi pemimpin di sana. Dengan demikian
bertambah luaslah wilayah Kerajaan Payangan. Ida Tjokorda Gede Oka juga
terkenal akan kesaktian dan keteguhannya karena pernah membantu Kerajaan Bangli
melawan Kerajaan Buleleng.
VI.4. Payangan Diserang
Buleleng.
Dalam
masa kejayaan Kerajaan Payangan tersebut, putri tunggalnya yang bernama Ida
Dewagung Istri Muter telah mencapai usia dewasa. Di sebelah selatan Payangan
ada suatu daerah di bawah pimpinan keturunan Dhalem juga. Walaupun waktu itu
belum berstatus kerajaan, namun Raja Payangan berkeinginan menjodohkan putrinya
dengan seorang di antara keturunan raja bernama Tjokorda Ratu. Ini bertujuan
untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Payangan dan terangkatlah keluarga beliau
nanti untuk memimpin negara itu menjadi suatu kerajaan yang jaya di bawah
Maharaja Klungkung, dengan demikian sangat sulit nantinya untuk dikalahkan oleh
musuh (Nindhia, 2003: 43).
Maka
dengan itu, dipertunangkanlah putri Raja Payangan bernama Dewa Agung Istri
Muter yang terkenal akan cantiknya dengan Tjokorda Ratu dari daerah Sukawati. Dari pertunangan inilah menyebabkan
kehancuran Kerajaan Payangan. Tampaknya
keinginan Raja Payangan untuk mengawinkan putrinya dengan putra dari daerah
Sukawati mempunyai latar belakang politik berupa perluasan wilayah. Dimana Raja
Payangan berkeinginan untuk melindungi Kerajaan Payangan dari arah selatan dan
menambah kekuatan apabila terjadi serangan terhadap Payangan namun masih di
bawah maharaja Klungkung. Politik perkawinan ini berhasil, ini terlihat adanya
kesepakatan antara keluarga Kerajaan Payangan dengan Sukawati. Kedua Kerajaan pun menunggu hari
baik untuk pernikahan putra dan putrinya.
Pada
saat-saat menjelang perkawinan inilah tersebar fitnah sehingga sampai kepada
Kerajaan Klungkung, yang mengabarkan bahwa raja Payangan telah mengadakan
ikatan persatuan dengan daerah Kerajaan Sukawati untuk berontak terhadap
Kerajaan Klungkung dengan cara perkawinan.
Mula-mula berita-berita angin itu tidak diterima oleh Raja Klungkung,
tetapi karena pembawa fitnah tersebut sangat pandai, dengan mengusulkan agar
baginda Raja Klungkung mencoba meminang putri Raja Payangan yang terkenal akan
kencantikannya yang bernama Ida Dewa Agung Istri Muter. Kalau memang benar
diberikan pinangan tersebut, berarti Raja Payangan masih setia dan sebaliknya
bila tidak disetujui maka itu berarti Kerajaan Payangan tidak setia lagi kepada
Kerajaan Klungkung.
Karena
termakan fitnah dan ingin membuktikan kabar burung itu, kemudian Kerajaan
Klungkung segera mengirim utusan ke Payangan untuk meminang putri Raja Payangan
yaitu Tjokorda Istri Muter. Akan tetapi pinangan dari Raja Klungkung ini
ditolak oleh Raja Payangan. Penolakan pinangan Raja Klungkung ini dianggap
sebagai penghinaan terhadap Raja Klungkung, dimana pada saat itu kedudukan raja
Klungkung sejak tahun 1824 dianggap sebagai maharaja dan sesuhunan raja-raja
Bali. Akibatnya terjadilah perang yang munuju kehancuran Kerajaan Payangan.
Untuk menyerang Kerajaan Payangan, Raja Klungkung meminta bantuan Kerajaan
Buleleng, karena Kerajaan Buleleng yang dianggap paling setia terhadap
Klungkung. Kemudian pada tahun 1840 Laskar Buleleng terlihat pertama kali di
Desa Kerta yang terletak di wilayah paling utara dari Payangan dan bermaksud
untuk menyerang Payangan atas suruhan Kerajaan Klungkung. Perbekel Desa Kerta
yang mengetahui kejadian itu langsung melaporkan kepada Raja Payangan. Raja
kemudian langsung memerintahkan patihnya yang setia yakni Sang Made Jematang
untuk segera menyiapkan Laskar Payangan di benteng Giri Kesuma (Rai, 1986: 54).
Tampaknya
perdamaian sudah tidak mungkin lagi akan didapat karena Laskar Buleleng memang
telah ditugaskan untuk merampas putri Raja Payangan dan menghancurkan Kerajaan
Payangan. Serangan ini hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat karena
laskar Payangan lebih kecil sehingga tidak mampu bertahan lama. Patih Sang Made Jematang beserta Laskar Payangan
gugur di benteng Giri Kusuma. Sementara raja yaitu Ida Tjokorda Gede Oka yang
mengetahui kematian patih dan laskarnya maju beserta segenap keluarga untuk
melakukan puputan. Dalam hal ini
seluruh keluarga kerajaan terbunuh kecuali Prabu Anom Dewagung Gde Rai yang merupakan adik Raja Payangan
yang jatuh kepayahan di timbun mayat para laskar yang telah gugur. Setelah
berhasil menggalahkan Payangan, laskar Buleleng ditarik kembali. Mereka tidak
menduduki Payangan karena laskar Buleleng hanya disuruh untuk merebut putri
raja saja.
Selang
beberapa waktu saja datanglah pasukan bantuan dari Kerajaan Bangli dalam jumlah
yang sangat besar, dari arah timur laut, dipinpin oleh para Brahmana dari Apuan
Bangli akan tetapi sayang sekali pasukan Bangli terlambat dan melihat Payangan
sudah menjadi abu. adik serta keponakan Raja Bangli yaitu Ida Dewa Ayu Den
Bencingah serta putra-putrinya yaitu Ida Dewagung Mayun dan Ida Dewagung Istri
Muter sudah meninggal, hal itu yang membuat hancur perasaan raja Bangli pada waktu
itu.
Di
lain pihak benteng selatan dari kerajaan Payangan juga terlambat memberikan
bantuan laskar kepada raja yang sudah terjepit. Sementara itu Laskar Mengwi di
bawah pimpinan Perbekel Munggu yang siap memberikan bantuan kepada Payangan
menjadi ragu-ragu untuk menghadang Buleleng. Keragu-raguan ini dikarenakan
Laskar Mengwi melihat laskar bantuan Payangan yang datang dari arah selatan
justru bertempur tidak dengan sungguh-sungguh untuk membela rajanya. Laskar Mengwi kemudian
diperintahkan untuk kembali ke Mengwi. Pada saat kembali tersebut Laskar Mengwi
berhasil menemukan Prabu Anom Dewagung Gde Rai, yaitu salah satu keluarga raja
yang kepayahan dan tertimbun mayat yang kemudian dilarikan serta disembunyikan
di Mengwi. Dewagung Gde Rai bersembunyi di rumah Perbekel Desa Munggu. Setelah
mendekati setahun di dalam persembunyian di rumah Perbekel Desa Munggu,
diketahuilah berita oleh Raja Mengwi bahwa beliau Dewagung Gde Rai yang
merupakan adik dari Raja Payangan masih hidup dan berada di daerah Mengwi.
Segera Raja Mengwi menyebarkan hal tersebut kehadapan Maharaja di Klungkung
agar Ida Dewagung Gde Rai ini diperkenankan kembali ke Payangan.
Mendengar
berita dari Raja Mengwi tentang masih ada salah satu anggota keluarga Kerajaan
Payangan yang masih hidup, maka Raja Klungkung merasa gembira dan mengutus
utusan untuk menyelidiki apakah berita itu benar. Sebenarnya Raja Klungkung
hanya ingin memperingatkan Payangan agar tidak mendurhaka kepada Klungkung
sehingga beliau merasa malu dan geram. Beliau beranggapan bahwa I Gusti
Jelantik beserta laskar Bulelenglah yang menghabisi nyawa saudara-saudaranya
dan keponakan - keponakannya di Puri Payangan.Setelah memastikan bahwa berita
tentang masih hidupnya salah satu anggota keluarga Kerajaan Payangan yaitu Ida
Dewagung Gde Rai benar, maka Raja Klungkung mengizinkan untuk kembalinya Ida
Dewagung Gde Rai ke Kerajaan Payangan. Mulai saat itu kerajaan Payangan
diperintah oleh Ida Dewagung Gde Rai, satu-satunya anggota kerajaan yang masih
selamat dalam perang puputan melawan laskar Den Bukit.
Sekembalinya
laskar Bangli dari Payangan, dalam usaha pemulihan wilayah Payangan, oleh
beberapa petinggi dan bangsawan Payangan memohon Para Brahmana dan pengikutnya
untuk sudi tinggal di wilayah kerajaan Payangan. Maka dari ketiga brahmana
Apwan Bangli dipilihlah Ida Made Gunung untuk tinggal menetap di Payangan,
diberikan tempat giriya ditimur jalan, disebelah selatan pasar, dengan nama
Giriya Gunung. Disanalah Ida Made Gunung tinggal dan mendapatkan kewibawaan
sebagai seorang brahmana. Setelah madwijati kemudian bergelar Ida Pedanda Made
Gunung Manuaba. Para
pengikut beliau yang berjumlah tidak kurang dari 120 kepala keluarga yang
berasal dari Bangli, Tampaksiring, Pejeng, Abuan, Srokadan dan Apwan juga
diberikan tempat bermukim di wilayah kerajaan Payangan, mereka tersebar
disebelah selatan, barat dan timur puri Payangan dan beberapa tinggal di utara
puri Payangan. Mereka terdiri dari berbagai trah, antara lain: Pasek Dangka,
Pasek Ngukuhin, Pasek Padang, Bandesa Manik Mas, Treh Arya Kutawaringin, Pasek
Gelgel, Pande Besi, Kayu Selem dan treh Sang, keturunan I Dewa Bangli.
VI.3.5. Ida Tjokorda Gde
Rai (Bergelar Ida Dewa Agung Gde Rai)
Sekitar
tahun 1842 setelah tekad bulat dan keyakinan penuh dari Ida Tjokorda Gde Rai,
maka mulai beliau menginjakan kaki di Banjar Susut. Di Banjar Susut beliau
disambut gembira oleh rakyatnya. Pada saat pertama kalinya Tjokorda Gde Rai
kontak dengan rakyatnya, beliau juga sempat pula kontak pertama dengan salah
seorang putri dua bersaudara dari keluarga Jero Pasek Susut. Sementara itu
pengiring beliau yang setia mengiringi Tjokorda Gde Rai dari daerah Mengwi yang
bernama Pasek Bendesa Rangkan bertempet tinggal di Banjar Susut.
Untuk
lebih menenangkan perasaan Tjokorda Gde Rai dalam memegang pemerintahan menjadi
raja di Payangan, Raja Mengwi kemudian mengirim beberapa laskar Bata-batunya
yang berasal dari Munggu untuk mengawal dan melindungi Tjokorda Gde Rai dari
mara bahaya yang mengancam, karena Raja Mengwi merasa keberadaan Tjokorda Gde
Rai di Payangan masih diancam bahaya. Dengan banyaknya penghianat di daerah
Payangan yang tidak setia dengan Raja, walaupun tidak berani menyatakan diri
dengan terang-terangan.Laskar Bata-batu itu berjumlah 48 orang, yang kebanyakan
berasal dari Laskar Teruna Munggu, yang terdiri dari treh keturunan Pasek
Gelgel, Keturunan Pasek Gaduh, Keturunan Pande Tonja (Tohjiwa), Keturunan Pasek
Dangka, Keturunan Wang Bang Pinatih, Keturunan Bandesa Denpasar dan Keturunan Tangkas. Mereka
dianugrahi wilayah bermukim di wilayah barat laut puri Payangan, masih
berdampingan dengan alun-alun kerajaan Payangan. Anugrah itu diberikan raja
adalah agar para pengikut beliau dari Munggu tidak kembali lagi, sehingga
dipercaya sebagai abdi Dhalem kerajaan Payangan, yang bertugas mengiringi
beliau kemanapun kemudian beliau berpergian atau berburu.
Setelah
diangkat menjadi raja, Ida Dewagung Gde Rai kemudian mencari pendamping agar
bisa mendampinginya dan melahirkan penerus keturunannya. Maka beliau teringat
akan dua wanita bersaudara yang dilihatnya di Banjar Susut. Karena wanita yang lebih tua sudah menghilang
di sekitar Pura Penataran Air Jeruk, wanita ini moksa sebagai sesapuh di sana,
maka Ida Dewagung Gde Rai memilih adiknya untuk dijadikan istri. Tugas pertama
yang dilakukan oleh Ida Dewagung Gde Rai sebagai Raja Kerajaan Payangan adalah
membuat upacara terhadap leluhur-leluhurnya dan arwah sanak saudaranya dan
rakyatnya yang gugur dalam perang puputan sebagai kusuma bangsa, kemudian
membuat kenang-kenangan untuk patih Sang Made Jumatang dengan membangun
pelinggih berupa pura yang disebut Pura Penataran Beteng untuk
keturunan-keturunannya.
Pada
tahun 1843, lahirlah putra pertama Ida Dewagung Gde Rai yang kemudian diberi
nama Tjokorda Gede Oka dan beberapa tahun kemudian lahir juga putra keduanya
yang benama Tjokorda Made Oka. Dengan kembalinya Ida Dewagung Gde Rai maka
beliau kemudian dinobatkan menjadi raja kerajaan Payangan. dinobatkan menjadi
Raja Kerajaan Payangan. Gerakan
para penghianat di Payangan tidak berhenti sampai disana, dalam sebuah
kesempatan, kembali dikirim berita palsu ke Klungkung yang menyiarkan, kerajaan
Payangan sedang menyusun kekuatan dengan kerajaan Bangli untuk mengadakan suatu
gerakan balas dendam kepada Raja Klungkung. Raja Klungkung tidak percaya dengan
kabar burung itu, beliau kemudian mengirim utusan ke puri Payangan yang
memerintahkan agar raja Payangan menghadap ke Klungkung. Agar membicarakan
berita burung itu denganh jernih, agar tidak terjadi kesalah pengertian. Mendapatkan perintah
penghadapan itu, akhirnya raja Payangan memutuskan untuk menghadap ke Puri
Klungkung. Untuk tidak mengundang kecurigaan beliau berangkat menuju Klungkung
hanya dengan beberapa abdi Dhalem saja, juga pengusung tandu. Perjalanan
penghadapan itu melewati wilayah Bangli dan Gianyar. Hal itu dilakukan
mengingat hubungan yang erat kekerabatan antara Raja Payangan dengan raja
Bangli. Memastikan
keberangkatan raja Payangan hanya dengan beberapa pengiring, para penghianat di
Payangan segera mengirim utusan ke Gianyar, agar laskar Gianyar menghadang
perjalanan rombongan raja, dan menawan raja dengan semua pengiringnya.
Mendengar
informasi ini berangkatlah pasukan Raja Gianyar menuju perbatasan Tegalalang
Bangli bernama Sekoan. Setelah beberapa lama bertemulah rombongan Raja Payangan
dengan Pasukan Gianyar. Di sini senopati pasukan Gianyar menyatakan agar
perjalanan Raja Payangan menuju ke Klungkung dibatalkan karena beliau
sesampainya di Kerajaan Klungkung akan dibuang ke Nusa Penida. Kemudian Raja
Payangan diajak ke daerah Gianyar untuk berlindung. Dengan gelagat yang
mencurigakan tersebut maka Ida Dewagung Gde Rai curiga dan mengerti bahwa
beliau telah masuk perangkap dari para penghianat Payangan. Untuk menghindari
peperangan maka Ida Dewagung Gde Oka menerima tawaran tersebut.
Bab
VII
Pura Dhalem
Cemeng
VII.1. Masa Pemerintahan Dinasti
Pacung Sakti.
Dalam
perjalanan suci Maha Rsi Markandhya sudah banyak disebutkan bahwa daerah
Payangan yang dulunya bernama Parahyangan, artinya tempat para Dewa bersemayam,
jadi disetiap tempat yang dihuni oleh para pengikut beliau didirikan areal suci
dengan sebuatan Kahyangan yang berarti linggih dan tempat para hyang yang sudah
suci oleh tirtha dan puja. Wilayah-wilayah
parhyangan itu tersebar di seluruh wilayah bumi Payangan. Terutama sekali
wilayah yang membentang dari selatan, yaitu Wilayah Campuan Ubud sampai ke
daerah pura Batur. Konsep Hulu teben juga sangat kental diwariskan oleh para
pengikut Beliau yang berkembang di wilayah Payangan. Wilayah-wilayah suci itu
kemudian oleh generasi penerusnya dipakai sebagai daerah untuk membangun
kahyangan.
Pada
saat terjadi pemberontakan di kerajaan Gelgel yang dilakukan oleh I Gusti Agung
Maruti di tahun 1651, banyak daerah kerajaan yang ada dibawah kekuasaan Gelgel
menyatakan diri lepas dari Gelgel. Dhalem Dimade mengungsi menuju desa Guliang
Tampaksiring, bersama dua orang putranya. Pada awalnya kerajaan Mengwi
menyatakan sebagai kerajaan yang berdaulat, dengan batas timur Sungai Ayung. Sedangkan wilayah
timur Sungai Ayung, termasuk Payangan masih ada dibawah naungan kerajaan
Klungkung, setelah Pemberontakan I Gusti Agung Maruti dapat dipadamkan.
Klungkung dikuasai atau diperintah oleh I Dewa Agung Jambe, yang memilih
memindahkan keraton Gelgel ke Klungkung.
Para
Arya yang diberikan kekuasaan untuk memimpin suatu wilayah kemudian mulai
mendirikan kerajaan-kerajaan. Pada masa gejolak inilah kemudian daerah Payangan
tidak mendapat perhatian yang baik dari penguasa Klungkung. Sehingga banyak
wilayah Klungkung yang dikuasai oleh para Arya. Salah satu diantaranya adalah
wilayah Payangan. Salah seorang keturunan Arya Sentong dari generasi ke 5 yang
bernama I Gusti Ngurah Pacung Gede, yang merupakan putra dari I Gusti Pacung
Sakti di daerah Perean.
I
Gusti Pacung Gde melakukan pendudukan terhadap Payangan dengan 600 kepala
keluarga. Juga mengikut sertakan para saudaranya, diantaranya : I Gusti Ngurah
Rai dan I Gusti Ngurah Bukian. Selanjutnya I Gusti Ngurah Rai membawa 200
kepala keluarga menuju Bukian dan menetap disana.Sedangkan I Gusti Ngurah
Pacung Gede dengan 400 kepala keluarga menetap di Payangan. Setelah I Gusti
Ngurah Pacung Gede meninggal, maka kekuasaan Payangan jatuh pada tangan
putranya yang bernama I Gusti Pacung Oka, setelah menjadi penguasa Payangan,
kemudian bergelar I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka.
Pada
Saat Pemerintahan I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka, pada kisaran tahun 1730, Payangan mulai ditata. Dalam bidang
pertanian ditata dengan membuat banyak sekali sawah-sawah dan tegalan untuk
para pengikutnya. Di bidang perekonomian maka dibangunlah pasar di daerah utara
Payangan. Dalam bidang kepemerintahan mulai dibangun puri, kepatihan dan
bangsal-bangsal kerajaan. Sedangkan dalam bidang spiritual, mulai juga dibangun
kahyangan-kahyangan desa di bekas-bekas tanah suci pengikut Rsi Markandhya
dahulu dan kahyangan-kahyangan yang bersifat pura leluhur bagi para pengikutnya
agar tidak lagi mengingat kawitannya di Perean.
Geliat
ekonomi di Payangan semakin lama semakin semarak, banyak para saudagar luar
daerah yang datang melakukan jual beli di Payangan, terutama para pedagang dari
Mengwi, dan Buleleng. Hal ini ditunjang dengan pertanian di Payangan yang
selalu menghasilkan panen hasil bumi yang berlimpah, kopi, padi, kelapa, dan
jagung, menjadi komoditi andalan Payangan pada saat itu. Untuk menyimpan hasil
panen tersebut, sebelum dijual, maka dibuatlah beberapa lumbung besar di daerah
barat laut puri. Bangunan-bangunan bertiang delapan dengan atap alang-alang
yang dijalin dengan rapi. Berjejer berderet saling berhadapan, tidak kurang
dari 10 bangunan lumbung. Masing-masing hasil panen yang beraneka ragam
disimpan dengan aman di lumbung kerajaan.
Untuk
melindungi kawasan Pesimpenan itu, ditempatkanlah laskar pilihan di areal
sekitar wilayah Lumbung Pesimpenan. Mereka bertempat tinggal mengelilingi areal
lumbung juga beserta anggota keluarga mereka. Sekitar 20 orang kepala keluarga
diberi tugas khusus menjaga lumbung dan mengurus isinya sebelum dijual.
Termasuk juga bertanggung jawab terhadap upacara yang dilaksanakan di areal
lumbung. Mereka terdiri para pengikut I Gusti Pacung Gede dari Perean. Setelah
I Gusti Ngurah Pacung Gede berpulang ke alam sunya, digantikan oleh putranya
yang bernama I Gusti Ngurah Pacung Oka, setelah mabhiseka ratu bergelar I Gusti
Ngurah Pacung gede Oka.
Dengan
semakin berkembangnya wilayah Payangan dibawah pemerintahan I Gusti Ngurah
Pacung gede Oka. membuat para petinggi di Mengwi khawatir, melihat kerajaan
Payangan semakin berkembang dan semakin kuat dan mengancam kerajaan tetangga,
seperti kerajaan Mengwi. Untuk menjaga hal itu agar jangan sampai terjadi, para
petinggi Mengwi menyusun siasat dengan menghembuskan berita palsu ke Klungkung,
bahwa I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka menyiapkan rencana untuk menyerang
Klungkung. Raja
Klungkung I Dewa Agung Gede kemudian mengumpulkan laskar untuk menyerang
Payangan. Kerajaan Mengwi juga menyiapkan laskarnya menyerang dari arah barat,
dari arah timur menyerang laskar Klungkung dan Nyalian, ditambah dengan laskar
Taro dibawah pimpinan I Gusti Ngurah Taro yang mempunyai perasaan tidak suka
terhadap saudaranya di Payangan. Pada Bulan Mati Pada Tumpek Wariga sasih Sada,
tepatnya tanggal 18 Juni 1735 kerajaan Payangan dibawah pimpinan I Gusti Ngurah
Pacung Gede Oka diserang dari berbagai penjuru. Jumlah laskar yang tidak
seimbang antara laskar Payangan dan laskar Gabungan Klungkung, Nyalian, Taro
dan Mengwi, membuat Payangan terdesak sangat hebat, laskar Payangan banyak yang
menjadi korban, tewas dan luka-luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak
lagi I Gusti Pacung Gede Oka memerintahkan para petinggi perangnya untuk mundur
dan mengungsikan rakyat Payangan.
Di
tanggal 25 Juni 1735 terjadi pergerakan masa tidak kurang dari 400 kepala
keluarga dari Payangan menuju Bukian, menyebrang ke arah timur sampai akhirnya
tiba di daerah Karangsari Bangli. Dari Karangsari I Gusti Pacung Gede Oka
dengan para rakyatnya kemudian menuju daerah Samuan dan menetap untuk sementara
di Samuan. Karena suasana yang hiruk pikuk saat itu, banyak harta benda
kerajaan yang tidak bisa diselamatkan berupa emas, permata, intan dan uang,
juga Keris Pusaka I Kasur Sari tertinggal di Puri. Diantara benda pusaka yang
berwasiat, I Gusti Pacung Gede Oka hanya bisa menyelamatkan tombak pusaka yang
bernama I Alang-Alang Gagak yang merupakan pusaka warisan dari leluhurnya
dahulu. Awal
Bulan Juli di tahun 1735 Payangan sudah menjadi daerah kekuasaan Klungkung
secara mutlak, untuk menjaga wilayah Payangan maka dibentuklah pemerintahan
sementara yang bertugas selain menjaga wilayah Payangan juga melakukan
perbaikan-perbaikan bangunan puri, kahyangan dan bangsal-bangsal serta
bangunan-bangunan utama lainnya.
VII.2. Masa Pemerintahan Dinasti
Dhalem Pamayun.
Setelah
sekian lama Payangan tidak mempunyai pemimpin yang pasti, untuk sementara
daerah Payangan dipercayakan kepemimpinanya kepada I Gusti Ngurah Taro. Banyak hal hal buruk
terjadi pada daerah Payangan, Pertanian yang dulunya menghasilkan sangat melimpah,
sering gagal panen, akibat hama dan kekurangan asupan air. Perdagangan yang
sangat ramai pada masa pemerintahan I Gusti Pacung Gede Oka menjadi sepi,
akibat ketakutan para saudagar untuk datang berdagang ke Payangan. Hal itu
disebabkan karena banyaknya Begal dan rampok di batas utara, barat dan timur
Payangan. Bangunan-bangunan suci bekas peninggalan Rsi Markandhya dan
purohita Pacung ditelantarkan, rumput
dan semak belukar tumbuh hingga setinggi badan orang dewasa,
Pelinggih-pelinggih banyak yang hancur dan bocor pada atapnya. Wabah penyakit
merajalela di Payangan, banyak memakan korban karena sedikitnya sumber makanan
yang bisa dihasilkan di Payangan. Payangan antara tahun 1735 sampai dengan
tahun 1768 sangat menyedihkan. Lumbung Kerajaan yang dikenal dengan nama Gedong
Pesimpenan juga tidak mendapat
perhatian, lumbung-lumbung ini terbengkelai akibat penjarahan dari penduduk
yang kelaparan, juga karena para penjaganya yang dulunya setia menjaga Gedong
ikut dalam rombongan pengungsian I Gusti Pacung Gede Oka menuju ke Karangsari
Bangli. Yang kemudian bersama-sama membangun puri Carang Sari di Bebalang
Bangli.
Untuk
menghindari kehancuran yang lebih parah, raja Klungkung kemudian mengirim
kerabatnya ke Payangan, agar menjadi raja di Payangan. peristiwa itu
diperkirakan terjadi pada tahun 1776. Ida Tjokorda Made Sukawati dengan
permaisurinya, Tjokorda Istri Kompyang dari puri Tampaksiring dipercaya
memimpin Payangan dengan
gelar kehormatan Ida Idewagung Made Sukawati. Pada masa pemerintahan beliau kembali
dibangun parahyangan-parahyangan di daerah Payangan yang rusak tidak terurus.
Beliau mempunyai 3 orang putra, masing-masing : Tjokorda Gede Anom, Tjokorda
Jambe dan Tjokorda Tamu. Berturut turut kemudian yang menjadi raja Tjokorda
Gede Anom, Ida Tjokorda Putu Melinggih, Ida Tjokorda Gde Oka, sampai akhirnya
Payangan Hancur akibat serangan Den Bukit pada tahun 1840. Pada masa inilah
banyak parahyangan yang hancur, termasuk juga Gedong Pesimpenan.
Baru
pada masa pemerintahan Ida Tjokorda Gde Rai menjadi raja di Payangan pada
sekitar tahun 1842 dengan gelar Ida Idewagung Gde Rai, Payangan mengalami
perbaikan yang menyeluruh. Dibidang ekonomi, budaya dan keagamaan. Beliau
sangat sedih dengan akibat perang yang terjadi di Payangan yang dampaknya
sangat menyangsarakan rakyat beliau. Kedatangan beliau dari daerah Munggu
banyak membawa para pengikut yang setia, yang selalu menjaga beliau dari
berbagai macam ancaman.
Dalam
bidang spiritual, beliau mengumpulkan para brahmana dan tokoh spiritual
Payangan, diajak bertukar pikiran untuk membangun Payangan dengan modal bakti
terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para dewata-dewati. Membangun dan
memperbaiki kahyangan jagat, kahyangan tiga, penataran dan pura-pura terkait
dengan sejarah tempat dan kawitan tertentu. Walaupun membutuhkan waktu yang
lama, akhirnya beberapa kahyangan bisa dibangun dan dipugar. Diantaranya Gedong
Pesimpenan dengan areal masih ditempat semula.
Karena
beliau merasa ketahanan pangan Payangan adalah hal yang sangat penting, maka
beliau menugaskan pengiringnya dahulu untuk mendiami wilayah sekitar lumbung
gedong pesimpenan. Hal itu dilakukan karena pengiring beliau dari Munggu belum
mendapat tempat yang tepat, dekat dengan keraton.
Mulai
saat itulah wilayah sekitar gedong pesimpenan yang dulunya ditinggalkan oleh
pengiring Perean dialihkan untuk tempat bermukim para pengiring beliau dari
Munggu. Terdiri dari Trah Pasek Dangka, Trah Pasek Ngukuhin dan Trah Bandesa
Manik Mas. Yang mendapat tugas untuk menyiapkan segala jenis upakara
dipercayakan kepada 20 kepala keluarga dari Treh Pasek Ngukuhin, dibantu oleh 8
kepala keluarga Trah Pasek Dangka dan Bandesa Manik Mas yang juga diberikan
tempat bermukim disekitar daerah Gedong Pasimpenan. Masing-masing keluarga
pengempon juga dianugrahkan tanah sawah dan tegalan sebagai modal untuk ngayom
pura. Para keluarga ini juga dibebaskan dari segala jenis macam punggutan atau
pajak, dibebaskan dari kerja kasar membuka lahan dan dibebaskan untuk keluar
masuk lingkungan keraton untuk menyiapkan semua hasil panen yang akan terpakai
di keraton dan bangsal prajurit.
Dalam
urusan upacara dan pemugaran pelinggih dikomandoi oleh tiga orang tetua Trah,
antara lain : I Guwam yang merupakan wakil dari Trah Ngukuhin, I Rempon dari
trah Dangka dan I Sidet dari Trah Bandesa Manik Mas. Mereka yang mempunyai
tugas mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan acara dan upakara di Pura
Gedong Pesimpenan.Dalam areal pura dibangun beberapa pelinggih utama,
diantaranya, Padmasari menghadap ke barat laut, Gedong Simpen tempat pemujaan
Dewi Laksmi memakai rong tunggal menghadap ke selatan, dan pelinggih Ratu
Pengelurah menghadap ke barat diselatan Padmasari. Sedangkan di Jaba tengah
berderet lumbung-lumbung penyimpanan sebanyak 3 buah, dipenuhi dengan hasil
panen berupa padi, jagung, kelapa, dan rempah-rempah.
Piodalan
pertama semenjak kepemerintahan Ida Tjokorda Gde Rai dilaksanakan pada Buda
Wage Klawu pangelong ping 1, sasih Kapitu, tahun Saka 1769, dalam tanggal
masehi 22 Desember 1847. Dilaksanakan upacara memulyakan Ida Sang Hyang Widhi
dalam manifestasi beliau sebagai Dewi Laksmi atau Dewi Sri. Upacara ini
berkaitan dengan pemugaran beberapa bangunan pelinggih yang rusak akibat
meletusnya gunung Agung yang terjadi pada tahun 1843 dan rusaknya bangunan
akibat penyerbuan laskar Denbukit Buleleng. Untuk beberapa lama kemudian,
Parahyangan Gedong Pesimpenan mendapat perhatian yang sangat besar dari para
pembesar kerajaan Payangan. Dimuliakan dengan upacara-upacara yang cukup
meriah. Ditunjang dengan bakti dari para pengemongnya yang diberikan tugas
khusus untuk ngemong pura tersebut. Diantara ketiga treh yang mempunyai tugas
terhadap Pura, semua bekerja dengan sungguh-sungguh atas arahan para petinggi
kerajaan dan para brahmana keraton Payangan.
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, di bulan Maret 1862 terjadilah kemudian
sebuah bencana, musim kering sangat lama, padi dan jagung mengering di sawah,
buah-buahan layu sebelum berbunga, hama merajalela, penyakit menular menghantui
rakyat Payangan. Sementara perang berkecamuk diwilayah-wilayah sekitar,
penaklukan-penaklukan wilayah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan besar terhadap
wilayah-wilayah kecil, bulan Agustus tahun 1862, Hasil panen yang disimpan
dalam lumbung berupa padi, jagung, palawija dan rempah-rempah diserbu oleh
sejenis kutu dalam jumlah yang sangat besar, sehingga menutupi semua areal pura
gedong pesimpenan.
Untuk
menanggulangi hal tersebut maka dikumpulkanlah para tetua dan para brahmana
untuk dimintai petunjuk, bagaimana cara menanggulangi hama kutu yang dipercaya
hanya bisa disingkirkan dengan upacara dan puja. Setelah mendapat jalan keluar
yang dianggap baik, maka dipersiapkanlah tawur yang bertujuan membuang semua
hama itu ke laut, selain memohon air suci di beberapa pura pucak disekitaran
Payangan. Tawur yang disepakati memakai semua binatang berbulu hitam, dari
kambing bulu hitam, itik hitam, ayam hitam dengan olahan nasi dan tumpeng juga
berwarna hitam. Bunga-bunga dalam upacara juga memakai bunga-bunga yang
berwarna hitam.
Upacara
tawur penolak mrana dan piodalan itu dilaksanakan pada Buda Wage Klawu tanggal
ping 9 sasih Jyestha Saka 1784, atau tangga l 7 Mei 1862. Dari
petunjuk para brahmana dan ijin dari raja Payangan, nama Gedong Simpen kemudian
diubah menjadi kahyangan Dhalem Cemeng. Untuk mengenang peristiwa hama kutu
hitam itu, disepanjang batas ditanami bunga yang berbunga warna hitam. Konon
dahulu pada masa awal terbentuknya kerajaan Payangan, dibagian hulu pura hidup
pohon cempaka cemeng, berbuah dan berbunga warna hitam, pohon langka itu
dipercaya sebagai pancer atau titik tengah kota Payangan.
Pada
kelanjutannya sekitar tahun 1917 wilayah Payangan resmi menjadi Distrik
Payangan, dengan Tokorda Gde Oka sebagai Punggawa. Sebagian daerah Bali sudah
ada di dalam kekuasaan Belanda, kerajaan-kerajaan kebanyakan sudah tidak
memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya sendiri, karena kebijakan
suatu wilayah ditentukan oleh para penguasa Belanda. Dibatas wilayah barat
Payangan bergejolak perang tak henti-hentinya. Kerajaan Ubud berkembang dengan
sangat baik mempunyai wilayah kekuasaan yang semakin luas. Diawal tahun 1900
kahyangan-kahyangan di Payangan tidak mendapat perhatian yang cukup dari
petinggi keraton, termasuk juga Pura Dhalem Cemeng, hasil panen yang dihasilkan
dari berbagai sawah dan tegalan wilayah Payangan juga sudah semakin sedikit
yang disimpan ke lumbung-lumbung kerajaan, hal itu disebabkan karena
perkembangan penduduk yang semakin banyak sehingga banyak lahan sawah dan
tegalan menjadi pekarangan penduduk. Juga didukung dengan para pemilik sawah
dan tegalan mulai membuat lumbung-lumbung sendiri di dalam pekarangannya untuk
menyimpan hasil panen.
Kalaupun
kemudian ada beberapa penduduk sekitar masih menyimpan hasil panen ke pura Dhalem
Cemeng itu hanya berupa simbol, dengan beberapa pucuk padi dan palawija yang
diikat dan dilinggihkan di lumbung. Hal itulah kemudian membuat peranan pura Dhalem
Cemeng berangsur- angsur menjadi tidak terlalu penting. Hal itu berlangsung
sampai sekitar tahun 1920. Sehingga praktis keberadaan pura hanya diempon oleh
warga tiga trah yang bermukim disekitar pura saja. Semakin lama, semakin
banyaklah lumbung yang dulunya berdiri megah rusak dan kemudian diprelina oleh
para pengempon, karena sudah tidak berfungsi seperti semula.
Foto
beberapa lumbung di tahun 1920
Setelah
melalui perjalanan Panjang hampir selama 300 tahun atau 3 dekade, wajah pura Dhalem
Cemeng kekinian sudah berubah secara fisik, akan tetapi secara religius masih
tetap dalam pemujaan dan pemuliaan terhadap kebesaran Tuhan dalam manifestasi
beliau sebagai Dewi Kemakmuran. Upacara-upacara agama pemuliaan beliau masih
dilaksanakan pada setiap Buda Wage Klawu. Upacara-upacara
dihaturkan dalam bentuk upakara yang disesuaikan dengan jaman kekinian, juga
puja dan tata letak bangunan pelinggih mengikuti alur jaman. Beberapa pelinggih
pendamping dibangun sesuai dengan kebutuhan, hal itu berkaitan dengan perubahan
fungsi pura dari sebelumnya. Lumbung-lumbung yang menjadi cirri khas pura sudah
semuanya terprelina, digantikan dengan pelinggih-pelinggih lain yang dianggap
sesuai oleh para pengempon.
Bunga-bunga
berwarna hitam yang dulu menghiasi bagian terluar dari daerah pura sudah
hilang, seiring dengan ketidak tahuan para pengempon dengan sejarah pura yang
sudah terjadi sebelumnya. Hal itu bisa dimengerti karena selama sekian dekade
banyak hal-hal yang terjadi kadang diingat kadang hilang. Itu yang membuat
semakin lama semakin hilang jati diri pura yang sebenarnya. Jaman sudah merubah
banyak hal, tetapi dredha bakti para pengempon tidak pernah pudar.
Bab
VIII
Sekilas Sejarah Trah Ngukuhin
Berawal dari kedatangan Mpu Gnijaya ke Bali pada tahun
Saka 971 atau tahun masehi 1049. Dan berdasarkan silsilah dan keturunan
Bhagawanta, Mpu Gnijaya merupakan putra sulung dari Dang Hyang Tanuhun. Beliau
membuat asrama di Gunung Lempuyang Madya dan mempunyai putra : Mpu Ketek, Mpu
Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadarma, Mpu Ragarunting, Mpu Pateka dan Mpu
Dangka.
Mpu Dangka berasrama di Daha, beliau menurunkan putra
bernama Mpu Wiradangkya berasrama di Daha. Mpu Wiradangkya menurunkan tiga
putra, yang paling tua bernama Sang Wiradangkya, yang menengah bernama Ni Ayu
Dangki, yang paling kecil bernama Ni Ayu Dangka. Sang Wiradangkya kemudian
menuju Bali, berasrama di Gelgel. Beliau menurunkan empat putra, antara lain Ni
Rudani, De Pasek Lurah Kedangkan yang berasrama di desa Slisihan Klungkung, De
Pasek Lurah Ngukuhin, berasrama di Peguyangan Badung dan De pasek Lurah Gaduh,
berasrama di desa Paminggir Gelgel.
De Pasek Lurah Kedangkan di Slisihan Klungkung berputra 4
orang, semuanya laki-laki, antara lain : I Pasek Taro, I Pasek Panida, I Pasek
Bangbang dan I Pasek Banjarangkan. De Pasek Lurah Ngukuhin di Peguyangan
Badung, mempunyai putra 3 orang anatara lain : I Pasek Nyalian, I Pasek
Ngukuhin di Peraupan Peguyangan Badung dan I Pasek Pucangan. De Pasek Lurah
Gaduh yang berasrama di Paminggir Gelgel menurunkan 2 orang putra, antara lain
: I Pasek Gaduh di Blahbatuh dan I Pasek Gaduh di Watugiling.
De Pasek Lurah Ngukuhin yang berasrama di Peraupan
Peguyangan Badung mempunyai 5 orang putra, antara lain : Pasek Ngukuhin
Mospahit di Keramas Gianyar, Pasek Ngukuhin di Angantaka Badung, Pasek Ngukuhin
Tengah di Buduk Badung, Pasek Ngukuhin Anggungan Gede Sempidi dan Pasek
Ngukuhin Gamongan Singin Silamadeg. Pasek Ngukuhin Mospahit Keramas Gianyar
mempunyai 7 orang putra, antara lain : Pasek Ngukuhin Kanginan di Tejakula,
Pasek Ngukuhin Apwan Sangsi di Singapadu, Pasek Ngukuhin Bungbungan di
Klungkung, Pasek Ngukuhin Tangsub di Celuk Gianyar, Pasek Ngukuhin Blahtanah di
Batuan Sukawati Gianyar, Pasek Ngukuhin Kebon di Blahbatuh Gianyar, dan Pasek
Ngukuhin Bona Kangin Belega. Pasek Ngukuhin Desa di Angantaka berputra Pasek
Ngukuhin Munggu Mengwi. Pasek Ngukuhin Tengah di Buduk berputra 2 orang, antara
lain : Pasek Ngukuhin Sema Kediri
Tabanan dan Pasek Ngukuhin Cekik Brengbeng. Pasek Ngukuhin Anggungan Gede
Sempidi berputra Pasek Ngukuhin Yeh Gangga Sudimara. Pasek Ngukuhin Gamongan
Singin Silamadeg berputra Pasek Ngukuhin Gamongan Singin Silamadeg (Sama
seperti nama pendahulunya). Pasek Ngukuhin Kanginan di Tejakula tidak tercatat
memiliki putra. Pasek Ngukuhin Apwan Sangsi di Singapadu berputra 2 orang,
antara lain : Pasek Ngukuhin Pulugambang di Peguyangan Badung dan Pasek
Ngukuhin Dangin jalan di Gowang. Pasek Ngukuhin Bungbungan di Klungkung juga
tidak tercatat memiliki putra. Pasek Ngukuhin Tangsub di Celuk Sukawati
berputra Pasek Ngukuhin Sambirenteng di Buleleng. Pasek Ngukuhin Kebon di
Blahbatuh berputra 2 orang, anatara lain : Pasek Ngukuhin Pekuwudan Sukawati
dan Pasek Ngukuhin Tegenungan Kemenuh. Pasek Ngukuhin Bonakangin Belega
berputra Pasek Ngukuhin Dhalem Angantaka. Pasek Ngukuhin Munggu di mengwi
berputra 3 orang, antara lain : Pasek Ngukuhin Kajanan Mengwi, Pasek Ngukuhin
Dencarik Mengwi dan Pasek Ngukuhin Munggu Mengwi. Pasek Ngukuhin Singin
Silamadeg berputra Pasek Ngukuhin Bebali di Brengbeng dan Pasek Nguuhin Manggis
Mendoyo. Sedangkan Pasek Ngukuhin Blahtanah di Batuan, Pasek Ngukuhin Sema
Kediri, Pasek Ngukuhin cekik Brengbeng dan Pasek Ngukuhin Yeh Gangga, sama-sama
tercatat tidak mempunyai putra.
Pasek Ngukuhin Dangin jalan di Gowang berputra Pasek
Ngukuhin Selat di Payangan. Pasek Ngukuhin Munggu di Mengwi berputra 3 orang
antara lain : Pasek Ngukuhin Munggu berasrama di Munggu Mengwi, Pasek Ngukuhin
Tengah berasrama di Delod Peken Payangan, dan pasek Ngukuhin Kawan berasrama
sebelah barat pasar. Dalam perjalanan putra mahkota kerajaan Payangan yang
selamat dalam uwug Payangan akibat serangan Den Bukit, kedua garis trah
Ngukuhin inilah yang ikut serta mengawal beliau dari Munggu menuju Payangan,
yang kemudian karena jasa-jasanya diberikan tanah untuk tempat bermukim dan sawah
ladang yang cukup.
Bab IX
Penutup
Pada
hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat
Hindu lewat berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugrah Beliau, memuja dan
mensucikan Pelinggih Arcana Widhi, membangun dan memperbaiki Pelinggih
Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial
religius masyarakat setempat, adalah sebagian kecil bentuk Sradha Bhakti
terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat kesadaran yang maha
tinggi bahwa segala sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah berkat
ciptaanNya, berkat pemeliharaanNya,
dan terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai kekuasaan melebur. Konsep-konsep
tersebut sudah terpatri dalam jiwa setiap masyarakat Hindu di Bali.
Semua
Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya merupakan salah satu
jalan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, harmonis dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan alam
lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruhan
bagian dari konsep
Tri Hita Karana tersebut dipakai sebagai dasar kehidupan di Desa Pakraman. Hal
ini diperkuat dengan adanya Kahyangan Puseh, Dhalem dan Bale Agung atau
Kayangan Tiga. Wilayah Desa Pakraman juga dibagi menjadi tiga wilayah, atau Tri
Mandala, yaitu Uttama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala.
Wilayah
Desa Pakraman bagian Uttama Mandalanya terdiri dari Kahyangan Tiga sebagai
wilayah yang disakralkan oleh penduduk, dipakai sebagai tempat melaksanakan
prosesi upacara keagamaan.
Madya Mandala adalah wilayah pemukiman, yaitu wilayah yang berada diantara
sakral dan profan, karena menjadi tempat penduduk atau masyarakat beraKetutivitas
rumah tangga. Nista Mandala adalah wilayah Pekarangan, Sawah, Teba dan
sebagainya, merupakan wilayah profan tempat masyarakat melakukan aKetutivitas
pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya.
Selain dari pura-pura yang termasuk dalam deretan Kahyangan
Tiga, ada juga pura-pura khusus yang didirikan dan dilestarikan sebagai suatu
tanda tentang terjadinya berbagai hal ditempat itu. Pura-pura itu sangat
berkaitan dengan sejarah penduduk yang mendiami wilayah sekitar pura, yang
sekaligus dipakai sebagai tanda bahwa di pura tersebut pernah terjadi suatu hal
yang penting, yang disimpan dalam bentuk cerita dan mitos yang dipercaya sebgai
sebuah kebenaran sejarah.
Pura-pura tersebut kebanyakan menyimpan cerita dan
sejarah yang adiluhung, bisa merupakan pesan dari para leluhur agar para
penerusnya berusaha mencari dan menelusuri kisah yang sudah terjadi sebelumnya.
Om
Santhi Santhi Santhi Om
Payangan, 29 Juni 2013