Rabu, 09 September 2015

Selayang Pandang Pura Taman Sari Desa Pakraman Payangan Desa



Selayang Pandang
Pura Taman Sari
Desa Pakraman Payangan Desa

Bab I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama atau permakluman kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, maka wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.


I.1. Mitologi terbentuknya jagad raya
Di dalam sebuah kitab tua berjudul Babad Pasek, ada disebutkan cerita tentang Nusa Bali pada jaman alam masih kosong. Dikisahkan Ketika alam masih kosong, ketika belum ada matahari, bulan bintang dan planet-planet, yang ada hanya Sang Hyang Embang yang maha tunggal, Beliau maha besar sehingga memenuhi alam raya, akan tetapi Beliau juga sangat kecil. Pada masa itu segala sesuatu masih bersifat sempurna dan suci, karena tidak ada apa-apa selain Beliau yang Maha sempurna. Saat tercipta Sang Hyang Licin yang juga disebut Sang Hyang Eka Aksara, yakni Ong Kara. Lewat semadi maha tinggi Sang Hyang Ong Kara, terciptalah Sang Hyang Purusa dan Predana, juga disebut dengan nama Sang Hyang Akasa dan Pritiwi, dikenal dengan sebutan Rwa Bhineda dan dalam aksara disebut dengan Sang Hyang Dwi Aksara, Ang dan Ah.
Setelah Sang Hyang Purusa Predana membangun tapa semadi, terciptalah Sang Hyang Tri Purusa, yang terdiri dari Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa, dalam wujud aksara Ang Ung Mang. Ketiga aksara ini dikenal dengan nama Sang Hyang Tri Aksara, juga sebagai lambang dari Sang Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara. Sang Hyang Tri Purusa beryoga, menciptakan alam dengan segala isinya, memelihara dan mengembalikannya ke asal atau memprelina. Setelah terciptanya jagat raya, beliau kembali mencipta sepasang benih laki-laki dan perempuan yang dikenal dengan Ardha Nare Swari, setelah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam buah kelapa, disucikan dengan mantra utama sehingga berwujud seperti seorang pertapa di lereng gunung Agung. Disanalah mereka kemudian melakukan tapa dengan menuja Bhatara Hyang Pasupati agar berkenan turun ke pulau Bali untuk menjadi junjungan dan pujaan di pulau Bali.
Dikisahkan saat Bali dan Lombok masih sunyi senyap, kedua pulau ini seakan-akan mengambang di tengah lautan, laksana perahu tanpa pengemudi, oleng kesana kemari tidak tentu arahnya, bergoyang dan kadang-kadang rapat menjadi satu. Keadaan pulau itu membuat Sang Hyang Pasupati merasa sangat kasihan. Awalnya di Bali hanya ada empat buah gunung, diantaranya, gunung Lempuyang di wilayah timur, Gunung Andakasa di sebelah selatan, gunung Batukaru diwilayah barat dan gunung Beratan di sebelah utara. Untuk menenangkan pulau Bali, Bhatara Pasupati kemudian memotong puncak gunung Semeru di Jawa Timur dengan kesaktian Beliau. Potongan puncak Gunung Semeru itulah yang kemudian ditancapkan di Bali dan Lombok. Saat membawa potongan gunung Semeru, banyak bagian-bagiannya yang tercecer, bagian kecil dari potongan itu kemudian menjadi gunung Lebah, sedang bagian yang besar menjadi gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di karangasem. Dengan adanya tambahan dua gunung itu pulau Bali dan Lombok menjadi tidak oleng lagi. Menyusul kemudian turunnya para putra dari Hyang Pasupati ke pulau Bali, melakukan tapa dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci. Beliau kemudian dikenal dengan nama Hyang Sapta Bhatara.
I.2.Perjalanan Maha Rsi Markandhya
Berdasar tinjauan sejarah, sekitar tahun 500 Masehi rombongan pengungsi asal India tiba di wilayah Sumatra Utara yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil seperti Kandhari, Pali, Malayu-Shriboja dan lainnya. Antara tahun 682-686 Masehi Dapunta Hyang Shri Jayanaga melakukan penyerangan ke beberapa wilayah, dari Malayu Shriboja ke selatan dan di bagian utara wilayah Sumatra. Termasuk kerajaan Kandhari dan kerajaan Pali kemudian berhasil dikuasainya. Ini menjadikan para bangsawan dan Rsi dari kerajaan Pali dari keturunan India menyingkir ke arah timur dengan perahu hingga mendarat di Nusa Goh, Pulau Sapi. Disini mereka kemudian mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil. Nama kerajaannya sama dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang beragama Budha. Lama-kelamaan menjadi kerajaan Bali dalam tahun 683 Masehi. Pernyataan pustaka ini bisa dicocokkan dengan penelitian R. Goris. Pada tahun 732 Masehi prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram, Shri Maharaja Sanjaya secara resmi menjadi raja Pulau Jawa tidak termasuk tanah Sunda. Walaupun sebelumnya Sanjaya adalah pewaris kerajaan Sunda dari istri pertamanya dan sekaligus pewaris kerajaan Galuh Tasikmalaya dari ayahnya yang bernama Sanna, Sena, Brata Senawa. Setelah Sanjaya berhasil mengalahkan pamannya yang bernama Purbasora yang sebelumnya Purbasora  menguasai tahta Sanna dengan pemberontakan berdarah. Tahun 730 Masehi,  Raja Sanjaya berhasil menaklukkan Shriwijaya, Ligor Thailand, Hujung Medini Malaysia Barat.
Dan Raja Sanjaya pula yang berhasil mengHindukan kerajaan Bali di tahun 730 Masehi. Sang Raja Sanjaya dalam pemerintahannya gemar memelopori dan membudayakan serta mengembangkan ajaran agama Hindu dalam bentuk bangunan linggayoni. Termasuk prasasti Canggal yang didirikannya. Rsi Markandhya yang merupakan Purohita atau Pendeta Kerajaan Sanjaya. pada tahun 730 Masehi tercatat pergi ke arah timur untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari pasraman Gunung Wukir atau Demalung tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga Banyuwangi kemudian berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang. Dikisahkan  dalam Lontar Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang istri, berputra dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya, berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, yang berbunyi :
Sang Ayati mwang Sang Niata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama…….”
Sang Ayati melanjutkan jejak leluhurnya menjadi seorang pertapa, beliau berputra, Sang Prana.  Demikian pula adiknya, yang bernama Sang Niata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristrikan Dewi Manaswini, berputra Maharsi Markandhya. Selanjutnya Maharsi Markandhya, beristrikan Dewi Dumara. menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristrikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam pustaka kuno Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, tentang asal-usul Maharsi Markandhya. Salah seorang murid Maharsi Agastya yang bernama Sang Ila putra dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan tapa samadhi di  Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut  Pegunungan Dieng, seperti halnya Maharsi Markandhya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau Dieng, di Wukir Damalung, Jawa Dwipa Mandala.
Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali, mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya atau pemimpin-pemimpin mereka masing-masing. Kelompok-kelompok ini nantinya yang menjadi cikal bakal desa-desa di Bali, Mereka adalah Orang Bali Mula, dan kemudian mereka lebih dikenal dengan nama Pasek Bali. Ketika itu, orang-orang Bali Mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan Para Rsi dari luar pulau ke Bali. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Menurut Lontar Bali Tattwa, Untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, kemudian datanglah seorang  Maha Rsi ke Bali, beliau bernama Maharsi Markandhya.
Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah 800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandhya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung atau Gunung Tolangkir, untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang mangkat diterkam binatang buas seperti mranggi atau harimau, singa, dan ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maha Rsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sekitar 200 orang saja, yang kemudian mendiami wilayah-wilayah di sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro.
Melihat keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandhya memutuskan untuk kembali ke Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang  sudah menimpa murid-murid beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung. Maha Rsi Markandhya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari tapa semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara dan tidak menanam Panca Datu.
Setelah mendapatkan petunjuk dari Hyang Jagatnatha, Maharsi Markandhya kembali datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Pengiring yang berjumlah 400 orang ini semuanya membawa sekta atau paksa agama masing-masing, yang dianut oleh mereka sejak dari tanah Hindu, Bhatarawarsa - India. Jenisnya ada enam sekta paksa, seperti yang dikemukakan dalam Lontar Sadagama di Bali. Masing-masing rinciannya adalah: Sambhu Paksa, Brahma Paksa, Indra Paksa, Kala Paksa, Bayu Paksa dan Wisnu Paksa. Sebenarnya dalam penjelasan seperti yang dikemukakan dalam Lontar Markandhya Purana itu, hanya ada perbedaan pelaksanaan tata upacara saja diantara keenam Paksa diatas, tetapi filsafat dasarnya tidak ada yang berbeda.
Gambar Pura Agung Besakih
Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandhya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Maharsi Markandhya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Maharsi Markandhya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci dan dikemudian hari nama Wali lebih dikenal dengan nama Bali, yang berarti dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci.
Lokasi pura Besakih merupakan tempat yajnya dimana Rsi Markandhya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi.  Tujuan penanaman Panca Datu adalah permohonan keselamatan untuk Sang Maha Rsi dan para pengikutnya. Lama-kelamaan komplek pura Basukian dikenal dengan nama Pura Besakih.
Setelah beberapa tahun lamanya beliau dan para pengikutnya melakukan perabasan hutan di lereng Gunung Agung akhirnya beliau melanjutkan perabasan hutan menuju arah barat, sampai di suatu daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya kembali merabas hutan.

Wilayah yang datar dan luas itu kemudian  dinamakan Puwakan, dari kata Puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak. Di sebuah Sloka dalam Prasasti Pandak Badung – Tabanan, dari hasil penelitian Persubakan di Bali tahun 1975, diterangkan bahwa Subak berasal dari kata Kaswakan di daerah Tabanan dan Badung kata Subak berasal dari kata Seuwak yang artinya Hal yang di bagi dengan adil. Di Puwakan beliau bersama para pengikutnya menanam berbagai jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Hyang Jagatnatha lewat perantara Sang Maha Rsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu atau taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari. Di wilayah ini Maharsi Markandhya kemudian mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasraman beliau di Gunung Raung. Pura ini dinamakan  pula Pura Gunung Raung. Ada beberapa bait dalam lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya termuat sebagai berikut :
“…..wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaranan lemah Sarwada. Sarwada ngaran, salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markandhya, ajnana ngaran kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro ………….dan seterusnya”

Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandhya Purana ada dijelaskan dalam slokanya, antara lain:

“Saprapta ira sang Yoghi Markandhya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandhya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar  aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandhya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,”

Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan oleh I Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, antara lain: kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali dengan mengikut sertakan ratusan orang dari Desa  Aga, Jawa.
Orang Aga ini dikenal sebagai petani yang kuat hidup di hutan belantara. Maharsi Markandhya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja.
Berikutnya ada pula Pura Pucak Cabang Dehet. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura Pucak Cabang Dahat dibangun sebagai tanda pertama kali Maha Rsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung.

Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah  di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar. Dalam lontar Bhuwana Tattwa Rsi Markandhya dijabarkan, antara lain :
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandhya kemudian bersemadi. Dalam semadinya beliau menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandhya melakukan yoga semadi.

Di tempat yang bersinar dalam yoganya itulah kemudian beliau dan para pengikutnya membangun pura yang diberi nama Pura Pucak Payogan.
Menurut lontar Widhi Sastra Roga Sanggara Bhumi milik Giriya Giri Jati Soetha

Sentana, Bukit Bangli, yang berparahyangan di Pura Pucak Payogan adalah Ida Bhatara Luhuring Akasa  atau Sang Dewa Rsi.
Arah tenggara Pura Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandhya mendirikan pura yang diberi nama Pura Gunung Lebah, Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala. Dalam Bhuwana Tattwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan di bait slokanya antara lain berbunyi:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira Rsi Markandhya iniring para sisyan ira……
Hermawan Kertajaya dalam bukunya, yang berjudul : Ubud The Spirit of Bali, menyebutkan bahwa setelah menetap beberapa lama di Besakih, Rsi Markandhya kemudian melanjutkan perjalanan ke arah perbukitan di sebelah barat, Karena saat itu belum ada jalan, beliau dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Aga menyusuri aliran sungai untuk bermeditasi.
Di aliran sungai dimana Sang Rsi sering bersuci dan menyatakan bahwa air sungai tersebut memiliki kekuatan penyembuhan. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Wos, kependekan dan kata Wosada, bahasa Sanskerta yang beranti Sehat. Dalam perkembangannya, kata Wosada kemudian di adaptasi menjadi kata Ubad, dalam

bahasa Bali atau Ubud yang berarti obat. Di pertemuan kedua aliran sungai itu  Maha Rsi Markandhya bersama pengikutnya kemudian mendirikan Pura Gunung Lebah sebagai tempat pemujaan.
Menurut ulasan beberapa pinisepuh Ubud, Cikal bakal nama Ubud berasal dari kata U, yang berarti ulah berkonotasi dengan kata Sila, Solah atau Prawerti. Kata Bud, Bu mempunyai arti Bhudi, Dha, Dharma, apabila artinya dijabarkan menjadi : pandai membawa diri mampu berprilaku sesuai dengan tingkatan tata lungguh. Hal itu sebagai tonggak dasar menegakkan Dharma di dunia sehingga bisa mendapatkan Bhudi, Satya, Sadhu, Dharma, terpakai kemudian sebagai obat, Ubad kemelaratan dunia  atau Papa Neraka.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan atau Payangan, sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci yang diberi nama Pura Murwa atau Purwa Bhumi. Yang bisa diartikan bebas sebagai Parhyangan yang sudah dibangun sejak dahulu kala. Nama daerah tersebut dikenal dengan nama Pangaji yang arti bebasnya: tempat melakukan atau mebicarakan segala jenis ilmu pengetahuan, agama, ekonomi, pertanian, dan ilmu-ilmu sosial lainya atau Pangajian.
Sedangkan asal kata Payangan dipercaya berasal dari kata Parhyangan yang berarti tempat tinggal para leluhur (Hyang), jadi kalau di jabarkan semua kata diatas, Parhyangan adalah tempat berstana nya para hyang atau leluhur sebagai tempat

yang utama untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan atau pangajian.
Setelah dirasa semua ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh Sang Maha Rsi kepada para pengikutnya dimengerti dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan para pengikut Sang Maha Rsi mendapatkan kebahagiaan hidup. Sebagai tanda terima kasih kepada Hyang Jagatnatha maka dibangunlah sepelebahan pura di depan Pura Murwa Bhumi, diberi nama Pura Sukamrih, yang berasal dari dua kata, Suka dan Mrih, Suka artinya kebahagiaan, Mrih artinya Mendapatkan. Jadi Pura Sukamrih dibangun setelah dirasa para pengikut beliau mendapatkan semua kebahagiaan yang dicita-citakan dari dahulu.
Selain peningalan tua berupa palinggih, di Pengaji, Payangan sampai saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad atau delapan tingkatan, mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, Pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang.
Ajaran dari Maha Rsi Markandhya dilanjutkan oleh para pengikut beliau yang tersebar di daerah-daerah yang pernah beliau singgahi, juga dengan membangun berbagai pura sederhana sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud atau Manifestasi. Dari berbagai analisa para ahli sejarah dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Rsi Markandhya adalah pemimpin perguruan Markandhya di sekitar Gunung Wukir, Kedu  pada awal pemerintahan dinasti Sanjaya, tahun 746 Masehi, juga tersurat Prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya yang memerintah di kerajaan Mataram Kuno mulai tahun 717 sampai dengan tahun 746 Masehi, berisi tentang pendirian sebuah bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit serta lingga.
Dalam Babad Parahyangan dan Prasasti  Mantyasih yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung  tahun 907 Masehi, tertulis nama Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya pada urutan pertama dari para raja yang pernah memerintah Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu, sementara Perguruan Markandhya dipastikan ada pada masa Sanjaya, antara tahun 717 sampai dengan tahun 907 Masehi. Perjalanan Beliau ke Bali menurut beberapa prasasti masih belum bisa dipastikan bilangan Tahunnya, hanya bisa diperkirakan bahwa Rsi Markandhya dan para pengikutnya sampai di Bali pada sekitar Abad ke 9 Masehi.
“rahyangta rumuhun i Medang i Pohpitu”
Dari berbagai peninggalan berupa Lingga dan Yoni serta arca-arca tua yang tersimpan di beberapa Pura di Payangan, dipercaya bahwa semasa faham Markandhya berkembang di wilayah ini, para pengikut Rsi Markandhya yang mendiami wilayah Payangan banyak membangun pura-pura dengan menyertakan Lingga Yoni dan Arca Dewa sebagai sarana pemujaan. Pura yang awalnya terdiri dari bangunan sangat sederhana, seiring perkembangan jaman sudah dipugar semestinya tanpa menghilangkan unsur-unsur yang mencirikan tonggak awal berdirinya pura-pura yang tersebar keberadaanya di wilayah Bali tengah tersebut.
Menurut penuturan dari para tetua dan pemangku kahyangan di desa Pakraman Payangan Desa, juga cerita rakyat yang berkembang di wilayah Payangan dan sekitarnya, tersusun sebuah kisah yang menceritakan tentang perjalanan seorang Rsi yang konon mempunyai pesraman di daerah Munduk Uma Duwur, sisi selatan sekitar Pura Penataran Ulapan sekarang. Beliau bernama Rsi Dharma Sadhu, dari nama beliau bisa diartikan, Rsi berarti guru atau orang bijaksana, Dharma berarti kebenaran yang hakiki Sadhu berarti mulia atau orang baik, orang suci, adalah sebutan bagi petapa atau orang suci, jadi kalau dilihat dari nama beliau, bisa disimpulkan sebagai Seorang Rsi yang bertapa mengamalkan kebenaran sebagai jalan menuju alam kebebasan. Rsi Dharma Sadhu mempunyai istri yang berasal dari wilayah barat, yaitu lembah Gunung Batukaru, tetapi sekian lama berjalan perkawinan mereka belum juga dikaruniai. Pada suatu masa saat senja di sasih kapat, Rsi Dharma Sadhu hendak bersuci di Beji Taman Magenda, beliau berpapasan dengan seorang wanita cantik yang dilihatnya seperti mengeluarkan sinar dari dalam tubuhnya, seperti ciri-ciri wanita mulia dan utama. Setelah mengenalkan diri, diketahui wanita itu bernama Dewi Manik Mreta Sari berasal dari wilayah yang bernama Tegal Apit Pangkung, wilayah bagian barat dari daerah Munduk Uma Duwur.
Baik daerah Munduk Uma Duwur maupun Tegal Apit Pangkung merupakan daerah subur dengan berkelimpahan sumber air, sehingga menjadi dua dataran yang menghijau sepanjang masa. Kedua Munduk ini dipisahkan oleh sungai yang tidak begitu dalam, dengan air yang jernih dan penuh ikan berbagai ukuran, menjadikan kedua munduk sangat cocok sebagai tempat melakukan tapa yoga dan semadi. Keindahan alam sekitar, ditambah dengan suasana yang asri membuat sesuatu menjadi lebih romantis, mungkin sudah karena kehendak Hyang Wisesa, kedua hati itu bertaut, Rsi Dharma Sadhu dan Dewi Manik Mretasari terikat perasaan yang saling menyayangi, seringnya mereka bertemu dan saling bertutur membuat banyak kata-kata manis yang terucap, lembut dan penuh cinta, Sang Rsi menandai daerah itu dengan nama Ujaring Sutra, Ujar berarti Kata atau Rawos, Sutra berarti penuh kelembutan, setelah sekian lama, terbentuk areal persawahan, dikenal dengan nama carik Jaring Sutra.
Karena perubahan prilaku Sang Rsi, istri beliaupun menjadi curiga, sang istri melarang suaminya untuk keluar pesraman, walaupun dalam hati tidak menerima larangan itu, Sang Rsi terpaksa menuruti kemauan istrinya untuk menghindari pertengkeran. Akan tetapi kekuatan cinta membuat Sang Rsi nekat, pada bulan gelap Rsi Dharma Sadhu kembali berusaha menemui pujaan hatinya. Seperti biasa dilihatlah kemudian Dewi Manik Mretha Sari diseberang sungai dalam perjalanan menuju Taman Magenda. Kedua insan yang sedang jatuh cinta itu melepas rindu dengan saling melambaikan tangan dari masing-masing pinggir sungai, tempat dimana Rsi Dharma Sadhu melambaikan tangan kini dikenal dengan nama Ulapan yang artinya lambaian tangan.Kembali kekuatan rasa mereka mengalahkan hal yang lain, dalam pertemuan mereka di Taman Magenda setelah sekian lama tidak bersua membuat mereka sepakat untuk menikah, tempat pernikahan mereka dikenal dengan nama Majangan, diambil dari kata Mejangkepan.
Rsi Dharma Sadhu dan Dewi Manik Mretha Sari menamakan daerah tempat tinggalnya menjadi Taman Sari, karena persatuan mereka dimulai dari pertemuan di Taman Magenda. Daerah yang mengitari Taman Sari masih dikenal dengan nama Tegal Apit Pangkung, yang kemudian setelah sekian lama menjadi daerah Tegallampit. Diceritakan istri dari Rsi Dharma Sadhu yang mengetahui pernikahan mereka, beliau menjadi sangat marah, dengan kekuatan semadinya kemudian nyuti rupa atau menjelma sebagai babi putih. Babi putih jelmaan istri Rsi Dharma Sadhu mengamuk dibakar api amarah, mengamuk dan membuat kubangan besar antara daerah Munduk Uma Duwur dan Munduk Gunung Sari, dengan magsud memisahkan suaminya dari Dewi Mretha Sari. Suasana gaduh tersebut membuat seorang Dukuh yang sedang asyik memancing menjadi marah, karena tidak ada ikan yang berani mendekati umpannya, apalagi babi putih jelmaan itu bersiap-siap hendak menyerangnya, Ki Dukuh yang merasa terdesak menggunakan Joran atau Pales Pancingnya sebagai senjata mengusir babi jelmaan, babi putih jelmaan istri Rsi Dharma Sadhu yang terkena.......






Tidak ada komentar:

Posting Komentar