Selayang Pandang
Pura Taman Sari
Desa Pakraman
Payangan Desa
Bab I
Pendahuluan
Om
awighnam astu namā śidyam.
Om
prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam
widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam
mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā,
pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam.
Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang
ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun,
muncar anākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah
pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā,
mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama
atau permakluman kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya
Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba
menceritakan segala masa lalu yang telah menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur,
Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari
penciptaan Sang Hyang purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba,
bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, maka wigraha mala papa
petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu,
sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau
lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur,
kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
I.1. Mitologi terbentuknya jagad raya
Di
dalam sebuah kitab tua berjudul Babad Pasek, ada disebutkan cerita tentang Nusa
Bali pada jaman alam masih kosong. Dikisahkan Ketika alam masih kosong, ketika
belum ada matahari, bulan bintang dan planet-planet, yang ada hanya Sang Hyang
Embang yang maha tunggal, Beliau maha besar sehingga memenuhi alam raya, akan
tetapi Beliau juga sangat kecil. Pada masa itu segala sesuatu masih bersifat
sempurna dan suci, karena tidak ada apa-apa selain Beliau yang Maha sempurna. Saat
tercipta Sang Hyang Licin yang juga disebut Sang Hyang Eka Aksara, yakni Ong
Kara. Lewat semadi maha tinggi Sang Hyang Ong Kara, terciptalah Sang Hyang
Purusa dan Predana, juga disebut dengan nama Sang Hyang Akasa dan Pritiwi,
dikenal dengan sebutan Rwa Bhineda dan dalam aksara disebut dengan Sang Hyang
Dwi Aksara, Ang dan Ah.
Setelah
Sang Hyang Purusa Predana membangun tapa semadi, terciptalah Sang Hyang Tri
Purusa, yang terdiri dari Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa, dalam
wujud aksara Ang Ung Mang. Ketiga aksara ini dikenal dengan nama Sang Hyang Tri
Aksara, juga sebagai lambang dari Sang Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara. Sang
Hyang Tri Purusa beryoga, menciptakan alam dengan segala isinya, memelihara dan
mengembalikannya ke asal atau memprelina. Setelah terciptanya jagat raya,
beliau kembali mencipta sepasang benih laki-laki dan perempuan yang dikenal
dengan Ardha Nare Swari, setelah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam buah
kelapa, disucikan dengan mantra utama sehingga berwujud seperti seorang pertapa
di lereng gunung Agung. Disanalah mereka kemudian melakukan tapa dengan menuja
Bhatara Hyang Pasupati agar berkenan turun ke pulau Bali untuk menjadi
junjungan dan pujaan di pulau Bali.
Dikisahkan
saat Bali dan Lombok masih sunyi senyap, kedua pulau ini seakan-akan mengambang
di tengah lautan, laksana perahu tanpa pengemudi, oleng kesana kemari tidak
tentu arahnya, bergoyang dan kadang-kadang rapat menjadi satu. Keadaan pulau
itu membuat Sang Hyang Pasupati merasa sangat kasihan. Awalnya di Bali hanya
ada empat buah gunung, diantaranya, gunung Lempuyang di wilayah timur, Gunung
Andakasa di sebelah selatan, gunung Batukaru diwilayah barat dan gunung Beratan
di sebelah utara. Untuk menenangkan pulau Bali, Bhatara Pasupati kemudian
memotong puncak gunung Semeru di Jawa Timur dengan kesaktian Beliau. Potongan
puncak Gunung Semeru itulah yang kemudian ditancapkan di Bali dan Lombok. Saat
membawa potongan gunung Semeru, banyak bagian-bagiannya yang tercecer, bagian
kecil dari potongan itu kemudian menjadi gunung Lebah, sedang bagian yang besar
menjadi gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di
karangasem. Dengan adanya tambahan dua gunung itu pulau Bali dan Lombok menjadi
tidak oleng lagi. Menyusul kemudian turunnya para putra dari Hyang Pasupati ke
pulau Bali, melakukan tapa dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci.
Beliau kemudian dikenal dengan nama Hyang Sapta Bhatara.
I.2.Perjalanan Maha Rsi Markandhya
Berdasar tinjauan sejarah, sekitar
tahun 500 Masehi rombongan pengungsi asal India tiba di wilayah Sumatra Utara
yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil seperti
Kandhari, Pali, Malayu-Shriboja dan lainnya. Antara tahun 682-686 Masehi
Dapunta Hyang Shri Jayanaga melakukan penyerangan ke beberapa wilayah, dari
Malayu Shriboja ke selatan dan di bagian utara wilayah Sumatra. Termasuk
kerajaan Kandhari dan kerajaan Pali kemudian berhasil dikuasainya. Ini
menjadikan para bangsawan dan Rsi dari kerajaan Pali dari keturunan India
menyingkir ke arah timur dengan perahu hingga mendarat di Nusa Goh, Pulau Sapi.
Disini mereka kemudian mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil.
Nama kerajaannya sama dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang
beragama Budha. Lama-kelamaan menjadi kerajaan Bali dalam tahun 683 Masehi.
Pernyataan pustaka ini bisa dicocokkan dengan penelitian R. Goris. Pada tahun
732 Masehi prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah
menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram, Shri Maharaja Sanjaya secara resmi
menjadi raja Pulau Jawa tidak termasuk tanah Sunda. Walaupun sebelumnya Sanjaya
adalah pewaris kerajaan Sunda dari istri pertamanya dan sekaligus pewaris
kerajaan Galuh Tasikmalaya dari ayahnya yang bernama Sanna, Sena, Brata Senawa.
Setelah Sanjaya berhasil mengalahkan pamannya yang bernama Purbasora yang
sebelumnya Purbasora menguasai tahta
Sanna dengan pemberontakan berdarah. Tahun 730 Masehi, Raja Sanjaya berhasil menaklukkan Shriwijaya,
Ligor Thailand, Hujung Medini Malaysia Barat.
Dan Raja Sanjaya pula yang berhasil
mengHindukan kerajaan Bali di tahun 730 Masehi. Sang
Raja Sanjaya dalam pemerintahannya gemar memelopori dan membudayakan serta
mengembangkan ajaran agama Hindu dalam bentuk bangunan linggayoni. Termasuk
prasasti Canggal yang didirikannya. Rsi Markandhya yang merupakan Purohita atau
Pendeta Kerajaan Sanjaya. pada tahun 730 Masehi tercatat pergi ke arah timur
untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari pasraman Gunung Wukir atau
Demalung tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng
pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai
Paralingga Banyuwangi kemudian berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala
tempat Pura Besakih sekarang. Dikisahkan dalam Lontar Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya,
seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang istri, berputra
dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya,
berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis
dalam sloka Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, yang berbunyi :
Sang Ayati mwang Sang Niata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing
sastra utama…….”
|
Sang Ayati melanjutkan jejak
leluhurnya menjadi seorang pertapa, beliau berputra, Sang Prana. Demikian pula adiknya, yang bernama Sang
Niata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristrikan Dewi
Manaswini, berputra Maharsi Markandhya. Selanjutnya Maharsi Markandhya,
beristrikan Dewi Dumara. menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristrikan Dewi
Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam
pustaka kuno Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, tentang asal-usul Maharsi
Markandhya. Salah seorang murid Maharsi Agastya yang bernama Sang Ila
putra dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian
pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan tapa samadhi di Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Pegunungan Dieng, seperti halnya Maharsi Markandhya
juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau Dieng, di Wukir Damalung, Jawa Dwipa
Mandala.
Orang-orang
keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali, mereka tinggal
berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya atau pemimpin-pemimpin mereka
masing-masing. Kelompok-kelompok ini nantinya yang menjadi cikal bakal
desa-desa di Bali, Mereka adalah Orang Bali Mula, dan kemudian mereka lebih
dikenal dengan nama Pasek Bali.
Ketika
itu, orang-orang Bali Mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur
yang mereka namakan Hyang. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah
berdatangan Para Rsi dari luar pulau ke Bali. Disamping untuk mengajarkan agama
Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Menurut
Lontar Bali Tattwa, Untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali,
kemudian datanglah seorang Maha Rsi ke
Bali, beliau bernama Maharsi Markandhya.
Setelah
menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah 800 orang, yang terdiri
dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandhya ke arah timur
dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Rombongan Sang Maha Rsi turun
di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian
melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng
Gunung Agung atau Gunung Tolangkir, untuk lahan pertanian, dan tempat
pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau
terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang mangkat diterkam binatang buas
seperti mranggi atau harimau, singa, dan ular, ada juga yang hilang tanpa
jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, Wong
Aga pengiring Sang Maha Rsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa
hidup sekitar 200 orang saja, yang kemudian mendiami wilayah-wilayah di sekitar
perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal
dengan nama Munduk Taro.
Melihat
keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandhya memutuskan untuk
kembali ke Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung,
kembali beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa murid-murid beliau di Gunung
Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung.
Maha Rsi Markandhya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon
bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari tapa semadhi itulah diketahui bahwa pada
waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak
menghaturkan upacara dan tidak menanam Panca Datu.
Setelah
mendapatkan petunjuk dari Hyang Jagatnatha, Maharsi Markandhya kembali datang
ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang
muridnya. Pengiring yang berjumlah 400 orang
ini semuanya membawa sekta atau paksa agama masing-masing, yang dianut oleh mereka
sejak dari tanah Hindu, Bhatarawarsa - India. Jenisnya ada enam sekta paksa,
seperti yang dikemukakan dalam Lontar Sadagama di Bali. Masing-masing
rinciannya adalah: Sambhu Paksa, Brahma Paksa, Indra
Paksa, Kala Paksa, Bayu Paksa dan Wisnu Paksa. Sebenarnya dalam penjelasan
seperti yang dikemukakan dalam Lontar Markandhya Purana itu, hanya ada
perbedaan pelaksanaan tata upacara saja diantara keenam Paksa diatas, tetapi
filsafat dasarnya tidak ada yang berbeda.
Gambar Pura Agung Besakih
Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat
tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandhya kemudian menamakan
wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian menjadi nama Basukian dan dalam
perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki
yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama
Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura
yang diberi nama Pura Besakih. Maharsi Markandhya mengganti nama Gunung
Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Maharsi Markandhya akhirnya menamakan
pulau ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci dan
dikemudian hari nama Wali lebih dikenal dengan nama Bali, yang berarti dimana
semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau
korban suci.
Lokasi pura Besakih merupakan tempat yajnya dimana Rsi
Markandhya menanam kendi yang berisi Pancadatu,
lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi.
Tujuan penanaman Panca Datu adalah permohonan keselamatan untuk Sang Maha Rsi
dan para pengikutnya. Lama-kelamaan komplek pura Basukian dikenal dengan nama
Pura Besakih.
Setelah beberapa tahun lamanya beliau dan para
pengikutnya melakukan perabasan hutan di lereng Gunung Agung akhirnya beliau
melanjutkan perabasan hutan menuju arah barat, sampai di suatu daerah datar dan
luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya
kembali merabas hutan.
Wilayah
yang datar dan luas itu kemudian
dinamakan Puwakan, dari kata Puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu
menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak. Di sebuah Sloka dalam Prasasti
Pandak Badung – Tabanan, dari hasil penelitian Persubakan di Bali tahun 1975,
diterangkan bahwa Subak berasal dari kata Kaswakan di daerah Tabanan dan Badung
kata Subak berasal dari kata Seuwak yang artinya Hal yang di bagi dengan adil.
Di Puwakan beliau bersama para pengikutnya menanam berbagai jenis pangan dan
semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya
tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan ini dapat terjadi
karena kehendak Hyang Jagatnatha lewat perantara Sang Maha Rsi. Kehendak bahasa
Balinya kahyun, kayu atau taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal
dengan nama Taro dikemudian hari. Di wilayah ini Maharsi Markandhya kemudian
mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasraman beliau di Gunung Raung. Pura
ini dinamakan pula Pura Gunung Raung.
Ada beberapa bait dalam lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya termuat sebagai
berikut :
“…..wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaranan lemah Sarwada.
Sarwada ngaran, salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markandhya, ajnana ngaran
kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro ………….dan
seterusnya”
|
Tentang pembagian tanah dan
kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandhya Purana ada dijelaskan dalam
slokanya, antara lain:
“Saprapta ira sang Yoghi Markandhya
maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya
ta agelis sang Yoghi Markandhya mwang watek Pandita prasama anangun bratha
samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara
kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana,
tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus
puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon
angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking
Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas
ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih
pasangkalan, Sang Yoghi Markandhya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun
angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang
paumahan.....,”
|
Dalam buku Sejarah Bali Jilid I
dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan oleh I Nyoman Djelada, juga ada
menerangkan, antara lain: kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali dengan
mengikut sertakan ratusan orang dari Desa Aga, Jawa.
|
|
Orang Aga ini dikenal sebagai petani
yang kuat hidup di hutan belantara. Maharsi Markandhya mengajak pengikut orang
Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil
menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna
dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan
pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa
Puwakan, Taro Kaja.
Berikutnya
ada pula Pura Pucak Cabang Dehet. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro,
Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura Pucak Cabang Dahat dibangun
sebagai tanda pertama kali Maha Rsi beserta pengikutnya melakukan perabasan
hutan setelah menggelar yajnya
di kaki Gunung Agung.
|
|
Di
kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya,
yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar. Dalam
lontar Bhuwana Tattwa Rsi Markandhya dijabarkan, antara lain :
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandhya
kemudian bersemadi. Dalam semadinya beliau menemukan satu titik sinar terang.
Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga,
hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi
dimaksud Rsi Markandhya melakukan yoga semadi.
|
Di tempat yang bersinar dalam
yoganya itulah kemudian beliau dan para pengikutnya membangun pura yang
diberi nama Pura Pucak Payogan.
Menurut
lontar Widhi Sastra Roga Sanggara Bhumi milik Giriya Giri Jati Soetha
|
|
Sentana,
Bukit Bangli, yang berparahyangan di Pura Pucak Payogan adalah Ida Bhatara
Luhuring Akasa atau Sang Dewa Rsi.
Arah tenggara Pura Pucak Payogan,
tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandhya mendirikan pura yang diberi nama Pura
Gunung Lebah, Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian
diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan
dasa mala. Dalam Bhuwana Tattwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan di
bait slokanya antara lain berbunyi:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara
pasraman sira Rsi Markandhya iniring para sisyan ira……
|
Hermawan
Kertajaya dalam bukunya, yang berjudul : Ubud The Spirit of Bali, menyebutkan
bahwa setelah menetap beberapa lama di Besakih, Rsi Markandhya kemudian
melanjutkan perjalanan ke arah perbukitan di sebelah barat, Karena saat itu
belum ada jalan, beliau dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Aga
menyusuri aliran sungai untuk bermeditasi.
Di
aliran sungai dimana Sang Rsi sering bersuci dan menyatakan bahwa air sungai
tersebut memiliki kekuatan penyembuhan. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai
Wos, kependekan dan kata Wosada, bahasa Sanskerta yang beranti Sehat. Dalam
perkembangannya, kata Wosada kemudian di adaptasi menjadi kata Ubad, dalam
|
|
bahasa
Bali atau Ubud yang berarti obat. Di pertemuan kedua aliran sungai itu Maha Rsi Markandhya bersama pengikutnya
kemudian mendirikan Pura Gunung Lebah sebagai tempat pemujaan.
Menurut ulasan beberapa
pinisepuh Ubud, Cikal
bakal nama Ubud berasal dari kata U, yang berarti ulah berkonotasi dengan kata
Sila, Solah atau Prawerti. Kata Bud, Bu mempunyai arti Bhudi, Dha, Dharma,
apabila artinya dijabarkan menjadi : pandai membawa diri mampu berprilaku
sesuai dengan tingkatan tata lungguh. Hal itu sebagai tonggak dasar menegakkan
Dharma di dunia sehingga bisa mendapatkan Bhudi, Satya, Sadhu, Dharma, terpakai
kemudian sebagai obat, Ubad kemelaratan dunia
atau Papa Neraka.
Ketika
melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan atau Payangan, sesuai yang
tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra,
bahwa Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci yang diberi nama Pura Murwa
atau Purwa Bhumi. Yang bisa diartikan bebas sebagai Parhyangan yang sudah dibangun sejak dahulu kala. Nama daerah tersebut
dikenal dengan nama Pangaji yang arti bebasnya: tempat melakukan atau
mebicarakan segala jenis ilmu pengetahuan, agama, ekonomi, pertanian, dan
ilmu-ilmu sosial lainya atau Pangajian.
Sedangkan asal kata Payangan
dipercaya berasal dari kata Parhyangan yang berarti tempat tinggal para
leluhur (Hyang), jadi kalau di jabarkan semua kata diatas, Parhyangan adalah
tempat berstana nya para hyang atau leluhur sebagai tempat
|
|
yang
utama untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan atau pangajian.
Setelah
dirasa semua ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh Sang Maha Rsi kepada para
pengikutnya dimengerti dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan
sehari-hari, menjadikan para pengikut Sang Maha Rsi mendapatkan kebahagiaan
hidup. Sebagai tanda terima kasih kepada Hyang Jagatnatha maka dibangunlah
sepelebahan pura di depan Pura Murwa Bhumi, diberi nama Pura Sukamrih, yang
berasal dari dua kata, Suka dan Mrih, Suka artinya kebahagiaan, Mrih artinya
Mendapatkan. Jadi Pura Sukamrih dibangun setelah dirasa para pengikut beliau
mendapatkan semua kebahagiaan yang dicita-citakan dari dahulu.
Selain peningalan tua berupa
palinggih, di Pengaji, Payangan sampai saat ini masih berkembang struktur
masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad atau
delapan tingkatan, mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian,
Pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur
organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang
dipegang.
Ajaran dari Maha Rsi Markandhya
dilanjutkan oleh para pengikut beliau yang tersebar di daerah-daerah yang
pernah beliau singgahi, juga dengan membangun berbagai pura sederhana sebagai
tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud atau Manifestasi.
Dari berbagai analisa para ahli sejarah dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan Rsi Markandhya adalah pemimpin perguruan Markandhya di sekitar
Gunung Wukir, Kedu pada awal
pemerintahan dinasti Sanjaya, tahun 746 Masehi, juga tersurat Prasasti Canggal
yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya yang memerintah di kerajaan Mataram Kuno
mulai tahun 717 sampai dengan tahun 746 Masehi, berisi tentang pendirian sebuah
bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit serta lingga.
Dalam Babad Parahyangan dan
Prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh
Maharaja Dyah Balitung tahun 907 Masehi, tertulis nama Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya pada urutan pertama dari para raja yang pernah
memerintah Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu, sementara Perguruan
Markandhya dipastikan ada pada masa Sanjaya, antara tahun 717 sampai dengan tahun 907 Masehi. Perjalanan Beliau ke Bali
menurut beberapa prasasti masih belum bisa dipastikan bilangan Tahunnya, hanya
bisa diperkirakan bahwa Rsi Markandhya dan para pengikutnya sampai di Bali pada
sekitar Abad ke 9 Masehi.
“rahyangta rumuhun i Medang i Pohpitu”
Dari berbagai peninggalan berupa Lingga dan Yoni serta arca-arca tua yang
tersimpan di beberapa Pura di Payangan, dipercaya bahwa semasa faham Markandhya
berkembang di wilayah ini, para pengikut Rsi Markandhya yang mendiami wilayah Payangan
banyak membangun pura-pura dengan menyertakan Lingga Yoni dan Arca Dewa sebagai
sarana pemujaan. Pura yang awalnya terdiri dari bangunan sangat sederhana,
seiring perkembangan jaman sudah dipugar semestinya tanpa menghilangkan
unsur-unsur yang mencirikan tonggak awal berdirinya pura-pura yang tersebar
keberadaanya di wilayah Bali tengah tersebut.
Menurut
penuturan dari para tetua dan pemangku kahyangan di desa Pakraman Payangan
Desa, juga cerita rakyat yang berkembang di wilayah Payangan dan sekitarnya,
tersusun sebuah kisah yang menceritakan tentang perjalanan seorang Rsi yang
konon mempunyai pesraman di daerah Munduk Uma Duwur, sisi selatan sekitar Pura
Penataran Ulapan sekarang. Beliau bernama Rsi Dharma Sadhu, dari nama beliau
bisa diartikan, Rsi berarti guru atau orang bijaksana, Dharma berarti kebenaran
yang hakiki Sadhu berarti mulia
atau orang baik, orang suci, adalah sebutan bagi petapa atau orang suci, jadi
kalau dilihat dari nama beliau, bisa disimpulkan sebagai Seorang Rsi yang
bertapa mengamalkan kebenaran sebagai jalan menuju alam kebebasan. Rsi Dharma
Sadhu mempunyai istri yang berasal dari wilayah barat, yaitu lembah Gunung
Batukaru, tetapi sekian lama berjalan perkawinan mereka belum juga dikaruniai.
Pada suatu masa saat senja di sasih kapat, Rsi Dharma Sadhu hendak bersuci di
Beji Taman Magenda, beliau berpapasan dengan seorang wanita cantik yang
dilihatnya seperti mengeluarkan sinar dari dalam tubuhnya, seperti ciri-ciri
wanita mulia dan utama. Setelah mengenalkan diri, diketahui wanita itu bernama
Dewi Manik Mreta Sari berasal dari wilayah yang bernama
Tegal Apit Pangkung, wilayah bagian barat dari daerah Munduk Uma Duwur.
Baik daerah Munduk Uma Duwur maupun
Tegal Apit Pangkung merupakan daerah subur dengan berkelimpahan sumber air,
sehingga menjadi dua dataran yang menghijau sepanjang masa. Kedua Munduk ini
dipisahkan oleh sungai yang tidak begitu dalam, dengan air yang jernih dan
penuh ikan berbagai ukuran, menjadikan kedua munduk sangat cocok sebagai tempat
melakukan tapa yoga dan semadi. Keindahan alam sekitar, ditambah dengan suasana
yang asri membuat sesuatu menjadi lebih romantis, mungkin sudah karena kehendak
Hyang Wisesa, kedua hati itu bertaut, Rsi Dharma Sadhu dan Dewi Manik Mretasari
terikat perasaan yang saling menyayangi, seringnya mereka bertemu dan saling
bertutur membuat banyak kata-kata manis yang terucap, lembut dan penuh cinta,
Sang Rsi menandai daerah itu dengan nama Ujaring Sutra, Ujar berarti Kata atau
Rawos, Sutra berarti penuh kelembutan, setelah sekian lama, terbentuk areal
persawahan, dikenal dengan nama carik Jaring Sutra.
Karena perubahan prilaku Sang Rsi,
istri beliaupun menjadi curiga, sang istri melarang suaminya untuk keluar
pesraman, walaupun dalam hati tidak menerima larangan itu, Sang Rsi terpaksa
menuruti kemauan istrinya untuk menghindari pertengkeran. Akan tetapi kekuatan
cinta membuat Sang Rsi nekat, pada bulan gelap Rsi Dharma Sadhu kembali
berusaha menemui pujaan hatinya. Seperti biasa dilihatlah kemudian Dewi Manik
Mretha Sari diseberang sungai dalam perjalanan menuju Taman Magenda. Kedua
insan yang sedang jatuh cinta itu melepas rindu dengan saling melambaikan
tangan dari masing-masing pinggir sungai, tempat dimana Rsi Dharma Sadhu
melambaikan tangan kini dikenal dengan nama Ulapan yang artinya lambaian
tangan.Kembali kekuatan rasa mereka mengalahkan hal yang lain, dalam pertemuan
mereka di Taman Magenda setelah sekian lama tidak bersua membuat mereka sepakat
untuk menikah, tempat pernikahan mereka dikenal dengan nama Majangan, diambil
dari kata Mejangkepan.
Rsi Dharma Sadhu dan Dewi Manik
Mretha Sari menamakan daerah tempat tinggalnya menjadi Taman Sari, karena
persatuan mereka dimulai dari pertemuan di Taman Magenda. Daerah yang mengitari
Taman Sari masih dikenal dengan nama Tegal Apit Pangkung, yang kemudian setelah
sekian lama menjadi daerah Tegallampit. Diceritakan istri dari Rsi Dharma Sadhu
yang mengetahui pernikahan mereka, beliau menjadi sangat marah, dengan kekuatan
semadinya kemudian nyuti rupa atau menjelma sebagai babi putih. Babi putih
jelmaan istri Rsi Dharma Sadhu mengamuk dibakar api amarah, mengamuk dan
membuat kubangan besar antara daerah Munduk Uma Duwur dan Munduk Gunung Sari,
dengan magsud memisahkan suaminya dari Dewi Mretha Sari. Suasana gaduh tersebut
membuat seorang Dukuh yang sedang asyik memancing menjadi marah, karena tidak
ada ikan yang berani mendekati umpannya, apalagi babi putih jelmaan itu
bersiap-siap hendak menyerangnya, Ki Dukuh yang merasa terdesak menggunakan
Joran atau Pales Pancingnya sebagai senjata mengusir babi jelmaan, babi putih
jelmaan istri Rsi Dharma Sadhu yang terkena.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar