Selayang Pandang
Pura Dalem Alit Kutuh
BAB I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara, Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, maka wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
I.1. Mitologi terbentuknya jagad raya
Di dalam Babad Pasek, diceritakan tentang Nusa Bali pada jaman alam masih kosong, ketika belum ada matahari, bulan bintang dan planet-planet, yang ada hanya Sang Hyang Embang yang maha tunggal, Beliau maha besar sehingga memenuhi alam raya, akan tetapi Beliau juga sangat kecil. Pada masa itu segala sesuatu masih bersifat sempurna dan suci, karena tidak ada apa-apa selain Beliau yang Maha sempurna. Saat tercipta Sang Hyang Licin yang juga disebut Sang Hyang Eka Aksara, yakni Ong Kara. Lewat semadi maha tinggi Sang Hyang Ong Kara, terciptalah Sang Hyang Purusa dan Predana, juga disebut dengan nama Sang Hyang Akasa dan Pritiwi, dikenal dengan sebutan Rwa Bhineda dan dalam aksara disebut dengan Sang Hyang Dwi Aksara, Ang dan Ah. Setelah Sang Hyang Purusa Predana membangun tapa semadi, terciptalah Sang Hyang Tri Purusa, yang terdiri dari Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa, dalam wujud aksara Ang Ung Mang. Ketiga aksara ini dikenal dengan nama Sang Hyang Tri Aksara, juga sebagai lambang dari Sang Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara.
Sang Hyang Tri Purusa beryoga, menciptakan alam dengan segala isinya, memelihara dan mengembalikannya ke asal atau memprelina. Setelah terciptanya jagat raya, beliau kembali mencipta sepasang benih laki-laki dan perempuan yang dikenal dengan Ardha Nare Swari, setelah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam buah kelapa, disucikan dengan mantra utama sehingga berwujud seperti seorang pertapa di lereng gunung Agung. Disanalah mereka kemudian melakukan tapa dengan menuja Bhatara Hyang Pasupati agar berkenan turun ke pulau Bali untuk menjadi junjungan dan pujaan di pulau Bali.
Dikisahkan saat Bali dan Lombok masih sunyi senyap, kedua pulau ini seakan-akan mengambang di tengah lautan, laksana perahu tanpa pengemudi, oleng kesana kemari tidak tentu arahnya, bergoyang dan kadang-kadang rapat menjadi satu. Keadaan pulau itu membuat Sang Hyang Pasupati merasa sangat kasihan. Awalnya di Bali hanya ada empat buah gunung, diantaranya, gunung Lempuyang di wilayah timur, Gunung Andakasa di sebelah selatan, gunung Batukaru diwilayah barat dan gunung Beratan di sebelah utara. Untuk menenangkan pulau Bali, Bhatara Pasupati kemudian memotong puncak gunung Semeru di Jawa Timur dengan kesaktian Beliau. Potongan puncak Gunung Semeru itulah yang kemudian ditancapkan di Bali dan Lombok. Saat membawa potongan gunung Semeru, banyak bagian-bagiannya yang tercecer, bagian kecil dari potongan itu kemudian menjadi gunung Lebah, sedang bagian yang besar menjadi gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di karangasem. Dengan adanya tambahan dua gunung itu pulau Bali dan Lombok menjadi tidak oleng lagi. Menyusul kemudian turunnya para putra dari Hyang Pasupati ke pulau Bali, melakukan tapa dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci. Beliau kemudian dikenal dengan nama Hyang Sapta Bhatara.
I.2.Perjalanan Maha Rsi Markandhya
Sekitar tahun 500 Masehi rombongan pengungsi asal India tiba di wilayah Sumatra Utara yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil seperti Kandhari, Pali, Malayu-Sriboja dan lainnya. Antara tahun 682-686 Masehi Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan penyerangan ke beberapa wilayah, dari Malayu Sriboja ke selatan dan di bagian utara wilayah Sumatra. Termasuk kerajaan Kandhari dan kerajaan Pali kemudian berhasil dikuasainya. Ini menjadikan para bangsawan dan Rsi dari kerajaan Pali dari keturunan India menyingkir ke arah timur dengan perahu hingga mendarat di Nusa Goh (Pulau Sapi). Di sini mereka kemudian mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil. Nama kerajaannya sama dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang beragama Budha. Lama-kelamaan menjadi kerajaan Bali dalam tahun 683 Masehi.
Pada tahun 732 Masehi prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram, Sri Maharaja Sanjaya secara resmi menjadi raja Pulau Jawa tidak termasuk tanah Sunda. Walaupun sebelumnya Sanjaya adalah pewaris kerajaan Sunda dari istri pertamanya dan sekaligus pewaris kerajaan Galuh Tasikmalaya dari ayahnya yang bernama Sanna Sena, Brata Senawa. Setelah Sanjaya berhasil mengalahkan pamannya yang bernama Purbasora yang sebelumnya Purbasora menguasai tahta Sanna dengan pemberontakan berdarah. Tahun 730 Masehi, Raja Sanjaya berhasil menaklukkan Sriwijaya, Ligor Thailand, Hujung Medini Malaysia Barat, beliau yang berhasil menyebarkan agama Hindu di kerajaan Bali di tahun 730 Masehi.
Sang Raja Sanjaya dalam pemerintahannya gemar memelopori dan membudayakan serta mengembangkan ajaran agama Hindu dalam bentuk bangunan linggayoni. Termasuk prasasti Canggal yang didirikannya. Rsi Markandhya yang merupakan Purohita Pendeta Kerajaan Sanjaya. pada tahun 730 Masehi tercatat pergi ke arah timur untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari pasraman Gunung Wukir (Demalung) tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga (Banyuwangi) kemudian berakhir di Gunung Agung (lingga Acala) tempat Pura Besakih sekarang.
Dikisahkan dalam Lontar Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang istri, berputra dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya, berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, yang berbunyi :
“Sang Ayati mwang Sang Niata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama…….”
Sang Ayati melanjutkan jejak leluhurnya menjadi seorang pertapa, beliau berputra, Sang Prana. Demikian pula adiknya, yang bernama Sang Niata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristrikan Dewi Manaswini, berputra Maharsi Markandhya. Selanjutnya Maharsi Markandhya, beristrikan Dewi Dumara. menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristrikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam pustaka kuno Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, tentang asal-usul Maharsi Markandhya.
Salah seorang murid Maharsi Agastya yang bernama Sang Ila putra dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan tapa samadhi di Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Pegunungan Dieng, seperti halnya Maharsi Markandhya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau Dieng, di Wukir Damalung, Jawa Dwipa Mandala. Di dalam prasasti, Dinaya yang berangka tahun 682 Saka, atau 760 Masehi, dikemukakan bahwa Maha Rsi Agastya yang mengembangkan ajaran Tri Murthi Paksa di Bhumi Nusantara ini, yang merupakan penyatuan ajaran tiga paksa, yakni Salwa Paksa, Brahmana Paksa, dan Waisnawa Paksa, yang pada kelanjutannya kemudian berkembang juga di Bali Dwipa Mandala. Sehingga dalam prasasti Dinaya ini, Maharsi Agastya, juga abhiseka Sri Bhatara Guru.
Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali. Mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya pemimpin-pemimpin mereka masing-masing. Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi cikal bakal desa-desa di Bali. Mereka adalah Orang Bali Mula, dan kemudian mereka lebih dikenal dengan nama Pasek Bali. Ketika itu, orang-orang Bali Mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan Para Rsi dari luar pulau ke Bali. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Menurut Lontar Bali Tattwa, Untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, kemudian datanglah seorang Maha Rsi ke Bali, beliau bernama Maharsi Markandhya.
Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah 800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandhya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung atau Gunung Tolangkir, untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti mranggi atau macan, singa, dan ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja, mereka kemudian mendiami wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro.
Melihat keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandeya memutuskan untuk kembali ke Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa murid-murid beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung. Maha Rsi Markandhya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara dan tidak menanam Panca Datu. Setelah mendapatkan petunjuk dari Hyang Jagatnatha, Maharsi Markandhya kembali datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Pengiring yang berjumlah 400 orang ini semuanya membawa sekta atau paksa agama masing-masing, yang dianut oleh mereka sejak dari tanah Hindu, Bhatarawarsa - India. Jenisnya ada enam sekta Paksa, seperti yang dikemukakan dalam Lontar Sadagama di Bali. Masing-masing rinciannya adalah: Sambhu Paksa, Brahma Paksa, Indra Paksa, Kala Paksa, Bayu Paksa dan Wisnu Paksa. Sebenarnya dalam penjelasan seperti yang dikemukakan dalam Lontar Markandhya Purana itu, hanya ada perbedaan pelaksanaan tata upacara saja diantara keenam Paksa diatas, tetapi filsafat dasarnya tidak ada yang berbeda.
Gambar Pura Agung Besakih
Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandhya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Maharsi Markandhya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Maharsi Markandhya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci, dan dikemudian hari nama Wali lebih dikenal dengan nama Bali, yang berarti dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci. Setelah beberapa tahun lamanya beliau dan para pengikutnya melakukan perabasan hutan di lereng Gunung Agung akhirnya beliau melanjutkan perabasan hutan menuju arah barat, sampai di suatu daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya kembali merabas hutan.
Gambar Pura Gunung Raung di Taro.
Wilayah yang datar dan luas itu kemudian dinamakan Puwakan, dari kata Puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak. Di sebuah Sloka dalam Prasasti Pandak Badung - Tabanan (hasil penelitian Persubakan di Bali tahun 1975) Subak berasal dari kata Kaswakan di daerah Tabanan dan Badung kata Subak berasal dari kata Seuwak yang artinya Hal yang di bagi dengan adil. Di Puwakan beliau bersama para pengikutnya menanam berbagai jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Hyang Jagatnatha lewat perantara Sang Maha Rsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu bahasa Sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari. Di wilayah ini Maharsi Markandeya kemudian mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasraman beliau di Gunung Raung. Pura ini dinamakan pula Pura Gunung Raung. Ada beberapa bait dalam lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya termuat sebagai berikut :
“…..wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaranan lemah Sarwada. Sarwada ngaran, salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markandhya, ajnana ngaran kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro ………….dan seterusnya”
Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandhya Purana ada dijelaskan dalam slokanya, antara lain:
“Saprapta ira sang Yoghi Markandhya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandhya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandhya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,”
Gambar Pura Puseh di Desa Taro
Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan oleh I Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, antara lain : kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan mengikut sertakan ratusan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani yang kuat hidup di hutan belantara. Maharsi Markandhya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar.
Gambar Keadaan Pura Mretiwi di Cabaang Dehet
Berikutnya ada pula Pura Pucak Cabang Dehet. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura Pucak Cabang Dahat dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung.
Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar. Dalam lontar Bhuwana Tattwa Rsi Markandhya dijabarkan, antara lain : Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandhya kemudian bersemadi. Dalam semadinya beliau menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandhya melakukan yoga semadi.
Gambar Pura Gunung Lebah, Campuan Ubud.
Di tempat yang bersinar dalam yoganya itulah kemudian beliau dan para pengikutnya membangun pura yang diberi nama Pura Pucak Payogan. Menurut lontar Widhi Sastra Roga Sanggara Bhumi druwe Giriya Giri Jati Soetha Sentana, Bukit Bangli, yang berparahyangan di Pura Pucak Payogan adalah Ida Bhatara Luhuring Akasa atau Sang Dewa Rsi.
Arah tenggara Pura Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandhya mendirikan pura yang diberi nama Pura Gunung Lebah, Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala. Dalam Bhuwana Tattwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan di bait slokanya antara lain berbunyi:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandhya iniring para sisyan ira
Hermawan Kertajaya dalam bukunya,yang berjudul : Ubud The Spirit of Bali, menyebutkan bahwa setelah menetap beberapa lama di Besakih, Rsi Markandhya kemudian melanjutkan perjalanan ke arah perbukitan di sebelah barat, Karena saat itu belum ada jalan, beliau dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Aga menyusuri aliran sungai untuk bermeditasi. Di aliran sungai dimana Sang Rsi sering bersuci dan menyatakan bahwa air sungai tersebut memiliki kekuatan penyembuhan. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Wos, kependekan dan kata Wosada, bahasa Sanskerta yang beranti Sehat. Dalam perkembangannya, kata Wosada kemudian diadaptasi menjadi kata Ubad dalam bahasa Bali atau ubud yang berarti obat. Di pertemuan kedua aliran sungai itu Maha Rsi Markandhya bersama pengikutnya kemudian mendirikan Pura Gunung Lebah sebagai tempat pemujaan.
Menurut ulasan beberapa pinisepuh Ubud, Cikal bakal nama Ubud berasal dari kata U, yang berarti ulah berkonotasi dengan kata Sila, Solah atau Prawerti. Kata Bud, Bu mempunyai arti Bhudi, Dha, Dharma, apabila artinya dijabarkan menjadi : pandai membawa diri mampu berprilaku sesuai dengan tingkatan tata lungguh. Hal itu sebagai tonggak dasar menegakkan Dharma di dunia sehingga bisa mendapatkan Bhudi, Satya, Sadhu, Dharma, terpakai kemudian sebagai obat atau Ubad kemelaratan dunia atau Papa Neraka.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan (Payangan), sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci yang diberi nama Pura Murwa (Purwa) Bhumi. Yang bisa diartikan bebas sebagai Parhyangan yang sudah dibangun sejak dahulu kala. Nama daerah tersebut dikenal dengan nama Pangaji yang arti bebasnya: tempat melakukan atau mebicarakan segala jenis ilmu pengetahuan, agama, ekonomi, pertanian, dan ilmu-ilmu sosial lainya atau Pangajian. Sedangkan asal kata Payangan dipercaya berasal dari kata Parhyangan yang berarti tempat tinggal para leluhur atau Hyang. jadi kalau dijabarkan semua kata diatas, parahyangan adalah tempat berstananya para hyang atau leluhur sebagai tempat yang utama untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan atau pangajian.
Setelah dirasa semua ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh Sang Maha Rsi kepada para pengikutnya dimengerti dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan para pengikut Sang Maha Rsi mendapatkan kebahagiaan hidup. Sebagai tanda terima kasih kepada Hyang Jagatnatha maka dibangunlah sepelebahan pura di depan Pura Murwa Bhumi, diberi nama Pura Sukamrih, yang berasal dari dua kata, Suka dan Mrih, Suka artinya kebahagiaan, Mrih artinya Mendapatkan. Jadi Pura Sukamrih dibangun setelah dirasa para pengikut beliau mendapatkan semua kebahagiaan yang dicita-citakan dari dahulu. Selain peningalan tua berupa palinggih, di Pengaji, Payangan sampai saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad atau delapan tingkatan, mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, Pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang.
BAB II
Cikal Bakal Desa Kutuh Ubud
II.1. Perjalanan Suci Orang Aga Ke Bukit Uluwatu
Pada sekitar pertengahan tahun 1243, pada bulan terang, awal musim kering, terjadi wabah penyakit di daerah Buleleng, penyakit aneh tersebut sudah merenggut banyak sekali jiwa penduduk Buleleng. Penyakit Cacar air atau bahasa medisnya adalah smallpox atau variola yang diperkirakan berasal dari India ini sudah menjangkiti wilayah Buleleng timur antara lain Desa Julah, Tejakula, Bondalem dan penduduk yang mendiami pinggiran Tukad Palad, Tukad Mejan, Tukad Samuh dan tukad Palijan. Banyak penduduk terkena penyakit dengan gejala yang aneh mulai dengan demam dan sakit kepala Setelah dua atau tiga hari kemudian mulai muncul bintik merah datar, lalu menjadi menonjol, kemudian muncul cairan didalamnya berupa air, nanah dan darah seperti melepuh disertai rasa gatal-gatal, dalam jangka waktu kurang dari seminggu, penduduk yang terjangkit kemudian sulit untuk bernapas. Orang-orang menyebut penyakit ini Medewa, yang menurut dukun daerah itu disebabkan oleh kemarahan para leluhur dan dewa di gunung, yang berkeinginan bersuci di kakinya pulau Bali, yaitu bukit Uluwatu, banyak sudah korban yang meninggal, terutama pada bayi dan anak-anak.
Setelah melakukan perundingan dengan para pemimpin desa, akhirnya diputuskan untuk mengirim beberapa penduduk pilihan, yang sehat dan pemberani untuk melakukan perjalanan suci menuju selatan. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan berjumlah 40 orang. Membawa perbekalan yang cukup dan juga alat-alat pertanian dan senjata untuk mempertahankan diri. Mereka juga membawa beberapa arca prelingga dan keris pusaka yang dikeramatkan.
Ada juga dibawa beberapa cawan tembaga dan keramik yang biasa dipakai sebagai tempat mencampur atau meramu obat-obatan. Tujuan mereka adalah menghadap Hyang Ludra guna memohon perkenan agar desa di Barat Daya Pulau Bali (Bukit Uluwatu). Karena menurut tetua desa, penyakit yang dialami oleh penduduk itu datangnya dari sebelah barat daya desa, diujung pulau Bangsul.Sebagaian dari mereka melakukan perjalanan suci menuju Tampurhyang (Batur). Sebagian lagi menuju arah barat ke Pucak Batukaru. Tidak dikisahkan perjalanan penduduk yang bergerak menuju kearah barat desa, dan perjalanan penduduk menuju Tampurhyang. Perjalanan 40 warga kuwu tukad Mejan menuju arah barat daya untuk menghadap Hyang Ludra di bukit Uluwatu.
Perjalanan mereka menuju arah selatan menelusuri tepian Tukad Shyang Brata lalu sampai di Sukawana. Di Sukawana rombongan ini beristrirahat, sempat membangun beberapa pondok peristirahatan. Juga membangun beberapa bangunan darurat untuk melinggihkan arca pralingga yang dibawa dari utara. Mereka tinggal menetap sementara di sekitar pura Panarajon, Hal itu bisa dimaklumi karena wilayah Sukawana adalah bagian dari Banuwa yang beristilah sebagai Gebog Domas Pura Pucak Penulisan, sehingga hubungan orang-orang dari lereng Tukad Mejan sangat dekat dengan penduduk Sukawana. Bulan keempat kemudian mereka meneruskan perjalanan menuju arah selatan. Menaiki daerah berbukit-bukit dengan tanah berpadas, wilayah gugusan bukit Kintamani. Di bukit Kintamani mereka diterima dengan baik oleh penduduk disana, diberikan makanan dan tempat untuk bermalam. Untuk beberapa lama mereka berbaur dengan masyarakat di Kintamani, ada juga beberapa yang kemudian memutuskan untuk menetap di bukit Kintamani.
Mereka membuat permukiman di daerah dataran sebelah utara danau Batur. Mulai membangun perdikan dengan penduduk Kintamani dan penduduk Kuwu Tukad Mejan. Setelah beberapa lama mereka hidup dan bertani di lereng perbukitan Kintamani, terpilihlah beberapa orang yang bertugas melanjutkan perjalanan menuju Bukit Uluwatu, membawa serta arca prelingga dan alat-alat yang dipandang perlu digunakan dalam perjalanan. Dengan menyebrangi daerah Banua Bayung Gede terus menuju ke selatan, menuruni bukit Kintamani. Di hulunya Tukad Petanu, wilayah Tampasiring rombongan kembali beristirahat, Karena perpekalan habis, disana mereka kembali membuat perkebunan dan bercocok tanam, menanam berbagai tanaman musiman yang bisa dipakai sebagai bekal meneruskan perjalanan. Dalam waktu beberapa bulan mereka hidup layaknya penduduk asli Tampaksiring. Akan tetapi karena tugas suci menuju Bukit Uluwatu masih belum bisa dilakukan, pada hari baik, setelah musim panen di Tampaksiring kembali mereka melanjutkan perjalanan kearah selatan, menelusuri aliran Tukad Petanu. Disepanjang perjalanan rombongan beristirahat, membuat pondok-pondok untuk tempat tinggal maka kemudian terbentuklah kuwu-kuwu kecil diantara aliran Tukad Petanu. Dari Aliran tepian Tukad Petanu rombongan itu menyebrang kearah barat daya menuju ke Kendran dan akhirnya sampai di Tegalallang. Dari daerah Tegalallang terus menuju selatan dengan menelusuri Tukad Tawar.
Pada saat Dinasti Jin berkuasa di Cina utara disekitaran tahun 1115 sampai dengan tahun 1234 Masehi, Raja Kediri Shri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Shri Kameshwara Sakala Bhuwana Tushtikarana Sarwwani Waryya Wiryya Parakrama Digjayo Tunggadewa, mendapat kunjungan 9 biksu dari Cina, mereka memperkenalkan dan menyebarkan agama Budha di wilayah kediri dan sekitarnya. Empat orang biksu Cina tersebut melakukan perjalanan suci ke wilayah pulau Bali, bertujuan mencari tempat yang cocok untuk mendirikan wihara dan menyebarkan agama Budha. Dalam tulisan tangannya yang berbahasa Cina, salah seorang dari 4 biksu yang melakukan perjalanan suci di pulau Bali bernama Biksu Cin Hoan menuturkan daerah Bali bagian tengah sudah tertata dalam kehidupan berkelompok terdiri dari hampir 50 keluarga yang mendiami lembah pegunungan yang membentang dari utara keselatan, diapit oleh 2 buah sungai terjal. Dalam siklus 1 tahun kalender Bali selalu mengadakan ritual dengan menyembelih kerbau dan kijang. Daging dari semua persembahan itu dibagi-bagikan kepada penghuni kawasan dengan sama rata, memakai alas daun. Cara menimbangnya dengan memakai batok kelapa bertali yang dikaitkan pada sebatang bambu kecil yang bertali dibagian tengahnya. Sehingga mirip seperti timbangan untuk mencari berat yang sama antara ke dua bagiannya. Biksu Cin Hoan berkeliling dalam misinya ke kuwu-kuwu diseputaran Bali tengah, termasuk di dalamnya adalah kuwu-kuwu yang terdapat di pinggiran Kali atau Tukad. Bulan November tahun 1244 Masehi Biksu Cin Hoan dan beberapa biksu lain mengunjungi kuwu-kuwu sepanjang sungai Petanu, Pekerisan, Tukad Lawas, Tukad Kunggang, Tukad Mas, Tukad Wos (Woh), Tukad Apit, Tukad Dawa dan Tukad Tawar. Diperkirakan oleh para ahli orang-orang Aga (gunung) tersebut membangun kuwu masih memakai tatanan satu garis lurus utara selatan atau hulu teben, dengan jalan desa sebagai garis tengahnya, sementara dikanan dan kiri jalan dibangun rumah-rumah sangat sederhana dengan bahan yang hampir seluruhnya terbuat dari balok-balok kayu hasil tebangan saat merabas hutan. Hal itu bisa dianalisa dari tulisan Biksu Cin Hoan dan beberapa pengikutnya yang menyatakan rumah-rumah penduduk di Bali tengah diantara tahun 1200 sampai dengan tahun 1256 Masehi berupa bangunan bangunan kecil berjajar disepanjang jalan dengan kayu-kayu sebagai dinding serta atap alang-alang yang dijalin dengan rapi. Diujung desa atau ditengah desa ada sebuah bangunan yang agak besar memanjang, tanpa dinding bertiang 12 beratap alang-alang. Di bangunan besar inilah para penduduk berkumpul pada sore hari membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan hasil perburuan, hasil ladang, bersenda gurau sambil mengunyah sirih. Dilangit-langit rumah besar tergantung berbagai hiasan dari kayu-kayu tua juga tulang-tulang binatang buruan serta beberapa pahatan-pahatan kayu yang masih sederhana. Dipojok bangunan bersandar perkakas dari besi yang ditempa berbentuk pipih memanjang. Asap mengepul dari berbagai pojok batas desa, asap ini muncul dari gundukan kayu-kayu yang dibakar penduduk dengan tujuan penandaan daerah dan dipakai juga untuk mengusir binatang buas agar tidak mendekati areal perumahan penduduk.
Untuk melanjutkan misi ada beberapa orang pilihan yang dipilih oleh tetua kuwu yang meneruskan perjalanan menuju selatan, menghadap kepada Hyang Ludra yang berparahyangan di Bukit Uluwatu. Sementara sekitar 20 keluarga membangun kuwu baru di dataran kering antara aliran Tukad Tawar dan Tukad Dawa. Kehidupan penduduk yang sudah mulai bercocok tanam mendorong mereka untuk bertempat tinggal tetap dan membangun kuwu dengan organisasi yang semakin teratur. Kehidupan religi mereka mereka juga semakin berkembang dengan pelaksanaan upacara-upacara yang berlandaskan konsep magis atau oleh ilmuan barat dikenal dengan konsep Simpatic Magic. Upacara-upacara itu seringkali dilaksanakan saat menjelang kegiatan berburu. Upacara-upacara penguburan juga sudah mulai berjalan dengan baik, jasad penduduk yang meninggal diupacara terlebih dahulu baru kemudian diangkut ke batas selatan desa, di batas desa itulah jasad tersebut ditanam, dengan areal bernama Pelarungan atau pemakaman, itu menandakan mereka sudah mempunyai sebuah keyakinan adanya kehidupan lain setelah kematian, yang berarti juga mereka sudah meyakini bahwa arwah nenek moyang yang sudah diupacara mempunyai kemampuan mengatur, melindungi dan memberkahi para generasi yang masih hidup, atau sebaliknya mengganggu dan mengusik keturunannya yang berbuat salah.
Beberapa dari penduduk sudah mempunyai kemampuan yang tinggi dalam peleburan bijih-bijih logam, pengecoran logam untuk membuat perkakas bertani dan berburu. Penduduk juga mempunyai keahlian khusus membuat hiasan dengan motif-motif tertentu dari logam. Dengan adanya perkakas pertanian dari logam itu membuat pertanian, terutama perkebunan semakin maju, walaupun pertanian saat itu hanya mengandalkan air hujan, tanpa ada irigasi pengairan yang teratur. Kemampuan-kemampuan itu menunjukkan betapa tingginya tingkat kemajuan dalam bidang piroteknologi (pyrotechnology) yang telah dicapai. Tidak diceritakan perjalanan suci penduduk Kuwu Tukad Mejan menuju arah selatan dari Kuwu Tukad Tawar. Di Kuwu Tukad Tawar sendiri kehidupan semakin membaik, walaupun tidak ditunjang dengan sumber air yang memadai, mereka hanya mengandal kan sumber air hujan untuk keperluan hidupnya, orang-orang Aga ini mampu mempertahankan hidup di Kuwu Tukad Tawar, bahkan semakin lama-semakin berkembang. Kebudayaan semakin sempurna di daerah ini. Mereka juga tetap melakukan hubungan baik dengan kuwu-kuwu yang terbentuk dari lintasan perjalanan mereka, mulai dari Tegalallang, Kendran, Tampaksiring, Bayung Gede, Kintamani, Sukawana dan Kuwu Tukad Mejan.
II.2. Pemberontakan Orang-Orang Aga terhadap Penguasa Bali
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, Terjadilah pergantian kekuasaan di Bali. Dengan semakin besarnya kerajaan Majapahit di Jawa, dan terus melakukan penaklukan ke kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Kediri dikuasai oleh Majapahit, Kerajaan Panjalu - Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada tahun 1222 Masehi Kertajaya sedang berselisih melawan kaum Brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri. Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singasari. Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Masehi Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Masehi Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanagara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
Setelah dikuasainya Kediri oleh Majapahit pulau Bali juga segera dapat dikuasai, dengan tertawannya Pasung Grigis, yang kemudian diperintahkan untuk menggempur Sumbawa. Di Bali ditempatkan seorang Adipati yaitu Shri Kresna Kepakisan berkedudukan di Samprangan, didampingi oleh para Arya keturunan Sri Kameswara, antara lain: Arya Kanuruhan, Arya Pangalasan, Arya Dalancang, Arya Wangbang, Arya Kenceng, Arya Tan Wikan, Arya Manguri, Sira Wangbang, Sira Kutawaringin, Arya Gajah Para. Didampingi tiga orang Wesya, Tan Kober, Tan Kawur Tan Mundur, juga seorang keturunan Kepakisan bernama Nyuh Aya, menjabat patih, tahun 1272 Saka atau tahun 1350 Masehi.
Adhipati Shri Kresna Kepakisan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Samplangan. Pemerintahan beliau menganut system kepemerintahan di Majapahit serta beliau kurang memahami apresiasi rakyat Bali, keberadaan tempat suci orang Bali Aga tidak dapat perhatian dan diabaikan. Sikap inilah yang sangat menyinggung perasaan orang Bali Aga, pemerintahan beliau dijauhi. Lama kelamaan rasa tersinggung ini meningkat menjadi rasa anti pati, yang puncaknya orang Bali Aga tidak mau mengakui pemerintahan Adhipati Samplangan. Mereka lalu melakukan pemeberontakan dengan mengangkat senjata. Pemberontakan ini diawali dari Desa Tampurhyang Batur sebagai pusat pemerintahan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh Kyayi Kayuselem, kemudian diikuti oleh desa Batur, Terunyan, Abang, Buahan, Kedisan, Cempaga, Pinggan, Peludu, Kintamani, Serai, Manikliyu, Bonyoh, Sukawana, Taro dan Bayad.
Kemudian pemeberontakan ini mendapat simpati dari desa-desa timur Bali yaitu, Culik, Tista, Basangalas, Got, Margatiga, Sekulkuning, Garinten, Lokasrana, Puhan Bulkan, Sinanten, Tulamben, Batudawa, Muntig, Juntal, Carutcut, Bantas, Kuthabayem, Watuwayang, Kedampal, dan Hasti, serta desa-desa lainnya sehingga jumlahnya adalah tidak kurang dari 39 desa. Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dhalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu beliau bawa.
Karena keterkaitan antara banuwa-banuwa dan ikatan sosial diantara desa-desa tua Aga, Penduduk Kuwu Tukad Tawar juga ikut serta dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Pasek Taro, Panglima perang Aga dari desa Taro. Pemuda-pemuda yang terpilih dari kuwu tukad Tawar ikut serta mengangkat senjata. Banyak diantaranya kemudian tewas dalam usaha pemberontakan itu. Sisanya tidak berani kembali lagi ke daerah Kuwu Tukad Tawar, sehingga penduduk di Kuwu Tukad Tawar semakin sedikit. Kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang tua dan anak-anak saja, itupun tidak terurus dengan baik, karena golongan muda, golongan pekerja mereka banyak yang gugur. Pemberontakan orang-orang Aga, yang bersifat besar dapat dipadamkan pada kisaran Tahun tahun 1383 Masehi, yaitu setelah Shri Kresna Kepakisan mangkat digantikan oleh putra beliau yang bernama Dhalem Agra Samprangan, dan saat gejolak yang terjadi di keraton Samprangan, sehingga para menteri memutuskan untuk mengangkat Shri Dhalem Ile sebagai Dipati Bali berkedudukan di Gelgel.
Pura Dalem Alit Kutuh
BAB I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara, Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, maka wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
I.1. Mitologi terbentuknya jagad raya
Di dalam Babad Pasek, diceritakan tentang Nusa Bali pada jaman alam masih kosong, ketika belum ada matahari, bulan bintang dan planet-planet, yang ada hanya Sang Hyang Embang yang maha tunggal, Beliau maha besar sehingga memenuhi alam raya, akan tetapi Beliau juga sangat kecil. Pada masa itu segala sesuatu masih bersifat sempurna dan suci, karena tidak ada apa-apa selain Beliau yang Maha sempurna. Saat tercipta Sang Hyang Licin yang juga disebut Sang Hyang Eka Aksara, yakni Ong Kara. Lewat semadi maha tinggi Sang Hyang Ong Kara, terciptalah Sang Hyang Purusa dan Predana, juga disebut dengan nama Sang Hyang Akasa dan Pritiwi, dikenal dengan sebutan Rwa Bhineda dan dalam aksara disebut dengan Sang Hyang Dwi Aksara, Ang dan Ah. Setelah Sang Hyang Purusa Predana membangun tapa semadi, terciptalah Sang Hyang Tri Purusa, yang terdiri dari Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa, dalam wujud aksara Ang Ung Mang. Ketiga aksara ini dikenal dengan nama Sang Hyang Tri Aksara, juga sebagai lambang dari Sang Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara.
Sang Hyang Tri Purusa beryoga, menciptakan alam dengan segala isinya, memelihara dan mengembalikannya ke asal atau memprelina. Setelah terciptanya jagat raya, beliau kembali mencipta sepasang benih laki-laki dan perempuan yang dikenal dengan Ardha Nare Swari, setelah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam buah kelapa, disucikan dengan mantra utama sehingga berwujud seperti seorang pertapa di lereng gunung Agung. Disanalah mereka kemudian melakukan tapa dengan menuja Bhatara Hyang Pasupati agar berkenan turun ke pulau Bali untuk menjadi junjungan dan pujaan di pulau Bali.
Dikisahkan saat Bali dan Lombok masih sunyi senyap, kedua pulau ini seakan-akan mengambang di tengah lautan, laksana perahu tanpa pengemudi, oleng kesana kemari tidak tentu arahnya, bergoyang dan kadang-kadang rapat menjadi satu. Keadaan pulau itu membuat Sang Hyang Pasupati merasa sangat kasihan. Awalnya di Bali hanya ada empat buah gunung, diantaranya, gunung Lempuyang di wilayah timur, Gunung Andakasa di sebelah selatan, gunung Batukaru diwilayah barat dan gunung Beratan di sebelah utara. Untuk menenangkan pulau Bali, Bhatara Pasupati kemudian memotong puncak gunung Semeru di Jawa Timur dengan kesaktian Beliau. Potongan puncak Gunung Semeru itulah yang kemudian ditancapkan di Bali dan Lombok. Saat membawa potongan gunung Semeru, banyak bagian-bagiannya yang tercecer, bagian kecil dari potongan itu kemudian menjadi gunung Lebah, sedang bagian yang besar menjadi gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di karangasem. Dengan adanya tambahan dua gunung itu pulau Bali dan Lombok menjadi tidak oleng lagi. Menyusul kemudian turunnya para putra dari Hyang Pasupati ke pulau Bali, melakukan tapa dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci. Beliau kemudian dikenal dengan nama Hyang Sapta Bhatara.
I.2.Perjalanan Maha Rsi Markandhya
Sekitar tahun 500 Masehi rombongan pengungsi asal India tiba di wilayah Sumatra Utara yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil seperti Kandhari, Pali, Malayu-Sriboja dan lainnya. Antara tahun 682-686 Masehi Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan penyerangan ke beberapa wilayah, dari Malayu Sriboja ke selatan dan di bagian utara wilayah Sumatra. Termasuk kerajaan Kandhari dan kerajaan Pali kemudian berhasil dikuasainya. Ini menjadikan para bangsawan dan Rsi dari kerajaan Pali dari keturunan India menyingkir ke arah timur dengan perahu hingga mendarat di Nusa Goh (Pulau Sapi). Di sini mereka kemudian mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil. Nama kerajaannya sama dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang beragama Budha. Lama-kelamaan menjadi kerajaan Bali dalam tahun 683 Masehi.
Pada tahun 732 Masehi prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram, Sri Maharaja Sanjaya secara resmi menjadi raja Pulau Jawa tidak termasuk tanah Sunda. Walaupun sebelumnya Sanjaya adalah pewaris kerajaan Sunda dari istri pertamanya dan sekaligus pewaris kerajaan Galuh Tasikmalaya dari ayahnya yang bernama Sanna Sena, Brata Senawa. Setelah Sanjaya berhasil mengalahkan pamannya yang bernama Purbasora yang sebelumnya Purbasora menguasai tahta Sanna dengan pemberontakan berdarah. Tahun 730 Masehi, Raja Sanjaya berhasil menaklukkan Sriwijaya, Ligor Thailand, Hujung Medini Malaysia Barat, beliau yang berhasil menyebarkan agama Hindu di kerajaan Bali di tahun 730 Masehi.
Sang Raja Sanjaya dalam pemerintahannya gemar memelopori dan membudayakan serta mengembangkan ajaran agama Hindu dalam bentuk bangunan linggayoni. Termasuk prasasti Canggal yang didirikannya. Rsi Markandhya yang merupakan Purohita Pendeta Kerajaan Sanjaya. pada tahun 730 Masehi tercatat pergi ke arah timur untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari pasraman Gunung Wukir (Demalung) tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga (Banyuwangi) kemudian berakhir di Gunung Agung (lingga Acala) tempat Pura Besakih sekarang.
Dikisahkan dalam Lontar Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang istri, berputra dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya, berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, yang berbunyi :
“Sang Ayati mwang Sang Niata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama…….”
Sang Ayati melanjutkan jejak leluhurnya menjadi seorang pertapa, beliau berputra, Sang Prana. Demikian pula adiknya, yang bernama Sang Niata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristrikan Dewi Manaswini, berputra Maharsi Markandhya. Selanjutnya Maharsi Markandhya, beristrikan Dewi Dumara. menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristrikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam pustaka kuno Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, tentang asal-usul Maharsi Markandhya.
Salah seorang murid Maharsi Agastya yang bernama Sang Ila putra dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan tapa samadhi di Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Pegunungan Dieng, seperti halnya Maharsi Markandhya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau Dieng, di Wukir Damalung, Jawa Dwipa Mandala. Di dalam prasasti, Dinaya yang berangka tahun 682 Saka, atau 760 Masehi, dikemukakan bahwa Maha Rsi Agastya yang mengembangkan ajaran Tri Murthi Paksa di Bhumi Nusantara ini, yang merupakan penyatuan ajaran tiga paksa, yakni Salwa Paksa, Brahmana Paksa, dan Waisnawa Paksa, yang pada kelanjutannya kemudian berkembang juga di Bali Dwipa Mandala. Sehingga dalam prasasti Dinaya ini, Maharsi Agastya, juga abhiseka Sri Bhatara Guru.
Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali. Mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya pemimpin-pemimpin mereka masing-masing. Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi cikal bakal desa-desa di Bali. Mereka adalah Orang Bali Mula, dan kemudian mereka lebih dikenal dengan nama Pasek Bali. Ketika itu, orang-orang Bali Mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan Para Rsi dari luar pulau ke Bali. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Menurut Lontar Bali Tattwa, Untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, kemudian datanglah seorang Maha Rsi ke Bali, beliau bernama Maharsi Markandhya.
Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah 800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandhya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung atau Gunung Tolangkir, untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti mranggi atau macan, singa, dan ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja, mereka kemudian mendiami wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro.
Melihat keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandeya memutuskan untuk kembali ke Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa murid-murid beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung. Maha Rsi Markandhya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara dan tidak menanam Panca Datu. Setelah mendapatkan petunjuk dari Hyang Jagatnatha, Maharsi Markandhya kembali datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Pengiring yang berjumlah 400 orang ini semuanya membawa sekta atau paksa agama masing-masing, yang dianut oleh mereka sejak dari tanah Hindu, Bhatarawarsa - India. Jenisnya ada enam sekta Paksa, seperti yang dikemukakan dalam Lontar Sadagama di Bali. Masing-masing rinciannya adalah: Sambhu Paksa, Brahma Paksa, Indra Paksa, Kala Paksa, Bayu Paksa dan Wisnu Paksa. Sebenarnya dalam penjelasan seperti yang dikemukakan dalam Lontar Markandhya Purana itu, hanya ada perbedaan pelaksanaan tata upacara saja diantara keenam Paksa diatas, tetapi filsafat dasarnya tidak ada yang berbeda.
Gambar Pura Agung Besakih
Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandhya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Maharsi Markandhya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Maharsi Markandhya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci, dan dikemudian hari nama Wali lebih dikenal dengan nama Bali, yang berarti dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci. Setelah beberapa tahun lamanya beliau dan para pengikutnya melakukan perabasan hutan di lereng Gunung Agung akhirnya beliau melanjutkan perabasan hutan menuju arah barat, sampai di suatu daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya kembali merabas hutan.
Gambar Pura Gunung Raung di Taro.
Wilayah yang datar dan luas itu kemudian dinamakan Puwakan, dari kata Puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak. Di sebuah Sloka dalam Prasasti Pandak Badung - Tabanan (hasil penelitian Persubakan di Bali tahun 1975) Subak berasal dari kata Kaswakan di daerah Tabanan dan Badung kata Subak berasal dari kata Seuwak yang artinya Hal yang di bagi dengan adil. Di Puwakan beliau bersama para pengikutnya menanam berbagai jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Hyang Jagatnatha lewat perantara Sang Maha Rsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu bahasa Sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari. Di wilayah ini Maharsi Markandeya kemudian mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasraman beliau di Gunung Raung. Pura ini dinamakan pula Pura Gunung Raung. Ada beberapa bait dalam lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya termuat sebagai berikut :
“…..wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaranan lemah Sarwada. Sarwada ngaran, salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markandhya, ajnana ngaran kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro ………….dan seterusnya”
Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandhya Purana ada dijelaskan dalam slokanya, antara lain:
“Saprapta ira sang Yoghi Markandhya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandhya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandhya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,”
Gambar Pura Puseh di Desa Taro
Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan oleh I Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, antara lain : kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan mengikut sertakan ratusan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani yang kuat hidup di hutan belantara. Maharsi Markandhya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar.
Gambar Keadaan Pura Mretiwi di Cabaang Dehet
Berikutnya ada pula Pura Pucak Cabang Dehet. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura Pucak Cabang Dahat dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung.
Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar. Dalam lontar Bhuwana Tattwa Rsi Markandhya dijabarkan, antara lain : Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandhya kemudian bersemadi. Dalam semadinya beliau menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandhya melakukan yoga semadi.
Gambar Pura Gunung Lebah, Campuan Ubud.
Di tempat yang bersinar dalam yoganya itulah kemudian beliau dan para pengikutnya membangun pura yang diberi nama Pura Pucak Payogan. Menurut lontar Widhi Sastra Roga Sanggara Bhumi druwe Giriya Giri Jati Soetha Sentana, Bukit Bangli, yang berparahyangan di Pura Pucak Payogan adalah Ida Bhatara Luhuring Akasa atau Sang Dewa Rsi.
Arah tenggara Pura Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandhya mendirikan pura yang diberi nama Pura Gunung Lebah, Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala. Dalam Bhuwana Tattwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan di bait slokanya antara lain berbunyi:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandhya iniring para sisyan ira
Hermawan Kertajaya dalam bukunya,yang berjudul : Ubud The Spirit of Bali, menyebutkan bahwa setelah menetap beberapa lama di Besakih, Rsi Markandhya kemudian melanjutkan perjalanan ke arah perbukitan di sebelah barat, Karena saat itu belum ada jalan, beliau dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Aga menyusuri aliran sungai untuk bermeditasi. Di aliran sungai dimana Sang Rsi sering bersuci dan menyatakan bahwa air sungai tersebut memiliki kekuatan penyembuhan. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Wos, kependekan dan kata Wosada, bahasa Sanskerta yang beranti Sehat. Dalam perkembangannya, kata Wosada kemudian diadaptasi menjadi kata Ubad dalam bahasa Bali atau ubud yang berarti obat. Di pertemuan kedua aliran sungai itu Maha Rsi Markandhya bersama pengikutnya kemudian mendirikan Pura Gunung Lebah sebagai tempat pemujaan.
Menurut ulasan beberapa pinisepuh Ubud, Cikal bakal nama Ubud berasal dari kata U, yang berarti ulah berkonotasi dengan kata Sila, Solah atau Prawerti. Kata Bud, Bu mempunyai arti Bhudi, Dha, Dharma, apabila artinya dijabarkan menjadi : pandai membawa diri mampu berprilaku sesuai dengan tingkatan tata lungguh. Hal itu sebagai tonggak dasar menegakkan Dharma di dunia sehingga bisa mendapatkan Bhudi, Satya, Sadhu, Dharma, terpakai kemudian sebagai obat atau Ubad kemelaratan dunia atau Papa Neraka.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan (Payangan), sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci yang diberi nama Pura Murwa (Purwa) Bhumi. Yang bisa diartikan bebas sebagai Parhyangan yang sudah dibangun sejak dahulu kala. Nama daerah tersebut dikenal dengan nama Pangaji yang arti bebasnya: tempat melakukan atau mebicarakan segala jenis ilmu pengetahuan, agama, ekonomi, pertanian, dan ilmu-ilmu sosial lainya atau Pangajian. Sedangkan asal kata Payangan dipercaya berasal dari kata Parhyangan yang berarti tempat tinggal para leluhur atau Hyang. jadi kalau dijabarkan semua kata diatas, parahyangan adalah tempat berstananya para hyang atau leluhur sebagai tempat yang utama untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan atau pangajian.
Setelah dirasa semua ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh Sang Maha Rsi kepada para pengikutnya dimengerti dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan para pengikut Sang Maha Rsi mendapatkan kebahagiaan hidup. Sebagai tanda terima kasih kepada Hyang Jagatnatha maka dibangunlah sepelebahan pura di depan Pura Murwa Bhumi, diberi nama Pura Sukamrih, yang berasal dari dua kata, Suka dan Mrih, Suka artinya kebahagiaan, Mrih artinya Mendapatkan. Jadi Pura Sukamrih dibangun setelah dirasa para pengikut beliau mendapatkan semua kebahagiaan yang dicita-citakan dari dahulu. Selain peningalan tua berupa palinggih, di Pengaji, Payangan sampai saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad atau delapan tingkatan, mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, Pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang.
BAB II
Cikal Bakal Desa Kutuh Ubud
II.1. Perjalanan Suci Orang Aga Ke Bukit Uluwatu
Pada sekitar pertengahan tahun 1243, pada bulan terang, awal musim kering, terjadi wabah penyakit di daerah Buleleng, penyakit aneh tersebut sudah merenggut banyak sekali jiwa penduduk Buleleng. Penyakit Cacar air atau bahasa medisnya adalah smallpox atau variola yang diperkirakan berasal dari India ini sudah menjangkiti wilayah Buleleng timur antara lain Desa Julah, Tejakula, Bondalem dan penduduk yang mendiami pinggiran Tukad Palad, Tukad Mejan, Tukad Samuh dan tukad Palijan. Banyak penduduk terkena penyakit dengan gejala yang aneh mulai dengan demam dan sakit kepala Setelah dua atau tiga hari kemudian mulai muncul bintik merah datar, lalu menjadi menonjol, kemudian muncul cairan didalamnya berupa air, nanah dan darah seperti melepuh disertai rasa gatal-gatal, dalam jangka waktu kurang dari seminggu, penduduk yang terjangkit kemudian sulit untuk bernapas. Orang-orang menyebut penyakit ini Medewa, yang menurut dukun daerah itu disebabkan oleh kemarahan para leluhur dan dewa di gunung, yang berkeinginan bersuci di kakinya pulau Bali, yaitu bukit Uluwatu, banyak sudah korban yang meninggal, terutama pada bayi dan anak-anak.
Setelah melakukan perundingan dengan para pemimpin desa, akhirnya diputuskan untuk mengirim beberapa penduduk pilihan, yang sehat dan pemberani untuk melakukan perjalanan suci menuju selatan. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan berjumlah 40 orang. Membawa perbekalan yang cukup dan juga alat-alat pertanian dan senjata untuk mempertahankan diri. Mereka juga membawa beberapa arca prelingga dan keris pusaka yang dikeramatkan.
Ada juga dibawa beberapa cawan tembaga dan keramik yang biasa dipakai sebagai tempat mencampur atau meramu obat-obatan. Tujuan mereka adalah menghadap Hyang Ludra guna memohon perkenan agar desa di Barat Daya Pulau Bali (Bukit Uluwatu). Karena menurut tetua desa, penyakit yang dialami oleh penduduk itu datangnya dari sebelah barat daya desa, diujung pulau Bangsul.Sebagaian dari mereka melakukan perjalanan suci menuju Tampurhyang (Batur). Sebagian lagi menuju arah barat ke Pucak Batukaru. Tidak dikisahkan perjalanan penduduk yang bergerak menuju kearah barat desa, dan perjalanan penduduk menuju Tampurhyang. Perjalanan 40 warga kuwu tukad Mejan menuju arah barat daya untuk menghadap Hyang Ludra di bukit Uluwatu.
Perjalanan mereka menuju arah selatan menelusuri tepian Tukad Shyang Brata lalu sampai di Sukawana. Di Sukawana rombongan ini beristrirahat, sempat membangun beberapa pondok peristirahatan. Juga membangun beberapa bangunan darurat untuk melinggihkan arca pralingga yang dibawa dari utara. Mereka tinggal menetap sementara di sekitar pura Panarajon, Hal itu bisa dimaklumi karena wilayah Sukawana adalah bagian dari Banuwa yang beristilah sebagai Gebog Domas Pura Pucak Penulisan, sehingga hubungan orang-orang dari lereng Tukad Mejan sangat dekat dengan penduduk Sukawana. Bulan keempat kemudian mereka meneruskan perjalanan menuju arah selatan. Menaiki daerah berbukit-bukit dengan tanah berpadas, wilayah gugusan bukit Kintamani. Di bukit Kintamani mereka diterima dengan baik oleh penduduk disana, diberikan makanan dan tempat untuk bermalam. Untuk beberapa lama mereka berbaur dengan masyarakat di Kintamani, ada juga beberapa yang kemudian memutuskan untuk menetap di bukit Kintamani.
Mereka membuat permukiman di daerah dataran sebelah utara danau Batur. Mulai membangun perdikan dengan penduduk Kintamani dan penduduk Kuwu Tukad Mejan. Setelah beberapa lama mereka hidup dan bertani di lereng perbukitan Kintamani, terpilihlah beberapa orang yang bertugas melanjutkan perjalanan menuju Bukit Uluwatu, membawa serta arca prelingga dan alat-alat yang dipandang perlu digunakan dalam perjalanan. Dengan menyebrangi daerah Banua Bayung Gede terus menuju ke selatan, menuruni bukit Kintamani. Di hulunya Tukad Petanu, wilayah Tampasiring rombongan kembali beristirahat, Karena perpekalan habis, disana mereka kembali membuat perkebunan dan bercocok tanam, menanam berbagai tanaman musiman yang bisa dipakai sebagai bekal meneruskan perjalanan. Dalam waktu beberapa bulan mereka hidup layaknya penduduk asli Tampaksiring. Akan tetapi karena tugas suci menuju Bukit Uluwatu masih belum bisa dilakukan, pada hari baik, setelah musim panen di Tampaksiring kembali mereka melanjutkan perjalanan kearah selatan, menelusuri aliran Tukad Petanu. Disepanjang perjalanan rombongan beristirahat, membuat pondok-pondok untuk tempat tinggal maka kemudian terbentuklah kuwu-kuwu kecil diantara aliran Tukad Petanu. Dari Aliran tepian Tukad Petanu rombongan itu menyebrang kearah barat daya menuju ke Kendran dan akhirnya sampai di Tegalallang. Dari daerah Tegalallang terus menuju selatan dengan menelusuri Tukad Tawar.
Pada saat Dinasti Jin berkuasa di Cina utara disekitaran tahun 1115 sampai dengan tahun 1234 Masehi, Raja Kediri Shri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Shri Kameshwara Sakala Bhuwana Tushtikarana Sarwwani Waryya Wiryya Parakrama Digjayo Tunggadewa, mendapat kunjungan 9 biksu dari Cina, mereka memperkenalkan dan menyebarkan agama Budha di wilayah kediri dan sekitarnya. Empat orang biksu Cina tersebut melakukan perjalanan suci ke wilayah pulau Bali, bertujuan mencari tempat yang cocok untuk mendirikan wihara dan menyebarkan agama Budha. Dalam tulisan tangannya yang berbahasa Cina, salah seorang dari 4 biksu yang melakukan perjalanan suci di pulau Bali bernama Biksu Cin Hoan menuturkan daerah Bali bagian tengah sudah tertata dalam kehidupan berkelompok terdiri dari hampir 50 keluarga yang mendiami lembah pegunungan yang membentang dari utara keselatan, diapit oleh 2 buah sungai terjal. Dalam siklus 1 tahun kalender Bali selalu mengadakan ritual dengan menyembelih kerbau dan kijang. Daging dari semua persembahan itu dibagi-bagikan kepada penghuni kawasan dengan sama rata, memakai alas daun. Cara menimbangnya dengan memakai batok kelapa bertali yang dikaitkan pada sebatang bambu kecil yang bertali dibagian tengahnya. Sehingga mirip seperti timbangan untuk mencari berat yang sama antara ke dua bagiannya. Biksu Cin Hoan berkeliling dalam misinya ke kuwu-kuwu diseputaran Bali tengah, termasuk di dalamnya adalah kuwu-kuwu yang terdapat di pinggiran Kali atau Tukad. Bulan November tahun 1244 Masehi Biksu Cin Hoan dan beberapa biksu lain mengunjungi kuwu-kuwu sepanjang sungai Petanu, Pekerisan, Tukad Lawas, Tukad Kunggang, Tukad Mas, Tukad Wos (Woh), Tukad Apit, Tukad Dawa dan Tukad Tawar. Diperkirakan oleh para ahli orang-orang Aga (gunung) tersebut membangun kuwu masih memakai tatanan satu garis lurus utara selatan atau hulu teben, dengan jalan desa sebagai garis tengahnya, sementara dikanan dan kiri jalan dibangun rumah-rumah sangat sederhana dengan bahan yang hampir seluruhnya terbuat dari balok-balok kayu hasil tebangan saat merabas hutan. Hal itu bisa dianalisa dari tulisan Biksu Cin Hoan dan beberapa pengikutnya yang menyatakan rumah-rumah penduduk di Bali tengah diantara tahun 1200 sampai dengan tahun 1256 Masehi berupa bangunan bangunan kecil berjajar disepanjang jalan dengan kayu-kayu sebagai dinding serta atap alang-alang yang dijalin dengan rapi. Diujung desa atau ditengah desa ada sebuah bangunan yang agak besar memanjang, tanpa dinding bertiang 12 beratap alang-alang. Di bangunan besar inilah para penduduk berkumpul pada sore hari membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan hasil perburuan, hasil ladang, bersenda gurau sambil mengunyah sirih. Dilangit-langit rumah besar tergantung berbagai hiasan dari kayu-kayu tua juga tulang-tulang binatang buruan serta beberapa pahatan-pahatan kayu yang masih sederhana. Dipojok bangunan bersandar perkakas dari besi yang ditempa berbentuk pipih memanjang. Asap mengepul dari berbagai pojok batas desa, asap ini muncul dari gundukan kayu-kayu yang dibakar penduduk dengan tujuan penandaan daerah dan dipakai juga untuk mengusir binatang buas agar tidak mendekati areal perumahan penduduk.
Untuk melanjutkan misi ada beberapa orang pilihan yang dipilih oleh tetua kuwu yang meneruskan perjalanan menuju selatan, menghadap kepada Hyang Ludra yang berparahyangan di Bukit Uluwatu. Sementara sekitar 20 keluarga membangun kuwu baru di dataran kering antara aliran Tukad Tawar dan Tukad Dawa. Kehidupan penduduk yang sudah mulai bercocok tanam mendorong mereka untuk bertempat tinggal tetap dan membangun kuwu dengan organisasi yang semakin teratur. Kehidupan religi mereka mereka juga semakin berkembang dengan pelaksanaan upacara-upacara yang berlandaskan konsep magis atau oleh ilmuan barat dikenal dengan konsep Simpatic Magic. Upacara-upacara itu seringkali dilaksanakan saat menjelang kegiatan berburu. Upacara-upacara penguburan juga sudah mulai berjalan dengan baik, jasad penduduk yang meninggal diupacara terlebih dahulu baru kemudian diangkut ke batas selatan desa, di batas desa itulah jasad tersebut ditanam, dengan areal bernama Pelarungan atau pemakaman, itu menandakan mereka sudah mempunyai sebuah keyakinan adanya kehidupan lain setelah kematian, yang berarti juga mereka sudah meyakini bahwa arwah nenek moyang yang sudah diupacara mempunyai kemampuan mengatur, melindungi dan memberkahi para generasi yang masih hidup, atau sebaliknya mengganggu dan mengusik keturunannya yang berbuat salah.
Beberapa dari penduduk sudah mempunyai kemampuan yang tinggi dalam peleburan bijih-bijih logam, pengecoran logam untuk membuat perkakas bertani dan berburu. Penduduk juga mempunyai keahlian khusus membuat hiasan dengan motif-motif tertentu dari logam. Dengan adanya perkakas pertanian dari logam itu membuat pertanian, terutama perkebunan semakin maju, walaupun pertanian saat itu hanya mengandalkan air hujan, tanpa ada irigasi pengairan yang teratur. Kemampuan-kemampuan itu menunjukkan betapa tingginya tingkat kemajuan dalam bidang piroteknologi (pyrotechnology) yang telah dicapai. Tidak diceritakan perjalanan suci penduduk Kuwu Tukad Mejan menuju arah selatan dari Kuwu Tukad Tawar. Di Kuwu Tukad Tawar sendiri kehidupan semakin membaik, walaupun tidak ditunjang dengan sumber air yang memadai, mereka hanya mengandal kan sumber air hujan untuk keperluan hidupnya, orang-orang Aga ini mampu mempertahankan hidup di Kuwu Tukad Tawar, bahkan semakin lama-semakin berkembang. Kebudayaan semakin sempurna di daerah ini. Mereka juga tetap melakukan hubungan baik dengan kuwu-kuwu yang terbentuk dari lintasan perjalanan mereka, mulai dari Tegalallang, Kendran, Tampaksiring, Bayung Gede, Kintamani, Sukawana dan Kuwu Tukad Mejan.
II.2. Pemberontakan Orang-Orang Aga terhadap Penguasa Bali
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, Terjadilah pergantian kekuasaan di Bali. Dengan semakin besarnya kerajaan Majapahit di Jawa, dan terus melakukan penaklukan ke kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Kediri dikuasai oleh Majapahit, Kerajaan Panjalu - Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada tahun 1222 Masehi Kertajaya sedang berselisih melawan kaum Brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri. Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singasari. Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Masehi Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Masehi Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanagara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
Setelah dikuasainya Kediri oleh Majapahit pulau Bali juga segera dapat dikuasai, dengan tertawannya Pasung Grigis, yang kemudian diperintahkan untuk menggempur Sumbawa. Di Bali ditempatkan seorang Adipati yaitu Shri Kresna Kepakisan berkedudukan di Samprangan, didampingi oleh para Arya keturunan Sri Kameswara, antara lain: Arya Kanuruhan, Arya Pangalasan, Arya Dalancang, Arya Wangbang, Arya Kenceng, Arya Tan Wikan, Arya Manguri, Sira Wangbang, Sira Kutawaringin, Arya Gajah Para. Didampingi tiga orang Wesya, Tan Kober, Tan Kawur Tan Mundur, juga seorang keturunan Kepakisan bernama Nyuh Aya, menjabat patih, tahun 1272 Saka atau tahun 1350 Masehi.
Adhipati Shri Kresna Kepakisan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Samplangan. Pemerintahan beliau menganut system kepemerintahan di Majapahit serta beliau kurang memahami apresiasi rakyat Bali, keberadaan tempat suci orang Bali Aga tidak dapat perhatian dan diabaikan. Sikap inilah yang sangat menyinggung perasaan orang Bali Aga, pemerintahan beliau dijauhi. Lama kelamaan rasa tersinggung ini meningkat menjadi rasa anti pati, yang puncaknya orang Bali Aga tidak mau mengakui pemerintahan Adhipati Samplangan. Mereka lalu melakukan pemeberontakan dengan mengangkat senjata. Pemberontakan ini diawali dari Desa Tampurhyang Batur sebagai pusat pemerintahan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh Kyayi Kayuselem, kemudian diikuti oleh desa Batur, Terunyan, Abang, Buahan, Kedisan, Cempaga, Pinggan, Peludu, Kintamani, Serai, Manikliyu, Bonyoh, Sukawana, Taro dan Bayad.
Kemudian pemeberontakan ini mendapat simpati dari desa-desa timur Bali yaitu, Culik, Tista, Basangalas, Got, Margatiga, Sekulkuning, Garinten, Lokasrana, Puhan Bulkan, Sinanten, Tulamben, Batudawa, Muntig, Juntal, Carutcut, Bantas, Kuthabayem, Watuwayang, Kedampal, dan Hasti, serta desa-desa lainnya sehingga jumlahnya adalah tidak kurang dari 39 desa. Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dhalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu beliau bawa.
Karena keterkaitan antara banuwa-banuwa dan ikatan sosial diantara desa-desa tua Aga, Penduduk Kuwu Tukad Tawar juga ikut serta dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Pasek Taro, Panglima perang Aga dari desa Taro. Pemuda-pemuda yang terpilih dari kuwu tukad Tawar ikut serta mengangkat senjata. Banyak diantaranya kemudian tewas dalam usaha pemberontakan itu. Sisanya tidak berani kembali lagi ke daerah Kuwu Tukad Tawar, sehingga penduduk di Kuwu Tukad Tawar semakin sedikit. Kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang tua dan anak-anak saja, itupun tidak terurus dengan baik, karena golongan muda, golongan pekerja mereka banyak yang gugur. Pemberontakan orang-orang Aga, yang bersifat besar dapat dipadamkan pada kisaran Tahun tahun 1383 Masehi, yaitu setelah Shri Kresna Kepakisan mangkat digantikan oleh putra beliau yang bernama Dhalem Agra Samprangan, dan saat gejolak yang terjadi di keraton Samprangan, sehingga para menteri memutuskan untuk mengangkat Shri Dhalem Ile sebagai Dipati Bali berkedudukan di Gelgel.