Selayang Pandang
Pura Taman Sari
Desa Pakraman
Payangan Desa
Bab I
Pendahuluan
Om
awighnam astu namā śidyam.
Om
prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam
widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam
mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā,
pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam.
Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang
ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun,
muncar anākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah
pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā,
mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama
atau permakluman kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya
Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba
menceritakan segala masa lalu yang telah menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur,
Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari
penciptaan Sang Hyang purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba,
bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, maka wigraha mala papa
petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu,
sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau
lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur,
kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
I.1. Mitologi terbentuknya jagad raya
Di
dalam sebuah kitab tua berjudul Babad Pasek, ada disebutkan cerita tentang Nusa
Bali pada jaman alam masih kosong. Dikisahkan Ketika alam masih kosong, ketika
belum ada matahari, bulan bintang dan planet-planet, yang ada hanya Sang Hyang
Embang yang maha tunggal, Beliau maha besar sehingga memenuhi alam raya, akan
tetapi Beliau juga sangat kecil. Pada masa itu segala sesuatu masih bersifat
sempurna dan suci, karena tidak ada apa-apa selain Beliau yang Maha sempurna. Saat
tercipta Sang Hyang Licin yang juga disebut Sang Hyang Eka Aksara, yakni Ong
Kara. Lewat semadi maha tinggi Sang Hyang Ong Kara, terciptalah Sang Hyang
Purusa dan Predana, juga disebut dengan nama Sang Hyang Akasa dan Pritiwi,
dikenal dengan sebutan Rwa Bhineda dan dalam aksara disebut dengan Sang Hyang
Dwi Aksara, Ang dan Ah.
Setelah
Sang Hyang Purusa Predana membangun tapa semadi, terciptalah Sang Hyang Tri
Purusa, yang terdiri dari Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa, dalam
wujud aksara Ang Ung Mang. Ketiga aksara ini dikenal dengan nama Sang Hyang Tri
Aksara, juga sebagai lambang dari Sang Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara. Sang
Hyang Tri Purusa beryoga, menciptakan alam dengan segala isinya, memelihara dan
mengembalikannya ke asal atau memprelina. Setelah terciptanya jagat raya,
beliau kembali mencipta sepasang benih laki-laki dan perempuan yang dikenal
dengan Ardha Nare Swari, setelah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam buah
kelapa, disucikan dengan mantra utama sehingga berwujud seperti seorang pertapa
di lereng gunung Agung. Disanalah mereka kemudian melakukan tapa dengan menuja
Bhatara Hyang Pasupati agar berkenan turun ke pulau Bali untuk menjadi
junjungan dan pujaan di pulau Bali.
Dikisahkan
saat Bali dan Lombok masih sunyi senyap, kedua pulau ini seakan-akan mengambang
di tengah lautan, laksana perahu tanpa pengemudi, oleng kesana kemari tidak
tentu arahnya, bergoyang dan kadang-kadang rapat menjadi satu. Keadaan pulau
itu membuat Sang Hyang Pasupati merasa sangat kasihan. Awalnya di Bali hanya
ada empat buah gunung, diantaranya, gunung Lempuyang di wilayah timur, Gunung
Andakasa di sebelah selatan, gunung Batukaru diwilayah barat dan gunung Beratan
di sebelah utara. Untuk menenangkan pulau Bali, Bhatara Pasupati kemudian
memotong puncak gunung Semeru di Jawa Timur dengan kesaktian Beliau. Potongan
puncak Gunung Semeru itulah yang kemudian ditancapkan di Bali dan Lombok. Saat
membawa potongan gunung Semeru, banyak bagian-bagiannya yang tercecer, bagian
kecil dari potongan itu kemudian menjadi gunung Lebah, sedang bagian yang besar
menjadi gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di
karangasem. Dengan adanya tambahan dua gunung itu pulau Bali dan Lombok menjadi
tidak oleng lagi. Menyusul kemudian turunnya para putra dari Hyang Pasupati ke
pulau Bali, melakukan tapa dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci.
Beliau kemudian dikenal dengan nama Hyang Sapta Bhatara.
I.2.Perjalanan Maha Rsi Markandhya
Berdasar tinjauan sejarah, sekitar
tahun 500 Masehi rombongan pengungsi asal India tiba di wilayah Sumatra Utara
yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil seperti
Kandhari, Pali, Malayu-Shriboja dan lainnya. Antara tahun 682-686 Masehi
Dapunta Hyang Shri Jayanaga melakukan penyerangan ke beberapa wilayah, dari
Malayu Shriboja ke selatan dan di bagian utara wilayah Sumatra. Termasuk
kerajaan Kandhari dan kerajaan Pali kemudian berhasil dikuasainya. Ini
menjadikan para bangsawan dan Rsi dari kerajaan Pali dari keturunan India menyingkir
ke arah timur dengan perahu hingga mendarat di Nusa Goh, Pulau Sapi. Disini
mereka kemudian mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil. Nama
kerajaannya sama dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang
beragama Budha. Lama-kelamaan menjadi kerajaan Bali dalam tahun 683 Masehi.
Pernyataan pustaka ini bisa dicocokkan dengan penelitian R. Goris. Pada tahun
732 Masehi prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah
menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram, Shri Maharaja Sanjaya secara resmi
menjadi raja Pulau Jawa tidak termasuk tanah Sunda. Walaupun sebelumnya Sanjaya
adalah pewaris kerajaan Sunda dari istri pertamanya dan sekaligus pewaris
kerajaan Galuh Tasikmalaya dari ayahnya yang bernama Sanna, Sena, Brata Senawa.
Setelah Sanjaya berhasil mengalahkan pamannya yang bernama Purbasora yang
sebelumnya Purbasora menguasai tahta
Sanna dengan pemberontakan berdarah. Tahun 730 Masehi, Raja Sanjaya berhasil menaklukkan Shriwijaya,
Ligor Thailand, Hujung Medini Malaysia Barat.
Dan Raja Sanjaya pula yang berhasil
mengHindukan kerajaan Bali di tahun 730 Masehi. Sang
Raja Sanjaya dalam pemerintahannya gemar memelopori dan membudayakan serta
mengembangkan ajaran agama Hindu dalam bentuk bangunan linggayoni. Termasuk
prasasti Canggal yang didirikannya. Rsi Markandhya yang merupakan Purohita atau
Pendeta Kerajaan Sanjaya. pada tahun 730 Masehi tercatat pergi ke arah timur
untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari pasraman Gunung Wukir atau
Demalung tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng
pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai
Paralingga Banyuwangi kemudian berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala
tempat Pura Besakih sekarang. Dikisahkan
dalam Lontar Bhwana Tatwa Maharsi
Markandhya, seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang
istri, berputra dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi
nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya, berbudi
sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka
Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, yang berbunyi :
Sang Ayati mwang Sang Niata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing
sastra utama…….”
|
Sang Ayati melanjutkan jejak
leluhurnya menjadi seorang pertapa, beliau berputra, Sang Prana. Demikian pula adiknya, yang bernama Sang
Niata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristrikan Dewi
Manaswini, berputra Maharsi Markandhya. Selanjutnya Maharsi Markandhya,
beristrikan Dewi Dumara. menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristrikan Dewi
Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam
pustaka kuno Bhwana Tatwa Maharsi Markandhya, tentang asal-usul Maharsi Markandhya. Salah
seorang murid Maharsi Agastya yang bernama Sang Ila putra dari Maharsi
Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa
dan Sang Anaka, melakukan tapa samadhi di
Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Pegunungan Dieng, seperti halnya Maharsi
Markandhya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau Dieng, di Wukir Damalung,
Jawa Dwipa Mandala.
Orang-orang
keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali, mereka tinggal
berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya atau pemimpin-pemimpin mereka
masing-masing. Kelompok-kelompok ini nantinya yang menjadi cikal bakal
desa-desa di Bali, Mereka adalah Orang Bali Mula, dan kemudian mereka lebih
dikenal dengan nama Pasek Bali.
Ketika
itu, orang-orang Bali Mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur
yang mereka namakan Hyang. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah
berdatangan Para Rsi dari luar pulau ke Bali. Disamping untuk mengajarkan agama
Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Menurut
Lontar Bali Tattwa, Untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali,
kemudian datanglah seorang Maha Rsi ke
Bali, beliau bernama Maharsi Markandhya.
Setelah
menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah 800 orang, yang terdiri
dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandhya ke arah timur
dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Rombongan Sang Maha Rsi turun
di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian
melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng
Gunung Agung atau Gunung Tolangkir, untuk lahan pertanian, dan tempat
pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau
terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang mangkat diterkam binatang
buas seperti mranggi atau harimau, singa, dan ular, ada juga yang hilang tanpa
jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, Wong
Aga pengiring Sang Maha Rsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa
hidup sekitar 200 orang saja, yang kemudian mendiami wilayah-wilayah di sekitar
perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal
dengan nama Munduk Taro.
Melihat
keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandhya memutuskan untuk
kembali ke Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung,
kembali beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa murid-murid beliau di Gunung
Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung.
Maha Rsi Markandhya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon
bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari tapa semadhi itulah diketahui bahwa pada
waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak
menghaturkan upacara dan tidak menanam Panca Datu.
Setelah
mendapatkan petunjuk dari Hyang Jagatnatha, Maharsi Markandhya kembali datang
ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang
muridnya. Pengiring yang berjumlah 400 orang
ini semuanya membawa sekta atau paksa agama masing-masing, yang dianut oleh mereka
sejak dari tanah Hindu, Bhatarawarsa - India. Jenisnya ada enam sekta paksa,
seperti yang dikemukakan dalam Lontar Sadagama di Bali. Masing-masing
rinciannya adalah: Sambhu Paksa, Brahma Paksa, Indra
Paksa, Kala Paksa, Bayu Paksa dan Wisnu Paksa. Sebenarnya dalam penjelasan
seperti yang dikemukakan dalam Lontar Markandhya Purana itu, hanya ada
perbedaan pelaksanaan tata upacara saja diantara keenam Paksa diatas, tetapi
filsafat dasarnya tidak ada yang berbeda.
Gambar Pura Agung Besakih
Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat
tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandhya kemudian menamakan
wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian menjadi nama Basukian dan dalam
perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki
yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama
Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura
yang diberi nama Pura Besakih. Maharsi Markandhya mengganti nama Gunung
Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Maharsi Markandhya akhirnya menamakan
pulau ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci dan
dikemudian hari nama Wali lebih dikenal dengan nama Bali, yang berarti dimana
semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau
korban suci.
Lokasi pura Besakih merupakan tempat yajnya dimana Rsi
Markandhya menanam kendi yang berisi Pancadatu,
lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi.
Tujuan penanaman Panca Datu adalah permohonan keselamatan untuk Sang Maha Rsi
dan para pengikutnya. Lama-kelamaan komplek pura Basukian dikenal dengan nama
Pura Besakih.
Setelah beberapa tahun lamanya beliau dan para
pengikutnya melakukan perabasan hutan di lereng Gunung Agung akhirnya beliau
melanjutkan perabasan hutan menuju arah barat, sampai di suatu daerah datar dan
luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya
kembali merabas hutan.
Gambar Pura Gunung Raung di Taro.
Wilayah
yang datar dan luas itu kemudian
dinamakan Puwakan, dari kata Puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu
menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak. Di sebuah Sloka dalam Prasasti
Pandak Badung – Tabanan, dari hasil penelitian Persubakan di Bali tahun 1975,
diterangkan bahwa Subak berasal dari kata Kaswakan di daerah Tabanan dan Badung
kata Subak berasal dari kata Seuwak yang artinya Hal yang di bagi dengan adil.
Di Puwakan beliau bersama para pengikutnya menanam berbagai jenis pangan dan
semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya
tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan ini dapat terjadi
karena kehendak Hyang Jagatnatha lewat perantara Sang Maha Rsi. Kehendak bahasa
Balinya kahyun, kayu atau taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal
dengan nama Taro dikemudian hari. Di wilayah ini Maharsi Markandhya kemudian
mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasraman beliau di Gunung Raung. Pura
ini dinamakan pula Pura Gunung Raung.
Ada beberapa bait dalam lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya termuat sebagai
berikut :
“…..wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaranan lemah Sarwada.
Sarwada ngaran, salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markandhya, ajnana ngaran
kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro ………….dan
seterusnya”
|
Tentang pembagian tanah dan
kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandhya Purana ada dijelaskan dalam
slokanya, antara lain:
“Saprapta ira sang Yoghi Markandhya
maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya
ta agelis sang Yoghi Markandhya mwang watek Pandita prasama anangun bratha
samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara
kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana,
tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus
puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon
angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking
Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas
ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih
pasangkalan, Sang Yoghi Markandhya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun
angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang
paumahan.....,”
|
Dalam buku Sejarah Bali Jilid I
dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan oleh I Nyoman Djelada, juga ada
menerangkan, antara lain: kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali dengan
mengikut sertakan ratusan orang dari Desa Aga, Jawa.
|
Gambar Pura Puseh
di Desa Taro
|
Orang Aga ini dikenal sebagai petani
yang kuat hidup di hutan belantara. Maharsi Markandhya mengajak pengikut orang
Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil
menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna
dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian
itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro
Kaja.
Berikutnya
ada pula Pura Pucak Cabang Dehet. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro,
Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura Pucak Cabang Dahat dibangun
sebagai tanda pertama kali Maha Rsi beserta pengikutnya melakukan perabasan
hutan setelah menggelar yajnya
di kaki Gunung Agung.
|
Gambar Keadaan
Pura Mretiwi di Cabaang Dehet
|
Di
kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya,
yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar. Dalam
lontar Bhuwana Tattwa Rsi Markandhya dijabarkan, antara lain :
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandhya
kemudian bersemadi. Dalam semadinya beliau menemukan satu titik sinar terang.
Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga,
hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi
dimaksud Rsi Markandhya melakukan yoga semadi.
|
Di tempat yang bersinar dalam
yoganya itulah kemudian beliau dan para pengikutnya membangun pura yang
diberi nama Pura Pucak Payogan.
Menurut
lontar Widhi Sastra Roga Sanggara Bhumi milik Giriya Giri Jati Soetha
|
Gambar Pura
Gunung Lebah, Campuan Ubud.
|
Sentana,
Bukit Bangli, yang berparahyangan di Pura Pucak Payogan adalah Ida Bhatara
Luhuring Akasa atau Sang Dewa Rsi.
Arah tenggara Pura Pucak Payogan,
tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandhya mendirikan pura yang diberi nama Pura
Gunung Lebah, Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian
diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan
dasa mala. Dalam Bhuwana Tattwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan di
bait slokanya antara lain berbunyi:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara
pasraman sira Rsi Markandhya iniring para sisyan ira……
|
Hermawan
Kertajaya dalam bukunya, yang berjudul : Ubud The Spirit of Bali, menyebutkan
bahwa setelah menetap beberapa lama di Besakih, Rsi Markandhya kemudian
melanjutkan perjalanan ke arah perbukitan di sebelah barat, Karena saat itu
belum ada jalan, beliau dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Aga
menyusuri aliran sungai untuk bermeditasi.
Di
aliran sungai dimana Sang Rsi sering bersuci dan menyatakan bahwa air sungai
tersebut memiliki kekuatan penyembuhan. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai
Wos, kependekan dan kata Wosada, bahasa Sanskerta yang beranti Sehat. Dalam
perkembangannya, kata Wosada kemudian di adaptasi menjadi kata Ubad, dalam
|
Pura
Pucak Payogan
|
bahasa
Bali atau Ubud yang berarti obat. Di pertemuan kedua aliran sungai itu Maha Rsi Markandhya bersama pengikutnya
kemudian mendirikan Pura Gunung Lebah sebagai tempat pemujaan.
Menurut ulasan beberapa
pinisepuh Ubud, Cikal
bakal nama Ubud berasal dari kata U, yang berarti ulah berkonotasi dengan kata
Sila, Solah atau Prawerti. Kata Bud, Bu mempunyai arti Bhudi, Dha, Dharma,
apabila artinya dijabarkan menjadi : pandai membawa diri mampu berprilaku
sesuai dengan tingkatan tata lungguh. Hal itu sebagai tonggak dasar menegakkan
Dharma di dunia sehingga bisa mendapatkan Bhudi, Satya, Sadhu, Dharma, terpakai
kemudian sebagai obat, Ubad kemelaratan dunia
atau Papa Neraka.
Ketika
melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan atau Payangan, sesuai yang
tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra,
bahwa Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci yang diberi nama Pura Murwa
atau Purwa Bhumi. Yang bisa diartikan bebas sebagai Parhyangan yang sudah dibangun sejak dahulu kala. Nama daerah tersebut
dikenal dengan nama Pangaji yang arti bebasnya: tempat melakukan atau
mebicarakan segala jenis ilmu pengetahuan, agama, ekonomi, pertanian, dan
ilmu-ilmu sosial lainya atau Pangajian.
Sedangkan asal kata Payangan
dipercaya berasal dari kata Parhyangan yang berarti tempat tinggal para
leluhur (Hyang), jadi kalau di jabarkan semua kata diatas, Parhyangan adalah
tempat berstana nya para hyang atau leluhur sebagai tempat
|
Gambar Pura Murwa
Bhumi, Payangan.
|
yang
utama untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan atau pangajian.
Setelah
dirasa semua ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh Sang Maha Rsi kepada para
pengikutnya dimengerti dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan
sehari-hari, menjadikan para pengikut Sang Maha Rsi mendapatkan kebahagiaan
hidup. Sebagai tanda terima kasih kepada Hyang Jagatnatha maka dibangunlah
sepelebahan pura di depan Pura Murwa Bhumi, diberi nama Pura Sukamrih, yang
berasal dari dua kata, Suka dan Mrih, Suka artinya kebahagiaan, Mrih artinya
Mendapatkan. Jadi Pura Sukamrih dibangun setelah dirasa para pengikut beliau
mendapatkan semua kebahagiaan yang dicita-citakan dari dahulu.
Selain peningalan tua berupa
palinggih, di Pengaji, Payangan sampai saat ini masih berkembang struktur
masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad atau
delapan tingkatan, mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian,
Pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur
organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang
dipegang.
Ajaran dari Maha Rsi Markandhya
dilanjutkan oleh para pengikut beliau yang tersebar di daerah-daerah yang
pernah beliau singgahi, juga dengan membangun berbagai pura sederhana sebagai
tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud atau Manifestasi.
Dari berbagai analisa para ahli sejarah dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan Rsi Markandhya adalah pemimpin perguruan Markandhya di sekitar
Gunung Wukir, Kedu pada awal
pemerintahan dinasti Sanjaya, tahun 746 Masehi, juga tersurat Prasasti Canggal
yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya yang memerintah di kerajaan Mataram Kuno
mulai tahun 717 sampai dengan tahun 746 Masehi, berisi tentang pendirian sebuah
bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit serta lingga.
Dalam Babad Parahyangan dan
Prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh
Maharaja Dyah Balitung tahun 907 Masehi, tertulis nama Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya pada urutan pertama dari para raja yang pernah
memerintah Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu, sementara Perguruan
Markandhya dipastikan ada pada masa Sanjaya, antara tahun 717 sampai dengan tahun 907 Masehi. Perjalanan Beliau ke Bali
menurut beberapa prasasti masih belum bisa dipastikan bilangan Tahunnya, hanya
bisa diperkirakan bahwa Rsi Markandhya dan para pengikutnya sampai di Bali pada
sekitar Abad ke 9 Masehi.
“rahyangta rumuhun i Medang i Pohpitu”
Dari berbagai peninggalan berupa Lingga dan Yoni serta arca-arca tua yang
tersimpan di beberapa Pura di Payangan, dipercaya bahwa semasa faham Markandhya
berkembang di wilayah ini, para pengikut Rsi Markandhya yang mendiami wilayah Payangan
banyak membangun pura-pura dengan menyertakan Lingga Yoni dan Arca Dewa sebagai
sarana pemujaan. Pura yang awalnya terdiri dari bangunan sangat sederhana, seiring
perkembangan jaman sudah dipugar semestinya tanpa menghilangkan unsur-unsur
yang mencirikan tonggak awal berdirinya pura-pura yang tersebar keberadaanya di
wilayah Bali tengah tersebut.
Menurut
penuturan dari para tetua dan pemangku kahyangan di desa Pakraman Payangan
Desa, juga cerita rakyat yang berkembang di wilayah Payangan dan sekitarnya,
tersusun sebuah kisah yang menceritakan tentang perjalanan seorang Rsi yang
konon mempunyai pesraman di daerah Munduk Uma Duwur, sisi selatan sekitar Pura
Penataran Ulapan sekarang. Beliau bernama Rsi Dharma Sadhu, dari nama beliau
bisa diartikan, Rsi berarti guru atau orang bijaksana, Dharma berarti kebenaran
yang hakiki, Sadhu berarti mulia
atau orang baik, adalah sebutan bagi petapa atau orang suci, jadi kalau dilihat
dari nama beliau, bisa disimpulkan sebagai Seorang Rsi yang bertapa mengamalkan
kebenaran sebagai jalan menuju alam kebebasan. Rsi Dharma Sadhu mempunyai istri
yang berasal dari wilayah barat, yaitu lembah Gunung Batukaru, tetapi sekian
lama berjalan perkawinan mereka belum juga dikaruniai putra. Pada suatu masa
saat senja di sasih kapat, Rsi Dharma Sadhu hendak bersuci di Beji Taman
Magenda, beliau berpapasan dengan seorang wanita cantik yang dilihatnya
mengeluarkan sinar dari dalam tubuhnya, seperti ciri-ciri wanita mulia dan utama.
Setelah mengenalkan diri, diketahui wanita itu bernama Dewi Manik Mreta Sari
berasal dari wilayah yang bernama
Tegal Apit Pangkung, wilayah bagian barat dari daerah Munduk Uma Duwur.
Baik daerah Munduk Uma Duwur maupun
Tegal Apit Pangkung merupakan daerah subur dengan berkelimpahan sumber air,
sehingga menjadi dua dataran yang menghijau sepanjang masa. Kedua Munduk ini
dipisahkan oleh sungai yang tidak begitu dalam, dengan air yang jernih dan
penuh ikan berbagai jenis, menjadikan kedua munduk sangat cocok sebagai tempat
melakukan tapa yoga dan semadi. Keindahan alam sekitar, ditambah dengan suasana
yang asri membuat sesuatu menjadi lebih romantis, mungkin sudah karena kehendak
Hyang Wisesa, kedua hati itu bertaut, Rsi Dharma Sadhu dan Dewi Manik Mretasari
terikat perasaan yang saling menyayangi, seringnya mereka bertemu dan saling
bertutur membuat banyak kata-kata manis yang terucap, lembut dan penuh cinta,
Sang Rsi menandai daerah itu dengan nama Ujaring Sutra, Ujar berarti Kata atau
Rawos, Sutra berarti penuh kelembutan, setelah sekian lama, terbentuk areal
persawahan, dikenal dengan nama carik Jaring Sutra.
Karena perubahan prilaku Sang Rsi,
istri beliaupun menjadi curiga, sang istri melarang suaminya untuk keluar
pesraman, walaupun dalam hati tidak menerima larangan itu, Sang Rsi terpaksa
menuruti kemauan istrinya untuk menghindari pertengkeranuntuk beberapa lama.
Akan tetapi kekuatan cinta membuat Sang Rsi nekat, pada bulan gelap Rsi Dharma
Sadhu kembali berusaha menemui pujaan hatinya. Seperti biasa dilihatlah kemudian
Dewi Manik Mretha Sari diseberang sungai dalam perjalanan menuju Taman Magenda.
Kedua insan yang sedang jatuh cinta itu melepas rindu dengan saling melambaikan
tangan dari masing-masing pinggir sungai, tempat dimana Rsi Dharma Sadhu
melambaikan tangan kini dikenal dengan nama Ulapan yang artinya lambaian
tangan. Kembali kekuatan rasa mereka mengalahkan hal yang lain, dalam pertemuan
mereka di Taman Magenda setelah sekian lama tidak bersua membuat mereka sepakat
untuk menikah, tempat pernikahan mereka dikenal dengan nama Majangan, diambil
dari kata Mejangkepan.
Rsi Dharma Sadhu dan Dewi Manik
Mretha Sari menamakan daerah tempat tinggalnya menjadi Taman Sari, karena
persatuan mereka dimulai dari pertemuan di Taman Magenda. Daerah yang mengitari
Taman Sari masih dikenal dengan nama Tegal Apit Pangkung, yang kemudian setelah
sekian lama menjadi daerah Tegallampit. Diceritakan istri dari Rsi Dharma Sadhu
yang mengetahui pernikahan mereka, menjadi sangat marah, dengan kekuatan
semadinya kemudian nyuti rupa atau menjelma sebagai babi putih. Babi putih
jelmaan istri Rsi Dharma Sadhu mengamuk dibakar api amarah dan membuat kubangan
besar antara daerah Munduk Uma Duwur dan Munduk Gunung Sari, dengan magsud
memisahkan suaminya dari Dewi Mretha Sari. Suasana gaduh tersebut membuat
seorang Dukuh yang sedang asyik memancing menjadi marah, karena tidak ada ikan
yang berani mendekati umpannya, apalagi babi putih jelmaan itu bersiap-siap
hendak menyerangnya, Ki Dukuh yang merasa terdesak menggunakan Joran atau Pales
Pancingnya sebagai senjata mengusir babi jelmaan, babi putih jelmaan istri Rsi
Dharma Sadhu yang terkena joran Ki Dukuh seketika berubah wujud, kembali
berwujud manusia, bersimpuh di hadapan Ki Dukuh seraya meminta maaf, bersedia
untuk meninggalkan tempat itu kembali lagi ke lembah Gunung Batukaru, ada satu
permintaan beliau, agar daerah itu disebut dengan nama Batukaru, sebagai
kenangan bahwa seorang wanita dari Lembah Batukaru pernah mengamuk membabi buta
akibat rasa cinta yang dinodai. Demikianlah hingga kini daerah sumber air
dimana kejadian itu terjadi dikenal dengan nama Beji Batukaru.
Diceritakan kemudian Rsi Dharma
Sadhu memutuskan untuk melakukan perjalanan suci menuju Puncak Adri,
kecintaanya terhadap keindahan juga untuk mengingat cintanya terhadap Dewi
Mretha Sari, Sang Rsi mengisi waktunya dengan menanam Sarwa Sari yang
kesemuanya berbau sangat harum, Puncak Adri dipenuhi dengan bunga beraneka
warna dan jenis, hingga Puncak Adri dikenal dengan nama Giri Kusuma, Giri
artinya Gunung atau Pucak, Kusuma artinya Bunga yang harum, di daerah Giri
Kusuma sekarang dipakai sebagai tempat melasti oleh krama desa seputaran
Payangan. Sementara Dewi Manik Mretha Sari juga meninggalkan kediamannya menuju
arah Pucak Magenu, yang hanya terpisah oleh pangkung atau sungai tanpa air. di
puncak Mengenu Dewi Manik Mretha Sari mengisi waktunya dengan menanam
pohon-pohon berbuah dan berumbi, semua tanaman tumbuh dengan subur dan berbuah
lebat berumbi padat, karena dipelihara dengan cinta kasih. Salah satu jenis
buah-buahan yang ditanam oleh Dewi Manik Mretha Sari adalah Jeruk Linglang,
yang konon pernah disuguhkan kepada Rsi Markandhya dan para pengikutnya sewaktu
di Payangan.
Cerita diatas merupakan cerita
rakyat atau folklor yang secara turun temurun dipercaya
oleh sebagian penduduk Payangan, sebagai cikal bakal nama-nama tempat di
Payangan. Cerita rakyat atau Kata folklor berasal dari bahasa Inggris
folklore, yang merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar folk dan
lore. Folk
berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial,
kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan
lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara
turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat. Secara
keseluruhan folklor dapat didefinisikan yaitu sebagian kebudayaan suatu
kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam
apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu. Folklor
dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh
kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial
dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti
secara turun temurun.
Cerita
ini saya masukkan di dalam buku ini dengan tujuan agar masyarakat bisa mengkaji
nilai-nilai yang terkandung dalam folklor diatas, juga untuk
membangun kecintaan masyarakat terhadap karya sastra lisan leluhur, terlepas
dari fakta benar atau salahnya cerita itu. Tetapi yang jelas cerita ini
berkembang sampai sekarang dan dipercaya secara luas oleh masyarakat Payangan,
terutama masyarakat Desa Pakraman Payangan Desa, seperti yang dituturkan oleh
Prebekel Desa Melinggih, I Nyoman Surata SH dan Bandesa Pakraman Payangan Desa,
Drs I Wayan Renes MPd di pelataran Pura Taman Sari Payangan.
Bab II
Faham dan Sekta
II.1.Hindu Budha di Bali
Jambulas, seorang musafir dari
Yunani pernah berkunjung ke Bali pada tahun 50 Masehi, dia membuat catatan
perjalanan selama tujuh bulan lamanya menetap di pulau Bali. Keindahan dan
keramah tamahan penduduknya sangat berkesan di hatinya, tambahan pula ia dapat
menghadap raja yang sedang berkuasa, peradaban dan susunan masyarakat sudah
teratur baik, penduduk-penduduk berbadan tegap dan sehat, menandakan kesuburan
pulau Bali. Sehingga rakyat tidak pernah kelaparan karena kekurangan makanan,
kebanyakan bercocok tanam, mengusahakan sawah ladang, mereka tinggal
berkampung-kampung, beberapa buah kampung menjadi satu desa yang dikepalai oleh
seorang Kepala Desa. Mereka menyembah dewa-dewa yang dipercayai berkahyangan di
sorga, dewa yang paling dimuliakan adalah Dewa Matahari, banyak juga
diantaranya yang memuliakan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, dengan demikian dapat
dipastikan faham Hindu sudah berkembang di Bali pada awal tahun 50 Masehi.
Selain
dari keterangan Jambulas sebagai tersebut di atas, juga pemakaian tarik Isaka
hurup Dewa Nagari dapat membenarkan, bahwa paham Hindu telah berkembang di
Bali. Di India tarik Isaka ini diresmikan oleh raja yang bernama Kaniskha sejak
tahun 78 sesudah Masehi, kerajaanya bernama Kushana dengan ibu kotanya Purusha Pura yang sekarang bernama
Pushawar. Baginda raja memuliakan agama Bhuda. Sedangkan hurup Dewa Nagari
adalah diciptakan oleh Aji Saka, seorang pengarang penganut Hindu yang
mendirikan sebuah kerajaan di Jawa setelah mengalahkan raja di Jawa yang
bernama Dewata Cengker.
II.2. Perpaduan Agama Budha dan Siwa Di
Bali
Perpindahan
empat buah gunung dari india ke Bali, yang melambangkan masuknya paham Catur
Lokapala itu terjadi dalam tahun 11 isaka, perhitungan tahun isaka itu,
dinyatakan dengan sebutan Candra Sengkala yang berbunyi Rudhira Bhumi. Rudhira
dan Bhumi masing-masing berarti angka satu, dengan demikian Rudhira Bhumi
berarti angka 11, di terangkan juga dalam kitab Purana itu bahwa Gunung Agung
pernah meletus di dalam tahun 13 isaka, dengan sebutan Candra Sangkala Gni
Budhara, Gni sama dengan 3, dan Bhudara sama dengan 1, letusan gunung Agung itu
menimbulkan gempa bumi yang sangat hebat, disertai dengan hujan lebat tiada
hentinya siang dan malam selama dua bulan. Sesudah itu turunlah dua orang Dewa
dan seorang Dewi di Bali. Dewa dan dewi itu ialah: Hyang Putra Jaya, Hyang Gni
Jaya, dan Dewi Danuh.
Diantara
ketiga Dewa dan dewi itu, Hyang Putra
Jayalah yang paling dimuliakan, sebab itulah di sebut pula dengan Maha Dewa,
berkahyangan di Puncak Gunung Agung, sebagai Siwa. Sedangkan Hyang Gni Jaya
berkahyangan di Puncak Gunung Lempuyang, dan Dewi Danuh berkahyangan di Danau
Batur di puja sebagai Wisnu. Adanya ketiga Dewa dan Dewi ini ialah mengesankan
bahwa di samping paham Catur Lokapala, paham Tri Murti telah masuk di Bali,
paham itu mengajarkan bahwa Tri Murti terdiri dari tiga Dewa, yakni; Brahma
sebagai pencipta atau Uttpti, Wisnu
sebagai pemelihara atau Stiti, dan Siwa sebagai pelebur atau Pralina. Pendapat
umum di Bali bahwa Siwa itu bukan saja sebagai Dewa pelebur tapi juga sebagai
guru besar yang pengasih dan penyayang, sehingga diberikan julukan Bhatara Guru. Juga Siwa telah menyelamatkan
Bali dari kehancuran, ketika Beliau memerintahkan dewa-dewa memindahkan
sebagian gunung Mahameru dari Yambu dwipa ke Bali. Karenanya Siwalah yang
paling dimuliakan oleh penduduk Bali. Di Besakih terdapat pemujaan bagi dewa-dewa
itu yakni: di Pura Kiduling Kreteg tempat memuja Dewa Brahma, di Pura Gelap
tempat memuja Dewa Siwa, di Pura Batu Madeg tempat memuja Dewa Wisnu.
Pura
Pentaran Agung terletak di tengah-tengah karena di anggap paling terkemuka, disitulah
penduduk Bali mengadakan persembahyangan tiap-tiap tahun sekali, yang dinamakan
Bhatara Turun Kabeh. Upacara ini jatuh pada Purnamaning sasih ka Dasa yang di
sebut juga dengan Wesaka. Perayaan besar diadakan pada tiap 10 tahun sekali
yang di sebut Panca Wali Krama dan yang
paling besar dilaksanakan tiap-tiap 100 tahun sekali yang disebut upacara Eka
Dasa Rudra. Perkataan Rudra ialah pengganti nama Siwa, tatkala berganti wujud
sebagai Mahakala. Siwa yang juga
berwujud Maha Dewa berkahyangan di gunung Agung. Karena gunung Agung adalah
gunung yang tertinggi di Bali, maka biasa juga di sebut Giri Tolangkir. Giri
berarti Gunung, To berarti Orang, dan Langkir berarti menjulang tinggi,
perkataan Langkir dalam bahasa Sansekerta berarti Maha Dewa. Sedangkan Maha
Dewa dalam ajaran Budha Mahayana dianggap Lokanatha atau Lokeswara yang lebih
terkenal lagi dengan sebutan Awalokiteswara, yang berarti Seorang Budha yang
tinggi kedudukanya.
Baik
penganut agama Siwa, maupun agama Budha di Bali, sama-sama memuja dan
memuliakan gunung Agung, karena Mahadewa baerkayangan disitu dianggapnya Siwa
oleh penganut agama Siwa, sedangkan penganut Budha memandang Maha Dewa itu
adalah Budha.
II.3. Kedatangan orang-orang Hindu ke
Bali.
Pada
bulan Maret atau April tahun 250 Masehi sasih ka Sanga tahun 172 Isaka,
datanglah serombongan orang Hindu dari Jawa ke Bali, rombongan itu terdiri dari
bangsawan, prajurit, pemuka agama, pendeta Siwa-Budha, ahli pertukangan dan
kesenian, serta rakyat biasa yang berjumlah kurang lebih 400 orang. Hal itu
termuat dalam prasasti yang kini tersimpan di Pura Puseh Desa Sading Kabupaten
Badung. Pemimpin agama itu terdiri dari: Shri Bayu, Shri Gni Jaya Sakti, Shri
Sambu, Shri Brahma, Shri Indra dan Shri Wisnu.
Sementara
yang memimpin rombongan itu ialah Maha Raja Jaya Sakti. Kedatangan mereka ke
Bali, mula-mula menuju sebuah Gunung yang disebut Adri Karang. Adri berarti
gunung dan Karang berarti Batu Karang. Tempat itu terletak di Bali bagian
timur, raja Jaya Sakti akhirnya bertolak kembali ke Jawa, dan pemimpin
rombongan itu diserahkan kepada Shri Bayu yang kemudian bergelar Prabhu
Maharaja Bima. Dibawah Shri Bayulah pemimpin agama menyebarkan agama di Bali,
serta ahli lain mengajarkan kecakapan masing-masing kepada penduduk Bali Aga. Shri
Bayu membuat sebuah pesangrahan di Bantiran Tabanan, tempat beliau pertama
mengajarkan tata susila yang disebut Sila Krama, ajaran itu melarang penduduk
melakukan perkawinan terhadap saudara sepupu, terutama kepada ibu atau bapak
yang melahirkanya.
Shri
Gni Jaya Sakti membuat pertapaan di Gunung Lempuyang, yang disebut Karang Asma,
Asma berarti Asrama, perkataan yang lama-kelamaan berubah bunyinya menjadi
Karangasem. Demikian banyaknya pemimpin agama menyebarkan agama di Bali,
sehingga sampai sekarang masih banyak orang Bali Aga yang memeluk agama Bayu, agama
Sambhu, agama Kala, agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Indra, agama Bayu mengajarkan agar penganutnya
menyembah Dewa Bintang dan Dewa Angin, serta waktu meningal mayatnya tidak
dikuburkan, melainkan diletakan di tebing-tebing yang dianggap keramat, agama
itu sampai sekarang masih dianut oleh orang-orang Trunyan Kintamani. Agama
Sambhu mengajarkan agar penganutnya menyembah Dewa yang bersemayam di patung
dan arca, serta pada waktu mangkat mayatnya harus segera dikuburkan, setelah
dimandikan dengan air Petpetan Ketan.
Agama
Kala mengajarkan penganutnya agar menyembah segala yang dianggapnya angker,
upacara pada waktu matinya mengunakan Daun Bidara, mayat harus di buang ke
dalam jurang, penganut agama itu masih ada di desa Sembiran. Agama Brahma
mengajarkan pada penganutnya agar menyembah kepada Dewa Agni, pada waktu mati
mayatnya dimandikan dengan daun Delima dan segera di bakar di kuburan. Agama
Wisnu mengajarkan penganutnya agar menyembah Dewa Hujan, upacara pada waktu
matinya mempergunakan air bunga atau air kumkuman untuk memandikan mayatnya,
dan segera dihanyukan ke dalam sungai. Agama Indra mengajarkan penganutnya
menyembah Dewa Gunung dan Bulan, pada waktu mati mayatnya dimandikan dengan air
beras, kemudian diletakan di tebing sungai, atau di dalam goa, agama ini dianut
oleh penduduk Tenganan Pagringsingan Karangasem.
Kedatangan
orang Hindu ke Bali tepat pada sasih ka Sanga, maka perayaan hari raya Nyepi
yang diadakan tiap tahun di Bali, dapat juga diperkirakan untuk menghormati hari
kedatangan leluhur mereka dijaman bahari, keturunan orang Hindu itulah yang
kini di sebut orang-orang Bali Hindu, disamping orang-orang Bali Aga yang lebih
dahulu mendiami pulau Bali. Sesudah kedatangan orang-orang Hindu, pada sebuah
prasasti yang kini tersimpan di Pura Puseh Desa Sading Badung, tidak terdengar
lagi berita tentang Pulau Bali selama kurang lebih 3 abad. Hal itu mungkin
karena orang yang datang pada waktu itu dapat menyesuaikan dirinya dengan
orang-orang Bali Aga, atau mungkin catatan yang dibuat pada jaman itu belum
diketemukan sampai sekarang. Akan tetapi catatan resmi di negeri Cina
menunjukan bahwa pada tahun 518 dan tahun 671 Masehi ada utusan raja di Bali
menghadap kepada raja di Cina, kemungkinan sejak waktu itulah uang kepeng beredar
di Bali, sesudah raja-raja Bali mengadakan hubungan dengan kerajaan di Cina.
II.4. Pengaruh Siwa Buda Meluas di Bali.
Di
dalam kitab sejarah Sunda, yang bernama Hikayat parahyangan, menyebutkan antara
lain bahwa sebuah kerajaan kecil di Jawa Tengah yang bernama Kaling, lama
kelamaan menjelma menjadi kerajaan besar. Kerajaan itu kemudian berubah namanya
menjadi kerajaan Mataram, dengan ibu kotanya di Medang, seorang rajanya bernama
Sanjaya yang mampu memperluas kekuasaannya hingga meliputi Nusantara bagian
timur, beliau memuliakan agama Siwa, karenanya banyaklah candi-candi Siwa
dibangun baik di pulau Jawa maupun di pulau Bali. Kebesaran kerajaan di bawah raja
Sanjaya, diabadikan pada sebuah piagam yang terletak di Desa Canggal di wilayah
Kedu di Jawa Tengah. Piagam tersebut ditulis pada sebuah batu besar yang
bertahun saka 654 atau 732 Masehi.
Situs
Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar
Setelah
raja Sanjaya mangkat, kerajaan Mataram yang luas itu, dipimpin oleh salah
seorang putranya yang bernama Pacapana, beliau mempergunakan gelar Rake
Panangkaran, serta memuliakan agama Budha Mahayana, sehingga banyak candi-candi
Budha yang beliau dirikan, diantaranya candi Borobudur yang dibangun kira-kira
pada tahun 775 Masehi. Perkembangan agama Siwa-Budha di Jawa, sangat luas
pengaruhnya di Bali, kemungkinan pada waktu itulah banyak pemuka agama yang
disebut Rsi, Muni, Bhiksu, dan sebagainya, datang ke Bali.
Mereka
mendirikan tempat pertapaan yang disebut dengan Wihara atau Bihara, yang hingga
kini masih terdapat di daerah Gianyar, yakni di tebing sungai Pakerisan, yaitu Gunung
Kawi terletak disebelah timur desa Tampaksiring, Kerobokan teletak pada
pertemuan batang sungai Kerobokan, Goa Garbha terletak desebelah timur desa
Patemon, dekat Pura Pangukur-ukuran. Di pinggir sungai Wos yaitu: Goa raksasa
terletak dekat Pura Gunung Lebah di sebelah barat desa Ubud, Jukut Paku
terletak diantara desa Nagari dan Singakerta dan Negari teletak di Nagari.
Di
pinggir Sungai Kungkang ada Telaga Waja dekat Desa Sapat, lain dari pada wihara
atau bihara seperti tersebut di atas terdapat pula tempat pertapaan lain yaitu:
Goa Gajah di sebelah barat desa Bedulu, Yeh Pulu disebelah selatan desa Bedulu,
Gunung Kawi di sebelah selatan desa Bitra. Di samping wihara yang merupakan
tempat bertapa, juga didekat desa Riang Gede terdapat patilasan merupakan
sebuah candi, petilasan tersebut disebut juga Goa Peminggi, yang tingginya
lebih dari 10 meter, dan bentuknya sama dengan candi Kelebutan, yang terdapat
disebelah barat desa Pejeng. Wihara tersebut dipungsikan sebagai tempat bertapa
Siwa dan yang lainya adalah tempat pertapaan Budha, kedua golongan itu hidup
berdampingan secara rukun, karena mereka percaya dengan adanya reinkarnasi, yang
menyebutkan bahwa hidup itu adalah samsara. Menurut penelitian para ahli
arkeologi, mereka berpendapat bahwa, wihara itu didirikan didalam abad ke 8.
Pendapat
itu diperkuat lagi dengan terdapatnya beratus-ratus benda kuno disebelah
selatan desa Pejeng yang terbuat dari tanah liat, bentuknya bulat kecil dengan
bergaris tengah kurang lebih 2 cm, tiap 2 buah dibalut dengan tanah liat,
bentuknya menyerupai stupa kecil. Sedangkan pada kedua belah permukaannya
terdapat tulisan kuno yang berbunyi:
“jo dharma
hetu prabhawa.
Hetun tesan
tathagatho hiJawadat.
Tesancha yo
nirodha.
Ewam wadi
mahacramanah.
|
Menurut
Dr R. Goris, bahasa Sanskerta tersebut berarti
“keadaan tentang sebab-sebab
kejadian itu, sudah diterangkan oleh tathagata (Budha), tuan maha tapa itu
juga telah menerangkan juga apa yang harus diperbuat orang supaya dapat
menghilangkan sebab-sebab itu”
|
Tulisan
itu berbentuk mantra dari ajaran Budha yang dapat menolak marabahaya, benda-benda
tersebut diketemukan pada tahun 1925, dan kini sebagian tersimpan di museum
kota Denpasar dan sebagian lagi tersimpan di Pura Penataran Sasih di desa Pejeng.
Rupanya Pejeng pada jaman kuno menjadi pemusatan agama Budha di Bali. Tulisan
yang berbunyi serupa itu, terdapat juga di pintu candi Kalasan di Jawa Tengah, bertahun
Isaka 700 atau 778 Masehi, hal itu memastikan bahwa didalam abad ke VIII
pengaruh Siwa Budha meluas di Bali, merambah jauh ke pelosok-pelosok daerah,
mulai dari daerah pesisir, daerah dataran, hingga daerah pegunungan yang sulit
dijangkau.
Faham
Siwa Budha yang berkembang ini membuat beberapa wilayah di Bali tengah semakin
berkembang peradabannya, memuja sudah dilakukan secara terorganisir, dengan
dipimpin oleh pemuka agama, Bersatunya dua faham layaknya seperti badan dengan
roh, menjadi dua hal akan tetapi tidak bisa dipisahkan, mereka memakai
simbol-simbol keagamaan dari kedua faham, Altar, Lingga, Yoni, Arca dewa dan
bentuk-bentuk daerah suci yang dipagar dengan sangat sederhana. Di wilayah
Payangan berkembang dengan sangat pesat kedua kedua faham itu, dengan bukti
banyaknya peninggalan peninggalan pura yang mempunyai sejarah tua dengan ciri
khasnya masing-masing. Akan tetapi seiring dengan perkembangan jaman, pura-pura
tua tersebut sudah dipugar mengikuti perkembangan jaman dan kemajuan teknologi
arsitektur tradisional Bali. Di wilayah Desa Pakraman Payangan Desa terdapat
banyak pura tua yang menyimpan nilai sejarah adiluhung dari masa lalu, baik
masa Bali Kuno maupun masa-masa kerajaan Bali Majapahit, diantaranya Pura Bale
Agung, Pura Dalem Alit dan Pura Taman Sari, yang hingga kini masih menyimpan
artefak, arca maupun patung tua dengan baik serta sangat disakralkan,
dilinggihkan di pelinggih-pelinggih khusus dan diupacara sesuai dengan petunjuk
para pendeta Hindu. Di Pura Taman Sari Bentuk Yoni yang ditemukan berdenah bujur sangkar,
sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, di bagian tengah badan Yoni
terdapat bidang panil. Pada penampang atas Yoni terdapat lubang berbentuk bujur
sangkar yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas
yoni terdapat lekukan bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat),
Jagati, Padma, Kanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga atau arca.
Lingga
Yoni di Pura Taman Sari
Demikianlah
perwujudan itu tidak merupakan bentuk yang sebenarnya (asli) dari dewa, tetapi
sebagai manifestasi dari bentuk dewa, dan itulah sebabnya masyarakat yang
menghormat langsung kepada dewa (Tuhan). Salah satu bentuk manifestasi dari
dewa tersebut salah satunya adalah berupa Lingga Yoni. Lingga dan Yoni
mempunyai arti dalam agama setelah melalui suatu upacara tertentu. Sistem ritus
dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan masyarakat dalam
melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang dalam
usahanya untuk berkomunikasi dengan mereka.
Lingga Yoni di
pura Taman Sari yang diperkirakan dibuat
pada pertengahan tahun 1352 pada bulan Okteber dengan tekstur batu padas yang
berasal dari lembah sungai Pekerisan Tampaksiring, merupakan salah satu bentuk
ikon Siwa berbentuk bundar, eliptik, citra aniconic, diletakan di atas dasar persegi,
Siwalinga adalah simbol paling kuno paling sederhana dan Siwa, khususnya Parasiwa,
Tuhan di luar semua bentuk dan sifat-sifat. Pitha merepresentasikan Parashakti,
kekuatan Tuhan. Di Bali lingga disamakan dengan linggih, yang artinya tempat
duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu,
dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa.
Lingga adalah
simbol energi generatif, sebagai phallic
worship atau pemujaan palus adalah salah secara total memahami
represenrasi secara miniatur atau bentuk simbolik, menciptakan dan melepaskan
kekuatan dengan mana dia diasosiasikan. Ada perbedaan sangat mendasar antara
dua definisi pertama dengan dua definisi terakhir. Lingga sebagai simbol
Ayah Tuhan dan Yoni sebagai Ibu pertiwi, sebagai alam semesta, telah dipuja
oleh umat Hindu sejak 3.500 tahun sebelum Masehi. Lingga dan Yoni diwujudkan
menjadi tempat suci atau bangunan suci dalam bentuk arca pelinggih, candi,
seperti bangunan Padmasana yang kita kenal sekarang. Dalam lontar Ganapatitattwa
perwujudan Bhatara siwa dilambangkan dengan lingga. Lingga pada hakekatnya
mempunyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat lampau, khususnya bagi umat beragama Hindu. Lingga berasal dari
bahasa sanskerta yang berati tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti,
keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga dewa siwa
dalam bentuk tiang batu, patung dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat,
poros, sumbu.
Di Pura
Taman sari juga tersimpan dan dilinggihkan sebuah arca Ganesa berukuran hampir
sama dengan Lingga Yoni, yang diperkirakan dibuat pada bulan Agustus tahun
1548, dengan tekstur batu padas yang hampir sama dengan tekstur batu padas di
sekitar sungai ayung hulu, dengan serat persegi delapan. nama Ganesa adalah
sebuah kata mejemuk dalam bahasa Sanskerta terdiri dari kata Gana yang berarti
kelompok, orang banyak atau sistim pengelompokan dan Isa yang berarti penguasa
atau pemimpin. Arca Ganesa
di Pura Taman Sari digambarkan sebagai manusia berkepala gajah untuk
menunjukkan kesatuan mahluk kecil (manusia) sebagai mikro kosmos dengan Yang
Maha Agung sebagai makro kosmos. Gajah yang berkepala besar juga adalah simbol
dari manusia yang seharusnya mempunyai volume otak yang besar dalam artian
mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi.Telinga yang lebar sebagai simbol
laksana kebijaksanaan untuk banyak mendengarkan. dipikirkan, dan
dipertimbangkan untuk mengambil langkah selanjutnya. Berbelalai yang panjang,
maknanya dapat memanfaatkan kemampuan yang ada untuk segala keperluan.
Arca Ganesa
di Pura Taman Sari
Patung
Ganesa yang dilinggihkan di Pura Taman Sari belalainya menjulur ke kanan
disebut Walamburi, di beberapa pura yang lain ada yang menjulur kekiri, disebut
Idamburi, sementara menjulur di tengah tidak diberi nama, karena dianggap
sesuatu yang normal. Taring yang
patah menyebabkan Ganesa juga disebut sebagai Ekadanta artinya yang bertaring
satu. Taring yang patah adalah taring yang di sebelah kanan merupakan simbul
pendukung kehidupan yang sejati (berwujud nyata) yang melenyapkan ilusi,
sehingga kedua taring itu yang patah dan ynag utuh adalah simbul kesatuan
antara yang berwujud dan yang tidak berwujud. Sikap tangan arca Ganesa yang
memberikan anugerah (varamudra) sebagai tanda beliau yang memenuhi segala
keinginan. Tangan lain yang bersikap mengusir kecemasan (abhayamudra) juga
menolak segala halangan, bahaya, dan penderitaan.
Selain
keberadaan Lingga Yoni dan arca Ganesa, di Pura Taman Sari juga dilinggihkan
batu-batu berbagai ukuran dan bentuk yang diperkirakan sebagai reruntuhan altar
atau candi masa berkembangnya kebudayaan candi berbentuk stupa di Bali, Pada tanggal 14
Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang
dinamakan Oudheidkundige Dienst yang menyimpan berbagai catatan tentang
keberadaan candi di Indonesia, dalam sebuah catatan ada tersebut reruntuhan
candi Tirta Sari yang terletak di bujur dan lintang yang hampir sama dengan
Pura Taman Sari, yaitu 8°25'37.9"S 115°14'40.6"E, tetapi untuk lebih
memastikan data candi Tirta Sari perlu dilakukan penelitian yang lebih seksama.
Pelinggih
Jelalu di Pura Taman Sari
Dalam
data tersebutkan ada reruntuhan bangunan menyerupai candi terbuat dari batu
andesit yang secara arsitektur diperkirakan sebagai petilasan yang mirip dengan
taman Bagendra, masa pemerintahan Majapahit di Jawa, hanya bentuknya lebih
sederhana, dengan stupa-stupa yang berderet di tengah sebuah telaga. Beberapa
bagian batu dibentuk seperti parit-parit kecil yang disusun berjajar dijadikan
sebagai saluran-saluran air. Taman kemungkinan rusak akibat bencana alam yang
dahsyat.
Bab III
Kerajaan Bali
Kuno
Kerajaan
Bali Kuno merupakan salah satu bagian dari sejarah kehidupan masyarakat
Bali secara keseluruhan. Bagian pemerintahan kerajaan di Bali juga beberapa
kali berganti mengingat pada masa itu terjadi banyak pertikaian antara kerajaan
yang memperebutkan daerah kekuasaan mereka. Dapat dipastikan bahwa Pulau Bali
pada masa kerajaan Bali Kuno tidak pernah dikuasai secara utuh oleh satu
dinasti, silih berganti dan dalam kurun yang berbeda.
III.1. Shri Keshari Warmadewa.
Di
dalam kitab kuno Raja Purana, tersebutlah seorang raja di Bali yang bernama
Shri Wira Dhalem Kesari yang mendirikan kerajaan di lingkungan Pura Besakih, beliau
amat tekun memuja dewa yang berkayangan di gunung Agung, tempat pemujaan beliau
diberi nama Merajan Selonding. Tidak hanya tekun memuja, beliau juga
memperbesar dan memperluas Pura Penataran Agung di Besakih yang sebelumnya
masih sangat sederhana. Untuk melengkapinya, maka didirikan beberapa buah Pura
di sekitar Pura penataran Agung Besakih, antara lain Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kukul, Pura Batu Madeg, Pura
Manik Mas, Pura Basukihan, Pura Pucak, Pura Pangubengan, Pura
Tirtha dan Pura Dhalem Puri.
Selanjutnya
beliau juga mendirikan 6 Pura yang disebut Sad Khayangan, antara lain : Pura Penataran Agung di lereng gunung
Agung, Pura Bukit Gamongan di lereng
gunung Lempuyang, Pura Batukaru di
lereng gunung Batukaru, Pura Uluwatu
di Bukit Badung, Pura Er Jeruk di
sebelah selatan Sukawati, Pura
Penataran Sasih di desa Pejeng. Selama
masa pemerintahan raja Shri Keshari Warmadewa beberapa peraturan dibuat yang
merupakan undang-undang ditulis dalam lempengan tembaga yang disebut dengan
prasasti kemudian disimpan di pura-pura.
Diantara prasasti itu ada yang menyangkut kewajiban tiap-tiap desa untuk
memelihara pura, ketentuan pembayaran pajak, peraturan di pantai apabila ada
perahu berlabuh, peraturan tentang waris, ijin para Bhiku untuk mendirikan
Satra atau Pesangrahan, larangan merabas hutan pada tempat baginda berburu,
ketentuan perbatasan pada tiap desa agar jangan sampai timbul perselisihan, dan
banyak lagi peraturan yang lainya.
Pada
masa itu telah banyak pula terdapat ahli diantaranya, ahli pembuat perahu
disebut Undagi Lancing, ahli menbuat bangunan disebut Undagi Batu dan ahli
membuat terowongan disebut Undagi Pangarung. Diperkirakan pada masa itu telah
terjadi hubungan yang baik dengan kerajaan lain diluar negeri.
Pura
Blanjong di desa Sanur Badung, dapat memberikan kita pandangan lebih dalam,
Blanjong berasal dari 2 kata yakni; Belahan dan Jung atau Jong, belahan berarti
pecah dan Jong berarti perahu. Di Pura
itu terdapat dua buah batu besar yang kedua belah mukanya terdapat tulisan
kuno, sebagian mempergunakan bahasa Bali Kuno dan sebagian lagi mempergunakan
bahasa Sanskerta, tulisan itu menyebutkan nama seorang raja yaitu Kesari Warma
Dewa, bersinggasana di Singhadwala.
Tersebut
juga dalam tulisan, bilangan tahun Isaka dengan mempergunakan tahun Candra
Sangkala yang berbunyi Kecara Wahni Murti. beberapa ahli sejarah yang membaca
dengan bunyi: Sara Wahni Murti yang berarti 835 isaka atau 913 Masehi. Dapat dipastikan kemudian bahwa Shri Wira
Dhalem Kesari, adalah Shri Kesari Warmadewa yang mendirikan kerajaan
Singhadwala
|
Prasasti Blanjong Sanur
|
atau
Singha Mandawa, terletak di lingkungan
desa Besakih yang memerintah sekitar tahun 882 sampai 914 Masehi, seperti
tersebut dalam prasasti yang hingga kini tersimpan di desa Sukawana, Bebetin, Trunyan,
Bangli, di Pura Kehen, Gobleg dan Angseri. Gelar Warmadewa yang disandang
memastikan beliau berasal dari keturunan Sailendra di Shriwijaya Palembang, yang
datang ke Bali untuk mengembangkan agama Budha Mahayana.
III.2.
Shri Ugrasena
Setelah
pemerintahan Shri Keshari Warmadewa berakhir, Shri Ugrasena memerintah di Bali, walaupun beliau
tidak memakai gelar Warmadewa tetapi bisa dipastikan, beliau adalah putra dari
raja Shri
Keshari Warmadewa,
hal itu tersebut di dalam prasasti yang dibuat pada waktu beliau memerintah
yakni dari tahun 915 sampai dengan 942 Masehi, dengan pusat pemerintahan tetap
di Singha Mandawa yang terletak disekitar desa Besakih. Didalam prasasti Srokadan
jelas tersebut bahwa Shri Ugrasena beristana di Singha Mandawa, dalam tahun
915. prasasti Srokadan juga mempergunakan bahasa Bali kuno. Selain prasasti Srokadan,
banyak lagi prasasti yang dibuat Shri Ugrasena, prasasti-prasasti itu kini tesimpan
di desa Babahan, Sambiran, Pengotan, Batunya dekat danau Beratan, Dausa, Serai Kintamani,
dan di desa Gobleg, akan tetapi tidaklah banyak beliau mengadakan perubahan pada
pemerintahannya, hanya dibidang pertukangan dan kesenian mendapat kemajuan, dengan
adanya sebutan Pande Besi, Pande Mas, Pamukul atau tukang tabuh-tabuhan,
Menjahit Kajang atau tukang tenun, dan mangnila
yang artinya tukang celup.
III.3. Shri Tabanendra Warmadewa
Raja
Shri Tabanendra Warmadewa yang berkuasa di Bali adalah raja yang ketiga dari
keturunan dinasti Warmadewa, merupakan
putra dari Shri Ugrasena, yang mewarisi kerajaan Singha Mandawa, beliau
beristri dari Jawa Timur bernama Shri Subhadri Dharmadewi. Salah seorang putri
dari Mpu Sindok yang menguasai Jawa Timur. Didalam prasasti yang kini tersimpan
di desa Manikliyu Kintamani, kecuali menyebutkan nama Shri Tabanendra warnadewa,
dicantumkan pula nama raja putri, hal ini menandakan bahwa permaisuri beliau ikut
bekuasa dalam pemerintahan dari tahun 943 sampai dengan 961 Masehi, dengan
prasasti yang masih mengunakan bahasa Bali kuno.
III.4.
Shri Candrabhaya Singha Warmadewa.
Sebuah
piagam menyebutkan bahwa pada tahun Isaka 884 atau 962 Masehi sasih Kapat bulan
Oktober atau November, raja Shri Candrabhaya Warmadewa membangun pemandian
Tirta Empul, dari piagam itu dapat dipastikan diantara tahun 962, bertahta di
Bali seorang raja bergelar Shri Candrabhaya Singha Warmadewa, merupakan putra
dari raja suami istri Shri Tabanendra Warmadewa dengan Shri Subhandrika
Dharmadewi.
III.5. Shri Djanusandhu Warmadewa
Setelah
Shri Candrabhaya Singha Warmadewa mangkat, maka pemerintahan di Bali
dilanjutkan oleh Shri Janusandhu Warmadewa, permaisurinya berasal dari Jawa Timur
bergelar Shri Wijaya Mahadewi. Selain memperbaiki Pura, juga perbaikan dibidang
lain, banyak bantuan yang diperoleh dari Jawa Timur, sehingga dalam waktu
singkat penduduk Bali telah merasa pulih dari kehancuran, serta meletakan dasar
yang kuat bagi keturunan beliau selanjutnya. Beliau memerintah dari tahun 975
sampai dengan tahun 988 Masehi.
III.6. Gunapriya Dharmapatni dan
Dharmodayana Warmadewa.
Sebuah
piagam batu bertulis yang berangka tahun 1007 Masehi menyebutkan bahwa seorang
putri dari Jawa bernama Mahendradatha menikah dengan pangeran dari Bali bernama
Udayana, piagam tersebut kini tersimpan di Calcuta India Timur, yang
dipindahkan dari Jawa semasa pemerintahan Raffles, nama baginda suami istri itu
lebih terkenal dengan sebutan Mahendradatha dan Udayana, tetapi didalam
prasasti dan piagam yang dibuat pada waktu baginda berkuasa, baginda suami
istri memakai gelar Gunapriya Dharmapatni dan Dharmodayana Warmadewa. Gelar
tersebut adalah gelar resmi ketika dinobatkan menjadi raja yang berkuasa selama
23 tahun, dari tahun 988 sampai dengan 1011 Masehi. Dharmodayana Warmadewa
adalah putra dari Shri Janusandu Warmadewa, sedangkan Gunapriya Dharmapatni adalah
salah seorang putri dari Shri Makuta Wangsa Wardana yang menjadi raja di Jawa
Timur.
Didalam
prasasti maupun piagam, nama putri selalu dituliskan terlebih dahulu, barulah
nama raja Dharmodayana Warmadewa, seperti yang tertulis dalam prasasti yang
kini masih tersimpan di desa Bebetin, Serai, Buahan, Batur, Sading, dan sebuah
piagam batu bertulis terletak di gunung Panulisan.
Perkawinan
raja Gunapriya Dharmapatni dengan raja Dharmodhayana Warmadewa, banyak membawa
pengaruh di Bali, perubahan itu terjadi didalam struktur pemerintahan, yang
kemudian berpengaruh pula pada bidang kebudayaan. Semenjak itu dimulailah
dipergunakan bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi dalam pembuatan prasasti yang
sebelumnya mempergunakan bahasa Bali kuno. Dari perkawinan itu lahirlah
beberapa putra dan putri, salah seorang putranya bernama Airlangga, yang lahir
pada tahun 991 Masehi. Sesudah berumur kurang dari 16 tahun Airlangga bertolak
ke Jawa Timur, hendak dikawinkan dengan putri raja Shri Dharmawangsa, akan
tetapi begitu Airlangga tiba di Jawa Timur, tiba-tiba kerajaan bakal mertuanya
diserang oleh musuh hingga hancur.
Ibu
Airlangga, Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni, lebih dahulu mangkat, dibandingkan
raja Udayana, raja putri Gunapriya mangkat tahun 1001 Masehi di desa Buruan
didekat Kutri Gianyar. Untuk memuliakan beliau, diatas Bukit Dharma dibuat
patung besar yang dikenal dengan nama Durga Mahisasuramardini,
yaitu lukisan Durgha yang membunuh raksasa berwujud seekor kerbau, dari bentuk
patungnya, disimpulkan beliau adalah penganut aliran Bherawa. Sementara raja Dharmodayana
Warmadewa mangkat tahun 1011 Masehi dicandikan di Banyu Weka, sebagai lambang
kebesaran beliau semasa hidupnya, maka didirikan sebuah patung Budha disamping
patung Durga Mahisasuramardini yang
menandakan bahwa beliau memeluk agama Budha Mahayana.
III.6.
Shri Adnya Dewi dan Dharmawangsa
Wardhana
Upacara
perabuan raja Dharmodayana Warmadewa terjadi pada tahun 1001 Masehi, mendapat
penghormatan yang sangat besar dari seluruh lapisan masyarakat Bali, semua
pembesar kerajaan, pemimpin agama Siwa Budha, para pemuka rakyat Bali aga turut
hadir. Utusan dari Jawa hadir pula Mpu Bradah yang diiringi oleh beberapa pembesar
lainnya sebagai wakil dari Shri Airlangga, selanjutnya pemerintahan dipegang
oleh putri beliau yang bergelar Shri Adnyadewi, didampingi oleh Dharmawangsa
Wardana. Prasasti yang menuliskan nama beliau tersimpan di desa Sembiran, yang
diterbitkan pada sasih Katiga, penanggal ping nem tahun Saka 938 atau tahun
1016 Masehi.
Pergantian
pimpinan di Bali dari Dharmodayana Warmadewa kepada Ratu Adnyadewi mendapat
tantangan dari luar, akan tetapi setelah pemerintahan dipegang oleh Shri
Dharmowangsa Wardana Marakata Pangkaja Sthanotunggadewa, keamanan dan
kemakmuran dapat tercipta kembali dengan baik, sehingga kesenian dan kebudayaan
berkembang dengan suburnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa buah prasasti
seperti: prasasti Batuan, prasasti Buahan, prasasti desa Ujung, yang
diterbitkan selama beliau berkusa.
III.7. Anak Wungsu
Menjelang
Tahun 1042 Masehi, Airlanga di Singasari mengalami kesulitan yang besar, beliau
merasa sangat kawatir mengenai perkembangan kerajaan dengan sikap kedua putra
beliau yang berebut untuk menjadi penguasa Singasari. Mpu Bradah dititahkan untuk
pergi ke Bali, merundingkan pengangkatan salah seorang putra beliau untuk
menggantikan raja Dharmawangsa Wardana yang tidak memiliki keturunan, kedatangan
Mpu Bradah disambut dengan sangat baik oleh pemuka masyarakat, lebih-lebih Mpu
Kuturan.
Mpu
Bradah menemui Mpu Kuturan yang merupakan saudaranya sendiri yang telah lama
berasrama di Silayukti, Mpu Kuturan segera memanggil semua anggota badan
penasehat kerajaan, untuk merundingkan pesan dari raja Airlangga. Selain angota
badan penasehat tampak hadir pula pemimpin agama Siwa Budha, para senapati yang
didampingi oleh para bawahanya, sehingga halaman asrama Silayukti menjadi penuh,
dalam pertemuan itu telah diputuskan bahwa permintaan raja Airlangga tidak
dapat dipenuhi. Penolakan tersebut berdasarkan pertimbangan adanya Anak Wungsu
yang sudah cukup Dewasa untuk menjadi raja di Bali sebagai penerus dinasti Warmadewa.
Demikian
kegagalan Mpu Bradah pada tahun 1042 dalam pertemuan besar yang dilaksanakan di
Silayukti. Airlangga telah mendengar laporan itu dan dapat pula membenarkan
keinginan para pemimpin rakyat Bali, untuk menobatkan adik baginda Anak Wungsu.
Airlangga kemudian membagi kerajaan menjadi 2, Kediri atau Panjalu dengan ibu
kotanya di Daha dan kerajaan Jenggala atau Singasari dengan ibu kotanya di Kahuripan.
Peristiwa
itu terjadi tahun 1042 Masehi. Setelah pembagian dua kerajaan selesai, Airlangga
meletakkan jabatanya, kemudian mengasingkan diri ke dalam hutan untuk bertapa di
lereng gunung Pucangan, hingga akhir hidupnya pada tahun 1049 Masehi sebagai
pertapa yang suci. Kebesaran nama Airlangga dilambangkan dengan sebuah patung
yang berbentuk Garudha Mukha, berwujud Dewa Wisnu yang mengendarai burung
garuda, melambangkan raja adalah seorang pemimpin yang prawira dalam membasmi
kejahatan.
Penobatan
Anak Wungsu menjadi raja di Bali, hampir bersamaan dengan kemangkatan
saudaranya di Jawa Timur sekitar tahun 1049 Masehi. Lebih dari 26 buah prasasti
yang kini tersimpan di Bali, yang menyebutkan jamanya raja Anak Wungsu.
Prasasti tersebut sebagian mempergunakan bahasa Bali kuno, kini tersimpan di desa Trunyan Bangli tahun 1049, Bebetin Buleleng tahun 1050, Dawan Klungkung tahun 1053, Sukawana Bangli tahun 1054, Batunya Buleleng tahun 1055, Sangsit Buleleng tahun 1058, Dausa Bangli tahun 1061, Sawan Belantih tahun 1065, Sembiran Buleleng tahun 1065, Serai Bangli tahun 1067, Pangootan Bangli tahun 1069, Manikliyu Bangli tidak bertahun, Pandak Bading tahun 1071, Klungkung tahun 1073 dan Sawan Buleleng tahun 1073. Juga diwujudkan
dengan beberapa patung, diantaranya hingga kini masih tersimpan di Pura
Pagulingan Pejeng, arca kembar di gunung Panulisan, melambangkan kebesaran raja
anak Wungsu beserta permaisuri yang bergelar Bhatara mandul.
III.8.
Shri Sakalendu atau Shri Suradhipa
Setelah
berakhirnya pemerintahan Anak Wungsu tahun 1077 Masehi, tersebutlah seorang
raja putri yang berkuasa di Bali bergelar Shri Sakalendu Isana Gunadhrma
Laksmidhara Wijayotunggadewi, tersebut dalam prasasti yang tersimpan di desa Pengotan,
yang menunjukan angka tahun 1088 dan 1101, sedangkan prasasti yang disimpan di
desa Sawan Belantih menunjukan tahun 1098 Masehi, seluruh prasasti tersebut
sudah mempergunakan bahasa Jawa Kuno. Di pura Penataran Panglan desa Pejeng,
terdapat dua bauh arca yang letaknya berdampingan, satu merupakan Hariti dan
satu lagi merupakan Parwati, keduanya
berangka tahun isaka 1013 atau 1091 Masehi. Hariti berarti Indra dan parwati
berarti sakti Siwa. Kedua arca ini melambangkan kebesaran raja yang berkuasa di
Bali yang memuliakan Indra dan Siwa.
Demikian
adanya ratu bertahta di Bali, sekitar tahun 1078 hingga tahun 1114, untuk
mengantikan Anak Wungsu, tersebutlah seorang raja di Bali yang bergelar Shri Suradipa,
tertulis dalam prasasti yang kini tersimpan di desa Gobleg Buleleng, menunjukan
angka tahun 1115 Masehi Shri Suradipa merupakan keturunan dinasti Warmadewa, putra
dari Shri Sakalendu Kirana Isana Gunadharma Laksmidhara Wijayotunggadewi.
III.
9. Shri Jaya Sakti, Shri Jaya
Kasunu, Shri Jaya Pangus
Setelah
Shri Suradipa mengakhiri masa pemerintahannya, tersebutlah nama raja
berturut-turut Shri Jaya Sakti, Shri Jaya Kasunu, Shri Jaya Pangus, dari gelar
yang dipergunakan, kemungkinan telah terjadi percampurn antara keturunan Warmadewa
dengan keturunan Maharaja Jaya Sakti yang pernah memimpin perpindahan
orang-orang Hindu di masa lampau ke Bali. Dari catatan yang tersebut dalam
prasasti, dapatlah diketahui, bahwa Shri Jaya Sakti memerintah mulai tahun 1133
sampai dengan tahun 1150 Masehi. Prasasti tersebut kini terdapat di desa Manikliyu
Kintamani, Buahan Kintamani, dan di desa Perasi Karangasem, selanjutnya
pemerintahan dipegang oleh putra beliau yang bernama Jaya Kasunu, didalam
pustaka kuno Raja Purana, Jaya Kasunu dan Catur Yuga, menerangkan bahwa raja Shri
Jaya Kasunu yang menciptakan adanya hari raya Galungan dan Kuningan, yang jatuh
setiap 210 hari sekali, dirayakan setiap Buda Kliwon Dunggulan, sementara Kuningan
dirayakan setiap Saniscara Kliwon Kuningan, kedua hari raya tersebut hingga
kini tetap dilaksanakan oleh masyarakat Bali.
Sebuah
pustaka kuno, Purana Tattwa, penerangkan pada tahun Isaka 1111 atau 1189 Masehi,
datanglah 7 orang guru agama dari Jawa ke Bali, kedatangan mereka itu untuk
merayakan upacara besar di Besakih atas undangan raja Shri Jaya Pangus. Ketujuh
Mpu tersebut, Mpu Ketek, Mpu Kanandha, Mpu Wira Adnyana, Mpu Wita Dharma, Mpu
Ragarunting, Mpu Prateka, dan Mpu Dangka. Ketujuh orang Mpu dari Jawa itu
dikenal dengan nama Sapta Pandita, sebagai pemimpin upacara Eka Dasa Rudra di
Besakih, yang merupakan upacara kesebelas kalinya. Selanjutnya diterangkan juga
dalam kitab itu, bahwa raja Shri Jaya Pangus beristana di Pejang, dengan bukti
adanya pura besar Pusering Jagat, yang berarti pula sebagai pusat dunia atau
pusat kerajaan, diperkirakan beliau memerintah dari tahun 1177 sampai dengan
1199 Masehi.
III.10. Dinasti Warmadewa Merosot Di
Bali
Bisa
dipastikan bahwa raja-raja yang berkuasa di Bali pada masa itu berasal dari
keturunan Warmadewa, yang disebut juga Dinasti Salonding. Dinasti ini berkuasa
di Bali sejak akhir abad ke 9 atau sekitar tahun 882 Masehi, seperti yang
termuat dalam Prasasti Sukawana, Bebetin, Trunyan, Kehen, Gobleg, dan Angseri. Dengan
raja pertama Shri Kesari Warmadewa beristana di Singha Madhawa di lingkungan
desa Besakih.
Sesudah
Shri Jaya Pangus, mengakhiri kekuasaanya tahun 1199 Masehi, maka tersebutlah
seorang raja sebagai pengantinya, bergelar Shri Eka Jaya Lencana, termuat dalam
prasasti yang hingga kini tersimpan di Kintamani, berangka tahun 1200 Masehi. Dipastikan
Shri Eka Jaya Lencana adalah putra mahkota dari Shri Jaya Pangus, sedangkan
gelar Lencana yang dipergunakan adalah
mengambil dari klan ibunya yang berasal dari Kediri Jawa Timur. Akan tetapi dalam 4 tahun kemudian,
tersebutlah dalam prasasti yang kini masih tersimpan di Pura Kehen Bangli, menyatakan
antara lain bahwa pada waktu itu Shri
Dhanadiraja beserta dengan permaisurinya berkuasa di Bali. Lebih jauh prasasti
tersebut menerangkan bahwa adanya perayaan pada beberapa buah Pura, diantaranya
Pura Hyang Ukir. Adanya prasasti yang
berangka tahun 1204 Masehi itu menunjukan bahwa di Bali telah terjadi
perpindahan kekuasaan dalam waktu yang singkat.
Sebuah
prasasti yang terdapat di desa Balian yang bertahun 1260 Masehi menyebutkan raja
yang berkuasa di Bali bergelar Bhatara Parameswara Shri Hyangning Hyang Adi
Dewa lencana, merupakan putra mahkota dari Shri Ekajaya Lencana, yang telah bertahta
di kerajaan Bali sesudah masa pemerintahan raja Shri Dhanadiraja. Akan tetapi setelah kerajaan Singasari
mengempur Bali tahun 1284, raja Bali yang ditundukan itu bergelar Shri
Pujungan, yang beristana di Pejeng, rupanya Shri Pujungan pernah mengadakan
perebutan kekuasaan dan berhasil mengulingkan raja Bhatara Parameswara Shri Hyangning
Hyang Adi Dewa Lencana. Setelah Singasari berhasil menaklukan Shri Pujungan, pemerintahan
dipegang oleh Kebo Parud dengan pangkat Raja Patih. Catatan mengenai adanya
kekuasaan dibawah raja patih dibawah pimpinan Kebo Parud, termuat dalam
prasasti yang bertahun 1296 Masehi yang kini tersimpan di desa Pengotan Bangli,
dan sebuah lagi bertahun 1300 disimpan di Sukawana Bangli.
Kehancuran
kerajaan Singasari, dibawah pimpinan Shri Kerta Negara pada bulan Mei 1292,
memberi kesempatan kepada keturunan Warmadewa, menyusun kembali kekuatan untuk
mengulingkan kekuasaan Kebo Parud. Bangkitnya kekuasaan dibawah dinasti Warmadewa
itui dinyatakan oleh 2 buah prasasti yang terdapat di desa Cempaga Buleleng
masing-masing bertahun 1324, dan prasasti yang terdapat di desa Tumbu
Karangasem bertahun 1325. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa yang menjadi
raja di Bali ketika itu Shri Maha Raja Shri Bhatara Mahaguru Dharmo Tungga
Warmadewa. Di dalam kitab kuno Usana
Bali dan Purana Tattwa, menuliskan pada suatu masa di Bali pernah bertahta raja
suami istri yang bergelar Shri Masula-Masuli, yang bersaudara kandung yang
lahir bersamaan dari kelapa di Pura Batu Madeng di Besakih, kerenanya beliau
berdua kemudian disebut Dhalem Buncing. Para ahli sejarah menafsirkan bahwa
baginda raja Shri Masula Masuli yang disebutkan dalam kitab Usana Bali dan
Purana Tattwa adalah Shri Mahaguru beserta permaisurinya seperti tersebut dalam
prasasti Tumbu Karangasem.
III.11.Shri Astasura Ratna Bhumi Banten.
Sebuah
relief di Pura Pusering Jagat yang dibuat pada masa Shri Jaya Pangus berisi
lukisan kuno yang berbentuk mata panah dan orang, lukisan tersebut adalah
bilangan Candra Sangkala, yang menunjukan tahun Isaka 1251 atau 1329 Masehi,
saat dinobatkan seorang raja di Bali yang bergelar Shri Astasura Ratna Bhumi
Banten, Shri Masula Masuli. Arca di Pura Tegeh Kori dan Gunung Panulisan,
melambangkan raja yang berkuasa di tahun Isaka 1254 atau 1332 Masehi, seperti lukisan
pada punggung arca tersebut bergambar mata, kapak, segara atau gunung, yang merupakan
tahun Candra Sangkala. Sementara kitab kuno Usana Jawa, menerangkan bahwa raja
tersebut bergelar Shri Gajah Wahana atau Shri Tapolung, beristana di Bedahulu. Tersebutlah
seorang raja yang teramat saktinya, bergelar Shri Gajah Wahana, beristana di
Bedahulu, beliau mempunyai 2 orang patih terkemuka Pasung Grigis berdiam di
Tengkulak dan Kebo Iwa bertempat tinggal di desa Blahbatuh. Disebut sebagai
Dhalem Bedahulu karena beliau tidak mau tunduk terhadap Majapahit, yang kala
itu sedang jaya, bercita-cita mempersatukan Nusantara dengan sumpah Palapa dari
Maha Patih Gajahmada. Mungkin karena sudah kehendak Hyang Widhi Wasa, Shri
Gajah Wahana menjadi generasi terakhir dari Wangsa Warmadewa di Bali setelah
kerajaan Bali ditaklukkan oleh Majapahit, sekaligus memulai babakan baru
pemerintahan raja-raja Bali Majapahit, dari wangsa Kepakisan.
Pada
masa pemerintahan Wangsa Warmadewa atau Dinasti Dhalem Slonding dari tahun 913
Masehi hingga tahun 1265 Masehi, tidak dapat ditemukan data yang pasti tentang
Pura Taman Sari Payangan, tetapi pada masa pemerintahan raja di Bedulu dan
Tampaksiring dipastikan wilayah Payangan dan sekitarnya masih berupa hutan
belantara dengan desa-desa kecil yang tersebar di beberapa pinggiran sungai
yang melintasi Payangan hingga wilayah Ubud. Mereka terdiri dari keturunan
pengikut Rsi Markandhya yang berhasil mempertahankan hidup dengan konsep hulu
teben, dengan budaya Aga yang kental. Hal itu ditunjang dengan pusat-pusat
pemerintahan yang cukup jauh dari Payangan dan pastinya pada masa itu sangat
sulit untuk dilalui. Tekstur wilayah Bali tengah yang terdiri dari tebing dan
hutan belantara turut serta secara tidak langsung menjaga
peninggalan-peninggalan jaman Rsi Markandhya di Bali Tengah karena sedikit
sekali tersentuh dengan unsur-unsur politik yang memanas pada masa pemerintahan
Wangsa Warmadewa di Bali. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada beberapa tempat
pemujaan masyarakat Payangan kebanyakan diakibatkan oleh bencana alam, gempa,
tanah longsor atau banjir.
Bab IV
Kerajaan Bali
Majapahit
Perang
Pertama antara Majapahit melawan Kerajaan Bali Kuno terjadi di tahun Saka 1265,
tahun masehi 1343. Saat perang itu, Ki kebo Waruna, dan Ki Gudug Basur gugur di
medan perang. Setelah perang besar itu hancurlah Kerajaan Bali Kuno, Sehingga
tidak ada penguasa yang memerintah di Bali. Kemudian ada rapat para Arya
keturunan dari Mpu Dwijaksara di Bali berkeinginan menghadap ke Majapahit
memohon petunjuk Raja Majapahit, apa yang harus mereka lakukan untuk mengisi
kekosongan pemerintahan di Bali saat itu. Para Arya Bali yang berangkat menghadap Raja Majapahit
antara lain Kyai Patih Wulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan, Kyai Padang
Subadra. Berkaitan dengan kedatangan para arya dari Bali itu, kemudian dengan
segera Prabhu Jayanegara, mengirim utusan ke Kediri, Menghadap Ida Shri Mpu
Soma Kresna Kepakisan, memohon putra beliau yang paling kecil, agar bersedia
menjadi pemimpin di Bali.
IV.1.Dhalem Ketut Kresna Kepakisan.
Ida Shri Aji Cili Ketut Soma
Kresna Kepakisan tiba di Bali, Tahun
Saka 1274, tahun masehi 1352,
diangkat menjadi raja di Keraton Samprangan,
setelah upacara abiseka, Bergelar Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan.
Pengikut beliau, antara lain: Si Tan Kawur,
Si Tan Mundur, Si Tan Kober, diberikan tempat di desa Tianyar. Dalam
pemerintahan Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan, masih juga ada pemberontakan-pemberontakan kecil di Bali,
terutama yang mendiami wilayah pegunungan, desa-desa di gunung yang masih belum
aman, antara lain: Desa Culik, Desa Skul, Desa Bulakan, Desa Tista, Desa Kunir,
Desa Simanten, Desa Basangalas, Desa Sarinten, Desa Tulamben, Desa Get, Desa
Lokasrana, Desa Batu Dawa, Desa Margatiga, Desa Puan, Desa Juntal, Desa
Crutcut, Desa Bantas, Desa Kerta Bayem, Desa Watu Wayang, Desa Kedampal, Desa
Asti. Setelah sekian lama pemerintahan Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan,
Orang-orang gunung masih juga melakukan pembangkangan secara gerilia. Hal
itulah yang mendorong Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan mengirim utusan ke ke Jawa, menghadap
kepada Sang Prabhu Jaya Negara, yang dipercaya menjadi utusan saat itu, antara
lain: Kyai Patih Wulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan, Kyai Padang Subadra.
Setelah
bertemu dan menghadap Raja Majapahit, dianugrahi senjata utama oleh raja
Majapahit, berupa pusaka keris, Ki Lobar namanya, dengan pamor keris Durgha
Dungkul, pusaka tersebut pemberian dari Rakriyan Gajah Mada kepada Shri Aji Dhalem
Ketut Kresna Kepakisan, agar
digunakan untuk mengamankan wilayah Bali. Dalam perjalanan pulang dari
Majapahit, melewati desa Bubat,
kemudian Telaga Urung, Pejajaran, sampai di Desa Langkung, baru kemudian menuju
Puri Samprangan. Mulai adanya keris Ki Lobar di puri Samprangan, sedikit demi
sedikit mulailah tenah wilayah pegunungan Bali, tidak ada lagi orang gunung
yang melakukan tindak kejahatan.
Upaya
lain yang dipakai untuk menentramkan jagat Bali agar bisa lebih tentram, Shri
Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan mengadakan pertemuan para Pasek yang
berpengaruh di jagat Bali, pertemuan itu dilaksanakan di Puri Samprangan,
membicarakan tentang keadaan jagat Bali yang belum tentram. Yang ikut hadir
dalam pertemuan itu, antara lain: Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek Tohjiwa, Ki Pasek
Padang Subadra, Ki Pasek Penataran, Ki Pasek Kepasekan, Ki Pasek Bendesa, Ki
Pasek Kubakal, Ki Pasek Kedangkan, Ki Pasek Ngukuhin, Ki Pasek Kubayan, Ki
Pasek Gaduh. Selain membicarakan tentang keamanan di Bali juga membahas tentang
parahyangan yang ada di seluruh Bali. utamanya sekali membahas tentang segala
sesuatu yang berkaitan dengan Pura Besakih. Shri Aji Dhalem Ketut Kresna
Kepakisan, mempunyai permaisuri
dampati, puteri Mpu dari Ketepeng,
yang bernama Ni Diah Amretha Jiwa, mempunyai putra laki perempuan sebanyak 4
orang, antara lain: Shri Dewa Ile, Shri Dewa Tarukan, Istri, menikah ke
Blambangan dan Shri Dewa ketut Ngulesir. Selain 4 putra diatas, ada juga putra
yang lahir dari selir, yang bernama I Dewa Tegal Besung.
IV.2. Ida Shri Dhalem Ile
Setelah
Shri Aji Dhalem Ketut Kresna Kepakisan mangkat,
Puri di Samprangan dikuasai oleh putra beliau yang paling besar, bernama Ida Shri
Dhalem Ile, tetapi beliau sangat jarang sekali perduli dengan keadaan Puri Samprangan,
apalagi sampai mengadakan pertemuan membahas tentang kerajaan Bali dengan para manca dan punggawa Puri Samprangan,
karena beliau begitu terpikat dan mabuk oleh kecantikan istrinya, yang bernama
Ida Shri Dewi, yang berasal dari Pusering Tasik Besakih. Sementara itu Ida Dhalem
Tarukan mempunyai kegemaran yang berbeda dengan kakaknya, beliau amat gemar
bekerja di ladang, taman, juga sawah, menanam bemacam-macam bunga dan bebijian.
Karena sebuah permasalahan beliau terpaksa harus meninggalkan istana beliau di
Tarukan, mengelana sebagai rakyat biasa dari satu daerah ke daerah yang lain.
Sampai akhirnya beliau tinggal menetap di Pedukuhan Bunga. Ki Dukuh Bunga yang
prihatin terhadap keadaan beliau, kemudian mempersembahkan putrinya yang
bernama Ni Gusti Luh Kwanji, untuk diperistri. Dari pernikahan Ida Dhalem
Tarukan dengan Ni Gusti Luh Kwanji, saat
itu tercatat tahun saka 1302, tahun masehi 1380. Kemudian melahirkan putra 2 orang, I
Gusti Gde Sekar dan I Gusti Gde Pulasari.
Selama
kepemerintahan Ida Dhalem Ile di Samprangan, terpikir oleh para Arya, Manca,
dan Punggawa Puri Samprangan, tidak berhasil memegang tapuk kekuasaan Bali,
maka bertemulah dalam sebuah sidang para Punggawa, Arya serta para Manca semua,
memutuskan akan mencari Ida Shri dewa Ketut Ngulesir, agar bersedia kembali ke
puri Samprangan, menggantikan kedudukan kakaknya menjadi raja di keraton Samprangan. Yang terpilih menjadi utusan
mencari Ida Shri Dewa Ketut Ngulesir, adalah Rakriyan Patih Kebon Tubuh. Setelah lama dicari, lalu suatu hari yang baik
ditemukanlah Ida Shri dewa Ketut Ngulesir,
saat beliau berjudi sabung ayam di desa Pandak. Setelah beliau ditemukan oleh
Rakriyan Patih Kebon Tubuh, berkenan
Ida Shri Dewa Ketut Ngulesir, kembali pulang ke Puri Samprangan.
IV.3. Shri Dhalem Ketut Semara
Kepakisan.
Ida
Dhalem Ile sakit keras, kemudian
beliau mangkat di puri Samprangan, tahun Saka 1302 atau tahun masehi 1380.
Setelah selesai upacara Pelebon, Ida Dhalem Ketut Ngulesir kemudian
menggantikan beliau menjadi raja, dengan gelar Shri Dhalem Ketut Smara
Kepakisan, tahun Saka 1307, tahun Masehi 1385, berkedudukan di Keraton Gelgel,
keraton beliau bernama Puri Suweca Pura.
Berkisaran
tahun Saka 1352, tahun Masehi 1430, Shri Dhalem Ketut Smara Kepakisan, menyelenggarakan upacara yadnya, Pitra Yadnya,
ngamaligya ida raja dewata Shri Aji Beda Ulu. Setelah selesai upacara tersebut, Shri Dhalem Ketut Smara Kepakisan, diiringi oleh Kyai kebon Tubuh berlayar ke Jawa,
akan menghaturkan upeti ke Majapahit, berita itu tersiar sampai ke Majapahit
dan diketahui oleh Ida Shri Hayam Wuruk, Raja di Bali merupakan keturunan orang
sangat utama, karena di bahunya bergambar Durgha. Karena itulah kemudian Ida Shri Hayam Wuruk menganugrahi Raja Bali keris pusaka utama yang bernama Ki Taksaka.
Shri Dhalem Ketut Smara Kepakisan, kembali lagi berlayar ke Jawa, Tepatnya di
wilayah Madura, karena ada undangan dari Ida Rakrian Mahapatih Madu, karena
beliau sedang menyelenggarakan karya maligya leluhur beliau di Madura, sebagai
peminpin upacara Ida Shri Mpu Bujangga Kayu Manis, dari negara Keling. Setelah
selesai upacara maligya, lalu menghadaplah Shri Dhalem Ketut Smara Kepakisan dihadapan Mpu Bujangga Kayu Manis, mengundang Ida Bujangga agar
bersedia berkunjung ke kerajaan Bali, karena Ida Dhalem Ketut berkeinginan
menyelenggarakan Upacara Yadnya Mapudgala.
IV.4. Ida Shri Dhalem Waturenggong Jaya
Kepakisan.
Ida
Shri Dhalem Ketut Semara Kepakisan mempunyai 2 orang putra laki-laki dan sudah
beranjak dewasa, bernama, Dewa Waturenggong adiknya bernama I Dewa Gedong Arta.
Ida Shri Dewa Waturenggong kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja, dengan
gelar Shri Dhalem Waturenggong Jaya Kepakisan. Pada pemerintahan beliaulah
kerajaan Bali mencapai masa jayanya, terkenal sampai ke daerah-daerah jauh.
Saat itu di Jawa ada seorang Brahmana Budha bernama Mpu Semaranatha, beliau
mempunyai putra 2 orang laki-laki bernama Mpu Dhang Hyang Angsoka dan Mpu Dhang
Hyang Nirartha. Mpu Dhang Hyang Nirartha melakukan perjalanan suci ke Bali
bersama istri dan putra-putra, tidak dikisahkan perjalanan beliau, sampai
kemudian beliau berasrama di Mas.
Di
keraton Gelgel dikisahkan Dhalem Ketut Baturenggong Jaya Kepakisan berkeinginan
mengangkat Ida Shri Mpu Angsoka di Kediri, Jawa agar bersedia menjadi guru nabe
Dhalem Ketut Baturenggong. Akan tetapi Dhang Hyang Angsoka menolak dengan halus
keinginan Dhalem Baturenggong, karena di Bali sudah ada adik beliau yang
bernama Ida Dhang Hyang Nirarta, sudah sangat paham dengan ajaran agama dan
ilmu kesaktian. Dengan petunjuk dari Dhang Hyang Angsoka, Dhalem Baturenggong
kemudian mengirim utusan ke Bhumi Mas, menjemput Ida Dhang Hyang Nirartha. Yang
menjadi utusan saat itu adalah Rakriyan Dawuh Bale Agung. Tidak diceritakan
dalam perjalanan, akhirnya tibalah Rakriyan Dawuh Bale Agung di Bhumi Mas,
menghadap Ida Dhang Hyang Nirartha. Rakriyan Dawuh Bale Agung banyak sekali
mendapatkan petuah dari Ida Dhang Hyang tentang berbagai ilmu pengetahuan,
sehingga saat Rakriyan Dawuh mohon untuk didiksa, Ida Dhang Hyang berkenan
mendiksanya.
Setelah
acara pediksan Rakriyan Dawuh Bale Agung baru beliau mengutarakan kedatangannya
sebagai utusan Dhalem Bali, mengundang Ida Dhang Hyang agar berkenan berkunjung
ke kraton Swecapura di Gelgel, Ida Dhang Hyang berkenan. Lalu berangkatlah
beliau diiringi oleh Rakriyan Dawuh Bale Agung. Tidak diceritakan dalam
perjalanan, tibalah beliau di tujuan. Akan tetapi Ida Dhalem Baturenggong
sedang tidak di puri. Ida Dhalem Baturenggong sedang pergi berburu di hutan
desa Padang, beliau menginap di Silayukti, bekas pasraman Mpu Kuturan dahulu. Itulah
sebabnya kemudian Ida Dhang Hyang kemudian diantar oleh Rakriyan Dawuh Bale
Agung menuju desa Padang. Sesampai di Padang, Dhalem Bali marah kepada Rakriyan
Dawuh Bale Agung, dianggap oleh Dhalem Bali abdinya itu tidak bisa melaksanakan
tugas dengan baik, lebih mementingkan diri sendiri, dari pada melaksanakan
perintah Dhalem Bali. Setelah mendapat cukup banyak hasil berburu, berkat
petunjuk dari Dhang Hyang Nirartha, Dhalem Bali dan rombongannya kembali ke
Keraton Swecapura Gelgel. Perjalanan rombongan Dhalem terhadang banjir yang
amat besar di Sungai Unda, sehingga berhentilah kereta kerajaan yang membawa
rombongan raja Bali. Tatkala itulah kemudian Dhang Hyang Nirartha menggunakan
mantra sakti Aswa Siksa, sehingga dengan ajaib akhirnya rombongan Dhalem Bali bisa
menyebrangi sungai unda, karena roda kereta beliau tidak tenggelam di banjir.
Sangat takjub Dhalem dan rombongan menyaksikan kesaktian dari Ida Dhang Hyang.
Di tahun saka 1411, (Masehi 1489), sampailah rombongan itu di Keraton Sweca
Pura, di Gelgel. Ida Dhang Hyang Nirartha dihaturkan tempat menginap di Taman
Bagenda, disanalah kemudian Dhalem Waturenggong dianugrahi banyak ilmu
pengetahuan setelah dianggap lulus Ida Dhang Hyang Nirartha berkenan mendiksa Dhalem
Waturenggong.
IV.6.Penyerangan Ke Blambangan.
Rencana
pernikahan Ida Dhalem Baturenggong dengan Dewi Ayu Baas yang merupakan putri
dari raja Blambangan yang bernama Dhalem Juru digagalkan dengan tipu muslihat
oleh pangeran Pasuruhan yang bernama Shri Bhima Cili, membuat Dhalem
Baturenggong marah dan menyerang Blambangan. Kriyan Patih Ularan, memimpin
Dulang Mangap Bali menyerang Blambangan dengan membawa keris pusaka Gelgel yang
bernama Ki Dulang Mangap. Tiba di pelabuhan Blambangan, Pasukan perang Bali
dihadang dengan hujan panah oleh bala tentara Blambangan. Banyak yang tewas,
apalagi Ida Dhalem Juru sangat lihai memainkan sanjata Jamparing, karena
terluka di matanya akibat senjata Jemparing Dhalem Juru Kriyan Ularan menjadi
marah dan memancung kepala Dhalem Juru. Tewaslah Raja Blambangan dengan kepala
terpisah dari badannya. Saat itu tercatat tahun saka 1434, atau tahun Masehi
1512. Berkisaran tahun Saka 1442, atau 1520, Ida Shri Dhalem Waturenggong Jaya
Kepakisan menggempur Sasak, karena banyaknya rakyat Sasak menjadi perompak di
Selat Bali. Banyak sekali nelayan Bali yang mereka rompak di tengah laut,
sampai-sampai nelayan Bali tidak berani turun ke laut. Hal itu yang membuat
pikiran Ida Dhalem Bali tidak tenang. Setelah mengerahkan pasukan yang sangat
banyak, di tahun 1382, (tahun 1460 masehi), Sasak takluk di bawah kekuasaan
Raja Bali.
Di
tahun Saka 1400, (tahun 1478 masehi), keraton Majapahit runtuh. Mulai saat itu
semakin cemerlanglah kerajaan Bali, apalagi setelah Bali bisa menaklukan
kerajaan Blambangan, Puger, dan Sasak. Banyak kemudian Kerajaan lain
berkeinginan bersahabat dengan Kerajaan Bali, antara lain : Sumbawa, Madura,
dan Bone. Ida Dhalem Waturenggong mempunyai 3 orang putra, laki-laki dan
perempuan, antara lain : I Dewa Pamayun, I Dewa Anom Sagening, Shri Dewi Manik.
Saat Dhalem berpulang ke alam sunia, putra-putrinya masih kecil-kecil, masih
sangat belia. Jadi roda pemerintahan di Gelgel dipegang oleh I Dewa Anggungan,
Putra dari I Dewa tegal Besung. Dibantu oleh Ida Shri Dewa Gedong Arta, I Dewa
Pagedangan, I Dewa Nusa dan I Dewa Bangli.
IV.7. Pemberontakan Rakriyan Batan
Jeruk.
Sekarang
dikisahkan tentang rencana Rakriyan Batan Jeruk yang ingin melakukan
pemberontakan kepada Keraton Swecapura Gelgel, Rakriyan Batan Jeruk bersekutu
dengan I Dewa Anggungan, berencana akan membunuh para putra mahkota Swecapura.
Rencana jahat itu didengar oleh Rakriyan Kebon Tubuh yang setia kepada putra
mahkota, lalu langsung mengungsikan ketiga putra Dhalem Bali dari keraton,
dengan melobangi tembok, menyebrang di halaman rumah Kriyan Penulisan, menuju
ke Desa Pekandelan. Setelah Keraton bisa dikuasai oleh Rakriyan Batan Jeruk,
tidak ditemukan ketiga putra Dhalem dalam istana, hal itu membuat Rakriyan
Batan Jeruk marah, lalu mengamuk seperti kesetanan di dalam Puri Swecapura.
Banyak hamba sahaya dan para dayang yang tewas akibat amukannya.
Melihat
situasi seperti itu, maka berkumpulah para pembesar Puri Swecapura, membuat
rencana menangkap Rakriyan Batan Jeruk, para punggawa itu antara lain: Kyai
Pinatih, Kyai Kapal, Kyai Abiansemal, Kyai Kebon Tubuh, Kyai Sukahet, Kyai
Pegatepan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Pacung dan Kyai Brangsinga. Terjadi pertempuran
yang sengit di dalam Puri Swecapura, antara prajurit yang setia pada Dhalem
menyerbu para pemberontak. Kalahlah para pengikut Rakriyan Batan Jeruk, Rakriyan
Batan Jeruk tewas dalam pertempuran itu, para senopati bawahan Rakriyan Batan
Jeruk melarikan diri, antara lain: Ki Gusti Tusan bersembunyi di rumah pamanya,
I Pande Tusan, I Gusti Bebengan dan I Gusti Gung Nangka bersembunyi di utara
gunung, Kyai Prajurit bersembunyi di rumah Ki Pasek Manduang. I Dewa Anggungan
menyerahkan diri kepada Bala Yuda Gelgel. Setelah pemberontakan Rakriyan Batan
Jeruk dapat diatasi, kepemerintahan di keraton Swecapura diatur oleh para
punggawa Gelgel yang setia kepada Dhalem Bali, antara lain: I Gusti Agung, Ki
Gusti Nginte, Ki Gusti Jelantik, Arya Pinatih, Arya Dawuh, Ki Gusti Lanang
Jungutan, Ki Gusti Tapalara dan Ki Gusti Lod.
IV.8. Shri Dewa Pamayun.
Setelah
putra mahkota Gelgel dewasa, kekuasaan Gelgel dipegang oleh Ida Shri Dewa
Pamayun, dibantu oleh adiknya yang bernama Ida Shri Dewa Anom Sagening. Setelah
abhiseka bergelar Ida Shri Dhalem Pamayun. Tetapi masa pemerintahan beliau,
kerajaan tidak mempunyai wibawa, karena Ida Shri Dhalem Pamayun sangat
tergila-gila dengan istrinya yang cantik, yang bernama Ki Gusti Ayu Samantiga,
sehingga beliau tidak mempunyai waktu untuk mengurus kepemerintahan. Beliau
amat suka bersenda gurau sehingga wibawa beliau di mata bawahannya tidak bagus.
Banyak
kejadian-kejadian yang terjadi memerosotkan wibawa puri, karena beliau kurang
tegas dalam mengambil sikap sebagai seorang raja. Ada beberapa pemberontakan
kecil di Gelgel, Ida Shri Dhalem Pamayun tidak mempunyai keturunan, itulah
sebabnya beliau lebih dikenal dengan nama Shri Dhalem Bekung. Setelah cukup
lama beliau memegang kekuasaan di Gelgel, beliau merasa tidak sanggup mengatur
pemerintahan, dengan berbesar hati beliau kemudian meninggalkan Gelgel,
membangun puri di Desa Kapal.
IV.9. Ida Shri Dhalem Sagening.
Tahun
Saka 1502 atau tahun 1580 Masehi, Ida Dhalem Anom Sagening diangkat menjadi
Raja Gelgel, dengan gelar Ida Shri Dhalem Anom Sagening Dharma Kepakisan. Dalam
pemerintahan beliau Kerajaan Gelgel mulai bangkit kembali, kerajaan menjadi
sangat kuat. Tahun Saka 1545 atau tahun 1626 Masehi, kembali bala tentara Bali
menyerang Sasak yang ingin lepas dari kekuasaan Gelgel. Penyerangan itu dipimpin
oleh, Kriyan Tabanan dan Kriyan Tabah. Tentara Sasak dipimpin oleh Ki Kebo
Mundar. Sasak dapat ditaklukan oleh Kyai Tabanan, sementara Kriyan Tabah
melarikan diri dari peperangan. Karena hal tersebut Kriyan Tabah tidak diakui
lagi sebagai ksatriya oleh Raja Gelgel. Ki Kebo Mundar yang menyerah masih
diberikan wewenang untuk mengatur Sasak, dibawah kekuasaan Gelgel. Daerah
Badung yang dulu diperintah oleh Kriyan Tabah, dianugrahkan oleh Dhalem Bali
kepada Kyai Ngurah Tegeh Kuri, saudara dari Kyai Ngurah Tabanan. Kyai Tegeh
Kuri Kemudian membuat puri di Pemecutan.
IV.10. Ida Shri Dewa Dimadya.
Ida
Shri Dhalem Sagening Dharma Kepakisan mangkat karena usia yang sudah lanjut,
digantikan oleh putra beliau yang bernama Ida Shri Dewa Dimadya, saat itu tahun
Saka 1587, atau tahun 1665 Masehi, Ida Shri Dewa Dimadya menjadi raja Gelgel
dengan gelar Ida Dhalem Dimadya Buda Kepakisan. Di pemerintahan beliau kembali
menurun wibawa kerajaan Gelgel. Daerah taklukan di Sasak, Sumbawa sering
diganggu oleh prajurit dari Makasar, Blambangan diganggu oleh prajurit dari
Pasuruhan. Kriyan Patih Agung Manginte juga sudah berpulang karena usia lanjut,
Digantikan oleh putranya yang bernama Ki Gusti Agung Widia yang lebih dikenal
dengan nama Ki Gusti Agung Maruti.
IV.11. Pemberontakan Ki Gusti Agung
Maruti.
Dikisahkan
Ki Gusti Agung Maruti, beliau diangkat menjadi patih agung di Gelgel, lama
kelamaan ada rencana Ki Gusti Agung Maruti memberontak terhadap Dhalem Gelgel,
dengan menyebarkan fitnah diantara para pembesar kerajaan Gelgel. Akibat terlalu banyak pitnah dan dusta
di keraton, banyak sekali Manca dan angelurah yang mengungsi dari Gelgel,
diantaranya : Kyai Tabanan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Kebon Tubuh, Kyai Pinatih,
Kyai Mambal, Kyai Tegeh Kori, sedangkan Kyai Pungakan Den Bancingah kembali ke
desa minaluah, membawa keris sakti anugrah Ida Dhalem Bali yang bernama Ki
Lobar. Karena suasana puri yang sepi, di tahun Saka 1608, atau tahun 1686
Masehi Ki Gusti Agung Maruti memberontak, menyerbu ke dalam Keraton. Tetapi
sebelumnya Dhalem Dimadya sudah diungsikan oleh I Dewa Pungakan, dibawa ke
Guliang, dikawal oleh para Mantri Kyai Brangsinga dan Kyai Pungakan Den
bancingah. Mulai saat itu Keraton Swecapura dikuasai oleh Ki Gusti Agung
Maruti.
IV.12. I Dewa Agung Pamayun dan Ida Shri
Agung Jambe, Raja Smarapura I.
Ida
Shri Dhalem Dimadia Buda Kepakisan mangkat di Guliang karena beliau sudah
sangat tua, Ida Dhalem Dimadia mempunyai putra 2 orang laki-laki. Yang sulung
bernama I Dewa Agung Pamayun, beribu Desak dari Desa Bakas. Adiknya bernama I
Dewa Agung Jambe, beribu patni dampati, putri Ki Gusti Ngurah Jambe Tangkeban,
penguasa dari Badung. Setelah Ida Dhalem Dimadia mangkat, diangkatlah Ida Shri
Dewa Pamayun sebagai raja. Tetapi Ida Dhalem hanya senang mempelajari sastra,
apabila ada manca atau mekel yang ingin menghadap, lebih sering diterima oleh
Ida Shri Agung Jambe.
Dengan
ijin dari kakaknya, Shri Agung Jambe berkeinginan merebut kembali istana Gelgel
dari Kyai Ngurah Agung Maruti. Setelah semua persiapan dirasa cukup, berangkatlah Ida Shri Agung Jambe ke Desa
Sideman, membawa semua alat-alat kebesaran kerajaan Gelgel menuju puri Ida
Angelurah Singarsa. Perjalanan kembali Ida Shri Agung Jambe dari Sideman
dikawal oleh Ki Gusti Ngurah Agung Singarsa, Kyai Agung Dawuh, Kyai Abian
Tubuh, Kyai Dewa Pungakan. Juga bala yuda lengkap dari Sideman dan Dawan
menyerang keraton Gelgel yang dikuasai oleh Kyai Ngurah Agung Maruti, Ida Shri
Agung Jambe juga mendapat bantuan dari Buleleng, bala yuda Ki Gusti Panji
Sakti. Gelgel diserbu dari tiga penjuru. Dari utara Bala yuda Buleleng,
dipimpin oleh Ki Gusti Panji Sakti, Dari timur oleh bala yuda Sideman, dipimpin
oleh Ida Shri Agung Jambe, dari selatan diserbu oleh bala yuda Badung dipimpin
oleh Ki Gusti Ngurah Jambe Pule. Ki Gusti Ngurah Jambe Pule bertarung dengan Ki
Gusti Agung Maruti, keduanya gugur dalam perang tanding tersebut. Kyai Padang
Kerta bertarung dengan patih Ki Gusti Panji Sakti yang bernama Kyai Tamblang,
kalah Kyai Padang Kerta, gugur dalam pertempuran. Setelah kedua pimpinan
pemberontak tewas, pimpinan yang lainnya, seperti : Ki Gusti Agung Cau, Kyai
Nidul, Kyai Kloping, dan Ki Pasek Gelgel melarikan diri ke Jimbaran,
bersembunyi di rumah Ida Wayan Petung Gading.
Setelah
perang usai, Keraton Gelgel sudah kembali dapat dikuasai oleh Ida Shri Agung
Jambe, beliau kemudian menghaturkan puri Gelgel kepada kakaknya, tetapi Ida
Shri Dewa Pamayun tidak mau kembali lagi ke Gelgel, beliau memilih membuat puri
di Bukit Tampaksiring dengan pengiring sebanyak 200 orang. Ida Shri Agung Jambe juga tidak mempunyai keinginan kembali ke
Puri Gelgel, beliau kemudian membangun keraton di Klungkung, dinamakan Keraton
Smara Pura, setelah Ida Shri Agung Jambe diangkat menjadi raja, diberi gelar
Shri Dewa Agung Dhalem Jambe, yang menjadi Patih Agung Kyai Angelurah Singarsa.
Bab V
Kerajaan Payangan
Berdirinya
kerajaan Payangan bermula ketika Dhalem Dimade naik tahta di Kerajaan Gelgel
mengantikan ayah beliau yakni Dhalem Sagening. Setelah pemberontakan I Gusti
Agung Maruti tahun 1686 Masehi, daerah Mengwi menyatakan diri sebagai kerajaan
dengan batas timurnya Sungai Ayung, selanjutnya dari batas Sungai Ayung ke
Timur masih tetap di bawah kekuasaan Kerajaan Klungkung. Akan tetapi dengan
adanya pergolakan kekuasaan di pusat kerajaan Bali maka daerah Payangan kurang
mendapat perhatian Klungkung.
V.1. Dinasti Pacung Sakti
Sewaktu
Kerajaan Klungkung dalam situasi pergolakan dan tak menentu itu, maka datanglah
ekspedisi Arya Sentong turunan yang kelima yang bernama I Gusti Ngurah Pacung
Gede, putra dari I Gusti Pacung Sakti di Perean datang ke daerah Payangan pada
tahun 1690 Masehi. I Gusti Pacung Sakti di daerah Perean mempunyai putra enam
orang yang bernama, I Gusti Pacung Gede,
I Gusti Ngurah Rai, I Gusti
Ngurah Bukian, I Gusti Ngurah
Tauman, I Gusti Gede Abiantubuh dan I Gusti Nengah Abiantubuh. Di Puri Perean pada waktu itu terjadi
perang saudara di antara I Gusti Pacung Sakti dengan saudaranya yang
bernama I Gusti Made Buleleng dari
Sembung, yang mengakibatkan terbunuhnya I Gusti Pacung Sakti Perean. Sejak mangkatnya
I Gusti Pacung Sakti di Perean maka timbulah keresahan dan rasa kawatir di
dalam hati putra-putra I Gusti Pacung Sakti yang kemudian memutuskan untuk meninggalkan
Puri Perean, diantara adalah: I Gusti Pacung Gede dengan dua adiknya yaitu I
Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ngurah Bukian, dengan diiringi oleh pengikutnya
yang masih setia sejumlah kurang lebih 600 kepala keluarga menuju daerah timur
Sungai Ayung dan kemudian sampailah di
daerah Payangan.