Kamis, 29 November 2012
Senin, 19 November 2012
RINGKASAN SEJARAH DHALEM BALI
Yayasan Budaya
Dharma Kawisastra
Jl
Pasar Payangan No 12 Payangan 80572
Tlp
(0361) 9080254, 081291454000
Email: idabagus.bajra@gmail.com
|
RINGKASAN
SEJARAH DHALEM BALI
DHALEM
NGULESIR
1. Dalem Ktut Ngulesir
Raja Gelgel I Pusat pemerintahan di Bali setelah pindah dari keraton Samprangan
dipusatkan di Gelgel. Kraton tersebut diberi nama Sueca Pura. Afapun sebagai
raja peretama di Kraton Sueca Pura amasih merupakan penerus dari dinasti Kepakisan
yang turun temurun dari Majapahit. Beliau adalah I Dewa Ktut yang kemudian
bergelar Dalem Ktut Ngulesir, karena dianggap sebagai pelanjut dinasti
Kepakisan, maka raja ini juga bergelar Dalem Ktut Kresna Kepakisan yang
memerintah selama kurang lebih 20 tahun ( 1380 - 1400) Menurut sumber-sumber
tradisional, raja ini dikenal sebagai raja yang sangat tampan, karena diketahui
memiliki tanda khusus (cawiri) berupa tahi lalat pada paha kanannya. Hal ini
juga dianggap sebagai simbol kecakapan beliau di dalam memimpin rakyatnya.
Bukti-bukti atau peninggalan Raja Dalem Ktut Ngulesir sebagai raja I di Gelgel
sangat sulit ditemukan. Baik yang disebutkan oleh babad maupun sumber lainnya.
2. Dalemn Watu Enggong Raja Gelgel IISetelah Dalem Ktut Ngulesir mangkat, maka pemerintah Gelgel digantikan oleh putra tertua beliau yang bergelar Dalem Watu Enggong atau sering disebut Dalem Waturenggong. Pemerintah Dalem Waturenggong merupakan puncak kebesaran atau jaman kemasan Kerajaan Bali. Karena pada jaman Dalem Waturenggong, wilayah kerajaan Bali sudah meluas sampai ke Sasak (lombok), Sumbawa, Balmbangan dan Puger. Dalem Waturenggong adalah raja yang sangat ditajuti oleh raja Pasuruan dan Raja Mataram.Pemerintah Dalem Waturenggong pada abad XVI (sekitar tahun 1550 M ) merupakan awal lepasnya ikatan dan pengaruh Majapahit terhadap kerajaan Bali seiring runtuhnya kerajaan Majapahit oleh Kerjaan Islam.Pada masa Dalem waturenggong inilah, pernah terjadi sengketa antara Gelgel dengan kerajaan Blambangan yang dikuasai oleh Dalem Juru yang dipicu karena penolakan lamaran dari Dalem Waturenggong terhadap Ni Gusti Ayu Bas Putrid Dalem Juru. Pertempuran sngitpun terjadi, laskar bali yang dipimpin oleh Patih Ularan berhasil membunuh Dalem Juru raja Blambangan. Mengenai kepastian tahun pemerintahan dan peninggalan raja Dalem Waturenggong di Gelgel maupun Klungkung sangat sulit ditemukan dari sumber babad beberapa naskah baru (yang masih harus diuji kebenarannya, koleksi AA Made Regeg Puri Anyar Klungkung, meyebutkan masa pemerintahan Dalem waturenggong disebut dalam angka tahun 1400 - 1500. Sedangkan naskah yang ditulis oleh I Dewa Gde Catra, Sidemen - Karangasem menyebutkan tahun 1460 -1552 M). Memang kedua sumber tersebut tidak berbeda jauh, tetapi masih perlu diteliti kesalahannya.
2. Dalemn Watu Enggong Raja Gelgel IISetelah Dalem Ktut Ngulesir mangkat, maka pemerintah Gelgel digantikan oleh putra tertua beliau yang bergelar Dalem Watu Enggong atau sering disebut Dalem Waturenggong. Pemerintah Dalem Waturenggong merupakan puncak kebesaran atau jaman kemasan Kerajaan Bali. Karena pada jaman Dalem Waturenggong, wilayah kerajaan Bali sudah meluas sampai ke Sasak (lombok), Sumbawa, Balmbangan dan Puger. Dalem Waturenggong adalah raja yang sangat ditajuti oleh raja Pasuruan dan Raja Mataram.Pemerintah Dalem Waturenggong pada abad XVI (sekitar tahun 1550 M ) merupakan awal lepasnya ikatan dan pengaruh Majapahit terhadap kerajaan Bali seiring runtuhnya kerajaan Majapahit oleh Kerjaan Islam.Pada masa Dalem waturenggong inilah, pernah terjadi sengketa antara Gelgel dengan kerajaan Blambangan yang dikuasai oleh Dalem Juru yang dipicu karena penolakan lamaran dari Dalem Waturenggong terhadap Ni Gusti Ayu Bas Putrid Dalem Juru. Pertempuran sngitpun terjadi, laskar bali yang dipimpin oleh Patih Ularan berhasil membunuh Dalem Juru raja Blambangan. Mengenai kepastian tahun pemerintahan dan peninggalan raja Dalem Waturenggong di Gelgel maupun Klungkung sangat sulit ditemukan dari sumber babad beberapa naskah baru (yang masih harus diuji kebenarannya, koleksi AA Made Regeg Puri Anyar Klungkung, meyebutkan masa pemerintahan Dalem waturenggong disebut dalam angka tahun 1400 - 1500. Sedangkan naskah yang ditulis oleh I Dewa Gde Catra, Sidemen - Karangasem menyebutkan tahun 1460 -1552 M). Memang kedua sumber tersebut tidak berbeda jauh, tetapi masih perlu diteliti kesalahannya.
3. Dalem Bekung Raja
Gelgel IIIRaden Pangharsa yang kemudian bergelar Dalem Bekung adalah putra
tertua Dalem Waturenggong yang akhirnya menjadi raja Gelgel yang ke 3, karena
usianya masih sangat muda, maka pemerintahan sehari-hari di Gelgel diwakilkan
kepada kelima pamannya yaitu Gedong Atha, I Dewa Nusa, I Dewa Pangedangan, I
Dewa Anggungan, dan I Dewa Bangli.Masa Pemerintahan Dalem Bekung adalah awal
kesuraman kerajaan Gelgel. Karena pada masa pemerintahannya ini pula terjadi
banyak masalah dan kesulitan. Kerajaan -kerajaan Gelgel di luar Bali yang
pernah dikuasai Dalem Waturenggong satu per satu melepaskan diri. Pemberontakan
juga terjadi di dalam kerajaan yang dilakukan oleh Gusti batan Jeruk atas
ajakan dari I Dewa Anggungan yang tiada lain adalah pamannya sendiri,
pemberontakan Batan Jeruk nyaris meruntuhkan Gelgel, sebelum Arya Kubon Tubuh
yang masih setia kepada Dalem mampu memadamkan pemberontakan Batan Jeruk.
4. Dalem Segening Raja
Gelgel IVSetelah meredanya pemberontakan Batan Jeruk menyusul terjadinya
pemberontakan yang dilakukan oleh Krian Pande sebagai pembalasan atas kegagalan
Batan Jeruk. Dan pemeberontakan inipun dapat dipadamkan dengan terbunuhnya
Kareian Pande, karena situasi mulai kacau, maka oleh pembesar Kerajaan Gelgel
diangkatlah I Dewa Segening sebagai raja menggantikan kakaknya Dalem Bekung. I
Dewa Segening kemudian bergelar Dalem Segening. Dengan sukarela dan ihklas
Dalem Bekung menyerahkan tahta kepada adiknya karena merasa dirinya tidak mampu
mengemban amanat dari leluhurnya.Satu perubahan yang paling menonjol dari
pemerintahan Dalem ZSegening adalah kembalinya kerajaan-kerajaan Sasak
(Lombok), Sumbawa yang mengakui kekuasaan Gelgel. Dan satu hal yang penting
adalah Dalem Segening mulai menyebarkan golongan ksatria Dalem hampir ke seluruh
BAli. Dan gelar ksatria itupun sudah dibagi-bagi mulai status yang poaling
tertinggi seperti Ksatria Dalem, ksatria predewa, kesatria prangakan dan
ksatria prasanghyang..Sama seperti halnya pemerintahan Gelgel terdahulu, hampir
tidak ada peninggalan yang dapat diinformasikan baik berupa dokumentasi maupun
benda lainnya oleh penyunting sebagai bukti kebesaran Gelgel.
5. Dalem Di Made Raja
Gelgel VSetelah masa pemerintahan Dalem Segening berakhir, akhirnya Gelgel
diperintah oleh Dalem Di MAde sekaligus sebagai raja terakhir masa kerajaan
Gelgel. Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dalem Segening tidak dapat
dipertahankan oleh Dalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dalem Di MAde
terlalu memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada pengabihnya I Gusti Agung
Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya memilih untuk meninggalkan puri.Hal
inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh I Gusti Agung MAruti untuk menggulingkan
pemerintahan Dalem Di Made. Usaha ini ternyata berhasil, Dalem Di Made beserta
putra-putranya menyelamatkan diri ke desa Guliang diiring oleh sekitar 300
orang yang masih setia. Disinilah Dalem Di Made mendirikan keraton baru.Hampir
selama 35 tahun Gelgel mengalami kevakuman karena Dalem Di Made telah mengungsi
ke Guliang (Gianyar). Sementara Maruti menguasai Gelgel. Hal ini justru membuat
Bali terpecah-pecah yang mengakibatkan beberapa kerajaan bagian seperti Den
Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan dan Bangli ikut menyatakan
diri merdeka keadaan ini diperparah dengan wafatnya Dalem Di Made di keraton
Guliang.Dengan wafatnya Dalem Di Made, membuat para pembesar kerajaan menjadi
tergugah untuk mengembalikan kerajaan kepada dinasti Kepakisan. Hal ini
dipelopori oleh tiga orang pejabat keraton Panji Sakti, Ki Bagus Sidemen, dan Jambe
Pile, mereka akhirnya menyusun strategi unuk menyerang Maruti yang berkuasa di
Gelgel. Penyerangan dilakukan dari tiga arah secara serentak yang membuat
Maruti dan pengikutnya tidak sanggup mempertahankan Gelgel. Maruti berhasil
melarikan diri ke Jimbaran kemudian memilih memukim di Alas Rangkan.
DALEM BEKUNG
SRI AJI
PAMAHYUN BEKUNG / I DEWA PAMAHYUN
TAHUN 1560 M / TAHUN CAKA 1482
TAHUN 1560 M / TAHUN CAKA 1482
Dalem Bekung adalah putra tertua
Dalem Waturenggong yang akhirnya menjadi raja Gelgel yang ke 3, karena usianya
masih sangat muda, maka pemerintahan sehari-hari di Gelgel diwakilkan kepada
kelima pamannya yaitu Gedong Atha, I Dewa Nusa, I Dewa Pangedangan, I Dewa
Anggungan, dan I Dewa Bangli. Sri Aji Tegal Besung pada adalah putra bungsu
dari Dalem Wawu Rawuh (yang pertama di Bali).
Masa Pemerintahan Dalem Bekung adalah awal kesuraman kerajaan Gelgel. Karena pada masa pemerintahannya ini pula terjadi banyak masalah dan kesulitan. Masa keemasan Gelgel mulai memudar pada masa pemerintahan Dalem Bekung (1550--1580 M) putra sulung Dalem Waturenggong , Kerajaan -kerajaan Gelgel di luar Bali yang pernah dikuasai Dalem Waturenggong satu per satu melepaskan diri.
Masa Pemerintahan Dalem Bekung adalah awal kesuraman kerajaan Gelgel. Karena pada masa pemerintahannya ini pula terjadi banyak masalah dan kesulitan. Masa keemasan Gelgel mulai memudar pada masa pemerintahan Dalem Bekung (1550--1580 M) putra sulung Dalem Waturenggong , Kerajaan -kerajaan Gelgel di luar Bali yang pernah dikuasai Dalem Waturenggong satu per satu melepaskan diri.
PEMBERONTAKAN GUSTI BATAN JERUK
Ada beberapa versi yang menjelaskan
mengenai pemberontakan pada masa pemerintahan Dalem Bekung
Versi Pertama
Setelah Dalem Waturenggong wafat
maka putra beliau yang tertua Dewa Pamahyun/ Dalem Bekung dinobatkan sebagai
Raja di Gelgel, namun pada saat itu usia beliau masih sangat muda sehingga
paman paman beliau ingin mengambil kedudukan beliau sebagai Raja Gelgel.
Mengetahui hal tersebut I Gusti
Agung Batan Jeruk sebagai patih agung yang merupakan orang kedua setelah raja
mengambil prakarsa untuk mengamankan raja dari kemungkinan terjadinya
pengambilalihan kekuasaan, karena itu I Gusti Batan Jeruk membatasi orang orang
yang ingin bertemu dengan Raja.
Hal tersebut dirasakan oleh pejabat
pejabat kerajaan yang lain sebagai suatu perebutan kekuasaan karena itu harus
dilawan dan Raja harus diselamatkan. Oleh karena itu Kiyai Kebon Tubuh kemudin
minta bantuan kepada Kiyai Manginte dari Kapal untuk mengembalikan kedudukan
Dalem Bekung sebagai raja Gelgel.
Versi Kedua
Versi ini menyatakan bahwa I Dewa
Anggungan yang merupakan paman dari Raja Gelgel sekaligus pendamping raja yang
masih muda berambisi untuk menggantikan kedudukan sebagai raja, oleh karena itu
beliau bersekongkol dengan Gusti Batan Jeruk untuk menggulingkan kekuasaan
raja.
Versi Ketiga
Versi ini ditulis oleh Dr. Soegianto
Sastrodiwiryo (Perjalanan Danghyang Nirarta) yang menyatakan bahwa terdapat
suatu keyakinan bahwa keturunan Arya Kepakisan sebagai keturunan kesatria lebih
memiliki hak untuk memerintah dari pada keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan
yang berasal dari keturunan Brahmana.
Perasaan perasaan seperti itu muncul karena adanya kemelut didalam istana Kerajaan Gelgel yang diakibatkan oleh pertentangan politik dan hubungan percintaan. Raja Gelgel dianggap kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat dan terlibat dalam skandal skandal yang bertentangan dengan kehidupan sebagai seorang kesatriya. Maka timbullah ajakan dari para akhli waris Arya Kepakisan untuk bangkit mengatasi pergolakan dan adanya kesamaan kepentingan dari I Dewa Anggungan untuk berkuasa maka terjadilah perlawanan terhadap kekuasaan Raja.
Perasaan perasaan seperti itu muncul karena adanya kemelut didalam istana Kerajaan Gelgel yang diakibatkan oleh pertentangan politik dan hubungan percintaan. Raja Gelgel dianggap kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat dan terlibat dalam skandal skandal yang bertentangan dengan kehidupan sebagai seorang kesatriya. Maka timbullah ajakan dari para akhli waris Arya Kepakisan untuk bangkit mengatasi pergolakan dan adanya kesamaan kepentingan dari I Dewa Anggungan untuk berkuasa maka terjadilah perlawanan terhadap kekuasaan Raja.
Namun versi manapun yang dianggap
benar yang jelas peristiwa perlawanan terhadap raja memang benar terjadi. I
Dewa Pamahyun/ Dalem Bekung yang menduduki tahta kerajaan belum berusia dewasa
sehingga belum mengerti cara cara menghadapi serangan musuh. Rupanya tindakan Gusti
Batan Jeruk dilakukan tanpa memperhitungkan kekuatan lannya di luar istana
Gelgel.
Kriyan Gusti Batan Jeruk sudah
dinasehati oleh pendeta Budha sebagai bagawanta di Kerajaan Gelgel agar jangan
sekali kali menyamai kedudukan Dalem sebagai penguasa di Kerajaan Gelgel namun
nasehat tersebut diacuhkan oleh beliau. Demikianlah akhirnya pemberontakan
tersebut dilakukan dengan menyerbu kedalam istana Gelgel oleh Gusti Batan Jeruk
dan Dewa Anggungan dibantu oleh Kriyan Tohjiwa dan Kriyan Pande sebab Kriyan Pande
merupakan satu keluarga dengan Gusti Bantan Jeruk terhitung menekan dari sepupu
putra tertua dari Kriyan Dawuh Baleagung dan cucu Pangeran Akah.
Pemberontakan tersebut terjadi pada
tahun 1556 M tahun caka 1478, tidak dikisahkan betapa hebatnya pertempuran
antara pendamping yang masih setia kepada Dalem dengan para pemberontak. Raja
hampir hampir menderita kekalahan karena para menteri dan pejabat pejabat
tinggi kerajaan hampir semuanya memihak kepada Gusti Batan Jeruk. Hanya Kyai
Kebon Tubuh dan keempat pamannya yang masih setia kepada Dalem Bekung.
Tersebutlah Kriyan Dawuh Nginte yang
bermukim di Kapal mendengar berita adanya pemberontakan tersebut, memohon ijin
kepada ayahnya untuk membantu menyelamatkan Raja Gelgel. Setelah mendapat ijin
ayahnya maka mulailah perjalanan beliau dengan pasukannya menuju Kerajaan
Gelgel dengan diiringi oleh Kiyai Pedarungan Putra Kriyan Patih Tuwa.
Singkat cerita setelah Dawuh Nginte
tiba di Istana Gelgel beliau kemudian membujuk para menteri yang semula
berpihak kepada Gusti Batan Jeruk untuk kembali berpihak kepada raja. Usaha
beliau berhasil sehingga para menteri tersebut akhirnya membatu Dawuh Nginte
untuk berperang melawan Gusti Batan Jeruk.
Kriyan Dawuh Nginte tampil sebagai
pimpinan pasukan diikuti oleh Kyai Panatyan, Kiyai Ngurah Tabanan, Kyai Tegeh
Kori, Kyai Kaba Kaba, Kyai Buringkit, Kiyai Pering, Kiyai Cagahan, Kyai Sukahet
dan Kyai Berangsinga. Mereka serempak masuk keistana untuk membebaskan dua
putra Raja yaitu Dalem Bekung dan Dalem Segening yang ditawan oleh pihak
pemberontak.
Kiyai Kebon Tubuh berhasil
menyelamatkan Putra raja tersebut dengan melewati lubang tembok pagar tembus ke
rumah Kryan Dawuh Bale Agung di sebelah barat pasar kemudian keluar dari
Pikandelan. Tidak berselang beberapa lama datanglah Kriyan Batan Jeruk dan Dewa
Anggungan dibantu oleh Kriyan Pande dan Kriyan Tohjiwa mengamuk secara membabi
buta didalam istana. Adapun adik Raja Dalem Bekung seorang putri masih berada
didalam istana dibunuh tanpa perlawanan.
Kriyan Pande bersama Kriyah Tohjiwa
bermaksud untuk merusak pintu istana dengan kapak namun dapat dicegah oleh
Kriyan Dawuh Nginte sehingga terjadi perang tanding diantara mereka. Kriyan
Tohjiwa tewas dalam perang tanding tersebut dan Kriyan Pande menyerahkan diri.
Akhirnya pemberontakan Gusti Batan
Jeruk dan I Dewa Anggungan dapat dipadamkan dan Gusti Batan Jeruk beserta sanak
keluarganya melarikan diri dari Gelgel menuju ke arah timur dengan mengenakan
kain lembaran sudamala. memakai kampuh sutera lumut dan menyunting sehelai bunga
kembang sepatu. Demikian pula Dewa Anggungan ikut melarikan diri kearah timur.
Namun pelarian tersebut terkejar
pasukan yang setia kepada Dalem sampai di desa Jungutan Bungaya Karangasem
sehingga terjadilah perang tanding yang mengakibatkan tewasnya I Gusti Batan
Jeruk. I Dewa Anggungan kemudian meyerahkan diri tetapi hubungan kekeluargaanya
dilepas oleh keempat saudaranya dengan menurunkan derajat kebangsawanannya
menjadi Sang Anggungan dan tidak diakui lagi sebagai Dewa.
Keluarga Gusti Batan jeruk lainnya
seperti Kriyan bebengan, Kriyan Abian Nangka dan Kriyan Tusan terus
menyelamatkan diri dari kejaran pasukan yang setia kepada Raja bersembunyi di
dibawah tumbuh tumbuhan jawa yang diatasnya bertengger burung perkutut yang
sedang berkicau. Karena terhindar dari bahaya tersebut maka maka keturunannya
pantang makan jawa dan burung perkutut.
Setelah Gusti Batan Jeruk tewas maka
sanak keluarganya tidak berani lagi tinggal di Gelgel mereka berpencar ke
segala arah serta menyembunyikan indentitas dirinya (Nyineb Wangsa). Adalah
Kiyai Agung Petandakan putra pertama pangeran Nyuhaya yang ikut melarikan diri
kearah timur. Adapun janda Gusti Batan Jeruk dan anak angkatnya I Gusti Oka
dapat meloloskan diri dan tinggal di desa Budakeling (Persraman Danghyang Astapaka).
Setelah sekian lama janda Gusti
Batan Jeruk yang bernama Ni Gusti Ayu Singarsa dijadikan istri oleh I Dewa
Karangamla yang merupakan penguasa daerah Karangasem, namun dengan syarat
dikemudian hari anak angkatnya atau keturunannya diangkat sebagai penguasa di
wilayah Karangasem. Syarat tersebut disetujui maka setelah dewasa I Gusti Oka
menikah dan mempunyai 6 orang putra diantaranya Gusti Nyoman Karang yang
setelah dewasa menikah dengan keturunan I Gusti Tusan melahirkan seorang putra
bernama I Gusti Anglurah Ketut Karang ditetapkan sebagai Raja Karangasem. Pada
tahun 1661 M beliau membangun Puri Amlapura yang terletak di Puri Kelodan
sekarang, beliaulah yang menurunkan Raja Raja Karangasem dan Lombok.
Setelah pemberontakan Gusti Batan
Jeruk dapat dipadamkan maka Kriyan Dawuh Nginte ditetapkan sebagai patih Agung
merupakan keturunan Arya Kepakisan juga diberi julukan Ki Gusti Dawuh dan Dalem
Seganing adik Dalem Bekung ditetapkan sebagai raja muda. Dalem Bekung kembali
memerintah kerajaan Gelgel dibantu oleh adiknya Dalem Sagening karena Dalem
Bekung kurang cerdas dalam melaksanakan pemerintahan.
Sesudah berselang beberapa lama dikisahkan Kriyan Pande menghadap Dalem Pamahyun untuk mohon ampun atas perbuatannya ikut serta dalam pemberontakan Gusti Batan Jeruk atas prakarsa Kyiyan Dawuh Manginte dan Kriyan Dawuh Baleagung ayah Kriyan Pande.
Sesudah berselang beberapa lama dikisahkan Kriyan Pande menghadap Dalem Pamahyun untuk mohon ampun atas perbuatannya ikut serta dalam pemberontakan Gusti Batan Jeruk atas prakarsa Kyiyan Dawuh Manginte dan Kriyan Dawuh Baleagung ayah Kriyan Pande.
Dalem Bekung menyambut baik
menyerahan diri tersebut dan memberikan pengampunan terhadap Kriyan Pande
mengingat Jasa Kriyan Pande yang telah meyelamatan kedudukan Raja Gelgel.
Kriyan Pande kemudian diberikan tugas sebagai kepala pasukan dalam pertempuran
ke daerah Sumbawa berhasil dengan gemilang dan penyerangan Kerajaan Bali dari
daerah Tuban menggunakan perahu layar kriyan pande tertembak giginya hingga
rontok dan peluru musuh tersebut disemburkan dari mulutnya.
Beliau lalu mengangkat senjata
sambil berteriak mudah mudahan peluru ini mengenai musuh dan Ki Gusti Nginte
menimpali mudah mudahan berhasil dan saya akan mohonkan hadiah daerah sebelah
timur sungai Unda. Peperangan ini berhasil dengan Gemilang dan atas permohonan
Kriyan Nginte, Dalem Bekung kemudian menganugrahkan daerah sebelah Timur sungai
Unda kepada Kriyan Pande.
Pada Jaman pemerintahan Dalem
Pmahyun Bekung pola pikir beliau mengalami perubahan dengan tidak mau lagi
menerima saran dan usul dari keempat pamannya yaitu I Dewa Geding Artha, I Dewa
Nusa, I Dewa Bangli dan I Dewa Pagedangan karena masih bersaudara dengan Sang
Anggungan yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dalem Bekung. Beliau
memerintahkan keempat pamannya untuk keluar dari Istana Gelgel dan masing
masing diberikan tempat pemukiman yang baru :
- I Dewa Gedong Arta bersama keluarga pergi menuju Desa Manggis
- I Dewa Nusa bersama keluarga menuju Desa Sibang
- I Dewa Bangli pergi menuju Desa Bangli
- I Dewa Pagedangan menuju desa Tohpati.
Dalem Pamahyun Bekung kemdian
menyuting seorang putri bernama Sri Dewi Pamahyun dan tidak berselang beberapa
lama beliau menyunting seorang putri lagi yang bernama I Gusti Ayu Samwantiga
DALEM DI MADE
Putra Mahkota dari Dalem Sagening setelah dinobatkan menjadi
Raja di Kerajaan Gelgel bergelar Dalem Di Made atau Sri Di Made. Dalam
kehidupan keagamaannya beliau lebih mengutamakan ajaran Siwa dibandingkan
dengan agama Budha terbukti dalam kitab “Srat Raja Purana” gelar baginda
disebutkan “Adi Paramartha siwa”. Sekalipun demikian beliau tidak mengabaikan
ajaran agama Budha karena penduduk di Bali kebanyakan memeluk kudua agama
tersebut yang dinamakan agama Siwa Budha.
Semasa beliau memerintah adalah Kiyai Agung Maruti yang
menjabat sebagai patih Agung yang merupakan cucu dari Kiyai Widya, untuk
jabatan Demung dijabat oleh Kiyai Kaler dan Tumenggung dijabat oleh Kiyai
Babelod yang kesemuanya itu masih satu hubungan kekeluargaan. Patih Agung yang
masih muda tersebut bertenaga seperti angin topan “ Maruti adalah nama lain
dari hanoman yang merupakan salah seorang abdi Ramayana yang termasyur akan
kedigjayaannya dalam perang melawan Rahwana.
PEMBERONTAKAN DI NUSA PENIDA
Menurut “Babad Blahbatuh” disebutkan bahwa semasa
Pemerintahan Dalem Di Made telah terjadi pemberontakan terhadap kekuasaan
kerajaan Gelgel di Nusa Penida oleg Dalem Bungkut. Untuk mengatasi pemberotakan
tersebut Dalem Di Made kemudian menugaskan Ki Bogol/ Kyai Jelantik Bongahya
untuk bertindak sebagai pimpinan pasukan Gelgel ke daerah Nusa Penida.
Laskar Gelgel bertolak dari pantai Kusamba dengan pasukan
yang berkuatan 200 orang prajurit pilihan. Perjalanan Kyai Jelantik disertai
oleh istrinya Gusti Ayu Kaler dan senjata sakti andalannya “ Ki Pencok Sahang”.
Setelah menempuh satu jam perjalanan maka sampailah mereka di suatu tempat yang
bernama Jungut Batu. Disana telah menanti rakyat Nusa Penida yang tertindas
oleh pemerintahan Dalem Bungkut di Nusa Penida dan kedatangan laskar Gelgel
sangat diharapkan untuk membebaskan dirinya dari belenggu kekuasaan Dalem
Bungkut.
Perlawanan Dalem Bungkut tidak berlangsung lama karena tidak
mendapat dukungan penh dari rakyatnya sehingga memungkinkan Kiyai Jelantik
berhadapan langsung dengan Dalem Bungkut. Dalam perang tanding tersebut Dalem
Bungkut menderita kekalahan dan beliau tewas terkena sabetan keris sakti Ki
Pencok Sahang. Sisa pendukungnya kemudian menyerahkan diri karena pimpinannya
sudah tidak ada lagi. Keamanan dan ketentraman daerah Nusa Penida akhirnya
kembali normal dan Kiyai Jelantik kembali ke Gelgel untuk melaporkannya kepada
Dalem Di Made. Keberhasilan Kyai Jelantik memadamkan pemberontakan di Nusa
Penida mendapat penghargaan dari Dalem Di Made.
EKSPEDISI KE WILAYAH BLAMBANGAN
Menurut ‘Kidung Pamancanggah” disebutkan bahwa pada masa
pemerintahan Dalem Di Made telah dilakukan pertemuan penting di istana Gelgel
yang dihadiri oleh seluruh pemuka pemuka di wilayah Bali yang mana pertemuan
tersebut membahas tentang perebutan wilayah Kerajajaan Gelgel didaerah Pasuruan
yang dilakukan oleh Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Seperi diketahui bahwa pada Jaman Pemerintahan Dalem
Waturenggong yang merupakan masa Keemasan Kerajaan Gelgel wilayahnya meliputi
Pasuruan dan Blambangan di Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sumbawa. Dalam
pertemuan tersebut disepakati bahwa wilayah tersebut harus direbut kembali dan
Dalem Dimade akan mengirimkan pasukan dalam jumlah besar untuk melaksanakan
misi tersebut.
Adalah Kiyai Wayahan Pemandekan dan adiknya Kiyai Made Pemandekan anak Jawa Cokorda Winalwan Raja Tabanan Kiyai Pacung ditunjuk oleh Dalem Di Made sebagai pimpinan laskar Bali untuk membebaskan wilayah Blambangan dari pendudukan Kerajaan pasuruan Timur dengan kekuatan laskar 20.000 pasukan. Maka pada hari yang ditentukan yaitu sasih keempat Minggu pon berangkatlah pasukan dari Bali dengan persenjataan lengkap dan mendarat di pantai Jawa Timur.
Adalah Kiyai Wayahan Pemandekan dan adiknya Kiyai Made Pemandekan anak Jawa Cokorda Winalwan Raja Tabanan Kiyai Pacung ditunjuk oleh Dalem Di Made sebagai pimpinan laskar Bali untuk membebaskan wilayah Blambangan dari pendudukan Kerajaan pasuruan Timur dengan kekuatan laskar 20.000 pasukan. Maka pada hari yang ditentukan yaitu sasih keempat Minggu pon berangkatlah pasukan dari Bali dengan persenjataan lengkap dan mendarat di pantai Jawa Timur.
Rupanya kedatangan pasukan dari Bali telah diketahui oleh
Kerajaan Mataram sehingga pertempuran yang sengit bisa dihindarkan lagi.
Pasukan dari Bali walaupun jumlahnya lebih sedikit namun tidak sedikitpun
menunjukkan rasa takut mereka terus bertempur sampai titik darah penghabisan.
Namun demikian karena kalah dalam jumlah pasukan maka Laskar Bali dapat dipukul
mundur oleh Kerajaan Mataram.
Merasa kekalahan sudang diambang mata maka sebagai pimpinan
pasukan Kiyai Wayahan Pemandekan memerintahkan adiknya Kiyai Made pemandekan
untuk mundur dan segera balik ke Bali. Sedangkan Kiyai Wayahan Pemandekan terus
bertekad maju ke garis depan tanpa memikirkan keselamatan dirinya. Beliau
dikurung oleh ratusan prajurit Mataram, walaupun beliau kebal dan tidak terluka
sedikitpu oleh senjata musuh namun lama kelamaan tenaga beliau habis sehingga
jatuh lemas ditanah.
Pada saat itulah beliau berwasiat “ Semoga keturunanku kelak
turun temurun tidak ada yang kebal agar tidak mengalami siksaan seperti yang
kualami” Di Hadapan Raja Mataram beliau mengatakan bahwa beliau telah kalah dan
sekarang menjadi tawanan dan sebagai seorang kesatria maka kekalahan harus
ditebus dengan kematian. Beliau mempersilahkan Raja Mataram untuk membunh
dirinya.
Raja Mataram termanggu dan kagum akan keberanian serta jiwa
satria Kiyai Wayahan Pemandekan dan merasa yakin bahwa tawanan ini bukanlah
orang sembarangan. Raja Mataram kemudian menyakan asal usul Kiyai Wayahan
Pemandekan dan dijawab oleh Beliau bahwa beliau adalah anak dari Raja Winalwan
yang berkuasa di Tabanan keturunan Arya Kenceng dari Kerajaan Majapahit.
Raja Mataram semakin tertarik akan prilaku tawanannya ini
dan menawarkan kepada Kiyai Wayahan Pemandekan untuk tinggal di Mataram karena
orang orang seperti inilah yang dibutuhkan oleh Kerajaan Mataram untuk
mempertahankan wilayah kekuasaanya. Bahkan Raja Mataram memberikan anak
perempuannya untuk dijadikan istri oleh Kiyai Wayahan Pemandekan agar kelak
menurunkan putra putra yang perkasa seperti ayahnya. Demikianlah sejak itu
Kiyai Wayahan Pemandekan tinggal di Kerajaan Mataram dan dari pernikahannya
tersebut lahir seorang putra yang diberi nama Raden Tumenggung.
Dengan kekalahan tersebut maka gagal pula usaha dari
Kerajaan Gelgel untuk merebut kembali wilayah Blambangan yang dulu dikuasai
pada jaman pemerintahan Dalem Waturenggong dari tangan Kerajaan Mataram.
Berita VOC menyebutkan bahwa pada waktu yang bersamaan
wilayah Kerajaan di wilayah Timur yaitu Kerajaan Bima telah direbut oleh
kerajaan Makasar dibawah pemerintahan Sultan Alaudin. Kerajaan Bali dibawah
pimpinan Dalem Di Made pernah menjalin persahatan dengan Sultan Alaudin yang
didesak oleh kepentingan bersama dalam rangka membantu desakan dari VOC yang
semakin meluas di wilayah Nusantara. Dengan adanya peristiwa tersebut maka
persahabatan antara Kerajaan Gelgel dan Makasar menjadi terputus pada tahun
1633.
PEMBERONTAKAN SAGUNG MARUTI
Setelah masa pemerintahan Dalem Segening berakhir, akhirnya
Gelgel diperintah oleh Dalem Di MAde sekaligus sebagai raja terakhir masa
kerajaan Gelgel. Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dalem Segening tidak
dapat dipertahankan oleh Dalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dalem Di Made
terlalu memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada pengabihnya I Gusti Agung
Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya memilih untuk meninggalkan puri.
Hal inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh I Gusti Agung
MAruti untuk menggulingkan pemerintahan Dalem Di Made. Usaha ini ternyata
berhasil, Dalem Di Made beserta putra-putranya menyelamatkan diri ke desa
Guliang diiring oleh sekitar 300 orang yang masih setia. Disinilah Dalem Di
Made mendirikan keraton baru. Hampir selama 35 tahun Gelgel mengalami kevakuman
karena Dalem Di Made telah mengungsi ke Guliang (Gianyar).
Sementara Maruti menguasai Gelgel. Hal ini justru membuat
Bali terpecah-pecah yang mengakibatkan beberapa kerajaan bagian seperti Den
Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan dan Bangli ikut menyatakan
diri merdeka keadaan ini diperparah dengan wafatnya Dalem Di Made di keraton
Guliang. Dengan wafatnya Dalem Di Made, membuat para pembesar kerajaan menjadi
tergugah untuk mengembalikan kerajaan kepada dinasti Kepakisan. Hal ini
dipelopori oleh tiga orang pejabat keraton Panji Sakti, Ki Bagus Sidemen, dan
Jambe Pule, mereka akhirnya menyusun strategi unuk menyerang Maruti yang
berkuasa di Gelgel.
Penyerangan dilakukan dari tiga arah secara serentak yang
membuat Maruti dan pengikutnya tidak sanggup mempertahankan Gelgel. Maruti
berhasil melarikan diri ke Jimbaran kemudian memilih memukim di Alas
Rangkan.kerajaan Klungkung. Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang bernama
Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan dari tangan pemberontak dan
memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di Klungkung, namun
kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap mempertahankan kemerdekaannya.
Raja Klungkung, Dewa Agung, diposisikan sebagai pimpinan spiritual dengan gelar
Susuhunan Bali dan Lombok.
……….oo (BJ)oo……..
Sabtu, 06 Oktober 2012
Sabtu, 22 September 2012
AGAMA HINDU
MASUKNYA AGAMA HINDU DI
INDONESIA
Berdasarkan
beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya
berkembang
di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi
menerima
wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda.
Dari
lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok
dunia,
yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya
sampai
ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama
Hindu
ke Indonesia.
Krom
(ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam
bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan
bahwa
masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan
jalan
damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee
(ahli - India tahun 1912).
Menyatakan
bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh
para
pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa
(Indonesia)
mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat
untuk
memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan
hubungan
dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi
penyebaran
agama Hindu di Indonesia.
Moens
dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan
bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap
penyebaran
agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh
kebudayaan
Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke
Indonesia.
Data
Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data
peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari
India
ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan
lontar-lontar
di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama
Hindu
dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan
dan
India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam
penyebaran
agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti
seperti:
Prasasti
Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti
ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada
membuat
pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci
dari
Beliau.
Prasasti
Porong (Jawa Tengah)
Prasasti
yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan
Rsi
Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang
diberikan
kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya
perjalanan
suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya
untuk
Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi
lautan-lautan
luas demi untuk Dharma.
AGAMA
HINDU DI INDONESIA
Masuknya
agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat
diketahui
dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad
ke
4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai
di
Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai
kehidupan
keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu
didirikan
untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman".
Keterangan
yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada
suatu
tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan
"Vaprakeswara".
Masuknya
agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar,
misalnya
berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno
ke
dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab
Suci
Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah.
Disamping
di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa
Barat
mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni
prasasti
Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan
Lebak.
Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf
Pallawa.
Dari
prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja
Purnawarman
adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang
gagah
berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa
Wisnu"
Bukti
lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya
yang
menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja
Tarumanegara.
Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman
adalah
penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari
Tuhan
Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa
Tengah,
yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu.
Prasasti
ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih
muda
dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa
Tri
Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,
diperkirakan
berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan
lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa
sansekerta
dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja
Sanjaya
pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi:
"Sruti
indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa,
Dewa
Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya
kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng
dekat
Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan
Arca
Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula
adanya
perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu
berkembang
juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti
Dinaya
(Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf
Jawa
Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan
oleh
Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli
Veda,
para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha
adalah
salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan
suci
yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan
Hindu
di Jawa Timur.
Kemudian
pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan
bergelar
Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan
sebagai
pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah
Dharma
Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan
Sumedang
tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah
dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun
1042-1222),
sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak
muncul
karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha,
Kitab
Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan
Singosari
(tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah
Candi
Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan
kehinduan
pada jaman kerajaan Singosari.
Pada
akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan
Majapahit,
sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa
Majapahit
merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu.
Hal
ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan
Suci
Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku
Negarakertagama.
Selanjutnya
agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di
Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan
adanya
prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa
Bedahulu,
Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa
Timur,
yang berasal dari abad ke-8.
Menurut
uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu
agama
Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada
masa
pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya
sekte-sekte
yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan
melalui
Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan
sebagaimana
termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan
adanya
pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan
atas
jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura
Silayukti.
Perkembangan
agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali
(tahun
1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis
pengamalan
ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama
Hindu
mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha
(Dwijendra)
ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang
sastra,
agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci,
seperti
Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan
selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali
pembinaan
kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun
1921
usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja.
Sara
Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di
SIngaraja,
Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di
Klungkung,
Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme
tahun
1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan
pada
tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian
pada
tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan
Dharma
Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam
Campuan
yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan
pada
tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali
dengan
menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan
menetapkan
Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya
menjadi
Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Salinan Lontar TENUNG WRESPATI KALPA Murda Lontar : Tenung Wrespati Kalpa Druwe : Giriya Kawy...
-
TENUNG PEWACAKAN WETON Redite Pahing Wuku Sinta Dora, Tungleh, dangu, Sri.Urip 14, lintang gajah, nga, wikan, prewira, kweh ...
-
BABAD BRAHMANA MAS I.Bali di Bawah Majapahit Pada tahun 1343 Masehi atau tahun 1265 Saka Bali Aga berhasil ditaklukkan oleh Majapahit...