BAB I
Pendahuluan
Om Swastyastu, Om Awignamastu.
Sembah sujud hamba, dari hati yang suci dan bersih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan semua prabawa Beliau, terutama sekali dalam manifestasi Beliau sebagai Sang Hyang Aji Saraswati, dewanya ilmu pengetahuan, yang menguasai segala jenis pengetahuan suci. Juga sembah hamba kehadapan Ida Bhatara Hyang Sinuhun, yang sudah menyatu didalam bentuk sari-sari Om Kara Atma Mantram, yang sudah berlingga didalam lepihan lontar dan tembaga serta sudah suci oleh kesucian Sapta Gangga, sudah pula dipuja dengan Astra Mantra dilanjutkan dengan Puja Pranayama, Jilga Krura oleh para Maha Rsi yang bijaksana dengan kemampuan janyana yang maha tinggi, suci bersih memuja kebesaran Hyang Widhi Wasa.
Dengan kerendahan hati hamba bersujud memohon waranugraha, agar mampu, diberikan sinar suci serta tuntunan dalam menyusun kisah perjalanan, penyebutan nama, pengungkapan kata serta pikiran yang tertuang dalam karya sastra Raja Purana Jagat Let.
Semoga dengan kebesaran prebawa Beliau dan kemaha mulyaan Beliau, hamba dijauhkan dari segala kutuk dan mala petaka, tulah pamidi cakra bawa dan raja pinulah. Semoga Beliau berkenan mengampuni semua kesalahan yang hamba perbuat dan memberikan anugrah kebahagiaan lahir batin, kesentosaan dan umur yang pantas kepada kita semua. Mendapatkan kebahagiaan lahir batin sakula gotra santana hamba, sehingga mendapatkan jagaditha seusia bhumi. Om Nama Siwa Ya.
Kata Purana bisa jadi sudah tidak asing lagi bagi kita semua karena Purana juga dikenal dengan nama “Pancama Weda” yaitu Weda kelima setelah Catur Weda, karena kitab ini memberikan penjelasan ajaran Weda di dalam bentuk cerita yang sangat mudah dipahami oleh masyarakat umum khususnya di jaman Kali Yuga ini.
Sedangkan bila kita tinjau dari arti kata di dalam bahasa Sanskerta, kata Purana berarti “Tua atau Kuno”. Dalam hal ini kata Purana mempunyai arti kitab yang menguraikan suatu kejadian di masa lampau yang disajikan di dalam bentuk cerita dan ajaran ajaran mulia kemanusiaan. Jika ditinjau dari pengertian puitis, kata purana juga bisa diartikan dari dua suku kata yaitu Purä –Nawa (kuno-baru ).
Dengan kata lain Purana adalah suatu kitab yang menguraikan suatu kejadian yang telah terjadi dimasa lampau di dalam bentuk cerita yang berisi ajaran ajaran yang sesuai dengan ajaran Weda yang selalu baru dan bersifat segar serta tidak pernah membosankan. Selalu segar dan tidak pernah membosankan maksudnya adalah meskipun jika cerita ini didengarkan atau diceritakan berulang kali, namun kisah kisah di dalam Purana selalu akan menarik karena didalam kisah tersebut terkandung nilai rohani yang sangat kuat dan memberikan kepuasan kepada sang roh yang bersemayam di dalam badan.
BAB II
Jaman Bahari Nusantara.
Dalam untaian sejarah Nusantara terdapat tapsir bahwa sebuah kerajaan yang dianggap besar dan berhasil adalah kerajaan yang mampu menguasai daerah-daerah di bantaran aliran sungai, dari hulu sampai hilir. Sebab hal ini membuktikan bahwa kerajaan yang bersangkutan sudah mampu atau mempunyai kekuatan besar menggabungkan daerah pedalaman yang agraris dan daerah muara sungai sampai laut yang maritim.
Sejarah Nusantara telah mencatat kerajaan-kerajaan yang berhasil melakukan hal semacam itu, yaitu Kahuripan Erlangga, Singhasari Kertanegara, dan Majapahit Raden Wijaya-Hayam Wuruk.
Kejayaan bahari pertama dalam skala besar ditunjukkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Bagaimana dapat dilihat dari stuktur kapal- kapal perang mereka disekitaran abad ke 7 Masehi. Dapat kita telusuri di dalam sebuah relief di dinding Candi Borobudur yang terkenal itu.
Seorang ahli arkeologi jaman Belanda di Indonesia, yang bernama Van Erp, pernah khusus datang ke Indonesia untuk mempelajari sebelas relief kapal laut di candi Borobudur. Ia berkesimpulan bahwa kapal-kapal itu dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok :
1. perahu lesung sederhana,
2. perahu lesung yang dipertinggi dengan cadik,
3. perahu tanpa cadik.
Bagaimana Sriwijaya bisa menguasai lautan Nusantara di wilayah seluruh Sumatra sampai Malaya sekarang adalah karena kebijaksanaannya dalam memperkerjakan suku Orang Laut yang piawai dalam teknologi pembuatan kapal dan strategi perang laut. Suku Orang Laut mendiami daerah muara sunga-sungai dan hutan bakau di pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan pantai barat Semenanjung Malaya. Waktu itu, Sriwijaya telah berhasil menjadi kekuatan perdana dalam sejarah Nusantara yang mendominasi wilayah sekitar perairan timur Pulau Sumatera, yang merupakan jalur kunci perdagangan dan pelayaran internasional (sampai saat ini). Ia bergerak ke perairan Laut Jawa untuk menguasai jalur pelayaran rempah-rempah dan bahan pangan hasil pertanian.
Akan tetapi kerajaan Sriwijaya hanya kerajaan maritim dan bukan agraris juga, itulah sebabnya tidak bisa bertahan lama. Di beberapa catatan sejarah diuraikan bahwa setiap kota pelabuhan seharusnya ditopang oleh hasil pertanian yang menjadi komoditas unggulan dari wilayah pedalaman. Ketangguhan agraria dan maritim adalah pilar-pilar utama untuk kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara.
Ketangguhan agraris dan maritim pertama kali diperlihatkan oleh kerajaan Singhasari di bawah pemerintahan raja Kertanegara pada abad ke-13 Masehi. Cikal bakal kerajaan ini sejak abad ke-10 oleh kerajaan Medang, kerajaan Kahuripan, lalu kerajaan Kediri telah punya kemampuan yang kuat menguasai wilayah tepian aliran sungai Brantas dari hulu sampai hilirnya, menggabungkan kekuatan agraria dan maritim. Itulah sebabnya saat raja Kertanegara tampil, usaha memperluas wilayah kekuasaan untuk menguasai lautan Nusantara menjadi tidak terhambat.
Dalam Kakawin yang termuat dalam naskah Negara Kertagama, raja Kertanegara telah mengawali perluasan wilayah kekuasaanya sampai ke luar Pulau Jawa, yang meliputi daerah seluruh Dwipantara. Dengan kekuatan armada laut yang tidak ada tandingannya. Pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan balatantara bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama-sama dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara.
Tahun 1284 Masehi, ia menaklukkan Bali dalam penyerangan laut ke timur. Dua pilar utama kekuatan agraris dan maritim telah membawa Kertanegara menaklukkan : Pahang, Melayu, Gurun (Indonesia Timur), Bakulapura (Kalimantan), Sunda, Madura, dan seluruh Jawa.
Puncak kejayaan dari kerajaan bahari baru tercapai pada abad ke-14, ketika Majapahit menguasai seluruh Nusantara. Bahkan pengaruhnya meluas sampai ke negara-negara asing tetangganya. Kerajaan Majapahit di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada telah berkembang pesat menjadi kerajaan besar yang mampu memberikan jaminan bagi keamanan perdagangan di wilayah Nusantara.
Keinginan yang kuat untuk membangun kerajaan yang mengutamakan kekuatan maritim dan agraria telah menjadi tekad Raden Wijaya, anak menantu Kertanegara. Cita-cita itu diwujudkan dengan memilih lokasi ibukota Kerajaan Majapahit di daerah Tarik di hilir sungai Brantas dengan maksud memudahkan pengawasan perdagangan pesisir dan sekaligus dapat mengendalikan produksi pertanian di pedalaman wilayah kekuasaan Majapahit.
Penyatuan Nusantara oleh Majapahit melalui penyerangan-penyerangan bala tantara bahari dimulai tak lama setelah Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa yang terkenal itu pada tahun 1334 Masehi : tan amukti palapa,
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa. Sira Gajah Mada lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, ring Doran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,Tumasik, samana ingsun amukti Palapa”
Penyerangan laskar bahari ini tercatat dalam kitab Negara Kertagama anggitan Mpu Prapanca pada tahun 1365. Buku ini membagi wilayah kekuasaan Majapahit dalam empat kelompok wilayah :
(1) wilayah-wilayah Melayu dan Sumatera : Jambi, Palembang, Samudra dan Lamori (Aceh),
(2) wilayah-wilayah di Tanjung Negara (Kalimantan) dan Tringgano (Trengganu),
(3) wilayah-wilayah di sekitar Tumasik (Singapura),
(4) wilayah-wilayah di sebelah timur Pulau Jawa (Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku sampai Irian).
Daftar lengkap nama-nama wilayah taklukan Majapahit tersebut ada di buku halaman 82-84 (Fruin-Mess mengumpulkannya berdasarkan Pararaton, Negara Kertagama, dan Hikayat Raja-Raja Pasai). Fruin-Mess (1919) menulis di halaman 84 (diterjemahkan dari bahasa Belanda),
“Dengan demikian, orang akan melihat bahwa luas wilayah Majapahit kurang lebih sama dengan wilayah Hindia Belanda dikurangi dengan Jawa Barat karena dalam daftar tak disebutkan nama Pasundan”
Bahkan juga terungkap dalam catatan sejarah bahwa pengaruh Kerajaan Majapahit telah sampai kepada beberapa wilayah negara asing : Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China.
II.1. Kerajaan Melayu Sri Boja.
Dari tinjauan yang dilakukan oleh beberapa ahli sejarah, di sekitar tahun 500 Masehi, di wilayah Sumatra Utara banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil, seperti : Kandhari, Pali, Malayu Sri Boja dan masih banyak lagi kerajaan kecil lainnya. Kerajaan kerajaan kecil tersebut kebanyakan didirikan oleh para pengungsi dari India. Selama beberapa generasi daerah Sumatra Utara tentram dengan raja-raja yang memerintah dengan sangat bijak, karena membawa banyak budaya dan agama serta kepercayaan dari India.
Para bangsawan dan para Rsi India kebanyakan berdiam di wilayah kerajaan Kandhari dan Kerajaan Pali. Keamanan itu bisa bertahan sampai sekitar tahun 682 – 686 Masehi. Raja Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan penyerangan ke wilayah Malayu Sriboja keselatan dan dibagian utara wilayah Sumatra, juga menaklukan Kerajaan Tarumanegara. Diantara kerajaan-kerajaan Malayu, Kerajaan Kendari dan Kerajaan Pali dapat dikuasai, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit (Tahun 683 Masehi), Prasasti Talang Tuo (Tahun 684 Masehi) dan Prasasti Kota Kapur.
Akibat serangan Tentara Sriwijaya dibawah pemerintahan Dapunta Hyang Sri Jayanaga, wilayah Malayu Sriboja menjadi tidak tenang, hal itu yang kemudian membuat para bangsawan dan para Rsi memutuskan untuk meninggalkan wilayah Malayu Sriboja, tujuan mereka adalah mencari daerah yang baru di luar kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Para bangsawan dan Rsi yang dulunya berasal dari India tersebut menyingkir kearah timur dengan perahu sampai mendarat di wilayah Nusa Goh atau dikenal dengan nama Pulau Sapi.
Di pulau inilah mereka kemudian mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil yang masih sunyi dan terpencil. Nama yang baru didirikan itu sama dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang beragama Budha. Lama-kelamaan menjadi kerajaan Bali dalam tahun 683 Masehi. Seperti yang termuat dalam pustaka Radya-Radya Ri Bhumi Nusantara I.1. 1984 : 64. Pernyataan pustaka ini bisa dicocokkan dengan penelitian R. Goris dalam buku yang berjudul “Bali Kuna”, ternyata ada korelasi yang sejalan, bahwa peninggalan kuno di Bali bercirikan Agama Budha.
II.2. Kerajaan Mataram Hindhu.
Pada tahun 732 Masehi prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram, Sri Maharaja Sanjaya secara resmi menjadi raja Pulau Jawa tidak termasuk tanah Sunda. Tahun 730 Masehi, Raja Sanjaya dengan gemilang berhasil menaklukkan Sriwijaya, Ligor (Thailand), Hujung Medini (Malaysia Barat). Dan Raja Sanjaya pula yang berhasil “mengHindukan” kerajaan Bali di sekitar tahun 730 Masehi.
Raja Sanjaya dalam pemerintahannya gemar memelopori dan membudayakan serta mengembangkan ajaran agama Hindu dalam bentuk bangunan Linggayoni. Termasuk prasasti Canggal yang didirikannya. Rsi Markandya yang merupakan Purohita (Pendeta Kerajaan Sanjaya). pada tahun 730 Masehi tercatat pergi ke arah timur untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari Pasraman Gunung Wukir (Demalung) tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga (Banyuwangi) kemudian berakhir di Gunung Agung (Lingga Acala) tempat Pura Besakih sekarang.
Di lereng
Gunung Raung juga banyak ditemukan barang peninggalan kuno. Tepatnya di sekitar
Desa Girimulya, Kecamatan Glenmore dan di sekitar Tirta Empul, di Jawa Timur
ditemukan juga peninggalan-peninggalan
kuno berupa arca-arca kecil pratima. Di antaranya meliputi : arca perunggu Tri
Murti ditemukan tahun 1984, arca Rsi Markandya seukuran ibu jari ditemukan
tahun 1985, tempat Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, dua buah Bokor
Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, Gentha Pandita
dan tujuh bilah keris ditemukan tahun 1976. Kemudian ditemukan juga batu
Andesit diperkirakan dipakai untuk
mengolah obat saat itu. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan
kuna.
BAB III
Perkembangan Agama Hindu Budha di Bali
III.1. Awal Perkembangan Agama Hindu Budha di Bali.
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi.
Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Siwas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siwa Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8, Paksa Siwa Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama Hindu sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.
Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca Siwa di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Siwaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Siwakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi pembauran antara Siwa dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan terjadinya pembauran antara Siwaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warmadewa, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairawa dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairawa di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Siwaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Warmadewa dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Saat itu di Bali berkembang ajaran Hindu yang disebut sekta.
Sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya.
Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siwa Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Wrhaspati Tattwa, Tattwajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Widhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siwa Siddhanta.
Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada. Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini.
Awal mula perpaduan Agama Siwa Buddha tidak lepas dari sejarah Kerajaan Mataram kuno yang terdiri dua dinasti, yakni Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Wangsa Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732. Beberapa saat kemudian, Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua wangsa ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
Wangsa Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kamboja). Wangsa ini bercorak Buddha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan dibanding Wangsa Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun. Peninggalan terbesar Wangsa Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).
Di setiap tingkatan Borobudur dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana. Ada pula relief-relief cerita jātaka.
Wangsa Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya atau Rakeyan Jamri atau Prabu Harisdama, cicit Wretikandayun, raja kerajaan Galuh pertama. Pada saat menjadi penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Maharani Sima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa atau Sena atau Sanna, Raja Galuh ketiga. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 Masehi). Sena di tahun 716 Masehi dilengserkan dari tahta Galuh oleh Purbasora.
Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Raja Tarusbawa. Ironis sekali, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanagara, sehingga kerajaan Tarumanagara terpecah dua menjadi kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh'
Di kemudian hari, Sanjaya, yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723 – 732 Masehi), sehingga bekas wilayah kekuasaan Tarumanagara dapat disatukan kembali dalam satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Galuh.
Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 Masehi. Dengan kata lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga atau Kerajaan Mataram (Hindu). Pada masa ini telah terbentuk semacam ikatan kekerabatan di antara kerajaan-kerajaan tersebut. Hal ini mempengaruhi berbagai keputusan politik pada masa-masa selanjutnya
Kekuasaan di Jawa Barat lalu diserahkan kepada putera Sanjaya dari Tejakencana, putri Raja Tarusbawa dari kerajaan Sunda, yaitu Tamperan atau Rakeyan Panaraban sedangkan penerus Sanjaya di Kerajaan Mataram adalah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara, puteri Dewasinga raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara. Jadi Rakai Panangkaran dan Rakeyan Panaraban atau Tamperan adalah saudara seayah tapi lain ibu.
Pemimpin Mataram selanjutnya adalah, berturut-turut, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung. Rakai Garung memiliki anak yaitu Rakai Pikatan. Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan Dewi Tara). Tahun 850, era Wangsa Syailendra berakhir yang ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.
Mpu Sendok adalah raja Mataram terkahir, Mpu Sendok (929-947 Masehi) menghasilkan dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu 'Sanghyang Kamahayan Mantrayana' yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang ditasbihkan, dan 'Sanghyang Kamahayanikan' yang berisi kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Bagi penulis Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan Siwa dengan Buddha dan menyebutnya "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu Tuhan.
Pada jaman pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Penyatuan Siwa dan Buddha adalah juga karena toleransinya yang sangat besar dan juga alasan yang bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan.Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X). Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata suci OM.
Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
- Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala
- Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala)
- Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala)
Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata). Disamping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung (istadewata).
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447 Masehi. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan berkelompok 4 disebut catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa saat itu masyarakat Majapahit sudah amat plural. Hindu sendiri terdiri dari tiga agama besar. Agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Syiwa. Lalu ada Buddha, Tantrayana, Syiwa Buddha dan Buddha Bhairawa. Semua mendapat tempat di Majapahit tanpa diskriminasi. Penganut animisme juga banyak. Oleh pemeluk agama lain, mereka tidak dianggap kafir sebab inilah agama asli warisan nenek moyang. Kerajaan besar ini amat toleran dengan keberagamaan karena belajar dari kekonyolan kerajaan terdahulu. Pelajaran dari masa lalui lah yang membuat Majapahit menjadi negara besar, terbuka dan toleran terhadap semua ideologi, bahkan terhadap agama yang amat baru dan aneh.
Di era Majapahit, Eropa sudah terbagi menjadi berbagai kerajaan, sebagian masih eksis hingga kini. Agama Katolik Roma yang berumur 14 abad sedang mengalami puncak kejayaan. Islam yang lahir abad ke-7 juga tumbuh pesat. Kemaharajaan Ottoman menunjukkan hegemoninya di Timur Tengah, Afrika Utara, bahkan sebagian Eropa. Tarekat Rahib Katolik banyak berdiri. Saat itulah seorang rahib sempat berkunjung ke Majapahit. Orang bule dengan agama baru yang aneh ini di Majapahit diterima dengan baik. Setelah kunjungan selesai, ia dibiarkan pergi.
III.2. Peradaban Hindu Budha.
Peradaban awal yang ditemukan pada stupa-stupa dan batu bertulis di situs Pejeng dengan angka tahun Isaka 700 (778 Masehi) dalam bahasa Sanskerta adalah kutipan sebuah mantra Budha:
Ye Dharma Hetu Prabawahetun Tesan Tathagato Hyawadattesanca Yo Nirodha Ewam Wadi Mahasramanah
artinya:
Keadaan tentang sebab-sebab kejadian (terciptanya dunia) sudah dijelaskan oleh Sang Budha yang maha mulia.
Beliau sudah menerangkan pula apa yang seharusnya dilakukan manusia (di dunia ini). Ini membuktikan Bali Kuna lebih dahulu mengenal Agama Budha dari pada Agama Hindu. Karena perbedaan waktu antara kedatangan para Bhiksu dengan kedatangan para misionaris Hindu (antara lain Maha Rsi Markandeya) tidak banyak, atau boleh dikatakan hampir bersamaan maka terjadilah percampuran antara dua agama itu.
Prasasti-prasasti yang bertarikh tahun 804 Isaka (tahun 882 Masehi) sudah menyebutkan nama-nama bulan kalender dengan solar system (Hindu) seperti di India berturut-turut: Waisaka, Jyesta, Ashadha, Srwana, Badrapada, Aswina, Kartika, Margasira, Pausha, Magha, Phalguna, dan Chaitra. Selain itu, prasasti batu padas yang ditemukan di Blanjong (Sanur) telah bertuliskan tahun Saka menurut sistem candra sangkala dari peradaban Hindu: Khecara Wahni Murti.
Murti = Siwa = 8; Wahni = cahaya = 3; Khecara = bintang = 9. Jadi sistem candra sangkala itu menunjukkan tahun kejadian yakni: Isaka 839 (917 Masehi). Sistem candra sangkala selain menunjukkan tahun kejadian, juga berbentuk kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai pemberitaan, dalam hal ini Khecara Wahni Murti, artinya: Bintang yang terang bercahaya bagaikan Bhatara Siwa.
Prasasti Blanjong
Oleh para ahli kalimat ini ditafsirkan sebagai pujian kepada Raja: Kesari Warmadewa yang ketika itu berkuasa dan beristana di Singhadwala, beragama Budha dari sekte Mahayana. Percampuran budaya Budha-Mahayana dengan Hindu sekte Siwa Sidantha dan sekte Waisnawa telah terjadi di Bali Kuno setidak-tidaknya sejak tahun 882 Masehi seperti yang diuraikan di atas, jauh sebelum kejadian yang sama di Jawa Timur. Percampuran Siwa-Budha di Jawa Timur baru secara resmi diakui sejak tahun 1365 Masehi oleh Mpu Prapanca dalam tulisan kekawinnya berjudul: Desawarnana, dan selanjutnya Mpu Tantular menulis hal sama pada kekawinnya: Arjuna Wiwaha (1367 Masehi) dan Sutasoma (1380 Masehi).
Di Bali, Siwa-Buddha dan Wainawa dilebur menjadi agama Hindu yang ada sekarang di bali oleh Mpu Kuturan. Sementara sejarah keagamaan orang Bali sama dengan orang Tibet. Sebelum masuk Buddha, orang Tibet memiliki agama Bon. Agama Buddha dan Bon, akhirnya menyatu seperti Siwa-Buddha di Bali.
Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja suami istri Gunaprya Dharmapatni / Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada tahun caka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988 Masehi sampai dengan tahun 1011 Masehi. Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Aga (orang Bali asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali, jadi ada orang Bali Aga dan Bali) yang sudah sejak lama memeluk dan menganut ajaran agama orang-orang Indu dari berbagai “paksa”(sekte). Yang terbanyak adalah dari sekte Indra disamping yang menganut sekte Bayu, Khala, Brahma, Wisnu, dan Syambhu. Dengan demikian di Bali terdapat 6 sekte yang dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat kurang baik ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni / Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni / Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
- Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
- Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
- Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
- Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)
Keempat orang Brahmana dari Jawa Timur bersaudara 5 orang, adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “dwijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Adapun Mpu Semeru yang berparhyangan di Besakih dan Mpu Ghana yang berparhyangan di Gelgel, karena beliau “Nyukla Brahmacari” maka keduanya tidak mengadakan keturunan. Sedangkan Mpu Kuturan yang berparhyangan di Cilayukti sebagai “Swala Brahmacari” mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali, yang ditinggalkan di Jawa bersama ibunya (Calon Arang, aku tambahin) yang kemudian kawin dengan salah satu putera Mpu Bharadah yaitu Mpu Bahula.
Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih terdapat:
- Di desa Srai, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tinggkat II Bangli, bertahun Caka 915 atau 993M
- Di desa Batur, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli, bertahun caka 933 atau 1011M
- Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula kabupaten tingkat II Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016M
- Di desa Batuan, kecamatan Sukawati kabupaten tingkat II Gianyar bertahun caka 944 (1022M)
- Di desa Ujung Kabupatendaerah tingkat II Karangasem bertahun caka 962 (1040M)
- Di Pura Kehen Bangli, kabupaten tingkat II Bangli, karena sudah rusak tidak tampak tahunnya
- Di desa Buahan, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli bertahun caka 947 (1025M)
Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam tahun-tahun tersebut dan prasasti-prasasti itu merupakan firman raja-raja yang bertahta di Bali yaitu:
- Raja Gunaprya Dharmapatni / Udayana Warmadewa yang bertahta dari tahun caka 910 sampai dengan 933(988-1011M) menerbitkan prasasti pertama dan kedua
- Cri Adnyadani yang bertahta dari tahun caka 933 sampai 928 (1011-1016M) menerbitkan prasasti yang ketiga
- Cri Dharmawangsa Wardhana Marakatopangkaja Stano Tunggadewa, yang bertahta dari tahun caka 938 sampai 962 (1016-1040M) menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh
Dari adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga sebab yaitu:
- Memenuhi permintaan raja suami istri yang disebut diatas, yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adapt dan agama untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya ketengangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
- Karena bertentangan dengan istri beliau yang menguasai magic. Sebab itu istri beliau ditinggalkan di Jawa yang dijuluki “Walu Natheng Girah” atau “Rangda Natheng Girah” (jandanya Raja Girah)
- Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi
Kesempatan yang baik itu beliau pergunakan untuk untuk datang ke Bali, karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain Senapati, beliau juga diangkat sebagai sebagai ketua Majelis ”Pakira kiran I Jro makabehan:, yang beranggotakan sekalian senapati dan para pandita Ciwa dan Budha. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar yang dihadiri oleh unsure tiga kekuatan pada saat itu, yaitu
- Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
- Dari pihak Ciwa diwakili oleh pemuka Ciwa dari Jawa
- Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama
- Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Bhatara Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (tuhan)
- Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
- Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “desa adapt”, dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tsb semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.
Di Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata). Di Bali Selatan, ada Pura Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya Kuningan. Sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama.
Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha. Pada Abad ke-16, Bali mengalami masa kejayaan di bawah Raja Dalem Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada penasihat spiritual yaitu pendeta Siwa-Buddha. Peninggalannya berupa Padmasana. Jejak-jejak kebuddhaan yang lain berupa tempat pemujaan Buddha di sejumlah pura di Bali. Jejak peninggalan tersebut, juga kebesaran konsep yang dipakai sampai sekarang masih tetap dipakai acuan oleh masyarakat Bali.
BAB IV
Tokoh-Tokoh Penyebaran
Agama Hindu Budha di Bali.
Dalam perkembangan Agama Hindu di bali terdapat enam tokoh suci yang sangat berperan penting. Keenam tokoh suci itu antara lain:
IV. 1. Maha Rsi Markandya.
Dikisahkan dalam Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang istri, berputra dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya, berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, yang berbunyi :
“Sang Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama…….”
Sang Ayati melanjutkan jejak leluhurnya menjadi seorang pertapa, beliau berputra, Sang Prana. Demikian pula adiknya, yang bernama Sang Niyata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristrikan Dewi Manaswini, berputra Maharsi Markandya. Selanjutnya Maharsi Markandya, beristrikan Dewi Dumara. menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristrikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam pustaka kuno Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, tentang asal-usul Maharsi Markandya.
Salah seorang murid Maharsi Agastya yang bernama Sang Ila putra dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan Tapa Samadhi di Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Pegunungan Dieng, seperti halnya Maharsi Markandya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang (Dieng), di Wukir Damalung, Jawa Dwipa Mandala.
Lingga di Desa Girimulya
Di dalam prasasti, yang memiliki nilai sejarah yang autentik seperti yang dikemukakan dalam prasasti Dinaya yang berangka tahun 682 Saka, (760 Masehi), dikemukakan bahwa Maha Rsi Agastya yang mengembangkan ajaran Tri Murthi Paksa di Bhumi Nusantara ini, yang merupakan penyatuan ajaran Tiga Paksa, yakni Salwa Paksa, Brahmana Paksa, dan Waisnawa Paksa, yang pada kelanjutannya kemudian berkembang juga di Bali Dwipa Mandala. Sehingga dalam prasasti Dinaya ini, Maharsi Agastya, juga Abhiseka Sri Bhatara Guru.
Seperti banyak tersurat dalam lontar dan Purana, di antaranya lontar Markandya Purana, bahwa Sang Yogi Markandya yang “kawit hana saking Hindu” (Yogi Rsi Markandya berasal dari India), melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawa Dwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang (kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng), berlokasi di Jawa Tengah. Lalu beliau melakukan Perjalanan Suci ke arah timur, tibalah di Gunung Raung, Jawa Timur. Disini beliau membuka pasraman di dampingi oleh para murid beliau yang di sebut Wong Aga (orang-orang gunung pilihan). Kemudian di Pasraman Gunung Raung beliau bersemedi, dalam semedinya beliau mendengar sabda yang menyarankan beliau untuk melanjutkan perjalanan ke arah timur yaitu ke Gunung Agung yang disebut juga dengan nama Ukir Raja.
Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali. Mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya (pemimpin-pemimpin mereka masing-masing). Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi cikal bakal desa-desa di Bali. Mereka adalah Orang Bali Mula, dan kemudian mereka lebih dikenal dengan nama Pasek Bali.
Ketika itu, orang-orang Bali Mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli, kondisi spiritual masyarakat Bali pada saat itu masih kosong. Keadaan yang demikan ini berlangsung hingga awal tarikh Masehi kurang lebih sekitar abad pertama Masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan Para Rsi dari luar pulau ke Bali. Disamping untuk mengajarkan Agama Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Menurut Lontar Bali Tattwa, untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, kemudian datanglah seorang Maha Rsi ke Bali, beliau bernama Maharsi Markandya.
Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah 800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung (Gunung Tohlangkir), untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti Mranggi (Macan), Singa, dan Ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila.
Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja, mereka kemudian mendiami wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Diantaranya kampung-kampung tua di sepanjang dataran subur yang diapit oleh dua aliran sungai, Sungai Wos Lanang dan Sungai Wos Wadon. Dataran yang membentang dari utara ke selatan dari Taro sampai Campuhan Gunung Lebah di Ubud.
Melihat keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandya memutuskan untuk kembali ke Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa murid-murid beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung. Maha Rsi Markandya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara (Homa) dan tidak menanam Panca Datu.
Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi kembali ke Gunung Tahlangkir (Tohlangkir) Bali. Kali ini mengajak serta pengikut sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam Panca dhatu di lereng Gunung Agung itu. Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat. Maka, itu wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat Maha Rsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura, yang diberi nama Pura Besakih.
Padma Tiga Pura Besakih
Maharsi Markandya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar. Tentang pembagian tanah dan kehadiran maha Rsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikang wana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara. Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduhaken wadwan ira araryan rumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,
Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan pangaci-aci (melakukan upacara), maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.
Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Entah berapa lamanya Maharsi Markandya berada di sana, lalu Beliau pergi menuju arah Barat dan sampai di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah lagi merabas hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi subak. Di tempat ini Rsi Markandya menanam jenis-jenis bahan pangan. Semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat itu juga disebut Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan ini bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi. Kehendak bahasa Balinya kahyun atau adnyana. Dari kata kahyun menjadi kayu. Kayu bahasa Sansekertanya taru, kemungkinan menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini kemudian. Di wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap pasraman Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai sekarang disebut Gunung Raung.
Pelinggih Pura Gunung Raung
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan. Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala. Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa....”
Artinya :
di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.
Berikutnya Rsi Markandya pergi ke Barat dari Payogan itu, dan sampai di sana juga membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan. Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui. Mereka bercampur dan membaur dengan orang-orang Bali Asli. Mereka mengajarkan cara bercocok tanam yang baik, menyelenggarakan yajna seperti yang diajarkan oleh Rsi Markandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu.
IV.2. Mpu Sangkulputih.
Setelah Rsi Markandya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.
Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca atau pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi tidak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
IV.3. Mpu Kuturan.
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56).
Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak jelek pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat jelek ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni atau Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni atau Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
- Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun Caka 921 atau 999 Masehi lalu berparhyangan di Besakih.
- Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun Caka 922 atau 1000 Masehi, lalu berparhyangan di Gelgel.
- Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun Caka 923 1001 Masehi, selanjutnya berparhyangan di Silayukti (Padang)
- Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha Sukla (tanggal 1), Candra Sengkala Muka Dikwitangcu (tahun Caka 928 atau 1006 Masehi lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang).
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemah Tulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :
- Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua siding
- Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
- Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Hal yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:
- Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
- Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
- Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Sekaligus dengan dikristalisasinya seluruh sekta tersebut dalam pemujaan kepada Tri Murti menjadi landasan dalam pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali. Sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).
IV. 4. Mpu Manik Angkeran
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.
IV. 5. Mpu Jiwaya.
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di jaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
IV. 6. Danghyang Dwijendra.
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Pelinggih Pura Purancak
Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat atau agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh atau klan disusun.
Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkat kan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat seperti : Pura Purancak, Pura Rambut Siwi, Pura Pakendungan, Pura Hulu Watu, Pura Bukit Gong, Pura Bukit Payung,Pura Sakenan, Pura Air Jeruk, Pura Tugu, Pura Tengkulak, Pura Gowa Lawah, Pura Ponjok Batu, Pura Suranadi (Lombok), Pura Pangajengan, Pura Masceti, Pura Peti Tenget, Pura Amertasari, Pura Melanting, Pura Pulaki, Pura Bukcabe, Pura Dalem Gandamayu, Pura Pucak Tedung, dan lain-lain.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
BAB V
Kekuasaan Jawa yang Bepengaruh Langsung
Terhadap Sistem Pemerintahan Bali
V.1. Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.
V.1.1. Berdirinya Kerajaan Kediri
Penemuan Situs Tondo wongso pada awal tahun 2007, yang diyakini para ahli sejarah sebagai peninggalan dari masa Kerajaan besar Kediri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri.
Situs Tondo wongso
Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Siwa Catur Muka atau bermuka empat.
V.1.2. Kerajaan Kediri terpecah dua
Pada tahun 963 Saka atau tahun 1041 Masehi Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharadah. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya bertahun 1289 Masehi, kitab Negarakertagama bertahun 1365 Masehi, dan kitab Calon Arang bertahun 1540 Masehi. Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.
Patung Raja Airlangga
Pada akhir November tahun 1042 Masehi, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan yang memerintah dari tahun 1042 sampai dengan tahun 1052 Masehi, dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.
Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu atau Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra. Dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri atau Panjalu atas Jenggala.
Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya yang memerintah dari tahun 1185 sampai dengan tahun 1222 Masehi berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.
Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara di tahun 1268 sampai dengan tahun 1292 Masehi, terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Masehi, Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.
V.1.3. Perkembangan politik kerajaan Kediri
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung memerintah dari tahun 1052 sampai dengan tahun 1059 Masehi. Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara yang memerintah dari tahun 1116 sampai dengan tahun1135 Masehi dari Kediri.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.
Pada tahun 1019 Masehi Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya, Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya, Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 Masehi.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12, dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukan di bawah kekuasaan Kediri.
V.1.4. Sistem Pemerintahan Kerajaan Kediri
Dalam sejarah pemerintahan kerajaan Kediri selama berdirinya, terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan, adapun raja – raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri antara lain :
Ø Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu
Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104 Masehi. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.
Ø Kameshwara
Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakala Bhuwana Tushtikarana Sarwwani Waryya Wiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai Kameshwara I, yang berkuasa pada tahun 1115 sampai dengan tahun 1130 Masehi. Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab Samaradana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibu kotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.
Ø Jayabaya
Raja kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarrya Dipa Handa Bhuwana Palaka Parakrama Nindita Digjayo Tungga Dewa Nama Shri Gandra. Dengan prasatinya pada tahun 1181 Masehi. Raja Kediri paling terkenal adalah Prabu Jayabaya, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan daya berpikir yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.
Ø Prabu Sarwaswera
Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera sangat mencintai rakyatnya, sehingga beliau menjadi sangat dekat dengan rakyat. Tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan, segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
Ø Prabu Kroncharyadipa
Namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai pemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip, menjunjung tinggi kebenaran dalam pemerintahannya.
Ø Srengga Kertajaya
Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh prapanca.
Ø Pemerintahan Kertajaya
Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.
V.1.5. Kehidupan sosial masyarakat kerajaan Kediri.
Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra.
Hasil sastra tersebut, seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan Kameswara.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Siwa Catur Muka atau bermuka empat.
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada jaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 Masehi.
Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.
1. Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
2. Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
3. Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta.
Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.
Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga, yang berkuasa dari tahun 1000 sampai dengan 1049 Masehi. Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian.
Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.
V.1.6. Kondisi Ekonomi pada Jaman Kerajaan Kadiri
Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.
V.1.7. Karya Sastra dan Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri.
Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya yaitu:
a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 Masehi menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas Jenggala
b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 Masehi menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja Jayabaya. Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya Kadiri Menang. Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala. Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.
c. Prasasti Jepun 1144 Masehi.
d. Prasasti Talan 1136 Masehi. Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada jaman Kerajaan Kadiri.
Beberapa karya sastra yang ditulis pada masa pemerintahan Kediri antara lain :
Ø Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh Pada tahun 1157 Masehi.
Ø Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya ditulis oleh Mpu Panuluh.
Ø Kakawin Smaradahana ditulis oleh Mpu Dharmaja pada masa pemerintahan Sri Kameswara .
Ø Kakawin Sumanasantaka ditulis oleh Mpu Monaguna pada jaman pemerintahan Kertajaya.
Ø Kakawin Kresnayana. ditulis oleh Mpu Triguna
Di samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita Cina yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain.
Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 Masehi dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 Masehi. Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kediri.
V.1.8. Runtuhnya Kediri
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya, terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok, akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 Masehi. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.
Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya.
Pada tahun 1293 Masehi, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.
V.2. Kerajaan Majapahit.
V.2.1. Berdirinya Majapahit.
Kerajaan Majapahit adalah nama sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya pada 1293 Masehi. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari tahun 1350 sampai dengan tahun1389 Masehi yang didampingi oleh Patih Gadjah Mada, Kerajaan Majapahit mengalami masa keemasannya.
Setelah Raja Kertanegara gugur dalam peristiwa penyerangan Raja Jayakatwang (Raja Kediri), berakhirlah riwayat Kerajaan Singasari. Raja Kertanegara beserta petinggi kerajaan lainnya tewas dalam penyerangan tersebut. Raden Wijaya (menantu Raja Kertanegara) segera melarikan diri ke Sumenep, Madura, dan mendapat perlindungan dari Arya Wiraraja, penguasa Sumenep. Raja Jayakatwang sangat menghormati Arya Wiraraja sehingga Raden Wijaya diampuni. Setelah mendapat pengampunan dari Raja Jayakatwang, Raden Wijaya beserta pengikutnya diizinkan untuk membabat hutan Tarik (sekarang menjadi Desa Trowulan, Jawa Timur) untuk dijadikan desa. Disinilah kemudian berdiri pusat Kerajaan Majapahit.
V.2.2.Kertarajasa Jayawardhana
Pada 1293 Masehi pasukan Kubilai Khan dari Cina datang dengan tujuan untuk menghancurkan Kerajaan Singasari. Mereka tidak mengetahui bahwa Singasari telah hancur. Hal ini dimanfaatkan oleh Raden Wijava untuk membalas dendam kepada Raja Jayakatwang.
Pasukan Raden Wijaya bekerjasama dengan Kubilai Khan yang berjumlah sekitar 20.000 orang. Dalam waktu singkat, Kerajaan Kediri hancur dan Raja Jayakatwang terbunuh. Pasukan Kubilai Khan kembali ke pelabuhan, namun di tengah perjalanan pasukan Raden Wijaya dengan bantuan pasukan Sumenep menyerang pasukan tersebut. Pasukan Kubilai Khan segera pergi dari tanah Jawa dan Raden Wijaya menjadi raja dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.
V.2.3.Para Penguasa Majapahit
Majapahit dari mulai berdirinya di tahun 1309 Masehi, sampai dengan masa kehancurannya di tahun 1478 Masehi, tercatat memiliki 12 raja yang pernah memerintah, antara lain :
1. Raden Wijaya pendiri Majapahit di tahun 1309 Masehi
2. Jayanegara berkuasa dari tahun 1309 sampai dengan tahun 1328 Masehi.
3. Tribhuwanatunggaldewi berkuasa dari tahun 1328 sampai dengan tahun 1350 Masehi.
4. Hayam Wuruk berkuasa dari tahun 1350 sampai dengan tahun 1389 Masehi.
5. Wikramawardhana berkuasa dari tahun 1389 sampai dengan tahun 1429 Masehi .
6. Suhita berkuasa dari tahun 1429 sampai dengan tahun1447 Masehi.
7. Kertawijaya berkuasa dari tahun 1447 sampai dengan tahun 1451 Masehi .
8. Rajasawardhana berkuasa dari tahun 1451 sampai dengan tahun 1453 Masehi .
9. Bhre Wengker berkuasa dari tahun 1456 sampai dengan tahun 1466 Masehi .
10. Singhawikramawardhana berkuasa dari tahun 1466 sampai dengan tahun 1468 Masehi .
11. Kertabhumi berkuasa dari tahun 1468 sampai dengan tahun 1478.
12. Ranawijaya atau Girindrawardhana berkuasa di tahun 1478 Masehi .
V.2.4.Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Jawa (kecuali tanah Sunda), sebagian besar Pulau Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur hingga Irian Jaya. Perluasan wilayah ini dicapai berkat politik ekspansi yang dilakukan oleh Patih Mangkubumi Gadjah Mada. Pada masa inilah Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
V.2.5.Keruntuhan Majapahit
Sepeninggal Raden Wijaya, Kerajaan Majapahit dilanda beberapa pemberontakan. Pemberontakan tersebut antara lain ialah pemberontakan Ranggalawe, Sora, dan Kuti selama masa pemerintahan Jayanegara yang memerintah dari tahun 1309 sampai dengan tahun 1328 Masehi, serta pemberontakan Sadeng dan Keta pada masa Tribhuwana Tunggadewi yang memerintah dari tahun 1328 sampai dengan tahun 1350 Masehi. Pemberontakan baru dapat berakhir pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk yang memerintah dari tahun 1350 sampai dengan tahun 1389 Masehi.
Setelah masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk, pamor Kerajaan Majapahit semakin menurun. Pada 1522 Masehi, Kerajaan Majapahit hancur akibat terjadinya perang saudara. Selain itu, ada hal lain yang juga mempengaruhi runtuhnya Kerajaan Majapahit ialah munculnya Kerajaan Malaka dan berkembangnya kebudayaan Islam.
BAB VI
Bali Masa Bali Kuno
VI.1.Definisi Bali Kuno
Yang dimagsud dengan Bali Kuna adalah Bali sebelum ditaklukkan Majapahit, sekitar tahun 1343 Masehi. Penyebutan nama Bali Kuna mula-mula diungkapkan oleh seorang ilmuan berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. Roelof Goris, pada tahun 1948. Beliau adalah seorang anthropologist yang menetap di Singaraja cukup lama. Istilah itu digunakan untuk membatasi wilayah penelitian antara pra dan pasca pendudukan Majapahit yang membawa pengaruh besar pada bidang: kehidupan sosial, budaya, politik, dan perekonomian.
Tidak ada penjelasan tentang penggunaan kata Kuna dalam batasan ini. Bali Kuna kemudian berubah menjadi Bali Aga, yakni sebutan bagi penduduk Bali Kuna yang mengungsi ke pegunungan (Aga = gunung) karena terdesak oleh migrasi besar-besaran dari Majapahit di Jawa Timur sekitar abad ke-14, pada saat mana Agama Islam mulai berkembang di Jawa.
Sumber sastra yang menguatkan hal ini terdapat pada Kidung Harsa Wijaya, Kidung Ranggalawe, Kidung Sunda, Usana Jawa, Usana Bali, Babad Dalem, dan Dwijendra Tattwa. Penelitian ilmiah tentang Bali Kuna diadakan tahun 1885 oleh Dr. Van der Tuuk dan Dr. Brandes berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan di Blantih, Sangsit, dan Klandis. Selanjutnya prasasti yang ditemukan di Julah pada tahun 1890 lebih memudahkan penelitian Brandes. Perhatian Pemerintah Hindia Belanda pada sejarah Bali Kuna makin mendalam, sehingga pada tahun 1926 terbitlah kumpulan dokumen penelitian yang dinamakan Epigraphia Balica yang disusun oleh Dr. Van Stein Callenfels. Dokumen-dokumen itu kemudian terus disempurnakan dengan foto arca-arca, dan Pura-Pura kuno serta tambahan temuan-temuan dari Dr. Stutterheim.
Tahun 1930 terbitlah buku yang berjudul Oudheden van Bali yang menguak tabir misteri Bali Kuna. Penulis menduga kata ‘Kuna’ oleh Goris, mungkin dipengaruhi kata ‘Oudheden’ dari buku itu. Beliau menggali lebih dalam berdasarkan temuan Drs. Soekmono (1973) , temuan Dr. R.P. Soejono (1961), dan tulisan I Made Sutaba, masing-masing mengungkap keberadaan orang-orang Bali sejak jaman batu, jaman perundagian, sampai jaman kehidupan agraris. Mereka termasuk rumpun manusia Austronesia, yang belum beragama.
VI.2.Raja-raja Bali Kuno.
Dalam perhitungan sejarah Bali Kuno, Pulau Bali tidak pernah dikuasai secara mutlak oleh seorang Raja atau Penguasa saja. Di jaman Bali Kuno, wilayah-wilayah tertentu dengan kelompok-kelompok penghuninya dipimpin oleh tokoh berbeda, tanpa hubungan darah satu dengan yang lain. Sering terjadi peperangan diantara mereka untuk merebut kekuasaan. Berikut ini adalah daftar Raja-Raja atau Penguasa yang pada umumnya mempunyai wilayah dan pengaruh luas. Ada beberapa berasal dari dinasti yang sama, misalnya dinasti Warmadewa.
Ø Tahun 912-942 Masehi berkuasa Raja Shri Ugrasena berkedudukan di Singhamandawa (Kintamani Bangli)
Ø Tahun 913-955 Masehi berkuasa Raja Shri Kesari Warmadewa, berkedudukan di keraton Singhadwala (Besakih).
Ø Tahun 955-967 Masehi berkuasa Raja Shri Hari Tabanendra Warmadewa dan Shri Subandrika Warmadewa berkedudukan di Tabanan
Ø Tahun 967-968 Masehi berkuasa Raja Candrabhayasingha Warmadewa, berkedudukan di Tampaksiring.
Ø Tahun 968-983 Masehi berkuasa Raja Janasadhu Warmadewa berkedudukan di Bedahulu.
Ø Tahun 983-988 Masehi berkuasa Raja Shri Wijaya Mahadewi berkedudukan di Kadiri.
Ø Tahun 983-1011 Masehi berkuasa Raja Shri Dharmodayana Warmadewa atau Raja Udayana dengan permaisuri Shri Mahendradatta atau Shri Gunapriya Dharmapatni, berkedudukan di Bedahulu.
Ø Tahun 1001-1015 Masehi berkuasa Raja Shri Adnyadewi berkedudukan di Kintamani.
Ø Tahun 1011-1072 Masehi berkuasa Raja Shri Suradhipa berkedudukan di Bedahulu.
Ø Tahun 1072-1098 Masehi berkuasa Raja Anak Wungsu atau Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Stana Uttunggadewa berkedudukan di Tampaksiring.
Ø Tahun 1098-1133 Masehi bekuasa Raja Sakala Indukirana Isanagunadharma Laksmi Dharawijaya Uttunggadewi berkedudukan di Tampaksiring.
Ø Tahun 1133-1173 Masehi berkuasa raja Shri Jayapangus berkedudukan di Kintamani.
Ø Tahun 1173-1198 Masehi berkuasa Raja jayasakti berkedudukan di Kintamani.
Ø Tahun 1198-1284 berkuasa Raja Bhatara Sri Parameswara Sri Hyangning Hyang Adidewa berkedudukan di Kintamani.
Ø Tahun 1284-1324 Masehi, berkuasa Raja Kebo Parud (Kerajaan Singasari-Jawa), berkedudukan di Bedahulu.
Ø Tahun 1324-1325 Masehi, berkuasa Raja Shri Tarunajaya berkedudukan di Bedahulu.
Ø Tahun 1325-1328 Masehi, berkuasa Raja Shri Dharma Uttungga Warmadewa, berkedudukan di Bedahulu.
Ø Tahun 1328-1337 Masehi, berkuasa Raja Bhatara Sri Wala Jaya Kertaning Rat, berkedudukan di Bedahulu.
Ø Tahun 1337-1343 Masehi, berkuasa Raja Bhatara Sri Asta Asura Ratnabumibanten atau Shri Tapolung, berkedudukan di Bedahulu.
VI.3. Sistim Pemerintahan.
Dalam pemerintahanLembaga tertinggi Pemerintah adalah sebuah Badan Penasehat yang disebut dengan berbagai nama, yaitu: Panglapuan, Samohanda, Senapati, Pasamaksa, dan Palapknan. Badan ini bisa hanya satu orang saja, atau bisa lebih dari satu orang. Mulai tahun 1001 pada Pemerintahan Raja Udayana, Badan Penasehat itu bernama: Pakira-kiran I Jero Makabaihan diketuai oleh Mpu Kuturan dan beranggotakan beberapa Senapati, Kasaiwan (Pendeta-Pendeta Siwa), dan Kasogatan (Pendeta-Pendeta Budha).
Nama-nama Senapati yang menjadi anggota Pakiran-kiran I Jero Makabaihan, adalah: Wrsabha (Wrsanten), Pancakala, Waranasi, Tira, Danda (Waci), Wwit, Byut, Balabaksa, Dalem bunut (Balem bunut), Dinganga, Maniringin, Pinatih, Srbwa, dan Tunggalan.
Nama-nama Pendeta Siwa dan Pendeta Budha yang menjadi anggota Pakiran-kiran I Jero Makabaihan, tidak disebutkan dalam prasasti-prasasti. Yang disebut hanyalah nama-nama Griya tempat tinggal para Pendeta itu. Untuk Kasaiwan (Pendeta-Pendeta Siwa) dari Griya-Griya: Air Garuda, Air Gajah, Antakunjara pada, Binor, Dharma Hanar, Hari Tanten, Kanya bhawana, Kusumadanta, Lokeswara, Suryamandala, dan Udayalaya.
Untuk Kasogatan (Pendeta-Pendeta Budha) dari Griya-Griya: Bajra sikhara, Badaha, Wihara Bahung, Buruan, Canggini, Dharmarya, Kusala, Kuti Hanar, Lwa Gajah, Nalanda, dan Waranasi. Raja dapat mengambil keputusan sendiri, tetapi untuk masalah-masalah yang penting misalnya: pengaturan keamanan atau pertahanan, perintah perang, penetapan pajak, pengangkatan pejabat, dan penetapan hukuman mati, Raja perlu mendapat pertimbangan dari Pakira-kiran I Jero Makabaihan.
Penyelenggara Pemerintahan di Pusat Kerajaan dilaksanakan oleh pegawai-pegawai yang dinamakan: Nayaka, Ser, dan Samgat. Panglima Perang disebut: Rakyan. Penyelenggara Pemerintahan di Sub-Wilayah adalah Senapati.
VI.4. Agama dan Peradaban.
Semua kekayaan kerajaan yang berupa laut, sungai, mata air, danau, dan hutan dikuasai oleh Raja. Kelompok penduduk yang ingin memanfaatkannya untuk menunjang kehidupan harus meminta ijin melalui Senapati setempat. Setelah mempertimbangkan dengan seksama, Senapati meneruskan permohonan itu kepada Raja. Ijin yang diberikan kepada kelompok ditulis dalam prasasti dari bahan tembaga, lontar, atau batu. Pemberian ijin itu disertai dengan kewajiban berupa pajak dan kewajiban menjaga kelestarian alam. Ijin yang telah diberikan tidak boleh dipindah tangankan kepada orang atau kelompok lain tanpa persetujuan Raja.
Senapati wajib menuntun rakyatnya untuk menyembah Bhatara-Bhatari yang disakralkan seperti: Bhatara Da Tonta di Turunan (Trunyan), Bhatari Mandul di Bukit Panulisan, Bhatari lumah ri: Air Madatu, Buruan, Banyu Wka, Camara, Jalu, Dharma Hanar, Banyu Palasa, Buah Rangga, Candri Manik, Candri Linggabhawana, Dewastana, Air Talaga, dan Senamukha.
Bhatara Da Tonta adalah manifestasi Sanghyang Widhi yang dipuja untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan, Bhatari lumah ri adalah Roh-Roh leluhur dari Udayana dan Raja-Raja berikutnya dari dinasti Warmadewa. Bhiksu-Bhiksu Budha banyak mendirikan wihara di tepi-tepi sungai seperti: Patanu, Pakerisan, Uwos, Kungkang. Di pegunungan seperti: Gunung Kawi, Goa Patinggi, Gunung Agung, Bukit Petung, Cintamani, Songan, Watukaru. Di danau-danau seperti: Batur dan Tamblingan. Di tepi pantai seperti: Julah dan Dharmakuta.
VI.5. Perdagangan.
Sebagian besar penduduk Bali Kuno hidup dari penghasilan sektor agraris: pertanian, peternakan, perikanan, dan mengumpulkan hasil hutan. Sebagian kecil penduduk hidup dari sektor perdagangan sebagai pengepul hasil bumi terutama beras, untuk dijual kepada saudagar-saudagar Cina. Sebaliknya mereka membeli barang-barang kelontong dan barang-barang kerajinan dari pedagang-pedagang Cina seperti kain, porselain, pecah-belah, dan keperluan rumah tangga lainnya. Perdagangan di pantai utara Pulau Bali lebih ramai dari pantai selatan, karena kesibukan lalu lintas kapal-kapal dagang lebih banyak di pantai utara.
Peta Pelabuhan Pabean Buleleng.
Jalur pelayaran di Nusantara mulai dari semenanjung Malaka menyusuri pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa, pantai utara Bali, berbelok ke selatan di Selat Lombok, seterusnya ke Sumbawa, Sulawesi Selatan dan Maluku. Pelabuhan-pelabuhan laut di pantai utara Bali adalah: Teluk Terima, Pemuteran, Buleleng, Sangsit, Kubutambahan, dan Julah. Sedangkan pelabuhan di pantai selatan Bali hanya Sanur. Jalur perdagangan di daratan pulau Bali bermula dari pelabuhan menuju ke pegunungan. Dari Teluk Terima, jalur darat menuju Desa-Desa: Busungbiu, Munduk, Tamblingan, Candi Kuning, terus ke Tabanan. Dari Pemuteran mengikuti jalur yang sama dengan jalur Teluk Terima.
Dari Buleleng, ada jalur ke: Gitgit, Wanagiri, Buyan, Candi Kuning, terus bersatu dengan jalur ke Tabanan. Dari Sangsit, Kubutambahan dan Julah, jalur yang paling ramai menuju Desa-Desa pegunungan bagian timur, akhirnya menuju pusat kerajaan di Cintamani, dan Bedahulu. Awalnya perdagangan dilakukan secara barter, yakni tukar-menukar barang (mepurup-purup), karena Raja-Raja tidak menciptakan mata uang bagi negerinya. Kedatangan saudagar-saudagar Cina yang membawa mata uang Cina serta mengajarkan kepada penduduk Bali Kuna sistem jual-beli menggunakan uang kartal, menarik perhatian Raja Udayana.
System ini dinilai baik karena praktis, melancarkan perdagangan, dan memudahkan Raja memungut pajak. Walaupun penduduk telah mengenal dan menggunakan mata uang Cina sebelum pemerintahan Sri Ugrasena, namun Raja Udayanalah pada tahun 989 Masehi yang secara resmi menetapkan berlakunya mata uang Cina sebagai uang kartal atau alat tukar yang syah. Orang Bali Kuna menyebut mata uang itu: pis-bolong. Pis bolong yang mulai beredar di Bali Kuna pada abad ke-7 dibuat di Cina pada jaman pemerintahan Dinasti Tang (618 M-907 Masehi). Peranan pis bolong sebagai alat tukar di Bali Kuna makin kuat, karena beberapa hal, yaitu:
- Perkawinan Raja Sri Jaya Pangus (1133 M – 1173 M) dengan seorang putri Cina, kerabat Raja Khu Bilai Khan.
- Bali Kuna pernah dijajah oleh kerajaan Singasari (1284 – 1324), sedangkan Singasari ketika itu dikuasai Cina di bawah Gubernur militer Jendral Meng Khi. Pemerintahan Singasari di Bali adalah untuk dan atas nama Jendral Meng Khi. Pejabat yang ditunjuk, seorang panglima militer Singasari bernama Kebo Parud.
- Jalur perdagangan keluar negeri dari Bali dimonopoli Cina untuk menjaga agar keuntungan dari perdagangan candu (opium) terjaga.
- Setelah pemerintahan Dinasti Tang di Cina berakhir, Dinasti Sung malah lebih banyak menyebarkan pis bolong ke Nusantara, khususnya ke Bali Kuna. Jumlah ekspor pis bolong dari Cina ke Majapahit diperkirakan 1,8 miliar qian (keteng) setahun.
VI.6.Pengaruh kebudayaan Cina pada Bali Kuna
Pelabuhan-pelabuhan penting di Bali Utara seperti Pabean Buleleng dan Pabean Sangsit dikendalikan oleh pedagang terkemuka, sekalian merangkap sebagai pejabat militer Cina. Di Pabean Buleleng pejabat itu berpangkat Kapitain (tidak jelas namanya), dan seorang berpangkat Mayor yang bernama Kho Bun Sing sebagai penguasa di Pabean Sangsit. Pejabat dan saudagar-saudagar ini sangat kaya dan berpengaruh. Mereka menguasai tanah pertanian yang luas dari praktek meminjamkan uang kepada para petani dengan suku bunga tinggi atau disebut sistim riba.
Penduduk Bali Kuna yang dahulunya belum mengenal candu (opium), kemudian menjadi ‘kecanduan’ sehingga hidupnya sengsara; sawah – kebun tergadai, kehilangan pekerjaan, sampai ada yang menjual anak-anak untuk menjadi budak saudagar-saudagar Cina. Orang Bali Kuna menamakan candu: madat. Kebiasaan berjudi pada orang-orang Cina ditiru oleh penduduk lokal, seperti permainan: Ceki, Cap Bi Kie, Mong-mong, Tokek, Tog-tog, Contok, dan Truwie. Dengan adanya pis bolong sebagai mata uang kartal yang sah, perjudian semakin marak, menyebab kan penduduk asli banyak yang jatuh miskin karena kalah berjudi. Penduduk mulai mengenal pola-pola pikir spekulatif, ingin mendapat keuntungan dengan cepat, dan yang berniat melakukan kejahatan pencurian dan perampokan makin berpeluang. Yang terakhir ini menjadi lebih mudah karena penduduk asli yang semula menimbun hasil panen dalam bentuk natura, kemudian menabung dalam bentuk uang kartal, sehingga memudahkan para pencuri dan perampok menguras harta benda mereka.
Perkawinan Raja Sri Jayapangus dengan seorang wanita Cina, dipuja-puja rakyatnya. Bentuk pemujaan ini dengan menstanakan Bhatari Cina di Pura Ulun Danu Batur, Bhatari Ratu Subandar di Besakih, dan simbol-simbol lain misalnya adanya barong landung lanang wadon yang merupakan replika Sri Jayapangus dan permaisurinya. Cerita-cerita rakyat Cina-pun menyebar di Bali, misalnya kisah Sampik – Ing Tay. Ilmu silat dari Cina juga berkembang di Bali Kuna dalam bentuk pencak, dan dalam bentuk tarian masal, misalnya: baris dapdap, baris demung, baris presi, baris tumbak, baris tamiang, dan lain-lain.
Pis bolong selain digunakan sebagai uang kartal, juga digunakan dalam upacara dan upakara. Beberapa jenis banten harus menggunakan pis bolong. Pretima dan prerai dibuat dari pis bolong tertentu yang dinamakan pis koci. Pis bolong yang bernama pis krinyah digunakan dalam upacara kematian. Canang sari dan kwangen menggunakan pis lumrah. Jenis-jenis pis bolong yang disebutkan di atas disakralkan, tidak boleh digunakan berjudi. Untuk berjudi digunakan jenis pis wadon, pis lembang dan pis jahi. Ada juga jenis pis bolong yang digunakan sebagai jimat, misalnya pis Siwa, pis Gana, pis Jogor Manik, pis rerajahan, pis Anoman, pis Kresna, pis Rama, pis Bima, pis Rejuna, pis Dedari, pis Jaran, pis Padang, dan pis Jaring.
Di bidang kemiliteran, tentara Bali Kuno mulai mengenal senjata-senjata jenis panah, tombak, pedang dan perisai (tamiang) yang lebih berkualitas karena dibuat dari baja yang halus dan tajam. Industri peleburan baja belum ada di Bali. Oleh karena itu senjata-senjata jenis itu kebanyakan diimpor dari Cina. Pakaian-pakaian mahal yang digunakan oleh Raja-Raja dan kaum bangsawan berbahan sutera (kain pere) yang dibeli dari saudagar-saudagar Cina. Sejenis kertas buatan Cina yang dinamakan kertas ulantaga, di Bali Kuna disakralkan, hanya digunakan sebagai salah satu sarana penting dalam upacara kematian. Perkawinan campuran antara orang-orang Cina dengan penduduk asli banyak terjadi. Orang Cina yang sudah membaur menjadi penduduk Bali biasanya menggunakan nama kombinasi Cina-Bali, misalnya: Babah Ketut, Babah Nyoman, dll.
Di kalangan bangsawan dan saudagar kaya, dikenal nama-nama yang berbau Cina, misalnya: Kho Cin Bun (yang menetap di Desa Sinabun), Kho Ping Gan (yang menetap di Desa Pinggan – Kintamani), Ma Sui La dan Ma Sui Lie, keluarga Beng Kui Lun yang menetap di Desa Bungkulan, dan keluarga Ma Pa Cung yang menetap di Desa Pacung.
VI.7. Pulau Bali Dibawah Kekuasaan Singasari.
Sebelum balatentara Singasari menaklukan Bali, wilayah Bali adalah daerah yang berdaulat, dibawah kekuasaan raja-raja besar, kebanyakan berasal dari dinasti Warmadewa. Sementara di Jawa Kerajaan Singosari mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Kerthanegara. Pada masa kekuasaan Kerthanagaralah Singasari mulai menaklukan daerah-daerah di luar pulau Jawa, salah satunya adalah Bali. Diawali dengan pengiriman bala tentara ke Malayu, bala tentara Singosari dengan gemilang berhasil menaklukan kerajaan kerajaan Malayu sebagai daerah kekuasaannya. Tahun 1284 Bala tentara Singosari menyerang Bali, dengan balatentara yang banyak dan dipimpin oleh para senopati handal yang mumpuni dalam siasat dan gelar perang, diantaranya Senopati Jaran Waha, Ki Kebo Bungalan, Ki Patih Nengah, Ki Arya Sidi, Ki Kebo Anabrang dan senopati Ki Amarajaya.
Kapal-kapal perang kerajaan Singasari mendarat di pesisir Kubutambahan Buleleng, saat itu yang berkuasa di Bali adalah Raja yang bergelar Paduka Bhatara Parameswara Shri Hyangning Hyang Adi Dewa Lancana. Setelah perang besar akhirnya Bali takluk, Raja Bali Paduka Bhatara Parameswara Shri Hyangning Hyang Adi Dewa Lancana di boyong ke Jawa sebagai tawanan perang. Karena Bali sudah menjadi daerah taklukan, maka diangkatlah kemudian Ki Kebo Bungalan oleh Kertanegara sebagai penguasa Bali dengan gelar Rakriyan Demung Sasabungalan dibawah kekuasaan kerajaan Singasari. Kepemerintahan Ki Kebo Bungalan dibawah naungan Singasari di Bali kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Ki Kebo Parud. Dalam pemerintahan Ki Kebo Parud banyak mengeluarkan prasasti, diantaranya bertahun Saka 1218 berisikan aturan tentang Desa Kedisan, prasasti bertahun Saka 1222 berisikan aturan tentang Desa Sukawana. Sementara arca Raja Kerthanagara yang bewujud Biksu masih tersimpan di Tropen Museum Leiden Belanda, juga tersimpan arca Bhairawa yang mencirikan ajaran Wajrayana dari aliran Tantrisme Budha.
Pada masa pemerintahan Ki Kebo Parud di Bali, agama Budha dan Siwa berkembang pesat dan berdampingan, dengan banyaknya dibangun wihara-wihara Budha dan Siwa, juga arca-arca Bhairawa. Ki Kebo Parud tercatat dalam sejarah Bali memerintah dari tahun 1296 sampai dengan tahun 1324 Masehi. Tahun 1293 kerajaan Singasari runtuh oleh pemberontakan Jayakatwang. Raden Wijaya berhasil memadamkan pemberontakan tersebut dan kemudian mendirikan kerajaan Majapahit. Majapahit kemudian mengambil alih semua wilayah kekuasaan Singasari, juga termasuk wilayah Bali. Tahun 1296 Masehi, raja Majapahit yang bergelar Shri Rajasa jaya Wardana menunjuk Ki Kebo Parud sebagai penguasa Bali di bawah Majapahit, dengan gelar Raja Patih.
Setelah Bali dirasa aman, maka pada tahun 1324 Masehi atas perintah Jayanegara, raja Majapahit ke 2, pemerintahan Bali dikembalikan kepada Wangsa Warma. Raja Shri Dharma Utungga Dewa Warmadewa memerintah di Bali dari Tahun 1324 sampai dengan tahun 1328 Masehi, bergelar Shri Paduka Maharaja Bhatara Mahaguru, dibawah pemerintahan Majapahit.beristana di Bedahulu yang berada diantara wilayah Bedulu dan Pejeng Gianyar. Untuk menjalankan pemerintahan beliau mengangkat beberapa petinggi kerajaan, baik yang berasal dari Majapahit maupun petinggi yang berasal dari Bali, senapati-senapati itu antara lain : Senopati Kuturan dipegang oleh Ki Dalang Camok, Senapati Sarbwa diduduki oleh Ki Candi Lengis, Senapati Weresanten dipegang oleh Ki Jagatrang, Ki Pindamacan diangkat menjadi senapati Balembunut, Senapati Baladyaksa dipercayakan kepada Ki Gagak Sumeningrat, senapati Danda dijabat oleh Ki Kuda Makara atau yang dikenal dengan nama Ki Kuda Langkat-langkat. Ki Lembu Lateng diangkat menjadi senapati Manyiringan, Senapati Dinganga dijabat oleh Ki Gagak Lepas. Sementara Sekretaris Kehakiman dijabat oleh mantra Irah Prana, Mantri Wadyawadana dan Ki Panji Singaraja.
Dalam bidang keagamaan diangkat juga wakil-wakil dari para pendeta Siwa dan Budha, diantaranya pendeta Siwa Paduka raja Guru diangkat menjadi pendeta besar berkedudukan di Dharmahanyar, Paduka Raja Dyaksa menjadi pendeta besar berkedudukan di Air Gajah atau Goa Gajah, sedangkan di Trinayana (Kutri) diangkat pendeta besar Paduka Raja Manggala.
Diangkat pula dua orang pendeta Budha, diantaranya : Di Bihara Nasi diangkat pendeta besar Dhang Upadyaya Pujayanti, di Puranagara diangkat pendeta besar Dhang Upadyaya Karmagga. Para pendeta besar Siwa dan Budha inilah yang bertanggung jawab terhadap kegiatan keagamaan di wilayah istana dan wilayah-wilayah kekuasaan raja. Selain tugas keagamaan itu para pendeta besar juga sangat diperlukan dalam rapat-rapat kerajaan yang bersipat penting untuk memutuskan sebuah perkara yang penting, sering kali para pendeta besar dimintai pertimbangan oleh raja.
Pada masa pemerintahan Raja Shri Dharma Utungga Dewa Warmadewa, Negara dalam keadaan aman dan tentram, banyak parahyangan-parahyangan yang beliau dirikan untuk memuja Tuhan dan para leluhur beliau. Sang raja juga mendirikan sebuah taman yang indah di perbatasan bagian selatan Bangli, berdampingan dengan parahyangan pemujaan leluhur beliau yang dinamakan Gua Merku. Sementara taman yang dipenuhi dengan banyak patung Makaradewi tersebut kini dikenal dengan nama Taman Bali.
Raja Shri Dharma Utungga Dewa Warmadewa mangkat di tahun 1328 Masehi, kemudian dicandikan di Candi Manik. Digantikan oleh putraya yang bernama Trunajaya dengan gelar Shri Walanjaya Kertaningrat, seperti yang tersurat dalam prasasti yang ditemukan di desa Selembung Karangasem. Shri walanjaya kerthaningrat memerintah dari tahun 1328 sampai tahun 1337 Masehi. Pada masa pemerintahan beliau Desa Selumbung dibebaskan dari pembayaran pajak dan pekerjaan, karena desa tersebut sudah bertugas khusus memelihara keberadaan Candi yang ada di Linggabhuwana. Pada Tahun 1337 Raja Shri Walanjaya Kertaningrat mangkat, beliau digantikan oleh saudaranya dengan gelar Shri Astasura Ratna Bhumi Banten. Nama beliau bisa diartikan Asta berarti delapan, Sura berarti Dewa, ratna berarti Permata dan Bhumi Banten berarti tanah Bali, apabila digabungkan menjadi Permata dari delapan dewa yang ada di pulau Bali. Masa pemerintahan beliau tercantum dalam prasasti yang ditemukan di desa Langgahan.
Raja Shri Asta Sura Ratna Bhumi Banten beristana di Bedahulu, dalam pemerintahannya beliau mengangkat banyak senapati juga Amangkubumi atau Patih. Patih beliau bernama Ki Pasung Grigis berkedudukan di Desa Tengkulak. Pembantu utamanya bernama Ki Kebo Iwa berkedudukan di Blahbatuh. Sedangkan para senapati beliau antara lain : Di Buleleng diangkat Senapati Kriyan Girikmana berkedudukan di Desa Loring Giri Ularan. Untuk penguasa Jimbaran diangkat Ki Tambyak, Penguasa Tenganan diangkat Kriyan Tunjung Tutur, Kriyan Buwahan diangkat untuk menguasai Desa Batur, Kriyan Tunjung Biru diangkat sebagai penguasa Tianyar, di Sraya diangkat adipati Kriyan Kopang, Di Taro diangkat ki walung Sari dan Kriyan Walung Singkal, dan Kriyan Kala Gemet diangkat menjadi adipati di Tangkas.
Dikarenakan kesaktian beliau dan para pembantunya, membuat Sang raja Bali yang berkedudukan di Bedahulu ini dengan terang-terangan menyatakan tidak mau tunduk terhadap Majapahit. Tidak pernah mengirim utusan ke Majapahit, apalagi untuk mengirim upeti sebagai daerah kekuasaan Majapahit. Dengan terang-terangan menyatakan diri sebagai kerajaan yang bebas dari Majapahit. Oleh penguasa majapahit saat itu Ratu Tribhuwana Tunggadewi menjuluki Raja Shri Asta Sura Ratna Bhumi Banten sebagai Raja Bedahulu, yang artinya Raja bawahan yang berbeda dari atasannya di Majapahit. Maka beliau kemudian memerintahkan Patih Gajah Mada menggalang prajurit untuk menaklukan Bali.
BAB IV
Kerajaan Gelgel.
Balatentara Majapahit menyerang Bali pada tahun Saka 1265 atau tahun Masehi 1343. Kerajaan Bedahulu takluk, Raja dan beberapa patih kerajaan Bedahulu gugur dalap perang itu, beberapa dari mereka menyerah dan diampuni. Setelah Bali Bedahulu takluk, pulau Bali menjadi tanpa raja, kehidupan masyarakat di Bali tidak menentu, hukum rimba berlaku, yang kuat menindas yang lemah, jadilah pulau Bali sangat mencekam. Tatanan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sudah ditanamkan semenjak kerajaan Bali Kuno seakan-akan hilang ditelan waktu.
Berkaitan dengan hal tersebut kemudian para Arya Bali keturunan dari Mpu Dwijaksara berangkat menuju ke Majapahit dengan tujuan memohon pemimpin untuk Bali. Para Arya yang berangkat saat itu antara lain : Kyai Patih Ulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan dan Kyai Padang Subadra. Permohonan para Arya Bali dikabulkan
VII.1. Raja-raja Dinasti Gelgel.
VII.1.1. Shri Aji Kresna Kepakisan Raja I
Setelah berhasil menguasai Bali dengan menaklukkan Raja Bali Kuna Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada tahun 1343 Masehi, Penaklukan Bali oleh Majapahit ini dilakukan pada jaman pemerintahan Tribuwana Tunggadewi yang berkuasa pada periode 1328 - 1350 Masehi. Sering terjadi pemberontakan orang-orang Bali Aga dengan pasukan Majapahit.
Untuk mengatasi hal itu Patih Gajah Mada dibawah restu Ratu Tri Bhuwana Tunggadewi memutuskan mendudukkan Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai adipati Majapahit di Bali pada tahun 1352 Masehi. Beristana di Samprangan sebelah Timur Kota Gianyar sekarang. Sehingga pada jamannya disebut Dhalem Samprangan. Beliau adalah putera bungsu dari Brahmana Mpu Kepakisan. Gelar Mpu sebagai Brahmana berubah menjadi Sri, sebagai penguasa. Beliau didampingi oleh 11 orang Arya dan masing-masing diberikan tempat kedudukan, sebagai berikut:
1. Arya Kutawaringin berkedudukan di Gelgel
2. Arya kenceng di Buwahan berkedudukan Tabanan
3. Arya Belog berkedudukan di Kaba-kaba
4. Arya Dalancang berkedudukan di Kapal
5. Arya Sentong berkedudukan di Carangsari
6. Arya Kanuruhan berkedudukan di Tangkas
7. Arya Punta berkedudukan di Mambal
8. Arya Jerudeh berkedudukan di Temukti
9. Arya Tumenggung berkedudukan di Petemon
10. Arya Pemacekan berkedudukan di Bondalem
11. Arya Beleteng berkedudukan di pacung
Sebagai Patih Agung diangkat Pengeran Nyuhaya putera dari Arya Kepakisan turunan dari Prabu Airlangga. Selain itu pengangkatan beliau dilengkapi dengan alat-alat kebesaran seperti: Keris Ki Ganja Dungkul dan Tombak Ki Olang Guguh.
Sri Aji Kresna Kepakisan berpulang pada tahun 1380 Masehi, meninggalkan putera dan puteri, masing-masing: beribu dari Ki Gusti Ayu Gajah Para berputera: Dhalem Hile, Dhalem Tarukan, Dewa Ayu Swabhawa, Dhalem Ketut Ngulesir. Beribu Ki Gusti Ayu Kutawaringan berputera: I Dewa Tegal Besung.
VII.1.2. Sri Agra Kepakisan Raja II
Setelah Sri Aji Kresna Kepakisan berpulang, beliau digantikan oleh puteranya yang sulung, yaitu Dhalem Hile bergelar Sri Agra Kepakisan. Masih menempati istana lama. Namun beliau tidak mempunyai kepribadian ketatanegaraan. Beliau lamban, suka lama-lama berhias, membuat para mentri lama menunggu di balai penghadapan. Sementara adiknya Dhalem Tarukan lebih memilih beristana di Tarukan, bertani dan beternak. Akhirnya Kyai Klapodyana atau Kyai Kubon Tubuh (Kyai Bendesa Gelgel) mengambil inisiatif mencari Dhelem Ketut Ngulesir untuk menggantikan kedudukan kakak beliau menjadi raja di Samprangan. Dhalem Hile berputera: I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Anggungan, I Dewa Pagedangan, dan I Dewa Bangli.
VII.1.3. Shri Smara Kepakisan Raja III
Dhalem Ketut Ngulesir ditemui di rumah judi di desa Pandak Tabanan, sedang bermain judi. Setelah diyakinkan oleh Kyai Bendesa Gelgel, baru bersedia menggantikan kakaknya. Beliau beristana di kediaman Kyai Bendesa Gelgel, yang kemudian disebut Suweca Linggarsapura. Beliau sendiri karena tampannya bergelar Sri Smara Kepakisan.
Dengan diangkatnya Dhalem Ketut Ngulesir, maka pada masa itu Bali mempunyai 2 orang raja yang beristana di 2 istana, Gelgel dan Samprangan. Saat itulah mulai masa kerajaan dan keraton Gelgel. Setelah beberapa lamanya Patih Agung Pangeran Nyuhaya mendampingi Shri Aji Smara Kepakisan, akhirnya beliau berpulang, digantikan oleh putra beliau yang bernama Kyai Gusti Arya Petandakan.
Pada masa awal pemerintahan adipati Bali Majapahit Shri Aji Smara Kepakisan, masih sering terjadi gejolak-gejolak di wilayah pedalaman Bali, dilakukan oleh orang-orang Bali Aga yang masih belum bisa menerima beliau sebagai pemimpin Bali. Berkaitan dengan hal tersebut, Adipati Bali mengusahakan berbagai cara untuk mengambil hati Penduduk Bali. Salah satunya dengan melaksanakan upacara besar di Pura Tegeh Kahuripan atau Pura Bukit Penulisan, sebagai bentuk penghormatan terhadap arwah raja-raja Bali dahulu.
Setelah melalui upaya yang keras, juga dengan mendirikan Pura Dasar Bhuwana di bekas pasraman Mpu Ghana di Gelgel, akhirnya beliau mulai bias diterima oleh penduduk Bali. Pada masa pemerintahan Shri Hayam Wuruk, adipati Bali Shri Aji Smara Kepakisan tercatat pernah menghadap ke Majapahit, dikisaran tahun 1350 sampai dengan 1389 Masehi.
VII.1.4. Dhalem Batur Enggong Raja IV.
Dhalem Batur Enggong naik tahta menggantikan raja sebelumya, Shri Aji Smara Kepakisan di tahun 1460 Masehi. Patih Agung Arya Petandakan berpulang diganti oleh putranya yang bernama Kyai Gusti Arya Batanjeruk. Pada masa pemerintahan Dhalem Batur Enggong, Bali mencapai puncak kejayaanya atau keemasannya, berkuasa sampai wilayah-wilayah di luar pulau Bali, seperti : Pasuruhan, Blambangan, Lombok dan Sumbawa. Bali juga menjalin hubungan yang sangat baik dengan kerajaan kerajaan besar Nusantara.
Di tahun 1489 Masehi, seorang penghulu agama Siwa dari Jawa datang ke Bali, beliau bergelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh atau Dhang Hyang Dwijendra atau Dhang Hyang Nirarta. Dhalem Batur Enggong kemudian mengangkat Dhang Hyang Nirarta sebagai Purohita Bali, sekaligus sebagai guru nabe dari Dhalem Batur Enggong saat mediksa. Dhalem Batur Enggong juga pernah mengirim utusan ke Keling untuk mendatangkan Dhang Hyang Angsoka, akan tetapi Dhang Hyang Angsoka tidak bias memenuhi permohonan Dhalem Batur Enggong, sebagai gantinya Dhang Hyang Angsoka mengirim putra beliau bernama Dhang Hyang Astapaka ke Bali.
Pada saat Dhalem Batur Enggong menyelenggarakan Karya Agung Tawur Eka Dasa Ludra di Pura Besakih, Dhang Hyang Astapaka dan Dhang Hyang Nirartalah yang memimpin upacara tersebut. Sebagai bukti manunggalnya Siwa Budha di Bali, dibawah pemerintahan Dhalem Batur Enggong.
Dhalem Batur Enggong berpulang di tahun 1552 Masehi, beliau menurunkan dua orang putra yang masih belia, yaitu I Dewa Pamahyun yang bergelar Dhalem Bekung dan I Dewa Anom Dimadya yang kemudian bergelar Dhalem Sagening.
VII.1.5. Dhalem Bekung Raja V
Setelah Dhalem Batur Enggong berpulang di tahun 1552 Masehi, maka pemerintahan Bali diserahkan kepada putra beliau yang bernama Dhalem Pamahyun. Karena beliau masih belia dan tidak terlalu faham dengan pemerintahan, maka pemerintahan lebih banyak diatur oleh Patih Agung I Gusti Arya Batanjeruk mengatas namakan paman-paman beliau.
Karena tergoda dengan kemegahan dan kemilaunya kekuasaan, Patih Agung I Gusti Arya Batanjeruk kemudian melakukan gerakan pemberontakan. Dhang Hyang Astapaka sebagai guru spiritual Arya Batanjeruk tidak mampu meredam keinginan muridnya untuk memberontak, sehingga beliau memutuskan untuk meninggalkan Gelgel. Dalam pemberontakan itu Kyai Arya Batanjeruk dibantu oleh para pengikutnya yang setia, seperti : I Dewa Anggungan, I Gusti Tohjiwa, dan I Gusti Padhe Basa putera Pangeran Dawuh Penulisan.
Dalam pemberontakan itu Dhalem Bekung dan adiknya Dhalem Sagening dikurung dalam istana Gelgel untuk beberapa lama, sampai akhirnya dibebaskan oleh Kyai Kebon Tubuh, dibantu oleh laskar dari kapal dibawah pimpinan Kriyan Manginte, putra dari Pangeran Asak yang mampu menumpas pemberontakan di Gelgel. Terjadi pertempuran yang sengit, Patih Agung I Gusti Arya Batanjeruk tewas di Bungaya atau Jungutan di tahun 1556 Masehi, I Gusti Tohjiwa tewas di dekat istana Gelgel, I Dewa Anggungan diturunkan wangsanya, dan I Gusti Pande Basa diberikan pengampunan.
Setelah sekian lama pemeberontakan tersebut bisa ditumpas, giliran I Gusti Pande Basa yang melakukan pemberontakan, hal itu dipicu karena I Gusti Pande Basa tidak terima dengan hubungan asmara terselubung di istana, diantaranya yang dilakukan oleh I Gusti Telabah dan I Gusti Ayu Samantiga yang merupakan salah satu selir dari Dhalem. Kembali terjadi perang yang sengit, sehingga I Gusti Pande Basa Gugur dalam perang tersebut, perang itu terjadi sekitar bulan agustus tahun 1578 Masehi.
Karena merasa tidak mampu memimpin kerajaan, akhirnya Dhalem Bekung mundur dari kedudukannya sebagai Dhalem, dan memilih berpuri di Desa kapal.
VII.1.6. Dhalem Segening Raja VI
Dhalem Segening menggantikan kakaknya dinobatkan tahun 1580 Masehi. Sebagai Patih Agung adalah I Gusti Agung Maruti (I Gusti Agung Widia) putera dari I Gusti Agung Manginte, sedang sebagai Demung adalah I Gusti Di Ler Prenawa. Dhalem Segening mempunyai banyak putra, beliau menempatkan putera-puteranya di daerah-daerah tertentu sebagai jabatan anglurah, dengan tujuan menjaga keamanan daerah kekuasaan Gelgel seperti: I Dewa Anom Pemahyun di tempatkan di desa Sidemen (Singharsa), I Dewa Manggis Kuning (I Dewa Anom Manggis) di Gianyar, Kyai Barak Panji ( I Gusti Ngurah Panji Sakti) di Den Bukit.
VII.1.7. Dhalem Pemahyun Raja VII
Setelah Dhalem Sagening berpulang karena usia yang lanjut, digantikan oleh putranya yang bernama I Dewa Anom Pemahyun, bergelar Dhalem Pemahyun. Beliau tidak lama berkuasa karena penuh dengan intrik-intrik politik di kalangan istana. Patih Agung I Gusti Agung Maruti menghendaki I Dewa Di Made menjadi raja karena mereka ada hubungan ipar. Untuk menghindari jatuhnya korban lebih jauh Dhalem Pemahyun rela melepas tahta dan pergi menuju desa Purasi Karangasem, tempat pesanggarahan Dhalem Bekung dahulu. Dari Purasi (sekarang Perasi) beliau menuju desa Temega bersama puteranya yang bernama I Dewa Anom Pemahyun Di Made.
VII.1.8. Dhalem Di Made Raja VIII
Setelah I Dewa Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, I Dewa Di Made dinobatkan jadi raja bergelar Dhalem Di Made. Patih Agung I Gusti Agung Maruti melakukan pemberontakan. Dalam serangan mendadak ini Dhalem tidak dapat mengadakan perlawanan. Beliau mengungsi ke desa Guliang Bangli, diikuti oleh seorang puteranya I Dewa Jambe beribu dari treh Jambe Pule Badung dan rakyat 300 orang. Sementara I Dewa Pemayun sudah lama menetap di puri Tampaksiring. Dengan demikian Dhalem Di Made adalah generasi terakhir dinasti Sri Kresna Kepakisan di keraton Gelgel. Dhalem Di Made berpulang dalam pengungsian di desa Guliang.
VII.2. Kekacauan dikerajaan Gelgel.
Sepanjang perjalanan kerajaan Gelgel, banyak terjadi usaha-usaha penggulingan kekuasaan terhadap raja atau adipati Bali. Baik yang datang dari dalam kerajaan sendiri maupun dari luar kerajaan yang tidak puas dengan cara pemerintahan Gelgel.
VII.2.1. Pemberontakan Penduduk Bali Aga.
Pemerintahan Dhalem Gelgel yang dimulai di tahun 1380 dibawah kekuasaan Dhalem Shri Semara Kepakisan sampai dengan kepemimpinan Dhalem Di Made terjadi beberapa kekacauan yang berkaitan dengan kekuasaan, belum lagi gejolak-gejolak yang terjadi si desa-desa tua di pegunungan Bali.
Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain. Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dhalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dhalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu belia bawa.
VII.2.2. Pemberontakan Gusti Batanjeruk.
I Dewa Pamahyun atau Dalem Bekung yang menduduki tahta kerajaan belum berusia dewasa sehingga belum mengerti cara cara menghadapi serangan musuh. Rupanya tindakan Gusti Batan Jeruk dilakukan tanpa memperhitung kan kekuatan lannya di luar istana Gelgel.
Kriyan Gusti Batan Jeruk sudah dinasehati oleh pendeta Budha sebagai bagawanta di Kerajaan Gelgel agar jangan sekali kali menyamai kedudukan Dalem sebagai penguasa di Kerajaan Gelgel namun nasehat tersebut diacuhkan oleh beliau. Demikianlah akhirnya pemberontakan tersebut dilakukan dengan menyerbu kedalam istana Gelgel oleh Gusti Batan Jeruk dan Dewa Anggungan dibantu oleh Kriyan Tohjiwa dan Kriyan Pande sebab Kriyan Pande merupakan satu keluarga dengan Gusti Bantan Jeruk terhitung menekan dari sepupu putra tertua dari Kriyan Dawuh Baleagung dan cucu Pangeran Akah.
Pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 1556 Masehi tahun Caka 1478, tidak dikisahkan betapa hebatnya pertempuran antara pendamping yang masih setia kepada Dalem dengan para pemberontak. Raja hampir hampir menderita kekalahan karena para menteri dan pejabat pejabat tinggi kerajaan hampir semuanya memihak kepada Gusti Batan Jeruk. Hanya Kyai Kebon Tubuh dan keempat pamannya yang masih setia kepada Dalem Bekung.
Tersebutlah Kriyan Dawuh Nginte yang bermukim di Kapal mendengar berita adanya pemberontakan tersebut, memohon ijin kepada ayahnya untuk membantu menyelamatkan Raja Gelgel. Setelah mendapat ijin ayahnya maka mulailah perjalanan beliau dengan pasukannya menuju Kerajaan Gelgel dengan diiringi oleh Kiyai Pedarungan Putra Kriyan Patih Tuwa.
Singkat cerita setelah Dawuh Nginte tiba di Istana Gelgel beliau kemudian membujuk para menteri yang semula berpihak kepada Gusti Batan Jeruk untuk kembali berpihak kepada raja. Usaha beliau berhasil sehingga para menteri tersebut akhirnya membatu Dawuh Nginte untuk berperang melawan Gusti Batan Jeruk.
Kriyan Dawuh Nginte tampil sebagai pimpinan pasukan diikuti oleh Kyai Panatyan, Kiyai Ngurah Tabanan, Kyai Tegeh Kori, Kyai Kaba Kaba, Kyai Buringkit, Kiyai Pering, Kiyai Cagahan, Kyai Sukahet dan Kyai Berangsinga. Mereka serempak masuk keistana untuk membebaskan dua putra Raja yaitu Dalem Bekung dan Dalem Segening yang ditawan oleh pihak pemberontak.
Kiyai Kebon Tubuh berhasil menyelamatkan Putra raja tersebut dengan melewati lubang tembok pagar tembus ke rumah Kryan Dawuh Bale Agung di sebelah barat pasar kemudian keluar dari Pikandelan. Tidak berselang beberapa lama datanglah Kriyan Batan Jeruk dan Dewa Anggungan dibantu oleh Kriyan Pande dan Kriyan Tohjiwa mengamuk secara membabi buta didalam istana. Adapun adik Raja Dalem Bekung seorang putri masih berada didalam istana dibunuh tanpa perlawanan.
Kriyan Pande bersama Kriyan Tohjiwa bermaksud untuk merusak pintu istana dengan kapak namun dapat dicegah oleh Kriyan Dawuh Nginte sehingga terjadi perang tanding diantara mereka. Kriyan Tohjiwa tewas dalam perang tanding tersebut dan Kriyan Pande menyerahkan diri.
Akhirnya pemberontakan Gusti Batan Jeruk dan I Dewa Anggungan dapat dipadamkan dan Gusti Batan Jeruk beserta sanak keluarganya melarikan diri dari Gelgel menuju ke arah timur dengan mengenakan kain lembaran sudamala. memakai kampuh sutera lumut dan menyunting sehelai bunga kembang sepatu. Demikian pula Dewa Anggungan ikut melarikan diri kearah timur.
Namun pelarian tersebut terkejar pasukan yang setia kepada Dalem sampai di desa Jungutan Bungaya Karangasem sehingga terjadilah perang tanding yang mengakibatkan tewasnya I Gusti Batan Jeruk. I Dewa Anggungan kemudian meyerahkan diri tetapi hubungan kekeluargaanya dilepas oleh keempat saudaranya dengan menurunkan derajat kebangsawanannya menjadi Sang Anggungan dan tidak diakui lagi sebagai Dewa.
Keluarga Gusti Batan jeruk lainnya seperti Kriyan Bebengan, Kriyan Abian Nangka dan Kriyan Tusan terus menyelamatkan diri dari kejaran pasukan yang setia kepada Raja bersembunyi di dibawah tumbuh tumbuhan jawa yang diatasnya bertengger burung perkutut yang sedang berkicau. Karena terhindar dari bahaya tersebut maka maka keturunannya pantang makan jawa dan burung perkutut.
Setelah Gusti Batan Jeruk tewas maka sanak keluarganya tidak berani lagi tinggal di Gelgel mereka berpencar ke segala arah serta menyembunyikan indentitas dirinya (Nyineb Wangsa). Adalah Kiyai Agung Petandakan putra pertama pangeran Nyuhaya yang ikut melarikan diri kearah timur. Adapun janda Gusti Batan Jeruk dan anak angkatnya I Gusti Oka dapat meloloskan diri dan tinggal di desa Budakeling (Persraman Danghyang Astapaka).
VII.2.3. Pemberontakan I Gusti Pandhe Basa.
Berikutnya I Gusti Pandhe Basa melakukan pemberontakan karena tidak menerima adanya skandal seksual dan praktek-praktek percabulan di kalangan istana. Terjadi hubungan gelap antara I Gusti Telabah dengan selir Dhalem Bekung I Gusti Ayu Samantiga. Pertikaian antara kedua pihak ternyata banyak menimbulkan korban jiwa. I Gusti Pandhe Basa gugur dalam peristiwa ini yang terjadi tahun 1578 M. Pemberontakan ini membuat Dhalem Bekung memutuskan mengundurkan diri, pindah ke desa Kapal, disanalah beliau kemudian membangun puri, karena merasa tidak mampu mengatur pemerintahan. Dhalem Segening menggantikan kakaknya dinobatkan tahun 1580 M. Sebagai Patih Agung adalah I Gusti Agung Maruti (I Gusti Agung Widia) putera dari I Gusti Agung Manginte, sedang sebagai Demung adalah I Gusti Di Ler Prenawa.
VII.2.4. Pemberontakan Di Nusa Penida
Menurut “Babad Blahbatuh” disebutkan bahwa semasa Pemerintahan Dalem Di Made telah terjadi pemberontakan terhadap kekuasaan kerajaan Gelgel di Nusa Penida oleg Dalem Bungkut. Untuk mengatasi pemberotakan tersebut Dalem Di Made kemudian menugaskan Ki Bogol/ Kyai Jelantik Bongahya untuk bertindak sebagai pimpinan pasukan Gelgel ke daerah Nusa Penida.
Laskar Gelgel bertolak dari pantai Kusamba dengan pasukan yang berkuatan 200 orang prajurit pilihan. Perjalanan Kyai Jelantik disertai oleh istrinya Gusti Ayu Kaler dan senjata sakti andalannya “ Ki Pencok Sahang”. Setelah menempuh satu jam perjalanan maka sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Jungut Batu. Disana telah menanti rakyat Nusa Penida yang tertindas oleh pemerintahan Dalem Bungkut di Nusa Penida dan kedatangan laskar Gelgel sangat diharapkan untuk membebaskan dirinya dari belenggu kekuasaan Dalem Bungkut.
Perlawanan Dalem Bungkut tidak berlangsung lama karena tidak mendapat dukungan penh dari rakyatnya sehingga memungkinkan Kiyai Jelantik berhadapan langsung dengan Dalem Bungkut. Dalam perang tanding tersebut Dalem Bungkut menderita kekalahan dan beliau tewas terkena sabetan keris sakti Ki Pencok Sahang. Sisa pendukungnya kemudian menyerahkan diri karena pimpinannya sudah tidak ada lagi. Keamanan dan ketentraman daerah Nusa Penida akhirnya kembali normal dan Kiyai Jelantik kembali ke Gelgel untuk melaporkannya kepada Dalem Di Made. Keberhasilan Kyai Jelantik memadamkan pemberontakan di Nusa Penida mendapat penghargaan dari Dalem Di Made.
VII.2.5. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti
Setelah I Dewa Di Made dinobatkan jadi raja bergelar Dhalem Di Made. Patih Agung I Gusti Agung Maruti melakukan pemberontakan. Dalam serangan mendadak ini Dhalem tidak dapat mengadakan perlawanan. Beliau mengungsi ke desa Guliang Bangli, diikuti oleh seorang puteranya I Dewa Jambe beribu dari treh Jambe Pule Badung dan rakyat 300 orang. Sementara I Dewa Pemayun sudah lama menetap di Tampaksiring. Dengan demikian Dhalem Di Made adalah generasi terakhir dinasti Sri Kresna Kepakisan di keraton Gelgel. Dhalem Di Made wafat dalam pengungsian di desa Guliang.
Tampilnya Patih Agung sebagai raja Gelgel mengundang antipati raja-raja lain di Bali. Masing-masing melepaskan diri dari kerajaan Gelgel. Muncul kerajaan-kerajaan baru, seperti: kerajaan Mengwi, kerajaan Gianyar, kerajaan Klungkung, dan Dhalem Sukawati. Setelah gagal mempertahankan kekuasaanaya di Gelgel, lari ke daerah Jimbaran, terus menuju Badung bermaksud menghamba kepada Kyai Tegeh Kori. Oleh Kyai Tegeh Kori disarankan agar menuju ke Kapal, dimana I Gusti Agung Maruti ada hubungan keluarga dengan penguasa desa Kapal. Namun desa kapal bukanlah akhir dari kehidupannya, I Gusti Agung Maruti terakhir mengungsi ke desa Kuramas (Keramas sekarang), hingga wafat di Puri Kuramas.
VII.3. Masa keemasan Kerajaan Gelgel.
Dalem Baturenggong dikenal sepenuhnya dari sumber kemudian hari yang banyak. Dia secara singkat tercatat sebagai raja dalam teks Usana Bali dan agama Rajapurana Besakih, di bawah nama Enggong. Keterangan lengkap ditemukan pada abad ke-18 Babad Dalem sejarah. Menurut teks ini dia adalah putra dari Dalem Ketut, Raja pertama dari Gelgel, yang memerintah sekitar jatuhnya kerajaan Majapahit Jawa (awal abad 16). Beliau menepatkan diri sebagai musuh Pasuruan dan Mataram di Jawa. Nama beliau semakin kemilau dan bersinar sangat dengan kedatangan Dhang Hyang Nirartha, Brahmana dari Jawa, yang mendirikan hubungan ideal antara imam dan pelindung dan dilaksanakan kegiatan sastra yang luas. Nirartha adalah tanggal pada tahun 1537 Masehi dari salah satu teks, yang tanggal kemudian akan menjadi floruit perkiraan pemerintahan Dalem Baturenggong itu.
Dalem Watu Renggong yang memerintah dari tahun 1460 sampai dengan tahun 1550 Masehi, sebagai raja kedua di keraton Gelgel, oleh beberapa penulis babad dikisahkan sebagai sebuah kerajaan yang mengalami masa keemasan (Golden Age). Ketika Gelgel mengalami kejayaan pada masa Dalem Watu Renggong ini hubungan antara kerajaan Gelgel dengan Majapahit dianggap telah tiada.
Hal ini disebabkan bukan karena lunturnya kesetiaan raja Bali, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kondisi pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan. Dengan demikian kehancuran Majapahit yang ditandai dengan
Sirna (0) hilang (0) kertaning (4) bumi (1)
yang merujuk pada angka 1400 yaitu 1478 Masehi, dianggap sebagai sebuah kesempatan bagi Dalem Watu Renggong untuk mempertahankan tradisi Majapahit dan Agama Hindu agar Bali dapat dianggap sebagai penerus budaya Majapahit yang pernah besar di Nusantara. Untuk kepentingan ini Dalem Watu Renggong mendatangkan Dang Hyang Angsoka, Dang Hyang Astapaka, dan Dang Hyang Nirartha dalam rangka untuk memperkuat akar-akar budaya dan agama Hindu.
Sebagai masa yang gemilang, jaman keemasan, maka berbagai jenis seni budaya berhasil diciptakan untuk memperkaya tradisi budaya yang ada di Bali. Munculnya banyak karya-karya sastra yang dikarang oleh I Gusti Dauh Bale Agung dan Dang Hyang Nirarta sebagai pendeta kerajaan, dapat diduga bahwa berbagai jenis kesenian juga muncul, karena daya cipta kesenian bersumber pada karya-karya sastra tersebut. Munculnya seni lukis wayang di Kamasan juga diduga berkembang sejak jaman itu. Berbagai jenis kesenian seperti Gambuh, Wayang Wong dan seni pertunjukan Topeng juga sangat pesat perkembangannya pada saat itu. Masa kejayaan Waturenggong ini dihubungkan oleh penulis sejarah dengan kemampuannya membendung kuatnya penyebaran agama non Hindu pada abad XV ke Bali.
Dengan demikian cerita-cerita kepahlawanan seperti: Mahabharata, Ramayana, Panji dan Babad akan menjadi sajian yang sangat menarik pada kesenian untuk mengekspos kebesaran Waturenggong. Seni pertunjukan dikembangkan sebagai wahana untuk melakukan sosialisasi terhadap ajaran agama untuk memperkuat tradisi budaya yang berakar pada tradisi budaya Majapahit.
BAB VIII.
Terbentuknya Dinasti Panji Sakti.
VIII.1. Cikal bakal kerajaan Buleleng.
Berawal dari istana Gelgel pada sekitar tahun 1568 dalam suasana tenang, dimana Raja Sri Aji Dalem Sigening menitahkan putrannya yang bernama Ki Barak Sakti, supaya kembali ketempat tumpah darah Bundanya di Den Bukit (Bali Utara). Ki Barak Panji bersama ibunya yang bernama Siluh Pasek, setelah memohon diri kehadapan Sri Aji Dalem lalu berangkat menuju Den Bukit diantar oleh empat puluh orang laskar yang dipimpin oleh Ki Dosot dan Ki Dumpyung..
Perjalanan mereka sangat panjang memasuki hutan lebat yang sangat mengerikan, juga udara yang sangat dingin dipegunungan, menembus celah-celah bukit, mendaki Gunung-gunung meninggi, menuruni jurang-jurang curam, dan akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yang agak mendatar. Pada tempat itulah mereka melepaskan lelah seraya membuka bungkusan bekal mereka. Sekali mereka makan ketupat, mereka sembahyang, kemudian mereka diperciki air/tirta oleh Si Luh Pasek, demi keselamatan perjalanannya, belakangan tempat itu diberi nama “Yeh Ketipat”. Rombongan Ki Barak Panji telah tiba di Desa Gendis atau desa Panji dengan selamat tidak kurang suatu apapun.
VIII.2. Ki Barak Panji Merebut Desa Gendis.
Tercerita keberadaan desa Gendis atau desa Panji saat itu dipimpin oleh seorang pemimpin yang memerintah dengan sewenang-wenang, sama sekali tidak menghiraukan kepentingan warga desa yang dipimpinnya. Ki Pungakan Gendis hanya memerintah untuk kepentingannya sendiri, menindas rakyat dan setiap hari hanya berjudi sabungan ayam, tidak perduli dengan masyarakatnya yang hidup sengsara. Hal itu yang membuat masyarakat Desa Gendis membenci pemimpinnya. Dalam sebuah kesempatan terjadilah adu kesaktian antara Pungakan dengan Ki Barak Panji, dalam pertarungan itu Ki Pungakan Gendis tewas.
Mulai saat itu masyarakat Desa Gendis mengangkat Ki Barak Panji sebagai pemimpin desa, Ki Barak Panji dicintai oleh rakyatnya, karena beliau bisa memimpin desa Gendis dengan gagah berani, bersifat adil dan sangat bijaksana. Masyarakat Gendis secara perlahan mulai tertata kehidupannya, bahu membahu mulai membangun Desa Gendis sehingga menjadi desa yang maju dan berkembang dengan sangat pesat.
Pada sebuah kesempatan, terdengar berita ada kapal milik saudagar Tionghoa yang bernama Ki Mpu Awwang terdampar dan kandas di Pantai Segara Penimbangan. Seorang peminpin desa yang bernama Ki Bandesa Gendis sudah mengerahkan semua pengikutnya untuk menarik perahu tersebut, hal itu dilakukan oleh Ki Bandesa Gendis karena ada janji dari Ki Mpu Awwang, siapa saja yang bisa menyelamatkan kapalnya akan diberikan upah setengah dari isi kapal, yang berupa segala ragam barang yang indah-indah, seperti : pakaian sutra, cangkir, cawan, piring, pinggan, uang kepeng serta bermacam-macam ramuan.
Berkali-kali dicoba oleh pengikut Ki Bandesa Gendis menarik perahu tersebut, tetapi sedikitpun tidak bisa bergerak, hal tersebut membuat pengikut Ki Bandesa Gendis putus asa. Saat itulah kemudian Ki Barak Panji yang membawa keris pusaka pemberian Dhalem dulu, diiringi oleh kedua pengikutnya yang setia, yaitu Ki Dumpyung dan Ki Dosot tiba. Mungkin karena memang kehendak yang Maha Kuasa, perahu itu bisa ditarik ketengah samudra oleh Ki Barak Panji, sehingga terbebas dari jepitan karang. Melihat kesaktian dari Ki Barak Panji, semua penduduk yang ada di pantai, termasuk Ki Bandesa Gendis tahu, bahwa Ki Barak Panji bukanlah orang sembarangan, menjadikan mereka bertambah hormat dan kagum. Ki Mpu Awwang, sang pemilik perahu kemudian menepati janjinya, memberikan seluruh isi perahunya kepada Ki Barak Panji sebelum bertolak pulang ke Jawa.
VIII.3. Ki Barak Panji dinobatkan dengan gelar Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.
Berkat kejadian perahu kandas milik Ki Mpu Awwang, dan keberhasilan Ki Barak Panji menarik perahu itu ke tengah lautan, membuat nama beliau terkenal sebagai seorang yang sakti, pintar, pemberani dan welas asih. Beliau semakin dicintai oleh penduduk Gendis dan sekitarnya. Beliau juga menjadi sangat kaya karena mendapat hadiah seluruh isi kapal Ki Mpu Awwang.
Hal itulah kemudian yang membuat masyarakat sekitar menobatkan beliau menjadi raja, dengan Gelar Ki Gusti Ngurah Panji Sakti atau Ida Anak Agung Aglurah Panji Sakti. Penobatan itu terjadi pada tahun 1565 Masehi, saat bulan terang, dan matahari condong ke utara (Uttara Yana).
Tidak beberapa lama kemudian beliau mendirikan istana yang megah di sebelah utara Desa Panji. Juga memindahkan pusat kota Gendis ke istananya yang baru, kayangan Bale Agung dan kayangan lainnya mulai dibangun, disesuaikan dengan letak yang benar menurut aturan sastra agama. Pada saat dinobatkan itulah beliau mengambil istri, putri dari Ki Pungakan Gendis yang bernama Ki Dewa Ayu Juruh
Guna memenuhi kepentingan rakyatnya untuk menghantar persembahyangan di dalam pura maupun upacara di luar pura, serta untuk hiburan-hiburan lainnya, maka beliau membuat seperangkat gamelan gong yang masing-masing di beri nama sebagai berikut :
Ø Dua buah gongnya di beri nama Bentar Kedaton
Ø Sebuah bendennya di beri nama Ki Gagak Ora
Ø Sebuah keniknya bernama Ki Tudung Musuh
Ø Teropong bernama Glagah Ketunon
Ø Gendangnya bernama Gelap Kesanga
Ø Keseluruhannya bernama Juruh Satukad.
VIII.4. Pemerintahan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.
Tidak bisa diceritakan tentang kemasyuran Ki Gusti Ngurah Panji Sakti yang menjadi raja di keraton Panji, berkat kebijaksanaanya memimpin wilayah, menjadikan wilayah Panji ramai oleh pendatang, mereka berasal dari desa-desa tetangga, yang kemudian memutuskan untuk menetap di Desa Panji.
Tidak hanya masyarakat biasa yang tunduk dan simpati kepada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Banyak raja-raja kecil yang dulunya berkuasa di daerah Buleleng menyatakan diri takluk dan tunduk kepada beliau. Diceritakan Kyai Alit Mandala, penguasa kawasan Bondalem, menyatakan tunduk dibawah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, yang kemudian diangkat oleh beliau, diberikan tugas sebagai angelurah Bondalem, Buleleng bagian timur.
VIII.5. Puri Sukasada.
Sekitar tahun 1584 Masehi, untuk mencari tempat yang lebih baik untuk dipakai sebagai ibu kota maka Kota Panji kemudian dipindahkan kesebelah Utara Desa Sangket. Pada tempat yang baru inilah Baginda selalu bersuka ria bersama rakyatnya sambil membangun dan kemudian tempat yang baru ini di beri nama “ Sukasada” yang artinya selalu Besuka ria. Selanjutnya di ceritakan berkat keunggulan Ki Gusti Panji Sakti, maka Kyai Sasangka Adri, Lurah kawasan Tebu Salah (Buleleng Barat) tunduk kepada baginda. Karena keinganan yang kuat dari Kyai Sasangka Adri yang ingin mengabdi kepada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, Lalu atas kebijaksanaan beliau maka Kyai Sasangka Adri diangkat kembali menjadi Lurah di kawasan Bali Utara Bagian Barat.
VIII.5. Laskar Teruna Goak.
Untuk lebih memperkuat dalam memepertahankan daerahnya, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti segera membentuk pasukan yang di sebut “Truna Goak” di Desa Panji. Pasukan ini dibentuk dengan jalan memperpolitik seni permainan burung gagak, yang dalam Bahasa Bali disebut “Magoak-goakan”. Dari permainan ini akhirnya terbentuknya pasukan Truna Goak yang berjumlah 2000 orang, yang terdiri dari para pemuda perwira berbadan tegap, tangkas, serta memiliki moral yang tinggi di bawah pimpinan perang yang bernama Ki Gusti Tamblang Sampun dan di wakili oleh Ki Gusti Made Batan.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti beserta putra-putra Baginda dan perwira lainnya, memimpin pasukan Truna Goak yang semuanya siap bertempur berangkat menuju daerah Blambangan. Dalam pertempuran ini Raja Blambangan gugur di medan perang dengan demikian kerajaan Blambangan dengan seluruh penduduknya tunduk pada Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Berita kemenangan ini segera di dengar oleh Raja Mataram Sri Dalem Solo dan kemudian beliau menghadiahkan seekor gajah dengan 3 orang pengembalanya kepada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Menundukkan kerajaan Blambangan harus ditebus dengan kehilangan seorang putra Baginda bernama Ki Gusti Ngurah Panji Nyoman, hal mana mengakibatkan Baginda Raja selalu nampak bermuram durjan. Hanya berkat nasehat-nasehat Pandita Purohito, akhirnya kesedihan Baginda dapat terlupakan dan kemudian terkandung maksud untuk membangun istana yang baru di sebelah Utara Sukasada.
VIII.6. Puri Singaraja.
Pada sekitar tahun Candrasangkala “Raja Manon Buta Tunggal” atau Candrasangkala 6251 atau sama dengan tahun caka 1526 atau tahun 1604 Masehi, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti memerintahkan rakyatnya membabat tanah untuk mendirikan sebuah istana di atas padang rumput alang-alang, yakni ladang tempat pengembala ternak, dimana ditemukan orang-orang menanam Buleleng. Pada ladang Buleleng itu Baginda melihat beberapa buah pondok-pondok yang berjejer memanjang. Di sanalah beliau mendirikan istana yang baru, yang menurut perhitungan hari sangat baik pada waktu itu, jatuh pada tanggal “30 Maret 1604”.
Selanjutnya Istana Raja yang baru dibangun itu disebut “Singaraja” karena mengingat bahwa keperwiraan Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti tak ubahnya seperti Singa.
BAB IX
Cikal bakal Desa Let
IX.1. Desa Let Jaman Bali Kuno
Desa Let adalah desa tua yang diperkirakan sudah ada semenjak Masa Perundagian yang merupakan babakan terakhir dari masa prasejarah. Hal ini bisa dilihat dari berbagai penemuan yang ditemukan oleh penduduk desa berupa gelang tangan dan kaki (Gelang Dukuh), gerabah, juga cawan-cawan dari tembaga, cupu manik dari perunggu, beberapa arca Dewa, genta kuno dan altar tempat memuja terbuat dari tembaga, hampir mirip dengan sejumlah temuan di daerah Gunung Raung tepatnya di Desa Girimulya di Jawa Timur, antara lain : arca perunggu Tri Murti, arca Rsi Markandya, tempat Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, Bokor Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, Gentha Pandita dan tujuh bilah keris.
Foto Gelang Tangan dan kaki yang ditemukan oleh penduduk Desa Let, disekitar areal Pura Dukuh Desa Let.
Guci yang ditemukan oleh penduduk Desa Let, disekitar areal Pura Dukuh Desa Let.
Foto Cawan yang ditemukan oleh penduduk Desa Let, disekitar areal pura Dukuh Desa Let.
Kemudian ditemukan juga batu Andesit diperkirakan dipakai untuk mengolah obat saat itu. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan kuna. Penduduk Desa Let diperkirakan terdiri dari orang-orang Aga pengikut Rsi Markandya, seperti yang termuat dalam beberapa sumber.
Kedatangan beliau yang pertama mengalami kegagalan, banyak diantara pengikut beliau yang terdiri dari orang-orang Aga meninggal karena terjangkit wabah penyakit, ada juga yang tewas karena diterkam binatang buas, karena wilayah Bali pada masa itu masih terdiri dari hutan belantara yang lebat.
Foto Cawan Tembaga yang ditemukan oleh penduduk Desa Let, disekitar areal Pura Dukuh Desa Let.
Sisa dari pengikut Rsi Markandya yang meninggal itu, mendiami wilayah-wilayah pegunungan yang membentang dari utara sampai keselatan, dari wilayah Taro sampai ke Campuhan Ubud yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Mereka mencari pemukiman yang dekat dengan sumber air untuk bisa bertahan hidup dan mulai bercocok tanam, menghentikan kehidupan berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain untuk membuka lahan tempat tinggal baru.
Kehidupan bercocok tanam mendorong mereka bertempat tinggal tetap dan membangun perkampungan dengan organisasi yang semakin teratur. Perkampungan-perkampungan itu disebut dengan Kuwu atau Karang dengan anggota berkisar dari 10 sampai 25 kepala keluarga, dikepalai oleh seorang tetua yang bertugas mengatur perekonomian dan keagamaan. Mereka juga sudah mulai melakukan pemujaan kepada alam dan arwah leluhur, dengan tempat pemujaan yang masih sederhana, terbuat dari batu yang bersusun-susun menyerupai altar, belum memakai bangunan suci atau berpagar. Mereka mulai menanam berbagai macam tanaman yang cepat menghasilkan seperti umbi-umbian dan biji-bijian.
Di sebuah tempat di wilayah bagian utara barisan bukit Taro, bermukim 12 orang kepala keluarga Aga yang membentuk sebuah kuwu atau karang, tempat yang subur, diapit oleh 2 buah aliran sungai, tempat yang sangat dekat dengan sumber air di sebelah timur Pekuwuan atau Pekarangan, pekuwuan atau pekarangan yang diitari oleh hutan lebat penuh dengan semak dan pohon perdu membuat Pekuwuan atau Pekarangan itu tersembunyi dari dunia luar.
Hubungan interaksi antara penduduk terjalin rapi dengan Tetua yang bijaksana. Mereka masih sering melakukan komunikasi dengan penduduk Aga yang juga mendiami sepanjang aliran sungai yang mengapit dataran perbukitan tersebut. Apabila ada rencana Raja berencana akan melakukan perburuan di Hutan maka dikirimlah kurir dari Kerajaan menuju ke Wilayah Peujung yang sekarang dikenal dengan nama Pujung (Wilayah ujung desa atau ujung wilayah perburuan Raja), semua perintah Raja dibacakan di sana, agar dilaksanakan oleh penduduk Pekarangan. Utusan Raja atau kurir tersebut memberikan perintah, agar masyarakat Pekarangan bersiap mengiringi raja dan para Mantri saat melakukan perburuan. Termasuk juga menyiapkan tempat untuk raja dan para pengiringnya bermalam.
Pada masa ini diperkirakan oleh para ahli sudah terjadi perdagangan dengan cara tukar barang atau barter. Wilayah untuk melakukan barter itu dilakukan di daerah bagian selatan bukit, dengan melalui jalan di tepian sungai yang berair dangkal. Mereka kebanyakan bermata pencaharian dengan berladang, berburu dan menangkap ikan. Kaum perempuan tinggal di kuwu-kuwu menyiapkan makanan dan membuat pakaian, yang sebagian besar dipintal dari serat pepohonan sejenis palem. Mereka hidup tentram dan berlimpah sumber makanan.
Wilayah Bali diantara Tahun 882 sampai dengan Tahun 955 Masehi, masih belum ditemukan nama raja yang berkuasa, rentangan waktu ini disebut dengan periode Singhamandawa, hal ini ditunjang dengan prasasti-prasasti pada periode itu dikeluarkan oleh Panglapuan di Singamandawa. Menurut R. Gorris, ada 7 buah prasasti yang yang dikeluarkan tanpa nama raja atau pejabat yang membuatnya, prasati itu antara lain :
Ø Prasasti Sukawana AI (804 Saka),
Ø Prasasti Bebetin AI (818 Saka),
Ø Prasasti Trunyan AI (833 Saka),
Ø Prasasti Trunyan B (833 Saka),
Ø Prasasti Bangli, Pura Kehen A,
Ø Prasasti Gobleg, Pura Desa I (836 Saka),
Ø Prasasti Angsri A.
Dari ketujuh prasasti tersebut yang sudah aus dimakan waktu, banyak diterangkan kehidupan di daerah lereng bukit Cintamani (Kintamani). Bangunan suci disebut dengan Ulan, terdiri dari daerah yang disakralkan dengan pokok tempat pemujaan memakai tumpukan batu sebagai altar. Pemimpin pemerintahan dan keagamaan pada saat itu disebut dengan nama Sarbwa, Dinganga, Nayakan, Makarun, dan Manuratang Ajna. Mereka mempunyai tempat yang sangat dihormati oleh masyarakat, jabatan-jabatan ini tetap bertahan selama periode Singhamandawa, yakni ketika prasasti-prasasti dikeluarkan di panglapuan di Singhamandawa (882-942).
IX.2. Desa Let Jaman Kedatangan Para Rsi Agung
Dalam Pustaka Kuno, Babad Bali dinyatakan sekitar Tahun 716 Masehi berangkatlah tiga orang guru agama dari Jawa ke Bali,
· Hyang Gni Jaya yang kemudian berparahyangan di Gunung Abang,
· Mpu Withadharma berparahyangan di Gelgel, dan
· Sang Atapa Hyang atau Sang Kulputih berparahyangan di Besakih.
Para Guru Agama inilah yang mengajarkan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan Agama Brahma. Memberikan pengetahuan tentang kaidah agama dan cara memuja Tuhan dalam berbagai sekte yang banyak terdapat di Bali. Yang dianut oleh penduduk yang tinggal dalam kuwu-kuwu, atau karang-karang, terutama di wilayah perbukitan yang membentang dari selatan ke utara.
Dalam bait di Lontar Calonarang dipaparkan bahwa pada suatu hari yang baik Rabu Kliwon wuku Pahang, Maduraksa (tanggal ping 6), Candra Sengkala Agni Suku Babahan atau tahun Saka 923 (1001 Masehi) kembali datang seorang Mpu dari Kediri Jawa Timur, beliau adalah Mpu Kuturan, tempat yang pertama kali beliau kunjungi adalah Hutan Cekik yang berlokasi di daerah pertigaan Negara dan Singaraja. Dari Cekik beliau berjalan kaki menuju istana Raja Udayana Warmadewa yang ketika itu berada di wilayah Serai (dekat Kintamani). Di sekitaran Tahun 1011 beliau menghadap Raja Udayana Warmadewa. Ida Mpu Kuturan, lama menetap di Serai, mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keagamaan kepada penduduk sekitar Serai, termasuk di dalamnya adalah daerah Pakuwuan atau pekarangan.
Mulai saat itulah kemudian didirikan Kayangan Puseh dan Kayangan Desa di desa-desa sekitar Serai. Kahyangan-kahyangan itulah yang sampai saat ini berdiri megah di semua desa-desa adat di Bali. Selain Kahyangan Desa dan Puseh, Sang Mpu juga menyarankan penduduk untuk membangun Sanggah di setiap pekarangan rumah, utamanya membangun Pelinggih Rong Tiga atau Kemulan, sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prebhawa beliau sebagai Tri Murti.
Dari wilayah Serai beliau kemudian pindah ke Bedahulu (Bedulu) mengiringi Raja Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapria Dharmapatni. Ida Mpu Kuturan, selain sebagai Purohita (pendeta kerajaan, penasihat Raja), juga sebagai Senapati dengan gelar: ‘Pakiran-kiran I Jero Makabehan’. Dalam kedudukan beliau sebagai Senapati Kerajaan Bali, beliau berhasil menata kehidupan masyarakat Bali dengan jalan menyatukan 9 sekte yang ada di Bali:
· Sekte Pasupata,
· Sekte Linggayat
· Sekte Bhagawata,
· Sekte Waisnawa,
· Sekte Indra,
· Sekte Saura,
· Sekte Brahma,
· Sekte Saiwa,
· Sekte Bhairawa.
Persatuan itu diikrarkan di Pura Samuan Tiga, dan konsep beliau dikenal sebagai konsep Trimurti.
Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih terdapat:
1. Di desa Serai, Kintamani, Bangli, bertahun Caka 915 atau 993 Masehi
- Di desa Batur, Kintamani, Bangli, bertahun caka 933 atau 1011 Masehi
- Di desa Sambiran, Tejakula, Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016 Masehi
- Di desa Batuan, Sukawati, Gianyar bertahun caka 944 (1022 Masehi)
- Di desa Ujung, Karangasem bertahun caka 962 (1040 Masehi)
- Di Pura Kehen Bangli, Bangli, karena sudah rusak tidak tampak tahunnya
- Di desa Buahan, Kintamani, Bangli bertahun caka 947 (1025 Masehi)
Foto jenis wilayah Kahyangan Puseh yang Mretiwi (Puseh Lembau)
Dengan dekatnya wilayah-wilayah ditemukan prasasti tersebut dengan wilayah Pekarangan atau Pakuwuan, dapat diprediksi daerah Pekarangan pada jaman ini menjadi daerah perlintasan penyebaran paham baru yang dibawa dari Jawa oleh Mpu Kuturan. Hal itu diperkuat dengan banyaknya ditemukan barang-barang kuno kisaran tahun 900 sampai 1100 Masehi. Utamanya paham Tri Murthi yang terkenal sampai sekarang. Daerah Pekarangan menjadi daerah yang dihuni oleh para penduduk yang mendapat tugas khusus menjaga kawasan hutan tempat Sang Raja berburu.
Pada masa pemerintahan sekian raja di Bali, keadaan Pakuwuan atau Pekarangan semakin berkembang, walaupun berpenduduk sedikit, tetapi hutan disekitarnya memiliki binatang buruan yang sangat banyak untuk masing masing penguasa, daerah sekitar Pakuwuan atau Pekarangan itu dijadikan tempat berburu oleh para penguasa, dengan nama “anak mabwatthaji di buru”, masing masing daerah mempunyai tugas masing-masing, terutama penduduk yang menepati tanah ‘Drwyahaji’ (Milik Raja / Penguasa) seperti yang termuat dalam prasasti Sawan A I, Prasasti Tengkulak A, Prasasti Buwahan B.
Tempat Pemujaan bercorak Mretiwi (Puseh Lembau)
Di daerah Pakuwuan atau Pekarangan sudah tertata dengan baik, ada bagian daerah pemujaan disebelah utara desa, daerah bercocok tanam dengan palawija di bagian timur desa, rumah-rumah penduduk berjejer disebelah barat desa dekat dengan sungai, berarti pada masa pemerintahan raja-raja Bali, daerah ini sudah tertata dengan sangat baik. Beberapa tempat pemujaan dibangun di hulu desa, seperti Kayangan Puseh Agung dan Kayangan Dalem Alit dan beberapa kayangan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kemanusiaan, misalnya Hulu Tegal, Hulu Tukad, Hulu Pati, masing-masing mempunyai makna tersendiri, Di daerah sumber air juga berdiri kayangan sederhana sebagai pemujaan terhadap penguasa sumber air.
IX.3. Desa Let Jaman Dhalem Bali
Enam tahun setelah Astasura Ratna Bhumi Banten mengeluarkan prasasti Langgahan (1259 Saka), yakni pada tahun 1265 Saka (1343) ekspedisi tentara Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada menyerang Bali. Penyerangan itu berhasil menaklukkan Bali, setelah lebih dahulu bisa menewaskan dengan siasat, Patih Bali yang terkenal, yaitu Kebo Iwa atau Kebo Taruna di Jawa. Maha Patih Gajah Mada, dengan dibantu oleh para Senapati Majapahit, diantaranya : Arya Damar, Kyai Sentong, Kyai Kutawaringin, Kyai Leteng, Kyai Kenceng dan Kyai Belog. Perang besar berkecamuk di daerah Tengkulak, antara tentara Majapahit dan Tentara Bali. Tercatat di Tahun 1343 Masehi, Prabu Gajah Waktra, Patih Kebo Mayura, Patih Gudug Basur gugur dalam pertempuran di Tengkulak. Patih Pasung Grigis menyerah dan kemudian diberikan tempat di Batuan, menduduki jabatan sebagai Senapati Agung. Tetapi kemudian Senapati Agung Pasung Grigis gugur dalam peperangan saat menyerang Sumbawa. Saat itu Raja Sumbawa Dedelanatha tidak bersedia takluk di bawah kekuasaan Majapahit, maka dikirimlah Laskar Bali dibawah pinpinan Ki Pasung Grigis ke Sumbawa. Senapati Agung Pasung Grigis gugur dalam adu kesaktian dengan Raja Sumbawa, demikian juga dengan Raja Sumbawa. Setelah Bali takluk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, jadilah Pulau Bali tanpa pemimpin. Gejolak-gejolak terus terjadi, saling curigai dan saling bunuh, banyak penduduk yang merasa kuat berlaku sewenang-wenang, terutama yang menguasai ilmu kebal dan ilmu hitam. Dalam masa kekosongan pemerintahan itu Pulau Bali menjadi sangat mencekam bagi penduduknya sendiri.
Dalam keadaan seperti itu, munculah niat para Pemuka Bali memohon pemimpin untuk Bali ke Majapahit. Dikirimlah utusan Bali ke Majapahit, dipimpin oleh Bandesa dan Pasek. Permohonan itu dikabulkan oleh Raja Majapahit, dikirimlah Dhalem Ketut sebagai Adipati Bali di tahun 1345 Masehi, bersamaan dengan pengangkatan saudara-saudara Dhalem Ketut di berbagai daerah, seperti : Dhalem Wayan diangkat menjadi Adipati Blambangan, Dhalem Made di Solo, Dhalem Nyoman di Pasuruan, dan Dhalem Istri di Sumbawa. Dhalem Ketut kemudian bergelar Dhalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 Masehi atau 1272 Isaka. Oleh penduduk Bali, Beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dhalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari Majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan
Dalam pemerintahannya Dhalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan / Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hampir sama yaitu Adipatinya bergelar Dhalem Ketut Kresna Kepakisan sedangkan patih agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan. Dalam pemerintahannya Dhalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu.
Dari Babad Dhalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dhalem Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Ki Ganja Dungkul yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.
Semasa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti:
· Desa Batur,
· Desa Cempaga,
· Desa Songan,
· Desa Kedisan,
· Desa Abang,
· Desa Pinggan,
· Desa Munting,
· Desa Manikliyu,
· Desa Bonyoh,
· Desa Katung,
· Desa Taro,
· Desa Bayan,
· Desa Tista,
· Desa Margatiga,
· Desa Buwahan,
· Desa Bulakan,
· Desa Merita,
· Desa Wasudawa,
· Desa Bantas,
· Desa Pedahan,
· Desa Belong,
· Desa Paselatan,
· Desa Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dhalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dhalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Rakryan Maha Patih Gajah Mada memberikan nasehat kepada Dhalem Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka bernama Ki Lobar disamping keris pusaka yang bernama Ki Tanda Langlang yang terlebih dahulu beliau bawa.
Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra. Selain itu ada juga jabatan penting yang diberi nama Dharma Dyaksa, yang bergerak dalam mengurus masalah keagamaan, Dharma Dyaksa dibagi menjadi 2 yaitu Dharma Dyaksa Kasaiwan untuk Agama Siwa dan Dharma Dyaksa Kasogatan untuk Agama Budha.
Akibat Kerajaan Samprangan yang berdiri tidak terlalu lama, juga karena pengaruh pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayah Bali, membuat kehidupan beragama tidak berkembang terlalu pesat. Agama yang dianut pada masa itu adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting, Agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha.
Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu:
· Pura Desa atau Bale Agung sebagai Sthana dari Dewa Brahma,
· Pura Puseh Sthana Wisnu dan
· Pura Dalem Sthana Siwa.
Selain Pura-Pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara atau Bhatari yang disebut: Sanggah atau Pemerajan, Dadia atau Paibon, Padharman.
Dhalem Kresna Kepakisan adalah penganut sekte Waisnawa, dari Sub Sekte Bhagawata, mengingat nama Kresna yang beliau pergunakan sehingga wajarlah dalam pemerintahan nya beliau didampingi oleh para Bujangga Waisnawa, baik Bujangga Waisnawa yang di Bali maupun yang menyertai Beliau dari Jawa.
Pada jaman ini seni budaya berkembang dengan mengambil budaya-budaya Bali kuno dan Budaya Jawa Majapahit, yang kemudian dipadukan. Seperti diketahui, pada masa Bali Kuno sudah mengenal berbagai jenis kesenian, seperti: lakon topeng, dimana pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama Pertapukan. Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain-lainnya Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa Kitab Kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama.
Beberapa Kitab Kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharata Yuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain. Pada masa ini wilayah pekarangan dan sekitarnya berada di wilayah penguasa Cagahan, sehingga kehidupan beragama dan kebudayaan tumbuh subur di Pekarangan. Walaupun daerah Pekarangan masih dikelilingi oleh hutan yang lebat, terutama ditumbuhi oleh pohon enau dan pohon rotan yang berduri. Tetapi masih tetap dipakai sebagai daerah berburu oleh raja dan para bangsawan Bali.
Dhalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 Masehi atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dhalem Wayan, bergelar Dhalem Sri Agra Samprangan. Di awal pemerintahan Dhalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 Masehi atau 1295 Saka) terasa situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat Raja. Untuk menghindari pertengkaran, maka kedua adik Dhalem yaitu Dhalem Di-Madia dan Dhalem Ketut, memilih tinggal di luar istana. Dhalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar : Dhalem Tarukan.
Dhalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan, penduduk lalu menjuluki beliau : Dhalem Ketut Ngulesir. Selain untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan rakyat. Dhalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan.
Karena sebuah kesalahpahaman terjadilah perselisihan antara Dhalem Samprangan dengan Dhalem Tarukan, istana Tarukan di Pejeng diserang oleh Dulang Mangap Gelgel sampai hancur, Dhalem Tarukan kemudian mengungsi, meninggalkan istana Tarukan menuju Desa Taro dan lama bersembunyi di daerah Pekarangan, beliau sangat dicintai oleh penduduk keturunan Aga karena memahami sekali ilmu bercocok tanam, beliau berbaur dengan penduduk Pekarangan dan wilayah sekitarnya, terutama sekali penduduk yang kesehariannya sebagai petani, cukup lama beliau menyamar menjadi penduduk biasa di daerah Pekarangan, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan menuju
· Tapuwagan,
· Desa Pantunan,
· Desa Poh Tegeh (Suter),
· Pedukuhan Bunga,
· Sekahan,
· Sekardadi,
· Panarajon,
· Balingkang,
· Sukawana,
· Desa Penek,
· Baan,
· Temangkung,
· Cerucut,
Dan sampai meninggal beliau di Sukadana, daerah pesisir utara Pulau Bali. Saat-saat terakhir beliau ditemani oleh pengikut setia beliau, antara lain :
· Ki Pasek Jatituhu,
· Ki Pasek Bunga,
· Ki Pasek Darmaji,
· Ki Pasek Ban,
· Ki Pasek Daya,
· Ki Pasek Penek,
· Ki Pasek Temakung,
· Ki Pasek Sikawan,
· Dukuh Bunga,
· Dukuh Jatituhu, dan
· Dukuh Pantunan.
Dalam Babad Dhalem, Babad Buleleng dan Babad Jelantik ada diceritakan ditahun 1553 Masehi tahun Saka 1475, Setelah masa pemerintahan Dhalem Sagening berakhir, akhirnya Gelgel diperintah oleh Dhalem Dimade sekaligus sebagai raja terakhir masa kerajaan Gelgel. Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dhalem Segening tidak dapat dipertahankan oleh Dhalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dhalem Di Made terlalu memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada Patih Agungnya yang bernama Ki Gusti Agung Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya memilih untuk meninggalkan Puri. Terjadi gejolak di Gelgel saling curiga mencurigai terjadi di golongan istana, karena siasat dari Patih Agung untuk menyingkirkan para pembesar istana yang setia kepada Dhalem.
Berkat siasat Patih Agung Dalem termakan isyu sehingga curiga dengan Ki Gusti Jelantik, beberapa kali pembunuh bayaran dikirim ke rumah Kyai Jelantik, Tetapi semua gagal. Keadaan seperti itulah yang membuat Kyai Jelantik memutuskan meminta bantuan Penguasa Buleleng yang masih keluarganya, untuk menolong seluruh keluarga dan para pengikutnya keluar dari wilayah Jelantik.
Maka oleh Penguasa Buleleng Ki Gusti Panji Sakti, dikirimlah bala yuda pilihan yang terdiri dari pasukan Teruna Goak, termasuk prajurit-prajurit tambahan yang berasal dari daerah taklukan Buleleng, penuh sesak sepanjang jalan tidak terhitung jumlah Laskar Buleleng. Jumlah senjatanya yang dibawa tidak terhitung, lengkap dengan pelurunya, diantar oleh pemimpin pasukan masing masing, sama sama mengendarai kuda, berjalan di depan, kemudian datang pasukan perancak emas, kira kira sebanyak enam ratus orang, dibelakangnya pasukan berencong merah menyala, dibelakang pasukan berencong ada pasukan tulup yang bertahtahkan emas, kira kira sebanyak empat puluh orang, dibelakangnya lagi pasukan bandrangan sebanyak empat puluh orang, yang merah sepuluh, putih sepuluh, rijasa sepuluh, dan lainnya berwarna biru, dibelakangnya lagi Teruna Goak sebanyak seratus orang, memegang perisai yang menyala, semuanya berjengot, dibelakangnya pasukan kelewang yang sudah terhunus dan bertahtahkan emas, sebanyak dua puluh. Di belakangnya tampak Ki Gusti Ngurah Panji dengan mengendarai kuda putih, dipayungi dengan payung warna putih, memegang senjata andalannya bernama Ki Tunjung Tutur, diapit oleh patihnya yang perkasa Ki Gusti Tamblang Sampun dan Ki Gusti Made Batan. Dibelakangnya ada pasukan tombak kira kira sebanyak delapan ratus orang, sama sama putih menyala.
Pergerakan Laskar Buleleng tersebut bertujuan memberikan bantuan mengawal perjalanan Ki Gusti Ngurah Jelantik dan keluarga keluar dari Jelantik wilayah Gelgel kearah barat menuju Blahbatuh. Dari pusat pemerintahan Buleleng, Pasukan Buleleng terus bergerak kearah selatan, melewati dataran pegunungan Batur di Kintamani terus menuju arah selatan, melewati daerah Pludu dan Abuan. Penduduk Pekarangan yang melihat banyak Laskar membuka kemah di perbatasan utara desa mereka, ketakutan dan panik, segera mereka mengemasi barang-barang mereka lalu mengungsi keselatan desa, ke wilayah yang terlindung oleh lebatnya hutan enau dan rotan yang berduri (Bandil). Mereka lari menyelamatkan diri karena ketakutan, ada yang kearah selatan, kearah timur dan kearah barat, terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka hanya membawa barang-barang keperluan hidup saja, sementara barang-barang lain yang mereka anggap tidak terlalu perlu, berupa peninggalan-peninggalan leluhur, mereka tanam di sekitar parahyangan, agar mudah dikenali.
Patih Den Bukit Ki Tamblang Sampun yang melihat banyak penduduk Pekarangan mengungsi dari desanya sendiri, karena kedatangan Laskar Buleleng, kemudian memerintah kan beberapa Laskar untuk menemui penduduk agar menerangkan bahwa Laskar Denbukit tidak mempunyai niat buruk terhadap Penduduk Pekarangan. Tetapi penduduk lebih memilih untuk mengungsi keselatan di perbatasan desa Pekarangan dan wilayah hutan perburuan raja yang masih berupa belantara. Setelah semua penduduk berkumpul dibuatlah perkampungan baru dengan nama Let, yang artinya wilayah perbatasan bagian belakang. Berasal dari bahasa Kawi yang artinya antara, perbatasan, atau ekor (Menurut kamus Jawa Kuno P.J. Zoetmulder). Penduduk juga mengartikannya karena daerah hutan itu masih perawan, sulit dilalui, kalau ingin memasuki desa harus dengan berhati-hati, bahasa Balinya Kelet, yang berarti Ramai, Sesak atau Penuh (Menurut Kamus Bali I Gusti Made Sutjaja). Beberapa akhli juga mengartikan Kata Let bermakna Tua atau lampau.
Di desa mereka yang baru inilah penduduk Pekarangan membangun desa baru, akan tetapi masih tetap mengadopsi tata letak dan jajar desa seperti jajar desa di pekarangan. Yaitu Jajar Desa Hulu Teben. Dengan Konsep Jalan desa membatasi dua jejer rumah warga yang dibangun dikiri dan kanan jalan desa. Konsep pemade dan Penyoman itu sampai saai ini terlihat dengan jelas di desa Let. Jalan desa membentang dari utara keselatan, ujung utara sebagai hulu dengan beberapa Kayangan. Diujung selatan atau Teben dibuatalah setra atau kuburan untuk masyarakat desa yang tutup usia. Apabila dikaitkan dengan konsep kehidupan, dihulu atau Luanan adalah tempat mencari penghidupan, untuk makan dan minum (diibaratkan kepala manusia). Di dalam desa makanan dan minuman itu diolah (diibaratkan Badan atau Perut).
Sementara di Teben atau ujung
desa bagian selatan adalah tempat membuang segala bentuk hasil yang sudah tidak
dipakai lagi (diibaratkan sebagai kaki atau anus manusia). Ketiga hal diatas,
antara memasukkan makanan, mengolah dan membuangnya harus seimbang, agar
mendapatkan badan yang benar-benar sehat. Demikian pula konsep dari desa Hulu
Teben di Desa Let, sepanjang konsep memuja Tuhan, saling menghormati antara
warga desa, dan sayang serta selalu perduli dengan alam sekitar, desa akan
menjadi tentram. Setelah proses itulah kemudian Pekarangan berubah nama menjadi
Let, sampai saat ini.
BAB X
Desa Let Jaman Kekinian
X.1. Logo Desa Let dan Artinya
Arti Lambang Desa Pakraman Let
1. Segi lima : Desa Pakraman Let berpedoman kepada Pancasila sebagai dasar dan jiwa Negara Republik Indonesia.
2. Ongkara : Krama Desa Pakraman Let mengutamakan dan menyepakati bahwa kasucian Agama Hindu sebagai jiwa dari Desa Pakraman Let.
3. Padi dan kapas : Ketika membangun dan mencari Jagadhita, Krama Desa Pakraman Let tidak henti-hentinya berusaha meningkatkan Tri Boga Yaitu: Bhoga, Upabhoga, Dan Paribhoga.
4. Tiga gelang : Selain mengakui dan mengukuhkan Pancasila, Desa Pakraman Let Juga Mengakui Tri Hita Karana.
5. Padma : Krama Desa Pakraman Let mengutamakan Agama Hindu dan Seni Budaya Bali yang sudah terkenal sampai ke Luar Negeri
6. Slogan “TANI UBHAYANING PRAJAHITA”
Kesejahteraan Krama Desa Pakraman Let seperti kesejahteraan petani, dapat menciptakan kesejahteraan bagi Bangsa dan Negara.
X.2. Wilayah dan Penduduk Desa Pakraman Let.
Melalui catatan dari berbagai sumber yang didapat, bisalah dipastikan bahwa Desa Pakraman Let adalah salah satu dari sekian banyak desa tua Bali Aga, walaupun sebelumnya bukan bernama Desa Let.
Wilayah ini adalah tempat bermukimnya para pengikut Sang Maha Rsi Markandya, disamping daerah-daerah lainnya di sepanjang perbukitan Taro sampai Ubud. Sepanjang perjalanan jaman kemudian berkembang menjadi desa yang makmur dan tertata dengan sangat baik.
Para penduduk desa tidak pernah mengenal lelah melalui rasa kebersamaan Menyama Braya membangun desa, baik secara fisik maupun secara spirit. Terhitung sampai bulan Desember 2012, terdapat 58 pekarangan desa yang resmi, ditambah dengan penduduk yang mendiami wilayah ladang (Memondok) di sekitar Desa Pakraman Let. Desa Let memiliki 51 orang Pengayah Desa, dan 114 orang atau kepala keluarga sebagai Pengayah Banjar.
Desa Pakraman Let tercatat memiliki Laba pura yang tersebar di beberapa tempat, diantaranya :
· Laba Pura Desa Let No 66 II dp, 0,970
· Laba Pura Desa Let No 66. 29 dp.PD III. 0,640.
· Laba Pura Dalem Let No 67. 16 dp. II. 0,660
· Laba Pura Dalem Let No 67. 15. dp II. 0,400 dan 1.100
· Laba Pura Dalem 71,5 di Banjar Tengah Kauh
· Laba Pura Desa 82,5 di Banjar Susut Kaja
· Laba Desa Pakraman Let 1,76 di Banjar Tengah Kauh.
· Laba Desa Pakraman Let 1,26 di Banjar pelapuan.
|
|
Gambar tanah Laba Desa Pakraman Let
Denah Desa Let
Dalam usaha memajukan desa secara fisik dan spiritual Desa Let dipimpin oleh Manggala Kayangan (Pemangku), Manggala Adat (Para Juru Adat), dan Manggala Dinas (Para Juru Dinas). Saat ini Desa Let dipimpin oleh beberapa pemuka masyarakat yang duduk dalam ke Para Juruan,
1. Bendesa : I Made Doni
2. Penyarikan : I Made Sanu
3. Pekaseh : I Wayan Munjuk
4. Kelihan Dinas/Adat : I Made Tekek
5. Kelihan Subak/Wakil Kelihan : I Wayan Nita
6. Hansip/Ketua Pecalang : I Made Eguk
7. Hansip/Wakil Pecalang : I Made Raka
8. BPD : I Made Rika
9. LPM : I Ketut Masuk Yasa
Foto Para Juru Adat dan Dinas Desa Let
Dari keterangan pemuka masyarakat Desa Pakraman Let, diketahui beberapa pemimpin yang pernah duduk dalam kepengurusan Desa Adat maupun Dinas (Para Juru Adat dan Dinas), antara lain :
Bendesa Adat Desa Pakraman Let Taro.
1. I Gejen
2. I Made Gundil.
3. I Wayan Genjir.
4. I Wayan Saip
5. I Made Genjing.
6. I Made Malen.
7. I Made Pageh.
8. I Made Kantor.
9. I Wayan Krama.
10. I Made Pageh.
11. I Wayan Badung.
12. I Nyaman Jodog.
13. I Made Doni.
Kelihan Adat atau Kelihan Dinas Let Taro.
1. I Wayan Godo.
2. I Ngawir
3. I Wayan Nawi.
4. I Made Mangkreg.
5. I Nyoman Legoh.
6. I Wayan Murya.
7. I Nyoman Rinca.
8. I Wayan Puja.
9. I Ketut Gati.
10. I Ketut Kerug.
11. I Made Tekek.
Foto anggota Pecalang Desa Pakraman Let
X.3. Pura Kayangan Desa Pakraman Let
Desa Pakraman Let berbatasan dengan Desa Abuan Kintamani di sebelah utara desa, berbatasan dengan Desa Pisang di wilayah timur, Desa Patas di sebelah selatan, dan Desa Tebuwana di sebelah barat desa.
Foto Para Pamangku / Pinandita Desa Pakraman Let
Ada 9 Kayangan Desa yang diempon oleh Desa Pakraman Let, antara lain : Pura Dalem Suci / Dalem Lingsir, Pura Dukuh (Pura Pucak Andong), Pura Masceti, Pura Taman (Pesiraman Ratu Puseh), Pura Tegal Suci, Pura Puseh dan Bale Agung, Pura Pengangon dan Pura Dalem Pingit.
Dalam usaha warga menjaga adat istiadat terutama sekali menyiapkan segala bentuk upakara di kahyangan-kahyangan Desa Pakraman Let, dilaksanakan oleh para Serati atau tukang banten Desa Pakraman Let, diantaranya :
X.3.1. Pura Dalem Suci / Dalem Lingsir
Pura Dalem Suci terletak di wilayah utara Desa Pakraman Let, disebelah barat jalan desa. Dengan piodalan jatuh pada setiap Saniscara Kliwon Klurut. Jajar Pelinggih yang ada di Pura Dalem Suci antara lain:
1.Di wilayah Uttama Mandala
· Padma
· Piyasan
· Padma Pelinggih Ratu Sakti
· Padma Pelinggih Ratu Lingsir
Di wilayah Nista Mandala
· Padma Pelinggih Sangging Ratu Sakti/ Pelinggih Kyayi Bangkalan
Padma Pelinggih Sangging Ratu Sakti Pelinggih Kyai Bangkalan
Pelinggih Piyasan Dalem Suci
Denah Pura Dalem Lingsir atau Dalem Lingsir
X.3.2. Pura Dukuh Sakti (Pura Pucak Andong)
Pura Dukuh Sakti atau dikenal dengan nama Pura Pucak Andong, masih terletak di hulu desa, di timur jalan Desa Let. Dengan piodalan jatuh pada setiap Saniscara Kliwon Wariga di Pelinggih Padma Pucak Andong, Anggara Kliwon Julungwangi, di Pelinggih Padma Dukuh Sakti dan Saniscara Kliwon Kuningan di Pelinggih Padma Siwa Budha.
Pelinggih Mertiwi
Di sebelah utara pura tumbuh pohon Rijasa, daerah timur pura tumbuh juga pohon Rijasa, Pohon Bunut dan Pohon Enau (Jaka). Di sebelah barat pura tumbuh Pohon Rijasa dan
Arca Ratu Dukuh Sakti
Denah Pura Dukuh Sakti
Pohon Sambuk. Pura Dukuh Sakti atau Pura Pucak Andong hanya terdiri dari Uttama Mandala, dengan jajar Pelinggih sebagai berikut: Pelinggih Mertiwi, Padma Pucak Andong, Padma Dukuh Sakti, Padma Siwa Budha.
X.3.3. Pura Masceti
Pura Masceti Desa Pakraman Let terletak di tengah-tengah desa, disisi sebelah barat jalan desa, masih diwilayah sebelah barat Pura Desa dan Puseh Desa Pakraman Let. Pura ini hanya terdiri dari satu pelebahan Uttama Mandala, dengan Pelinggih sederhana, berupa Pelinggih Padma.
Piodalan jatuh pada masa setiap Padi di sawah berumur kurang lebih 3 bulan, bersamaan dengan prosesi upacara Mendak Tirtha. Jadi tidak ada hari yang pasti dalam piodalan, kebiasaan penduduk mencari hari baik, dalam masa padi sudah mulai menampakan buahnya. Hanya para tetua desa menyebutkan, piodalan yang diambil menghindari hari Pasah dalam Tri Waranya.
Denah Pura Masceti
Pelinggih Padma Masceti
X.3.4. Pura Tegal Suci
Pura Tegal Suci terletak di tengah-tengah Desa Let, berdampingan, dengan Pura Puseh dan Bale Agung. Tepatnya di belakang Pura Puseh dan Bale Agung. Dengan jajar Pelinggih antara lain :
Di Lokasi Uttama Mandala :
1. Pelinggih Piyasan Tegal Suci
2. Pelinggih Ratu Dhalem Puri
3. Padma
4. Pelinggih Tetanduran Rambut Sedana
5. Pelinggih Penyawangan Kebo Edan
Di Lokasi Madya Mandala :
1. Bale Petemon
2. Prantenan
3. Prantenan
4. Padma Perantenan
5. Prantenan
Pelinggih Penyawangan Kebo Edan
Piyasan dan Pelinggih Gedong Ratu Kebo Iwa
Denah Pura Tegal Suci
X.3.6. Pura Puseh dan Bale Agung.
Pura Puseh dan Bale Agung Desa Pakraman Let dibangun dalam satu kawasan, hanya dibatasi dengan tembok penyengker.
Denah Pura Puseh
Dibangun di pusat Desa, di pinggir utara dan timur jalan Desa Pakraman Let. Piodalan jatuh pada setiap Saniscara Kliwon wuku Landep, baik di Pura Puseh maupun di Pura Dalem. Dengan jajar Pelinggih, antara lain :
Di Lokasi Uttama Mandala Pura Puseh
1. Padma Basukian
2. Pelinggih Penyawangan Kemulan Pura Lumbau
3. Pelinggih Penyawangan Dukuh Sakti
4. Pelinggih Penyawangan Pucak Gunung Mangu
5. Pelinggih Penyawangan Ratu Bebotoh
6. Meru Pelinggih Ratu Maspait Majapahit
7. Pelinggih Penyawangan Ratu Gunung Raung
8. Pelinggih Penyawangan Ratu Gunung Lebah
9. Padmasana
10. Pelinggih Penyawangan Meru Gunung Agung
11. Pelinggih Penyawangan Putran Gunung Agung
12. Pelinggih Penyawangan Gunung Batur
13. Kemulan Puseh
14. Pelinggih Peselang
15. Pelinggih Penyawangan Ratu Gua Lawah
16. Pelinggih Penyawangan Ratu Batu Karu
17. Pelinggih Bale Pelik
18. Pengaruman
19. Piyasan Pura Lumbau
20. Padma Tetanduran
21. Bale Patok
Di Lokasi Madya Mandala Pura Desa
1. Pelinggih Penyawangan Kemulan Puseh Nengdengan
2. Bale Agung Dangin
3. Bale Gong
4. Pelinggih Gedong Simpen
5. Pelinggih Kemulan Dasar/Bali mula
6. Pesamuan
7. Bale Agung Dauh
8. Pelinggih Pejenengan
9. Penglurah Agung
Kori Agung Pura Bale Agung
Di Lokasi Madya Mandala
1. Kori Agung
2. Apit Lawang
3. Apit Lawang
4. Bale Kemit
5. Bale Kulkul
6. Titi Gonggang
7. Wantilan
Pelinggih Meru Ratu Maspait Majapahit
Pelinggih Pengaruman Puseh
Tercatat beberapa nama Penduduk yang Ngayah menjadi Pemangku Pura Puseh Desa Pakraman Let, antara lain : Mangku Wayan Pagon, Mangku Made Mawa dan Mangku Made Sana. Sedangkan nama penduduk yang Ngayah menjadi Pemangku di Pura Desa adalah Mangku I Ketut Ngetis.
X.3.7. Pura Pengangon.
Pura Pengangon Desa Pakraman Let dibangun di wilayah desa agak keselatan, letaknya di barat jalan Desa, terdiri dari satu pelebahan Utama Mandala, dengan jajar Pelinggih, antara lain : Pelinggih Pengangon, Gedong Simpen Sedahan Pengangon, Padma, Gedong Sari dan Penglurah.
Pelinggih Pengangon
Piodalan jatuh pada setiap hari Saniscara Kliwon Uye di Pelinggih Pengangon, dan setiap hari Sukra Umanis Klawu di Pelinggih Gedong Sari (Pelinggih Bhatari Sri).
Pelinggih Gedong Simpen Sedahan Pengangon
X.3.8. Pura Dalem Pingit.
Pura Dalem Pingit Desa Pakraman Let dibangun di wilayah hilir desa paling selatan, letaknya di timur jalan Desa, terdiri dari satu pelebahan Uttama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala serta satu bidang Setra Desa Pakraman, piodalan jatuh pada Tileming Jyesta. Dengan jajar Pelinggih, antara lain :
Denah Pura Dalem Pingit
Di Lokasi Uttama Mandala :
1. Padmasana
2. Pelinggih Gedong Dalem Pingit
3. Piyasan
4. Pengrurah
5. Gedong simpen
Pelinggih Padma di Pura Dalem Pingit
Di Lokasi Madya Mandala :
1. Plapuan
2. Padma Tegal Suci
Di Lokasi Nista Mandala :
1. Merajapati
Menurut keterangan para tetua desa, di Pura Dalem ada tercatat beberapa nama penduduk yang Ngayah sebagai Pemangku Dalem, antara lain : Jero Mangku Binder, Jero Mangku Wayan Jerembe dan Jero Mangku Made Mangkreg.
Sedangkan di Pura Merajapati tercatat pula beberapa penduduk yang ngayah sebagai pemangku, antara lain : Jero Mangku Pupul, Jero Mangku Gereh, Jero Mangku Nyoman Legoh dan Jero Mangku Wayan Dabdab.
Pelinggih Gedong Dalem Pingit
X.3.9. Pura Taman.
Pura Taman, Desa Pakraman Let terletak di timur laut Pura Puseh dan Bale Agung, terdiri dari satu Mandala, yaitu Uttama Mandala, dengan satu buah Pelinggih berbentuk Babaturan. Piodalan jatuh setiap hari Saniscara Kliwon Landep, sama dengan Wali di Pura Puseh dan Bale Agung Desa Pakraman Let.
Denah Pura Taman
Pelinggih di Pura Taman
X.3.10. Pura Prajapati dan Setra Desa Pakraman Let.
Dalam konsep Bali yang dikenal dengan nama Tri Hita Karana, wilayah Desa Pakraman juga terdiri dari tiga bagian wilayah yang mempunyai fungsi yang berbeda akan tetapi saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Ketiga bagian itu antara lain wilayah Parahyangan terdiri dari pura-pura, taman dan tegal suci, sebagai wilayah yang disucikan atau disakralkan sebagai tempat warga berhubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi beliau. Wilayah ini dikenal dengan nama wilayah kepala, hulu atau luwanan.
Foto Rumah Penduduk di wilayah Pekarangan jaman kuno th 1901
Wilayah kedua adalah wilayah tegalan, ladang, sawah dan kelompok perumahan warga, sebagai tempat beraktivitas melanjutkan kehidupan, proses proses kehidupan, mulai dari mengandung, lahir dan bertumbuh kembang warga terjadi di wilayah ini.
Pura Mrajapati
Wilayah yang dikenal dengan nama madya, badan atau Angga difungsikan sebagai wilayah interaksi atau hubungan antara warga desa dengan segala permasalahan sosial masyarakat.
Foto Pelinggih Tegal Suci di Pura Dalem
Wilayah terakhir, disebut dengan teben atau nista mandala atau hilir, terdiri dari setra atau sema, sungai, jurang dan laut. Wilayah ini difungsikan sebagai tempat akhir kehidupan, akhir dari segala kegiatan kemayarakatan.Wilayah hulu desa pakraman di Bali selalu terletak di bagian utara atau timur wilayah desa pakraman. Setra Desa pakraman Let terletak di bagian hilir, yaitu wilayah paling selatan desa, sedikit agak jauh dari daerah pemukiman penduduk. Setra Desa pakraman Let terbentang dengan tiga bagian, terdiri dari wilayah setra Bajang yang difungsikan sebagai penguburan warga yang meninggal sebelum dewasa (Anak-anak) terletak paling ujung utara setra.
Foto Pelinggih Ulun Setra
Setra utama terdiri dari 2 bagian sebagian kecil setra difungsikan sebagai tempat penguburan warga yang meninggal akibat kecelakaan dan bunuh diri (Salah Pati dan Ulah Pati), Sementara sebagian besar wilayah setra diperuntukkan sebagai tempat melaksanakan prosesi penguburan warga yang meninggal kebanyakan (Meninggal Wajar).
Foto Setra Desa Pakraman Let
Dalam berbagai
sastra agama Hidu disiratkan Setra adalah tempat peristirahatan yang tenang
bagi kehidupan. Pura Mrajapati adalah tempat pemujaan alam kosmis,
sedangkan setra adalah tempat atau panggung transformasi ajian Dewi Durga yang
cenderung bergerak ke kiri atau kiwa. Karena itu, Pura Dalem adalah stana Siwa
yang berfungsi sebagai penetralisir kekuatan positif dan negatif yang
ditimbulkan oleh praktik-praktik ajian Durga tersebut. Jika demikian tata
hubungan ketiga tempat pemujaan itu, maka di Pura Dalem umat melakukan
aktivitas ritual dan persembahan yang bertujuan untuk mendapatkan kerahayuan
dan terhindar dari pengaruh negatif dua kekuatan lainnya, yakni Mrajapati dan
setra. Di Mrajapati umat membayangkan kekuatan alam, dan setra adalah tempat
untuk melakukan upacara kematian. Di Mrajapati sendiri distanakan Durga dengan
tiga kekuatannya, yakni Anggapati, Prajapati dan Banaspati. Kanda Pat
menyebutkan Anggapati berarti kala atau nafsu di badan, Mrajapati berarti
penguasa Durga setra Gandamayu, sedangkan Banaspati berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti iblis, tonya atau hantu hutan, atau raja hutan, raja
pepohonan, dan penjaga lembah, sungai dan tempat-tempat angker lainnya. Sumber
lain menyebutkan Banaspati adalah gelar Hyang Siwa yang mengendalikan dan
menentukan hidup dan kehidupan semua ciptaannya (sarwa bhutesu).
BAB IV
Upaya Krama Desa
Menjaga Kekuatan Spiritual Desa Let
XI.1. Membangun dan Memperbaiki Pelinggih
Desa Pakraman Let memiliki 9 pelebahan pura yang berjejer dari hulu desa sampai ke hilir desa, dari ujung utara desa sampai keselatan desa. Pura-pura yang pada masa lampau kebanyakan terdiri dari Pelinggih sederhana, mulai ditata secara bertahap, renovasi dan perbaikan pura dilaksanakan oleh krama desa dengan jalan bergotong royong, baik yang menyangkut masalah bahan pura maupun proses pengerjaanya. Hal itu dilakukan berdasarkan semangat kebersamaan dan rasa tanggung jawab, sekaligus rasa syukur dan sukacita masyarakat terhadap segala bentuk anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
XI.2. Nangiyang Tapakan Dan Ngodakin Sesuhunan Desa Pakraman Let.
XI.2.1. Latar belakang.
Srada dan Bhakti bagi umat Hindu dapat diwujudkan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Pada tahun 1983 masyarakat Desa Pakraman Let mulai pemugaran dan pembangunan Pura di lingkungan Desa Pakraman Let, yang di beberapa pura, pemugaran dan pembangunan masih berlangsung sampai sekarang. Selanjutnya masyarakat Desa Pakraman Let mulai memikirkan pelaksanaan Upacara Piodalan (Karya Agung), yang merupakan penyelesaian dari segala pembangunan yang dilaksanakan di Desa Pakraman Let, dimana upacara ini memiliki tujuan untuk menyucikan segala jenis kekotoran yang melekat. Dengan pelaksanaan upacara ini diharapkan seluruh pura yang berada di lingkungan Desa Pakraman Let memperoleh kesucian secara Sekala dan Niskala.
Selama pelaksanaan pembangunan berlangsung kehidupan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya serta spiritual di Desa Pakraman Let berlangsung dan mengalir, sebagai halnya masyarakat di pedesaan. Segala kepentingan diadopsi sehingga memperkaya cara pandang warga masyarakat Desa Pakraman Let. Selama pembangunan pula, masyarakat banyak mendapatkan tanda-tanda niskala yang terjadi di wilayah Desa, diantara banyaknya tanda alam dan sipta, adapun yang dapat ditangkap oleh para Pinandita dan Pinisepuh beserta Prajuru Desa Pakraman Let diantaranya adalah seringnya Pemangku mendapatkan wangsit dari Ida Bhatara. Diantaranya: Pada hari Sabtu Kliwon Landep atau Tumpek Landep tanggal 9 Oktober 2010 masyarakat Desa Pakraman Let melaksanakan pementasan Calonarang, saat itu ada beberapa orang krama yang kerauhan dan mengatakan “Nira Seneng Masolah”, serta Jro Mangku Puseh yang mendapatkan penampakan orang yang tak dikenal yang menyampaikan pesan agar masyarakat ngodakin dan nangiyang Karas marupa Barong Ket. Setelah itu kejadian kerauhan tersebut terus berulang, sehingga masyarakat Desa Pakraman Let melaksanakan Parum Desa dan Parum Banjar.
XI.2.2 Paruman Desa dan Paruman Banjar
Dengan banyaknya kejadian seperti tersebut diatas, membuat para Pinisepuh, para Pinandita, para Prajuru Banjar Let serta masyarakat Banjar pada Saniscara Kliwon (Tumpek) melaksanakan Paruman atau Sangkep terkait dengan tanda atau sipta yang diterima oleh masyarakat dan Jro Mangku Puseh, untuk Ngodakin Ratu Lingsir dan Nangiyang Sesuhunan Barong dan Rangda tapi rencana Ngodakin Ratu Lingsir lan Nangiyang Tapakan Barong dan Rangda belum menemukan kesepakatan bersama oleh Krama Banjar (belum Parum).
Delapan bulan kemudian, para Juru kembali melaksanakan Parum, atau rapat bersama Krama Desa Pakraman Let, pada Parum ini baru disetujui untuk Ngodakin dan Nangiyang Barong dan Sesuhunan dengan catatan akan dilaksanakan upacara nunasang yang akan dilaksanakan di natar Pura Puseh tetapi dalam pelaksanaanya krama desa tidak mendapatkan hasil apapun. Kemudian kembali dilaksanakan Parum dan disepakati bahwa akan dilaksanakan upacara memasar ke Banjar Bayad, Payangan, yang akan dilaksanakan pada hari Soma Umanis Kelawu diawali dengan nunas ica yang dilaksanakan oleh seluruh Pinandita, Para Dulu Adat, beserta dengan masyarakat Desa Pakraman Let. Pada hari itu juga sekitar jam 19.00 wita masyarakat kembali melaksanakan Parum terkait dengan hasil memasar ka Banjar Bayad, Payangan dalam Parum tersebut disepakati bahwa akan dilaksanakan upacara Matur Piuning atau Nyanjan di Pura Puseh, saat pelaksanaan matur piuning kembali ada yang kerauhan dan menuju Pura Dalem Pingit, disana kembali ada masyarakat yang kerauhan dan mebaos bahwa masyarakat Desa Pakraman Let agar secepatnya Ngodakin Ida Ratu Lingsir dan Nangiyang Barong Ket dan Ratu Sakti.
Tiga hari kemudian Jro Mangku Puseh meminta masyarakat untuk tangkil ka Pura Dalem Pingit untuk ngaturan banten Guru Piduka, ketika ini pun kembali ada yang kerauhan sebagai tanda Bhakti dan mengikuti Bhisama dari leluhur masyarakat Desa Pakraman Desa Let untuk Ngodakin Sesuhunan Ratu Lingsir dan Nangiyang Sesuhunan Barong dan Rangda sesuai dengan Bhisama yang diterima.
Bahkan saat pelaksanaan Ngodakin Ratu Lingsir dan Nangiyang Tapakan Barong dan Rangda kembali ada Sesuhunan yang tedun dan mengatakan bahwa masyarakat harus Nangiyang Karas Ratu Anom dan Karas Ratu Bale Agung.
XI.2.3 Memilih Tempat Nunas Taru
Berdasarkan keputusan yang didapat dan berbagai tanda alam atau sipta yang diterima baik oleh para Juru, Jro Mangku serta masyarakat maka masyarakat setuju untuk Ngodakin Ratu Lingsir dan Nangiyang Tapakan Barong dan Rangda. Pada tanggal 7 November 2011 masyarakat kembali mendapatkan baos dari Sesuhunan terkait dengan kayu yang akan dipakai sebagai Prerai Ratu Mas Ayu terdapat di sebelah barat setra dan kayu Prerai Ratu Sakti terdapat di sebelah barat daya Dalem Lingsir atau Dalem Suci. Pada tanggal 10 November 2011 yaitu pada hari Wrespati Paing Dukut dilaksanakan prosesi nunas taru yang terdapat di sebelah barat daya Pura Dalem Suci yaitu di tegal milik I Nyoman Meling sebagai kayu Prerai Ratu Sakti dan kayu yang terdapat di sebelah barat Setra yaitu di tegal milik I Wayan Keplus sebagai kayu Prerai Ratu Mas.
Pada hari Wrespati Paing Kulantir tanggal 15 Desember 2011 kembali dilaksanakan upacara nunas taru untuk Prerai Ratu Anom dan Ratu Bale Agung sesuai dengan baos yang diterima oleh masyarakat desa Pakraman Let pada tanggal 24 November 2011, yang mana taru yang akan digunakan untuk Prerai Ratu Anom terdapat di Pura Taman dan taru Prerai Ratu Bale Agung terdapat di Setra.
XI.2.4 Prosesi Nangiyang Sesuhunan
Guna menindak lanjuti hasil baos yang diterima para Juru dan masyarakat, maka pada tanggal 10 November 2011 dilaksanakan upacara nunas taru Prerai Ratu Sakti, dan Prerai Ratu Mas. Kemudian pada hari Redite Kliwon Watugunung tanggal 13 November 2011 mulai dilaksanakan prosesi Ngodakin yang dilaksanakan oleh Jro Sangging yang bernama Mangku Karma yang berasal dari Banjar Mukti, Singapadu. Gianyar. Selama pelaksanaan prosesi Ngodakin kembali ada baos dari Sesuhunan agar beliau dibuatkan Kekereb atau Leluhur, selama itu pula banyak Sesuhunan yang tedun diantaranya Ratu Anom dan Ratu Bale Agung agar Beliau dibuatkan Tapakan.
Pada hari Soma Kliwon Landep tanggal 28 November 2011 masyarakat Desa Pakraman Let melaksanakan upacara Pasupati Tapakan Ratu Sakti dan Ratu Mas yang dilaksanakan di Pura Dukuh Sakti atau Pura Pucak Andong, kemudia pada hari Saniscara Wage Prangbakat tanggal 5 Mei 2012 kembali masyarakat melaksanakan upacara Pasupati Tapakan yang dilaksanakan oleh Jro Mangku Puseh dan Jro Mangku Bale Agung serta semua Tapakan, disaksikan oleh semua krama Desa Pakraman Let.
Ratu Mas Gede Maha Bhumi
Selama prosesi Ngodakin dan Nangiyang Barong dan Rangda banyak diterima baos atau pawisik yang terkait dengan tata cara ngiring dan nyangra Tapakan, beserta tata cara masyarakat dalam melaksanakan kehidupan spiritual terkait dengan keberadaan Ratu Lingsir beserta dengan Tapakan sami.
Ratu Bale Agung Bandawati
Ratu Anom Putu Putra Wesnawa
Ratu Lingsir Maspahit Majapahit
Ratu Sakti Kyai Sapuh Jagat Bherawa/ Rambut Jadma
XI.3. Menyelenggarakan Upacara Ngusabha.
Kata Yadnya berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari akar kata “Yaj” yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban. Kemudian penulisannya di-Indonesiakan dari Yajna menjadi Yadnya.
XI.3.1. Hakekat Yadnya
Dalam kitab Bhagawadgita dijelaskan Yadnya artinya suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti upacara persembahan korban suci. Pemujaan yang dilakukan dengan mempergunakan korban suci sudah barang tentu memerlukan dukungan sikap dan mental yang suci juga.
Didalam kitab Bhagavadgita III.14 menyatakan bahwa “Yadnya berasal dari karma”. Ini berarti bahwa dalam Yadnya perlu adanya kerja, karena dalam Yadnya menuntut adanya perbuatan. Tuhan menciptakan alam beserta isinya diciptakan dengan Yadnya maka patutlah manusia pun melaksanakan Yadnya untuk memelihara kehidupan didunia ini. Tanpa adanya Yadnya maka perputaran roda kehidupan akan berhenti. Yadnya merupakan salah satu wujud dari Tri Kerangka Agama Hindu yaitu termasuk Upacara atau Ritual. Hal ini dikarenakan penerapan Yadnya dikaitkan dengan Upacara Agama Hindu yaitu dalam bentuk Ritual.
Yang berarti Yadnya merupakan bentuk penerapan ajaran Agama Hindu dengan cara perbuatan, atau disebut juga Karma Kanda atau Karma Sanyasa atau Prawerti. Di dalam setiap pelaksanaan Yadnya, Agni sebagai penghubung atau perantara antara manusia dengan Tuhan yang biasanya dalam bentuk Pasepan ataupun Dupa, Agni juga sebagai pelengkap atau penyempurna segala kekurangan yang terjadi dalam setiap prosesinya.
Yadnya dapat diartikan merupakan segala bentuk pemujaan atau persembahan dan pengorbanan yang tulus iklhas yang timbul dari hati yang suci demi maksud-maksud mulia dan luhur. Sehingga Yadnya bukan saja dilakukan dalam bentuk ritual atau dalam kegiatan agama saja, namun perbuatan yang tulus iklhas juga masuk didalamnya. Ditinjau dari pelaksanaannya Yadnya terdiri dari beberapa unsur, antara lain, adanya unsur Karya (kerja),segala sesuatunya haruslah dikerjakan atau adanya perbuatan, unsur Sreya (ketulusan), bahwa disetiap Yadnya yang dilakukan didasari oleh ketulusan hati tanpa adanya suatu paksaan dari siapapun, sehingga rasa iklas muncul dari dalam hati.
Selanjutnya dalam pelaksanaan Yadnya manusia akan selalu ingat akan kodratnya didunia, dengan berbagai kekurangan yang dibawa dari lahir, adanya kesadaran tersebut sehingga terbebaslah manusia dari kebingungan, kegelapan sang jati diri (Atman) dari belenggu dunia maya, kepalsuan dunia. Dengan demikian Atman akan dapat terhubung dengan Tuhan lewat pelaksanaan Yadnya yang dilambari ketulus-iklasan. Dalam Bhagavadgita III.9 menyatakan bahwa :
”Para dewa akan memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan, karena itu manusia yang mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan Yadnya pada hakekatnya dia adalah pencuri”.
Ini berarti bahwa antara manusia dengan para Dewa harus ada hubungan yang harmonis sehingga terwujud suatu kebahagiaan. Hal tersebut terjalin dengan adanya idep yang merupakan kelebihannya manusia dari ciptaan Tuhan yang lain.
Selanjutnya dalam Bhagavadgita, Sri Kresna bersabda yaitu:
“orang yang terlepas dari dosa adalah orang yang makan sisa dari persembahan/Yadnya”.
Ini berarti bahwa dalam kehidupan ini manusia harus senantiasa menikmati makanan hasil persembahannya kepada Tuhan. Bilamana manusia memakan yang bukan hasil persembahan pada Tuhan berarti dia memakan dosa. Agar terhindar dari dosa itu, manusia sebelum makan haruslah mempersembahkannya terlebih dahulu pada Tuhan. Sehingga makan hasil persembahan yang dimakan adalah anugerah dari Tuhan yang disebut dengan “Prasadham” yang istilah Balinya disebut dengan ”Lungsuran”. Yadnya Sesa (matur saiban) merupakan salah satu bentuk Yadnya yang dilakukan sehari-hari setelah memasak. Dalam Atharwa veda XII.1 dikatakan bahwa
“Yadnya merupakan salah satu pilar penyangga tegaknya kehidupan di dunia ini”.
Jadi bilamana Yadnya tidak dilakukan lagi akan menjadikan alam beserta kehidupannya tidak akan dapat berlangsung. Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama dilaksanakannya Yadnya menyatakan bahwa
“Alam ini ada berdasarkan Yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan Yadnya dewa memelihara manusia dan dengan Yadnya manusia memelihara Dewa”.
Ini berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta beserta isinya ini adalah adanya Yadnya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Maha Purusa. Selanjutnya para Dewa yang merupakan sinar suci dari Tuhan pun memelihara kehidupan dialam semesta ini dengan Yadnya, sehingga dengan demikian manusia pun harus melaksanakan Yadnya untuk memelihara Dewa. Adanya hubungan timbal Balik antara manusia dan Dewa serta dengan terjaganya saling memelihara ini akan menciptakan kebahagiaan bagi semua mahluk, seperti apa yang tersurat dalam Bhagawad gita III.11 yang isinya adalah
“Saling memelihara satu sama lain maka manusia akan mencapai kebahagiaan”.
Ketika hubungan timbal Balik ini tidak dilaksanakan niscaya alam semesta ini akan hancur. Kita tahu bahwa Tuhan melingkupi serta menyusupi semua yang ada, jadi ketika kita tidak bisa menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia dan dengan alam yang merupakan bagian dari kemahakuasaan Tuhan akan menimbulkan kesengsaraan. Misalnya saja kita tidak menghormati lingkungan maka pastinya alam pun akan tidak bersahabat dengan manusia itu sendiri.
XI.3.2.Persiapan nangun Yadnya
Di dalam persiapan Nangun Yadnya Agung Krama Desa Pakraman Let sepakat melaksanakan berbagai Yasa Kerti, dengan mengutamakan perbuatan, perkataan dan pemikiran yang penuh dengan kesucian.
Dharma Wacana Oleh Pengelingsir Puri Ubud
Yasa Kerti dalam hal perbuatan yang baik dituangkan dalam butir sebagai berikut :
· Semua warga Desa Pakraman agar selalu memakai pakaian adat yang pantas, juga diwajibkan memakai ikat kepala, baik laki-laki maupun wanita.
· Bagi Krama Desa yang mempunyai cacat kelahiran diharapkan tidak ikut dalam ayah-ayah nanding upakara Suci, Catur dan upakara lain yang dihaturkan di Sanggar, untuk menghaturkan ayah-ayah yang lain dan muspa tidak ada larangan. Yang dianggap Cuntaka menurut sastra agama adalah warga yang kumpul kebo, anak yang lahir tanpa orang tua yang syah dan yang lainnya dilarang memasuki wilayah Pura. Semua perbuatan yang disengaja bertujuan untuk menggagalkan rangkaian upacara agar dijauhkan.
· Apabila ada Kematian di salah satu anggota keluarga Krama Desa, terhitung mulai dari dilaksanakannya upacara Pengalang Sasih sampai selesai Dudonan Karya Agung, agar melaksanakan kegiatan tersebut tanpa suara kentongan serta tidak memakai upacara upakara. Apabila yang meninggal tidak akan boleh dipendam, seperti Sulinggih, Pemangku agar dititip dahulu (Tidak diupacara). Apabila kematian yang boleh dipendem, agar prosesi dilaksanakan setelah matahari tenggelam dengan upacara seperti biasa. Bagi Krama yang mengikuti prosesi upacara Kelayu Sekaran dianggap Cuntaka. Cuntaka satu rumah dihitung sampai prosesi upacara keseluruhan selesai. Pengapit terkena cuntaka selama 12 hari. Para Juru Desa dan Dinas tidak terkena cuntaka, agar tidak ikut dalam prosesi pemakaman.
· Apabila ada Krama Desa yang melahirkan terkena cuntaka 42 hari bagi yang wanita dan bagi yang laki-laki terkena cuntaka sampai 12 hari, bagi anggota keluarga yang sudah berlainan dapur tetapi masih dalam satu pekarangan, terkena cuntaka selama 3 hari. Apabila ada salah satu krama yang keguguran, kena cuntaka selama 42 hari, laki atau perempuan. Demikian ketentuan Yasa Kerti yang disepakati oleh Krama Desa Pakraman Let dalam rangka menyambut Karya Agung Ngusabha Desa Ngusabha Nini, Tawur Pedanan dan Prayascitha Bhumi di Pura Puseh dan Bale Agung Desa Pakraman Let.
XI.3.3 Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan, Tawur Agung Pedanan, Ngusabha Desa, Ngusaba Nini dan Prayascita Bhumi di Desa Pakraman Let,
Upacara persembahan Karya Agung Ngusaba Desa dan Ngusaba Nini di Desa Pakraman Let, merupakan ungkapan terima kasih, merupakan astiti bhakti warga desa Pakraman Let kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa yang tentunya berpijak pada ajaran-ajaran Agama, terutama ajaran Sastra dari Widhi Sastra dan Sri Tattwa dan beberapa sastra pendukung lainnya seperti Gong Besi, Bhama Kertih, Kramaning Anangun Kahyangan, lontar Pengusabha dan lontar-lontar lainnya. Ngusabha berasal dari bahasa Sanskerta dari kata dasar Utsava atau Utsawa dalam bahasa Jawa Kuno.
Dalam bahasa Bali menjadi Usaba atau Ngusaban yang artinya menyiapkan perjamuan. Bertujuan untuk mengucapkan atau ungkapan terima kasih kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa, serta memohon anugrah-Nya untuk senantiasa menganugrahkan kedamaian dengan terpeliharanya unsur-unsur Panca Maha Bhuta yang merupakan dasar kehidupan masyarakat seluruhnya. Karya Agung ini merupakan karya pada tingkatan yang “utama” pada tingkatan Pura Kahyangan Tiga, yang dilaksanakan dalam kurun waktu 15 tahun atau 25 tahun sekali, serta ditunjang juga oleh kemampuan Desa Pakraman yang bersangkutan.
Dengan “ehed” karya Mamungkah, Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan, Tawur Pedanan, yang diawali dengan persembahan atau pemujaan Muktyaning karya selanjutnya Makebat Daun. Upacara Mamungkah berkaitan dengan adanya beberapa Pelinggih yang telah diperbaiki. Semua rangkaian upacara-upakara dituntun oleh Yajamana Karya, Ida Paranda ring Giriya Selat Duda dan Maha Tapini, Ida Peranda Giriya Ketewel serta Pengerajeg Karya Pengelingsir Puri Agung Ubud.
XI.3.4 Ehedan Karya Agung Mamungkah,
Untuk lebih memahami dan menghayati jalannya upacara, tidak ada salahnya diketahui juga makna dan arti rangkaian upacara, antara lain :
· Matur Piuning.
Upacara Matur Piuning yang dilaksanakan pada, Selasa,13 Nopember 2012, di Pura Kayangan Tiga dan Pura-Pura yang terkait lainnya bertujuan sebagai permakluman sekaligus untuk memohon kerahayuan dan tuntunan Ida Sang Hyang Widhi, agar apa yang dikerjakan dan akan dikerjakan dalam kaitan Karya Agung tersebut berhasil sesuai dengan harapan dan tujuan Krama Let khususnya dan Bali umumnya.
· Nyukat Genah dan Mendak Tirta.
Upacara Nyukat Genah yang dilakukan pada hari Jumat, 16 Nopember 2012, yang bertempat di Pura Kayangan Tiga dan Pura-Pura yang lain di wilayah Let, secara niskala bertujuan untuk membuat batas antara Parahyangan dengan Tri Mandala. Selanjutnya dilakukan Mendak Tirta diantaranya Tirta Empul, Tirta Selukat, Tirta Segara dan Tirta Sidha Karya di Badung, yang dilaksanakan oleh perwakilan masing-masing krama desa adat yang dipimpin oleh para Pemangku Kayangan tanggal 28 Desember 2012 dilaksanakan juga upacara prosesi Mendak Tirta di luar Bali, diantaranya Pura Gunung Raung, Pura Gunung Semeru dan Pura Gunung Bromo.
Selain itu dilaksanakan juga mendak Tirta Kayangan di Bali, antara lain : Pura Penataran Agung Besakih, Pura Tirta Tunggang Besakih, Tirta Suda Mala Dalem Puri Besakih, Tirta Ulun Danu Batur, Danau Tamblingan Tabanan, Batu Karu Tabanan, Lempuyang Karangasem, Pura Jati Batur dan Pura Gunung Raung Taro.
· Nanceb Sanggar Tawang dan Nuasen Karya .
Acara Nanceb Sanggar Tawang dilakukan pada hari Minggu, 18 Nopember 2012.
Yang dipuput oleh Ida Paranda Istri (Giriya Ketewel) dilanjutkan dengan prosesi Negtegang dilaksanakan di Pura Desa lan Puseh , Nyangling / Ngisah / Nyuci, Ngadegan Sanghyang Tapini, Ngadegan Sanghyang Guru Dadi, Ngadegang Sanghyang Pengemit Karya, Ngadegan Rare Angon, Nyengker Setra
· Upakara Mlaspas, Mecaru Rsi Ghana.
Prosesi Upakara Mlaspas, Mecaru Rsi Ghana dilaksanakan pada hari Senin, 21 Januari 2012. Dilaksanakan di Pura Desa lan Puseh Desa Pakraman Let.
Prosesi upacara ini dilaksanakan di Uttama Mandala, di Natar Bale Agung, di Nista Mandala (Taman), di Pura Prajapati, di Ulun Setra. dilaksanakan juga acara Nedunang Bhatara Sami.
· Melasti
Melasti dalam bahasa Bali terdiri dari dua kata : Mala artinya kekotoran atau noda, Asti artinya dibuang. Jadi Melasti yang berasal kata mala- asti, yang artinya menghanyutkan kekotoran.
Prosesi Melasti
Upacara Melasti di lakukan di laut, karena kegiatan Melasti meliputi dua tujuan yaitu, menghilangkan kotoran dan meminta Tirta Kamandalu, yakni Tirta Suci yang diyakini membawa kesucian, kebaikan, kemakmuran dan kejayaan atau umur yang panjang. Dilaksanakan pada hari Anggara Umanis Landep, tanggal 22 Januari 2012. Dilaksanakan juga upacara Melaspas Bagia Pulekerti dan Memendak.
· Pedanan, Mepada Agung
Kedua runtutan upacara ini adalah upacara pokok dalam ehedan Karya Agung Ngusabha Desa Ngusaba Nini di Desa Pakraman Let.
Tawur Wrespati Kalpa dilaksanakan pada Wrespati Landep Tanggal 24 Januari 2012 di Pura Puseh, Tawur Walik Sumpah dilaksanakan di Catus Pata Desa Pakraman Let. Mapepada Agung di laksanakan Sukra Wage Landep, Tanggal 25 Januari 2012 di Pura Desa lan Puseh.
· Puncak Karya.
Upacara Karya Agung Memungkah Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan, Ngusaba Desa Ngusaba Nini dan Prayascita Bhumi, puncaknya dilaksanakan pada Saniscara Kliwon Landep, Tanggal 26 Januari 2012, dengan Upakara lengkap di Sanggar Tawang, di sor Sanggar Tawang, di seluruh Pelinggih, di Panggungan, di Lantaran, Pura Tegal Suci dan di Pedanan.
Setelah prosesi upacara ini kemudian dilanjutkan dengan ehedan upacara lain seperti : Nganyarin, Nglemekin, Bangun Ayu, Makebat Daun, Rsi Bhujana, Nyenuk, Nyineb, Nuek Bagia, Nyegara Gunung. Dan semua rangkaian upacara diatas kemudian ditutup dengan upacara satu bulan tujuh hari. Dengan demikian berakhirlah ehedan upacara diatas, selesai sudah seluruh prosesi Upacara Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan, Tawur Agung Pedanan, Ngusaba Desa Ngusaba Nini dan Prayascita Bhumi di Desa Pakraman Let, Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar.
Foto Meajar-ajar
BAB XII
Berbagai Bentuk Upacara Yadnya
di Desa Pakraman Let
XII.1. Pengertian Yadnya
Kata Yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari akar kata “yaj” yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban. Kemudian penulisannya diindonesiakan dari Yajna menjadi Yadnya. Dalam kitab Bhagawadgita dijelaskan Yadnya artinya suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti upacara persembahan korban suci. Pemujaan yang dilakukan dengan mempergunakan korban suci sudah barang tentu memerlukan dukungan sikap dan mental yang suci juga.
XII.2. Tujuan Yadnya
Bila direnungkan tujuan diadakannya sebuah Yadnya yaitu untuk membalas Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang Hyang Widhi ketika menciptakan alam semesta beserta isinya. Hal tersebut dapat kita lihat dari sloka dibawah ini:
“sahayajnah prajah srishtva, paro vacha pajapatih, Anema prasavish dhvam, esha yostvisha kamaduk”
Artinya:
Pada jaman dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan manusia dengan Yadnya dan bersabda. Dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamanduk (memenuhi) dari keinginanmu.
Dari sloka di atas dapat kita lihat secara jelas, bahwa kita melaksanakan Yadnya atas dasar Tuhan mengawali menciptakan dunia besrta isinya berdasarkan Yadnuhan itu diteruskan agar kehidupan di dunia ini berlanjut terus dengan saling beryadnya.
Bukankah akibat dari Tuhan berbuat Yadnya itu menimbulkan Rnam (hutang). Kemudian agar tercipta hokum keseimbangan, maka rnam itu harus dibayar dengan Yadnya (Tri Rna). Tri Rna ini dalam kehidupan sehari-hari dapat dibayar dengan melaksanakan Panca Yadnya. Dimana Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan dibayar dengan Bhuta Yadnya, kemudian Rsi Rna dibayar dengan Rsi Yadnya, dan yang terakhir yaitu Pitra Rna dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
Memang konsep Agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya keseimbangan berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia ini. Untuk terwujudnya keseimbangan tersebut dalam Umat Hindu diajarkan Tri Hita Karana yaitu tiga factor yang menyebabkan terwujudnya suatu kebahagiaan. Berkaitan dengan itu, dalam Bhagawadgita III.2 menyebutkan:
“ishtan bhogan hivoDewa, donsyante yajna bhavitah, tair dattan apradayabho, yobhunkte stena eca sah”
Artinya:
Dipelihara oleh Yadnya Para Dewa, akan memberikan kamu kesenangan yang kamu inginkan. Ia yang menikmati pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepadanya adalah pencuri.
Selanjutnya seloka Bhagawadgita III.13 menyebutkan:
“yajna sisyah sinah santo, nucyanta sarwa kilbisaih, bhujate tuagham papa, ye pacauty atmakatanat”
Artinya:
Orang yang baik, maka apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan kepentingan sendiri, mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
Jadi dengan petikan sloka di atas dapat ditegaskan bahwa Yadnya itu bertujuan untuk melangsungkan kehidupan yang berkesinambungan yaitu dengan cara Membayar Rna (hutang) untuk mencapai kesempurnaan hidup danMelebur dosa untuk mencapai kebebasan yang sempurna.
XII.3. Fungsi Dan Makna Yadnya
Jika kita lihat dari tujuan pelaksanaan Yadnya yang dijelaskan diatas maka secara umum fungsi daripada Yadnya adalah sebagai sarana untuk mengembangkan serta memelihara kehidupan agar terwujud kehidupan yang sejahtra dan bahagia atau kelepasan yakni menyatu dengan Sang Pencipta. Berdasarkan uraian diatas dapat dijabarkan fungsi dari pelaksanaan Yadnya, yaitu sebagai berikut:
Ø Sarana untuk mengamalkan Weda
Yadnya adalah sarana untuk mengamalkan Weda yang dilukiskan dalam bentuk symbol-simbol atau niyasa. Yang kemudian symbol tersebut menjadi realisasi dari ajaran Agama Hindu.
Ø Sarana untuk meningkatkan kualitas diri
Setiap kelahiran manusia selalu disertai oleh karma wasana. Demikian pula setiap kelahiran bertujuan untuk meningkatkan kualitas jiwatman sehingga tujuan tertinggi yaitu bersatunya atman dengan brahman ( brahman atman aikyam ) dapat tercapai. Dalam upaya meningkatkan kualitas diri, umat Hindu selalu diajarkan untuk buatan baik. Perbuatan baik yang paling utama adalah melalui Yadnya. Dengan demikian setiap yadnya yang kita lakukan hasilnya adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwatman.
Ø Sebagai sarana penyucian
Dengan sebuah Yadnya sesuatu hal bisa disucikan seperti diadakannya Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya yaitu pada bagian-bagian tertentu mengandung makna dan tujuan untuk penyucian atau pembersihan.
Ø Sarana untuk terhubung Kepada Ida Sang Hyang Widhi
Yadnya merupakan sarana yang dapat digunakan untuk mengadakan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, seperti yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Ø Sarana untuk mengungkapkan rasa terima kasih
Dengan sebuah yadnya seseorang mampu mengungkapkan rasa syukur dan ucapan terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sesama manusia, maupun kepada alam, seperti yang sudah biasa dilakukan dalam penerapan Panca Yadnya.
XII.4. Upacara Manusa Yadnya
Manusa Yadnya adalah suatu upacara suci atau pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya masalah tempat, keadaan, dan waktu sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan pada saat anak mengalami masa peralihan. Sebab ada anggapan bahwa pada saat-saat itulah anak dalam keadaan kritis, sehingga perlu diupacarai atau diselamati. Dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kernajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Tujuan dari Manusa Yadnya atau Sarira Samskara adalah untuk menyucikan diri lahir bathin (pamari sudha raga) dan memohon keselamatan dalam upaya peningkatan kehidupan spiritual menuju kebahagian baik di dunia maupun di alam niskala.
Ø Bentuk upakara di saat bayi baru lahir
Apabila ada Bayi baru lahir, maka dibuatkanlah beberapa upakara sebagai wujud terima kasih atas anugrah Ida Sang Hyang Widhi, sehingga Bayi yang lahir sehat dan selamat. Juga upacara ini ditujukan untuk sebuah harapan si Bayi yang masih dipengaruhi oleh unsur-unsur ke Dewa an bisa panjang umur dan dijauhkan dari pengaruh-pengaruh jahat, sarana yang dipakai adalah upakara Penyeneng dan pemapag
Ø Ngelepas.
Setelah bayi kira-kira berusia 3 sampai 7 hari, saat tali pusar bayi lepas, maka dibuatkanlah upacara sederhana, yang masih dilakukan oleh keluarga dekat orang tua si bayi. Penyucian bayi dari unsur-unsur kelahiran yang masih tersisa di tali pusar bayi. Untuk itu dibuatkanlah upakara berupa Soroan peras penyeneng pengelepas, Soroan genep, dan Canang Kumara. Canang Kumara ini berfungsi melinggihkan Ida Sang Hyang Kumara, sebagai dewa pelindung bayi. Isinya antara lain, Beras, uang kepeng, pipil dan Banten Pecaplikan, yang terdiri dari banten yang tujuannya dihaturkan kepada Sang Catur Sanak si bayi.
Ø Pangeroras
Setelah bayi tadi berusia 12 hari, kembali dibuatkan upakara. Dalam prosesi pengororas dibagi menjadi tiga tahapan yang dilakukan dalam waktu yang sama. Diantaranya:
· Pangeroras. Upakara Pengeroras ini terdiri dari beberapa banten, diantaranya, Banten Pamali yang terdiri dari Penyeneng dengan tipat akelan (6), blayag akelan (6), memakai penjor, pusuh mareka atau mapayas, papah mareka atau mapayas dan buah Bluluk.
· Upakara ke Segara (laut). Upakara ini sebagai niyasa harapan keluarga agar si bayi mendapatkan air susu yang berlimpah, seperti limpahan air laut yang tidak pernah kering, sehingga bayi bisa tumbuh dengan baik, tidak kekurangan makanan dan minuman., bentuk upakaranya memakai Kelanan dampulan dan Bayoan atau bayuwan panglukatan
· Di halaman rumah (natah) juga disiapkan upakara sesuai dengan kemampuan orang tua si bayi. Upakara ini berniasa, agar si bayi mendapat ruang yang luas bila ingin bermain-main di halaman rumah, tidak ada yang menganggu, karena alam sudah dimohonkan sebagai penjaga bayi yang sedang bermain. Upakara ini terdiri dari Soroan genep,2 soroh, Penyambut asoroh, jinah pengempu, Banten Pacaplikan, banten Canang Kumara, dan pras penganteb untuk pemangku ngastawa.
XII.4.4.Akambuhan.
Apabila bayi sudah menginjak 42 hari, maka dibuatkanlah upacara upakara yang juga mempunyai nilai niyasa agar bayi senantiasa dijaga dengan baik dan dipanjangkan usianya, agar selalu sehat dan tidak rewel. Bentuk upakaranya antara lain: Soroan peras penyeneng satu soroh, Jerimpen pengempu satu soroh, Canang kumara satu soroh, Upakara Pecaplikan satu soroh, banten Penyambutan 1 soroh dan satu soroh banten Penganteb.
Ø Tiga Bulanan
Setelah bayi berusia tiga bulan kalender lunar Bali, kembali keluarga si bayi membuat rentetan upacara sebagai niasa bentuk ucapan terima kasih yang tulus kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, juga kepada Leluhur yang sudah berkenan lahir kembali (Manresti) di keluarganya. Bentuk upakara dibagi diantara 2 tempat antara lain :
Bentuk upakara Tiga Bulanan
Di Pemrajan atau di Sanggah dihaturkan upakara atau banten Kapialang, rawosan tumpeng 6 biji, juga menghaturkan upasaksi dengan daksina serta wangsuh pada, memohon tirta amertha untuk si bayi dan orang tua, disamping bertujuan untuk menghilangkan reged (Cuntaka), menghaturkan ungkapan terima kasih, juga bermakna memohon anugrah.
Serati (Tukang Banten) yang memberikan keterangan tentang berbagai upakara yang dipakai dalam kaitan Manusa Yadnya.
Khusus upakara yang dipakai untuk mohor tirtha pengelebar pialang, terdiri dari Suci 1 soroh dan sorohan suci tumpeng 6 biji. Juga menyertakan banten sorohan ajuman putih kuning pemohon tirtha.
Upakara di Bale Dangin juga dibuatkan upacara terdiri dari dua bagian, Upakara yang bertujuan untuk memohon anugrah ke laut atau Segara, ditempatkan di sebelah barat Bale utama, biasanya dibuat bale tambahan, diantara bale utama dan adegan bale sebelah barat, kedudukannya lebih rendah dari bale utama.
Selanjutkan disebut bale tengen. Di Bale tengen dihaturkan upakara ke laut atau segara, dengan banten Jejanganan 1 soroh, Soroan tumpeng 6, 1 soroh, Tegen- tegenan nista, Bayuwan pangalukatan 1 soroh, Toyo tanah atau pagogo-gogowan 1 soroh, Penyeneng dengan daging ayam biying (Merah) dipanggang.
Banten Peledukan terdiri dari jejatah (sate) 1 soroh, Banten Tetebek, yang terdiri dari nasi sasah yang ditempatkan pada daun nangka yang dibentuk macekelungan dan diletakan pada dua buah tamas yang masing-masing tamas berisi daun nangka dengan daun nangka yang menghadap ke atas, dan daun nangka pada tamas yang satunya menghadap ke bawah hingga antara ke dua tamas membentuk sisi yang berbeda (hitam dan putih). Selain semua upakara diatas, dihaturkan juga Banten Enyer-enyeran yang isinya antara lain: wewakulan daksina, jaja matusuk, daun pisang majerenteng. Didalamnya berisi jatah (sate) berjumlah 4 biji (4 katih) dan di tambah dengan sate pamogpog.
Upakara di Bale permanen sebelah timur, merupakan tempat untuk ditempatkannya upakara yang di tatab. Dengan bentuk upakara antara lain : Soroan tumpeng 17 (santun 17), Santun 2. Kedua bentuk upakara ini bisa dipergunakan dan bisa juga tidak di pergunakan, tergantung bentuk upakara yang di laksanakan. Selain itu berisi juga Santun penganteb, Canang lantasan panganteb, Malang – malangan, Canang kumara ditambah penyeneng putih diisi daging ayan putih (maulam ayam putih), Kecaplikan, Penyambutan (soroan peras penyeneng), Sorowan tataban ditambah sorowan tumpeng 17, Soroan tumpeng guling babi (guling bawi).
Banten Bayuwan pangalukatan, diantaranya : Jerimpen Penganpu, Jerimpen Sate, Jerimpen Tegeh. Peras ajengan santun paguntingan, Santun penganteb 1 soroh, Santun sorowan tumpeng 17, 1 soroh, Penyambutan 1 soroh, Canang kumara 1 soroh, Bayuwan pangalukatan 1 soroh, Panganteb 1 soroh, dan Tirta pamutus dari sanggah atau pamrajaan.
Demikianlah runtutan upacara dan upakara tiga bulanan yang berlaku dan dilanjutkan oleh krama desa Let. Jika sudah melewati tiga oton (3 oton), untuk otonan selanjutnya dapat menggunakan banten upakara seadanya atau sasidan- sidan.
Ø Matatah atau mapandes (Potong Gigi)
Upacara ini merupakan wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra Adapun tujuan dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia.
Prabot Sangging, piranti yang digunakan oleh Sangging dalam upacara Metatah.
Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Atma Prasangsa, maka upacara Mapandes mengandung tujuan, seperti: Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengaruhi pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas.
Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya.
Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi. Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yadnya dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra. Bentuk upakaranya dibagi menjadi beberapa bagian antara lain :
· Ring luhur, menghaturkan Tebasan widiadara- widiadari 2 soroh. Santun pasangihan disesuaikan dengan jumlah orang yang melaksanakan mepandes (matatah).
· Piranti pesangihan (alat - alat yang digunakan untuk natahin), terdiri dari pahat, palu dari kayu (Pengotok), Kikir, Pengilap yang terdiri dari potongan Batu Kilap, Payem Praja. Setelah semua prosesi metatah selesai, saat turun dari bale pesangihan, teruna atau teruni ini turun dengan mempergunakan pijakan Padi Sepingan (Padi yang dipanen dengan cara tradisional masih ikut batangnya).
· Setelah selesai metatah (mepandes), dilanjutkan dengan ritual megunting, dan pergi ke salah satu permandian yang berisi mata air (beji / kayuwan). Pada rentetan ritual ini tidak menggunakan boreh yang seperti di gunakan pada umumnya.
· Gelang yang dipergunakan untuk mesangih yaitu berupa uang kepeng yang berjumlah 225 kepeng dan di tanbahkan dengan satu kuwangen yang berisi uang kepeng berjumlah 11. Bekas gigi di tempatkan pada sebuah bungkak kelapa gading dan di tanam di belakang kemulan.
· Bentuk upakara tataban yang di tempatkan di bale dangin antara lain: Tebasan Prascita, Tebasan Sapu Lara, Tebasan Melaradan, Tebasan Kenyung Manis, Tebasan Pepek Bayu, Tebasan Bayu Teka dan Panglastan .
· Setelah selesai semua prosesi matatah, tiga hari kemudian (ketelunan) disiapkan upakara antara lain: Tebasan Pangelepas Brata, Banten pangrombowan (dilaksanakan atau diambil oleh keluarga bersangkutan) sebelum melakukan ritual maya bakan yang melakukan petatahan (mepandes) diharuskan tidur di bale dangin selama ketelun (3 hari), dan melskukan aktifitas seperti biasanya.
Ø Pesakapan (Pernikahan)
Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
· Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
· Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
· Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upakara Pekala-kalan di Halaman.
Di desa Let Taro, prosesi upacara perkawinan itu mempergunakan beberapa bentuk upakara yang di pergunakan dalam tiga tempat yang berbeda, diantaranya:
· Upakara Upasaksi di sanggah / pamrajaan bentuk upakaranya adalah dengan memakai Pejati 1 soroh, ditambah dengan Sesantun 1. Ada juga ritual yang dikenal dengan nama Maya bakat (Naur Bakatan merupakan suatu ritual untuk matur piuning atau minta izin secara niskala agar pengantin bisa masuk ke jeroan) dengan upakara diantaranya: soroan peras panyeneng 2 soroh, diisi beras sebanyak dua paatan, kelapa 3 butir. Sesarinya dengan menggunakan uang kepeng sebanyak 200 kepeng (uang kepeng kuno) dan Pras Penganteb.
· Upakara Tataban di bale, terdiri dari : Sorowan tumpeng 17 satu soroh, dengan daging ayam panggang. Tebasan Pepek Bayu, Bayu Teka (Tebasan Nganten), Daksina Nganten, Tebasan Sapuh Lara, Tebasan Melaradan, Prascita, Ketupat (anaman) pejatian, Canang Rantasan dan Santun Penganteb.
· Upakara Di Halaman rumah (di natah), upakara mekalan-kalan (mabeya kala) diantaranya: Soroan Peras Penyeneng 1 soroh, kekeb, obor- obor, sesimbuh (lengkap). Di pamedal sanggah / pamrajaan dihaturkan upakara: sorowan manca (ditempatkan sesuai dengan tempat / warna dari arah penjuru mata angin). Juga Tebasan Pengerantas, Tebasan Prascita Durmangala, Canang Rantasan dan Santun Penganteb. Perlu juga disiapkan Bayuwan Panglukatan, Carang Dapdap sebanyak 2 batang, benang tukelan. Sok dagang – dagangan, ditambahkan sambuk sebagai tempat duduk disaat upacara pedagang- dagangan di mulai.
Dalam prosesi upacara pesakapan yang dilakukan di desa Let, Para Para Juru Adat berperanan aktif sebagai upasaksi pada prosesi Mapakidihan saja, juga bertugas untuk mengatur suara kentongan, tanda resminya upacara perkawinan anggota desanya. Suara kentongan yang dipakai tanda selesainya proses Mapakidihan adalah suara kentongan lanang 1 tulud. Sedangkan pada saat prosesi upacara yang dilakukan di rumah mempelai hanya disaksikan oleh keluarga besar kedua mempelai dan jero mangku sebagai pemuput upacara.
XII.5. Upacara Pitra Yadnya
Upacara Meyanin atau Ngaben adalah salah satu bagian dari Upacara Panca Yadnya di Bali, yaitu Pitra Yadnya. Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal. Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Upacara Pitra Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan meralina (kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran Agama Hindu. Yang dimaksud dengan mralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu) adalah merubah suatu wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula. Yang dimaksud dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari air, api, tanah, angin dan akasa.
Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk pralina digunakan api pralina (api alat kremasi). Akan tetapi tidak demikian dengan prosesi pitra yadnya di desa Let Taro. Walaupun memiliki makna dan tujuan yang sama, akan tetapi prosesinya yang berbeda dari yang biasa kita jumpai di masyarakat Hindu. Karena unsur Prelina dengan apai tidak dilaksanakan. Hal itu berkaitan dengan kepercayaan Bali Aga yang banyak mengadopsi budaya religius pegunungan Bali dengan pokok Banua penyungsung pura Pucak Penulisan.
Ø Prosesi Upacara Meyanin (Ngaben)
Di desa Let, Prosesi Pitra Yadnya disebut dengan Upacara Meyanin atau Ngaben. Didahului dengan prosesi kremasi, yang dikenal dengan nama Nusang. Dari jenis upakara dan prosesinya mempunyai nilai filosofi yang tinggi, yang sedikit berbeda dengan prosesi pada kebanyakan masyarakat Hindu Bali di daerah lainnya. Perbedaannya dapat kita lihat dari sarana upakara yang di gunakan dalam upacara ini dan dapat pula kita lihat pada saat prosesinya dilakukan. Adapun bentuk upakara yang di pergunakan adalah sebagai berikut :
Dua orang Serati (Tukang Banten) Desa Let yang memberikan keterangan tentang Upakara Meyanin dan Metuwun.
Apabila ada diantara krama desa yang meninggal, pada saat baru meninggalnya disiapkan upakara seperti :
· Santun Bekel,
· Pujung Sagi,
· Galeng Uang kepeng berisi uang kepeng 25.
Apabila sudah ada hari baik mulailah bisa disiapkan prosesi Ngaben atau Miyanin. Ada ketentuan hari yang tidak bisa dipakai untuk melaksanakan upacara Ngaben atau Meyanin, antara lain : Pasah, Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem dan apabila bertepatan dengan adanya upacara di kayangan Desa Pakraman Let. Bila ada diantara penduduk yang meninggal saat Piodalan di Kayangan, maka Mayat warga dibawa ke Setra (Kuburan), dikubur dengan prosesi Mekingsan (Dititip) atau Nyauban. Apabila sudah berakhir prosesi Piodalan di Kayangan Desa Pakraman barulah kemudian diperkenankan untuk melaksanakan upacara Ngaben atau Meyanin, dengan mengganti mayat yang sudah dikubur itu memakai batang kayu Sakti atau Dadap, yang dibentuk menyerupai manusia.
Diawali dengan prosesi upacara Mresihin Sawa (Nusang Sawa) dilaksanakan di halaman rumah, sesaat setelah Sawa (Mayat) keluar dari kamar tempat meninggalnya, upakaranya, antara lain :
· Pebresihan,
· Pengurug-urug,
· Pengerekan,
· Leluwur,
· Pras Ajengan,
· Santun Pengelukatan dan
· Santun Penganteb.
Sarana Toya Penembak dimohonkan di Temuku Aya, dengan sarana Canang sari memakai Uang kepeng sebagai sesarinya. Alas sawa saat Nusang atau Mresihin memakai Bedeg Penusangan, Ketungan.
Foto Upakara di Bale Dangin sebelum sawa (Mayat) dibawa ke kuburan.
Dalam prosesi upacara Ngaben atau Meyanin, memakai berbagai upakara yang agak sedikit berbeda dengan upakara yang berlaku di wilayah Bali Dataran atau Bali Tengah. Upakara Pejati dipergunakan dihaturkan di Sanggah atau Pemrajan, dipelinggih-pelinggih: Kamulan, Pangelurah dan Piyasan, terdiri dari Pejati dan Pangkonan, dengan Kawisan sebagai ulamnya. Di Sanggah atau Pemerajan juga menghaturkan upacara sebagai sarana memohon air suci (Tirtha), terutama sekali di Pelinggih Kamulan, upakaranya berupa :
· Pras Ajengan,
· Base Taksu atau Base Kaput
· Segan.
Upakara yang di pergunakan di halaman rumah / natah diantaranya:
· Peras ajengan,
· Santun,
· Lis panglukatan,
· Penganteb dan
· Segehan manca warna.
Adapun eteh-eteh yang dipergunakan pada saat pembersihan antara lain :
· Galeng dengan mempergunakan uang kepeng berjumlah 225 kepeng (uang kepeng kuno),
· Kuangen berisi uang kepeng berjumlah 11,
· Penanjung menggunakan kuangen berisi uang kepeng berjumlah 5,
· Buku-buku badan menggunakan kawangen berisi uang kepeng masing-masing satu kepeng.
· Gegemelan menggunakan kawangen berisi uang kepeng berjumlah sebelas (11),
· Slaka,
· Mon-mon,
· Angkeb Rai,
· Angkeb Baga
· menggunakan pembersihan lengkap.
Tirta yang di pergunakan pada saat penusangan antara lain :
· Tirta di sangah / pamrajaan,
· Tirta pangentas,
· memohon di beji dan
· Tirta panembak memohon di beji
Sesudah semua itu dilaksanakan pada mayat dilanjutkan dengan prosesi peringkesan, disertai dengan suara kentungan pertanda prosesi peringkesan sudah berakhir. Mayat kemudian disemayamkan di Bale Adat (Bale Dangin), dialasi dengan tumpang salu. Adapun ayaban yang di siapkan di bale antara lain:
· Tumpeng 17,
· Banten Pejuitan,
· Angkeb nasi dan
· Base Penamyung
Semua upakara diatas memakai daging ayam panggang sebagai Ulamnya.
Adapun isi dari dari baten Pajuitan andalah daging ayam utuh yang di tempatkan pada angkeb nasi. Keesokan harinya daging ayam itu di ganti dengan daging babi dilengkapi dengan pangkonan 7 soroh. Sesaat sawa sebelum brangkat ke setra Gesi-gesi pun di jalankan terlebih dahulu.
Bentuk upakara Pemerasan, dilaksanakan di halaman rumah
Prosesi Pemerasan juga berjalan, sebelum sawa berjalan keluar bentuk upakaranya antara lain:
· Keris, Uang kepeng berjumlah dari 225 menurun
· Rawosan tumpeng lima (5) berjumlah 4 soroh diantaranya:
1. Pemerasan Toya,
2. Pemanah Geginan,
3. Pemanah Bacin,
4. Pemanah Cucu.
· Pangkonan,
· santun masing -masing berjumlah 4,
· Penggorengan,
· jukung (geginan)
Pada sebuah rangkaian upacara Meyanin, dihulu pekarangan yang letaknya dipojok timur laut dari Bale Meten, dibangun sebuah sanggar yang menyatu dengan bangunan Bale Meten, kira-kira berukuran 1 kali 1,5 Meter. Tiangnya terbuat dari bambu dengan balai-balai, lengkap beralas tikar. Atapnya memakai sejenis tumbuhan menyerupai ilalang yang bilahnya agak besar. Sanggar ini dikenal dengan nama Bale Pengerekan.
Foto Bentuk Bale Pangerekan
Setelah upacara lewat 1 bulan 7 hari Bali (42 hari) barulah Bale pengerekan ini dibongkar dan bahan-bahan balainya dibuang ke perbatasan desa atau ujung Setra (Kuburan). Dalam prosesi Meyanin ini ada beberapa upakara yang dihaturkan di Bale Pengerekan, antara lain:
· Peras ajengan 2 soroh,
· Ulam Kawisan,
· Bebakaran, dan
· Rawosan penganteban 1 soroh.
Pada saat Sawa (Mayat mulai diangkat dari Bale Adat untuk diusung ke Setra (Kuburan Adat), di dahului dengan orob, madik penatas, tabunan dan Sekar ura (uparengga depan sama seperti ngaben pada umumnya). Wimba Watangan (Mayat) menggunakan menggunakan kayu dadap sebagai peminda watangan (sebagai pengganti mayat) dan dibungkus dengan kain kemudian di bungkus kembali dengan rante yang di buat dari banbu, dan sawapun di upakarai dengan upakara yang di sebut sawa prateka atau di sebut juga dengan kata Miyanin. Miyanin sendiri proses upacaranya terlibat langsung dengan sawa yang ada.syarat dan isyarat pemberitahuan dalam berbagai upacara yang akan dilaksanakan di desa Let tersendiri adalah di cirikan oleh adanya suara kentungan yang memiliki ciri khas tersendiri, Jika ada orang meninggal kentungan di bunyikan sebanyak tiga (3) pukulan.
Pada setiap ada warga yang meninggal di salah satu keluarga di desa Let, maka masyarakat yang berkaitan akan melaksanakan pegebagan atau meramaikan ditempat orang yang meninggal selama tiga hari berturut-turut dimulai dari pembersihan. Adapun sejumlah tokoh masyarakat yang tidak bisa menghadiri dalam prosesi tersebut yang dilakukan dari awal sampai akhir prosesi upacara pengabenan adalah :Pemangku kayangan, Bendesa, Penyarikan dan Pekaseh. Itu sebabnya pada setiap prosesi para penghulu adat tidak bisa ikut serta, yang hadir sebagai penyaksi prosesi hanya parajuru dinas saja, sekaligus mengatur semua upacara, menggerakkan krama desa dan para serati.
Prosesi upacara Pemegat dilaksanakan pada saat Sawa (Mayat) sudah diusung keluar pekarangan, upacara ini berlangsung di jalan di depan rumah orang meninggal. Mempunyai niyasa agar sang meninggal tenang dalam berjalan menuju alam sunia, tidak lagi ingat dengan hal-hal yang ada dirumah, demikian juga bagi yang ditinggalkan agar tidak bersedih terus menerus, karena Lahir, hidup dan mati adalah sebuah siklus kehidupan dan harus dijalani oleh semua mahluk hidup. Dalam prosesi ini juga disiratkan unsur-unsur pebersihan dari segala unsur-unsur kekotoran bagi semua anggota keluarga yang ditinggalkan, termasuk juga bayi bayi-bayi yang belum tanggal gigi dengan prosesi memasukkan bayi dalam kurungan ayam.
Upakara dan Prosesi Mapegat
Prosesi memasukan bayi dalam sangkar ayam beberapa saat sebanyak tiga kali, mempunyai nilai filosofi tinggi, sebagai harapan semua orang tua dan keluarga, agar bayi dalam kehidupan mendatangnya dijauhkan dari unsur-unsur yang tidak baik, agar nanti tidak mementingkan hal-hal yang bersifat pribadi, dan memandang dunia ini tidak hanya sebatas lingkungan keluarga saja, pada intinya nilai harapan agar si bayi kelak setelah dewasa bisa berguna bagi Agama dan Negara.
Bentuk upakara pamegat yaitu digunakan pada saat sawa (mayat) baru keluar dari rumah. Diantaranya: Panglukatan jangkep, Lesung berisi air kelapa yang di belah (digunakan sebagai panglukatan).
Upakara Pejuitan yang dihaturkan di Pura Dalem
Bentuk upakara yang dipergunakan untuk di Pura Dalem diantaranya:
· Rawosan tumpeng solas (11),
· santun di ulu,
· peras ajengan,
· pisang matah dan lebeng.
· Ulam jatah,
· kepala babi utuh.
Untuk jatahnya masing- masing berjumlah 20 batang terdiri dari 10 macam jatah di tambahkan pengapit.adapun hitungan dari pengapit dari jumlah 33, 11, 7, 5, 3 dan di tambahkan dengan kawisan. Sedangkan upakara yang dipakai sebagai sarana memohon air suci di Pura Dalem, bentuk dan jenisnya sama dengan upakara yang dipakai memohon air suci di Sanggah atau Pemrajan. Bentuk upakara yang dihaturkan di Pura Prajapati diantaranya:
· Rawosan tumpeng 7,
· Rawosan ajengan,
· santun pangkonan 2 soroh,
· ulam bawi (Daging Babi)
· Ketengan dan
· Kawisan.
Upakara yang dihaturkan di Ulun setra antara lain:
· Peras Ajengan,
· Santun 2 soroh,
· Pangkonan 2, dan
· Segehan.
Upakara yang dipergunakan untuk di tempat penguburan mayat (Bangbang) diantaranya : Sama seperti ayaban yang di pergunakan di bale di tambahkan Rawosan sebanyak 3 soroh, dan iber- iber yang terdiri dari 2 anak ayam sebagai penyilur bambang (Pengganti Kubur) Bentuk upakara yang dipergunakan untuk di kuburan (setra) ini memiliki kesamaan dengan upakara yang di pergunakan di bale namun di tambahkan dengan beberapa bentuk upakara diantaranya:
· Sok Bekel,
· Tipat Suarga Menga,
· Ajengan,
· Angapan,
· Tebu dan
· Peselet untuk mayat berjenis kelamin perempuan menggunakan pisau kecil, sedangkan yang laki-laki menggunakan keris.
Prosesi penguburan di Setra Let
Penggunaan (Pemargi) tirta diantaranya :
· Tirta di Pura Dalem,
· Tirta di Sanggah dan
· Tirta pemanah toya yang dibuat oleh Mangku.
Sementara itu upakara yang di gunakan pada darpana yang di gunakan 2 kali penggunaan diantaranya di Kuburan (setra)= 1kali dan di bale =1 kali. Di Sanggar Surya saat penguburan memakai upakara
· Rawosan tumpeng lima asoroh,
· Peras Ajengan dan
· Sasantun.
· Siwa Budha (tebasan Siwa Budha) diselatan menggunakan ulam ketengan kawisan, dan sebelah utara menggunakan hati ayam, dan Banten Rawosan pelinggih terdiri dari : canang gantalan, tapakan, dan santun.
Di Sor Sanggar Surya dihaturkan beberapa upakara, seperti;
· Peras ajengan santun,
· Peras ajengan pangkonan dan
· Segehan.
Masa Cuntaka dilaksanakan oleh masyarakat desa selama 12 hari, dan bagi yang memiliki sawa (Kematian) cuntaka dilaksanakan selama 1 bulan 7 hari atau 42 hari (Abulan Pitung Dina) dari mulai mersihin sawa.
Setelah sawa (Mayat) di kubur, dilanjutkan dengan prosesi metanuran yaitu prosesi menanam segala macam biji – bijian, dan menggunakan sesawen / pengingat berupa ranting pohon kelawasan.
Upacara pengiriman merupakan rangkaian upacara ngaben yang dilaksanaka berselang satu hari setelah ngaben dilaksanakan. Adapun bentuk – bentuk dan rangkaian upakara dan upacaranya sebagai berikut : sehari setelah pengabenan, bentuk upakaranya : Rawosan tumpeng lima, Pangkonan 2 soroh dan Peras penganteb. Ditaruh di perbatasan pintu masuk kuburan (setra) dan rurup di sertakan ke kuburan (setra). Ritual upacara Memunjung dilaksanakan di tempat -tempat tertentu dengan selang waktu yang berbeda. Diantaranya : Satu hari setelah pengabenan di laksanakan di pintu masuk kuburan (setra), Dua hari setelah pengabenan dilaksanakan di pemangkan dan Tiga hari setelah pengabenan dilaksanakan di bale.
Setelah tiga hari setelah penguburan (Tutug Ketelun) kembali dilaksanakan upacara Pamegatan, dilaksanakan oleh anggota keluarga yang bersangkutan, laki-laki maupun perempuan, Pemegatan yang laki- laki menggunakan tegen – tegenan dan yang perempuan menggunakan suwun– suwunan, yang mengandung nilai filosofi tentang tanggung jawab anggota keluarga terhadap bentuk upakara, yang laki-laki bertanggung jawab 2 kali lebih banyak dari yang wanita, demikian juga tanggung jawab niskala terhadap arwah anggota keluarga mereka yang sudah meninggal. Upakaranya menggunakan Tetampok, sorohan tumpeng 7 sebanyak 2 soroh, Penyambutan tumpeng 5 asoroh, memakai ulam daging ayam.
Setelah tiga hari dari upacara penguburan ini juga diadakan upacara Ngeluwar Gesi-gesi, yang dibawa ke Lebuh (Jalan Raya di depan pintu masuk pekarangan), disanalah kemudian gesi-gesi itu dibagikan kepada semua anggota keluarga. Ritual ini mengandung makna keadilan dan keterbukaan. Gesi-gesi yang dibagikan itu diibaratkan semua harta benda yang dimiliki oleh anggota keluarga yang berpulang, setelah dia tidak memerlukan lagi benda-benda itu, maka harus dibagikan kepada semua anggota keluarga secara terbuka, disaksikan oleh semua penduduk, itulah makanya prosesi upacara tersebut dilakukan di jalan desa. Setelah semua harta benda yang meninggal dibagikan kepada anggota keluarga, diharapkan secara niyasa, semua anggota keluarga memakai isi Gesi-gesi itu sebagai modal awal untuk persiapan menyongsong upacara-upacara setelahnya, baik manusa yadnya, dewa yadnya, pitra yadnya, butha yadnya dan rsi yadnya. Yang utama sekali bahwa isi gesi-gesi yang tidak seberapa itu agar diolah oleh anggota keluarga sehingga bisa bertambah dan semakin banyak, sehingga bisa dipakai modal untuk nangun yadnya, termasuk didalamnya melaksanakan upacara ritual Metuwun.
Bagi Bayi yang belum tanggal gigi yang meninggal dibuatkan upakara dengan nama Ngelungah, dengan upakara dan piranti menggunakan; Pejatian, Rosan tumpeng tujuh (pitu) asoroh. Kelungah kelapa gading di hiasi dengan kain (mekamen) di tempatkan di kuburan (setra) dan ditambahkan rosan penganteb. Prosesi ini dilaksanakan di Hulu setra (Bagian sebelah utara Kuburan).
Dimulai dari sesaat gesi–gesi turun dari bale dan menghadap sanggar surya yang terbuat dari bambu di tempatkan disebelah timur halaman pekarangan rumah (pada sebelah kiri pamedal sanggah atau pamrajaan) dan di sembahyangkan oleh keluarganya yang bertujuan untuk berpamitan dari dunia ini untuk menuju kealam pitra. Setelah persembahyangan selesai, kemudian gesi-gersipun dihadapkan kearah barat untuk memulai prosesi pemerasan yang di pimpin oleh seorang pemangku. anggota yang di peras terdiri dari anak dan cucu dari orang yang telah meninggal, dengan alat-alat yang di gunakan dalam prosesi pamerasan diantaranya: Keris, kain, uang kepeng yang berjumlah 225 kepeng (uang kepeng kuno).
Selesai proses pemerasan gesi-gesi pun kembali ditempatkan di bale dengan melewati sebelah selatan adegan (tiang) bale bagian tengah. Dilanjutkan dengan proses pemerasan yang ke dua yaitu salah seorang anak diumpamakan melihat pitra dengan menggunakan simbol-simbol yang diantaranya berupa jarum, potongan bambu, dan prahu-prahuan kecil. Baru kemudian pemangku mulai mempersembahkan ayaban (sesajen) terhadap pitra (orang yang sudah meninggal) alat yang di pakai untuk ngayabang di beri nama dengan Taapan yaitu sebidang daun pisang yang di bentuk menyerupai tekor atau krucut tak beraturan.
Ketika sesajen sudah selesai dipersembahkan kepada pitra, hiasan-hiasan yang menghiasi bale pun dibongkar, seperti leluhur, kelabang dan sebagainya, dilanjutkan membuka kain yang menutupi sawa dan yang diperlihatkan hanya Rante yang terbuat dari bambu, kemudian sawa pun diturunkan untuk menuju ke kuburan, yang di gotong dengan menggunakan bambu disertai pula dengan penuntunan yang ujungnya juga menggunakan bambu.
Setelah sawa sampai atau berada di jalan tepatnya di depan pintu masuk rumah, disana dilaksanakan pula prosesi upacara yang di sebut dengan upacara pamegatan dalam bentuk-bentuk yang di pergunakan dalam upakara pemegatan tersebut, tempat tirta yang di gunakan menggunakan Kele yaitu potongan bambu yang berisi ruas bambu dengan berbagai ukuran tersendiri. Kelapa di pecahkan, airnya dimasukan ke dalam kele dan di tumbuk dengan kayu, air kelapa itulah yang dipercikan ke seluruh anggota keluarga. selama prosesi ini dilaksanakan suatu prosesi yang di laksanakan di pura Dalem juga dilaksanakan yaitu dengan prosesi mepamit oleh anggota keluarga yang lainnya dengan menggunakan sesajen berupa daging babi lengkap dan selesai menghaturkan sesajen di pura Dalem daging tersebut di bawa kembali ke balai banjar untuk nantinya akan di lelang oleh warga.
Sesampainya sawa di kuburan (setra) ketika itu pula tanah tempat penguburan mulai digali untuk liang kubur kemudian didalamnya diisi alas berupa daun paku (Pakis). Sesampainya rombongan pengusung sawa di pinggir liang kubur sawa memutar tiga kali mengelilingi lobang yang sudah disiapkan tersebut melingkar kekiri kemudian sawa di masukan kedalam lubang dan di kubur. Diatas kuburan ditanami dengan biji- bijian dan di sesawen.
XII.5.2. Prosesi Upacara Metuwun (Nyekah)
Apabila sudah ada kesepakatan antara keluarga dan ijin dari krama desa Pakraman kapan akan dilaksanakan upacara Metuwun atau Nyekah, maka dilaksanakan prosesi Matur piuning di semua kahyangan,
Prosesi Matuwun (Nyekah)
bahwa akan ada pelaksanaan upacara Meyanin atau Nyekah, dengan sarana uapakara Canang Santun. Dilanjutkan dengan upacara Mlaspas Gesi-gesi atau Puspa, memakai upakara
· Suci 1 Pasang,
· Darpana 1 pasang,
· Rawosan Penganteb,
· Segan Manca 1 pasang.
Sebelas hari sebelum upacara dilaksanakan atur piuning kembali dengan sarana upakara; Canang Santun, Base Kaput di Sanggah Kamulan dan di Pura Dalem. Terhitung tiga hari sebelum acara kembali melaksanakan atur piuning dengan piranti upakara yang sama. Dilanjutkan dengan Prosesi Mendak Sang Pitara atau Memohon Arwah Leluhur di Pura Dalem, dengan upakara;
· Suci 1 soroh,
· Pejatian,
· Pras Ajengan,
· Santun Lantasan, dan
· Base Kaput.
Upakara yang dihaturkan di Prajapati,
· Suci asoroh.
Di Ulun Setra menghaturkan upakara
· Suci 2 soroh.
Setelah semua upacara Atur Piuning dilaksanakan, dilanjutkan dengan prosesi Ngeplugin di Pemangkalan, dengan melinggihkan Gesi-gesi atau Puspa dengan upakara;
· Keplugan Nasi Takilan,
· Tulung Urip,
· Suci 1 pasang,
· Bayuan 1 pasang,
· Rawosan Tumpeng 7 satu pasang,
· Lis Pengelukatan 1 pasang,
· Pangkonan 2 pasang,
· Rawosan Penganteb,
· Segan 1 pasang dan
· Canang Pengajuman.
Gesi-gesi atau Puspa itu kemudian dibawa ke Balai Banjar dan dilinggihkan serta dihaturkan upakara Penamiyu antara lain:
· Rujak,
· Wedang,
· Soda.
Dihaturkan juga upakara Penelesan, seperti:
· Bayuan 1 pasang,
· Suci 1 pasang,
· Jejanganan 1 pasang,
· Darpana 1 pasang,
· Pepleduk 2 pasang,
· Haturan Madahar 1 pasang soroh 11,
· Malang-malang 2 pasang,
· Itik Hitam 2 pasang,
· Itik Putih 2 pasang,
· Kelepon 2 pasang,
· Soroh Tutu Babi 2 pasang,
· Soroh Tutu Bebek 1 pasang,
· Soroh Tutu Ayam 1 Pasang,
· Kakul 1 pasang,
· Telur 1 pasang,
· Palang Tangar,
· Enjer-enjer 2 pasang,
· Jerimpen Tegeh 1 pasang,
· Jerimpen Sate 1 Pasang,
· Jerimpen Pengempu 1 pasang,
· Pengelukatan 1 pasang,
· Rawosan Tumpeng 11,
· Tegen-tegenan,
· Rosan Penganteb.
Untuk Tataban Sang Pitara dihaturkan upakara
· Suci 1 pasang dan
· Jerimpen Sate 1 pasang.
Di semua pelinggih dihaturkan upakara Suci sebanyak 6 soroh. Sementara Upakara Bilang Bucu dihaturkan Penyeneng untuk Timur Laut, di Tenggara dihaturkan Penyeneng dengan Ulam Balung Katupang dan Padang Belulang. Di Barat Daya dihaturkan Penyeneng Ulam Balung Bolong, Padang Genta dan Segan Manca. Di Barat Laut, dihaturkan Penyeneng Ulam Padang Gajah, dan Segeh Manca. Sedangkan untuk ditengah dihaturkan Penyeneng Brunbun dan Segan Manca.
Untuk upakara Penamiyu dihaturkan
· Suci 1 soroh,
· Base Taksu,
· Jajan Pasar,
· Kopi dan
· Segeh Manca.
Pada Prosesi Metuwun, wewalen yang diadakan adalah Wayang Penyudamalan, disamping Gong. Setelah prosesi upacara Penelasan, Sang Pitara digantikan Wastra atau pakaian, disembah oleh para sentananya, kemudian Mepamit dari Bale Banjar, dilanjutkan dengan prosesi Ngening di mata air atau pemandian, diiringi dengan wewalen Gong dengan upakara
· Suci 1 pasang,
· Eteh-eteh Pelinggih,
· Rawosan penganteb dan
· Segan Manca.
Dari Pemandian Sang Pitara dibawa dan dilinggihkan di Petak-petak. Dihaturkan upakara di hadapan Puspa, antara lain :
· Pejati,
· Canang Lantasan,
· Cepale,
· Soda,
· Suci,
· Darpana
· Sangsangan.
· Dapetan,
· Tetabuwan,
· Rawosan Pulagembal 1 pasang,
· Suci 6 soroh,
· Tebasan Prayascitha Durmanggala dan
· Pengelasta.
Di Peturon dihaturkan upakaran
· Suci 4 soroh,
· Bebek Guling dan
· Pejatian 1 pasang.
Di Pelinggih Surya dihaturkan upakara Piranti (Alat-alat) tapakan Pelinggih,
· Suci 4 soroh,
· Bebek Guling,
· Ketengan,
· Kawisan,
· Penganteban,
· Jauman dan
· Tebasan Kusuma Jati.
Dibawah Sanggar Surya dihaturkan upakara,
· Santun Gede,
· Memasak Bubur Soda beralaskan daun pisang.
Dengan selesainya semua prosesi upacara upakara diatas, maka Sang Pitara sudah dianggap dan disebut Bhatara Hyang Guru. Dilanjutkan dengan mengiring Beliau melaksanakan prosesi Nyegara Gunung di depan Tretemanan, dengan upakara:
· Suci 4 soroh, Jauman 1 pasang,
· Rawosan Penganteb dan
· Segeh Manca.
Setelah ritual persembahyangan kembali diputar sebanyak 3 kali baru kemudian diiring ke rumah masing-masing, Ida Bhatara Hyang Guru dilinggihkan di Sanggah atau Mrajan, lanjut dihaturkan upakara:
· Segehan,
· Suci,
· Pejati juga
· Pakalayangan Pamutus,
· Tirtha Dukuh,
· Tirtha Pura Kayangan Tiga,
· Tirtha Bale Bang,
· juga tirta di Sanggah.
Di setiap Kayangan Desa juga melaksanakan prosesi Matur Piuning, dilanjutkan dengan Acara Pekeludan tiga setelah upacara selesai dilaksanakan.
Demikianlah prosesi dan urutan tata pelaksanaan uapacara Pitra Yadnya di Desa Let, yang merupakan warisan leluhur sudah dilaksanakan dari dahulu kala, konon tidak diperkenankan untuk merubahnya, bagi siapa saja yang berkehendak merubah, akan mendapatkan kutuk dan alpa serta mendapatkan bahayanya.
XII.6. Upacara Dewa Yadnya
Upacara dewa yadnya adalah upacara pemujaan dan persembahan sebagai wujud bakti kehadapan Hyang Widhi dan segala manifestasi-Nya, yang diwujudkan dalam bermacam-macam bentuk upakara. Upacara ini bertujuan untuk pengucapan terima kasih kepada Hyang Widhi atas kasih, rahmat dan karunia-Nya sehingga kehidupan dapat berjalan damai.
Upacara dewa yadnya umumnya dilaksanakan di sanggah-sanggah, pamerajan, pura, kayangan dan tempat suci lainnya yang setingkat dengan itu. Upacara dewa yadnya ada yang dilakukan setiap hari dan ada juga yang dilakukan secara periodik atau berkala. Contoh dari upacara dewa yadnya yang dilakukan setiap hari adalah puja tri sandya dan Yadnya Sesa. Sedangkan upacara Dewa Yadnya yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti: Galungan, Kuningan, Saraswati, Siwaratri, Purnama dan Tilem, dan piodalan lainnya.
"Brahma
rpanam brahma havir,
brahmagnau bahmana hutam,
brahmai va tena gantavyam,
brahma karma samadhina"
(Bhagawad Gita IV.24)
"Dipujanya
Brahman, persembahannya Brahman,
oleh Brahman dipersembahkan dalam api Brahman,
dengan memusatkan meditasinya kepada Brahman,
dalam kerja ia mencapai Brahman".
Di Desa pakraman Let upacara Dewa Yadnya juga dilakukan di Kayangan-kayangan, baik Kayangan Tiga maupun Kayangan Desa. Ada beberapa upakara yang dihaturkan berkaitan dengan prosesi Upacara panca Yadnya. Antara lain:
Ø Upacara Setiap Tumpek Landep.
Umat Hindu merayakan rerahinan Tumpek Landep, Sabtu Kliwon Wuku Landep. Pada Tumpek Landep, umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kecerdasan atau ketajaman pikiran sehingga mampu menciptakan teknologi atau benda-benda yang dapat mempermudah dan memperlancar hidup, seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer (laptop) dan sebagainya. Tetapi dalam konteks itu umat bukanlah menyembah mobil, komputer, tetapi memohon kepada Ida Sang Hyang Pasupati agar benda-benda tersebut betul-betul dapat berguna bagi kehidupan manusia. Landep dalam Tumpek Landep memiliki pengertian lancip. Secara harfiah diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran. Secara sekala, benda-benda tersebut diupacarai dalam Tumpek Landep.
Namun dalam konteks kekinian, senjata lancip itu sudah meluas. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Namun harus disadari, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup. Dalam pengertian, bahwa umat patut bersyukur kepada Tuhan karena telah diberikan kemampuan atau ketajaman pikiran sehingga mampu menciptakan aneka benda atau teknologi yang dapat mempermudah hidup.
Sementara dalam kaitan dengan buana alit (diri manusia), Tumpek Landep itu sesungguhnya momentum untuk selalu menajamkan pikiran (landeping idep), menajamkan perkataan (landeping wak) dan menajamkan perbuatan (landeping kaya). Ketiga unsur Tri Kaya Parisuda tersebut perlu lebih dipertajam agar berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Buah pikiran perlu dipertajam untuk kepentingan umat manusia, demikian pula perbuatan dan perkataan yang dapat menentramkan pikiran dan batin orang lain. Pikiran kita mesti selalu diasah agar mengalami ketajaman. Ilmu pengetahuanlah alat untuk menajamkan pikiran. Komputer yang diciptakan untuk mempertajam pikiran, hendaknya dimanfaatkan denganbaik. Internet mesti digunakan untuk mengakses informasi sehingga wawasan dan kecerdasan bertambah, bukan untuk mengunduh yang lain-lain.
Jadi Tumpek Landep memiliki nilai filosofi agar umat selalu menajamkan pikiran. Setiap enam bulan sekali umat diingatkan melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan atau diasah agar tajam? Sebab, dengan pikiran yang tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih jernih melakukan analisa, lebih tepat menentukan keputusan dan sebagainya. Lewat perayaan Tumpek Landep itu umat diingatkan agar selalu menggunakan pikiran yang tajam sebagai tali kendali kehidupan. Misalnya, ketika umat memerlukan sarana untuk memudahkan hidup, seperti mobil, sepeda motor dan sebagainya, pikiran yang tajam itu mesti dijadikan kendali. Keinginan mesti mampu dikendalikan oleh pikiran. Dengan demikian keinginan memiliki benda-benda itu tidak berdasarkan atas gengsi, tetapi betul-betul berfungsi untuk menguatkan hidup sehingga betul-betul tepat guna. Rerahinan Tumpek Landep inilah sesungguhnya momen bagi kita untuk lebih menajamkan pikiran.
Di Desa Pakraman Let Prosesi Upacara pada saat Tumpek Landep mempunyai arti yang lebih, karena bertepatan dengan piodalan di Pura Puseh dan Bale Agung. Prosesi itu sudah berjalan mulai pada hari Buda Pahing, dengan menghaturkan upakara di Pelinggih Bali Aga, upakara itu antara lain:
Pada Hari Buda Pahing dengan menghaturkan Upakara :
Ø Suci 9 Soroh
Ø Soroan 2 Soroh
Ø Tebasan Pemiakala
Ø Tebasan Perascita
Ø Tebasan Durmengala
Ø Tebasan Kusumajati
Ø Tebasan Panca Kelud
Ø Dengan Ulam Bebek Belang Kalung
Ø Ayam 1 Manca
Ø Ayam Metunu 1 Manca
Pada Hari Buda Pahing Landep Juga menghaturkan Canang Raka Penguntap ke Dura Desa :
Ø Sengkaduan
Ø Tebuana
Ø Belong
Ø Taro Kelod
Ø Bonjaka
Ø Pujung Kaja
Ø Tumbakasa
Pada Hari Kamis Pon Landep Prosesi Ngingsah dilakukan pada Siang hari dengan Upakara :
Ø Soroan Tumpeng 7 ( 2 Soroh )
Ø Penganteb 1 Soroh
Ø Tegteg, Segehan Manca
Ø Canang Lantasan
Ø Beras 1 patan dan 4 patan sebanyak 4 wadah
Beras yang 1 patan diatasnya berisi beruk metekep kukusan. Keesokan harinya beras itu diambil dan di kukus, setelah matang nasi itu metatakan don telujungan, diatasnya berisi canang Yasa Sari aunggan dan kembali dilinggihkan di palinggih pangenteg.
Beras yang 4 patan berisi canang Sayut Kunyit, Gamongan, Tapuk Manggis aji busung metekep kukusan.
Di palinggih Pangenteg di Balai Agung Dauh di haturkan upakara :
Ø Soroan Tumpeng 7
Ø Penganteb
Ø Canang Lantasan
Ø Cawu Petik Rujak
Ø Minyak wangi
Ø Segehan Manca
Pada Hari Kamis Pon Landep, Prosesi Nuhur dilakukan pada sore hari, diawali dengan matur piuning di Kemulan Bali Aga, dengan menghaturkan Upakara :
Ø Soroan tumpeng 7
Ø Penganteb
Ø Segehan Manca
Pada prosesi penuhuran diawali dari Meru Puseh, berlanjut ke masing-masing palinggih. Kemudian menghaturkan penuhuran Ratu Dalem Pingit di depan Titi Gonggang menghadap ke selatan. Dilanjutkan nuhur ke Pura Dalem nuhur Ratu Lingsir.
Setelah prosesi nuhur katuran dapetan di pelinggih pesamuan dengan menghaturkan Upakara :
Ø Rosan Tumpeng 11 ( 1 Soroh )
Ø Rosan Tumpeng 7 ( 3 Soroh )
Ø Rayunan 4 Soroh
Ø Segehan Manca serta haturan krama desa.
Ratu Bali Aga disetanakan di Kemulan Bali Aga dengan menghaturkan upakara :
Ø Suci asoroh
Ø Rayunan 1 soroh dan
Ø Segehan Manca
Pada hari Jumat Wage Landep, dilaksanakan prosesi Menek Canang. Siang harinya dilanjutkan dengan acara nanceb penjor ageng dan sanggah cukcuk bilang bucu, dengan menghaturkan Upakara :
Ø Kaler Kangin : penyeneng maulam Taluh Meguling (telor guling)
Ø Kaler kauh : penyeneng meulam Padang Genta
Ø Kelod Kauh : Penyeneng meulam Padang Belulang
Ø Kelod Kangin : penyeneng meulam Balung Ketupang
Ø Di Tengah : muncuk nasi meulam Bakaran
Ø Di Perantenan : Santun Karangan meulam Ketengan, Kawisan dan Segehan Manca
Setiap prosesi Wali Perempahan Bawi, selalu menghaturkan Kedusan sebelum warga Nunas, baru kemudian menghaturkan prosesi pengiyas memakai sarana batang bakung, dengan upakara soroan tumpeng 7 (2 soroh), dilanjutkan dengan prosesi mesucian di Champuan dengan upakara :
Ø Pejati Jauman Asoroh
Ø Bayuan
Ø Eteh-eteh pengelukatan Jangkep
Ø Tebasan Pemiakala
Ø Tebasan Durmangala
Ø Suci 3 meulam bebek meguling 1 soroh
Dari Campuan kemudianmenuju ke pura Tegal Suci untuk melaksanakan prosesi Mesucian, nunas tirta di Pura Taman dengan Upakara : Suci 2 soroh meulam bebek meguling 1 soroh.
Di depan Titi Gonggang juga menghaturkan Upakara : segehan Agung dengan sambleh lengkap, antara lain :
· 1 ekor ayam hitam
· 1 butir Telor ayam kampung
· 1 ekor Kucit butuan hitam (Anak babi hitam yang belum dikebiri).
· Bubuh tabah beralaskan daun dapdap 118 lembar dengan lauk putih telor.
· Rokok ganda 118 linting
· Gantal 118
· Segehan hitam cacahan 118
· 1 soroh Suci hitam
· 1 soroh Jauman hitam
· 1 soroh Pejati hitam
· 1 soroh Santun (soroh 4)
· Penganteb 1, santun 1
· Tapakan pemendak lengkap
· Jinah bolong (uang kepeng) dipakai jan 11 satak, berisi base tampel dan samsam
· Beras kuning biyu kayu 2x4
· Plantar kasa putih (Kain putih)
Di jeroan Kori Agung menghaturkan Upakara :
· 1 soroh Suci
· Timamah bebek putih ketengan 8, kawisan 1, sanggah cucuk
· Tebasan Pancawara
· 1 soroh Santun (soroh 4)
· Penganteb dan Segehan manca
Setelah selesai dihaturkan upakara Segeh Agung, Ida Bhatara di iring mepada / mengitari pelinggih sebanyak 3 kali, baru kemudian Ida Bhatara melinggih di pengaruman. Di Pengaruman Ida Bhatara dihaturkan upakara :
· 4 soroh Suci
· Suci 1 soroh di pelinggih Ratu Pujung
· Suci 3 soroh di ajeng sesuunan
· Suci 1 soroh di pelinggih Kemulan Bali Aga
· Soroan tumpeng 7 asoroh di pelinggih Pengenteg
· Canang Sasidan dari persembahan krama desa
· Linggih selam 8 soroh
· Linggih bawi 10 soroh
· Rayunan 5 soroh
Pada hari Sabtu Keliwon Wuku Landep Karya Peneman di Pura Puseh dan Balai Agung. Di palinggih Padma dihaturkan Upakara :
· Suci 7 soroh
· Rosan tumpeng 17 (1 soroh)
· Rosan tumpeng 11 (1 soroh)
· Rosan tumpeng 7 (2 soroh)
· Pejati 1 soroh
· Pebangkit 1 soroh
· Bangun ayu bebek 1 soroh
· Bebek putih meguling 1 ekor
· Bebek sebulu meguling 1 ekor
· Eteh-eteh pelinggih jangkep
· Jajan jejangan, sate jejanganan
· Pregemal dan pegeneng gelar sanga
Juga beberapa tandingan tebasan antara lain :
· Tebasan prascita
· Tebasan durmangala
· Tebasan kusumajati
· Santun gede 1 soroh
· Lis gede aprancak
· Tapakan ungan
· Pegeneng gelar sanga
Di pelinggih pengaruman dihaturkan upakara :
· Suci 10 soroh
· Rempahan bebek 3 soroh
· Rosan tumpeng 7 (3 soroh)
· Rosan tumpeng 11 (3 soroh)
· Penuhuran suci (1 soroh)
· Penyimpenan suci (1 soroh)
· Rosan tumpeng 17 (1 soroh)
· Tapakan 3 soroh
· Bangkit bebek 1 soroh
· Dan pegeneng gelar sanga
Aturan Siwa Budha dengan bentuk upakara berisi :
· Nasi 3 takep
· Telor bebek di kukus 1 takir
· Telor ayam di kukus 2 takir
· Cabai 2 takir
· Garam 2 takir
· Bebek guling 1 ekor
· Cepala 1 pasang
· Aqua, teh, kopi, air bungkak
· Rokok 1 bungkus dan korek
Di luhur akasa dihaturkan :
· Tapakan pelinggih 1,
· Pejati 1,
· Soroan 1,
· Suci 1 soroh,
· Jauman, penyeneng biying, meraka – raka, nyanyah gringsing, pisang mas, panca pala.
Di bawah luhur akasa dihaturkan :
· Segeh agung,
· Santun gede,
· Panca pala.
Di tetanduran alit dihaturkan Pejatian hitam. Selain upacara upakara diatas, juga dihaturkan berbagai berbagai macam Tebasan, antara lain :
· Tebasan Dewa Rauh
· Tebasan Penyapa Dewa
· Tebasan Guru
· Tebasan Kesumajati
· Tebasan Durmangala
· Tebasan Puncak Manik
· Tebasan Pengenteg Linggih
· Tebasan Pucuk Bakti
· Rayunan 5 soroh
· Santun gede 3 soroh
· Lis gede 1 soroh
· Pejati 1 soroh
· Jauman 1 soroh
Di pelinggih Ratu Pujung dihaturkan suci 1 soroh, di Balai Agung Dangin dihaturkan upakara antara lain :
· Canang gantal 1 pasang
· Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
· Ajengan Ratu Alit nasi mewadah
· Ituk 11 tanding meulam ayam selem
· Linggih 4 tanding meulam sate kawisan
· Malang inuman 53 meulam sate katik 7
· Penganteb dan segehan manca
· Penangkan bawi 1 soroh
Di pelinggih Surya dihaturkan upakara :
· Suci 2 soroh meulam bebek putih meguling
· Santun gede
· Eteh-eteh pelinggih
· Jauman 1 soroh
· Tebasan Kusumajati
· Penganteb dan segehan manca
Di gender wayang dihaturkan upakara :
· Suci 1 soroh
· Penangkan 1 meulam 33an
· Segehan manca
Di pelinggih meru dihaturkan upakara :
· Rosan suci tumpeng 11 meulam bebek putih meguling
Di pelinggih Piasan dihaturkan upakara :
· Rosan tumpeng 11 (1 soroh )
· Suci 1 soroh
Di pelinggih Balai Pelik dihaturkan upakara :
· Suci 1 soroh
· Jerimpen sate bawi 1 soroh
Di masing-masing pelinggih dihaturkan upakara :
· Suci 1 soroh
Di wewalen gong dihaturkan upakara :
· Suci 1 soroh
· Pras ajengan santun
· Penangkan 1 meulam 33an
· Lengkap berisi canang lenga wangi, burat wangi
· Nasi gibungan
· Penganteb dan segehan manca
Di pelinggih Panggungan dihaturkan upakara :
· Suci 14 soroh
· Pebangkit 1 soroh
· Rosan tumpeng 17 (1 Soroh)
· Rosan tumpeng 11 (2 soroh)
· Rosan tumpeng 7 (2 soroh)
· Bangun urip itik (1 soroh)
· Pejati 1 soroh
· Lis gede
· Pregembal
· Jejanganan
· Pegendeng gelar sanga
· Tutuan
· Jauman
· Santun gede
· Rerasmen : Kacang ijo 11 tangkih dan Sambel Rajang 11 tangkih
Ririan pebangkit mulai dari :
· Tumpeng 66
· Tumpeng 33
· Tumpeng 22
· Tumpeng 17
· Tumpeng 11
· Tumpeng 9
· Tumpeng 5 manca
· Tumpeng 3
· Tumpeng 1
Ririan Pregembal mulai dari :
· Tumpeng 33
· Tumpeng 22
· Tumpeng 17
· Tumpeng 11
· Tumpeng 9
· Tumpeng 5
· Tumpeng 3
· Tumpeng 1
Dan Tebasan 5 macam, antara lain :
· Tebasan Penyapa Dewa
· Tebasan Dewa Rauh
· Tebasan Guru
· Tebasan Prascita
· Tebasan Durmangala
· Tebasan Pemutus
Di pelinggih Surya panggungan dihaturkan upakara
· Suci 2 soroh meulam bebek meguling
· Eteh-eteh pelinggih asele / asibak
· Tebasan Ksumajati
· Jauman
Eteh-eteh penganteb di sor surya dihaturkan :
· Santun Gede
· Segehan Manca
Pada setiap prosesi wali perempahan bawi, dihaturkan upakara Nasar Penangkan Gede yang terdiri dari :
· Soroan tumpeng 7 (1 Soroh)
· Canang lenga wangi burat wangi
· Rosan penganteb
· Di lakukan pemujaan di “dura desa” 33, Segehan Manca
Di Pelinggih Padma Balai Banjar, menghaturkan upakara :
· Suci 1 soroh
· Pejati 1
· Penangkan 33 = 1
· Segehan nuut urip
Di pelinggih Tugu Balai Banjar dihaturkan upakara :
· Soroan tumpeng 7 = 1 soroh
· Tipat kelan dampulan
· Penangkan cenik
· Segehan manca 1
· Penganteb
Pada hari Minggu Umanis dilaksanakan upacara Nganyarin dengan upakara :
· Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
· Suci 2 soroh
Saat penyiiban dihaturkan upakara:
· Suci 1 soroh
· tumpeng 11 (1 soroh) meulam itik meguling
Penyiiban di Dalem Pingit dilaksanakan dengan menghaturkan upakara suci (1 soroh). Dalam rentetan prosesi wali juga dilaksanakan wewalen topeng dengan upakara diantaranya:
· Suci 1 soroh
· Pras ajengan santun
· Pis bolong 11 keteng
· Sekerura pis 11
· Beras kuning medaging samsam canang sari
· Penganteb, segehan manca
Para deha Rejang dalam prosesi tari wali membawa canang genten, sementara teruna Baris membawa tombak yang kembali menyimbolkan tiori Purusa Predana. Mesabuh – sabuh memakai sarana antara lain :
· Tapakan pelinggih asele
· Tapan 5
· Muncuk dadap 5 pesel
· Tetabuhan 5 macam
· Di tabuhkan 9 kali di depan kemulan Bali Aga : samsam, beras kuning
· Pis bolong 33 keteng
· Penganteb, segehan manca
Pada setiap wali merempah bawi dilaksanakan wali ngelebar dengan upakara :
· Pemugbug asoroh meulam jerimpen sate asibak, kuku rambut
· Salaran berisikan tegen-tegenan, salaran diputar 3 kali setelah itu di cabut bulu ekornya lalu di bakar di api takep dilanjutkan dengan prosesi membunyikan pejenengan Balai Agung Dangin, bakti di pakai ngelebar semuanya.
Upacara Setiap Odalan Aji Saraswati.
Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia dirayakan setiap 210 hari sekali menurut kalender Jawa Bali, yakni pada setiap Saniscara Umanis Watugunung. Arti Kata Saraswati Kata Saraswati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang artinya mengalir. Saraswati berarti aliran air yang melimpah menuju danau atau kolam. Di dalam Reg Weda, Saraswati dipuji dan dipuja lebih dari delapan puluh re atau mantra pujaan. Ia juga sering dihubungkan dengan pemujaan terhadap Dewa Wiswe Dewah disamping juga dipuja bersamaan dengan Saraswati.
Tentang Saraswati di Indonesia telah dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber kajian adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Saraswati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra seperti halnya dengan menggunakan sarana banten (persembahan).
Apabila seorang pemangku melakukan pemujaan pada hari Saraswati, ia mengucapkan dua bait mantra berikut :
Om Saraswati namas tubhyam, varade kama rupini, siddhirambha karisyami, siddhir bhavantu mesada.Pranamya sarya-Dewana ca, Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya,, Saraswati (n) namamy aham.
(Saraswati
1-2.)
Hanya Engkaulah yang menganugrahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan.
Engkau pula yang penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada.
Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau keutamaan dari setiap
istri yang mulia, Demikian pula tingkah laku seorang anak yang sangat mulia,
karena kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu.
Om Saraswati namotubhyam
varade kama rupini,
siddhirambha karisyami
siddhir bhavantu mesada
(Saraswatistava I)
Om Hyang Widhi dalam wujud-MU sebagai dewi Saraswati, pemberi berkah, wujud
kasih bagai seorang ibu sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba
lakukan selalu berhasil atas karuniaMu
Beberapa Makna Penggambaran atau simbol dari Dewi Saraswati antara lain
· Tubuh dan busana putih bersih dan berkilauan. Didalam Brahmavaivarta Purana dinyatakan bahwa warna putih merupakan simbolis dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-gunatmika dalam kapasitasnya sebagai salah satu dari lima jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan diidentikan dengan Sattvam-jnanam.
· Catur bhuja : memiliki 4 tangan, memegang vina (sejenis gitar), pustaka (kitab suci dan sastra), aksamala (tasbih) dan kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan : vina (di tangan kanan depan) melambangkan Rta (hukum alam) dan saat alam tercipta muncul nada melodi (nada - brahman) berupa Om. Suara Om adalah suara musik alam semesta atau musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan belakang) melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dan tanpa keduanya ini manusaia tidak memiliki arti. kainnya yang putih menunjukkan bahwa ilmu itu selalu putih, mengingatkan kita terhadap nilai ilmu yang murni dan tidak tercela (Shakunthala, 1989: 38).
· Vahana. Saraswati duduk diatas bunga teratai dengan kendaraan angsa atau merak. Angsa adalah sejenis unggas yang sangat cerdas dan dikatakan memiliki sifat kedewataan dan spiritual. Angsa yang gemulai mengingatkan kita terhadap kemampuannya membedakan sekam dengan biji-bijian dari kebenaran ilmu pengetahuan, seperti angsa mampu membedakan antara susu dengan air sebelum meminum yang pertama. Kendaraan yang lain adalh seekor burung merak yang melambangkan kebijaksanaan (Shakunthala, 1989 : 38)..
Pada Saat Piodalan Aji Saraswati Ngerainin, Krama Desa Pakraman Let Menghaturkan berbagai bentuk upakara sebagai wujud bakti terhadap beliau yang menguasai dan menurunkan semua jenis Ilmu Pengetahuan Suci ke dunia ini. Upakara itu antara lain
· Tapakan pelinggih lengkap
· Soroan tumpeng 11 (1 soroh)
· Soroan tumpeng 6 (2 soroh)
· Penganteb (1 soroh)
Ø Upacara Setiap Senin Kliwon Pemacekan (Merebu)
Dalam rangkaian upacara Merebu dihaturkan beberapa upakara Peserah, berupa
· Sate 150 batang terdiri dari Sate Lembat dan Asem, Serapah, Ketengan,
· Lekesan 50 diikat tali berisi uang kepeng,
· Nasi 1 patan.
· Pejati,
· Canang Santun Penganteb di pelinggih Ngerurah Agung, Peras Penyeneng dibalai agung .
Upacara Setiap Sabtu Kliwon Kuningan.
Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Di hari Raya Kuningan yang suci ini diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Masyarakat Hindu di Bali yakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan Pitara kembali ke sorga.
Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Ada beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
Pada hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih kita sebagai umat manusia atas anugrah yang telah diberikan Hyang Widhi, sesajen itu berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Tamyang ini mengingatkan manusia pada hukum alam, bila alam lingkungan kita jaga dan pelihara itu semua akan mendatangkan anugerah dan kemakmuran, namun sebaliknya bila alam dirusak akan menimbulkan bencana dan petaka buat kita dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari Kuningan ini umat Hindu khususnya di bali, diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang Widhi.
Seluruh umat Hindu yang ada di Bali melakukan upacara adat Hari Raya Kuningan ini tidak di wajibkan melaksanakannya di pura, apa lagi bila jarak pura terlalu jauh dari tempat tinggal. Pelaksanaan upacara ini bisa dilakukan juga dirumah mengingat waktu nya yang terlalu singkat, kebiasaaan ini menjadi salah satu adat yang terus dilestarikan hingga saat ini, Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta bumi dan alam seisinya. Dengan demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari.
Jadi inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri adalah memohon keselamatan, kemakmuran, kesejahteraan, perlindungan juga tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan terlaksana seijin Hyang Widhi.
Di desa Pakraman Let setiap hari raya Kuningan ada sebuah prosesi upakara yang sedikit berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Bali. Yaitu dengan menghaturkan upakara Nempuh, yang terdiri dari banten Pras, Ajengan dan Santun.
Upacara Nebasin.
Pada setiap acara upacara nebasin menghaturkan :
· Dapetan,
· Bangun Ayu Bawi 1,
· Tapakan Pelinggih Lengkap,
· Pemugbug bawi 1,
· Malang – malang 1,
· Soroan tumpeng Solas (1 Soroh),
· Soroan tumpeng pitu (2 soroh),
· Soroan tumpeng solas selem (1 Soroh) Ulamne Guling ayam selem 11,
· Soroan tumpeng pitu selem (1 Soroh) ulamne guling bawi selem, ketengan guling solas,
· Salaran (1 soroh),
· Pejati 1 (1 soroh),
· Santun gede (1 soroh),
· Jajen laklak, tape, bantal,
· Upakara siwa budha : nasi 3 takep, bebek guling 1, telur bebek yang dikukus 1 takir,telur ayam yang di kukus 2 takir, cabe 2 takir, garam 2 takir, minuman, pancapala 1 pasang.
· Tebasan Kusuma Jati : penglastan dan prascita durmangala.
· Tebasan Durga Dewi : Tumpeng agung 1, telur, daging ayam putih kedas diguling dan rerasmen kacang komak, Tebasan Setata Raja : tumpeng brumbun 9, tumpeng agung 1, daging ayam brumun diguling 1 ekor.
· Tebasan Durga Siwi : tumeng 9, telur bebek 5, eteh – etel santun 5, kelapa 1, daging bebek putih diguling 1 ekor.
· Tebasan Siwa Tulus Sujati : tumpeng 5, telur bebek 1, telur ayam kampong 5, daging ayam putih kedas di guling 1 ekor.
· Tebasan Siwa Guru : tumpeng agung 1, tumpeng alit 33, daging ayam putih kedas di guling 1 ekor, bunga tunjung 1, muncuk dapdap 3, tebasan pemutus / tebasan tajen.
Upakara yang di haturkan di Bale Agung Dangin, antara lain :
· Olahan bebek hitam 1 ( 1 soroh )
· Jajan kuskus barak putih
· Sumping
· Godoh yang di kuskus
Upakara di Bale Gong :
· peras ajuman santun
· penangkan 33 jengkep canang lenge wangi burat wangi
· segan manca warna
Upacara Ngunya
Adanya prosesi malancaran atau Ngunya Ida Bhatara memiliki makna filosofis luas dan dalam sebagai penuntun hidup di bumi ini. Lontar Barong Swari menceritakan bahwa Dewi Durgha menguji manusia sebagai peringatan, karena semakin banyak berbuat adharma. Dewi Durgha menyebarkan wabah penyakit yang disebut gering. Dari utara diserang dengan Gering Lumintu, dari timur Gering Utah Bayar, dari selatan Gering Rug Bhuwana, dari barat Gering Amancuh. Dengan serangan empat gering dari empat penjuru ini keadaan manusia benar-benar sangat menderita. Saat itu muncullah kesadaran, mereka pun berbakti dengan sungguh-sungguh dipimpin oleh para pandita suci.
Dari bakti itulah turun Sang Hyang Tri Murti dalam wujud kesenian. Bhatara Brahma menjadi Topeng Bang, Bhatara Wisnu sebagai Topeng Telek dan Bhatara Iswara sebagai Barong. Mitologi Lontar Barong Swari itu mengandung konsep universal tentang nilai-nilai kehidupan untuk dijadikan pegangan dalam mengatasi berbagai persoalan hidup.
Mitologi turunnya Sang Hyang Tri Murti ini menyelamatkan dunia ini banyak versinya. Lontar Babad Gunung Agung menceritakan saat Bali kacau karena dipimpin oleh Raja Cengker yang bengis, sehingga keadaan alam dan masyarakat Bali amat menderita. Sang Hyang Tri Murti turun menyelamatkan Bali. Bhatara Brahma menjadi Naga Ananta Bhoga masuk ke bumi menyuburkan bumi. Bhatara Wisnu turun menjadi Naga Basuki masuk ke laut dan sumber-sumber air untuk memurnikan air. Bhatara Iswara turun menjadi Naga Taksaka masuk ke angkasa menyucikan udara.
Dalam Lontar Babad Rangda dan Barong diceritakan Dewi Maya Kresna yang juga bernama Dewi Pucak Manik yang amat sakti. Dewi Pucak Manik kawin dengan adik Raja Erlangga. Setelah punya anak satu, suaminya meninggal. Saat dia janda dia mendapatkan pustaka yang sesungguhnya isinya tutur atau ajaran tentang kehidupan yang baik. Lontar Tutur itu pernah dibalik mengamalkannya sampai dia memiliki kemampuan ngeleak dengan aji ugig-nya membuat wabah penyakit. Karena Dewi Maya Kresna itu janda dia disebut Rangda. Karena janda dalam bahasa Jawa Kuna disebut Rangda.
Dari Lontar Turut itulah Rangda mengeluarkan Kanda Empat. Di Timur Anggapati, di Selatan Mrajapati, di Barat Banaspati dan di Utara Banaspati Raja dalam wujud Barong. Banaspati Raja ini artinya rajanya hutan. Dengan demikian adanya barong ngelawang itu di samping untuk menyebarkan ajaran kemasyarakatan juga menyebarkan ajaran untuk menjaga kesuburan alam. Sumber kesuburan alam itu adalah hutan yang berfungsi menyimpan air, tentunya kalau hutannya lebat dan luasnya memadai dengan luas areal bumi ini.
Barong ngelawang atau Ngunya bermakna untuk mendorong manusia menjaga sistem sosial dan alam yang baik. Sistem sosial dan sistem alam yang terjaga dengan baik akan dapat mencegah, setidak-tidaknya semakin mengurangi berbagai penderitaan hidup ini. Berkaitan dengan hal itu setiap adanya prosesi Ngunya, disertai dengan berbagai upakara. Diantara upakara yang disiapkan dalam rangkaian ritual Ida Bhatara Ngunya Desa di Desa Pakraman Let, antara lain:
Upacara didepan sesuhunan terdiri dari :
· Pesucian,
· Rayunan.
· Buah-buhan
· Asam
Setelah Ida Bhatara kembali dari ngunya di depan titi gonggang di pendak dengan upakara :
· Segeh Agung,
· Sambleh ayam hitam 1,
· Telur 3 butir,
· Telur ayam kampung 1 butir,
Sementara untuk prakangge di haturkan :
· Bubur tabah yang di hidangkan di atas daun dapdap sebanyak 118 tanding,
· Lekesan 118, rokok ganda 118,
· jajan laklak, tape,
· tetabuhan arak berem.
Setelah Ida Bhatara berlingga di Pelinggih, dihadapan beliau kemudian dihaturkan upakara Rayunan dan Upakara yang dihaturkan oleh krama desa. Prosesi upakara Ngunya ini dilaksanakan setiap Kajeng Kliwon uku Galungan.
Upacara Wali di Pura Dalem Pingit.
Setiap Wali di Pura Dalem Pingit, didahului dengan prosesi Ngingsah utawi Negtegan tiga hari sebelum puncak wali, dengan upakara antara lain :
· Tegteg
· Soroan tumpeng 7 (2 soroh)
· Cawu petik 1
· Canang santun
· Rujak
· Lenga wangi
· Penganteb jangkep
Pada wali mekelud dihaturkan upakara :
· Suci 9 soroh
· Penganteb 1 soroh
· Pejati 1 soroh
· Pengulapan 1 soroh
· Dapetan sorwan tumpeng 7 (2soroh)
· Jauman
· Tebasan ksumajati
· Tebasan pancakelud
· Tebasan penyapa dewa
· Tebasan biakala
· Tebasan prascita durmangala
· Lis 1 soroh
· Canang tapakan
· Santun gede 1
· Tutuan
· Ayam manca melayang amanca
· Bebek welang kalung
· Ayam manca metunu amanca
Pecaruan di jaba tengah memakai sarana ayam brumbun melayang layang dengan upakaralengkap. Sedangkan pada prosesi upacara Penyeeban / pengulapan di jaba Pura Dugul dilaksanakan dengan upakara :
· Dapetan tumpeng 7 (2 soroh)
· Tebasan prascita
· Tebasan durmangala
· Tebasan pemiakala
· Lis gede
· Eteh-eteh penganteb jangkep
· Segehan manca
Beberapa jenis upakara dipergunakan untuk prosesi mesucian di jaba Pura Dugul diantaranya:
· Penyeeban 1 soroh
· Pengulapan 1 soroh
· Dapetan sorpan tumpeng 7 (2 soroh)
· Suci 1 soroh meulam bebek meguling
· Lis 1 soroh
· Jauman
· Rosan penganteb
· Segehan manca
Upakara di jeroan Pura Dugul :
· Suci 2 soroh
· Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
· Pejati
· Penganteb jangkep
· Segehan manca
Upakara yang di haturkan di palinggih Padma antara lain :
· Tapakan pelinggih jangkep
· Pebangkit selam 1 soroh
· Pregemal 1 soroh
· Pemugbug malang-malang
· Soroan tumpeng 17 (1 soroh)
· Soroan tumpeng 11 (1 soroh)
· Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
· Suci 7 soroh
· Eteh-eteh gelar sanga jangkep
· Jejangannan
· Santun sarwa pat (2 soroh)
· Pejati 1 soroh
· Penganteb 2 soroh
· Penyeneng, canang raka, ajuman
· Tegteg 1, lis gede 1
· Jerimpen apasang
· Tutuan, jemek, jauman
· Tebasan Penyapa Dewa,
· Tebasan Dewa Rauh
· Tebasan Guru,
· Tebasan Prascita,
· Tebasan Durmangala
· Segehan manca 2 soroh
· Di masing-masing pelinggih dihaturkan suci 1 soroh
Ririan pebangkit selam mulai dari :
· Tumpeng 33
· Tumpeng 22
· Tumpeng 17
· Tumpeng 11
· Tumpeng 9
· Tumpeng 7
· Tumpeng 5
· Tumpeng 3
· Tumpeng 1
Ririan pregemal selam mulai dari :
· Tumpeng 22
· Tumpeng 17
· Tumpeng 11
· Tumpeng 9
· Tumpeng 7
· Tumpeng 5
· Tumpeng 3
· Tumpeng 1
Upacara di Padma Penangkan Gede, antara lain:
· Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
· Canang lenga wangi burat wangi
· Rosan penganteb, segehan manca
· Dilakukan pemujaan di “dura desa” 33
Setelah kembali dari tempat mesucian, di jaba Pura Dalem di haturkan upakara :
· Segeh agung ayam selem 1 ekor
· Anak babi butuan 1 ekor
· Suci selem 1
· Pejati selem 1
· Jauman selem apasang
· Segehan cacan 118 selem
· Gantal 118, rokok 118
· Bubuh tabah 118, ulam putih telur
· Metatakan don dapdap
· Dan juga yang terdiri dari aturan warga desa
Sesampai di jeroan Pura Dalem dihaturkan upakara :
· Timamah atau plantar
· Itik putih melayang
· Tebasan Panca Wara
Di ayun widhi dihaturkan upakara :
· Bangkit bawi 1 soroh
· Kucit pineng meguling
· Eteh-eteh pelinggih lengkap 3 soroh
· Pemugbug 11 soroh
· Bangun urip itik 1 soroh
· Santun gede 1 soroh
· Pregemal 1 soroh
· Jejangan 1 soroh
· Rosan penyeneng mumbul
· Jauman 1 soroh
· Pejati santun gede
· Eteh-eteh gelar sanga lengkap
· Penyineban suci
· Ulam itik meguling
· Soroan tumpeng 17 (11 soroh)
· Soroan tumpeng 11 (3 soroh)
· Soroan tumpeng 11 selem (1 soroh)
· Soroan tumpeng 7 (3 soroh)
· Tebasan Penyapa Dewa terdiri dari :
o Tebasan Dewa rauh
o Tebasan Guru
o Tebasan Prascita Durmangala
o Tebasan Pengenteg
o Tebasan Durga Dewi
o Tebasan Puncak manic
o Tebasan Pemutus
Juga dihaturkan upakara :
· Pemugbug kucit pineng beralaskan nyiru
· Daksina paso
· Malang-malang 11, sile-sile 11
· Pisang matah lebeng
· Santun ajengan apasang
· Canang raka apasang
· Nasi sokan apasang
· Nasi uyah apasang
· Raka galan, tumpengne 11
· Jajan pemugbug apasang
· Pangkonan apasang
· Tipat kelanan akelan
· Tumpeng guling 5 bungkul
· Taluh lebeng 3 butir, segehan apasang
Untuk pemujaan Siwa Buda, memakai sarana upakara:
· Nasi 3 takep
· Telor bebek di kukus 1 takir
· Telor ayam di kukus 2 takir
· Cabe 2 takir
· Garam 2 takir
· Aqua, teh, kopi, toya bungkak
· Bebek guling 1 ekor
· Cepala 1 pasang
· Rokok 1 bungkus + korek
Persembahan terhadap Ratu Pujung dengan sarana upakara:
· Eteh-eteh pelinggih lengkap
· Soroan tumpeng 11 (1 soroh)
· Suci 2 soroh
· Rempahan bebek 1 soroh
· Soroan tumpeng 7 ( 1 soroh )
Persembahan terhadap Ratu Lingsir :
· Eteh-eteh pelinggih lengkap
· Soroan tumpeng 11 (1 soroh )
· Suci 2 soroh
· Rempahan bebek 1 soroh
· Soroan tumpeng 7 ( 1 soroh )
Upakara yang di haturkan di Luwur Akasa :
· Tapakan pelinggih
· Pejati 1 soroh
· Soroan tumpeng 11 (1 soroh)
· Suci 1 soroh
· Penyeneng biying
· Jauman
· Raka-raka, nyanyah gringsing
· Rosan penganteb jangkep
· Santun gede
· Pisang mas dan panca pala
Upakara yang di haturkan ring sor (bawah) akasa :
· Segeh agung
· Pancapala
· Santun gede
· Sambleh ayam hitam 1 ekor
· Segehan manca
Di pelinggih Pura Dalem Pelapuan di haturkan upakara :
· Tapakan pelinggihlengkap
· Soroan tumpeng 11 (1 soroh)
· Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
· Pejati 1 soroh
· Pemugbug 1 soroh
· Malang-malang 1 soroh
· Suci 1 soroh
· Rempahan bebek 1 soroh
· Penganteb, segehan manca
Setiap tilem di haturkan Malang nurut krama banjar bergilir di jaba pura Pelapuan dilaksanakan prosesi menghaturkan beberapa upakara antara lain :
· Di Pelinggih Surya di haturkan upakara :
o Tapakan pelinggih
o Jauman 1 soroh
o Suci 1 soroh
o Tebasan Kusumajati
o Pejati 1
o Penganteb
· Di sor surya di harturkan upakara :
o Santun gede
o Penyeeban 1 soroh
o Bayuan 1 soroh
o Pengulapan 1 soroh
o Dapetan tumpeng 7 (2 soroh)
o Tebasan Pamiakala
o Tebasan Prascita,
o Tebasan Durmangala
o Segehan sepesatus
o Cau dan nasi mekaput 99
Memakai caru godel dengan upakara :
· Suci 1 soroh
· Penganteb jangkep
· Tapakan di ulu godel (santun gede 1 soroh)
Di pura Dalem Merajapati di haturkan upakara :
· Bencahan itik 1 soroh
· Suci 1 soroh
· Tapakan palinggih jangkep
· Soroan tumpeng 11 (11 soroh)
· Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
· Pemugbug bebek 1
· Malang-malang 22
· Pejati 1
· Jauman 2
· Tebasan Prascita,
· Tebasan Durmangala
· Penganteb
· Segehan manca.
Di Hulun Setra di haturkan upakara :
· Suci 2 soroh
· Pras ajengan santun 2
· Darpana 2
· Penangan 2
· Penganteb
· Segehan manca
Upacara penyiiban di haturkan :
· Suci 1 soroh dengan ulam bebek meguling
· Suci tumpeng 11 asoroh
· Santun gede
· Segehan manca
Di ayun widi dihaturkan upakara :
· Upakara pemlaspas bakti dengan peras ajengan santun
· Upakara penunasan penurgan prejuru dan krame sami dengan pras ajengan santun,
· Penyiksikan gede, tubungan 66, jinah bolong 66, beras apatan, canang aungan
· Aturan krame agar dilengkapi dengan tegteg
Dalam prosesi mesucian di pura dugul di haturkan upakara :
· Penyeeban 1 soroh
· Pengulapan 1 soroh
· Dapetan soroan tumpeng 7 (2 soroh)
· Suci 1 soroh ulam bebek meguling
· Lis 1 soroh
· Jauman
· Rosan penganteb
· Segehan manca
Upakara di jaba pura dugul
· Penyeeban / pengulapan
· Dapetan tumpeng 7 (2 soroh)
· Tebasan Prascita
· Tebasan Durmangala
· Tebasan Pemiakala
· Lis gede 1
· Eteh-eteh penganteb jangkep
· Segehan manca
Upakara di Pura Dugul, antara lain :
· Suci 2 soroh
· Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
· Pejati
· Penganteb jangkep
· Segehan manca
Di Balai Agung Dauh pada prosesi Wali Ngantukkan Laba, menghaturkan berbagai upakara, antara lain:
· Rayunan 1
· Segehan manca mekepelan 11
· Soroan tumpeng 7=1
· Penangkan selam 1 soroh
· Penangkan bawi 1 soroh
Upacara Wali di Pura Tegal Suci.
Upacara wali di Pura Tegalsuci dilaksanakan bertepatan dengan hari suci Pemaridan Guru, dengan menghaturkan berbagai jenis upakara sebagai ungkapan terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, diantaranya :
Di wilayah Utama Mandala dihaturkan upakara :
· Tapakan Pelinggih 1,
· Pejati 1,
· Bangun urip 1,
· Pemugbug 1,
· Malang – malang 1,
· Tebasan Prascita Durmangala 1,
· Rayunan 5,
· Timbungan ayam 1.
Di luur akasa menghaturkan upakara :
· Tapakan pelinggih 1,
· Pejati 1,
· Soroan 1,
· Jauman,
· Penyeneng biying,
· Meraka – raka,
· Nyanyah gringsing,
· Biu mas,
· Panca pala.
Di bawah luur akasa menghaturkan upakara :
· Segeh agung,
· Santun gede,
· panca pala.
Di Natar dihaturkan : Gibungan beralaskan daun tlujungan tiga nasi meulam telur di goring dan di kukus, kacang saur
Di Madya Mandala :
· Gibungan 5 tanding,
· Segeh agung,
· Telur 2, telur ayam kampung 1,
· Kucit butuan 1,
· Suci selem 1,
· Pejati selem 1,
· Jauman selem 1 pasang,
· Segehan cacah 118,
· Santun sarwa 4 ( 1 Soroh )
Aturan untuk prakangge antara lain :
· Bubuh tabah yang di hidangkan di atas daun dapdap sebanyak 118 tanding,
· Lekesan 118, rokok ganda 118,
· Jajan laklak, tape,
· Tetabuhan arak berem,
Di natar madya mandala ada juga dihaturkan upakara: Gibungan beralaskan daun telujungan ulam telur goreng sebelas telur di kukus 5 kacang saur, Gerang. Sementara upakara di trowongan terdiri dari : Pejati 1 dan segan manca.
Ø Upacara Wali di pura Dukuh atau di Pelinggih Buda
Upacara wali di Pura Tegalsuci dilaksanakan pada saat Tumpek Kuningan atau hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan dengan menghaturkan beberapa upakara, antara lain:
· Rempahan Itik,
· Tapakan Pelinggih lengkap,
· Pemugbug (1 soroh),
· Malang-Malang (1 soroh),
· Salaran dan
· Segehan
Upacara Wali Di Pura Pucak Andong.
Upacara di Pura Pucak Andong dilaksanakan pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga, dengan upakara Merempah dihaturkan:
· Tapakan lengkap,
· sorowan Tumpeng 11,
· Pemugpug,
· Jerimpen (1 pasang),
· Malang-malang (22 tanding),
· Bangun Urip,
· Itik Bulu Kerep,
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Tebasan Pemutus,
· Canang Panca Pala,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Pejati,
· Salaran Penyeneng,
· Santun Penganteb,
· Segan Manca Warna dan membagikan Tirta yang digunakan di perumahan dan tegalan atau perkebunan.
Dalam prosesi Wali Ngalitin Menghaturkan:
· Tapakan jangkep,
· Canang Cepala,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Pejati,
· Santun Penganteb,
· Penyeneng Tebasan Pemutus,
· Segan Manca Warna, dan membagikan Tirta kepada krama desa untuk dipakai di perumahan dan perkebunan.
Di perumahan atau di tempat suci atau pemerajan atau Sanggah dihaturkan upakara:
· Rosan Tumpeng 6, atau di pemerajan,
· Segan Manca Warna berisi Suyuk,
· memohon tirta di Pura Puncak Andong atau Pura Puseh.
Di Palemahan atau di kebun dihaturkan upakara:
· Rosan tumpeng 6, atau Ajuman Putih-Kuning,
· Segan Manca Warna, dengan Tirta yang kemudian dipercikan di kebun.
Ø Upacara di Pura Dukuh Sakti
Upacara Di Pura Dukuh Sakti dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon, wuku Julungwangi dengan menghaturkan upakara
· Tapakan lengkap,
· Sorwan Tumpeng 11 (1 soroh),
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Pemugbug (1 soroh),
· Jrimpen (1 pasang),
· Malang-malang (22 tanding),
· Bangun Urip,
· Itik Kerep Bulu,
· Canang Cepala,
· Canang Lenga Wangi-Burat Wangi,
· Pejati, Rosan,
· Tumpeng 6,
· Daging Itik diguling (1 ekor),
· Salaran,
· Tebasan Pemutus,
· Penyeneng,
· Santun Penganteb,
· Segan Manca Warna.
Juga menghaturkan:
· Tapakan lengkap,
· Canang Cepale,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Pejati,
· Santun Penganteb,
· Penyeneng,
· Tebasan Pemutus,
· Segan Manca Warna, dengan membagikan Tirta yang diperuntukan di masing rumah dan tegalan atau kebun.
Sedangkan upakara yang dihaturkan untuk di rumah warga dan di tempat sucinya atau mrajan antara lain:
· Ajuman Putih Kuning,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi dan
· Segan Manca Warna.
Upakara yang dihaturkan untuk di palemahan dan atau ditegalan atau kebun diantaranya:
· Ajuman Putih Kuning,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi dan
· Segan Manca Warna.
Upacara Wali di Pura Pengangon.
Upacara Wali di Pura Pengangon dilaksanakan setiap hari Sabtu Kliwon, Wuku Uye atau Tumpek Uye, dengan upakara Merempah menghaturkan:
· Tapakan Lengkap,
· Sorowan, Tumpeng 11,
· Pemugpug, Jrimpen (1 pasang),
· Malang-malang (22 tanding),
· Bangun Urip,
· Itik Kerep Bulu,
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Tebasan Pemutus,
· Canang Pancapala,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Pejati, Salaran dan
· Penyeneng,
· Santun Penganteb,
· Segan Manca Warna, serta membagikan Tirta untuk di Wewalungan.
Pada saat Wali ngalitin, Menghaturkan:
· Tapakan Lengkap,
· Canang Cepala,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Pejati,
· Santun Penganteb,
· Penyeneng,
· Tebasan Pemutus.
· Segan Manca Warna serta membagikan Tirta untuk di Wewalungan.
Upacara di pawongan atau di mrajan antara lain: Rosan tumpeng 6, dan di Merajan atau Sanggah menghaturkan Segan Manca Warna. di Palemahan atau di Pategalan penduduk, menghaturkan : Rosan tumpeng 6 atau ajuman putih kuning, segan manca warna, serta Tirta untuk dipercikan di Wewalungan.
Upacara Ngendag Pertiwi atau Ngemping.
Upacara Ngendag Pertiwi atau Ngemping dilaksanakan setiap Purnama yang jatuh pada Sasih Kadasa, dengan prosesi awal, memohon Tirtha kekuluh di Pura Ulundanu Batur. Di Pelinggih Kayangan Pura Pucak, menghaturkan :
· Rosan tumpeng 6 (4 soroh),
· Segan Manca Warna.
Upacara di Padma Penangkan Gede.
· Sorowan Tumpeng 6 (1 soroh),
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Dilakukan pemujaan di “Dura Desa”33.
Upakara Dipemandian atau Beji atau ”Kayan”.
· Pras Ajengan Santun,
· Kelanan Dampulan,
· Penangkan 33,
· Jangkep Rosan Tumpeng 6,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi.
Upakara yang dihaturkan di Pura Besukian.
· Pejati,
· Sorowan Tumpeng 6,
· Ajuman Manca Warna, Maulam Telur,
· Segan Manca Warna,
· Nasi Pinanaga,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi.
Upacara yang dihaturkan di Gong:
· Pras Ajengan Santun,
· Penangkan 33 jangkep
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Segan Manca Warna.
Upacara yang dihaturkan di pasamuan Bale Agung;
· Tapakan lengkap,
· Sorowan Tumpeng 11,
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Pemugpug,
· Jrimpen sepasang,
· Malang-malang =33,
· Kalu-Kalu Berisi Raka-Raka,
· Emping Jangkep,
· Pejati Rayunan,
· Ajengan Ratu Sakti,
· salaran,
· Tebasan Pemutus atau Rejang Baris,
· Segan Manca Warna.
Upacara yang dihaturkan di Bale Agung Dangin.
· Linggih 4 tanding,
· Ulam Kawisan.
· Malang Inum sejumlah Krama Subak,
· Sorowan 1,
· Segan Manca Warna.
· Tapakan dene jangkep,
· Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
· tumpeng 6 (1 soroh),
· Pemugpug,
· Jrimpen sepasang,
· Malang-malang (22 tanding),
· Bangun Urip,
· Itik Kerep Bulu,
· Rayunan,
· Segan Manca Warna.
Upacara yang dihaturkan di Bale Agung Dauh:
· Rosan tumpeng 6.
Upacara yang dihaturkan di Ngrurah Agung;
· Sorowan tumpeng 6 = 1,
· santun 1,
· penagkan 33 abesik,
· rayunan sesolahan sabuh-sabuhan,
· segan manca warna.
Upacara yang dihaturkan pada saat prosesi Ngelebar:
· Rosan tumpeng 11,
· Santun,
· Jrimpen Jatah Asese,
· Salaran,
· Segan Manca Warna.
Upacara yang dihaturkan di rumah-rumah atau di Pamerajan.
· Ajuman Putih Kuning,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Segan (5 tanding).
Upacara yang dihaturkan di kebun atau palemahan.
· Pengendag Pertiwi,
· Tulung Urip,
· Ajuman Putih Kuning,
· Alis acarang Pucuk Putih,
· Segan 5 tanding putih kuning.
Prosesi Upacara Mulai Menanam Padi di Sawah Desa.
Prosesi Upacara mulai menanam Padi di Sawah Desa dilakukan saat bulan pertama bertemu Purnama atau upacara yang dilaksanakan bersamaan bulan Purnama. Seing disebut upacara memulai menanam padi atau Ngembak Duasa nandur padi. Di Pura Subak atau Pura Pucak Andong, Rosan Tumpeng 6 (4 soroh).
Upakara yang dihaturkan di Padma Penyawangan Dura desa:
· Penangkan 33,
· Sorowan 1 soroh,
· Segan Manca Warna.
Upakara di Beji atau Pemandian Suci:
· Pras ajengan,
· Santun,
· Kelanan Dampulan,
· Penangkan 33 jangkep,
· Rosan Tumpang 6 (1 soroh),
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Segan Manca.
Upakara yang dihaturkan di Pelinggih Basukian.
· Pejati,
· Sorowan Tumpeng 6 (1 soroh),
· Ajuman Manca Warna,
· Segan Manca Warna,
· Nasi Pinda Naga (Nasi berbentuk Naga),
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi.
Upakara di Gong, antara lain:
· Pras Ajengan Santun,
· Penangkan 33 jangkep,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi.
Upakara yang dihaturkan di Pesamuan;
· Tapakan Lengkap,
· sorowan tumpeng 11 (1 soroh),
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Pejati,
· Tumpeng Lanjar (11 bungkul),
· Pemugpug,
· Jrimpen (1 pasang),
· Malang-malang 33,
· Tebasan Pemutus,
· Rayunan,
· Salaran,
· Pemuput Rejang Baris,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Segan Manca (1 soroh),
· Bangun Ayu Bawi (1 soroh).
Upakara di Bale Agung Dangin;
· Linggih (4 tanding),
· Ulam Kawisan,
· Malang Inum sejumlah Krama subak,
· Ulam Katik 5,
· Rosan Tumpeng 6 (1 soroh).
· Tapakan Dene Jangkep Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Pemugpug Jrimpen (1 pasang),
· Malang-malang 22 tanding,
· Bangun Urip,
· Itik Kerep Bulu,
· Segan Manca Warna.
Upakara di Pelinggih Ngrurah Agung.
· sorowan tumpeng 6 satu,
· Santun (1 soroh),
· Penangkan ,33
· Meruntutan Sesolahan,
· Sabuh Sabuhan,
· Segan Manca Warna.
Upakara yang dihaturkan pada prosesi Nglebar, antara lain:
· Rosan Tumpeng 1.
· Tegenan,
· Jrimpen Jatah Asele,
· Salaran,
· Santun 1,
· Segan Manca Warna.
Upakara yang dihaturkan di rumah warga atau Mrajan atau Sanggah:
· Ajuman Putih Kuning,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Segan Cacahan (5 tanding).
Upakara yang dihaturkan di Palemahan atau kebun/tegalan milik warga desa:
· Ajuman Putih Kuning,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi.
Upakara yang dihaturkan saat memulai menanam padi:
· Ancak Bingin,
· Ubi
· Kladi,
· Plawa,
· Batang kayu dapdap (11 batang),
· Ajuman Putih Kuning,
· Muncuk Kukusan,
· Segan Manca Warna.
Ø Prosesi Upacara Matajuk.
Upakara yang dihaturkan pada prosesi Upacara Metajuk, antara lain:
· Kukus Putih Kuning,
· Batun Cuku,
· Muncuk Kukusan,
· Cau (2 tanding)
· lauk dari daging ayam,
· Betutu,
· Canang Yasa,
· Canang Sari.
Upacara atau Wali Penyeheban Di Titi Gonggang.
Beberapa Upakara Yang dihaturkan saat Upacara atau Wali Penyeheban Di Titi Gonggang antara lain:
· Disanggah tutuan, dihaturkan:
o Canang Tapakan lengkap,
o Suci (2 soroh),
o Jauman,
o Tebasan Kesuma Jati,
o Penyeneng (1 soroh),
· Dibawah Sanggah Tutuwan, dihaturkan
o Santun Gede (1 soroh),
o Suci penyeheban (6 soroh),
o Bayuan (1 soroh),
o Tebasan Pemiyakala,
o Prayascita Durmanggala,
o Penyapa Dewa-Dewa Rawuh,
o Guru Pangenteg Linggih,
o Pemutus,
o Pangulapan.
· Caru pamahayu:
o Olahan Godel (99 ketengan),
o Kawisan (2 tanding),
o Sengkuwi (99 tanding),
o Suci (1 soroh),
o Tapakan (1 soroh),
o Santun Gede (1 soroh),
o Segan Manca Warna,
o Penyeneng (1 soroh).
o Penganteb Santun,
o Penganteb 1,
o Payuk Kukusan,
o Sedok Pepek,
o Lis 1.
· Upacara di pawongan atau di Mrajan:
o Banten ajuman putih kuning,
o Canang lenga wangi burat wangi,
o Segehan cacahan (5 tanding).
· Upacara dipalemahan atau Tegalan atau kebun:
o Ajuman putih kuning mendak pertiwi atau memohon “Bongkala” atau bungkahan dibawa ke luar Pura atau jaba Pura, ditaruh ditempat api / Gni, segan cacahan 5.
Ø Upacara / Wali Nukub Di Pura Tembuku Aya / Masceti.
Beberapa Upakara Yang dihaturkan saat Upacara / Wali Nukub Di Pura Tembuku Aya / Masceti, antara lain sebagai berikut:
· Di Pura Masceti Dihaturkan:
o Tapakan dene jangkep/lengkap,
o Suci Putih (1 soroh),
o Suci Selem (1 soroh),
o Bangun Urip Itik Putih,
o Tumpeng 11 (1 soroh),
o Tumpeng 6 (1 soroh),
o Pemugpug
o Jerimpen (1 pasang),
o Malang-malang (22 tanding),
o Pejati,
o Tebasan Pemutus,
o Cau Dandan maulam ayam putih melablab (direbus).
· Upakara Pemagpag Toya,
o Sorowan Tumpeng 6,
o Guling Babi (1 ekor),
o Bubuh Tabah Putih Kuning,
o Ketipat Dampulan,
o Ketipat Gong,dena jangkep,
o Teteg Ajuman Putih Kuning,
o Penjor Punggul berisi kasna di tempat Tirta,
o Penganteb (penyeneng santun 1).
· Upacara di Palemahan atau di Mrajan atau di Sanggah krama desa.
o Banten Ajuman Putih Kuning,
o Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
o Segaan Cacahan (5 tanding).
· Upacara di Palemahan atau Kebun / Pategalan.
o Ajuman Putih Kuning,
o Cau (2 tanding),
o Bubuh Tabah Putih-Kuning,
o Penjor Punggul berisi Tirta dipersembahkan kehadapan “Penuwasan”.
Upacara / Wali Nyungsung.
Upacara / wali Nyungsung dilaksanakan dijaba pura dengan ngadegang asagan, menghaturkan upakara:
· Tapakan dene jangkep / lengkap,
· Pemugpug,
· Jerimpen (1 pasang),
· Malang-malang (22 tanding),
· Bangun Urip Itik Kerep Bulu,
· Rosan Tumpeng 11,
· Tumpeng 6,
· diikuti persembahan Krama Desa, antara lain :
o Tatag,
o Ajuman Putih Kuning,
o Segahan Manca Warna,
o Penyeneng 1.
Upacara / Wali Ngentegan di Pura Bale Agung.
Upacara di Bale Agung acara ngentegan dihaturkan:
· Tapakan dene jangkep / lengkap,
· Rosan Tumpeng 11,
· Pemugpug Jerimpen (1 pasang),
· Malang-malang (22 tanding),
· Bangun Urip Itik Kerep Bulu,
· Persembahan Krama Desa,
· Ajuman Putih Kuning,
· Teteg.
Upacara di Parahyangan / Mrajan:
· Banten ajuman putih-kuning,
· Canang Lenge Wangi Burat Wangi,
· Segahan Cacahan (5 tanding).
Upacara di rumah-rumah atau Tegalan, dengan sanggah dihaturkan:
· Teteg Rosan,
· Peras Penyeneng dagingnya ayam,
· Penyeneng,
· Segahan Cacahan (5 tanding).
Upacara / Wali Biyu Kukung di Pura Subak
Prosesi Upacara / Wali Biu Kukung dilaksanakan di Pura Subak, Di Mrajan atau Sanggah Krama dan di tegalan milik krama desa. Dengan menghaturkan beberapa upakara penting yang berkaitan dengan Wali Biyu Kukung.
· Upakara di Pura Subak dilaksanakan dengan menghaturkan beberapa upakara, diantaranya:
o Rosan Tumpeng 6 (3 soroh),
o Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
o Segahan Cacahan (5 tanding).
· Upacara di Mrajan dilaksanakan dengan menghaturkan beberapa upakara, diantaranya:
o Ajuman Putih Kuning,
o Segahan Cacahan (5 tanding).
· Upacara di Rumah /Tegalan dilaksanakan dengan menghaturkan beberapa upakara, diantaranya:
o Membuat Sanggah atau Penjor,
o Rosan Tumpeng 6,
o Dagingnya ayam,
o Tipat Penyambut,
o Segan Manca Warna.
Upacara / Wali Ngampung atau Manyi atau Panen.
Prosesi Upacara / Wali Ngampung atau Manyi atau Panen dilaksanakan di Pura Subak, Di Mrajan atau Sanggah Krama dan di tegalan milik krama desa. Dengan menghaturkan beberapa upakara penting yang berkaitan dengan Ngampung atau Manyi atau Panen.
· Upakara di Pura Subak dilaksanakan dengan menghaturkan beberapa upakara, diantaranya:
o Ajuman Putih Kuning,
o Santun Asoroh.
o Seluruh masyaraka desa menghaturkan persembahan berupa ajuman putih-kuning.
· Upacara di mrajan, Upakara di Pura Subak dilaksanakan dengan menghaturkan beberapa upakara, diantaranya:
o Ajuman Putih Kuning,
o Segahan Cacahan (5 tanding).
· Upacara di Rumah / Tegalan, Upakara di Pura Subak dilaksanakan dengan menghaturkan beberapa upakara, diantaranya:
o Ajuman Putih Kuning,
o Rosan Peras Penyeneng,
o Pengulapan,
o Ngadegan Nini.
Upacara / Wali Ngetimusan Di Pura Dalem Pingit.
Upacara / Wali Ngetimusan dilaksanakan setelah acara “Ngampung Merempah.” Merempah, dihaturkan upakara:
· Tapakan dene jangkep / lengkap,
· Sorowan Tumpeng 11,
· Pemugpug,
· Jerimpen (1 pasang),
· Malang-malang 22,
· Bangun Urip,
· Itik Kerep Bulu,
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Tebasan Pemutus,
· Canang Pancapala,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Pejati,
· Salaran,
· Penyeneng,
· Santun Penganteb,
· Segahan Manca Warna.
Dalam prosesi upacara yang lebih kecil (wali ngalitin), dihaturkan upakara:
· Tapakan lengkap,
· Canang Cepala,
· Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
· Rosan Tumpeng 1 (1 soroh),
· Tumpeng 6 (1 soroh),
· Pejati,
· Santun Penganteb,
· Penyeneng,
· Tebasan Pemutus,
· Segahan Manca Warna.
Jenis upakara yang dihaturkan di Pura Dalem Pelapuan, antara lain:
· Rosan tumpeng 6,
· Timus persembahan Krama,
· Segahan Manca Warna.
Jenis upakara yang dihaturkan di Rumah dan Mrajan atau Sanggah Krama, antara lain:
· Ajuman Putih Kuning atau Timus,
· Raka Jangkep,
· Segehan Cacahan (5 tanding).
Jenis upakara yang dihaturkan di Tegalan atau Palemahan, antara lain:
· Ajuman putih kuning,
· segahan manca warna.
Upacara / Wali Mendak Nini.
Rangkaian upacara Mendak Nini terdiri dari berbagai prosesi memakai upakara bertempat di beberapa tempat yang berbeda, diantaranya:
· Upacara di Pesamuan Bale Agung, menggunakan sarana upakara:
o Tapakan Dene Jangkep/lengkap atau Nini,
o Subak sowang-sowang, katurang
§ Suci Pamendak
§ Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
§ Tumpeng 6 (1 soroh),
§ Pemugpug,
§ Jerimpen (1 pasang),
§ Malang-malang 33,
§ Bangun Ayu Baur (1 soroh),
§ Pemutus,
§ Salaran
§ Wawalen Rejang Baris.
· Upacara di Padma Penyawangan di luar Desa menghaturkan upakara:
o Penangkan (33 tanding),
o Rosan tumpeng 6,
o Penyeneng,
o Segahan Manca.
· Upacara di Besakih:
o Pejati,
o Ajuman Manca Warna dengan daging telur masing-masing satu,
o Segahan Manca Warna,
o Nasi Mepinda (berbentuk) naga.
· Upacara di Tembuku Aya / Masceti:
o Peras Ajengan Santun,
o Kelanan Dampulan,
o Penangkan Satu Tanding,
o Segan Manca Warna.
· Upacara di Gong.
o Peras Ajengan Santun,
o Nasi Megibungan Dengan Daging Sate 33,
o Segan Manca Warna,
o Penyeneng
· Upacara di Bale Agung Dangin.
o Linggih (4 tanding),
o Daging (ulam) kawisan,
o Ajengan Ratu Alit (4 tanding),
o Malang Inumang Manut Ketekan Krama,
o Maulan / Daging Jatah/ Sate Babi (katik 5).
o Tapakan Dene Jangkep,
o Pamugpug,
o Jerimpen (1 pasang),
o Malang-malang 22 tanding,
o Rosan Tumpeng 11,
o Tumpeng 6,
o Pejati,
o Bangunurip Itik,
o Segan Manca Warna,
o Rayunan,
o Penyeneng.
· Upacara di Bale Agung Dauh:
o Rosan tumpeng 6 satu.
· Upacara di Ratu Ngruruah Agung:
o Peras Ajengan,
o Santun,
o Penengkan (1 tanding),
o Segan Manca Warna,
o Pamuput Sasolahan Sabuh-Sabuhan.
· Upacara Nglebar.
o Rosan Tumpeng 11,
o Jerimpen Asele,
o Santun ,
o Salaran,
o Segahan Manca Warna.
· Upacara di Pura Tegal Suci.
o Rosan tumpeng 11 (1 soroh),
o Tumpeng 6 (1 soroh),
o Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
o Tapakan Lengkap.
o Persembahan dari Krama Subak / masyarakat yang berupa yang dipikul / tegenan atau yang di ”suhun” / jingjing di kepala,serta mohon Tirta untuk dipergunakan dilumbung masing-masing.
· Upacara di lumbung masing-masing rumah.
o Rosan Tumpeng 6,
o Pengulapan Cau Satu Soroh,
o Tebasan Penyapa Dewa-Dewa Rauh,
o Segan Manca Warna.
· Upacara di masing-masing Mrajan / sanggah.
o Ajuman Putih Kuning,
o Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
o Segahan Cacahan (5 tanding).
· Upacara di Tegalan /Palemahan.
o Ajuman Putih Kuning,
o Cau.
· Upacara untuk alat-alat Subak.
o Tenggala,
o Lampit atau yang lainnya,
o Cau (1 soroh),
o Segahan Cacahan (5 tanding).
Demikianlah beberapa prosesi upacara di Desa Pakramat Let, juga beberapa upakaranya, yang kebanyakan berniasa linggih Ida Sang Hyang Widhi, sebagai bentuk ungkapan terima kasih kehadapan Beliau dengan segala prebawa beliau. Rangkaian upacara dan jenis upakara ini sudah diwariskan semenjak dahulu, dan sudah mengalami beberapa perubahan dari masa-kemasa. Akan tetapi esensi serta makna yang terkandung didalamnya masih tetap mengacu pada budaya Tinut kepada Pendahulu.
BAB XIII
Penutup
Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu lewat berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugrah Beliau, memuja dan mensucikan Pelinggih Arcana Widhi, membangun dan memperbaiki Pelinggih Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial religius masyarakat setempat, adalah sebagian kecil bentuk Sradha Bakti terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat kesadaran yang maha tinggi bahwa segala sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah berkat ciptaanNya, berkat pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai kekuasaan melebur. Konsep-konsep tersebut sudah terpatri dalam jiwa setiap masyarakat Hindu di Bali.
Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya merupakan salah satu jalan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan alam lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruhan bagian dari konsep Tri Hita Karana tersebut dipakai sebagai dasar kehidupan di Desa Pakraman. Hal ini diperkuat dengan adanya Kahyangan Puseh, Dalem dan Bale Agung atau Kayangan Tiga. Wilayah Desa Pakraman juga dibagi menjadi tiga wilayah, atau Tri Mandala, yaitu Uttama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala.
Wilayah Desa Pakraman bagian Uttama Mandalanya terdiri dari Kahyangan Tiga sebagai wilayah yang disakralkan oleh penduduk, dipakai sebagai tempat melaksanakan prosesi upacara keagamaan. Madya Mandala adalah wilayah pemukiman, yaitu wilayah yang berada diantara sakral dan profan, karena menjadi tempat penduduk atau masyarakat beraktivitas rumah tangga. Nista Mandala adalah wilayah Pekarangan, Sawah, Teba dan sebagainya, merupakan wilayah profan tempat masyarakat melakukan aktivitas pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya.
Desa Pakraman sebagai suatu kesatuan wilayah Parahyangan, Pawongan dan Palemahan, merupakan wadah pelaksanaan Agama Hindu Bali dan perkembangan berbagai kebudayaan Bali, serta berperanan aktif sebagai penyaring bagi masuknya kebudayaan asing. Oleh karena Desa Pakraman adalah merupakan satu kesatuan adat, yang di dalamnya mengatur sekelompok masyarakat adat, maka dibuatlah aturan adat yang disebut dengan nama Awig-awig Desa. Pada dasarnya Awig-awig Desa Pakraman mengatur tiga hal utama, yaitu Sukerthaning Parahyangan, Sukerthaning Pawongan dan Sukerthaning Palemahan.
Filsafat hulu-teben sebagai landasan masyarakat Let dalam melaksanakan upacara, ritual dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan timbul karena masyarakat sulit membayangkan Ida Sang Hyang Widhi, kemudian "menganggap" Hyang Widhi seperti organ tubuh manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan kaki.
Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini membawa tatanan kehidupan "skala" (nyata) dan "niskala" (tidak nyata), misalnya dalam aturan-aturan membangun Pura. Adanya bagian yang sangat sakral disebut sebagai "utama mandala", bagian yang kurang sakral disebut sebagai "madya mandala" dan bagian yang tidak sakral disebut sebagai "nista mandala".
Hulu - Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben. Timur sebagai hulu karena di timurlah matahari terbit. Matahari dalam pandangan Hindu adalah sumber energi yang menghidupi semua mahluk, sedangkan Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat awan yang turun menjadi hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang merupakan sumber mata air kehidupan. Tiada kehidupan tanpa air.
"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu
- Arah Timur, dan
- Arah "Kaja"
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih - pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
Dengan demikian sangat jelas bahwa Desa Pakraman bertujuan utama mewujudkan kebahagiaan krama desa dengan melaksanakan aturan-aturan yang bersifat baik (Sukertha) terkait dengan pelaksanaan keagamaan, kemasyarakatan dan lingkungan. Dalam Desa Pakraman ada Banjar. Di Setiap Banjar ada pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Bhatara Panyarikan. Tujuan pemujaan tersebut agar umat di Banjar tersebut memiliki moral dan mental agar dapat menempuh perjalanan hidup sesuai dengan tahapan hidup dan Brahmacari Asrama menuju Ghrehasta dan Wanaprastha Asrama.Tujuan utama Desa Pakraman dengan Banjar adalah untuk mengamalkan ajaran Hindu yaitu ajaran Catur Asrama, ajaran Tri Kona dan ajaran Tri Guna.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Payangan, 15 April 2013
Daftar pustaka
Ø Jawaharlal Nehru (1964) : A Glimpses of World History – Oxford University Press, New York,
Ø Pramudya Toer (1998) : Hoakiau di Indonesia – Garba Budaya, Jakarta.
Ø Fruin-Mess (1919) “Geschiedenis van Java”
Ø Anthony Reid (1996) : Indonesian Heritage : Early Modern History – Archipelago Press, Jakarta, atau Djoko Pramono (2005) : Budaya Bahari – Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ø Roelof Gorris Inscripties Voor Anak Wungsu (1954) Transkrif Prasasti Kedukan Bukit (Tahun 683 Masehi), Prasasti Talang Tuo (Tahun 684 Masehi) dan Prasasti Kota Kapur.
Ø Radya-Radya Ri Bhumi Nusantara I.1. 1984
Ø Salinan Lontar Bhuwana Tattwa Maharsi Markandya
Ø Salinan lontar Markandya Purana
Ø Salinan Lontar Bali Tattwa
Ø Salinan Lontar Kidung Harsa Wijaya,
Ø Salinan Lontar Kidung Ranggalawe,
Ø Salinan Lontar Kidung Sunda,
Ø Salinan Lontar Usana Jawa,
Ø Salinan Lontar Usana Bali,
Ø Salinan Lontar Babad Dalem
Ø Salinan Lontar Dwijendra Tattwa
Ø Dr. Van Stein Callenfels. (1926) Epigraphia Balica
Ø Dr. Van der Tuuk dan Dr. Brandes (1885). kumpulan dokumen penelitian Bali.
Ø Adrian Vickers, Bali, A Paradise Created. Singapore: Periplus 1989,
Ø David Stuart-Fox, Pura Besakih; A Study of Balinese Religion and Society. PhD Thesis, ANU, Canberra 1987,
Ø Adrian Vickers, Bali, A Paradise Created. Singapore: Periplus 1989,
Ø Thomas A. Reuter, Custodians Of The Sacred Mountains, Obor Indonesia, Th 2005.
Ø Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Ø Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Ø Usana Bali Nomor/ kode : Va. 5090, Gedong Kirtya, Singaraja Koleksi : Puri Balayu,
Ø Perjalanan Danghyang Nirarta Dr. Soegianto Sastrodiwiryo
Ø Babad Dhalem, Koleksi AA Made Regeg Puri Anyar Klungkung
Ø Babad Dhalem, Koleksi Ida I Dewa Gde Catra, Sidemen – Karangasem
Ø Babad Keramas, koleksi A. A. Raka Parta. Puri Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.
Ø Babad Durmanggala Gedong Kirtya Singaraja Nomor/ kode : Va.4419, Milik Geria Anyar, Kabakaba, Kadiri, Tabanan.
Ø Babad Dalem Pabancangah Ida I Dewa Lampijeh, Koleksi Jero Saren Kelod Manggis – Karangasem –Maret 2011
Ø Amboinsche Reteitkamer. G.E Rumphius, 1705
Ø K.C Crucq tahun 1932
Ø Raja Purana Besakih
Ø Raja Purana Ulundanu Batur
Ø De Stamboom van Erlangga. oleh F.D.K. Bosch : 1950
Ø Stein Callenfels : Sriwijaya
Ø Catatan L.C. Damais
Ø Lontar Bali Tattwa
Ø Babad Bali. Kirtya No 6776/Va
Ø Markandya Purana
Ø Transkrif Prasasti Pandak
Ø Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandya
Ø Ubud The Spirit of Bali, Hermawan Kertajaya
Ø Babad Buleleng
Ø Babad Arya Jelantik
Ø Custodians of The Sacred Mountains. Thomas A Router.
Ø Babad Pulasari
Ø A Balinese Dynastic The Hague Martinus Nijhoff, oleh P J Worsly Th 1972
Ø Kamus Jawa Kuno P.J.Zoetmulder.
Ø Kamus Bali I Gusti Made Sutjaja
Ø Babad Dhalem Koleksi : I Dewa Gde Puja. Alamat : Jero Kanginan, Sidemen, Karangasem.
Ø Babad Dhalem milik Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, editor Drs. I Wayan Warna dkk, tahun 1986. Lontar bertahun 1840, tulisan Ida Bagus Nyoman, Giriya Pidada.
Ø Babad Dhalem, druwen Ida Tjokorda Gede Agung, Puri Kaleran Sukawati, tahun 1981.
Ø Babad Pasek, diterjemahkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa, tahun 1956.
Ø Babad Brahmana Siwa, Milik Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, bertahun 1858 Masehi.
Ø Babad Mengwi, no./kode : Va.1340/12, Gedong Kirtya Singaraja. Koleksi : I Gusti Putu Mayun. Alamajt : Abiansemal, Badung.
Ø Babad Mengwi Buleleng, no./kode : Va.1135/10, Gedong Kirtya Singaraja. Koleksi : Ida Anak Agung Negara Buleleng.
Ø Babad Arya, no.kode PB.140/GGP/IV/2007. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Babad Arya Wang Bang Pinatih Sentana Bun, no.kode PB.143/GGP/IV/2007. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Babad Pasek Tangkas Kori Agung, no.kode PB.137/GGP/IV/2007. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Tim Peneliti Sejarah dan Babad Bali, Th. 2012 Analisis Pengkajian Sejarah dan Babad Abad XVII-XX, Ringkasan Sejarah Bali Abad XVI-XX no.kode PS.180/GGP/V/2002. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Babad Dhalem Pemayun, no.kode PB.208/GGP/V/2002. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Babad Arya Sentong, no.kode PB.20/GGP/V/2005. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Rsi Markandya dan Mpu Kuturan, no.kode PS.08/GGP/II/2005. . Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Babad Bangli, no.kode PB.108/GGP/III/2005. . Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Sejarah Berdirinya Kerajaan Mengwi, no.kode PS.124/GGP/III/2005. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Babad I Gusti Agung Maruti, no.kode PB.14/GGP/VIII/2008. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Babad Pasek Badak, no.kode PB.213/GGP/VIII/2002. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Catatan Runtuhnya Mengwi (belum bernomor) File kerja Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Mengwi Akhir Abad 14, akhir Abad 17 (belum bernomor) File kerja Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Wawancara dengan Para Pengelingsir Desa Pakraman Let, Taro.
Ø Penelitian Dr. W.F. Stutterheim Boda en Sogatha in Bali.
Ø Epigraphia Balica yang disusun oleh Dr. Van Stein Callenfels.
Ø Lontar Gong Besi. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Lontar Kramaning Anangun Yadnya. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Lontar Widhi Sastra Dang Hyang Dwijendra. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Lontar Widhi Sastra Dharma Yogi. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Kamus Kawi Bali. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Bhagawadgita. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Sarasamuscaya. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Atharwa Weda. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
Ø Dll.