PURANA WANGSA
KSATRYA TAMANBALI
(TRAH PERASI)
Desa Kuning, Tamanbali, Bangli.
BAB I
PENDAHULUAN
Om awighnam astu namā śidyam.
Om Sarasvati namastubhyam, Warade kāma rupini, Siddharāmbha karisyāmi, Siddhir bhavantu me sadā
Om Pranamya sarwa dewanca, Paramãtma nama wanca, Rupa sidhi karoksabet, Saraswati nama myaham. Om padma patram wimalaksmi, Padma kçara nandini, Nityam padma laya dewi, Tubhyam namah Saraswati
Om Brahma putri maha dewi, Brahmanye Brahma nandini, Saraswati sajňna yani, Praya naya Saraswati. Om kawyam wyakaranam tarkham, Weda çastram puranakam, Kalpa sidhini tantrani, Twam prasadat karoksabet.
Om sulabha twam swara mantra, Irabheyam phalakam param, Sarwa kleça winaçanam, Santhi twam sanggatot manam. Om atheni rasa hasranam, Sarwa roga winaçanam, Twam mama sarwa sidhyantu, Sarwa karya prasidhyaye.
Om Sang Saraswati sweta warna ya namah swaha, Om Bang Saraswati rakta warna ya namah swaha, Om Tang Saraswati pita warna ya namah swaha, Om Ang Saraswati kresna warna ya namah swaha, Om Ing Saraswati wiçwa warna ya namah swaha
Om Hyang Saraswati dalam wujud-Mu sebagai, pemberi berkah, terwujud dalam bentuk yang sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu berhasil atas karunia-Mu.
Om Sang Hyang Saraswati, yang dihormati oleh semua dewa dewi, Karena engkau adalah Brahman yang dimuliakan, Merupakan wujud yang kuasa, hamba muliakan dengan gelar Saraswati. Om Sang Hyang Saraswati, Engkau suci bersih bagai daun bunga teratai, Berambut indah bagai sari bunga teratai, Selalu ada di sekitar padma, Patut dihormati sebagai sumber ilmu pengetahuan
Om Sakti Sang Hyang Brahma, Engkau dewi yang maha agung, Selalu ada bersama Brahma, Diberi gelar Saraswati yang indah, Mengatur semua mahluk Om Sang hyang Saraswati, Engkau mengubah segala ilmu tattwa, Weda dan Sastra, Purana-purana, serta ilmu Tantra, Yang menjiwai dan berkuasa sepanjang jaman, Engkaulah penciptanya.
Om Sang Hyang Saraswati, atas anugrah-Mu semoga doa hamba menjadi bertuah, Mendatangkan segala kebaikan untuk seluruh dunia, Semoga bathin yang cemar dan kotor menjadi musnah, Semoga damai dan bersatu bhatin hamba kepadaMu
Om Sang Hyang Saraswati, berkenan kiranya menganugrahi perasaan bathin yang indah, semoga yang menimbulkan penyakit menjadi musnah, berkenan kiranya menganugrahi kami serba sejahtera, sehingga tugas karya hamba terselesaikan
Om Sang Hyang Saraswati, demikian puja hamba kepada-Mu, dalam prabhawa-Mu sebagai Sang Hyang Sadyajata, Sang Hyang Bhamadewa, Sang Hyang Tat purusha, Sang Hyang Aghora, serta dalam prabhawa-Mu sebagai Sang Hyang Içyana dengan pancaran warna putih, merah, kuning, hitam, serta serba warna.
Sembah pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Ongkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara.
Ijinkankanlah hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi. Om Bhur, Bhuwah, Swah
Semoga hamba tidak berdosa, tidak terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha, mala, papa, pataka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, dan para leluhur yang suci, karena sudah lancang menyebutkan nama beliau, menggambarkan kesucian beliau, mengisahkan masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang.
Semoga hamba juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, sempurna menemui panjang umur dilimpahkan kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
Purana Wangsa ini disusun karena dorongan yang sangat kuat guna melakukan pencatatan tentang keberadaan Wangsa Ksatriya Tamanbali dari jaman ke jaman serta berbagai usaha para sentana dalam menjaga kekuatan spirit dan ritual yang diwariskan oleh para pendahulu, utamanya para leluhur yang sudah suci. Pentingnya mengetahui dan memahami kisah perjalanan para leluhur dahulu di Bali seperti menjadi sebuah keharusan, karena hanya di Bali, Agama Hindu menjadi “Agama Darah” sebuah keyakinan yang mengalir dari aliran darah para leluhur kepada generasi penerusnya. Seluruh Wangsa yang tumbuh dan berkembang di Bali adalah pembentuk budaya Bali, pembentuk pemerintahan pada jaman kerajaan dan penjaga Agama dari sisi yang berbeda dari daerah lain di dunia. Sesungguhnya hanya di Bali Agama dan Budaya bersatu dalam satu badan, bila budaya ibarat badan, agama adalah roh yang menghidupkan budaya itu. Sehingga apabila dipisahkan akan seperti badan tanpa roh atau roh tanpa badan, tidak akan mampu melakukan apa-apa.
Penyusunan Purana Wangsa Ksatriya Tamanbali yang berakar dari sekaligus sebagai ajang pengetahuan dan upaya menyampaikan berbagai bhisama leluhur kepada generasi seterusnya dengan memakai metode "Sambung Batang" yang secara inti berusaha menyambungkan catatan jaman prasasti dan babad dengan jaman Kemahardikan dan kekinian. Akibat situasi ekonomi, sosial dan politik yang carut-marut pada sekitar tahun 1720 hingga 1920 Masehi, banyak pengawi yang tidak mempunyai kesempatan menulis berbagai catatan penting pada era itu. Ditambah lagi dengan hancur dan hilangnya banyak data-data yang sudah ditulis sebelumnya membuat era tersebut sangat sulit untuk mendapatkan data dalam metode sambung batang ini.
Untuk keperluan itu kami berusaha mengumpulkan berbagai data, tinggalan dan penelitian-penelitian dalam journal yang kami unduh dari berbagai sumber terpercaya baik dalam maupun luar negeri, dianalisa dengan seksama oleh orang-orang yang memiliki kemampuan analisa tinggi dan direvisi secara umum dan secara tidak terbatas. Metode ini kami yakini akan menghasilkan sebuah karya semi akademis yang mendekati kebenaran, walaupun masih ada beberapa hal yang mungkin belum bisa diungkapkan dengan baik. Tetapi setidaknya dikemudian hari karya ini bisa menjadi acuan untuk diteliti dan diperbaiki sehingga bisa menghasilkan sebuah karya yang diterima oleh sebagian besar Sentana Ksatria Tamanbali terutama oleh keluarga keluarga besar Wangsa Ksatria Tamanbali di Desa Kuning, Tamanbali, Bangli sekaligus seluruh generasi mudanya kemudian.
Purana, berasal dari kata “Pur” yang berarti Benteng, dan Hana yang berarti Keberadaan atau Sejarah. Bila digabungkan menjadi "Sebuah kekuatan yang dibangun untuk menjaga sesuatu". Wangsa berasal dari 2 suku kata Wang yang atinya manusia dan Sa yang berarti satu, juga dimaksud satu garis keturunan. Jadi kata Wangsa mengandung makna bebas adalah adalah manusia yang lahir dari sumber keleluhuran yang sama, atau sama garis keturunanannya. Berbagai data yang berhasil dihimpun oleh Tim YDK Bali dan tinm intern dari kewangsaan Ksatria Tamanbali digabungkan dengan fakta-fakta yang menjadi warisan hingga saat ini, dibuat dalam sebuah kajian dengan bagian-bagian yang sesuai dengan jaman yang dilewatinya. Didukung oleh data-data terpercaya baik yang bersifat extern maupun intern, diramu dengan bahasa yang lugas, sehingga gampang dicerna dan tidak menimbulkan multi tafsir, sehingga membuat pembaca secara cepat bisa mengerti, alur kisah, padanan waktu, tokoh dan berbagai bhisama yang termuat dalam buku ini.
BAB II
ANTARA MITHOLOGI DAN SEJARAH
II.1. Tolangkir, Gelgel dan Kentel Gumi
Diawali kisahnya kini, tatkala hari, bulan, tahun belum ditemukan, belum tercatat dalam sajak dan nyanyian, belum ada matahari, bulan, bintang dan planet-planet. Saat alam masih kosong Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Ongkara melakukan yoga semadi tercipta Sang Hyang Rwa Bhineda atau Sang Hyang Arda Naraswari. Sang Hyang Rwa Bhineda beryoga terciptalah Sang Hyang Tri Murti, Brahma, Wisnu dan Iswara. Beryoga pula Sang Hyang Tri Murti tercipta Sang Hyang Dasaksara yang selanjutnya menciptakan semesta beserta segala isinya.
Dikisahkan kini menurut sastra-sastra Babad yang terwarisi hingga kini di Bali, Bhatara Hyang Pasupati atau Bhatara Guru beryoga, dalam semadinya yang maha sempurna, tercipta tujuh putra beliau yang masing-masing bergelar Bhatara Hyang Putrajaya turun ke Bali, berparahyangan di Besakih, bergelar Bhatara Hyang Mahadewa. Bhatara Hyang Gni Jaya turun ke Bali, berparahyangan di Gunung Lempuyang. Bhatara Hyang Dewi Danuh turun ke Bali, berparahyangan di Ulun Danu Batur. Bhatara Hyang Tumuwuh turun ke Bali, berparahyangan di Gunung Batukaru. Bhatara Hyang Manik Gumawang turun ke Bali, berparahyangan di Gunung Bratan. Bhatara Hyang Manik Galang turun ke Bali, berparahyangan di Pejeng dan Bhatara Hyang Tugu turun ke Bali, berparahyangan di Gunung Andakasa. Beliau semuanya menjadi junjungan rakyat Bali, mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci sebagai bekal bagi penduduk Bali dalam menjalankan kehidupan yang berbudaya tinggi, diwariskan hingga kini.
Dikisahkan Bhatara Hyang Putranjaya beryoga, tercipta dua putra beliau, masing-masing dikenal dengan nama:
1.Bhatara Hyang Ghana
2.Bhatara Hyang Manik Gni
Bhatara Hyang Gnijaya selanjutnya beryoga, tercipta tiga orang putra, masing-masing bernama:
1.Bhatara Hyang Sri Mahadewa,
2.Bhatara Hyang Sidhimantra
3.Bhatara Hyang Kul Putih
Bhatara Hyang Giri Mahadewa kini dikisahkan lebih lanjut, saat beliau beryoga dengan sempurna, tercipta 2 orang putra beliau, masing-masing bernama:
1.Bhatara Hyang Bajrasatwa
2.Bhatara Hyang Dwijendra
Dilanjutkan kisahnya, Bhatara Hyang Bajrasatwa beryoga sehingga tercipta seorang putra beliau bergelar:
1.Bhatara Hyang Mpu Lampita.
Dalam waktu yang hampir bersamaan Bhatara Hyang Dwijendra juga beryoga, tercipta dua putra beliau, masing-masing bernama:
1.Bhatara Hyang Mpu Saguna
2.Bhatara Hyang Mpu Gandring
Dua putra dari Bhatara Hyang Dwijendra ini selanjutnya menurunkan wangsa Pande di Jawa dan Bali, tidak dikisahkan lebih jauh tentang beliau berdua dan segenap garis keturunan beliau pada buku ini.
Putra dari Bhatara Hyang Bajrasatwa yang bernama Mpu Lampita kini dikisahkan, beliau beryoga dan menurunkan lima orang putra yang dikenal dengan gelar Sang Panca Tirta, masing-masing bergelar:
1.Mpu Gnijaya turun ke Bali pada tahun 1049 Masehi, berparahyangan di Gunung Lempuyang Madya.
2.Mpu Semeru turun ke Bali pada tahun 999 Masehi, berparahyangan di Besakih.
3.Mpu Ghana turun ke Bali pada tahun 1000 Masehi, berparahyangan di Dasar Bhuwana Gelgel,
4.Mpu Kuturan turun ke Bali pada tahun 1001 Masehi, berparahyangan di Silayukti Padang dan
5.Mpu Bradah beberapa kali pernah turun ke Bali, beliau menetap di Pasraman Lemah Tulis Jawa dan sebagai bhagawanta dari Raja Airlangga.
Tidak dikisahkan tentang Sang Panca Tirta yang lainnya dalam buku ini, kini dikisahkan tentang Mpu Bharadah yang berasrama di Lemah Tulis Jawa. Dalam Babad Calon Arang disebutkan beliau yang berhasil mengalahkan musuh Airlangga yang bernama Calon Arang, seorang janda sakti dari Desa Girah. Kitab Nagara Kertagama menyebutkan juga bahwa setelah Mpu Bradah gagal dalam usaha menepatkan salah seorang putra Airlangga sebagai raja Bali, karena di Bali sudah berkuasa Raja Anak Wungsu yang merupakan adik dari Airlangga pada sekitar 1042 Masehi. Mpu Bradah selanjutnya menetapkan batas-batas wilayah yang dibagi untuk kedua putra Airlangga, masing-masing bagian selanjutnya bernama Kadiri dan Jenggala. Selanjutnya beliau sebagai guru spiritual Airlangga dihaturkan tempat asrama di Lemah Citra atau Lemah Tulis. Pada Prasasti Tutuan Gunaksa, disebutkan Mpu Bradah menurunkan 2 orang putra, masing-masing bernama:
1.Mpu Bahula Candra
2.Mpu Siwa Gandhu
Mpu Bahula Candra dikisahkan kini, dari berbagai naskah lontar Babad di Bali disebutkan bahwa Mpu Bahula Candra menyunting Dyah Ratna Manggali, putri dari Mpu Kuturan, menurunkan 5 orang putra, masing-masing bernama:
1.Mpu Wiranatha atau Mpu Tantular atau Mpu Angsokanata,
2.Dewi Dwaranika,
3.Dewi Adnyani,
4.Dewi Amrtajiwa
5.Dewi Amrtamangguli.
Tidak dikisahkan lebih jauh tentang putri-putri beliau, kini dikisahkan secara khusus tentang Mpu Wiranatha atau Mpu Tantular atau Mpu Angsokanata yang diperkirakan ada pada masa pemerintahan Rajasa Nagara atau Raja Hayam Wuruk yang memerintah di Majapahit dari tahun 1350 Masehi sampai 1389 Masehi. Mpu Tantular adalah seorang pujangga ternama penganut Boddha yang taat. Tantular mengandung arti Tan yang artinya Tidak dan kata Tular yang berarti terpengaruhi, tertiru, jadi kata Tantular mengandung makna, tidak terpengaruh atau tidak ada yang bisa menyaingi atau tidak bisa ditiru oleh orang lain. Karya sastranya yang terkenal dan mendunia adalah Kakawin Arjuna Wijaya dan Kakawin Suthasoma.
Mpu Tantular menurunkan 4 orang putra, masing-masing bernama:
1.Mpu Panawasikan,
2.Mpu Sidhimantra,
3.Mpu Smaranatha,
4.Mpu Kepakisan.
Tidak dikisahkan lebih jauh tentang para putra dari Mpu Tantular, kini dikisahkan tentang Mpu Panawasikan. Dalam berbagai Babad dan karya sastra berupa Serat, Mpu Panawasikan menurunkan seorang putra perempuan, bernama
1.Ida Patni Telaga Urung.
Pada beberapa penelitian yang dilakukan oleh para penekun sastra Babad Bali dan sudah pula dituangkan dalam bentuk buku kajian sejarah dihasilkan analisa bahwa Mpu Panawasikan juga menurunkan 2 orang putra laki-laki, masing-masing bernama Bhatara Hyang Subali dan Bhatara Hyang Jaya Rembat. Tentu saja analisa ini masih perlu pendalaman dengan menyertakan literatur-literatur lebih banyak tentang fakta sejarah keberadaan Wangsa Panawasikan selain garis keturunan putra beliau yang bernama Ida Patni Telaga Urung atau Dyah Sanggawati, istri Dang Hyang Nirartha yang kemudian menurunkan Ida Ler, Ida Lor, Ida Kulwan dan Ida Wiyatan.
Dalam buku yang berjudul Babad Ksatrya Tamanbali, yang disusun oleh Dewa Ngakan Ketut Acwin Dwijendra dan Dewa Ngakan Gede Keramas, pada halaman 4 dipaparkan tentang isi Babad Koleksi Puri Sidan dan Koleksi Puri Den Carik, Bangli ada dikisahkan Hyang Asanak Pat, masing-masing bernama: Bhagawan Tapadana di Kentel Gumi, diyakini sebagai Mpu Panawasikan, beliau menurunkan
1.Sang Hyang Subali,
2.Sang Hyang Jaya Rembat,
3.Dyah Telaga Urung atau Dyah Sangawati.
Sang Mas Kuning di Lempuyang diyakini sebagai Mpu Sidhimantra yang menurunkan
1.Sang Bang Manik Angkeran,
Sang Gajah Sweta di Gunung Mekah, beliau diyakini sebagai Mpu Asmaranatha, selanjutnya menurunkan 2 orang putra, masing-masing bernama
1.Dang Hyang Nirartha
2.Dang Hyang Angsoka.
Sang Hulu Beda di Majapahit yang diyakini sebagai Mpu Soma Kepakisan, menurunkan
1.Sang Arya Bang,
selanjutnya Sang Arya Bang menurunkan Sang Sekar Angsana yang diyakini adalah Dalem Ketut Ngulesir, Adipati Majaphit di Gelgel yang memerintah di Gelgel dari tahun 1380 hingga tahun 1460 Masehi.
Sila-sila berdasar kajian Babad Koleksi Puri Sidan dan Koleksi Puri Den Carik, Bangli yang termuat dalam Buku Babad Ksatrya Tamanbali. Bila ditelusuri dengan lebih dalam, melalui sila-sila diatas, diambil dari Mpu Tantular, Bhatara Hyang Subali dan Bhatara Hyang Jaya Rembat adalah cucu dari Mpu Tantular, sementara Sang Sekar Angsana yang diyakini sebagai Dalem Ketut Ngulesir adalah cicit dari Mpu Tantular, sementara Sang Arya Bang, ayah dari Sang Sekar Angsana adalah Sri Soma Kepakisan, Adipati Majapahit di Samprangan.
Mpu Tantular |
Mpu Panawasikan (Bhagawan) Tapadana |
Mpu Sidhimantra (Sang Mas Kuning) |
Mpu Asmaranatha (Sang Gajah Sweta) |
Mpu Soma Kepakisan (Sang Hulu Beda) |
Hyang Subali |
Hyang Jaya Rembat |
Dyah Sanga wati |
Sang Bang Manik Angkeran |
Dang Hyang Nirartha |
Dang Hyang Angsoka |
Sang Arya Bang |
Sang Angga Tirta |
|
Sang Sekar Angsana |
I Gd Putu |
Sang Telabah |
Sang Rurung |
Sang Branjingan |
|
Dewa Ayu Mas |
Tentu saja analisa ini perlu pendalaman dengan memperkaya literatur-literatur yang menguatkan analisa diatas.
II.2. Mata air Tirta Harum di Tamanbali.
Berbagai sastra tradisonal berupa Babad dan Pabancangah yang berkaitan dengan kisah Ksatrya Tamanbali pada dasarnya mempunyai kesamaan alur cerita, walaupun di beberapa penokohan agak berbeda bahkan ada yang bertentangan satu dengan yang lain. Antara lain sebagai berikut: Pada suatu masa, di Pulau Bali ada empat orang bersaudara, keturunan para brahmana utama dari Jawa yang turun ke Bali bersamaan dengan ditunjuknya Shri Aji Kresna Kepakisan sebagai Adipati Bali berkedudukan di Samprangan. Beliau adalah:
1.Bhatara Hyang Subali berasrama di Tolangkir,
2.Bhatara Hyang Sekar Angsana berasrama di Dasar Bhuwana Gelgel,
3.Bhatara Hyang Aji Jaya Rembat berasrama di Kentelgumi
4.Hyang Mas Kuning berasrama di Guliang, juga di Bukit Pagelengan.
Inilah kisah, awal mulanya garis keturunan Ksatria Tamanbali yang selanjutnya menjadi cikal bakal raja-raja di Bangli, Nyalian dan Taman Bali.
Dilanjutkan kisahnya, ada seorang pendeta sakti yang dikenal dengan nama Pendeta Wahu Rawuh dalam Dharma Yatranya turun ke Bali menuju ke Tolangkir untuk mengunjungi Bhatara Hyang Subali. Setelah selesai melaksanakan pemujaan bersama-sama, Pendeta Wahu Rawuh meninggalkan Tolangkir untuk melanjutkan Dharma Yatra beliau.
Dalam perjalanan dari Tolangkir ini, beliau menyusuri Sungai Melangit, dari hulu hingga ke hilir, belum juga beliau menemukan sumber air yang layak untuk diminum sebagai penghilang rasa haus. Pada sebuah tempat dikisahkan beliau beristirahat, memohon kepada Tuhan untuk ditunjukkan sumber air yang layak untuk diminum, dari bekas tongkat beliau yang tertancap di batu padas, tiba-tiba keluar air sangat jernih dan bening. Air yang keluar dari batu padas itulah kemudian beliau minum dan membasuh muka. Air yang bening itu sangat utama, sehingga memiliki bau harum yang seakan memenuhi wilayah lembah Sungai Melangit.
Karena keutamaan doa Sang Pendeta Wahu Rawuh, berselang beberapa saat, muncul wanita muda berparas cantik menghadap sang pendeta, menghaturkan salam dengan tutur bahasa yang manis dan penuh hormat. Untuk beberapa waktu mereka berdua terlibat percakapan sehingga terkuak misteri asal-usul si wanita yang ternyata menurut pengakuannya adalah lahir karena keutamaan doa dari Sang Pendeta Wahu Rawuh. Pada akhirnya Sang Pendeta Wahu Rawuh berkenan memberikan nama kepada si wanita:
“Kuberikan dirimu nama Dewi Njung Asti yang bermakna hasil dari doaku dan lahir dari belahan batu padas dan tempat ini kuberi nama Tirta Harum”.
Dewi Njung Asti menghaturkan terimakasih kepada sang pendeta suci, dan bersedia menerima perintah dari Sang Pendeta Wahu Rawuh untuk tetap tinggal di lembah Sungai Melangit sebagai penjaga mata air yang diberikan nama Tirta Harum, tirta artinya air suci dan harum berarti wangi. Sang Pendeta Wahu Rawuh selanjutnya bertolak kembali ke Jawa dan Lembah Tirta Harum dijaga oleh Dewi Njung Asti, seperti pesan sang pendeta.
Kini dikisahkan konon bau harum dari air di Tirta Arum tercium hingga alam para Dewa, tersebutlah Dewa Wisnu yang turun untuk memastikan sumber bau harum tersebut, pencarian beliau sampai di lembah sungai Pekerisan di Tirta Arum yang sangat indah dengan air jernih berbau harum yang mengalir keluar dari dalam bongkahan batu padas. Sekilas beliau melihat seorang wanita cantik yang melintas dan hilang dibalik bebatuan, kecantikan wanita itu yang tiada lain adalah Dewi Njung Asti menggetarkan asmara beliau sampai air mani beliau jatuh menetes diatas batu. Tatkala Dewa Wisnu sudah kembali ke Kayangan Para Dewa dengan meninggalkan tetesan air mani diatas batu, tanpa sengaja air mani beliau yang bercampur dengan air terminum oleh Dewi Njung Asti, mengakibatkan sang dewi menjadi hamil tanpa suami.
Pada hari baik selanjutnya, kembali Dewa Wisnu turun ke Tirta Arum, bertemu dengan Dewi Njung Asti yang dalam keadaan mengandung, saat beliau menanyakan tentang asal-usul diri dan kandungan sang dewi, Dewi Njung Asti mengisahkan semua yang sudah dialami, dimulai dari tercipta berkat yoga utama Sang Pendeta Wahu Rawuh, diperintahkan untuk menjaga Tirta Arum, sampai dengan secara tak sengaja meminum air mani Dewa Wisnu hingga mengandung. Mendengar penuturan Dewi Njung Asti, Dewa Wisnu memutuskan memboyong Dewi Njung Asti yang dalam keadaan mengandung ke Kayangan beliau, karena sebenarnya sang dewi bukanlah manusia tetapi titisan Widyadari yang turun ke Tirta Arum berkat keutamaan yoga Sang Pandeta Wahu Rawuh. Demikianlah kisahnya, dihentikan sejenak kisah Dewa Wisnu dan Dewi Njung Asti.
II.3. Sang Angga Tirta dan Dewa Ayu Mas.
Kembali kini dikisahkan Bhatara Hyang Subali dalam perjalanan beliau sampai di Tirta Arum, terpesona hati beliau menikmati suasana disana, ditambah dengan aliran air suci yang berbau harum, menambah kuat keinginan beliau menjaga kelestarian Tirta Arum. Bhatara Hyang Aji Jayarembat yang diperintahkan oleh Bhatara Hyang Subali menjaga keasrian daerah itu, menjalankan amanat sang kakak, bahkan beliau berhasil membangun taman, menyerupai taman di Majapahit, selanjutnya beliau namakan sebagai Tamanbali. Demikian dikisahkan dalam berbagai pustaka babad kuno Bali, asal muasal nama Tirta Arum dan Tamanbali.
Para brahmana suci, saudara dari Bhatara Hyang Subali sudah masing-masing menurunkan putra, Bhatara Hyang Jayarembat menurunkan seorang putra, laki-laki yang tampan dan sangat cerdas, selanjutnya bernama Dukuh Siladri. Bhatara Hyang Mas Kuning menurunkan dua orang putra laki-laki, masing-masing bernama: Hyang Tapadana dan Hyang Nagapuspa. Bhatara Hyang Sekar Angsana menurunkan seorang putra perempuan, bernama: Dewa Ayu Mas. Hyang Subali tekun melaksanakan tapa, yoga, brata dan semedi di Tirta Arum, selalu memuja Bhatara Wisnu. Karena yoganya yang utama, Bhatara Wisnu berkenan menganugerahkan putra beliau yang lahir dari Dewi Njung Asti kepada Bhatara Hyang Subali. Oleh Bhatara Hyang Subali diberi nama Sang Angga Tirta yang ditinggalkan di sumber air Tirta Arum, sementara Bhatara Hyang Subali kembali ke Tolangkir karena harus memimpin rangkaian upacara.
Sepeninggal Bhatara Hyang Subali dari Tirta Arum, Bhatara Hyang Aji Rembat menemukan Sang Angga Tirta saat membersihkan aliran air di pancuran Tirta Arum. Bhatara Hyang Aji Rembat membawa Sang Angga Tirta ke Tamanbali selanjutnya atas permintaan Bhatara Hyang Subali, Sang Angga Tirta diasuh oleh Bhatara Hyang Aji Rembat di Tamanbali dan diberikan nama baru, Sang Anom. Diasuh dengan kasih sayang seperti putra kandung oleh Bhatara Hyang Aji Rembat membuat Sang Anom tumbuh menjadi anak lelaki yang tampan dan tangkas. Berbagai ilmu pengetahuan suci dan rahasia juga diturunkan kepada Sang Anom yang dengan cepat mampu menguasai semua ilmu-ilmu utama yang diajarkan oleh Bhatara Hyang Aji Rembat di Tamanbali. Dihentikan dahulu ceritanya sementara, semua hal yang terjadi di Tamanbali dan di Tolangkir.
Dikisahkan lebih lanjut, analisa yang dibuat berdasarkan Lontar Raja Purana Batur, bahwa Sang Angga Tirta adalah putra angkat dari Bhatara Hyang Jaya Rembat. Sang Angga Tirta atau Bhatara Batur dikisahkan mengambil putri tertua dari Ki Dukuh Suladri yang bernama Ni Luh Ayu Sadri sebagai istri dan menurunkan 4 orang putra, masing-masing bernama: I Gede Putu, Sang Telabah, Sang Rurung, Sang Branjingan
Pada halaman 12 buku Babad Ksatrya Tamanbali, dikisahkan, pada tahun 1380 Masehi, saat Dalem Ngulesir diangkat menjadi Adipati Majapahit di Gelgel, raja Majapahit mengirim seorang Pahoem Narendra atau Sapta Prabu yang bernama Paduka Paramaswara Sri Wijaya Rajasa ke Gelgel sebagai Bhagawanta. Beliau sejatinya adalah Raja Wengker atau Raja Keling di Jawa sekaligus adalah mertua dari Raja Hayam Wuruk. Dipaparkan lebih lanjut Paduka Paramaswara Sri Wijaya Rajasa mengambil Dewi Njung Asti sebagai istri dan menurunkan 4 orang putra, masing-masing bernama:
1.Dewayu Mas Magelung,
2.Dewayu Mas Gegelang,
3.Dewayu Mas Murub
4.Sang Angga Tirta atau I Gede Putu, yang selanjutnya menurunkan wangsa Ksatrya Tamanbali yang menjadi raja di Nyalian, Bangli dan Tamanbali.
Konon setelah keempat putra beliau lahir, Paduka Paramaswara Sri Wijaya Rajasa kembali ke Majapahit pada tahun 1389 Masehi, bertepatan dengan mangkatnya Raja Hayam Wuruk. Demikian antara lain pemaparan pada buku Babad Ksatrya Tamanbali yang diterbitkan oleh Udayana University Press. Kita hentikan dahulu kisahnya.
Paduka Paramaswara Sri Wijaya Rajasa dikisahkan dalam Kitab Pararaton sebagai suami dari Dyah Wiyat atau Rajadewi Maharajasa, putra ketiga dari Raden Wijaya, Raja Majapahit pertama. Kidung Harsawijaya juga mengisahkan dari awal tentang Perjanjian Sumenep yang disepakati tanggal 10 November 1293, Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilayah Malang, Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri Kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Banyak Wide atau Arya Wiraraja yang menguasai wilayah Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Arya Wiraraja berkuasa dari tahun 1293 hingga tahun 1316 Masehi, dengan ibukota kekuasaan di Lamajang. Dyah Wijaya atau Raden Wijaya, raja Majapahit I, menurut Prasasti Balawi dan Kitab Nagara Nagara menikahi 4 orang putra Kertanegara, masing-masing bernama: Tribhuwaneswari, Narendra Duhita, Jayendra Dewi dan Gayatri. Raden Wijaya juga mempunyai istri bernama Dara Petak putri dari penguasa Melayu. Dari Dara Petak, Raden Wijaya menurunkan seorang putra bernama: Jayanegara yang menjadi Raja Majapahit II dengan gelar Sri Maharaja Wiralanda Gopala Sri Sundara Pandya Dewa Adhiswara yang berkuasa dari tahun 1309 hingga tahun 1328 Masehi.
Setelah Jayanegara mangkat digantikan oleh adik beliau yang bernama Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai Rajaputri atau Ratu Majapahit III yang memerintah tahun 1328 hingga tahun 1351 Masehi. Suami dari sang ratu adalah Kertawardana, seorang pangeran Kediri, Prasasti Singhasari tahun 1351 menyebutkan gelar beliau sebagai: Sri Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Adik dari Tribhuwana bernama Dyah Wiyat atau Rajadewi Maharajasa yang menikah dengan Raden Kuda Amerta atau Wijayarajasa atau Bhre Wengker atau Bhatara Parameswara ring Pamotan. Selanjutnya beliau menurunkan Indudewi yang menjadi Bhre Lasem dan Paduka Sori atau Sri Sudewi yang selanjutnya menjadi Permaisuri Hayam Wuruk. Pernikahan kedua putri dari Hayam Wuruk terjadi pada tahun 1328 Masehi bertepatan dengan masa pemerintahan dari Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai Rajaputri atau Ratu Majapahit III. Rentang waktu kemungkinan kedatangan Raden Kuda Amerta atau Wijayarajasa atau Bhre Wengker atau Bhatara Parameswara ring Pamotan ke Bali adalah antara tahun 1328 hingga tahun 1389 Masehi. Bila merujuk pada analisa diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Sang Anom atau Sang Angga Tirta lahir pada kisaran tahun tersebut dan itu dipastikan pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir atau Sri Semara kepakisan di Gelgel yang memerintah antara tahun 1381 hingga tahun 1459 Masehi.
Dari rangkaian data diatas, selanjutnya bisa kita uraikan dengan lebih spesifik tahun kejadian dari kelahiran Sang Anom atau Sang Angga Tirta. Untuk lebih jelas akan garis keturunan dari Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa ada baiknya kita mulai dari leluhur beliau di Jawa. Dimulai dari kisah Ken Arok sebagai pendiri wangsa Rajasa diperkirakan lahir pada tahun 1182 Masehi sebagai putra dari Gajah Para, seperti yang dimuat dalam kitab Pararaton yang dialih aksara dan dikaji oleh Drs. R Pitono tahun 1965, diterbitkan oleh penerbit Bharatara.
Pendeta Lohgawe memboyong Ken Arok ke Tumapel dan berhasil mengabdi kepada Tunggul Ametung, pemimpin Tumapel. Karena keinginannya merebut Tumapel dan menyunting Ken Dedes sebagai istri Ken Arok berhasil mendapatkan secara paksa keris pusaka dari Mpu Gandring, seorang Mpu Keris yang sakti, setelah membunuh sang mpu terlebih dahulu Selanjutnya Ken Arok Berhasil merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung sekaligus mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes, walaupun sedang dalam keadaan mengandung anak dari Tunggul Ametung yang kemudian lahir bernama Anusapati. Sekian lama menjadi penguasa Tumapel, ken Arok mendapat bantuan dari para Brahmana, berhasil menggulingkan Kertajaya atau Dandang Gendis, raja Kediri.
KEN AROK SRI RAJASA BHATARA SANG AMURWABHUMI. |
Wongateleng Bhtr Parameswara |
Apanji Saprang |
Agni Bhaya |
Dewi Rumbu |
Panji Tohjawa |
Panji Sudatu |
Panji Wergola |
Dewi Rambi |
Mahisa Cempaka Nara Singha Murti |
Dyah Lembu Tal |
Raden Wijaya Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana (Majapahit 1293-1309) |
1328 Masehi
Jayanagara Sri Maharaja Wiralanda Gopala Sri Sundara Pandya Dewa Adhiswara Majapahit (1309-1328) |
Tribuwana Tunggadewi+ Kertawardana (Singasari) (Majapahit 1309-1351) |
Dyah Wiyat / Rajadewi Maharajasa+ Raden Kuda Amerta (Wengker) Sri Wijaya Rajasa
|
Hayam Wuruk Maharaja Sri Rājasanagara+ Sri Sudewi Majapahit (1351-1389) |
Dyah Nertaja (Bhre Pajang) |
Indu Dewi (Bhre Lasem) |
Kusuma Wardani Majapahit (1389-1429) + Wikrama Wardana |
Bhre Wirabhumi + Nagara Wardani |
Wikrama Wardana (Bhre Pajang) |
Nagara Wardani (Bhre Lasem) |
Tahun 1404:Perang Paregreg, Wikrama Wardana X Bhre Wirabhumi. |
Prabhu Stri Suhita + Bhre Hyang Parameswara Ratnapangkaja Majapahit (1427-1447) |
Pada Tahun 1222 Masehi Ken Arok menjadi raja pertama Singasari dengan gelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Ken Arok menurunkan 4 orang putra, dari Ken Dedes masing-masing bernama:
1.Mahisa Wong Ateleng atau Bhatara Parameswara,
2.Apanji Saprang,
3.Agnibhaya atau Guningbhaya dan
4.Dewi Rumbu
Dari istri Ken Umang, Ken Arok juga menurunkan 4 orang putra, masing-masing bernama:
1.Panji Tohjawa,
2.Panji Sudatu,
3.Panji Wergola
4.Dewi Rambi.
Sementara Ken Dedes juga menurunkan putra dari Tunggul Ametung yang bernama Panji Anusapati. Anusapati selanjutnya memberontak dan membunuh ayah tirinya dan selanjutnya menjadi raja Singhasari pada tahun 1247 Masehi dengan gelar: Bhatara Anusapati. seperti yang termuat dalam Kitab Pararaton, diperkuat oleh Prasasti Mula Malurung tahun 1255 Masehi. Panji Anusapati menurunkan putra bernama Suminingrat.
Selanjutnya Apanji Tohjaya merebut kekuasaan dari Panji Anusapati, Tohjaya memerintah dari tahun 1249 hingga tahun 1250 Masehi. Tahun 1428 Masehi, putra Anusapati yang bernama Suminingrat juga berhasil menggulingkan pemerintahan Panji Tohjaya selanjutnya menjadi raja dengan gelar: Sri Jayawisnu Warddhana Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana seperti yang termuat di Prasasti Maribong yang berangka tahun 1248 Masehi. Jayawisnu Warddhana memerintah hingga tahun 1272 Masehi digantikan oleh putra beliau yang bernama Kertanegara.
Putra Ken Arok yang bernama Mahisa Wang Ateleng atau Bhatara Parameswara selanjutnya menurunkan putra bernama: Mahisa Cempaka yang bergelar Narasingha Murti yang memerintah di Kediri tahun 1250-1269 Masehi, bersamaan dengan pemerintahan Ranggawuni atau Raden Seminingrat atau Wisnu Wardhana menjadi Raja Tumapel bergelar Sri Jayawisnu Warddhana Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana seperti yang termuat dalam Prasasti Maribong, berangka tahun 1248 setelah menggulingkan Raja Tohjaya.
Mahisa Cempaka atau Narasingha Murti menurunkan putra bernama Dyah Lembu Tal, yang selanjutnya menurunkan putra bernama: Raden Wijaya yang mendirikan kerajaan Majapahit, beliau memerintah menjadi raja Majapahit pertama, antara tahun 1293 hingga tahun 1309 Masehi, bergelar Nararya Sanggrama Wijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jaya Wardhana. Kidung Harsawijaya mengisahkan tentang Perjanjian Sumenep yang disepakati tanggal 10 November 1293, Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilayah Malang, Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri Kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Banyak Wide atau Arya Wiraraja yang menguasai wilayah Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Arya Wiraraja berkuasa dari tahun 1293-1316 Masehi, dengan ibukota kekuasaan di Lamajang.
Dyah Wijaya atau Raden Wijaya, raja Majapahit I, menurut Prasasti Balawi mengambil 4 orang putra Kertanegara sebagai istri, masing-masing bernama: Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendra Dewi dan Gayatri. Raden Wijaya juga mempunyai istri bernama Dara Petak putri dari penguasa Melayu, menurunkan seorang putra bernama: Jayanegara yang menjadi Raja Majapahit II dengan gelar Sri Maharaja Wiralanda Gopala Sri Sundara Pandya Dewa Adhiswara yang berkuasa dari tahun 1309 hingga tahun 1328 Masehi.
Setelah Jayanegara mangkat digantikan oleh adik beliau yang bernama Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai Rajaputri atau Ratu Majapahit III yang memerintah tahun 1328-1351 Masehi. Suami dari sang ratu adalah Kertawardana, seorang pangeran Kediri, Prasasti Singhasari tahun 1351 menyebutkan gelar beliau sebagai: Sri Tribhuwana Wijayatunggadewi Maha Rajasa Jayawisnu Wardhani. Adik dari Tribhuwana bernama Dyah Wiyat atau Rajadewi Maharajasa yang menikah dengan Raden Kuda Amerta atau Wijayarajasa atau Bhre Wengker atau Bhatara Parameswara ring Pamotan. Selanjutnya beliau menurunkan Indudewi yang menjadi Bhre Lasem dan Paduka Sori atau Sri Sudewi yang selanjutnya menjadi Permaisuri Hayam Wuruk. Pernikahan kedua putri dari Raden Wijaya terjadi pada tahun 1328 Masehi bertepatan dengan masa pemerintahan dari Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai Rajaputri atau Ratu Majapahit III.
Kembali dikisahkan dalam beberapa lontar Babad, Putra dari Bhatara Sekar Angsana di Gelgel yang bernama Dewa Ayu Mas, dikisahkan sudah menginjak remaja, kecantikan dan kecerdasannya seperti tidak ada yang menyamai, tetapi terkena penyakit yang aneh, sekian banyak dukun dan tabib terkenal mengupayakan kesembuhan sang putri, tidak berhasil. Bhatara Sekar Angsana kemudian mengirim putrinya ke Tamanbali, agar diobati oleh Bhatara Hyang Jayarembat. Tidak dalam jangka waktu lama diobati, Dewa Ayu Mas sembuh seperti sediakala, berita kesembuhan itu sangat menggembirakan Bhatara Hyang Sekar Angsana, segera menitahkan menjemput putri beliau di Tamanbali untuk diboyong pulang kembali ke Gelgel. Tetapi tidak lama setelah kembali ke Gelgel, penyakit sang putri kembali kambuh, bahkan lebih parah dari sebelumnya, karena para dukun tidak mampu menyembuhkan, Bhatara Sekar Angsana kemudian mengirim kembali putrinya ke Tamanbali untuk diobati. Setelah diobati oleh Bhatara Hyang Jayarembat, secara ajaib Dewa Ayu Mas kembali sembuh seperti sediakala. Kejadian ini berulang-ulang terjadi, setiap di Gelgel beliau kembali sakit, tetapi setiap di Tamanbali kembali sehat seperti sediakala.
Bhatara Hyang Sekar Angsana akhirnya memutuskan Dewa Ayu Mas untuk tinggal di Tamanbali dititipkan kepada Bhatara Hyang Jayarembat. Sekian lama sang putri tinggal di Tamanbali, sampai waktunya beliau beranjak remaja menjadi gadis yang sangat cantik, ibarat bunga yang sedang mekar, indah dan harum. Sang Anom juga sedang dalam usia remaja, tampan, cerdas dan sangat berbakti kepada Bhatara Hyang Jayarembat. Mungkin karena kehendak alam, keduanya saling jatuh cinta, dimabuk oleh cinta yang sedang menggebu hingga melakukan hubungan layaknya suami istri. Akibat perbuatan itu, Dewa Ayu Mas hamil, dengan ijin dari Sang Anom, Sang Dewi kembali ke Gelgel menghadap kepada ayahnya dan melaporkan semua yang sudah mereka lakukan berdua sehingga mengandung. Mendengar penuturan putrinya, Bhatara Sekar Angsana sangat marah, segera memerintahkan para juritnya untuk menyerang Tamanbali dan menangkap Bhatara Hyang Aji Rembat dan Sang Anom.
Tidak dikisahkan pergerakan parajurit Gelgel dari kotaraja menuju Tamanbali menjalankan tugas dari Bhatara Sekar Angsana. Sang Anom kini dikisahkan, mengetahui dirinya terancam segera meninggalkan Tamanbali menuju Toya Anyar atau Tianyar dengan cara sembunyi-sembunyi untuk menyelamatkan diri. Selama di Tianyar tidak ada seorang parajurit maupun petilik Gelgel yang berhasil mengetahui tempat persembunyian Sang Anom. Sekian lama bersembunyi di Tianyar, Sang Anom kembali pulang ke Tamanbali dengan cara menyamar, melintasi hutan, sungai, lembah dan ngarai, sampai akhirnya tiba di hutan Jarak Bang. Sayup-sayup beliau dengar suara kentongan dipukul secara bertalu-talu tanpa putus atau Bulus, ditanyakan hal tersebut kepada seorang petani yang kebetulan beliau jumpai di hutan Jarak Bang:
“Bapa petani, apa yang terjadi, mengapa kentongan di Tamanbali dipukul bulus?”.
Si bapak petani menjawab dengan kalimat pendek:
“Orang berperang”
“Mohon beritahu saya, apa yang terjadi di Tamanbali?”
“Sudah saya bilang orang sedang berperang memakai alat pemukul”
Demikian jawaban Si Petani, seperti enggan untuk menjawab. Mendapat perlakuan seperti itu, Sang Anom berkata dengan suara menahan marah, katanya:
"Semoga nanti hutan Jarakbang ini menjadi hunian, dan disebut sebagai Bangli, karena warganya tidak bersungguh-sungguh dan acuh tak acuh terhadap orang asing sepertiku”
Kata-kata Sang Anom didengar oleh si petani, seketika ia terkesima dengan kekuatan kata-kata Sang Anom yang seperti mengandung kutukan, itulah sebabnya si petani merasa bahwa pemuda yang ada di hadapannya bukan pemuda sembarangan. Sepulang dari Hutan Jarak, si petani bergeges menghadap kepada Bhatara Sekar Angsana di Gelgel. Dalam penghadapan si petani mengisahkan pertemuan dan percakapanya dengan seorang pemuda tampan yang misterius di Hutan Jarak Bang. Bhatara Sekar Angsana segera mengerti, bahwa pemuda itu adalah Sang Anom yang sedang beliau buru. Segera diperintahkan para punggawa dan petilik pilihan untuk menangkap Sang Anom di Hutan Jarak Bang, tidak dikisahkan dalam perjalanan para punggawa dan petilik dari Gelgel ke Hutan Jarak Bang. Sang Anom berhasil ditangkap dan digiring menghadap ke Gelgel tanpa perlawanan, karena memang Sang Anom tidak ingin menjadi buronan selamanya. Sang Anom sementara waktu dipenjara, parajurit Gelgel dalam jumlah besar diperintahkan menangkap dan menghancurkan puri beliau di Surabi. Parajurit Gelgel bergerak dari Tambang Wilah atau Guliang dalam jumlah banyak, membuat penduduk Tamanbali tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Bhatara Hyang Aji Rembat. Tidak dapat digambarkan suasana pada saat itu, Puri Surabi hancur luluh lantak dan Bhatara Hyang Aji Rembat tertangkap, ditawan dan diarak menuju Gelgel.
II.4. Sang Anom atau Sang Angga Tirta dan Bhisama Bhatara Hyang Subali.
Kini kembali dikisahkan di Gelgel, karena dianggap bersalah Sang Anom dijatuhi hukuman mati, sementara Bhatara Hyang Aji Rembat diajatuhi hukuman kurung. Menjelang dilaksanakannya hukuman terhadap Sang Anom, tiba-tiba Bhatara Hyang Subali tiba di Gelgel dan berhasil meyakinkan Bhatara Hyang Sekar Angsana, bahwa Sang Anom adalah putra beliau, hasil memohon kepada Dewa Wisnu. Beliau mengisahkan semua kejadian sampai adanya Sang Anom di Tirta Arum semasa bayi. Atas saran Bhatara Hyang Subali itulah akhirnya Bhatara Hyang Sekar Angsana membebaskan Bhatara Hyang Aji Rembat dan merestui Sang Anom menyunting putri beliau yang bernama Dewi Ayu Mas. Demikian kisahnya bertemu kasih dua sejoli menjadi sepasang suami istri yang sebelumnya lama terpisah karena kesalahfahaman Bhatara Hyang Sekar Angsana.
Upacara dilaksanakan dengan sangat meriah, disambut oleh seluruh penduduk Tamanbali dan Gelgel dengan bersukacita, tidak dikisahkan kebahagiaan yang dirasakan oleh seluruh warga terutama keluarga dan rakyat Gelgel dan Tamanbali saat itu. Selanjutnya Sang Anom memboyong istrinya ke Tamanbali, hidup menetap di Tamanbali dan mulai memakai gelar kelahiran Ksatria Tamanbali. Bhatara Hyang Subali dikisahkan memberikan bhisama kepada Sang Anom dan Dewi Ayu Mas:
“Anakku Sang Anom, dengarkan baik-baik nasihatku sekarang, supaya Ananda kemudian dan semua keturunanmu tidak menyimpang dari keturunan ananda. Kini Ananda sebagai penegak dan penguasa daerah Tamanbali, mempunyai tugas meneruskan pesan ini kepada anak cucu cicit, agar selalu memegang teguh asal mula leluhur mereka sebagai sumber kelahiran mereka, yang asal lahir di Tirta Arum, cantumkanlah nama-nama leluhur dalam lembaran piagam. Patut tetap bergelar Ksatria Tamanbali sampai kelak. Demikian kisahnya untuk diingat dan diteruskan, jangan sekali dilupakan, poma, poma, poma.
Bila ananda melaksanakan pesanku ini kemudian akan menemukan kebahagiaan sampai anak cucu cicit, selalu menjadi orang bahagia, berhasil menjadi penguasa daerah yang banyak mempunyai rakyat. Jika kemudian kalian meninggal, ketika dilakukan upacara perabuan atau atiwa-tiwa, Ananda boleh menggunakan upacara seperti Dalem, menggunakan semua upakara ksatria dan berhak memakai Nagabanda, demikian yang Ananda berhak pergunakan. Lagi pula jika ada keturunan meninggal yang sebelumnya tidak mendapat kedudukan, disebut Pamijian, hanya berhak memakai bade tumpang tujuh, tanpa nagabanda. Hanya semua upakara ksatria yang boleh dipakai olehnya. Demikian nasihatku ingatkanlah, ingat-ingat jangan lupa karena sangat berbahaya dan siapa pun yang melanggar akan kena kutukanku. Ingatlah dengan petuahku ini.
Dan kemudian jika ada keturunan anakku yang dapat memahami inti sari ajaran ilmu pengetahuan dia berhak menjadi pendita dengan menyandang gelar Bagawan. Dan penyandang gelar Bagawan itu jika meninggal dunia dengan upacara perabuan atau atiwa-tiwa berhak menggunakan padmasana, sama seperti upakara sang pendita yang lebar. Demikian halnya agar diberi tahu semua keturunan supaya mereka ingat atau tahu dengan garis keturunan dengan lengkap, bertanggung jawab terhadap Tirta Arum bersama-sama dari generasi ke generasi berikutnya, bagi mereka yang masih setia memegang teguh keturunan ksatria Tamanbali.
Tetapi jika mereka lupa dengan leluhur dan lupa mengemong Tina Arum, pasti kena kutuk leluhur yang sudah menyatu dengan Dewa, tidak akan menemukan kebahagiaan sejati, selalu menderita dan kena wabah, arwah leluhurnya tidak bisa, terangkat dari lembah sengsara dari sang pendita Siwa Buda, menjadi kotoran neraka, disiksa, berhasil kembali menderita twnbuh-tumbuh potong, giat bekerja kurang pangan hal itulah patut diketahui.
Dan jika mereka sudah memegang teguh keturunan dan mengindahkan semua tanggung jawab sebagai garis keturunan ksatria Tamanbali, ingat akan leluhur, memelihara Tirta Arum sebagai sumber atau pusat kelahiran, tidak pernah lupa dengan tugas mengemong, sejauh-jauh tempat tinggalnya tetap dapat mempertahankan garis keturunan. Jika sudah demikian pasti mereka menjadi bahagia dan disenangi masyarakat, senang, kaya, panjang usia, selalu mendapat nama harum, banyak keturunan dan tidak kurang istri”.
Demikian disebutkan bhisama dari Bhatara Hyang Subali kepada Sang Anom, termuat dalam berbagai prasasti dan lontar-lontar kuno, setelah itu beliau segera mur moksah.
Dipercepat kini ceritanya, Sang Anom dikisahkan sudah menjadi penguasa Tamanbali, saat umur kandungan Dewi Ayu Mas sudah semakin tua, Sang Anom berkeinginan untuk melakukan tapa brata yoga semadi ditempat yang sunyi hening, itulah sebabnya beliau berpesan kepada istrinya sebelum meninggalkan Tamanbali.
“Duhai istriku, Dewi Ayu Mas, saya akan meninggalkan Tamanbali untuk melaksanakan tapa brata yoga semadi, jaga dengan baik kandunganmu, bila lahir nanti laki-laki anak kita, beri nama Sang Garbajata, untuk mengingat bahwa kasih kita pernah dipisahkan oleh kepungan parajurit Gelgel. Ini saya titipkan keris pusaka sakti bernama Ki Lobar untuk putra kita, karena keris ini akan menjadi cirri utama wangsa Ksatria Tamanbali, akan menjaga anak kita dalam melaksanakan kewajibannya sebagai ksatria utama”
“Bila anak kita sudah dewasa, pesankan agar menjaga dengan baik keris pusaka Ki Lobar, siapapun yang meminta jangan pernah diberikan, karena pusaka ini sangat ditakuti oleh lawan, ingat selalu pesan saya ini, jangan sampai dilupakan”.
Demikian nasehat Sang Anom kepada istrinya sebelum menuju tempat rahasia untuk melakukan tapa. Selanjutnya tidak dikisahkan tentang perjalanan beliau dan tempat rahasia yang beliau tuju. Semua kisah ini sudah tertulis dalam banyak prasasti dan Pabancangah yang selanjutnya dipakai sebagai salah satu sumber penuturan lisan kepada para sentana Ksatrya Tirta Harum sepanjang masa. Dengan tujuan utama untuk menyampaikan pesan-pesan suci atau bhisama para leluhur kepada generasi berikutnya. Demikianlah pemaparan berbagai lontar Babad dan beberapa buku kajian yang mengkaji sekian banyak literatur yang sudah ditemukan oleh para peneliti dan penekun sejarah dan babad di Bali dan sudah pula termuat dalam berbagai buku kajian dan menjadi acuan dalam mengenal perjalanan leluhur dimasa lampau.
BAB III
WANGSA KSATRIA TAMANBALI
Mengupas tentang sejarah Ksatrya Tirta Harum di Bali, tidak bisa kita lakukan hanya dalam kurun waktu singkat, tetapi patut dibuka dengan lengkap keberadaan Bali yang berkaitan dengan Tamanbali, Nyalian dan Bangli dari masa pemerintahan Bali Kuno. Hal ini patut kita lakukan agar kita tidak tersesat pada periodisasi masa pemerintahan yang pernah tercatat ada di Bali. Karena semua tatanan sejarah dan budaya yang membentuk sebuah wilayah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang. Sebagai bukti, dengan adanya tinggalan-tinggalan berupa prasasti, arca, symbol, upacara, adat dan berbagai ragam seni yang menjadi warisan hingga kini.
III.1.Raja-raja Bali Kuno.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap prasasti-prasasti yang berasal dari masa Bali Kuna selanjutnya dapat diketahui 20 tokoh raja atau ratu dan seorang rajapatih yang pernah menduduki pucuk pemerintahan di Bali. Diantaranya, ada yang memerintah sendiri dan ada pula yang memerintah bersama-sama dengan tokoh lain, seperti suami, permaisuri, atau ibu surinya. Pada masa Bali Kuna dikenal beberapa raja yang memimpin Bali, diantaranya:
NO |
RAJA/RATU |
TH |
PRASASTI |
1 |
Sri Kesari Warma Dewa |
913-955 |
Blanjong, Penempahan , Malet Gede |
2 |
Sri Ugrasena |
912-942 |
|
3 |
Sri Haji Tabanendra Warmadewa dan Sri Subadrika Warmadewa |
955-967 |
|
4 |
Sri Candrabhaya Singha Warmadewa (Tampaksiring) |
967-968 |
|
5 |
Sri Janasadhu Warmadewa (Bedahulu) |
968-983 |
Manukaya,Sambiran |
6 |
Sri Wijaya Mahadewi |
983-988 |
Gobleg |
7 |
Sri Dharmodayana Warma Dewa, Sri Gunaprya Dharma Patni (Bedahulu) |
983-1011 |
|
8 |
Sri Ajnyadewi |
1001-1015 |
Batuan, Sawan, Tengkulak, Bwahan |
9 |
Sri Suradhipa (Bedahulu) |
1011-1072 |
|
10 |
Anak Wungsu atau Dharma Wangsa Wardana Mara Kata Pangkaja Sthana Uttunggadewa (Tampaksiring) |
1072-1098 |
Pandak Bandung |
11 |
Sri Walaprabhu |
1078-1088 |
|
12 |
Sakala Indukirana Isana Guna Dharma Laksmi Dharawijaya Uttunggadewi (Tampaksiring) |
1098-1133 |
Pengotan |
13 |
Sri Maharaja Sri Suradhipa |
1115-1119 |
Gobleg, Angsari |
14 |
Sri Maharaja Sri Jayasakti |
1133-1150 |
|
15 |
Jayapangus (Kintamani) |
1133-1173 |
|
16 |
Sri Maharaja Sri Ragajaya |
1155 |
|
17 |
Jayasakti (Kintamani) |
1173-1198 |
|
18 |
Sri Parameswara Sri Hyang-Ning Hyang Adidewa (Kintamani) |
1198-1284 |
|
19 |
Sri Maharaja Haji Ekajayalancana |
|
|
20 |
Sri Wirama |
1204 |
|
21 |
Adidewalancana |
1260 |
|
22 |
Kebo Parud |
1284-1324 |
|
23 |
Sri Tarunajaya Shri Mahaguru (Bedahulu) |
1324-1325 |
|
24 |
Dharma Uttungga Warma dewa (Bedahulu) |
1325-1328 |
|
25 |
Sri Wala Jaya Kertaning Rat (Bedahulu) |
1328-1337 |
|
26 |
Sri Astasura Ratna Bumi Banten |
1337-1343 |
|
III.2.Bali Dibawah Majapahit
Sri Tapolung yang bergelar Bhatara Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Gajah Wahana menurut Babad Usana Bali Pulina adalah seorang raja sakti dari Bali yang bertahta di Bedahulu sebagai raja pada tahun 1328 Masehi yang dalam Purana Bali Dwipa disebutkan Beliau merupakan putera dari raja suami isteri Sri Masula Masuli dari dinasti Warmadewa.
III.2.1. Penyerangan Majapahit ke Bali
Setelah Sumpah Palapa dari Mapatih Gajahmada diucapkan, Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten merupakan salah satu raja di Nusantara yang tidak bersedia tunduk terhadap kekuasaan Majapahit. Selain kesaktian beliau, pemerintahan Bali juga dibentengi oleh para patih dan tumenggung yang berjumlah sebelas orang dan terkenal keberanian dan kesaktiannya. Kidung Pamacangah menyebutkan bahwa Arya Damar sebagai penguasa bawahan Majapahit di Palembang yang membantu Majapahit dalam usaha menaklukkan Bali pada tahun 1343 Masehi dengan memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara. Sementara Mapatih Gajah Mada menuju arah timur Majapahit, bersama keluarga dan prajuritnya untuk menyerang Bali dari arah selatan.
Parajurit Patih Liman Mada berjumlah 15.000 orang bersenjata lengkap, saat mulai terlihat asap mengepul bergulung-gulung ke angkasa di bagian utara Bali, pertanda parajurit Malayu pimpinan Arya Damar mulai menyerang, perang dahsyat terjadi di daerah Ularan sampai sekitar tujuh hari tujuh malam tiada henti. Ki Pasung Giri yang memimpin pasukan Bali utara mengamuk, tidak terhitung pasukan Sang Arya Damar yang tewas. Menyaksikan demikian Arya Damar turun ke medan laga, bertarung melawan Ki Pasung Giri. Setelah bertarung hampir selama dua hari, pasukan Malayu pimpinan Arya Damar berhasil mengalahkan pasukan Bali pimpinan Ki Pasung Giri yang tewas dalam perang tanding melawan Arya Damar.
Parajurit Malayu berhasil menguasai daerah Ularan yang merupakan benteng utara kerajaan Bali. Setelah wilayah Ularan dirasa aman, Arya Damar menuju Majapahit untuk melaporkan keberhasilannya menaklukkan bagian utara Bali dalam pertempuran berhasil menewaskan Ki Pasung Giri. Setelah mendapat nasehat dan perintah dari sang Ratu Majapahit, Arya Damar mohon pamit untuk kembali menuju desa Ularan di Bali, diiringi dengan parajurit tambahan dari Majapahit yang dipimpin oleh Arya Kuthawaringin.
Parajurit pimpinan Arya Kuthawaringin, bergabung dengan parajurit Malayu di benteng desa Ularan, menyusun siasat dan mengerahkan parajurit menggempur benteng-benteng pertahanan Bali bagian utara. Daerah bagian timur belum berhasil ditaklukkan, parajurit Bali dibawah pimpinan Ki Buwahan di Batur berjumlah banyak dan sangat kuat. Setelah digempur selama 7 hari secara terus menerus dengan kekuatan penuh, barulah wilayah Batur berhasil ditaklukkan dan Ki Buwahan gugur dalam penyerangan itu.
Parajurit Majapahit dibawah pimpinan Mapatih Gajah Mada yang menyerang dari arah pantai selatan Bali, juga mendapat perlawanan sengit dari parajurit Bali dibawah pimpinan Ki Tambyak dan Ki Gudug Basur. Pada hari ke 10 parajurit Bali akhirnya menyerah setelah kedua pimpinan mereka tewas. Walaupun parajurit Majapahit dan Malayu sudah berhasil menguasai sebagian besar wilayah Bali, mereka tidak langsung menyerang ibukota Bali, parajurit dikerahkan menyusup ke ibukota, menyamar dan berbaur dengan penduduk Bali. Parajurit Sunda yang merapat di pantai-pantai sepi bagian barat Bali tidak mendapat perlawanan berarti, sehingga dengan mudah bisa bergabung dengan induk parajurit yang sudah menyusup ke ibukota.
Sebelum melaksanakan penyerangan, semua pemimpin parajurit bertemu di Desa Tawing, mengatur waktu dan siasat penyerangan selanjutnya. Pada waktu yang sudah ditentukan, parajurit Majapahit, Malayu dan Sunda yang sudah berhasil menyusup kedalam kota Bedahulu, secara serentak mengangkat senjata dan menyerang parajurit Bali. Prajurit Sunda menyerang benteng Tengkulak, Ki Pasung Grigis, pemimpin Tengkulak menyerah, dijadikan tawanan, setelah parajurit yang dipimpinnya banyak yang tewas, sisanya menyerah. Serangan yang tiba-tiba dan serentak yang dilakukan membuat Kotaraja Bedahulu berhasil dikuasai dalam waktu yang singkat.
Masing-masing Arya menawan parajurit musuh yang berhasil ditaklukkanya, seperti:
NO |
PARA ARYA |
TAWANAN |
1 |
Dikirim ke Majapahit |
80.000 |
2 |
Arya Beleteng |
10.000 |
3 |
Arya Sentong |
5.000 |
4 |
Arya Kutawaringin |
5.000 |
5 |
Arya Belog |
5.000 |
6 |
Ki Kuda Pangasih |
3.000 |
7 |
Arya Damar |
40.000 |
8 |
Ki Pada Kaon |
20.000 |
9 |
Ki Pakatik |
2.000 |
10 |
Arya Benculuk |
4.000 |
11 |
Arya Kapakisan |
4.000 |
Ketiga kesatuan parajurit bersukaria atas kemenangan mereka terhadap Bedahulu. Utusan Majapahit yang bernama Ki Kuda Pengasih datang dari Jawa bertemu langsung dengan Gajah Mada, Arya Damar dan semua senapati perang, membawa pesan Ratu Tri Bhuwana Tunggadewi yang memerintahkan Patih Gajah Mada dan Arya Damar agar segera kembali pulang ke Majapahit apabila Bali sudah berhasil ditaklukkan. Tetapi para Arya yang lain diperintahkan untuk tetap di Bali untuk menjaga keamanan Bali setelah berhasil dikuasai.