SELAYANG PANDANG
JAGAT SEMBUWUK
BAB I
Pendahuluan
I.1. Kerajaan Melayu Sriboja
Berdasarkan berbagai penelitian oleh para ahli sejarah dunia, terutama yang khusus meneliti dan mempelajari sejarah dan kebudayaan kerajaan-kerajaan Hindu Buda di Indonesia, diperkirakan mulai tahun 500 Masehi di Sumatera Utara banyak sekali berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang tidak terlalu luas wilayah kekuasaanya dan berpenduduk juga tidak terlalu banyak.
Kebanyakan kerajaan tersebut dibangun oleh para pengungsi dari India, yang mengungsi akibat gejolak berkepanjangan di wilayah India pada masa itu. Para Bangsawan, pendeta dan para pedagang yang tidak mau terlibat dalam kemelut di India, memutuskan untuk berlayar meninggalkan India guna mencari daerah baru yang bisa mereka gunakan sebagai tempat bermukim, agar bisa melanjutkan budaya dan agama yang turun-temurun mereka anut dan yakini.
Tercatat dalam sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Sumatera Utara, antara lain Kandhari, Pali, Malayu Sri Boja dan masih banyak lagi kerajaan kecil lainnya.
Para pengungsi India yang terdiri dari Bangsawan, Pendeta Rsi dan pedagang itu kebanyakan menghuni wilayah Kendhari dan Pali. Mereka menerapkan kebudayaan dan agama yang dianutnya dalam tatanan pemerintahan kerajaan, sehingga dalam waktu beberapa dekade daerah Sumatra Utara tertata dengan baik, aman dan tentram.
Peta Kuno Nusantara
Suasana aman tentram dan damai itu bisa bertahan di kerajaan-kerajaan kecil Sumatera Utara sampai sekitar tahun 682 sampai dengan tahun 686 Masehi. Raja Sriwijaya, yang bergelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan penyerangan ke wilayah Malayu Sriboja keselatan dan dibagian utara wilayah Sumatra, juga menaklukan Kerajaan Tarumanegara. Diantara kerajaan-kerajaan Malayu, Kerajaan Kendari dan Kerajaan Pali juga dapat dikuasai, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 683 Masehi, Prasasti Talang Tuo bertahun 684 Masehi dan Prasasti Kota Kapur.
Hal itu yang kemudian membuat para bangsawan dan para Rsi memutuskan untuk meninggalkan wilayah Malayu Sriboja, tujuan mereka adalah mencari daerah yang baru di luar kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Para bangsawan dan Rsi yang dulunya berasal dari India tersebut menyingkir kearah timur dengan perahu sampai mendarat di wilayah Nusa Goh atau dikenal dengan nama Pulau Sapi.
Di pulau inilah kemudian mereka mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil yang masih sunyi dan terpencil. Nama yang baru didirikan itu sama dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang berpenduduk sebagian besar beragama Budha. Setelah beberapa lama kemudian, berkembang menjadi kerajaan Bali. Seperti yang termuat dalam pustaka Radya-Radya Ri Bhumi Nusantara I.1. 1984 : 64.
Hal yang diungkap oleh pustaka ini sesuai dengan penelitian ahli sejarah Belanda Rulof Goris dalam bukunya yang berjudul “Bali Kuna”, yang menyatakan adanya korelasi yang sejalan, bahwa peninggalan kuno di Bali bercirikan Agama Budha. Hal itulah yang memperkuat keyakinan para ahli bahwa cikal bakal kerajaan Bali berasal dari Sumatera, masa penyerangan Sriwija ke Malayu.
I.2. Kerajaan Mataram Hindu
Prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah berangka tahun 732 Masehi menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram, Shri Maharaja Sanjaya secara resmi menjadi raja Pulau Jawa, kecuali tanah Sunda. Tahun 730 Masehi, Raja Sanjaya dengan gemilang berhasil menaklukkan Sriwijaya, Ligor (Thailand) dan daerah Hujung Medini (Malaysia Barat). Di kisaran Tahun 730 Masehi, tercatat dalam sejarah bahwa Raja Sanjayalah yang berhasil menanamkan ajaran Hindu di kerajaan Bali. Dalam pemerintahannya, beliau sangat gemar mengembangkan ajaran Agama Hindu dalam konsep Lingga dan Yoni.
Salah seorang Pendeta Kerajaan Mataram, Rsi Markandya pada tahun 730 Masehi melakukan perjalanan suci dari Pasraman Gunung Wukir (Damalung) tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga (Banyuwangi) kemudian berakhir di Gunung Agung (Lingga Acala) tempat Pura Besakih sekarang.
Di lereng Gunung Raung di sekitar Desa Girimulya, Kecamatan Glenmore dan di sekitar Tirta Empul, di Jawa Timur ditemukan juga peninggalan- peninggalan kuno berupa arca-arca kecil pratima. Di antaranya arca perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984, arca Rsi Markandya seukuran ibu jari ditemukan tahun 1985, tempat Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, dua buah Bokor Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, Gentha Pandita dan tujuh bilah keris ditemukan tahun 1976. Kemudian ditemukan juga batu Andesit diperkirakan dipakai untuk mengolah obat saat itu. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan kuna.
I.3. Pasraman Rsi Markandya Di Jawa
Didalam Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, dikisahkan seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang istri, berputra dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya, berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, yang berbunyi :
“Sang Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama…….”
Sang Ayati berputra Sang Prana. Demikian pula adiknya, yang bernama Sang Niyata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristrikan Dewi Manaswini, berputra Maharsi Markandya. Selanjutnya Maharsi Markandya, beristrikan Dewi Dumara. Menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristrikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam pustaka kuno Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, tentang asal-usul Maharsi Markandya.
Pada hari yang baik, salah seorang murid Maha Rsi Agastya yang bernama Sang Ila putra dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan Tapa Samadhi di Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Pegunungan Dieng. Seperti halnya Maharsi Markandya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang (Dieng), di Wukir Damalung, Jawa Dwipa Mandala.
Di dalam prasasti, yang memiliki nilai sejarah yang autentik seperti yang dikemukakan dalam prasasti Dinaya yang berangka tahun 682 Saka, atau sekitar tahun 760 Masehi, dikemukakan bahwa Maha Rsi Agastya yang mengembangkan ajaran Tri Murthi Paksa di Bhumi Nusantara ini, yang merupakan penyatuan ajaran Tiga Paksa, yakni Salwa Paksa, Brahmana Paksa, dan Waisnawa Paksa, yang pada kelanjutannya kemudian berkembang juga di Bali. Sehingga dalam prasasti Dinaya ini, Maharsi Agastya, juga Abhiseka Sri Bhatara Guru.
Seperti banyak tersurat dalam lontar dan Purana, di antaranya lontar Markandya Purana, bahwa Sang Yogi Markandya yang “kawit hana saking Hindu” yang apabila diterjemahkan berarti Sang Yogi Rsi Markandya berasal dari India, melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawa Dwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang yang kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng, berlokasi di Jawa Tengah.
Setelah lama beliau melakukan tapa yoga semadi di Gunung Di hyang, beliau kemudian melakukan Perjalanan Suci ke arah timur, tibalah di Gunung Raung, Jawa Timur. Disini beliau membuka pasraman di dampingi oleh para murid beliau yang di sebut Wong Aga atau yang berarti orang-orang gunung pilihan. Di dalam yoga beliau di Pasraman Gunung Raung itulah beliau mendengar sabda yang menyarankan beliau untuk melanjutkan perjalanan ke arah timur yaitu ke Gunung Agung yang disebut juga dengan nama Ukir Raja.
I.4. Pulau Bali
Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali. Mereka tinggal berkelompok - kelompok dengan Jro-jronya atau pemimpin-pemimpin mereka masing-masing. Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi cikal bakal desa-desa di Bali. Mereka adalah Orang Bali Mula, dan kemudian mereka lebih dikenal dengan nama Pasek Bali.
Ketika itu, orang-orang Bali Mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli, kondisi spiritual masyarakat Bali pada saat itu masih kosong. Keadaan yang demikan ini berlangsung hingga awal tarikh Masehi kurang lebih sekitar abad pertama Masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan Para Rsi dari luar pulau ke Bali. Disamping untuk mengajarkan Agama Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan.
Menurut Lontar Bali Tattwa, untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, kemudian datanglah seorang Maha Rsi ke Bali, beliau bernama Maha Rsi Markandya. Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah kurang lebih 800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung atau yang dikenal dengan nama Gunung Tohlangkir, untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti Mranggi (Macan), Singa, dan Ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila.
Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja, mereka kemudian mendiami wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Diantaranya kampung-kampung tua di sepanjang dataran subur yang diapit oleh dua aliran sungai, Sungai Wos Lanang dan Sungai Wos Wadon. Dataran yang membentang dari utara ke selatan dari Taro sampai Campuhan Gunung Lebah di Ubud.
Melihat keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi Markandya memutuskan untuk kembali ke Pesraman beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa murid-murid beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung. Maha Rsi Markandya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara (Homa) dan tidak menanam Panca Datu.
BAB II
Sejarah Singkat Desa Sembuwuk
II.1. Desa Sembuwuk Zaman Bali Kuno
Desa Sembuwuk adalah desa tua yang diperkirakan sudah ada semenjak Masa Perundagian yang merupakan babakan terakhir dari masa prasejarah. Hal ini bisa dilihat dari berbagai arca yang tersimpan di Pura Dalem Siwa Desa Adat Sembuwuk. Dari penelitian yang dilakukan oleh team arkeologi yayasan Dharma Kawisastra dapatlah ditarik kesimpulan bahwa umur arca-arca batu padas dengan berbagai bentuk itu sudah berumur sangat tua.
Dan sudah melewati beberapa jaman, hingga sampai saat ini, Arca-arca ini diperkirakan hampir sejaman dengan arca yang ada di Pura Gua Gajah, Pura Pengukur-ukur, Pura pura lain yang ada di sekitar Pejeng.
Kebanyakan arca yang tersimpan di Pura Dalem Siwa dan Dalem Setra Banjar Adat Sembuwuk terbuat dari batu padas, berdimeter sedang dengan tinggi antara 40 sampai 80 cm, dengan bentuk masih sangat sederhana dan menonjolkan muka serta sikap tangan yang berbeda. Tetapi mengisyaratkan sebuah bentuk pemujaan dari berbagai aliran.
Beberapa arca itu diperkirakan sudah ada sejak tahun pada tahun 1250 Masehi, pada masa pemerintahan raja Bali yang bergelar Bhatara Parameswara Çri Wirama Nama Çiwaya Çri Dhana Dirajalancana. Atau lebih dikenal dengan sebutan raja Masula Masuli.
Seperti yang disebutkan dalam sebuah Sumber berupa satu cakep lontar Usana Bali yang menuliskan: “Mangke ucapang Ida Dalem Masula Masuli ri pawesmaniya ring Pejeng duk ika Dalem menawuhin Papatih Prapanca Para Mantri, mwah Sira Mpu Gnijaya, Mpu Smeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan mwang I Prabekel Bali. Hana arsanan Çri Bhupala ring sira Mpu kabeh mwah I Prabekel Bali pareng tataning Bandesa Wayah matemahan ebeking Pejeng, sa kuloning lwah Pakerisan, wetaning lwah Petanu. Duk ika hana wacanan Çri Bhupala, mangda ngaryanin Parhyangan Tirtha Mpul stanan Bhatara Hyang Indra, wenang tepasana. Mwang Parhyangan Mangening stanan Bhatara Hyang Suci Nirmala wenang Maha Prasadha Agung, kasukat olih Mpu Rajakretha, apapalihan makadya wetning astha kosali. Duk ika suka paraning wang Bali kabeh, angawe Parhyangan panembahan jagat kabeh, karajegin antuk Çri Aji Masula Masuli, mwah panjakne sami liang, sami kawulane padha mawedal paras, mwang raramon salwire, Batuh, Pejeng, Tampaksiring….dan seterusnya”.
Dalam Purana Bali Dwipa disebutkan pemerintahan Sri Jaya Pangus digantikan oleh Sri Hikajaya hingga tahun Çaka 1122 (tahun 1200 Masehi). Keberadaan Pura dan agama tidak mendapat perhatian yang baik. Baginda digantikan oleh adiknya yaitu Sri Danadiraja hingga tahun Çaka 1126 (1204 Masehi). Agama juga belum mendapat perhatian dari pemerintahan Bali.
Sri Danaraja digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Jaya Kasunu, baginda melakukan samadi untuk memperoleh restu dewata agar mengadakan perbaikan pada Pura dengan aci-acinya terutama di Besakih: Juga agar melaksanakan kembali tata upacara Hari Galungan. Baginda bergelar Bhatara Sri Parameswara. Pulau Bali kembali menjadi aman dan tentram. Baginda berputra (buncing) yang laki bernama Sri Masula dan adiknya bernama Sri Masuli.
Sri Kertanegara (raja Singasari) menguasai Bali dengan senapati bernama Kebo Parud. Kemudian Sri Kertanegara dikalahkan oleh Kediri (Jayakatong) tahun Çaka 1222 (1300 Masehi). Sri Jayakasunu digantikan oleh putra-putrinya yaitu Sri Masula Masuli dengan gelar Bhatara Mahaguru Darma Utangga Warmadewa dengan ibu kota kerajaan Batu Anyar. Baginda bertahta sampai dengan tahun Çaka 1250 (1328 Masehi). Sri Masula Masuli digantikan oleh Putranya, Sri Tapolung bergelar Bhatara Asta Asura Ratna Bumi Banten. Sampai kemudian penyerangan Gajah Mada ke Bali dan menaklukan kerajaan Bali.
II.2. Perjalanan Suci Orang Aga Ke Bukit Uluwatu.
Pada sekitar pertengahan tahun 1243 Masehi, pada bulan terang, awal musim kering, terjadi wabah penyakit di daerah Buleleng, penyakit aneh tersebut sudah merenggut banyak sekali jiwa penduduk Buleleng. Penyakit Cacar air atau bahasa medisnya adalah smallpox atau variola yang diperkirakan berasal dari India ini sudah menjangkiti wilayah Buleleng timur antara lain Desa Julah, Tejakula, Bondalem dan penduduk yang mendiami pinggiran Tukad Palad, Tukad Mejan, Tukad Samuh dan tukad Palijan.
Banyak penduduk terkena penyakit dengan gejala yang aneh mulai dengan demam dan sakit kepala Setelah dua atau tiga hari kemudian mulai muncul bintik merah datar, lalu menjadi menonjol, kemudian muncul cairan didalamnya berupa air, nanah dan darah seperti melepuh disertai rasa gatal-gatal, dalam jangka waktu kurang dari seminggu, penduduk yang terjangkit kemudian sulit untuk bernapas. Orang-orang menyebut penyakit ini Medewa,dan menurut para tetua desa penyakit ini disebabkan oleh kemarahan para leluhur dan dewa di gunung, berkeinginan bersuci di kakinya pulau Bali, yaitu bukit Uluwatu banyak sudah korban yang meninggal, terutama pada bayi dan anak-anak.
Setelah melakukan perundingan dengan para pemimpin desa, akhirnya diputuskan untuk mengirim beberapa penduduk pilihan, yang sehat dan pemberani untuk melakukan perjalanan suci menuju selatan. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan berjumlah tidak kurang dari 40 orang. Membawa perbekalan yang cukup dan juga alat-alat pertanian serta senjata untuk mempertahankan diri. Mereka juga membawa beberapa arca prelingga dan keris pusaka yang dikeramatkan. Ada juga dibawa beberapa cawan tembaga dan keramik yang biasa dipakai sebagai tempat mencampur atau meramu obat-obatan. Tujuan mereka adalah menghadap Hyang Ludra guna memohon perkenan agar desa di Barat Daya Pulau Bali (Bukit Uluwatu). Karena menurut tetua desa, penyakit yang dialami oleh penduduk itu datangnya dari sebelah barat daya desa, diujung pulau Bangsul.
Sebagaian dari mereka melakukan perjalanan suci menuju Tampurhyang (Batur). Sebagian lagi menuju arah barat ke Pucak Batukaru. Tidak dikisahkan perjalanan penduduk yang bergerak menuju kearah barat desa, dan perjalanan penduduk menuju Tampurhyang. Perjalanan 40 warga kuwu tukad Mejan menuju arah barat daya untuk menghadap Hyang Ludra di bukit Uluwatu. Perjalanan mereka menuju arah selatan menelusuri tepian Tukad Shyang Brata lalu sampai di Sukawana. Di Sukawana rombongan ini beristrirahat, sempat membangun beberapa pondok peristirahatan. Juga membangun beberapa bangunan darurat untuk melinggihkan arca pralingga yang dibawa dari utara. Mereka tinggal menetap sementara di sekitar pura Panarajon, Hal itu bisa dimaklumi karena wilayah Sukawana adalah bagian dari Banuwa yang beristilah sebagai Gebog Domas pura Pucak Penulisan, sehingga hubungan orang-orang dari lereng Tukad Mejan sangat dekat dengan penduduk Sukawana.
Mereka kemudian meneruskan perjalanan menuju arah selatan. Menaiki daerah berbukit-bukit dengan tanah berpadas, wilayah gugusan bukit Kintamani. Di bukit Kintamani mereka diterima dengan baik oleh penduduk, diberikan makanan dan tempat untuk bermalam. Untuk beberapa lama mereka berbaur dengan masyarakat di Kintamani, ada juga beberapa yang kemudian memutuskan untuk tinggal menetap. Mereka membuat permukiman di daerah dataran sebelah utara danau Batur. Mulai membangun perdikan dengan penduduk kintamani dan penduduk Kuwu Tukad Mejan. Setelah beberapa lama mereka hidup dan bertani di lereng perbukitan Kintamani, terpilihlah beberapa orang yang bertugas melanjutkan perjalanan menuju Bukit Uluwatu, membawa serta arca prelingga dan alat-alat yang dipandang perlu digunakan dalam perjalanan, dan akan disucikan.
Mereka menyebrangi daerah Banua Bayung Gede terus melanjutkan perjalanan menuju ke selatan, menuruni bukit Kintamani. Di hulunya Tukad Petanu, wilayah Tampasiring. mereka kembali beristirahat, Karena perpekalan habis, disana mereka kembali membuat perkebunan dan bercocok tanam, menanam berbagai tanaman musiman yang bisa dipakai sebagai bekal untuk meneruskan perjalanan. Pada sekitaran tahun 1279 Masehi para penduduk Aga yang berasal dari lembah Tukad Palad, Tukad Mejan, Tukad Samuh dan tukad Palijan. Membuat pemukiman di sebuah dataran subur diantara dua sungai besar, Sungai Petanu dan Pekerisan. Semakin hari semakin berkembanglah daerah itu, penduduk juga semakin banyak, sehingga terbentuklah sebuah kuwu atau Perdikan.
Kehidupan penduduk yang sudah mulai bercocok tanam mendorong mereka untuk bertempat tinggal tetap dan membangun kuwu dengan organisasi yang semakin teratur. Kehidupan religi mereka mereka juga semakin berkembang dengan pelaksanaan upacara-upacara yang berlandaskan konsep magis atau oleh ilmuan barat dikenal dengan konsep Simpatic Magic.
Upacara-upacara itu seringkali dilaksanakan saat menjelang kegiatan berburu. Upacara-upacara penguburan juga sudah mulai berjalan dengan baik, jasad penduduk yang meninggal diupacara terlebih dahulu baru kemudian diangkut ke batas selatan desa, di batas desa itulah jasad tersebut ditanam, dengan areal bernama Pelarungan atau pemakaman, itu menandakan mereka sudah mempunyai sebuah keyakinan adanya kehidupan lain setelah kematian, yang berarti juga mereka sudah meyakini bahwa arwah nenek moyang yang sudah diupacara mempunyai kemampuan mengatur, melindungi dan memberkahi para generasi yang masih hidup, atau sebaliknya mengganggu dan mengusik keturunannya yang berbuat salah.
Beberapa dari penduduk sudah mempunyai kemampuan yang tinggi dalam peleburan bijih-bijih logam, pengecoran logam untuk membuat perkakas bertani dan berburu. Penduduk juga mempunyai keahlian khusus membuat hiasan dengan motif-motif tertentu dari logam. Dengan adanya perkakas pertanian dari logam itu membuat pertanian, terutama perkebunan semakin maju, walaupun pertanian saat itu hanya mengandalkan air hujan, tanpa ada irigasi pengairan yang teratur. Kemampuan - kemampuan itu menunjukkan betapa tingginya tingkat kemajuan dalam bidang piroteknologi (pyrotechnology) yang telah dicapai.
Demikianlah kisah awal terbentuknya perdikan atau Kuwu di sekitar Tukad Petanu. Setelah sekian lama berlalu, setelah suasana desa tertata dengan baik, lengkap dengan konsep hulu teben dan Parahyangan kembalilah dikirim pemuda-pemuda pilihan untuk melanjutkan perjalanan menuju arah selatan, menuju Bukit Uluwatu, guna mensucikan beberapa arca dan pretima dari Buleleng. Tidak diceritakan kemudian perjalanan suci penduduk Kuwu Tukad Mejan menuju arah selatan.
II.3. Pemberontakan Orang-Orang Aga terhadap Penguasa Bali.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, Terjadilah pergantian kekuasaan di Bali. Dengan semakin besarnya kerajaan Majapahit di Jawa, dan terus melakukan penaklukan ke kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Kediri dikuasai oleh Majapahit, Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagara Kertagama. Pada tahun 1222 Masehi Kertajaya sedang berselisih melawan kaum Brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singasari. Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Masehi Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Masehi Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertajaya, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
Setelah dikuasainya Kediri oleh Majapahit pulau Bali juga segera dapat dikuasai, dengan tertawannya Pasung Grigis, yang kemudian diperintahkan untuk menggempur Sumbawa. Di Bali ditempatkan seorang Adipati yaitu Shri Kresna Kepakisan berkedudukan di Samprangan, didampingi oleh para Arya keturunan Sri Kameswara, antara lain:
· Arya Kanuruhan,
· Arya Pangalasan,
· Arya Dalancang,
· Arya Wangbang,
· Arya Kenceng,
· Arya Tan Wikan,
· Arya Manguri,
· Sira Wangbang,
· Sira Kutawaringin,
· Arya Gajah Para.
· Tiga orang Wesya, Tan Kober, Tan Kawur Tan Mundur,
· Seorang keturunan Kepakisan bernama Pangeran Nyuh Aya, menjabat patih, tahun 1272 Saka atau tahun 1350 Masehi.
Adhipati Shri Kresna Kepakisan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Sampelangan. Pemerintahan beliau menganut system kepemerintahan di Majapahit serta beliau kurang memahami apresiasi rakyat Bali, keberadaan tempat suci orang Bali Aga tidak dapat perhatian dan diabaikan. Sikap inilah yang sangat menyinggung perasaan orang Bali Aga, pemerintahan beliau dijauhi. Lama kelamaan rasa tersinggung ini meningkat menjadi rasa anti pati, yang puncaknya orang Bali Aga tidak mau mengakui pemerintahan Adhipati Sampelangan.
Mereka lalu melakukan pemberontakan dengan mengangkat senjata. Pemberontakan ini diawali dari Desa Tampurhyang Batur sebagai pusat pemerintahan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh Kyayi Kayu Selem, kemudian diikuti oleh desa Batur, Terunyan, Abang, Buahan, Kedisan, Cempaga, Pinggan, Peludu, Kintamani, Serai, Manikliyu, Bonyoh, Sukawana, Taro dan Bayad.
Kemudian pemeberontakan ini mendapat dukungan dari desa-desa timur Bali yaitu, Culik, Tista, Basangalas, Got, Margatiga, Sekulkuning, Garinten, Lokasrana, Puhan Bulkan, Sinanten, Tulamben, Batudawa, Muntig, Juntal, Carutcut, Bantas, Kuthabayem, Watuwayang, Kedampal, dan Hasti, serta desa-desa lainnya sehingga jumlahnya adalah tidak kurang dari 39 desa.
Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dhalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu beliau bawa.
Karena keterkaitan antara banuwa-banuwa dan ikatan sosial diantara desa-desa tua Aga, Penduduk Kuwu Tukad Tawar juga ikut serta dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Pasek Taro, Panglima perang Aga dari desa Taro. Pemuda-pemuda yang terpilih dari kuwu tukad Petanu ikut serta mengangkat senjata. Banyak diantaranya kemudian tewas dalam usaha pemberontakan itu. Sisanya tidak berani kembali lagi ke daerah kuwu Tukad Petanu, sehingga penduduk di kuwu Tukad Petanu semakin sedikit. Kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang tua dan anak-anak saja, itupun tidak terurus dengan baik, karena golongan muda, golongan pekerja mereka banyak yang gugur.
Pemberontakan orang-orang Aga, yang bersifat besar dapat dipadamkan pada kisaran Tahun tahun 1383 Masehi, yaitu setelah Shri Kresna Kepakisan mangkat digantikan oleh putra beliau yang bernama Dhalem Agra Samprangan, dan saat gejolak yang terjadi dikeraton Samprangan, sehingga para mentri memutuskan untuk mengangkat Shri Dhalem Ile sebagai Dipati Bali berkedudukan di Gelgel.
II.4. Desa Sembuwuk Jaman Dhalem Bali
Enam tahun setelah Astasura Ratna Bhumi Banten mengeluarkan prasasti Langgahan (1259 Saka), yakni pada tahun 1265 Saka (1343) ekspedisi tentara Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada menyerang Bali. Penyerangan itu berhasil menaklukkan Bali, setelah lebih dahulu bisa menewaskan dengan siasat, Patih Bali yang terkenal, yaitu Kebo Iwa atau Kebo Taruna di Jawa. Maha Patih Gajah Mada, dengan dibantu oleh para Senapati Majapahit, diantaranya : Arya Damar, Kyai Sentong, Kyai Kutawaringin, Kyai Kenceng dan Kyai Belog. Perang besar berkecamuk di daerah Tengkulak, antara tentara Majapahit dan Tentara Bali. Tercatat di Tahun 1343 Masehi, Prabu Gajah Waktra, Patih Kebo Mayura, Patih Gudug Basur gugur dalam pertempuran di Tengkulak. Patih Pasung Grigis menyerah dan kemudian diberikan tempat di Batuan, menduduki jabatan sebagai Senapati Agung. Tetapi kemudian Senapati Agung Pasung Grigis gugur dalam peperangan saat menyerang Sumbawa. Saat itu Raja Sumbawa Dedelanatha tidak bersedia takluk di bawah kekuasaan Majapahit, maka dikirimlah Balayuda Bali dibawah pinpinan Ki Pasung Grigis ke Sumbawa. Senapati Agung Pasung Grigis gugur dalam adu kesaktian dengan Raja Sumbawa, demikian juga dengan Raja Sumbawa. Setelah Bali takluk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, jadilah Pulau Bali tanpa pemimpin. Gejolak-gejolak terus terjadi, saling curigai dan saling bunuh, banyak penduduk yang merasa kuat berlaku sewenang-wenang, terutama yang menguasai ilmu kebal dan ilmu hitam. Dalam masa kekosongan pemerintahan itu Pulau Bali menjadi sangat mencekam bagi penduduknya sendiri.
Dalam keadaan seperti itu, munculah niat para pemuka Bali memohon pemimpin untuk Bali ke Majapahit. Dikirimlah utusan Bali ke Majapahit, dipimpin oleh Bandesa dan Pasek. Permohonan itu dikabulkan oleh Raja Majapahit, dikirimlah Dhalem Ketut sebagai Adipati Bali di tahun 1345 Masehi, bersamaan dengan pengangkatan saudara-saudara Dhalem Ketut di berbagai daerah, seperti : Dhalem Wayan diangkat menjadi Adipati Blambangan, Dhalem Made di Solo, Dhalem Nyoman di Pasuruan, dan Dhalem Istri di Sumbawa. Dhalem Ketut kemudian bergelar Dhalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 Masehi atau 1272 Isaka. Oleh penduduk Bali, Beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dhalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari Majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan
Dalam pemerintahannya Dhalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan / Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hampir sama yaitu Adipatinya bergelar Dhalem Ketut Kresna Kepakisan sedangkan patih agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan. Dalam pemerintahannya Dhalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu.
Dari Babad Dhalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dhalem Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Ki Ganja Dungkul yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.
Semasa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Buwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain. Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dhalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dhalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Rakryan Maha Patih Gajah Mada memberikan nasehat kepada Dhalem Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka bernama Ki Lobar disamping keris pusaka yang bernama Ki Tanda Langlang yang terlebih dahulu beliau bawa.
Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra. Selain itu ada juga jabatan penting yang diberi nama Dharma Dyaksa, yang bergerak dalam mengurus masalah keagamaan, Dharma Dyaksa dibagi menjadi 2 yaitu Dharma Dyaksa Kasaiwan untuk Agama Siwa dan Dharma Dyaksa Kasogatan untuk Agama Budha.
Dhalem Shri Kresna Kepakisan dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh para Arya Majapahit, antara lain : Arya Kenceng diberikan tempat di Tabanan, Arya Kanuruhan di Tangkas, Arya Pinatih di Kerthalangu, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belog di Kaba-kaba, Arya Pengalasan, Arya Manguri, Arya Gajah Para dan Arya Getas di Toya Anyar, Arya Temenggung di Patemon. Arya Kutawaringin Toya Anyar Klungkung, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti, Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet, Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, dan Sang Tri Wesya, Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal, Si Tan Mundur di Cagahan.
Akibat Kerajaan Samprangan yang berdiri tidak terlalu lama, juga karena pengaruh pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayah Bali, membuat kehidupan beragama tidak berkembang terlalu pesat. Agama yang dianut pada masa itu adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting, Agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa atau Bale Agung sebagai Sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh Sthana Wisnu dan Pura Dalem Sthana Siwa. Selain Pura-Pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara atau Bhatari yang disebut: Sanggah atau Pemerajan, Dadia atau Paibon, Padharman.
Dhalem Kresna Kepakisan adalah penganut sekte Waisnawa, dari Sub Sekte Bhagawata, mengingat nama Kresna yang beliau pergunakan sehingga wajarlah dalam pemerintahannya beliau didampingi oleh para Bujangga Waisnawa, baik Bujangga Waisnawa yang di Bali maupun yang menyertai Beliau dari Jawa.
Pada zaman ini seni budaya berkembang dengan mengambil budaya-budaya Bali kuno dan Budaya Jawa Majapahit, yang kemudian dipadukan. Seperti diketahui, pada masa Bali Kuno sudah mengenal berbagai jenis kesenian, seperti: lakon topeng, dimana pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama Pertapukan. Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa Kitab Kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama.
Beberapa Kitab Kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain. Pada masa ini wilayah pekarangan dan sekitarnya berada di wilayah penguasa Cagahan, sehingga kehidupan beragama dan kebudayaan tumbuh subur di Pekarangan. Walaupun daerah Pekarangan masih dikelilingi oleh hutan yang lebat, terutama ditumbuhi oleh pohon enau dan pohon rotan yang berduri. Tetapi masih tetap dipakai sebagai daerah berburu oleh raja dan para bangsawan Bali.
Dhalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 Masehi atau 1295 Saka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dhalem Wayan, bergelar Dhalem Sri Agra Samprangan. Di awal pemerintahan Dhalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 Masehi atau 1295 Saka) terasa situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat Raja. Untuk menghindari pertengkaran, maka kedua adik Dhalem yaitu Dhalem Di-Madia dan Dhalem Ketut, memilih tinggal di luar istana. Dhalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar : Dhalem Tarukan.
Dhalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan, penduduk lalu menjuluki beliau : Dhalem Ketut Ngulesir. Selain untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan rakyat. Dhalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan.
Pada masa inilah, disekitaran tahun 1375 Masehi atau Tahun 1297 Saka, Daerah Kuwu Tukad Petanu mendapatkan perhatian yang sangat besar dari Puri Tarukan. Hal itu terjadi karena penduduk Kuwu Tukad Petanu sangat bakti terhadap Dalem Tarukan. Dalam proses pembangunan puri Tarukan sebagian besar bahan bangunan puri, terutama kayu-kayunya berasal dari Kuwu Tukad Petanu. Juga para pekerjanya kebanyakan berasal dari penduduk Kuwu Tukad Petanu. Sebagai bukti rasa bakti masyarakat dan rasa cinta Dalem Tarukan, maka kemudian parahyangan Dalem Mula, dipugar oleh Dalem Tarukan digantikan namanya menjadi Dalem Siwa. Sementara daerah Kuwu Tukad Petanu diberi nama wilayah Sama Hawu. Sama berarti yang menenangkan dan meredakan sesuatu dengan tutur kata manis, seperti yang terungkap dalam bagian Catur Upaya, atau empat cara untuk menenangkan dan menaklukan musuh, antara lain: Dhana, Bedha, Danda dan Sama. Sedangkan Hawu berarti debu yang tak terhitung jumlahnya. Karena pada masa itu daerah Pejeng masih sangat kental dengan sekte-sekte dan aliran kepercayaan yang jumlahnya sangat banyak, mempunyai tata kepercayaan dan mitos yang sudah mengakar pada masyarakat.
Semua sekte atau aliran itu mempunyai persepsi yang berbeda dalam menyembah dan menghormati leluhur serta bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Mereka membuat arca-arca pemujaan sesuai dengan karakter dari aliran mereka. Oleh Dalem Tarukan beserta para Rohaniawan yang mendampingi beliau di Puri Tarukan, dibuatlah tempat khusus untuk menyatukan aliran-aliran tersebut sesuai dengan Nama, Guna, Rupa dan SaKetuti dalam tiga unsur, para pemuja kekuatan api disatukan dalam unsur Brahma, para pemuja air disatukan dalam unsur Wisnu, para pemuja udara, alam dan Angkasa disatukan dalam unsur Iswara. Semua unsur itu beliau serap dari konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan dalam kedudukan beliau sebagai anggota Pakiran-kiran I Jero Makabehan, saat pemerintahan raja Bali sebelumnya.
Karena kecintaan masyarakat terhadap Dalem Tarukan, dan rasa percaya serta hormat kepada para Rsi Agung rohaniawan Puri Tarukan, konsep penyatuan semua unsur aliran itu bisa diterima dengan baik. Maka mulai saat itu, dibangunlah tiga buah pelinggih sebagai lambang bersatunya semua unsur kepercayaan yang ada sudah berbaur dengan konsep Brahma, Wisnu Iswara dalam padmanya masing-masing. Semua simbol aliran berupa patung dan arca, dimasukkan dan dilinggakan dalam perut padma yang berjumlah tiga, sama besar dan sama tinggi, sebagai isyarat semua aliran dengan sukacita membaurkan diri dalam tiga kerangka Padma Tiga. Selama beberapa tahun daerah Samahawu berbenah dengan konsep baru yang dipanglimai oleh para rohaniawan Puri Tarukan, mereka mengajarkan berbagai cara dan bentuk upacara yang sesuai dengan dasar sastra agama. Mereka juga diajari cara-cara bercocok tanam yang baik, menata desa dan organisasi yang semakin baik.
Sampai akhirnya, karena sebuah kesalahpahaman terjadilah perselisihan antara Dhalem Samprangan dengan Dhalem Tarukan, istana Tarukan di Pejeng diserang oleh Dulang Mangap Gelgel sampai hancur, Dhalem Tarukan kemudian mengungsi, meninggalkan istana Tarukan menuju Desa Taro kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tapuwagan, Desa Pantunan, Desa Poh Tegeh (Suter), Pedukuhan Bunga, Sekahan, Sekardadi, Panarajon, Balingkang, Sukawana, Desa Penek, Baan, Temangkung, Cerucut, dan sampai meninggal beliau di Sukadana, daerah pesisir utara Pulau Bali. Saat-saat terakhir beliau ditemani oleh pengikut setia beliau, antara lain : Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temakung, Ki Pasek Sikawan, Dukuh Bunga, Dukuh Jatituhu, dan Dukuh Pantunan.
BAB III
Desa Sembuwuk Zaman Kekinian
III.1. Logo Desa Sembuwuk dan Artinya
Arti Lambang Banjar Adat Sembuwuk
Swastika merupakan salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks sehingga hampir mustahil untuk dinyatakan sebagai kreasi atau milik sebuah bangsa atau kepercayaan tertentu.
Diyakini sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah ada sekitar 4000 tahun lalu (berdasarkan temuan pada makam di Aladja-hoyuk, Turki), berbagai variasi Swastika dapat ditemukan pada tinggalan-tinggalan arkeologis (koin, keramik, senjata, perhiasan atau pun altar keagamaan) yang tersebar pada wilayah geografis yang amat luas.Wilayah geografis tersebut mencakup Turki, Yunani, Kreta, Cyprus, Italia, Persia, Mesir, Babilonia, Mesopotamia, India, Tibet, China, Jepang, negara-negara Skandinavia dan Slavia, Jerman hingga Amerika.
Budha mengambil swastika untuk menunjukkan identitas Arya. Makna simbul Swastika adalah Catur Dharma yaitu empat macam tugas yang patut kita Dharma baktikan baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk umum (selamat, bahagia dan sejahtra) yaitu:
1. Dharma Kriya = Melaksanakan swadharma dengan tekun dan penuh rasa tanggung jawab
2. Dharma Santosa = Berusaha mencari kedamaian lahir dan bathin pada diri sendiri.
3. Dharma Jati = Tugas yang harus dilaksanakan untuk menjamin kesejahtraan dan ketenangan keluarga dan juga untuk umum
4. Dharma Putus = Melaksanakan kewajiban dengan penuh keikhlasan berkorban serta rasa tanggung jawab demi terwujudnya keadilan social bagi umat manusia.
Makna yang lebih dalam yaitu Empat Tujuan Hidup yaitu Catur Purusartha / Catur Warga: Dharma, Kama, Artha, Moksa.
1. Dharma = Kewajiban / kebenaran / hukum / Agama / Peraturan / Kodrat
2. Artha = Harta benda / Materi
3. Kama = Kesenangan / Hawa Nafsu
4. Moksa = Kebebasan yang abadi
Simbol ini, yang dikenal dengan berbagai nama seperti misalnya Tetragammadion di Yunani atau Fylfot di Inggris, menempati posisi penting dalam kepercayaan maupun kebudayaan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Troya, Hittite, Celtic serta Teutonic. Simbol ini dapat ditemukan pada kuil-kuil Hindu, Jaina dan Buddha maupun gereja-gereja Kristen (Gereja St. Sophia di Kiev, Ukrainia, Basilika St. Ambrose, Milan, serta Katedral Amiens, Prancis), mesjid-mesjid Islam ( di Ishafan, Iran dan Mesjid Taynal, Lebanon) serta sinagog Yahudi Ein Gedi di Yudea.
Swastika pernah (dan masih) mewakili hal-hal yang bersifat luhur dan sakral, terutama bagi pemeluk Hindu, Jaina, Buddha, pemeluk kepercayaan Gallic-Roman (yang altar utamanya berhiaskan petir, swastika dan roda), pemeluk kepercayaan Celtic kuna (swastika melambangkan Dewi Api Brigit), pemeluk kepercayaan Slavia kuno (swastika melambangkan Dewa Matahari Svarog) maupun bagi orang-orang Indian suku Hopi serta Navajo (yang menggunakan simbol itu dalam ritual penyembuhan). Jubah Athena serta tubuh Apollo, dewa dan dewi Yunani, juga kerap dihiasi dengan simbol tersebut.
Sembuwuk menetapkan Swastika sebagai Logo berdasarkan filosofi yang menandakan kesederhanaan dalam berbagai hal tetapi tidak mengurangi makna yang sebenarnya. Kata Swastika terdiri dari kata Su yang berarti baik, kata Asti yang berarti adalah dan akhiran Ka yang membentuk kata sifat menjadi kata benda. Sehingga lambang Swastika merupakan bentuk simbol atau gambar dari terapan kata Swastyastu (Semoga dalam keadaan baik).
Makna yang terkandung dalam simbol swastika sebagai lambang Banjar Adat Sembuwuk adalah harapan krama banjar selalu diberikan limpahan anugrah oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam melaksanakan Catur Dharma, sehingga berhasil melaksanakan Catur Purusa Arta atau Catur Dharma, sebagai tujuan utama umat Hindu.
Padma Tiga di dalam lingkaran bermakna, cikal bakal daerah Sembuwuk adalah tempat dilaksanakannya penyatuan berbagai sekte dalam tiga aliran besar, Brahma, Wisnu dan Iswara. Lingkaran diluarnya mengandung makna bahwa semua kepercayaan yang terdapat dalam berbagai aliran itu menyatu dalam sebuah lingkaran yang bermakna kosong tapi berisi, seperti keberadaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Makna yang terkandung dalam untaian rantai yang berjumlah lima bagian adalah melambangkan Panca Srada, Secara etimologi Panca Sradha berasal dari kata Panca dan Sradha. Panca berarti lima dan Sradha berarti keyakinan. Jadi Panca Sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh umat Hindu.
1. Percaya terhadap adanya Brahman
2. Percaya terhadap adanya atman
3. Percaya terhadap adanya karmaphala
4. Percaya terhadap adanya punarbhawa
5. Percaya terhadap adanya moksa
Kelima kepercayaan itulah yang mendasari setiap gerak langkah dan cara berfikir masyarakat Sembuwuk, sehingga kian memupuk rasa bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Sementara garis-gari tebal dan tipis yang seakan memancar keluar dari lingkaran bermakna, bahwa semua ajaran dari Tri Murti, Panca Srada, kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa sudah tertanam di sanubari semua warga Sembuwuk, dimanapun berada, disegala penjuru arah mata angin, bersinar dan terus menerus menjiwai setiap gerak langkah dan pikiran masyarakat.
III.2. Wilayah dan Penduduk Desa Pakraman Sembuwuk.
Denah Banjar Adat Sembuwuk, Pejeng.
Wilayah Banjar Adat Sembuwuk terletak di wilayah subur diatas tanah penuh humus, sehingga hampir semua jenis tanaman bisa tumbuh subur. Terletak di dataran sedang dengan hawa sedang membuat wilayah Sembuwuk sangat ideal untuk tempat tinggal. Sedikit agak jauh dari pusat kota Pejeng, berbatasan dengan desa Kedran disebelah barat desa, Sanding Bianbase di sebelah utara, Blusung di timur dan Umahanyar di selatan. Banjar Adat Sembuwuk berada di wilayah Desa Pakraman Belusung, Pejeng Kaja, Tampaksiring.
Dengan jumlah warga sebanyak 121 kepala keluarga, dengan jumlah karang ayahan desa sebanyak 65 karang. Terdiri dari berbagai soroh atau trah, diantaranya : Satria Taman Bali, Arya Pengalasan, Arya wang Bang Pinatih, Pungakan, Arya Simpangan, Pasek Gelgel Bendesa, Pasek Tatar, Bendesa Mas, Arya Tegeh Kori, Pasek Kayu Selem, Pande, dan trah Selonding. Mereka sudah berbaur menjadi satu kesatuan dalam Banjar Adat, bahu membahu membangun desa, baik secara fisik maupun secara spiritual. Menghidupkan rasa kebersamaan, dengan motifasi penuh makna Segilik, seguluk selunglung sebayantaka, bertujuan satu, membangun desa dengan perasaan tulus dan ikhlas.
Selama kurun waktu yang panjang itu, masih diingat oleh para tetua desa, beberapa orang pengelingsir desa yang pernah menduduki kedudukan sebagai manggala adat dan dinas, diantaranya:
Susunan Manggala adat Banjar Adat Sembuwuk, selama 9 periode kepemimpinan hingga sekarang, pada setiap periodenya:
No |
Jabatan |
Nama |
Periode |
1 |
Kelihan Adat |
: I Gusti Nyoman Alit |
|
2 |
Kelihan Adat |
: I Gusti Pradang |
|
3 |
Kelihan Adat |
: I Gusti Ketut Keramas |
|
4 |
Kelihan Adat |
: I Dewa Nyoman Sari |
(1990-1995) |
|
Wakil |
: I Made Tekeh |
|
5 |
Kelihan Adat |
: I Gusti Ketut Keramas |
(1995-1998) |
|
Wakil |
: I Gusti Made Puja |
|
6 |
Kelihan Adat Wakil Bendahara |
: I Wayan Jabud : I Wayan Gara : I Wayan Marsa, Dewa Putu Arka, I Ketut Sadra |
(1998-2003) |
7 |
Kelihan Adat Wakil Bendahara |
: I Wayan Jabud : I Ketut Partadinata : I Nyoman Tistayasa : I Ketut Partadinata |
(2003-2008) |
8 |
Kelihan Adat Sekretaris Bendahara |
: I Ketut Parthadinata : I Gusti Made Mahendra : I Made Arya Sujana : I Gusti Made Sutarja |
(2008-2012) |
8 |
Kelihan Adat Bendahara |
: I Ketut Parthadinata : I Made Arya Sujana : I Made Adiyasa |
(2012- ) |
Susunan Manggala Dinas Banjar Sembuwuk, selama 9 periode kepemimpinan hingga sekarang, pada setiap periodenya:
1 |
I Nyampuh |
2 |
I Tomblos |
3 |
I Punduh |
4 |
I Dewa Gde Raka |
5 |
I Gusti Made Puja |
6 |
I Made Sadia |
7 |
I Wayan Kertayasa |
8 |
I Wayan Kertayasa |
9 |
I Nyoman Laba |
Di wilayah Banjar Adat Sembuwuk berdiri 5 lebahan pura, diantaranya Pura Dalem Setra, Pura Dalem Siwa dan Pura Mlanting berdiri di satu areal, dengan batas tembok penyengker, Pura Dalem Setra dan Pura Dalem Siwa berdiri di bagian utama mandala, di timur jalan desa, di pusat desa. Pura Mlanting berdiri di satu wilayah, di sebelah barat Pura Dalem Setra dan Dalem Siwa, di wilayah nista mandala, masih ditimur jalan desa. Sementara Pura Prajapati terletak diujung selatan desa, di hulunya setra Banjar adat Sembuwuk, dengan pelinggih Padmasana sebagai pelinggih pokok dan Sedahan Paghulun Setra serta Balai Pengaruman.
Keterangan Gambar :
No |
Nama Pelinggih |
1 |
Padmasana |
2 |
Peliangan |
3 |
Gedong Dalem |
4 |
Ratu Ngurah Agung |
5 |
Panggungan |
6 |
Gedong Ratu Mas |
7 |
Pengaruman Alit |
8 |
Tumpang Sari |
9 |
Ratu Kaler |
10 |
Ratu Ngurah Alit |
11 |
Pengaruman Agung |
12 |
Bale Pesanekan / Genah Wastra |
13 |
Penetegan |
14 |
Pewedaan |
15 |
Gedong Tiga |
16 |
Gedong Tiga |
17 |
Gedong Tiga |
18 |
Ratu Ngurah Agung |
19 |
Panggungan |
20 |
Ratu Ngurah Agung |
21 |
Gedong Dalem Ped |
22 |
Peselang |
23 |
Pewedan |
24 |
Bale Pesanekan |
25 |
Pengaruman Alit |
26 |
Pengaruman Agung |
27 |
Sapta Petala |
28 |
Kori Agung |
29 |
Pelinggih Ongkara |
30 |
Apit Lawang |
31 |
Apit Lawang |
32 |
Panggungan |
33 |
Bale Gong |
34 |
Panggungan |
35 |
Pelinggih Ratu Gede/Margepati |
36 |
Bale Gong |
37 |
Bale Kulkul |
38 |
Candi Bentar |
39 |
Pelinggih Taru Agung |
40 |
Pelinggih Melanting |
41 |
Pengaruman |
42 |
Panggungan |
43 |
Candi |
44 |
Bale Kulkul |
45 |
Bale Banjar |
46 |
Perantenan Bale Banjar |
47 |
Perantenan Pura |
48 |
Pelinggih Taru Ancak |
Candi Pura Dalem Setra dan Dalem Siwa
Pelinggih Padma Tiga
Sebuah buku yang berjudul “Indik Kepemangkuan”, yang disusun oleh Tim Penyusun Buku-Buku Agama Hindu Pemda Tingkat I Bali, yang diterbitkan tahun 1991 menerangkan tentang berbagai hal mengenai kepemangkuan, diantaranya:
1. Pemilihan penetapan Pemangku dilaksanakan dengan empat cara, antara lain: ditetapkan berdasarkan keturunan dari pemangku sebelumnya, Melalui pemilihan, dengan prosesi Lekesan, dan dengan cara Nyanjan atau Metuwun.
2. Penggolongan Pemangku menurut swadharmanya terdiri dari 12 macam, antara lain: Pemangku Pura-pura, Sad Kahyangan, Kahyangan Tiga, Dhang Kahyangan dll. Pemangku Pemongmong atau pembantu dibidang protokoler kahyangan, Pemangku Jan Banggul atau pembantu dibidang pelayanan warga ketika upacara di pura, pemangku Cungkub atau pemangku yang bertugas di Mrajan Gede, Panti dan Paibon dengan jumlah pelinggih diatas Dasa Lingga, Pemangku Nilarta yang bertugas di Mrajan Kawitan, Pemangku Pinandita bertugas membantu Pandita yang berwenang Ngeloka Palasraya dengan batas tugas tertentu dan atas panugrahan Pandita. Pemangku Bujangga yang bertugas di pura Paibon, Pemangku Balian bertugas menjalankan ilmu pengobatan Bali atau Usada, Pemangku Dalang yang bertugas melakonkan wayang terutama menjalankan lakon Sapuleger, Pemangku Lancuban yang biasanya kerawuhan atau kodal untuk metuwun, Pemangku Tukang yang bertugas melaksanakan dan mempelajari ilmu undagi atau Wiswakarma terdiri dari Undagi, Sangging dan tukang wadah. Dan pemangku Kortenu yang bertugas mengantarkan upacara di Rajapati atau Pengulun Setra.
3. Kewenangan Pemangku ada 8 jenis, antara lain : Membuat tirta panglukatan pabersihan, Nganteb banten piodalan di Pura atau Merajan yang di-emongnya sampai batas ayaban tertentu, Nganteb banten pada upacara atau yadnya tertentu di lingkungan keluarga dengan tirta pamuput dari Pandita atau Sulinggih Dwijati, Melaksanakan semua upacara kematian sampai mapendem, Istilah yang digunakan untuk Pemangku adalah “nganteb” bukan “muput”, Membantu pelaksanaan yadnya tertentu dari Pemangku suatu Pura dengan seijinnya, Menggunakan gentha, Menggunakan mantram dan mudra tertentu bila sudah mawinten dengan ayaban bebangkit serta sudah mendapat bimbingan dari Pandita.
4. Tugas Dan Kewajiban Pemangku ada 3 jenis, antara lain : Mengantarkan upacara yang diselenggarakan di Pura atau Merajannya, Menuntun warganya dalam pendalaman Dharma (Dharma sesana), Menjaga kebersihan dan kesucian Pura atau Merajan.
5. Beberapa penghargaan biasa diberikan oleh masyarakat desa terhadap seseorang yang berkedudukan sebagai pemangku, antara lain: Bebas dari ayahan Desa, menerima sesari atau bagian dari sesari dan menerima hasil Pelaba Pura apabila ada.
6. Disiplin Kehidupan Pemangku yang patut dilaksanakan oleh Pemangku antara lain : Menjaga kebersihan (lahiriah) dan kesucian diri (batiniah) dengan cara setiap pagi mapeningan, Berpakaian sesuai dengan sesana kepemangkuan, Mempunyai perlengkapan pemujaan: sebuah dulang di atasnya ada: gentha, tempat dupa, pasepan, sangku, sesirat dari daun lalang, caratan tempat air bersih, botol tetabuhan, canting, dan bunga. Sebuah kekasang, dan sebuah ganitri.
7. Aturan kecuntakaan bagi Pemangku: Tidak kena cuntaka karena orang lain, Terkena cuntaka bila ada anggota keluarga yang serumah meninggal dunia, Pemangku istri terkena cuntaka bila haid, Bila kawin/ menikah harus masepuh (mawinten ulang) dengan tingkat ayaban yang sama seperti sebelumnya, bersama-sama istrinya, Pemangku yang dihukum karena tindak pidana (kriminal) diberhentikan sebagai pemangku oleh warganya, Jenazah Pemangku tidak boleh dipendem.
8. Tindakan Pemangku yang masuk dalam katagori cemer : memikul, nyuun sesuatu yang tidak patut, nganggur di warung, metajen atau berjudi, mabuk-mabukan, melanggar Trikaya Parisuda, anayub cor, minum atau makan di rumah orang yang kena cuntaka, mengusung mayat, di-”ungkulin” orang yang memikul mayat atau orang yang nyuun tirta pangentas, memikul bajak, menarik sapi, menginjak tahi sapi, membuang hajat di air, mewarih di abu / api / air, makan makanan yang tidak patut, dan tidur sekamar dengan istri yang haid.
Dalam perjalanan usaha pendekatan diri masyarakat Sembuwuk kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tercatat beberapa nama warga yang pernah ngayah sebagai pemangku, antara lain:
1. Kak Rugeh
2. I Gusti Ketut Kerebes / Kebon
3. I Made Sudana
4. I Nyoman Puji
5. DRS, I Dewa Nyomn Rai Marjana (Mangku Dalem setra)
6. I Ketut Supadmawinata (Mangku Dalem Siwa)
7. I Nyoman Mertha (Mangku Prajepati)
Dalam uasaha menyiapkan semua jenis upakara pada acara Panca Yadnya, di Banjar Adat Sembuwuk diangkat beberapa orang warga sebagai Serati atau Tukang Banten, antara lain:
1. Dewa Ayu Raka,
2. Ni Nyoman Pundut,
3. Ni Made Tempil,
4. Ni Made Maharini,
5. Ni Wayan Muliati,
6. Ni Made Masih,
7. Gusti Putu Tirta,
8. Ni Nyoman Puri,
9. Ni Wayan Muglen,
10. Ni Nyoman Kerti,
11. Ni Nyoman Soka,
12. Ni Ketut Mariani,
13. Gusti Ketut Ariani,
14. Jero Suni,
15. Gusti Biang Tut,
16. Ni Wayan Patra.
Untuk urusan Piranti upakara dan wewalen, Banjar Adat sembuwuk memiliki Sekeha gong yang berjumlah 35 orang, diketuai oleh kelihan Sekeha Gong, I Gusti Ketut Rai, dibantu oleh wakilnya yang bernama I Wayan Sudarma. Dalam wali-wali di pura atau upacara-upacara lain yang bersifat besar juga diikut sertakan gambelan kuno Gambang dengan sekeha berjumlah 5 orang, diketuai oleh I Nyoman Suka. Dalam Bidang ekonomi, Banjar Adat Sembuwuk membangun satu bentuk usaha berbentuk Koperasi yang dipimpin oleh I Made Sutama sebagai Ketua.
Keamanan Swakarsa Banjar adat berada di bawah kendali Pecalang Banjar Adat Sembuwuk, yang mempunyai anggota sebanyak 7 orang, dengan Kelihan Pecalang I Dewa Putu Raka Brata. Para yowana atau muda-mudi di banjar adat Sembuwuk membentuk sebuah organisasi dengan nama Sekeha Teruna-teruni banjar adat Sembuwuk dengan ketua I Kadek Arta, wakil, I Kadek Artawan, bendahara Ni Putu Sri Andari. Dan organisasi PKK di banjar adat Sembuwuk mempunyai anggota sebanyak 121 orang, sesuai dengan jumlah ayah krama banjar adat, karena setiap krama yang sudah berumah tangga diwajibkan bagi yang perempuan untuk ikut bergabung dalam oraganisasi PKK. Organisasi PKK banjar adat Sembuwuk dipimpin oleh Ni Ketut Tangen sebagai ketua, dan Ni Ketut Mustini sebagai Bendahara.
Organisasi lain yang ada di banjar adat Sembuwuk adalah Subak, organisasi pengairan ini berjumlah 4 subak, antara lain: Subak Damuh, Kutuh, Gelogor dan Subak Karang Ilang. Dengan jumlah Beji 3 buah antara lain:
1. Beji Kutat, terletak di sebelah barat pura Dalem, sebagai Pesiraman Pura Dalem, dengan jumlah pancuran 5 kecoran, 4 sebagai pancuran biasa dan 1 pancuran yang disucikan sebagai pesiraman.
2. Beji Pule : 1 pancuran sebagai Pesiraman gunung sari.
3. Beji Uma Damuh: 1 pancuran biasa dipakai untuk memohon Toya Ngening pada saat upacara atiwa-tiwa.
BAB IV
Upaya Krama Desa
Menjaga Kekuatan Spiritual Desa Sembuwuk
IV.1. Ngodakin Tapakan Ratu Gede, Tapakan Rangda, Pretima dan Piranti Upakara lain.
Menghayati latar belakang perjalanan sejarah Desa Sembuwuk yang panjang, dimana dalam perjalanan itu benih-benih persatuan dan kesatuan sudah tertanam disanubari masyarakat Sembuwuk, berusaha bahu membahu membangun desa dengan berbagai cara,
Pretima yang melinggih di kahyangan banjar adat Sembuwuk
antara lain, membagun dan memperbaiki pelinggih, memperbaiki prelingga dan arcana widhi baik yang berbentuk pretima, Pusaka dan lain-lain.
Tapakan Ratu Mas Ayu
Tapakan Ratu Gede Tamansari (Kiri), Tapakan Ratu Mas Buncing (Kanan)
Ngodakin pretima-pretima yang berlingga di kahyangan banjar adat Sembuwuk sudah dilaksanakan mulai tahun 2003, prosesi ngodakin tapakan Barong Ket (Ratu Mas Ayu) dilaksanakan di tahun 2005. Ngodakin Ratu Mas dilaksanakan mulai tanggal 14 Agustus 2013 selesai tanggal 15 Oktober 2013 yang kemudian di pelaspas dan dipasupati oleh Ida Pedanda Giriya Babakan.
Juga proses ngodakin Tapakan Rangda Ratu Gede Tamansari (Hitam) dan Tapakan Rangda Ratu Mas Buncing (Putih) dilaksanakan pada kisaran tahun 2005. Pembuatan 2 buah Arug dilakukan pada kisaran tahun 2003.
Sepasang Arug
IV.2. Membangun Dan Memperbaiki Pelinggih.
Kebersamaan warga banjar adat Sembuwuk dalam membangun serta memperbaiki parahyangan desa pakraman sudah dimulai dari bulan Agustus di tahun 1999, sampai saat ini. Terbukti dengan berdirinya, Pura Dalem Setra, Pura Dalem Siwa, Pura Mlanting, Pura Prajapati dan Pura Beji.
Peran serta warga dalam perbaikan pelinggih
Dengan semangat kebersamaan didasari oleh ketulusan ngaturan ayah, maka kelima pura kayangan tersebut selesai sesuai dengan target. Hal itu bisa terlaksana berkat anugrah Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan segala Manifestasi beliau yang melingga melinggih di banjar adat Sembuwuk, Keinginan dan ketulusan masyarakat, sumbangan dari pemerintah kabupaten Gianyar dan Provinsi Bali, juga sokongan serta petunjuk dari Puri Agung Ubud yang tidak pernah jemu memberikan tuntunan serta bantuan demi tercapainya cita-cita warga banjar adat Sembuwuk.
Renovasi Pelinggih Pura Dalem Setra selesai pada Sukra Wage Uye, tanggal 15 Juni 2013, sementara renovasi Pura Melanting dan Bale Kulkul Banjar selesai dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 2013.
IV.3. Upaya Penelusuran Purana.
Keinginan dari krama banjar adat Sembuwuk untuk meningkatkan srada bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan semua prebhawa beliau yang berlingga di banjar adat Sembuwuk,
Tim Penyusun Purana Jagat Sembuwuk
juga keinginan yang sangat keras untuk mengetahui cikal bakal berdirinya banjar adat Sembuwuk dan harapan krama banjar menyiapkan bekal kepada generasi berikutnya, maka krama banjar membentuk panitia penelusur sejarah purana banjar Adat Sembuwuk, bersama-sama dengan team penelusur purana dari Yayasan Dharma Kawisastra, berusaha membongkar sejarah berdirinya banjar dari jaman Bali Kuno hingga jaman kekinian.
Prosesi Ngatur Uning Tim penyusun Purana Jagat Sembuwuk
Tujuan utama dari penelusuran ini adalah berusaha menggali dari berbagai sumber yang menceritakan tentang perjalanan banjar Sembuwuk, terutama keberadaan kahyangan-kahyangan yang sudah diwariskan dari dahulu, menyusun satu bentuk buku, yang mengulas keberadaan banjar adat Sembuwuk, masa lampau dan masa sekarang, juga harapan dan pesan kepada generasi selanjutnya.
IV.4. Persiapan Nangun Yadnya
Di dalam persiapan Nangun Yadnya Agung yang akan datang Krama banjar adat Sembuwuk sepakat melaksanakan berbagai Yasa Kerti, dengan mengutamakan perbuatan, perkataan dan pemikiran yang penuh dengan kesucian. Yasa Kerti dalam hal perbuatan yang baik dituangkan dalam butir sebagai berikut :
1. Semua warga banjar adat agar selalu memakai pakaian adat yang pantas, juga diwajibkan memakai ikat kepala, baik laki-laki maupun wanita.
2. Bagi Krama Banjar yang mempunyai cacat kelahiran diharapkan tidak ikut dalam ayah-ayah nanding upakara Suci, Catur dan upakara lain yang dihaturkan di Sanggar, untuk menghaturkan ayah-ayah yang lain dan muspa tidak ada larangan.
3. Yang dianggap Cuntaka menurut sastra agama adalah warga yang kumpul kebo, anak yang lahir tanpa orang tua yang syah dan yang lainnya dilarang memasuki wilayah Pura.
4. Semua perbuatan yang disengaja bertujuan untuk menggagalkan rangkaian upacara agar dijauhkan.
5. Apabila ada Kematian di salah satu anggota keluarga Krama Banjar, terhitung mulai dari dilaksanakannya upacara Pengalang Sasih sampai selesai Dudonan Karya Agung, agar melaksanakan kegiatan tersebut tanpa suara kentongan.
6. Apabila yang meninggal tidak akan boleh dipendam, seperti Sulinggih, Pemangku agar dititip dahulu (Tidak diupacara).
7. Apabila kematian yang boleh dipendem, agar prosesi dilaksanakan setelah matahari tenggelam dengan upacara seperti biasa.
8. Bagi Krama yang mengikuti prosesi upacara Kelayu Sekaran dianggap Cuntaka. Cuntaka satu rumah dihitung sampai selesai, sesudah 12 hari.
9. Penumbak Pengapit terkena cuntaka selama 3 hari. Para Juru Desa dan Dinas tidak terkena cuntaka, agar tidak ikut dalam prosesi pemakaman.
10. Apabila ada Krama banjar yang melahirkan terkena cuntaka 42 hari bagi yang wanita dan bagi yang laki-laki terkena cuntaka sampai kepus puser bayi.
11. Apabila ada salah satu krama yang keguguran, kena cuntaka selama 42 hari, laki atau perempuan.
Demikian ketentuan Yasa Kerti yang disepakati oleh Krama banjar adat Sembuwuk dalam rangka menyambut Karya Agung Mamungkah, Tawur Pedanan, Penyegjeg Jagat, Ngenteg Linggih, Padudusan Agung di Pura Dalem setra dan pura Dalem Siwa pada hari Jumat Wage Uye, tanggal 10 Januari 2014.
BAB V
Yadnya Sembuwuk
V.1. Hakekat Yadnya
Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta, kata “Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci. Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian tanpa pamrih.
Dalam Atharwa Weda XVII.3 dinyatakan bentuk Yadnya yang paling tinggi adalah pengorbanan lahir batin. Maka dari itu semangat patriotisme yang diajarkan dalam Bhagawadgita, Mahabharata, Ramayana sangat tepat ksatria yang ber-Yadnya di medan perang. Maknanya sebagai pembela tanah air, menegakkan kebenaran dan keadilan.
Jadi berdasarkan uraian tersebut, Yadnya sebagai amalan agama mengandung pengertian: Merupakan sistem persembahyangan dalam kontak memuja Tuhan YanMahaEsa. Sebagai prinsip berkorban agar umat bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban itu sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup menuju hidup bahagia.
Bukankah akibat Tuhan berbuat Yadnya itu menimbulkan Rnam yang berarti hutang.Kemudian agar tercipta hukum keseimbangan, maka Rnam itu harus dibayarkan dengan Yadnya. Demikian adanya atas dasar Tri Rna.
Dibayar dengan Panca Yadnya yakni:
1. Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan dibayar dengan Bhuta Yadnya.
2. Rsi Rna dibayarkan dengan Rsi Yadnya.
3. Pitra Rna dibayar dengan Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya.
Memang konsep agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya keseimbangan, berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia. Untuk umat Hindu yang diidam-idamkan adalah terwujudnya keseimbangan antar manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Yang dikenal dengan Tri Hitha Karana. Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan.
Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu: Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya dan Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang dituju, Yadnya ini disebut Panca Maha Yadnya. Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaan dalam Bisma Parwa dijelaskan:
1. Drewaya Yadnya, adalah Yadnya yang mempergunakan harta milik sebagai sarana korban. selanjutnya Tapa Yadnya, adalah Yadnya dengan melaksanakan tapa, yaitu tahan uji tahan derita sebagai sarana berkorban.
2. Jnana Yadnya, adalah Yadnya dengan menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, memberikan pandangan-pandangan, atau buah pikiran yang berguna, sebagai sarana korban.
3. Yoga Yadnya, adalah Yadnya dengan pengamalan yoga, yaitu menghubungkan diri pada Sang Hyang Widhi melalui jenjangan-jenjangan yoga. Bahkan sampai dengan tingkat tertinggi yakni semadhi, sebagai sarana berkorban.
4. Swadyaya Yadnya, adalah Yadnya dengan mengorbankan diri demi kepentingan Dharma. Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan, mereka mengorban kan diri demi sebuah kemerdekaan. Ini juga disebut Yadnya.
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan obyek yang dituju. Dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70. tersurat:
“Adhyapanam brahma Yajnah,Pitr yajnastu tarpanam, homo daivo balirbhauto,nryajno ‘tithi pujanam.”
Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan Panca Yadnya sebagai berikut:
1. Dewa Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan untuk para Dewa. Asal kata Dewa berasal dari bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang oleh umat Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi Wasa.
2. Rsi Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan kepada brahmana atau para Rsi.Rsi artinya orang suci sebagai rokhaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di Bali.
3. Pitra Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan pada leluhur. Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal.
4. Bhuta Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan kepada para Bhuta Kala. Bhuta artinya unsur-unsur alam.
5. Manusa Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan pada manusia. Manusa artinya manusia.
Selanjutnya dalam Manawa Dharmasastra III.72. bahwa’
“devatatithi bhrtyanam,pitrnamatmanasca yah, Na nirvapati pancanam,ucchvasanna sa jivati”.
Yang diartikan
”tetapi ia yang tidak memberikan persembahan kepada kelima macam tadi yaitu para dewa, para tamunya, mereka yang harus dipelihara, para leluhur dan ia sendiri, pada hakekatnya tidak hidup walaupun bernafas”
Bhagawadgitha III.4. menyebutkan
“ na karmanam anarambhan,Naiskarmyam puruso snute Na ca sannyasanad eva, Siddhim samadhigacchati”
Yang artinya
“Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak hanya dengan melepaskan diri dari pekerjaan orang akan mencapai kesempurnaannya”.
Dalam hal tersebut bahwa karya Memungkah yang dilakukan oleh krama desa Sembuwuk pada tanggal tersebut merupakan wujud sradha Bakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa. Dimana seluruh komponen masyarakat ikut andil dalam pelaksanaannya. Karena sesungguhnyalah alam telah memberikan kepada kita semua untuk kita pelihara sehingga keselarasan akan terpelihara.
V.2.Dasar Yadnya
Setiap pelaksanaan Yadnya yang dilakukan oleh masyarakat Bali pada umumnya, memiliki dasar yang sangat kuat yang berdasarkan pada sastra agama.
Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa
“Alam ini ada berdasarkan yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan yadnya Dewa memelihara manusia & dengan yadnya manusia memelihara Dewa”.
Ini berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta beserta isinya ini adalah adanya yadnya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Maha Purusa.
Bhagavadgita III.11. menyatakan bahwa :
”para dewa akan memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan, karena itu manusia yang mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan yadnya pada hakekatnya dia adalah pencuri”.
Juga dijelaskan dalam Bhagavadgitha III.14. bahwa;
”Dari makanan, makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya lahir dari pekerjaan.
Sehingga dari keseluruhan perbuatan atau pekerjaan tersebut, lahirlah panca yadnya. Karena keterikatan dan timbal balik yang terjadi maka adanya hutang yang harus dibayar, sehingga manusia yang terlahir kedunia sudah berbekal hutang yang harus dibayar kepada orang tuanya, dan sebagainya. Maka adanya hutang tersebut yang disebut dengan Tri Rna. Hal ini termuat dalam kitab Manawa dharma sastra VI.35 yang menyebutkan bahwa :
“Pikiran (manah) yang ada dalam diri kita masing-masing baru dapat diarahkan pada kelepasan setelah melunasi 3 hutang yang kita miliki”.
Jadi sebelum kita dapat melunasi hutang-hutang itu, kita tidak akan mencapai tujuan akhir agama Hindu yang disebut Moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
V.3.Tujuan Yadnya
Bhagavadgita III.10.
“Saha yajnah prajah srstva, purovacha prajapatih, Anena prasavishdhvam, esa vo stv isha kamadhuk”
Artinya:
Pada zaman dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan manusia dengan Yadnya dan bersabda. Dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamanduk (Sapi dari Indra yang dapat memenuhi semua dari keinginan).
Dari sloka di atas dapat kita lihat secara jelas, bahwa kita melaksanakan Yadnya atas dasar Tuhan mengawali menciptakan dunia beserta isinya berdasarkan Yadnya itu diteruskan agar kehidupan di dunia ini berlanjut terus dengan saling beryadnya.
Bukankah akibat dari Tuhan berbuat Yadnya itu menimbulkan Rnam (hutang). Kemudian agar tercipta hokum keseimbangan, maka rnam itu harus dibayar dengan Yadnya (Tri Rna). Tri Rna ini dalam kehidupan sehari-hari dapat dibayar dengan melaksanakan Panca Yadnya. Dimana Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan dibayar dengan Bhuta Yadnya, kemudian Rsi Rna dibayar dengan Rsi Yadnya, dan yang terakhir yaitu Pitra Rna dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
Berkaitan dengan itu, dalam Bhagawadgita III.12 menyebutkan:
“Ishtan bhogan hi vo deva, donsyante yajna bhavitah, tair dattan apradayaibhyo, yo bhunKetute stena eva sah”
Artinya:
Dipelihara oleh Yadnya Para Dewa, akan memberikan kamu kesenangan yang kamu inginkan. Ia yang menikmati pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepadanya adalah pencuri.
Selanjutnya seloka Bhagawadgita III.13 menyebutkan:
“yajna sistahsinah santo, mucyante sarva kilbisaih, bhunjate te tv agham papa, ye pacanty atma karanat”
Artinya:
Orang yang baik, makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan kepentingannya sendiri, mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
V.4. Karya Memungkah, Tawur Pedanan, Penyejeg Jagat, Ngenteg Linggih, Pedudusan Agung,
Pelaksanaan upacara yang dilaksanakan di Desa Sembuwuk ini tidak lepas dari keinginan untuk mendekatkan diri kepada kesempurnaan yang diemplementasikan kedalam bentuk Yadnya. Berusaha untuk memberikan apa yang alam berikan kepaqda kita. Sehingga konsep Tri Hita Karana dapat diterapkan. Karena dalam Bhagawadgitha X.8. dinyatakan bahwa:
“Aku adalah sumber segala dunia rohani dan dunia material.segala sesuatu berasal dari-Ku,orang bijaksana yang mengetahui kenyataan ini secara sempurna menekuni bhakti kepada-Ku dan menyembah-Ku dengan sepenuh hati “
Selanjutnya Bhagawadgitha X.10. bahwa
“Pada mereka yang selalu setia dan menyembah Aku dengan kecintaan, Aku Berikan kekuatan pengertian (Budi Yoga), yang memungkinkan mereka datang pada-Ku”
Perpedoman dari sloka tersebut tidaklah berlebihan kalau upacara ini diselenggarakan dengan penuh kesadaran dan keiklasan, sehingga yadnya ini sukses. Dalam Bhagawadgitha III.15. bahwa
“Ketahuilah asal mulanya “karma” didalam weda dan Brahma muncul dari yang abadi. Dari itu Brahma yang meliputi semuanya selalu berpusat di sekeliling yadnya”.
V.6. Ehedan Karya
Sebagai tuntunan ataupun gambaran jalannya upacara yang diselenggarakan di Desa Sembuwuk, ada baiknya diketahui bersama makna dan arti dari rangkaian upacara,adalah sebagai berikut;
V.6.1. Matur Piuning.
Upacara Matur Piuning yang sedianya dilaksanakan pada hari jumat, 4 OKetutober 2013,di Pura Kahyangan Nyukat Genah,yang bertujuan untuk memberi batas secara niskala antara parahyangan dengan Tri Mandala serta memohon kehadapan Ida Shang Hyang Widi, agar Karya yang akan dilaksanakan mendapat restu dan diberikan kemudahan, tuntunan serta semuanya berjalan sesuai dengan harapan masyarakat Sembuwuk khususnya dan Bali umumnya.
V.6.2. Nanceb Karya.
Acara Nanceb Karya, bertujuan untuk mengawali upacara besar berikutnya yang dilaksanakan pada hari, Sabtu, 5 OKetutober 2013.
V.6.3. Mendak Tirta dan Negtegan.
Mendak Tirta dilaksanakan Jumat, 8 Nopember 2013. Diantaranya Tirta Empul, Tirta Selukat, Tirta Segara dan Tirta Sidha Karya di Badung, yang dilakukan oleh para tutus atau perwakilan Desa. Juga dilaksanakan Mendak Tirta ke luar Bali seperti ke Gunung Raung, Gunung Semeru, Gunung Bromo. selain itu juga mendak tirta di kahyangan di Bali diantaranya, Pura Besakih, Pura Batur, Pura Jati, Pura Lempuyang, Pura Andakasa, Pura Batu Karu, yang dilaksanakan, Kamis 2 Januari 2014. Sebelumnya dilaksanakan prosesi Negtegan pada hari Minggu, 10 Nopember 2013, yang dilanjutkan dengan Nyangling, Ngadegan Tapini, Guru Dadi, Rare Angon, Pengemit Karya, Yasa Kerti, Nyengker atau Marisudha Setra. Yang diselenggarakan di Pura Dalem dan Setra Sembuwuk.
V.6.4. Caru Rsi Ghana, Mlaspas dan Mendem Pedagingan.
Upacara Mlaspas, mecaru Rsi Ghana dan Mendem Pedagingan dilaksanakan pada hari Rabu, 1 Januari 2014. Semua prosesi ini diselenggarakan di Pura Dalem Sembuwuk, di Uttama Mandala, di Madya Mandala dan Nista Mandala. dengan diiringi oleh berbagai “Balih-balihan” seperti Rejang, Baris, Wayang dan Topeng.
V.3.5. Melasti.
Upacara Melasti dilakukan pada hari Senin, 6 Januari 2014. Prosesi ini dilakukan di Segara yang diyakini dapat menghilangkan berbagai Mala atau segala kekotoran yang ada di Bhuana Alit dan Bhuana Agung, sebelum dilakukan Upacara puncak nantinya. Melasti beasal dari dua kata, Mala berarti kotoran atau noda dan Asti, berarti dibuang atau dihanyutkan. Dilanjutkan dengan memohon Tirta Kamandalu yang membawa, kesucian, kebaikan, kemakmuran dan kejayaan atau umur panjang.
V.3.6. Mepada dan Tawur Pedanan.
Runtutan Upacara ini merupakan sub upacara pokok sebelum acara puncak, yang dilaksanakan hari Selasa, 7 Januari 2014, di tempat Tawur dan diteruskan dengan acara Mlaspas dan Mendak Bagia di Pura Desa Belusung, selanjutnya dilaksanakan Tawur Pedanan di Pura Dalem Sembuwuk, pada hari Rabu, 8 Januari 2014, yang “dipuput” oleh Peranda Siwa-Budha. Keesokkan harinya, Kamis, 9 Januari 2014, dilaksanakan Mepada Agung dan Mempen Banten, untuk persiapan upacara puncak.
V.3.7. Puncak Karya.
Karya Memungkah, Tawur Pedanan, Penyejeg Jagat, Ngenteg Linggih, Pedudusan Agung, Pura Dalem Setra atau Siwa, di Banjar Adat Sembuwuk, Desa Pekraman Belusung, Desa Pejeng Kaja, Kecamatan Tampaksiring, Sukra Wage, 10 Januari 2014, Upakara lengkap di Sanggar Tawang, di sor Sanggar Tawang, di seluruh Pelinggih, di Panggungan, di Lantaran, di Pedanan, hari ini adalah puncak acara dari sekian banyak prosesi yang dipersiapkan. Setelah prosesi upacara ini kemudian dilanjutkan dengan ehedan upacara lain seperti : Nganyarin, Nglemekin, Bangun Ayu, Makebat Daun, Rsi Bhujana, Nyenuk, Nyineb, Nuek Bagia, Nyegara Gunung. Dan semua rangkaian upacara diatas kemudian ditutup dengan upacara satu bulan tujuh hari. Dengan demikian berakhirlah ehedan upacara diatas, selesai sudah seluruh prosesi Ehedan Karya Memungkah, Tawur Pedanan, Penyejeg Jagat, Ngenteg Linggih, Pedudusan Agung, Pura Dalem Setra / Siwa, di Banjar Adat Sembuwuk, Desa Pekraman Belusung, Desa Pejeng Kaja, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar-Bali.
BAB VI
Penutup
Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu lewat berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugrah Beliau, memuja dan mensucikan Pelinggih Arcana Widhi, membangun dan memperbaiki Pelinggih Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial religius masyarakat setempat, adalah sebagian kecil bentuk Sradha Bakti terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat kesadaran yang maha tinggi bahwa segala sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah berkat ciptaanNya, berkat pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai kekuasaan melebur. Konsep-konsep tersebut sudah terpatri dalam jiwa setiap masyarakat Hindu di Bali.
Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya merupakan salah satu jalan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan alam lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruhan bagian dari konsep Tri Hita Karana tersebut dipakai sebagai dasar kehidupan di Desa Pakraman. Hal ini diperkuat dengan adanya Kahyangan Puseh, Dalem dan Bale Agung atau Kayangan Tiga. Wilayah Desa Pakraman juga dibagi menjadi tiga wilayah, atau Tri Mandala, yaitu Uttama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala.
Wilayah Desa Pakraman bagian Uttama Mandalanya terdiri dari Kahyangan Tiga sebagai wilayah yang disakralkan oleh penduduk, dipakai sebagai tempat melaksanakan prosesi upacara keagamaan. Madya Mandala adalah wilayah pemukiman, yaitu wilayah yang berada diantara sakral dan profan, karena menjadi tempat penduduk atau masyarakat beraktivitas rumah tangga. Nista Mandala adalah wilayah Pekarangan, Sawah, Teba dan sebagainya, merupakan wilayah profan tempat masyarakat melakukan aktivitas pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya.
Desa Pakraman sebagai suatu kesatuan wilayah Parahyangan, Pawongan dan Palemahan, merupakan wadah pelaksanaan Agama Hindu Bali dan perkembangan berbagai kebudayaan Bali, serta berperanan aktif sebagai penyaring bagi masuknya kebudayaan asing. Oleh karena Desa Pakraman adalah merupakan satu kesatuan adat, yang di dalamnya mengatur sekelompok masyarakat adat, maka dibuatlah aturan adat yang disebut dengan nama Awig-awig Desa. Pada dasarnya Awig-awig Desa Pakraman mengatur tiga hal utama, yaitu Sukerthaning Parahyangan, Sukerthaning Pawongan dan Sukerthaning Palemahan.
Dengan demikian sangat jelas bahwa Desa Pakraman bertujuan utama mewujudkan kebahagiaan krama desa dengan melaksanakan aturan-aturan yang bersifat baik (Sukertha) terkait dengan pelaksanaan keagamaan, kemasyarakatan dan lingkungan. Dalam Desa Pakraman ada Banjar. Di Setiap Banjar ada pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Bhatara Panyarikan. Tujuan pemujaan tersebut agar umat di Banjar tersebut memiliki moral dan mental agar dapat menempuh perjalanan hidup sesuai dengan tahapan hidup dan Brahmacari Asrama menuju Ghrehasta dan Wanaprastha Asrama.Tujuan utama Desa Pakraman dengan Banjar adalah untuk mengamalkan ajaran Hindu yaitu ajaran Catur Asrama, ajaran Tri Kona dan ajaran Tri Guna.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Payangan, 1 Januari 2014
Susunan Panitia
Karya Memungkah, Tawur Pedanan, Penyejeg Jagat, Ngenteg Linggih, Pedudusan Agung, Pura Dalem Setra atau Siwa,
di Banjar Adat Sembuwuk, Desa Pekraman Belusung, Desa Pejeng Kaja, Kecamatan Tampaksiring,
Sukra Wage, 10 Januari 2014
NO |
BIDANG |
NAMA |
1 |
Yajamana Karya |
Ida Pedanda Grya Aan |
2 |
Tapini karya |
Ida Pedanda Istri Ketewel |
3 |
Pengerajeg Karya |
Tjokorda Raka Kertiyasa |
4 |
Penasehat karya |
1.Tjokorda Gde Putra Sukawati 2.I Nyoman Tistayasa 3.I Ketut Sadra 4. I Made Sadia |
5 |
Manggala Karya |
I Ketut Parthadinata |
6 |
Pawartaka Karya |
Ketua Umum : I Wayan Kertayasa Ketua Satu : I Gusti Made Puja Wakil Ketua : I Gusti Putu Lendra |
7 |
Penyarikan |
1, I Made Yama Agus Sutarsa 2, I Gusti Putu Raka |
8 |
Petegen |
1, Kadek Suteja 2, I Gusti Made Mahendra |
9 |
Seksi Upakara |
1, I Wayan Jabud 2, I Made Tekeh |
10 |
Seksi Sulinggih |
I Nyoman Suteja SH I Gusti Nyoman Mangku Rai |
11 |
Seksi Ebat / Olahan |
1, I Wayan Gara 2, I Gusti Made Rai 3, I Made Puji 4, Kadek Sugiana 5, I Wayan Bakat 6, I Wayan Dena |
12 |
Seksi Penggalian Dana |
1, I Ketut Sudiartha 2, Ngakan Putu Weda |
13 |
Seksi Transportasi |
I Gusti Made Sutarja I Gusti Made Mertha I Made Suteja |
14 |
Seksi Kesenian & Tamu |
I Made Sutama I Wayan Sudarma I Gusti Ketut Rai |
15 |
Seksi Konsumsi |
A A Gde Ngurah, I Nyoman Karnata I Dewa Putu Arka I Gusti Putu Merta Anggota PKK Sembuwuk |
16 |
Seksi Belanja/ Pengadaan |
I Made Arka I Wayan Daging I Wayan Jendra
|
17 |
Seksi Bangunan Upakara |
I Gusti Made Oka I Nyoman Suka I Ketut Rewed I Wayan Kari |
18 |
Seksi Listrik lan Docomentry |
Dewa Ketut Suasta I Gusti Made Arimurtiyasa |
19 |
Seksi Keamanan |
Kelihan Pecalang Anggota Pecalang Banjar Adat Sembuwuk |
Daftar Pustaka
· Raja Purana Besakih
· Raja Purana Ulundanu Batur
· De Stamboom van Erlangga. oleh F.D.K. Bosch : 1950
· Stein Callenfels : Sriwijaya
· Catatan L.C. Damais
· Lontar Bali Tattwa
· Babad Bali. Kirtya No 6776/Va
· Markandya Purana
· Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandya
· Ubud The Spirit of Bali, Hermawan Kertajaya
· Babad Buleleng
· Babad Arya Jelantik
· Custodians of The Sacred Mountains. Thomas A Router.
· Babad Pulasari
· A Balinese Dynastic The Hague Martinus Nijhoff oleh P.J. Worsley Th 1972
· Kamus Jawa Kuno P.J.Zoetmulder
· Kamus Bali I Gusti Made Sutjaja
· Babad Dhalem Koleksi : I Dewa Gde Puja. Alamat : Jero Kanginan, Sidemen, Karangasem.
· Babad Dhalem milik Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, editor Drs. I Wayan Warna dkk, tahun 1986. Lontar bertahun 1840, tulisan Ida Bagus Nyoman, Giriya Pidada.
· Babad Dhalem, druwen Ida Tjokorda Gede Agung, Puri Kaleran Sukawati, tahun 1981.
· Babad Pasek, diterjemahkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa, tahun 1956.
· Babad Brahmana Siwa, Milik Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, bertahun 1858 Masehi.
· Babad Mengwi Buleleng, no./kode : Va.1135/10, Gedong Kirtya Singaraja. Koleksi : Ida Anak Agung Negara Buleleng.
· Tim Peneliti Sejarah dan Babad Bali, Th. 2012 Analisis Pengkajian Sejarah dan Babad Abad XVII-XX,
· Ringkasan Sejarah Bali Abad XVI-XX no.kode PS.180/GGP/V/2002. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Babad Arya Sentong, no. kode PB.20/ GGP /V/ 2005. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Rsi Markandya dan Mpu Kuturan, no.kode PS.08/GGP/II/2005.Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Babad Bangli, no.kode PB.108/GGP/III/2005. . Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Babad I Gusti Agung Maruti, no.kode PB.14/GGP/VIII/2008. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Wawancara dengan Para Pengelingsir banjar adat Sembuwuk,
· Penelitian Dr. W.F. Stutterheim Boda en Sogatha in Bali.
· Epigraphia Balica yang disusun oleh Dr. Van Stein Callenfels.
· Bali Tempo Dulu, Adrian Vickerrs.
· Pulau Bali Temuan yang menakjubkan, Miguel Cavarrubias.
· Kamus Jawa Kuno, P.J Zoetmulder dan S.O Robson.
· Lontar Gong Besi. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Lontar Kramaning Anangun Yadnya. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Lontar Widhi Sastra Dang Hyang Dwijendra. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Lontar Widhi Sastra Dharma Yogi. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Kamus Kawi Bali. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Bhagawadgita. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Sarasamuscaya. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Atharwa Weda. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
· Dll.
Foto Dokumentasi