DHARMA WARNANA
PURA ULUNSWI
APUAN, SUSUT, BANGLI
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti mukti hitartwatam, prawaksyā tattwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanam, sirā ghranā stityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyam loka. Om nama dewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Ong kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah akam, janowa papā wināsayā, dirgha pramanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugerahaneng hulun, muncaranākna ikang tattwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, katkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagadhitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Sembah pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Ongkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugerahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bhuwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa pataka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugerahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
BAB I
PENDAHULUAN
Buku Dharma Warnana Pura Ulunswi Apuan disusun karena dorongan yang sangat kuat guna melakukan pencatatan tentang keberadaan Desa Adat Apuan, Subak Gede Apuan dan Subak Gede Bekutel serta Pura Ulunswi Apuan dari jaman ke jaman serta berbagai usaha masyarakat Gebog 300 menjaga kekuatan spiritual Pura Ulunswi Apuan. Dharma Warnana, berasal dari kata Dharma yang berarti Kebenaran, Warna yang berarti fungsi utama dan Hana yang artinya Keberadaan atau Sejarah. Bila digabungkan menjadi "Sejarah beserta fungsi utama Pura Ulunswi Apuan yang mengandung kebenaran". Keberadaan Pura Ulunswi Apuan dan Gebog 300 akan coba dipaparkan sesuai dengan jamannya, agar pembaca tidak tersesat dalam memahami sejarah keberadaan Pura Ulunswi Apuan, budaya, agama dan tata kehidupan dari waktu ke waktu hingga sekarang.
Tantra Samuccaya memaparkan dengan sangat jelas bahwa semua pura yang dibangun di Bali, besar maupun kecil selalu dibangun di daerah yang dianggap mengandung kesucian. Sastra kuno ini kemungkinan yang mendasari konsep pembangunan pura-pura di Bali selalu dibangun di daerah-daerah mata air, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, campuhan, di muara sungai, di puncak bukit atau gunung, lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa dan di kota-kota, atau tempat lain yang bisa menciptakan suasana bahagia bagi umat. Departemen Agama Provinsi Bali pernah mendata pada tahun 2012, jumlah keseluruhan pura di Bali berjumlah 6.002 pelebahan, terdiri dari 4.356 Pura Kahyangan Tiga dan 723 pelebahan Pura Kahyangan Jagat dan tidak terhitung jumlahnya pura-pura Pemaksan, Swagina dan Paibon. Seorang ahli Purbakala yang bernama Bernet Kempers pernah melakukan penelitian terhadap pura-pura di Bali kemudian memberikan julukan fantastis Bali sebagai Land of One Thousand Temples, sehingga Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang menggabungkan unsur alam, budaya, seni, ekonomi, sejarah menjadi satu kesatuan yang saling bertautan. Menurut konsep Hindu, pura adalah simbolis gunung, Tuhan, Para Dewa, dan roh suci leluhur dianggap bersemayam di puncak gunung, sehingga gunung dipandang sebagai tempat suci. Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas pandangan bahwa alam ini tersusun menjadi tiga bagian yag disebut Triloka, yaitu alam bawah atau Bhur Loka, alam tengah atau Bwah Loka dan alam atas atau Swah Loka. Dari banyaknya Pura yang ada di Bali, berdasarkan karakteristik atau fungsinya dapat di kelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu sebagai berikut: Pura Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina dan Pura Kawitan. Pura Kahyangan Desa adalah Pura yang disungsung oleh Desa adat terdiri dari Kahyangan Tiga yakni: Pura Desa atau Bale Agung tempat memuja Hyang Widhi dalam prabhawanya sebagai Dewa Brahma dan Dewi Bhagawati berfungsi sebagai Utpeti atau Pencipta, Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Wisnu sebagai Pemelihara atau Sthiti serta Pura Dalem tempat pemuja Siwa sebagai Pralina. Selain Pura Kahyangan Tiga, beberapa Desa Adat juga menyungsung pura-pura khusus yang mempunyai kaitan sangat erat dengan sejarah berdirinya Desa Adat. Dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan, Pura Ulunswi Apuan termasuk kedalam katagori Pura Swegina, karena disungsung oleh Gebog 300 yang tergabung dalam Subak Gede Apuan dan Subak Gede Bekutel dan berkaitan erat dengan sejarah berdirinya Subak Gede Bekutel dan Subak Gede Apuan serta Desa Adat Apuan. Sebelum pembahasan tentang Pura Ulunswi Apuan, ada baiknya kita masuk dahulu dalam wawasan sejarah yang mencakup Pulau Bali secara keseluruhan, mulai dari terbentukannya jagat raya secara mithologi yang dipaparkan oleh lontar-lontar Babad, Bancangah, Pariagem, Pengeling-Eling dan berbagai data lain yang ditulis secara tradisiaonal. Semua Sastra tradisional ini menyimpan berbagai kisah yang apabila diramu kedalam sebuah tulisan akan memperkaya cara berfikir kita tentang keberadaan Pulau Bali secara umum dan Desa Adat Apuan, keberadaan Pura Ulunswi Apuan serta tata kelola organisasi adat, kepercayaan, ekonomi, sosial dan budaya desa.
Pura atau kahyangan selalu dibangun di tempat-tempat yang dianggap suci seperti yang tertulis dalam kitab Tantra Samuccaya, antara lain: di Tìrtha atau Patìrthan, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai atau Campuhan. Di muara sungai, di puncak-puncak gunung atau bukit, di lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-pusat kota dan di tempat-tempat lain yang dapat memberikan suasana bahagia. Bernet Kempers, seorang ahli purbakala memberi julukan pulau Bali sebagai Land of One Thousand Temples, pulau dengan seribu pura. Menurut data Departemen Agama Provinsi Bali tahun 2012 di Bali terdapat 4.356 Pura Kahyangan Tiga dari setiap wilayah Desa Pakraman di Bali. Selain itu terdapat 723 buah pura kahyangan jagat dan 923 buah pura kawitan. bila ditotal keseluruhan maka jumlahnya mencapai 6.002 buah pura. Masih banyak ahli-ahli dunia memberikan julukan yang mendunia terhadap pulau Bali, sehingga Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang menggabungkan unsur alam, budaya, seni, ekonomi, sejarah menjadi satu kesatuan yang saling bertautan.
BAB II
MITHOLOGI DAN SEJARAH
II.1. Masa Kedatangan Maha Rsi Markandhya.
Pura Ulunswi Apuan merupakan salah satu dari ribuan kahyangan yang ada di Bali, berdiri di tengah-tengah hamparan sawah. tepat sekali kemudian difungsikan sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Dewi Sri, yang dalam khasanah Hindu diyakini sebagai dewi kemakmuran. Pura Ulunswi Apuan memiliki sejarah panjang dalam pendirianya, dimulai dari masa penyebaran faham Siwa Buda di Bali pada kisaran tahun 800 Masehi. Seperti yang dipaparkan pada bagian awal, Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya penguasa kerajaan Medang di Jawa Tengah mengutus seorang Rsi dari perguruan Markandhya dan para pengikutnya untuk menyebarkan agama Hindu ke seluruh Nusantara, Perjalanan Beliau dimulai pada bulan Oktober tahun 730 Masehi. Rsi yang dimaksud adalah Rsi Ing Markandhya yang kemudian dikenal di Bali dengan nama Rsi Markandhya. Perjalanan suci ini dimulai dari Gunung Wukir atau Damalung, berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi, berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang.
Pada masa ini dikisahkan sebagian besar para pengikut Rsi Markadhya pada kedatangan yang pertama membangun kuwu-kuwu atau desa-desa kecil sepanjang tepian sungai Ayung dan sungai Wos, memanjang dari utara ke selatan, diperkirakan juga menghuni berbagai tempat di daerah Apuan, terutama sekali wilayah tepian sungai yang masih sangat subur dan alami. Selain mengajarkan tentang ilmu ke-Tuhanan beliau juga mengajarkan cara bercocok tanam yang baik dengan penyelarasan unsur-unsur alam yang diberdayakan dengan keyakinan apabila alam harmonis akan mampu memberikan banyak hal kepada mahluk penghuninya. Dalam usaha membangun perkampungan dan areal pertanian di desa Puwakan ini diperkirakan mulai ditata sistem organisasi pertanian di daerah Taro, Payangan, Kedewatan, Ubud juga Apuan yang dikenal dengan nama Subak hingga sekarang. Selain menata daerah, beliau juga menata kehidupan spiritual Ke-Tuhanan dalam bentuk wujud atau lambang. Setiap memulai membuka wilayah baru dilaksanakan upacara atau Wali di daerah garapan yang diyakini sebagai tempat yang paling suci untuk melaksanakan upacara. Guna mengingatkan tempat-tempat suci itu agar tetap utuh tidak beralih fungsi, maka ditandailah tempat-tempat suci tersebut dengan cara menumpukkan batu-batu atau menanam pohon-pohon suci.
II.2. Dinasti Warmadewa dan Wangsa Jaya sebagai Penguasa Bali.
Raja dinasti Warmadewa pertama di Bali adalah Shri Kesari Warmadewa (yang bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha) yang dikenal juga dengan gelar Dalem Selonding, datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10 dari Sriwijaya (Sumatra) di mana sebelumnya pendahulu beliau telah berhasil menaklukkan Tarumanegara pada tahun 686 dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara Jawa Tengah (Semarang sekarang). Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan raja berwangsa Syailendra (dinasti Warmadewa) terus berlanjut sampai ke Bali. Di dalam sebuah kitab kuno yang bernama "Raja Purana", tersebutlah seorang raja di Bali yang bernama Shri Wira Dalem Kesari dan keberadaan dia dapat juga diketahui pada prasati (piagam) yang ada di Pura Belanjong di Desa Sanur. Prasasti ini berupa batu besar yang kedua belah mukanya terdapat tulisan kuno, sebagian mempergunakan bahasa Bali kuno dan sebagian lagi mempergunakan bahasa Sansekerta. Tulisan-tulisan itu menyebutkan nama seorang raja bernama "Kesari Warmadewa", beristana di Singhadwala. Tersebut juga di dalam tulisan bilangan tahun Isaka dengan mempergunakan "Candra Sengkala" yang berbunyi: "Kecara Wahni Murti". Kecara berarti angka 9, Wahni berarti angka 3 dan Murti berarti angka 8. Jadi Candra Sekala itu menunjukan bilangan tahun Isaka 839 (917 Masehi). Ada pula beberapa ahli sejarah yang membaca bahwa Candra Sengkala itu berbunyi "Sara Wahni Murti", sehingga menunjukkan bilangan tahun Isaka 835 (913 Masehi). Pendapat yang belakangan ini dibenarkan oleh kebanyakan para ahli sejarah. Dengan terdapatnya piagam tersebut, dapatlah dipastikan bahwa Shri Wira Dalem Kesari tiada lain adalah Shri Kesari Warmadewa yang terletak di lingkungan Desa Besakih. Dia memerintah di Bali kira-kira dari tahun 882 sampai 914 Masehi, seperti tersebut di dalam prasasti-prasasti yang kini masih tersimpan di Desa Sukawana, Bebetin, Terunyan, Pura Kehen Bangli, Gobleg dan Angseri. Memperhatikan gelar beliau yang mempergunakan sebutan Warmadewa, para ahli sejarah menduga bahwa beliau adalah keturunan raja-raja Syailendra di Kerajaan (Palembang), yang datang ke Bali untuk mengembangkan Agama Budha Mahayana. Beliau mendirikan istana di lingkungan desa Besakih, yang bernama Singhadwala atau Singhamandawa dan sangat tekun memuja para Dewa yang berstana di Gunung Agung dengan tempat pemujaan bernama "Pemerajan Selonding". Ada peninggalan dia sebuah benda besar yang terbuat dari perunggu, berupa lonceng, yang didatangkan dari Kamboja digunakan untuk memberikan isyarat kepada para Biksu Budha untuk serentak melakukan puja di biaranya masing-masing. Benda itu kini disimpan di Pura Penataran Sasih, Pejeng, dan sangat disakralkan oleh penduduk sekitar. Pada masa pemerintahaan Shri Kesari Warmadewa, kebudayaan berkembang dengan pesat, dengan bukti beliau mengerahkan para undagi untuk memperbesar dan memperluas Pura Penataran Besakih, yang ketika itu bentuknya masih sangat sederhana. Shri Kesari Warmadewa mengeluarkan banyak prasasti, seperti Prasasti Blanjong di Sanur, Prasasti Panempahan di Tampaksiring dan Prasasti Malatgede yang ketiga-tiganya ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 Saka atau bulan Februari 913. Selanjutnya Sang Ratu Sri Ugrasena memerintah di Bali antaratahun 915 hingga tahun 942 Masehi dengan pusat pemerintahan di Singhamandawa yang diperkirakan sejaman dengan masa pemerintahan Mpu Sindok dari Wangsa Isyana di Jawa Timur. Sang Ratu Sri Ugrasena, beliau tercatat mengeluarkan beberapa prasasti yang berhubungan dengan berbagai kegiatan rakyatnya, antara lain mengenai pemberian anugerah, perpajakan, upacara keagamaan, pembangunan penginapan dan tempat pemujaan umum. Prasasti yang beliau keluarkan antara lain: Prasasti Sambiran A I, Prasasti Babahan I, Prasasti Srokadan A, Prasasti Pengotan A I, Prasasti Bantunya A I, Prasasti Dausa A I dan Prasasti Dahusa B I, juga Prasati Serai A I dan Prasasti Gobleg Pura Batur A. Semua prasasti tersebut ditulis dalam Bahasa Bali Kuno dan selalu diawali dengan tulisan
"Yumu Pakatahu Sarwa"
yang berarti
Ketahuilah oleh kamu sekalian