Sinopsis
Bukit Tedung
Ulapan
Oleh: Ida Bagus Bajra
Berawal
dari mithologi zaman dahulu, Saat pulau Bali masih sepi hanya ada segelintir
penduduk yang hidup dihutan-hutan dengan budaya nomaden atau berpindah-pindah.
Budaya yang sangat sederhana membuat mereka tidak begitu faham tentang hal-hal
yang berkaitan dengan keyakinan mereka tentang keberadaan Tuhan. Oleh para ahli
dikenal dengan budaya Animisme dan Dinamisme. Mereka menghuni gua-gua yang
dekat dengan sumber mata air, sebagai sumber kehidupan mereka. Salah satu goa
yang dihuni adalah goa di wilayah Bukit Tedung, hal ini diperkuat dengan adanya
cerita rakyat tentang hidupnya "Raksasa" yang sering berkeliaran mencari
mangsa para penari Rejang disekitar wilayah "Titi Bangsing" sebuah
daerah yang tidak jauh dari Goa Bukit Tedung. Tahun 1976, sekelompok peneliti
asing yang dipimpin oleh MR. Vlouthgroys melakukan penelitian dengan menelusuri
goa, hingga keujungnya. menurut laporan team ditemukan beberapa relief kuno
yang sangat sederhana di dinding-dinding goa. Ditemukannya tinggalan Sarkofagus
(Peti mati yang terbuat dari batu padas) di wilayah Desa Kerta dan Desa bukian,
semakin memperkuat keyakinan para ahli purbakala bahwa di sekitar Bukit Tedung
Ulapan sudah dihuni oleh penduduk pada masa kuno.
Sastra
tua Babad Pasek dan sastra Purana Bangsul menguraikan pada tahun 148 Masehi Gunung Tolangkir atau Gunung Agung meletus
untuk pertama kalinya, kedua kalinya pada tahun 191 Masehi, kemudian pada tahun
196 Masehi. Berselang beberapa lama kemudian Sang Hyang Pasupati memerintahkan tiga putranya yaitu Bhatara Ghenijaya
menuju gunung Lempuyang, Bhatara Mahadewa menuju Gunung Agung atau Besakih,
Bhatari Danu menuju Ulundanu Batur. selang berapa lama ada lagi putera beliau
yang diutus menuju Bali, antara lain: Bhatara Hyang Tumuwuh menuju Gunung
Batukaru, Bhatara Hyang Manik Gumawang menuju Gunung Beratan, Bhatara Hyang
Manik Galang menuju Pejeng dan Bhatara Hyang Tugu menuju Gunung Andakasa. Masing-masing
dari beliau para Resi utama mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci tentang
ke-Tuhanan yang menjadi dasar keyakinan umat di Bali hingga kini.
Pada Masa pemerintahan Raja Udayana dan Gunapriya Dharmapatni
di Bali, ada lagi para pendeta suci dari Jawa yang diundang ke pulau Bali untuk
melengkapi berbagai ajaran suci yang sudah diamalkan sebelumnya, antara lain:
Mpu Mahameru sampai di Besakih pada bulan November tahun 990 Masehi, Mpu Gana
sampai di Gelgel pada bulan April tahun 997 Masehi, Mpu Kuturan tiba di
Silayukti pada bulan September tahun 1000 Masehi dan Mpu Gnijaya tiba di
Besakih pada bulan Juli tahun 1058 Masehi. Masih banyak lagi para Resi suci
yang hadir di pulau Bali untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan yang
membentuk budaya Bali menjadi sangat khas. Wilayah Bukit Tedung dan sekitarnya
merupakan areal suci yang penuh aura magis bersifat positif karena terbentuk
dari zaman kuno Bali dan dilalui oleh garis perlintasan para Resi Suci dalam
melaksanakan "Tirtha Yatra" atau perjalanan mencari air kehidupan.
Salah satu dari sekian banyak sumber air suci yang disakralkan adalah air
pegunungan yang keluar melalui celah goa di Bukit Tedung, dipercaya turun
temurun berfungsi secara magis sebagai sarana menghilangkan segala bentuk
kekotoran jiwa yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan jasmani maupun rohani. Juga
berfungsi sebagai sarana penolak bala yang diakibatkan oleh ketidak seimbangan
alam semesta. Yang paling penting sumber air ini diyakini sebagai sumber
kesuburan dan ketentraman baik dalam keluarga, masyarakat maupun ditempat
beraktivitas, tegalan, sawah maupun sungai. Pada Awal Abad ke 9, sekitar Tahun
910 Masehi, seorang pendeta dari Gunung Raung yang bergelar Resi Markandhya hadir
di wilayah sekitar Besakih, selain mengajarkan faham Siwa dan Budha juga banyak
mengajarkan konsep kehidupan kepada para pengikutNya yang tersebar bermukim disepanjang
aliran sungai Wos Lanang dan Wos Wadon, termasuk juga wilayah Bukit Tedung.
Ajaran beliau pada intinya memuliakan segala sumber air suci yang dikenal
dengan nama faham Waisnawa atau Wisnu. Beliau mengajarkan kepada pengikutnya
bahwa air adalah sangat penting dijaga kelestariannya, karena merupakan sumber
dari segala sumber kehidupan manusia. Air mengisi sebagian besar wilayah alam
semesta, juga tubuh manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.Pada tahun 1538
Masehi setelah keruntuhan Majapahit ada lagi Bali kedatangan seorang pendeta
suci yang bergelar Dhang Hyang Nirartha beserta seluruh keluarga beliau. Dengan
sangat sempurna beliau berhasil memperkenalkan faham Siwa Sidhanta yang juga
menempatkan kedudukan sumber mata air dengan sangat sakral. Sehingga faham
beliau dikenal juga dengan nama faham "Tirtha" yang artinya air suci,
seperti nama agama Bali sebelum diresmikan oleh keputusan Menteri Agama RI
sebagai Agama Hindu pada tanggal 5 September 1958.
Dilanjutkan kisahnya pada awal terbentuknya kerajaan di
Payangan pada tahun 1735 Masehi, raja
pertama Payangan, Ida Dewa Agung Made Sukawati yang membangun banyak pura dan
tempat suci lainnya di Payangan yang sebelumnya ditinggalkan oleh penguasa dari
Carangsari. Mengetahui sebuah tempat yang sangat sakral di Bukit Tedung, segera
beliau memerintahkan para pekerjanya untuk membangun akses jalan dan sumber air suci di goa lereng Bukit Tedung.
Goa dijadikan tempat sakral untuk bersemedi dan bermeditasi, mensucikan jiwa beliau
memuja Sang Pencipta, setelah sebelumnya membersihkan badan di pancuran areal
luar goa yang berjumlah 5, yang artinya sebagai sarana pembersih 5 jenis indria
kita, mata, hidung, mulut, telinga dan kulit. Karena kegemaran beliau
melaksanakan semedi dan meditasi di tempat-tempat sakral, terutama sumber air
suci, selanjutnya beliau membangun lagi banyak "Beji" yang artinya
sumber air sakral yang difungsikan sebagai tempat mensucikan jasmani dan
rohani. Goa di Bukit Tedung dan sumber airnya yang terletak di arah timur laut
istana Payangan kemudian dinamakan Taman Magenda atau Taman Bagenda yang
artinya adalah tempat pesucian Dewa atau yang di Dewakan. Diarah barat laut
istana dibangun "Beji Er Jeruk" pada tepian hulu Sungai Ayung.
"Beji Sudhamala" dibangun di arah tenggara dari istana Payangan,
sementara di arah barat daya istana dibangun "Beji Nyuling". Keempat
"Beji" ini seakan-akan mengitari Istana Payangan, yang seakan-akan
menyiratkan seluruh anggota dan masyarakat Payangan terdiri dari orang-orang yang
suci secara jasmani dan rohani.
Pada masa kekinian, pada zaman modern "Beji Taman
Magenda" masih sangat disakralkan oleh penduduk Payangan. Difungsikan
secara turun temurun sebagai areal suci, sebagai sumber dari segala sumber
kehidupan, sumber dari segala sumber kesucian jiwa dan raga, sumber dari segala
sumber penghancur halangan dan rintangan hidup, pada intinya hanya dari wilayah
yang bersih muncul sumber air bersih, dari wilayah suci muncul sumber air suci
dan dari jiwa masyarakat yang bersih dan suci akan hadir kebahagiaan bagi
penghuninya.
Tamat
Payangan, 9 Juli 2018