Babad
Arya Kenceng Tegehkuri
Sejarah adalah guru Agung yang mampu membimbing
kita ke arah kemajuan. Apalagi sejarah dari leluhur yang sukses dalam hidupnya.
Demikian yang dicatat oleh sejarah Putra Dalem Bali, Tegeh kuri Arya Kenceng
berhasil mendirikan kerajaan Badung dan menjadi raja pertama, bukan karena
keturunan namun karena usaha dan jering payahnya sendiri.
Semangat ini patut menjadi suri teladan bagi warih
Beliau (keturunan Beliau) pun baik bagi siapapun yang terinspirasi untuk
membaca dan menemukan manfaat di dalamnya.
Sembah sujud hamba kehadapan Ida Sanghyang Parama
Kawi dan para leluhur (dewata-dewati), yang telah menganugrahkan ketentraman
sehingga terwujud tujuan hamba untuk menerbitkan tentang sejarah Arya Kenceng
Tegeh Kori, agar segala kesalahan dan kekeliruan hamba diampuni, sehingga tidak
kena Upadrawa (kutukan) beliau yang telah suci.
Dikisahkan dalam sejarah Pulau Bali pada akhir abad
ke XIV berdirilah di sebelah barat sungai Ayung pada hulu daerah utara desa
Tonjaya (sekarang desa Tonja) sebuah kerajaan yang sangat megah.
Bila diperhatikan menurut pandangan kemegahan dan
pengaturan puri maupun wibawa kerajaan ini, semuanya mencerminkan gaya
keagungan ksatriaan Majapahit.
Tata letak dan tata cipta bangunan-bangunannya yang
sedemikian serasi, tata perhiasan dan dekorasi maupun tata pertamanannya
keseluruhan sangat menarik dan mengesankan serta menimbulkan khayalan
seolah-olah berada di dunia yang lain, di dunia pedewataan dengan istana-istana
yang serba mewah dan serba gemerlapan. Dengan sepintas pandang para pengamat
akan cepat mendapat kesan bahwa yang bersemayam dalam istana ini ada pertalian
dengan para ratu dan para ksatria di majapahit.
Balai bengongnya yang sengaja di dekorasi dan
dilengkapi sangat mewahnya membuat penonton tak jemu-jemunya memandang. Menara
(balai) kulkul yang berdiri di sudut lainnya tidak kalah indahnya.
Di samping keindahan puri ini ada lagi sesuatu
kelebihan yang patut dicatat melebihi keadaan puri-puri lainnya, yaitu puri
disebelah hulunya diapit dengan dua pura yang besar dan tidak kalah megahnya
dengan puri itu sendiri. Tatanan puri tersebut tidak terdapat pada puri-puri di
kerajaan lain. Selain dua pura tersebut, pura-pura kahyangan tiga dan pura-pura
umum maupun kawitan sangat mendapat perhatian dari kerajaan. Sebuah dari para
parahyangan yang mengapit huluan puri terletak di timur laut puri di pinggir
sungai Ayung. Parahyangan ini mencerminkan pemujaan pada Hyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa), seru sekalian alam, dalam manifestasinya di puja sebagai
Bhatara Toh Langkir di Puncak Gunung Agung. Yang sebuah lagi berdiri di sebelah
barat daya puri, Parahyangan tersebut mencerminkan pemujaan kehadapan Bhatara
di gunung Batur.
Parahyangan ini lazim disebut Pura Dalem Arya Tegeh
Kuri Benculuk. Pura ini berdiri sebagai pengemong puri, raja dan rakyatnya. Ibu
kota kerajaan disebut Benculuk, melambangkan nama dari pada masa kanak-kanak
pernah dididik, diasuh, dipelihara, dibesarkan dan mendapat kasih sayang, yaitu
di desa Buahan. Buahan=Jambe=Pucangan=Benculuk=Peji, dsb.
Sang Prabu bergelar Sira Arya Kenceng Tegehkuri itu
suatu pertanda seorang Putra Dalem yang diberikan kepada Sira Arya Kenceng
sebagai putra angkat beliau.
Negaranya disebut negara Badung dalam lingkungan
kekuasaan Sri Aji Dalem Samprangan ataupun Gelgel (Sri Kresna Kepakisan) maupun
para turunan Dalem Gelgel.
Sejarah kisah asal-usul Sang Prabu bersumber pada
sejarah para leluhur para ksatria dan para ratu Majapahit di Jawa yang kisahnya
di tuturkan berikut ini:
Alkisah, maka tersebutlah dalam sejarah, Maha Prabu
Airlangga yang bertahta di Kediri-Panjalu pada tahun 1010 sampai tahun 1042
Baginda Maha Prabu Airlangga mempunyai tiga orang putra: Putri Baginda bernama
Dyah Kili Suci atau Endang Suci disebut pula Rara Kapucangan. Putri Kili Suci
yang lahir dari permaisuri baginda tidak bersedia menjadi putra mahkota
menggantikan baginda ayahnya, karena beliau tidak menginginkan kekuasaan dan
kewibawaan, tidak ingin bersuami dan menjalankan kehidupan orang biasa,
melainkan beliau ingin menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa di dalam
hutan.
Tekad dan keputusan Putri Kili Suci ini membawa
akibat bahwa kerajaan Daha-Panjalu kemudian terbagi menjadi dua buah kerajaan
masing-masing dipinpin oleh putra-putra Maharaja Airlangga yang lahir bukan
dari permaisuri raja. Putra laki-laki baginda itu bernama Jayabaya dinobatkan
menjadi raja kerajaan Daha bertahta di Kediri Penjalu dan menurunkan para
ksatria Kediri Daha, antara lain Sri Dandang Gendis dan terakhir Jayakatwang.
Adapun Jayasaba dinobatkan di Jenggala bertahta di Kahuripan. Baginda Sri
Jayasaba inilah menurunkan para ksatria Kahuripan, setelah beberapa keturunan
tersebut berkembang, termasuk enam orang bersaudara yang mejadi awal dari tokoh
yang akan diceritakan dalam sejarah selanjutnya. Enam ksatria bersaudara
dimaksud ialah:
- Rahadian Cakradara adalah seorang yang sangat cerdas baik budi bahasanya, memiliki keahlian yang utama, pradnyan, cakap, sulaksana, paham akan tatwa-tatwa, teguh imannya, gagah berani dan tangkas dalam perang. Beliau itulah terpilih menjadi suami Baginda Maharaja Dewi Bhrawilwatikta III dalam swayambara. Sesudahnya dilangsungkan pernikahan pada tahun 1329, baginda bergelar Sri Karta Wardana. Beliau adalah ayahanda Baginda Maharaja Hayam Wuruk yang termasyur, memerintah dari tahun 1334 (bayi) sampai 1350-1389 (Hayam Wuruk dinobatkan raja sejak lahir diwakili ibundanya yang bertahta mulai tahun 1329-1334.
- Adik Baginda banyak mempunyai nama, antara lain: Sira Arya Damar, Sira Arya Teja, Rahadian Dilah, Kyai Nala. Dalam bidang pemerintahan di Kerajaan Majapahit, beliau berpangkat Diaksa. Kata-kata beliau sangat bertuah, gagah berani sebagai kesari. Beliau kemudian ditempatkan sebagai Prabu (Adhipati) di Palembang (Kerajaan Sriwijaya). Setelah kembali dari tugasnya turut menaklukkan Patih Pasung Grigis, mengikuti Maha Patih Gajah Mada ke Bali tahun 1343. Pada penyerbuan ke Bali Patih Gajah Mada turun di Tianyar dengan pasukannya. Sri Arya Damar, disertai adiknya Sira Arya Kutawaringin, dengan pasukannya turun dari Ularan (di Bali Utara).
- Adik Baginda yang kedua (nomor tiga bersaudara) bernama Sira Arya Kenceng. Beliau termasyur dalam pemikiran dan pertimbangannya (wirarasan), gagah berani sebagai wiagra. Turut dalam penyerbuan ke Bali membantu Maha Patih Gajah Mada menaklukkan Patih Pasung Grigis pada tahun 1343. Beliau disertai dua orang adik-adik beliau Sira Arya Sentong dan Sira Arya Belog, mendarat di Kuta.
- Adik Baginda yang ketiga bernama Sira Arya Kutawaringin
- Adik Beliau yang keempat bernama Sira Arya Sentong.
- Adik Beliau yang paling bungsu bernama Sira Arya Tan Wikan alias Arya Belog.
Dikisahkan kemudian penyerbuan Mahapatih Gajah Mada
disertai para Arya ke Bali pada tahun 1343 berhasil baik dengan kemenangan
Patih Gajah Mada. Patih Pasung Grigis menyerah di tawan dan diajak ke Majapahit.
Sebagai Sang Prabu di Bali ditunjuk dan didudukan Sri Kresna Kepakisan,
bergelar Dalem Samprangan, berkedudukan (istana) di Samprangan di sebelah timur
tukad Cangkir di Gianyar searang (waktu itu kota Gianyar belum ada). Dalam
Samprangan bertahta dari tahun 1350-1380. Para Arya dari Majapahit yang
menyertai Sri Kresna Kepakisan ke Bali ada 10 orang yaitu:
- Arya Kenceng: kemudian bersentanakan Ngurah Tabanan dan Arya Kenceng Tegeh Kori. Beliau diberi kekuasaan di Tabanan dengan tugas kewajiban mengamankan, mengemong dan mengembangkan wilayah tersebut di beri pengiring (rakyat) sebanyak 40.000 orang.
- Arya Sentong: kemudian bersentanakan Pacung Carangsari dsb. Diberikan kekuasaan sama seperti Arya Kenceng, bertempat tinggal di wilayah Pacung diberi pengikut (rakyat) sebanyak 10.000 orang.
- Arya Kutawaringin: kemudian berstanakan di Kubon Tubuh. Tugas sama dengan pertama dan kedua di atas bertempat di Gelgel dan dengan pengiring (rakyat) sebanyak 5000 orang.
- Arya Tan Wikan (Arya Belog); kemudian berstanakan di Kaba-Kaba. Beringkit, tugas sama dengan nomor satu, dua dan tiga diatas bertempat di Kaba-Kaba dengan pengiring (rakyat) sebanyak 5000 orang
- Arya Kanuruhan: berstanakan di Pegatepan, Brangsinga. Tugas sama dengan 1-4 di atas.
- Arya Manguri: berstanakan di Dauh Bale Agung Penulisan, Pengalasan, tugas sama dengan 1-5 diatas dan diberi pengiring secukupnya.
- Arya Pengalasan: berstanakan di Cemeng Gawon. Tugas sama dengan 1-6 diatas diberi rakyat sama.
- Arya Wang Bang: berstanakan Pering Cagaan, Sukaet, Toh Jiwo, Penataran. Tugas sama dengan 1-7
- Arya De Laneang; berstanakan di Kapal. Tugas sama dengan para Arya di atas.
- Sira Wang Bang; berstanakan di Pina. Tugas sama dengan para Arya di atas.
Setiba di Bali membangun Puri di Samprangan
mengikuti cara pembangunan istana di Majapahit.
Setelah Ida Dalem berada di Bali datang lagi
menyusul memperkokoh pertahanan dan keamanan pemerintahan Dalem:
- Arya Gajah Para ditempatkan di Tianyar dengan tugas sama dengan para Arya tersebut di atas. Arya Gajah Para kedatangannya ke Bali disertai tiga orang Wesya bersaudara:
- Tan Kober, ditempatkan di Pacung
- Tan Kawur, ditempatkan di Abiansemal
- Tan Mundur, ditempatkan di Cacahan.
Arya Gajah Para ditempatkan di Tianyar dengan tugas
sama dengan para arya tersebut di atas.
Diceritakan dalam sejarah bahwa setelah beberapa
tahun lamanya Sri Aji Dalem Samprangan memegang tali pemerintahan di pulau
Bali, mulai nampak keamanan dan ketentraman serta kegairahan rakyat pulau Bali
berangsur-angsur mendapat kemajuan yang pesat. Jalannya pemerintahan mulai
tambah lancar dan sangat teratur, hubungan antara bagian-bagian wilayah di Bali
lancar dan aman serta kemakmuran rakyat mulai nampak dan dapat dirasakan oleh
rakyat banyak.
Diceritakan bahwa Sri Aji Dalem Bali mempunyai
permaisuri seorang putri Brahmani. Demikian juga halnya dengan Sira Arya
Kenceng. Beliau juga beristrikan putri Brahmani, yaitu seorang putri adik
kandung dari permaisuri Sri Aji Dalem. Dengan demikian maka Sri Arya Dalem
jelas masih kakak ipar dari Arya Kenceng. Sira Arya Kenceng menjadi pejabat
kerajaan yang tertinggi, merupakan pejabat yang terkemuka dalam pemerintahan
Sri Aji Dalem. Karena demikian halnya, maka hubungan Sira Arya Kenceng, di luar
maupun di dalam tugas kerajaan, adalah sangat dekat dengan Sri Aji Dalem,
selaku pejabat tertinggi dan selaku kakak ipar.
Pada suatu hari Sira Arya Kenceng dianggap
melakukan suatu kesalahan ingin menyamai kedudukan Sri Aji Dalem, karena
berpakaian menyerupai Sri Aji Dalem (bersumpang sekar cempaka putih mebalut
sekar sandat warna hijau, sekilas serupa dengan kembang cempaka wilis hijau
yang hanya boleh dipakai oleh Sri Aji Dalem) ditambah difitnah oleh
Pejabat yang lain yang menuduh Sira Arya Kenceng memasang guna-guna dan
pengeger agar bisa disayang oleh Dalem dan Dalem tunduk pada Sira Arya
Kenceng.
Beliau di hukum oleh Sri Aji Dalem, dari pajabat
tertinggi menjadi pejabat terendah di dalam istana, yaitu menjadi kepala
kebersihan seluruh bangunan dan halaman maupun pertamanan istana.
Tidak terkira rasasanya pedih dan sedih serta sakit
hati Sira Arya Kenceng mengenang nasibnya difitnah dan harus mengalami hukuman
sehina ini tanpa dosa apapun, namun Beliau tidak merasa putus asa untuk bisa
kembali ke kedudukannya. “Hanya percobaan Hyang semata-mata” pikir Beliau.
Beliau yakin akan keadilan Hyang. Dan pada suatu saat Beliau pasti bisa kembali
pada kedudukan semula.
Dalam melaksanakan tugas sehari-hari berkeliling
istana Beliau bisa bertemu dan beramah-tamah dengan seluruh penghuni istana
maupun para abdi istana, cepat berkenalan dan bergaul dengan bebas kepada para
putra-putri Baginda Dalem maupun para pengasuh serta semua para bawahan istana
lainnya dengan sangat akrab. Dalam keadaan beginilah beliau selalu ingat dengan
putranya sendiri yang berada jauh dari Buahan Tabanan, yang sangat gelisah menunggu
kedatangan ayahnya.
Diceritakan dalam sejarah bahwa Sri Aji Dalem Bali
pada saat itu mempunyai beberapa orang putra diantaranya ada yang baru berumur
sekitar satu tahun, baru sedang lincah-lincahnya merangkak. Putra Beliau ini
merupakan putra kesayangan Dalem yang sering digendong dan ditimang-timang oleh
Dalem sendiri. Pengasuh putra Dalem, maupun para abdi lainnya juga teramat
sayang pada putra Beliau.
Maklum pura siapa sebenarnya Sira Arya Kenceng
kepala petugas kebersihan istana itu. Mereka masih tetap hormat, segan dan
Bhakti padanya. Seringkali Putra Dalem berada dekat dan ditimang-timang Sira
Arya Kenceng. Sang Putra Raja ternyata sangat senang berada dekat pada Sira
Arya Kenceng. Sira Arya Kenceng sering bercanda dan ngemong Putra Dalem ini. Hal
ini menyebabkan bahwa putra lambat laun menjadi sangat senang berada pada Sira
Arya Kenceng dan menjadi sangat akrab “Ngikut”, senang dan tidak takut lagi
pada Sira Arya Kenceng. Sang raja putra malah sangat gembira bila berada dekat
pada Sira Arya Kenceng (yang sedang di hukum).
Pengasuh raja Putra itu sering juga mengajak sang
putra bermain di dekat ataupun memasuki balairung itu bila tempat ini sedang
dalam keadaan kosong, agaknya sang Raja Putra sudah biasa diajak naik turun,
keluar masuk gedung balairung itu.
Dalam keadaan terhukum seperti keadaan Beliau
sekarang ini Sira Arya Kenceng tiada hentinya berfikir untuk menemukan jalan
keluar secara terhormat bisa bebas dari hukuman dan fitnahan ini. Tuhan selalu
menyertainya. Akhirnya Sira Aya Kenceng menemukan sesuatu jalan dan akal
melalui kesempatan baik untuk menolong dirinya dari belenggu hukuman itu.
Jalan keluarnya sebagai berikut: pada suatu
persidangan Sri Aji Dalem sedang duduk dihadap oleh para mentri dan semua abdi
negara. Sang Raja putra yang masih kecil asyik bermain di belakang balairung
ditemani oleh sang pengasuh dan Sira Arya Kenceng kala-kala sedang menjalani
hukuman. Pada kesempatan ini Sang Raja Putra dinaikkan oleh Sira Arya Kenceng
di atas dataran dari belakang balairung, di belakang tempat duduk Baginda Sri
Aji Dalem. Melihat baginda maka Sang Raja Putra gembira merangkak dari belakang
Dalem dan naik di atas bahu Sri Aji Dalem, serta terus meraba bahu Ida Sri Aji
Dalem. Dalem jadi sangat terkejut yang tidak kepalang.
Dalam keadaan sidang yang geger karena Sri Aji
Dalem terkejut Sira Arya Kenceng berlari mendekat dan menghampiri Sri Dalem dan
Sang Raja Putra serta mengangkat dan melepaskan sang Raja Putra dari bahu
Baginda Sri Dalem dengan ucapan mohon ampun permisi, katanya, “Ngelungsur
pengampura, nunas nugraha ping banget Sri Dalem” Sri Aji Dalem “nyonget” ke
atas belakang (inggil ungkur). Sri Dalem bersabda dengan nada agak kesal pada
Sira Arya Kenceng yang duduk dalam sikap sujud duduk di belakang agak jauh,
“Pinter benar rayi Arya membuat intrik-intrikan, Putraku telah mengambil dan
memegang bahuku. Putraku telah berbuat dosa tata krama. Menurut tata krama yang
tersebut dalam lontar: “Lontar Raja Niti Sang Pandita” disebutkan
bahwa tat kala Sang Nata telah berbusana kebesaran ratu, sang putra yang
manapun tidak boleh gegabah, sengaja maupun tidak sengaja memegang ayahanda
prabu sampai ke bahu, itu disebut “Rarebangeran”.
Setelah sejenak mengenang putra baginda, Ida Sri
Aji Dalem bersabda lagi pada Sira Arya Kenceng,
“ Nah
Rayi Arya Kenceng, ini mungkin titah kehendak Hyang Widhi, aku tidak boleh
menolak keputusan Hyang ini. Aku terima dengan ikhlas dan tulus hati keputusan
Hyang Widhi ini. Putraku telah berbuat dosa. Telah menjadi kehendak Hyang Widhi
bahwa putraku harus menjadi putra rayi Arya. Putraku harus berpisah dariku.
Kakang merelakan dengan segala keikhlasan hatiku pada rayi, untuk mengambil
putraku ini menjadi putra rayi Arya. Ambilah dia sebagai putra rayi dan bawalah
dia ke Buahan sebagai anak angkat. “
Desa Buahan (kota Tabanan saat itu belum ada, kata
Tabanan hanya baru menjadi nama wilayah. Ibu kota yang sekarang bernama Tabanan
dulukala bernama Singasana Natha Tabanan untuk kota baru dipakai jauh kemudian:
tempat istana Sira Arya Kenceng berada di Buahan, kini 3 km dari kota Tabanan. (Bersambung)