(File
Kajian)
Dimohonkan
untuk dikaji
1.
Pokok Kajian
Dalam rangka penelusuran sejarah kewangsaan di daerah
lembah sungai Wos, terutama wilayah Jungut Ubud yang berhubungan sangat erat
dengan Pura Campuan Ubud, yang dahulu diperkirakan sebagai tempat suci bagi Rsi
Markandya dan para pengikutnya. Dimohonkan untuk dikaji kemungkinan-kemungkinan
perpindahan penduduk dari dusun-dusun tua Bali Kuno, mulai pada zaman
pemerintahan :
o Dinasti Warmadewa (914-1119),
o Wangsa Jaya (1133-1284),
o Wangsa Singosari (1284. Kebo Parud),
o Warmadewa (1324-1337)
o Wangsa Samprangan dan Gelgel (1502-1655)
o Angelurah Agung Maruri (1665-1686)
o Dinasti Klungkung (1686-1868)
2. Pertimbangan Kajian
2.1. Perjalanan
Suci Orang Aga Ke
Bukit Uluwatu.
Pada sekitar pertengahan tahun 1243 Masehi, Antara pemerintahan raja Adidewalancana dan terjadinya serangan
Singosari atas raja Bali, pada bulan terang, awal
musim kering, terjadi wabah penyakit di daerah Buleleng, penyakit aneh tersebut
sudah merenggut banyak sekali jiwa penduduk Buleleng. Penyakit Cacar air atau
bahasa medisnya adalah smallpox atau variola yang diperkirakan berasal dari
India ini sudah menjangkiti wilayah Buleleng timur antara lain Desa Julah,
Tejakula, Bondalem dan penduduk yang mendiami pinggiran Tukad Palad, Tukad
Mejan, Tukad Samuh dan tukad Palijan.
Banyak penduduk terkena penyakit dengan
gejala yang aneh mulai dengan demam dan sakit kepala Setelah dua atau tiga hari
kemudian mulai muncul bintik merah datar, lalu menjadi menonjol, kemudian
muncul cairan didalamnya berupa air, nanah dan darah seperti melepuh disertai
rasa gatal-gatal, dalam jangka waKetutu kurang dari seminggu, penduduk yang
terjangkit kemudian sulit untuk bernapas. Orang-orang menyebut penyakit ini
Medewa,dan menurut para tetua desa penyakit ini disebabkan
oleh kemarahan para leluhur dan dewa di gunung, berkeinginan bersuci di kakinya
pulau Bali, yaitu bukit Uluwatu banyak sudah korban yang meninggal, terutama
pada bayi dan anak-anak.
Setelah melakukan perundingan dengan
para pemimpin desa, akhirnya diputuskan untuk mengirim beberapa penduduk
pilihan, yang sehat dan pemberani untuk melakukan perjalanan suci menuju
selatan. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan berjumlah tidak kurang dari
40 orang. Membawa perbekalan yang cukup dan juga alat-alat pertanian serta senjata untuk
mempertahankan diri. Mereka juga membawa beberapa arca prelingga dan keris
pusaka yang dikeramatkan. Ada juga dibawa beberapa cawan tembaga dan keramik
yang biasa dipakai sebagai tempat mencampur atau meramu obat-obatan. Tujuan
mereka adalah menghadap Hyang Ludra guna memohon perkenan agar desa di Barat
Daya Pulau Bali (Bukit Uluwatu). Karena menurut tetua desa, penyakit yang
dialami oleh penduduk itu datangnya dari sebelah barat daya desa, diujung pulau
Bangsul.
Sebagaian dari mereka melakukan
perjalanan suci menuju Tampurhyang (Batur). Sebagian lagi menuju arah barat ke
Pucak Batukaru. Tidak dikisahkan perjalanan penduduk yang bergerak menuju
kearah barat desa, dan perjalanan penduduk menuju Tampurhyang. Perjalanan 40
warga kuwu tukad Mejan menuju arah barat daya untuk menghadap Hyang Ludra di
bukit Uluwatu. Perjalanan mereka menuju arah selatan menelusuri tepian Tukad
Shyang Brata lalu sampai di Sukawana. Di Sukawana rombongan ini beristrirahat,
sempat membangun beberapa pondok peristirahatan. Juga membangun beberapa
bangunan darurat untuk melinggihkan arca pralingga yang dibawa dari utara.
Mereka tinggal menetap sementara di sekitar pura Panarajon, Hal itu bisa
dimaklumi karena wilayah Sukawana adalah bagian dari Banuwa yang beristilah
sebagai Gebog Domas pura Pucak Penulisan, sehingga hubungan orang-orang dari
lereng Tukad Mejan sangat dekat dengan
penduduk Sukawana.
Mereka kemudian meneruskan perjalanan
menuju arah selatan. Menaiki daerah berbukit-bukit dengan tanah berpadas,
wilayah gugusan bukit Kintamani. Di bukit Kintamani mereka diterima dengan baik
oleh penduduk, diberikan makanan dan tempat untuk bermalam. Untuk beberapa lama
mereka berbaur dengan masyarakat di Kintamani, ada juga beberapa yang kemudian
memutuskan untuk tinggal
menetap. Mereka membuat permukiman di daerah dataran sebelah utara danau Batur.
Mulai membangun perdikan dengan penduduk kintamani dan penduduk Kuwu Tukad
Mejan. Setelah beberapa lama mereka hidup dan bertani di lereng perbukitan
Kintamani, terpilihlah beberapa orang yang bertugas melanjutkan perjalanan
menuju Bukit Uluwatu, membawa serta arca prelingga dan alat-alat yang dipandang perlu digunakan dalam
perjalanan, dan akan disucikan.
Mereka menyebrangi daerah Banua Bayung
Gede terus melanjutkan perjalanan
menuju ke selatan, menuruni bukit Kintamani. Di hulunya Tukad Petanu, wilayah
Tampasiring. mereka kembali beristirahat, Karena perpekalan habis, disana
mereka kembali membuat perkebunan dan bercocok tanam, menanam berbagai tanaman
musiman yang bisa dipakai sebagai bekal untuk
meneruskan perjalanan. Pada sekitaran tahun 1279 Masehi para penduduk Aga yang
berasal dari lembah Tukad Palad, Tukad Mejan, Tukad
Samuh dan tukad Palijan. Membuat pemukiman
di sebuah dataran subur diantara dua sungai besar, Sungai Petanu dan Pekerisan.
Semakin hari semakin berkembanglah daerah itu, penduduk juga semakin banyak,
sehingga terbentuklah sebuah kuwu atau Perdikan.
Kehidupan penduduk yang sudah mulai bercocok tanam
mendorong mereka untuk bertempat tinggal tetap dan membangun kuwu dengan
organisasi yang semakin teratur. Kehidupan religi mereka mereka juga semakin
berkembang dengan pelaksanaan upacara-upacara yang berlandaskan konsep magis
atau oleh ilmuan barat dikenal dengan konsep Simpatic Magic.
Upacara-upacara itu seringkali dilaksanakan saat
menjelang kegiatan berburu. Upacara-upacara penguburan juga sudah mulai
berjalan dengan baik, jasad penduduk yang meninggal diupacara terlebih dahulu
baru kemudian diangkut ke batas selatan desa, di batas desa itulah jasad tersebut
ditanam, dengan areal bernama Pelarungan atau pemakaman, itu menandakan mereka
sudah mempunyai sebuah keyakinan adanya kehidupan lain setelah kematian, yang
berarti juga mereka sudah meyakini bahwa arwah nenek moyang yang sudah
diupacara mempunyai kemampuan mengatur, melindungi dan memberkahi para generasi
yang masih hidup, atau sebaliknya mengganggu dan mengusik keturunannya yang
berbuat salah.
Beberapa dari penduduk sudah mempunyai kemampuan
yang tinggi dalam peleburan bijih-bijih logam, pengecoran logam untuk membuat
perkakas bertani dan berburu. Penduduk juga mempunyai keahlian khusus membuat
hiasan dengan motif-motif tertentu dari logam. Dengan adanya perkakas pertanian
dari logam itu membuat pertanian, terutama perkebunan semakin maju, walaupun
pertanian saat itu hanya mengandalkan air hujan, tanpa ada irigasi pengairan
yang teratur. Kemampuan - kemampuan itu menunjukkan betapa tingginya tingkat kemajuan dalam
bidang piroteknologi (pyrotechnology) yang telah dicapai.
Demikianlah kisah awal terbentuknya perdikan atau Kuwu di sekitar Tukad
Petanu. Setelah sekian lama berlalu, setelah suasana desa tertata dengan baik,
lengkap dengan konsep hulu teben dan Parahyangan kembalilah dikirim
pemuda-pemuda pilihan untuk melanjutkan perjalanan menuju arah seletan, menuju
Bukit Uluwatu, guna mensucikan beberapa arca dan pretima dari Buleleng.
Perjalanan suci penduduk Kuwu Tukad Mejan menuju arah
selatan melalui aliran sungai Petanu,
menyebrang ke arah barat dan melanjutkan perjalanan ke arah selatan dengan
menyusuri sungai Wos. Juga membangun perdikan-perdikan sepanjang aliran sungai
dalam perjalanan tersebut.
2.2. Banjir Sungai Wos.
Dari sebuah sumber di Kuil Cina yang sedang dalam proses alih bahasa, ke
dalam bahasa Belanda di Laboratorium bahasa Laiden University, Projec th 2014,
ditemukan tulisan biksu Cina yang memuat tentang wilayah perdikan atau kuwu di
sepanjang sungai wos (Woh) di Bali yang sudah tertata dengan baik, memakai
konsep Hulu Teben, membujur di tepian timur sungai Wos (Woh). Bertahun masehi
1288. Dari selatan ke utara, dari hilir sungai Wos (Woh) sampai ke Hulu Sungai
Wos (Woh).
Banjir besar terjadi disekitar tahun Masehi 1292, pada malam bulan mati,
masa musim penghujan, menghanyutkan harta benda penduduk kuwu, bahan pangan dan
ternak, juga benda-benda yang disakralkan dalam memuja Hyang, hanyut tersapu
banjir. Penduduk yang selamat kemudian mendaki wilayah perbukitan dan mulai
membuat pemukiman di tengah hutan, di sisi sebelah timur sungai.
Kehidupan sosial religius masyarakat diceritakan oleh biksu cina sebagai
penyembah gunung, alam dan tempat-tempat keramat. Sering melakukan ritual
keagamaan pada masa bulan terang dan bulan mati pada musim pancaroba antara
musim hujan dan kemarau. Ritual dengan menyembelih ternak dan hewan luar yang
kemudian dibagikan kepada penduduk sama rata, kecuali bagi para penghulu desa
yang mempunyai bagian lebih banyak dari para penduduk biasa. Tatanan organisasi
kuwu juga sudah tertata dengan sangat baik, dibidang kemasyarakatan dan bidang
keagamaan.
2.3. Ekspedisi Majapahit
Setelah
menyeberangi lautan pasukan Majapahit akhirnya mendarat di Pulau Bali.
Kedatangan prajurit Majapahit tersebut membuat Pulau Bali bagaikan bergetar,
rakyat Bali menjadi panik dan melaporkan hal tersebut kepada pangeran Sri
Madatama yang merupakan putra mahkota kerajaan Bali serta kehadapan Raja Sri
Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah mendengar laporan tersebut, Raja Sri
Astasura Ratna Bumi Banten kemudian mengutus putranya pangeran Sri Madatama
untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut. Setelah memastikan kebenaran berita tersebut Krian
Pasung Grigis beserta para patih lainnya segera punggawa menyiapkan pasukannya
masing masing dengan membagi pasukan menjadi 3 sesuai arah pengepungan pasukan
dari Majapahit.
o
Pertahanan di wilayah Utara
dijaga oleh Ki Pasung Grigis, Si Buwan dan Krian Girikmana.
o
Pertahanan di wilayah Barat
dijaga oleh Sri Madatama, Ki Tambyak, Ki Walumgsingkat dan Ki Gudug Basur.
o
Pertahanan di wilayah Timur
dijaga oleh Ki Tunjung Tutur, Kom Kopang dan Ki Tunjung Biru.
Penyerangan ini
mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan
Bedahulu.
Diceritakan
pasukan dari arah timur yang dipimpin langsung oleh Patih Gajah Mada sesuai
kesepakatan, langsung membakar semak belukar di hutan untuk memberi tanda kepada
pasukan dari arah Utara dan selatan bahwa penyerangan akan segera dimulai.
Akibat pembakaran hutan tersebut membuat nyala api membumbung tinggi ke angkasa
sehingga dapat dilihat oleh para arya dari arah utara dan selatan.. Dengan
isyarat tersebut dengan serentak para prajurit Majapahit melakukan penyerangan
ke Pusat kerajaan Bedahulu.
Pasukan dari
arah Timur dipimpin oleh Patih Gajah Mada berhadapan langsung dengan pasukan
Bedahulu yang dipimpin oleh Ki Tunjung Tutur yang berkedudukan di Toya Anyar dan
Ki Kopang yang berkedudukan di Seraya. Pertempuran berjalan dengan dahsyatnya,
saling terjang dan masing masing memperlihatkan kesaktian, kedigjayaan serta
kemahiran bertempur, sampai akhirnya pasukan Bedahulu dapat dipukul mundur oleh
Pasukan dari Majapahit setelah Ki Tunjung Tutur dan Ki Kopang gugur dalam
pertempuran. Pasukan yang masih tersisa akhirnya tercerai berai menyelamatkan
hidupnya masing masing. Dengan gugurnya kedua pemimpin pasukan tersebut maka
daerah Tejakula, Bondalem, Julah, Bangkah, Bukti, Sembiran, Tajun, Bontihing,
Bila, Depaa, Dausa, Lateng, Tunjuk, Kepakisan, Selulung, Batur dan desa sekitar
bintang danu dan bagian timur seperti Tongtongan, Margatiga, Ngis dan Tianyar
dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah Pimpinan Patih Gajah Mada.
Demikian pula
pasukan dibawah pimpinan Krian Kepakisan dan Krian Tumenggung dapat menguasai
desa Celukan Bawang, Banjar-Aseman, Uma Anyar, Yeh Anakan, Kalopaksa,
PatemonUlaran, Unggahan, Gelagah, Kutul, Sepang, sekitar sungai Ubo, Ringdikit,
Rangdu, Mayong, Pusuh, Lapuan, Kekeran, Belah-Manukan, Kedis, Gesing,
Banyuatis, Gobleg, Cempaga, Kayu Putih, Munduk dan Baha.
Pertempuran di
Bali bagian utara juga tidak kalah serunya. Daerah Ularan dipertahankan oleh Ki
Girikmana diserang oleh pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Panglima Arya
Damar. Terjadi pertempuran antara kedua pimpinan pasukan yaitu Arya Damar
dengan Si Girikmana. Kedua pasukan yang tadinya bertempur menghentikan
pertempuran untuk menyaksikan perang tanding ke dua tokoh tersebut. Dalam
perang tanding yang berlangsung sangat seru tersebut masing masing menunjukkan
kesaktiannya untuk secepatnya melumpuhkan musuhnya, sampai akhirnya Si
Girikmana tidak mampu menandingi kesaktian Arya Damar sehingga gugur dalam
pertempuran sebagai kesatria sejati. Gugur pula dari pihak kerajaan Bali Krian Jembrana
sebagai prajurit yuda.
Di Batur
pasukan yang dipimpin oleh Arya Damar dihadang oleh Ki Bwan. Dalam pertempuran
tersebut Arya Kutawandira mohon diberi kesempatan untuk untuk perang tanding
dengan Ki Bwan. Arya Damar mengijinkan dan memberi nasehat untuk berhati hati
dalam menghadapi Ki Bwan karena orangnya juga tidak kalah saktinya dengan Si
Girikmana sehingga terjadilah pertempuran antara kedua tokoh tersebut. Dalam
pertemuran tersebut Ki Bwan tidak mampu menandingi kesaktian Arya Kutawandira
sehingga gugur dalam pertemuran sebagai pahlawan. Dengan gugurnya ke dua
pimpinan pasukan dari Bedahulu tersebut maka wilayah Bali bagian utara jatuh
ketangan pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Damar. Panglima perang pasukan
Majapahit yang gugur dalam pertempuran tersebut bernama Arya Gait . Dengan
gugurnya Ki Girikmana dan Ki Bwan maka daerah Jembrana, Pamagetan, Kebon
jangung, Pangesan, Cangku, Pupuhan, Balimbing, Serampangan, penatahan, Jelijih,
Punggang, Gadungan, Kayu Kunyit, Uma-Gati, Uma-Bangkah dan desa Selajong dapat
dikuasai prajurit Majapahit dibawah pimpinan Arya Damar.
Berbeda dengan
Bali bagian utara dan bagian Timur, pertahanan Bali bagian Selatan jauh lebih
kuat karena dipimpin langsung oleh Putra mahkota Kerajaan Bali yaitu pangeran
Sri Madatama bersama panglima pasukan yang sakti mandraguna yaitu Ki Gudugbasur
yang berpangkat demung dan Ki Tambyak yang berkedudukan di Jimbaran. Pasukan
dari Bali tersebut bertempur dengan semangat tinggi dengan diiringi oleh
gamelan yang gegap gembita sehingga berbaur dengar gemerciknya suara tombak
beradu.
Dalam
pertempuran tersebut Lurah Kadengayan, Lurah Suwung terlibat pertempuran sengit
dengan Arya Wangbang dan Arya Dalancang. Pertempuran tersebut berjalan seimbang
dimana Kedua belah pihak sama sama mengeluarkan ilmu pamungkas, sampai akhirnya
Lurah Kadengayan dan Lurah Suwung gugur dalam perang tanding tersebut. Melihat
temannya gugur dalam pertempuran Ki Demang Kalambang dan Ki Tambyak maju ke medan
pertempuran menuntut balas
Ki Tambyak
mengamuk dalam pertempuran sehingga membuat pasukan Majapahit tercerai berai.
Dalam pertempuran tersebut Arya Pasuruhan tewas di tangan ki Tambyak dan di
injak injak dengan kuda sedangkan kyai Banyuwangi lari dikejar oleh pasukan Ki
Kalambang. Melihat pasukan Majapahit terus terdesak Arya Kenceng kemudian turun
langsung ke medan pertempuran.
Pasukan
Majapahit di wilayah Selatan dibawah pimpinan Arya Kenceng menggempur habis
habisan, tiada henti hentinya mengurung pasukan musuh dari segala arah. Pasukan
Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak mulai terdesak dan banyak yang mati terluka.
Dalam keadaan terdesak Ki Tambyak berhasil mengalahkan Kyai Lurah Belambangan.
Tubuhnya dilemparkan oleh Ki Tambyak sehingga terpelanting ke tempat yang agak
jauh. Kyai Lurah Belambangan menghembuskan napasnya yang terakhir, gugur
sebagai prawira yuda yang gagah berani. Melihat kawan seperjuangannya gugur,
Arya Balancang, Arya Sentong, Arya Wangbang dan Kyai Banyuwangi maju bersamaan
untuk mengimbangi kekuatan musuh.
Ki Tambyak adalah seorang patih kerajaan Bali yang sangat teguh dan sakti sehingga sulit untuk dikalahkan, kalau hal tersebut terus dibiarkan maka makin banyak korban yang berjatuhan dari pihak Majapahit. Untuk menghindari hal tersebut maka pimpinan pasukan Majapahit di wilayah selatan yaitu Arya Kenceng memutuskan menghadapi langsung Ki Tabyak. Dalam pertempuran satu lawan satu tersebut masing masing pihak berusaha saling mengalahkan. Karena hebatnya perang tanding tersebut prajurit dari kedua belah pihak sampai menghentikan pertempuran untuk menyaksikan kedua tokoh sakti tersebut saling mengalahkan. Namun demikian ternyata Arya Kenceng dapat memanfaatkan kelengahan Ki Tambyak sehingga dapat terus menekannya. Ki Tambyak akhirnya gugur dalam pertempuran sampai kepalanya terpisah dari badannya. Dengan gugurnya Ki Tambyak pertahanan Bali di wilayah selatan menjadi lemah karena hanya menyisakan Ki Gudug Basur.
Ki Tambyak adalah seorang patih kerajaan Bali yang sangat teguh dan sakti sehingga sulit untuk dikalahkan, kalau hal tersebut terus dibiarkan maka makin banyak korban yang berjatuhan dari pihak Majapahit. Untuk menghindari hal tersebut maka pimpinan pasukan Majapahit di wilayah selatan yaitu Arya Kenceng memutuskan menghadapi langsung Ki Tabyak. Dalam pertempuran satu lawan satu tersebut masing masing pihak berusaha saling mengalahkan. Karena hebatnya perang tanding tersebut prajurit dari kedua belah pihak sampai menghentikan pertempuran untuk menyaksikan kedua tokoh sakti tersebut saling mengalahkan. Namun demikian ternyata Arya Kenceng dapat memanfaatkan kelengahan Ki Tambyak sehingga dapat terus menekannya. Ki Tambyak akhirnya gugur dalam pertempuran sampai kepalanya terpisah dari badannya. Dengan gugurnya Ki Tambyak pertahanan Bali di wilayah selatan menjadi lemah karena hanya menyisakan Ki Gudug Basur.
Dalam
Pertempuran tersebut Ki Gudug basur diserang dari segala arah oleh para Arya
dari Majapahit. Namun I Gudug basur ternyata mempunyai ilmu yang sangat tinggi
yaitu teguh, kebal oleh senjata apapun sehingga para Arya mengalami kesulitan
untuk mengalahkannya. Namun demikian walaupun tubuhnya tidak dapat terluka
apabila terus menerus digempur dari segala arah lama kelamaan Ki Gudig Basur
kehabisan tenaga dan sehingga dapat dikalahkan oleh pasukan dari Majapahit.
Dengan Gugurnya
Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak maka daerah Seseh, Tralangu, Padang Sambian,
Kedonganan, Benua, jimbaran, Kuta, Mimba, Suwung, Sesetan, Tuban, Renon,
Batankendal, Sanur, Tanjungbungkah, Kaba Kaba, Kapal, Tanah barak, Camagi,
Munggu, Parerenan, Dukuh, Kemoning, Pandak, Kelahan, Pancoran, Babahan,
Keliting, Cengkik dan Kerambitan dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah
pimpinan Arya Kenceng.
Kemenangan
Pasukan Majapahit di wilayah selatan yang dipimpin oleh Arya Kenceng melengkapi
kemenangan pasukan Majapahit yang terlebih dahulu berhasil mengusai wilayah
Utara dan Timur Pulau Bali sehingga praktis semua daerah pesisir Bali dapat
dikuasai. Sekarang tinggallah Krian Pasung Grigis yang bertahan di desa
Tengkulak di wilayah Bali Bagian Tengah. Setelah kemudian Krian Pasung Grigis menyerah dalam adu ilmu dengan Gajah Mada
akhirnya wilayah Bali secara keseluruhan dikuasai oleh Majapahit. Demikianlah akhir perlawanan Kryan Pasung Grigis terhadap Majapahit
dan selanjutnya Pasung Grigis dipenjaraan di Tengkulak. Dengan tertawannnya
Pasung Grigis maka seluruh rakyat dan para pemuka Bali menyatakan tunduk
dibawah kekuasaan Majapahit. Peristiwa penundukan Bali oleh Majapahit terjadi
pada Tahun saka 1265 atau 1343 M. Pasukan Gajah Mada beserta para Arya
merayakan kemenangan ini dengan suka cita.
Sisa sisa
langkar Bedahulu yang masih tersisa setelah mengalami kekalahan dalam pertempuran
menyelamatkan diri dan mengungsi ke daerah Songan, Kedisan, Abang, Pinggan,
Munti, Bonyoh, Tarobayan, Serahi, Sukawana, Panarajon, Kintamani, Pludu,
Manikliu, dan ada pula yang mengungsi ke daerah timur seperti Culik, Tista,
Margatiga, Muntig, Got, Garbawana, Lokasarana, Garinten, Sekul Kuning, Puhan,
Hulakan, Sibetan, Asti, Watuwayang, Kadampai, Bantas, Turamben, Crutcut, Datah,
Watidawa, dan Kutabayem.
Banyak juga diantara pasukan Bali yang mengungsi ke wilayah hutan Bali
tengah yang masih lebat dan angker, diantaranya sepanjang hutan antara sungai
Petanu dan sungai Ayung, mereka berdiam menjauhi keramaian dan hidup dari hasil
hutan. Menjadi penduduk pedalaman yang terisolir dari wilayah-wilayah kerajaan
sampai berdirinya kerajaan Samprangan. Mereka memilih mendiami wilayah tepian
sungai atau lereng gunung yang subur.
2.4. Pemberontakan Orang Aga
terhadap Kerajaan Samprangan.
Adhipati
Shri Kresna Kepakisan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Sampelangan.
Pemerintahan beliau menganut system kepemerintahan di Majapahit serta beliau
kurang memahami apresiasi rakyat Bali, keberadaan tempat suci orang Bali Aga
tidak dapat perhatian dan diabaikan. Sikap inilah yang sangat menyinggung
perasaan orang Bali Aga, pemerintahan beliau dijauhi. Lama kelamaan rasa tersinggung
ini meningkat menjadi rasa antipati, yang puncaknya orang Bali Aga tidak mau
mengakui pemerintahan Adhipati Sampelangan.
Di sekitar tahun 1355 banyak desa-desa Aga yang kemudian
melakukan pemberontakan terhadap adipati Samprangan.
Pemeberontakan ini diawali dari Desa Tampurhyang Batur sebagai pusat
pemerintahan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh Kyayi Kayu Selem, kemudian diikuti
oleh desa Batur, Terunyan, Abang, Buahan, Kedisan, Cempaga, Pinggan, Peludu,
Kintamani, Serai, Manikliyu, Bonyoh, Sukawana, Taro dan Bayad.
Kemudian
pemeberontakan ini mendapat dukungan
dari desa-desa timur Bali yaitu, Culik, Tista, Basangalas, Got, Margatiga,
Sekulkuning, Garinten, Lokasrana, Puhan Bulkan, Sinanten, Tulamben, Batudawa,
Muntig, Juntal, Carutcut, Bantas, Kuthabayem, Watuwayang, Kedampal, dan Hasti,
serta desa-desa lainnya sehingga jumlahnya adalah tidak kurang dari 39 desa.
Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dhalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit,
melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan
persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta
simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki
Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu beliau bawa.
Karena
keterkaitan antara banuwa-banuwa dan ikatan sosial diantara desa-desa tua Aga,
Penduduk Aga yang tersebar di daerah tepian sungai besar
sepanjang sungai Wos Lanang dan Wadon, Sungai Petanu, Sungai Tawar dan Sungai Ayung
dengan kuwu-kuwunya ikut serta dalam pemberontakan
yang dipimpin oleh Ki Pasek Taro, Tidak
Kurang dari 1200 pemuda berbadan tegap ikut andil dalam pemberontakan terhadap
Adipati Samplangan. Mereka berkumpul membuat gelar pasukan di daerah Bedahulu.
Akan tetapi pergerakan pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh laskar
Samplangan, banyak laskar pemberontak yang tewas, sisanya melartikan diri masuk
ke hutan-hutan yang diperkirakan aman dari pantauan laskar Samprangan dengan
tetap melakukan kerusuhan-kerusuhan di wilayah tepian hutan, dengan merampok
dan membegal para pedagang sebagai unjuk rasa ketidak puasan terhadap
pemerintahan adipati Samplangan.
Pemberontakan
orang-orang Aga, yang bersifat besar dapat dipadamkan pada kisaran Tahun tahun 1383 Masehi, yaitu setelah Shri Kresna Kepakisan
mangkat digantikan oleh putra beliau yang bernama Dhalem Agra Samprangan, dan
saat gejolak yang terjadi dikeraton Samprangan, sehingga para mentri memutuskan
untuk mengangkat Shri Dhalem Ile sebagai Dipati Bali berkedudukan di Gelgel.
II.5. Kehancuran
Puri Tarukan
Di
awal pemerintahan Dalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 M atau 1295 saka)
terasa situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba
Raja dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu
dekat Raja.
Untuk
menghindari pertengkaran, maka kedua adik Dalem yaitu Dalem Di-Madia dan Dalem
Ketut, memilih tinggal di luar istana. Dalem Di-Madia membangun istana dan
bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar : Dalem
Tarukan. Dalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke
Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan; penduduk lalu menjuluki beliau
: Dalem Ketut Ngulesir.
Selain
untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki
dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta
mengadakan pendekatan dengan rakyat. Ide Bethara Dalem Tarukan memilih Desa
Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang
sebagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan
Karena sebuah kesalah pahaman yang sengaja dihembuskan
oleh fihak-fihak yang ingin berbuat onar, akhirnya laskar Samprangan menyerang
puri Tarukan. Mereka masuk ke istana, memeriksa setiap
sudut tetapi tidak menjumpai jejak Dalem Tarukan. Mereka hanya menemukan
permaisuri beliau yang bersimpuh berurai air mata. Pasukan Dulang Mangap lalu
menjarah isi Puri Tarukan dan membakar sampai habis Puri Tarukan. Para tawanan
digiring ke Puri Samprangan. Kejadian yang memilukan ini terjadi pada tahun
1377 M atau 1299 isaka.
Pada masa pelarian Dhalem Tarukan dari Puri Tarukan
menuju arah barat banyak kemudian pengikut-pengikut beliau yang terdiri dari
warga Aga Tarukan dan warga Aga wilayah-wilayah yang beliau lalui menyatakan
setia kepada Dhalem Tarukan, mereka lebih memilih menjauhi daerah keramaian
dengan membuka desa-desa terpencil di tengah hutan untuk mencari ketenangan.
Mereka membuat arela pertanian dengan membuka hutan-hutan pegunungan dalam
tingkatan yang tidak terlalu luas. Mereka menghindari diri bersentuhan secara
langsung dengan penduduk luar, demi keselamatan mereka. Mereka dikenal dengan
nama Warga Gunung. Banyak diantara penduduk itu kemudian masuk ke dalam trah
Pulasari atau Trah Kayu Selem. Mereka mengutamakan upacara-upacara yang
bersifat mengupacarai alam semesta, laut, gunung dan sungai.