Selayang pandang
Karya Agung Mupuk Pedagingan lan Padudusan Agung
di
PURA DALEM
Desa Pakraman Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar
Olih:
Ida Bagus Bajra
BAB I
Pendahuluan
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugrahaneng hulun, muncaranākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tatwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
Karena sebuah rasa penuh tulus dan kecintaan terhadap alam, budaya serta kehidupan sosial masyarakat Hindu di Bali, berbekal keinginan mengabdi terhadap tanah kelahiran dilandasi dengan semangat bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur yang sudah menyatu di dalam rangkuman sinar suci Beliau, kami memberanikan diri meramu data-data yang ada didalam bentuk sebuah karya sastra yang sangat sederhana yang kami persembahkan sebagai yadnya kepada pembaca dan generasi penerus kita, agar bisa kelak dikemudian hari dipakai sebagai bahan kajian dalam menyusun karya sastra yang lebih sempurna.
Segala macam bentuk ketidaksempurnaan dan kekurangan memenuhi kata demi kata dalam buku ini, sehingga dengan kerendahan hati kami memohon berbagai petunjuk dalam usaha kami membuat buku ini mendekati sempurna. Karena kami yakin dalam era global ini, banyak hal yang harus bisa kita lakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan zaman, salah satu diantaranya adalah tentang sejarah. Sejarah yang ditulis dengan dasar metode penulisan yang benar, data penunjang yang kuat serta pemahaman yang dalam akan mampu membangun rasa cinta generasi terhadap tanah kelahiran serta yang bertumbuh dan berkembang di wilayahnya. Karena rasa cinta akan hadir apabila kita mengenal jati diri yang mencakup tentang berbagai pilosofi yang terkandung didalam kebiasaan kehidupan sosial budaya kita. Pada intinya kami berusaha menyelaraskan berbagai dasar budaya keagamaan kita yang terdiri dari Kuno Dresta, Loka Dresta dan Sastra Dresta dalam sebuah kajian yang bisa menggugah kesadaran kita tentang pentingnya berbagai kearifan lokal yang didukung oleh sastra agama Hindu dalam menjaga Sradha umat beragama. Semoga kemudian kita dan generasi mendatang bisa melewati masa-masa kritis sebagai penjaga agama dan budaya warisan leluhur kita dahulu, agar perjuangan dan usaha yang sudah dilakukan oleh leluhur kita semenjak dahulu tidak hanya menjadi cerita usang yang semakin hilang, hanya karena ketidaktahuan kita terhadap perjuangan mereka. Kita adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, karena sejarah adalah sumber pengetahuan yang merupakan satu-satunya media untuk mengetahui masa lampau, yaitu mengetahui peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau dengan perbagai permasalahannya. Peristiwa yang menjadi objek sejarah sarat dengan pengalaman penting manusia karena mampu membangkitkan imajinasi memperluas wawasan intelektual, memperdalam simpati, sebagai sarana ideal untuk mendidik masyarakat agar berpikir secara bebas mengajarkan kepada masyarakat cara berfikir mmeningkatkan kreatifitas dan memberikan pelajaran untuk mengenal dirinya sendiri. Sejarah juga menjadi sumber pendidikan penalaran, pendidikan moral, menciptakan kebijaksanaan, dasar pendidikan politik, perubahan, Pendidikan masa depan dan sebagai ilmu bantu untuk ilmu- ilmu yang lain.
Semoga pikiran yang jernih mengalir dari semua penjuru arah angin, sehingga kita bisa memaknai setiap langkah dalam proses hidup di bhuwana agung maupun bhuwana alit sebagai sebuah keharusan yang sudah direncanakan oleh Sang Pencipta. Yang kekal adalah perubahan dan kebenaran utama hanya nilai-nilai spririt dan ritual yang mampu memaknai setiap perubahan sebagai sebuah kebenaran utama.
BAB II
ASAL USUL BALI
Zaman Bahari
Zaman bahari tatkala Nusa Bali dan Lombok masih dalam keadaan goncang, layaknya perahu diatas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada empat gunung di Bali, di bagian Timur gunung Lempuyang namanya, dibagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu sangat mudahlah Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini. Bhatara Hyang Pasupati sangat sedih melihat situasi Nusa Bali, maka segeralah Beliau memotong puncak gunung Mahameru, untuk dibawa ke Pulau Bali dan Lombok, Badawang Nala diperintahkan mengusung puncak gunung, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan dan menurunkan di Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih Kadasa sekitar bulan April, tepat saat bulan mati atau Tilem, rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11. Menurut analisa Team Sejarah dan Budaya Bali th 2012, cerita ini menggambarkan secara terselubung bahwa Bhatara Pasupati yang dimaksud adalah seorang penguasa di pulau Jawa, Gunung Mahameru digambarkan sebagai ilmu pengetahuan, Bedawang Nala digambarkan sebagai dasar dari ilmu keagamaan, Sang Naga Anantabhoga dan Naga Basuki dimaksud sebagai lambang aturan tentang pelaksanaan ilmu keagamaan tersebut. Jadi bisa dianalisa untuk sementara, bahwa pada sekitar tahun 11 Saka, keadaan pulau Bali dan Lombok selalu bergolak dan tidak aman akibat belum adanya tatanan ilmu pengetahuan keagamaan yang mengatur kehidupan penduduknya. Hal ini yang mengerakkan hati seorang penguasa di pulau Jawa untuk menyebarkan ajaran agama dan ilmu pengetahuan ke Bali dan Lombok. Ajaran suci itu diantaranya berupa dasar-dasar keyakinan serta aturan-aturan yang mengikat masyarakat dalam melaksanakan kewajiban terhadap bangsa dan agamanya. Karena setelah ajaran agama dan ilmu pengetahuan itu diturunkan di Bali dan Lombok, kedua pulau menjadi mulai tenang tanpa gejolak.
Selang beberapa tahun lamanya pada hari Kamis Kliwon wuku Tolu, pada Purnama raya, sasih Kasa sekitar bulan Juli, rah 7, tenggek 2, tahun Saka 27, terjadi hujan sangat lebat disertai badai, guruh dan kilat sambar menyambar. Gempa bumi gemuruh membawa hujan selama dua bulan tidak putus-putus. Puncaknya kemudian gunung Agung atau Giri Tolangkir meletus mengeluarkan sangat banyak air salodaka atau air belerang, pada hari Selasa Kliwon wuku Kulantir, sasih Kalima sekitar bulan Nopember, tepat bulan Purnama, pada tahun Saka 31, tampak turun beliau yang dimuliakan, Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya yang dikenal dengan nama Hyang Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat disana bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu berparhyangan di Ulun Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di Gunung Lempuyang. Beliau bertiga diutus oleh Bhatara Hyang Pasupati untuk turun ke Bali, sebagai junjungan rakyat Bali sampai akhir zaman.
Tahun Saka 896 kembali Bhatara Hyang Pasupati kembali mengutus murid-murid Beliau untuk turun ke Bali bertugas menyempurnakan tatanan kehidupan masyarakat Bali, walaupun penuh dengan rintangan, segala kehendak Beliau akhirnya terlaksana sehingga Bali dan Lombok menjadi daerah yang tenang tanpa gejolak.
Penyebaran Suku Bangsa Austronesia.
Sebelum kedatangan para Rsi Agung yang mengajarkan kehidupan beragama di wilayah bukit Bon, keadaan hutan-hutan tropis yang lebat menjadi tempat bermukim yang sangat baik bagi orang - orang Autronesia yang berbudaya sangat terbatas. Awalnya empat kerabat dari kelompok masyarakat yang kesehariannya memakai bahasa Austronesia, Tai-Kadai, Hmong-Mien Austro-Asiatik menepati wilayah Tiongkok bagian selatan antara tahun 2000 Sebelum Masehi hingga 1000 Sebelum Masehi. Bangsa Han yang mendiami wilayah utara Tiongkok menyerbu keselatan hingga mengusir penduduk Austronesia dan memaksa mereka untuk melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah Taiwan, kepulauan Asia Tenggara dan Samudra Pasifik lainnya. Migrasi yang bertahap dari penduduk Austronesia menjadikan mereka kemudian mendiami wilayah-wilayah yang berjauhan dan berkembang kehidupannya di masing-masing wilayah sesuai dengan kultur wilayah yang didiami, sehingga cenderung memiliki beberapa perbedaan walaupun mempunyai asal perkembangan yang awalnya sama. Penyebaran penduduk dari Taiwan ke Bali diduga melalui Maritime Asia Tenggara, sehingga budaya dan Bahasa penduduk Bali berkaitan sangat erat dengan penduduk kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Oseania.
Bila ditinjau dari ras dan penyebarannya, penduduk Bali merupakan ras Melayu Mongoloid dalam sub ras Deutro Melayu yang juga bermukim dan berkembang di daerah Bali, Jawa dan Banjar. Bali telah dihuni oleh bangsa Austronesia sekitar tahun 2000 sebelum Masehi yang bermigrasi dan berasal dari Taiwan melalui Maritime Asia Tenggara. Budaya dan bahasa dari orang Bali demikian erat kaitannya dengan orang-orang dari kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Oseania, data juga ditunjang dengan ditemukannya oleh para peneliti berbagai jenis alat-alat batu yang berasal dari saat itu di dekat desa Cekik di bagian sebelah barat pulau Bali.
Ilmu Arkeologi yang khusus mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak membagi masa Pra Aksara atau Pra Sejarah menjadi 2 zaman. Para peneliti asing seperti: P.V. van Stein Callenfels, A.N.J. Th. van der Hoop, dan H.R. van Heekern membagi pembabakan zaman dalam ilmu Arkeologi menjadi 2 teori, yang diketahui dari berbagai penggalian dan penelitian terhadap benda dan alam zaman pra aksara. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak. Dari hasil penelitian para ahli arkeologi, maka tabir kehidupan masyarakat pra aksara Indonesia dapat diketahui. Berdasarkan penggalian arkeologi maka pra aksara atau prasejarah dapat dibagi menjadi 2 Jaman, yaitu zaman batu dan zaman perundagian. Pada zaman batu dibagi lagi menjadi 3 periode atau masa, antara lain zaman batu tua atau Paleothikum, zaman batu tengan atau Mesolithikum dan zaman batu muda atau Neolithikum. Peninggalan-peninggalan zaman batu seperti kapak genggam, kapak Sumatera, pebble, kapak persegi dan kapak lonjong belum ada yang ditemukan di daerah Bon sehingga untuk sementara bisa kita simpulkan bahwa daerah Bon Petang belum ada tanda-tanda terjamah oleh kehidupan manusia pada zaman batu yang berlangsung kurang lebih 700.000 tahun lamanya. Pada zaman ini alat-alat kehidupan manusia sebagian besar terbuat dari batu, kayu dan tulang. Sementara itu berdasarkan para ahli memakai metode Tipologi atau metode dengan acuan bentuk dan tipe benda peninggalan menjadi zaman Batu menjadi 3 periode, antara lain zaman batu, zaman logam atau perundagian dan zaman pra aksara. Zaman batu dan zaman logam tidak bisa ditentukan dengan pasti kapan mulai dan berakhirnya karena pada zaman logam alat-alat dari batu masih juga dipergunakan oleh penduduk. Para ahli membuat pedanan zaman logam hanya sebagai tanda bahwa sudah mulai dikenal oleh penduduk alat-alat yang terbuat dari logam. Peninggalan dari zaman ini banyak ditemukan di wilayah Bali, terutama sekali berbentuk perhiasan sebagai bekal kubur di beberapa sarkofagus. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan penduduk di berbagai daerah di Bali lebih memilih untuk bermukim di wilayah - wilayah pegunungan yang berjarak dekat dengan sumber air, selain karena berlimpah sumber makanan juga sangat baik dipakai sebagai benteng alam guna menangkal serangan musuh atau binatang buas.
Wilayah Lungsiakan diperkirakan sudah didiami oleh penduduk dalam jumlah yang terbatas pada masa ini, walaupun masih bersifat nomaden atau berpindah-pindah dari suatu wilayah ke wilayah yang lain. Pada era berikutnya penduduk mulai berupaya menyiapkan bahan persediaan makanan dengan bercocok tanam, meninggalkan goa-goa tempat tinggal mereka mereka sebelumnya dan mulai tinggal di dataran dengan rumah sederhana yang berbahan baku kayu dan bambu beratap kulit kayu atau rumbia. Peneliti Barat, B.J. Miggen dan Clifford Evan Jr dalam studinya tentang kehidupan di hutan-hutan teropis menyatakan bahwa hutan tropis di wilayah Bali tengah tidak berbeda jauh dengan keadaan hutan Tropis di Amerika Selatan. Perubahan perlahan-lahan terjadi dengan terbentuknya perkampungan-perkampungan kecil semacam dukuh atau kuwu dengan beberapa rumah kecil yang tempatnya tidak beraturan. Bentuk rumah di perkampungan Bali pada masa ini berbentuk kebulat-bulatan dengan atap rumbia yang menjuntai hingga ujungnya menyentuh tanah yang hanya bisa menampung beberapa anggota keluarga saja, tidak lebih dari 4 orang. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi penyempurnaan dalam bentuk rumah penduduk Bali, dimulai dengan bentuk rumah memanjang dengan memakai tiang yang jumlahnya disesuaikan dengan luas bangunan. Rumah-rumah berbentuk balai panjang bertiang ini banyak dibangun di daerah yang dekat dengan ladang, dengan tujuan untuk menghindari serangan binatang buas. Rumah ini bisa menampung beberapa anggota keluarga inti yang semakin berkembang kemudian. Apabila rumah tiang ini dibangun jauh dari ladang, penduduk akan meninggalkan kampung mereka pada masa tanam dan masa panen, mereka membawa serta anggota keluarga dan binatang peliharaan ke ladang-ladang.
Di dekat ladang mereka membangun gubuk-gubuk darurat yang dipakai sebagai tempat tinggal sementara, yang ditinggalkan pada masa panen selesai. Semua rumah, baik yang berbentuk bulat, persegi bertiang atau gubuk di ladang-ladang dibuat dengan cara bergotong-royong oleh anggota Pedukuhan dengan upacara-upacara tertentu yang dipimpin oleh kepala Pedukuhan. Wilayah Desa Pakraman Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar yang berada pada garis kordinat peta -8.49.28.79 Lintang Selatan dan 115.25.34.50 Bujur Timur. Kedudukan wilayah ini tidak bisa dipisahkan dengan perjalanan sejarah kuno Bali, karena Lungsiakan sebelum menjadi sebuah desa yang tertata dengan baik, dahulunya masih berupa daerah hutan tropis yang berstruktur tanah sangat subur. Dengan sumber air yang melimpah, hawa yang sejuk dan lembab menjadikan wilayah ini sangat cocok ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman tropis yang hidup dengan subur, tanda-tanda kehidupan pada masa pra aksara hingga kini belum ditemukan oleh para ahli purbakala di areal pura. Hanya saja yang menarik dikaji adalah, letak Pura Dalem Lungsiakan dikelilingi oleh berbagai situs tua. Di bagian utara Lungsiakan di desa Margatengah dan Bukian Payangan ditemukan sarkofagus tahun 1974, dibagian timur Lungsiakan ditemukan situs Goa Raksasa di Campuan Ubud, Goa Gajah, Yeh Pulu, Sarkofagus di Bitra dan desa Tegallalang. Sementara itu dibagian selatan dari desa Lungsiakan ada ditemukan Candi Tebing di desa Jukutpaku. Sedangkan bagian barat dari desa Lungsiakan sudah sangat dekat dengan sungai tua, Ayung. Penemuan berbagai tinggalan purbakala itu untuk sementara bisa menjadi dasar pemikiran bahwa wilayah desa Lungsiakan sudah dihuni oleh penduduk pada zaman Megalithikum atau Batu Besar sekitar 250 tahun awal Masehi. Hal ini dituangkan dalam laporan 6 orang peneliti dari Balai Arkeologi dan Badan Pelestarian Cagar Budaya yang menemukan berbagai benda kuno di beberapa sarkofagus. Lebih lanjut bisa ditafsirkan bahwa daerah Lungsiakan sudah memiliki kontak dengan pendatang Tiongkok, India dan Vietnam pada masa prasejarah, karena sudah mulai dikenal simbol status pada berbagai penemuan. Ketersediaan air untuk irigasi sederhana pertanian juga sudah memungkinkan membuat penduduk kuno yang biasanya mendiami wilayah tepian sungai, berpindah ke daerah dataran yang agak tinggi. Sebaran situs prasejarah dan sejarah Bali Kuno yang tumpang tindih mengidentifikasikan keberlanjutan pemukiman masyarakat dan elit-elit dari dari masa prasejarah hingga awal munculnya kerajaan Hindu di Bali. Selain sumber sejarah dan penelitian juga data ripta prasasti ada juga cerita rakyat yang diyakini sebagai sebuah fakta masa lalau tentang adanya sepasang raksasa laki dan perempuan yang menghuni goa di Campuhan. Cerita rakyat ini berkembang hingga sekarang tentang bagaimana sepasang raksasa itu selalu menculik para penari rejang di Pura Gunung Lebah untuk dimakan. Sampai akhirnya perbuatan itu diketahui oleh penduduk dan beramai-ramai kemudian membunuh sepasang raksasa tersebut. Kata Raksasa ini kemungkinan menyebutkan jenis manusia yang bertubuh lebih besar dari manusia biasa dan hidup di goa-goa, walaupun tidak sangat pasti ada kaitannya antara cerita rakyat dengan yang dimaksud penduduk goa, cukup membuat para peneliti mengkait-kaitkan cerita rakyat ini dengan kehidupan manusia goa yang tanpa budaya.
BAB III
Masa Hindu Buddha
Masa perkembangan faham Hindu Buddha di Nusantara terjadi sudah sangat lama, seluruh wilayah pulau Bali mengalami masa ini, terbukti hingga sekarang faham ini menjadi warisan yang tidak pernah hilang, demikian juga daerah Lungsiakan, Kedewatan, Ubud. Pura-pura kahyangan yang berdiri megah di hampir semua pelosok wilayah ini menjadi bukti bahwa faham Hindu Buddha masuk ke seluruh wilayah Bali kemudian berkembang sesuai dengan keadaan wilayah dan perkembangan budaya penduduknya masing-masing. Tetapi karena sedikitnya peninggalan berupa tulisan yang bisa dibaca dan diteliti oleh para ahli membuat sulit memastikan era masuknya faham ini ke Bali.
Para pengungsi India.
Mulai dikenalnya keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu Buddha di Nusantara, diungkapkan oleh para ahli sejarah dunia diawali dengan kerajaan di daerah Sumatera Utara pada tahun 500 Masehi. Kebanyakan kerajaan-kerajaan itu didirikan oleh para pengungsi dari India, terdiri dari kaum Bangsawan, Pendeta dan para pedagang yang menghindar dari kemelut yang terjadi di India. Para pengungsi India ini berlayar mencari daerah baru untuk bermukim sebagai tempat melanjutkan tradisi yang mereka anut dan yakini secara turun temurun. Kerajaan-kerajaan kecil itu tersebar di beberapa wilayah di Sumatera Utara, dengan jumlah penduduk yang juga tidak terlalu banyak. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Kendahari, Pali, Malayu Sri Boja dan lain-lain yang bertahan sampai sekitar tahun 682 sampai dengan tahun 686 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perkembangan Agama Buddha Nusantara.
Di Palembang berdiri kemudian sebuah kerajaan yang bernama Sriwijaya, nama kerajaan berasal dari bahasa Sanskerta yang mengandung dua suku kata: Sri dan Wijaya, Sri berati Cahaya, Wijaya berarti kemenangan. Cikal bakal keberadaan kerajaan yang terletak di seputar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang ini menurut catatan sudah ada pada tahun 500-an. Kerajaan Sriwijaya terdiri atas tiga daerah utama: daerah ibukota yang berpusatkan di sekitar Palembang, lembah Sungai Musi dan daerah-daerah muara, pada sekitar tahun 425 Masehi, agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya yang berlokasi di Palembang, sehingga menarik hati banyak sarjana dari negara-negara di Asia untuk datang untuk memperdalam ajaran agama Buddha. Salah satu diantara mereka adalah seorang pendeta dari Tiongkok yang bernama I Ching, dalam perjalanan studinya ke Universitas Nalanda, India pada tahun 671 hingga 695, I Ching menceritakan dalam salah satu bukunya bahwa Sriwijaya sudah menjadi rumah belajar bagi ribuan sarjana Buddha. Pendeta I Ching menulis banyak catatan tentang keberadaan Sriwijaya pada masa itu. Semua tulisannya menjadi bahan yang sangat penting untuk mengetahui keberadaan kerajaan ini. Selain catatan tersebut, bukti lain tentang keberadaan Sriwijaya bisa ditemui dari berbagai peninggalan, salah satunya berupa prasasti yang dikeluarkan oleh masing-masing raja yang berkuasa pada zamannya. Prasasti yang menuliskan tentang Sriwijaya antara lain dibuat pada tahun 683 di Palembang, bernama Prasasti Kedukan Bukit yang berisi tulisan singkat menceritakan tentang usaha Raja Sriwijaya, yang bergelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan penyerangan ke wilayah Malayu Sriboja keselatan dan dibagian utara wilayah Sumatera, juga melakukan menaklukan terhadap Kerajaan Tarumanegara. Diantara kerajaan-kerajaan Malayu, Kerajaan Kendari dan Kerajaan Pali juga dapat dikuasai, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 683 Masehi, Prasasti Talang Tuo bertahun 684 Masehi dan Prasasti Kota Kapur.
Expansi Sriwijaya itu yang membuat para bangsawan dan para Rsi di Sumatera meninggalkan wilayah Malayu Sriboja mencari daerah yang baru diluar kekuasaan Kerajaan Sriwijaya kearah timur dengan perahu sampai mendarat di wilayah Nusa Goh atau dikenal dengan nama Pulau Sapi. Dengan sisa kekuatan pengikutnya mendirikan kerajaan Pali yang bermula dari sebuah desa kecil terpencil yang sunyi, nama kerajaan yang baru didirikan itu sama dengan sewaktu masih di Sumatera yang berpenduduk sebagian besar memeluk agama Buddha.
Kerajaan Kutai dan Mataram sebagai cikal Bakal perkembangan Agama Hindu di Jawa dan Bali.
Letak kerajaan Kutai berlokasi di daerah Kutai, Kalimantan Timur, keberadaan kerajaan Hindu pertama di Indonesia ini diterangkan oleh 7 buah prasasti yang berbahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa. Masyarakat Kutai pada saat itu belum mempunyai bahasa dan huruf yang baku, para ahli sejarah memperkirakan bahwa prasasti yang berbentuk Yupa mulai ditulis pada sekitaran tahun 400 Masehi. Kalimat yang terpahat pada salah satu yupa setelah diteliti dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi cikal bakal dari kerajaan Kutai adalah Kudungga yang dilanjutkan oleh Aswawarman dan pada masa pemerintahan Mulawarwan kerajaan Kutai mencapai masa kejayaanya. Kerajaan Kutai memiliki hubungan dagang yang sangat baik dengan India, hal itulah yang membuat semua prasasti di Kutai ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta yang merupakan hurup dan bahasa Hindu Selatan di India yang merupakan daerah asal agama Hindu-Buddha. Dengan perkiraan tertulisnya prasasti yang menceritakan tentang kerajaan Kutai pada sekitar tahun 400 Masehi, dapatlah disimpulkan bahwa Kutai adalah kerajaan Hindu pertama di Nusantara.
Pada tahun 730 Masehi, secara resmi Sri Maharaja Sanjaya menjadi raja di pulau Jawa, kerajaanya disebut sebagai kerajaan Mataram, wilayah kekuasaanya meliputi seluruh pulau Jawa, kecuali tanah Sunda. Sri Maharaja Sanjaya mulai melakukan penaklukan-penaklukan ke daerah sekitar, seperti Sriwijaya, Lingor atau Thailand hingga Hujung Medini atau Malaysia Barat. Beliau juga dikenal sebagai Raja Rsi yang sangat gemar menyebarkan agama Hindu di daerah-daerah taklukannya, memperkenalkan ajaran Lingga Yoni dalam penyebaran agama Hindu yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta kerajaan Mataram. Semua konsep pemerintahan beliau dapat kita lihat pada Prasasti Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah berangka tahun 732 Masehi dikisaran Tahun 730 Masehi. Salah seorang Pendeta guru dari perguruan Markandhya yang bernama Rsi Markandya melakukan perjalanan suci dari Pasraman Gunung Wukir di Damalung, tempat dimana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, kemudian menuju lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang. Di daerah lereng Gunung Raung wilayah Desa Girimulya, dan di sekitar Tirta Empul di Jawa Timur ditemukan juga oleh para peniliti sejumlah peninggalan kuno berupa arca-arca kecil pratima. Di antaranya arca perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984, arca Rsi Markandya seukuran ibu jari ditemukan tahun 1985, tempat Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, dua buah Bokor Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, Gentha Panditha dan tujuh bilah keris ditemukan pada tahun 1976. Kemudian ditemukan juga batu Andesit diperkirakan dipakai untuk mengolah obat saat itu. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan kuno.
Didalam Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya juga dikisahkan seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang isteri, berputera dua orang yang sangat tampan rupanya, berbudi mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama Sang Niyata. seperti yang tersurat dalam sloka Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, yang berbunyi :
Sang Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira apekik listu paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama
Yang artinya:
Sang Ayati dan Sang Niyata sama-sama berparas sangat tampan, sangat pintar dan faham berbagai ilmu pengetahuan yang menjadikan beliau berdua sangat bijaksana.
Sang Ayati berputera Sang Prana, demikian pula adiknya, yang bernama Sang Niyata, berputera Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristerikan Dewi Manaswini, berputera Maharsi Markandya. Selanjutnya Maharsi Markandya, beristerikan Dewi Dumara, menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristerikan Dewi Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Pada hari yang baik, salah seorang murid Maha Rsi Agastya yang bernama Sang Ila putera dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan Tapa Samadhi di Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Pegunungan Dieng. Seperti halnya Maharsi Markandya juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau pegunungan Dieng di gunung Damalung.
Penduduk Bali Mula dan Bali Aga.
Pada awalnya penduduk pulau Bali terdiri dari kelompok-kelompok kecil masyarakat yang membentuk kuwu-kuwu terpencil dan berjauhan letaknya antara satu dengan yang lainnya, terdiri dari ras Austronesia yang memiliki aturan dan pemimpin masing-masing kemudian berkembang hampir ke seluruh pelosok Bali. Penduduk Bali yang awalnya tidak menganut agama, melakukan ritual dengan cara menyembah para leluhur yang mereka kenal dengan sebutan Hyang, kepercayaan mereka bahwa tiap benda, baik yang benyawa maupun tidak bernyawa mempunyai roh, yang ditakuti dan dihormati. Meyakini bahwa semua unsur dalam dunia dikuasai Hyang sebuah kekuatan yang tidak tampak. Mereka memuliakan gunung, sungai, danau, laut, pohon dan batu serta benda-benda lain sebagai tempat bersamayamnya para Hyang. Keadaan seperti ini berlangsung sangat lama, diperkirakan hingga awal pertama tarikh Masehi atau sekitar abad pertama Masehi. Menurut Lontar Bali Tattwa, datanglah seorang Rsi yang bernama Maha Rsi Markandya ke Bali, Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah kurang lebih 800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandya ke arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung.
Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, segera melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti Mranggi atau Macan, Singa, dan Ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, pengiring Sang Maharsi yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja. Mereka memilih bermukim di wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Diantaranya kampung-kampung tua di sepanjang dataran subur yang diapit oleh dua aliran sungai, Sungai Wos Lanang dan Sungai Wos Wadon. Dataran yang membentang dari utara ke selatan dari Taro sampai Campuhan Gunung Lebah di Ubud. Sebagian yang lain menyebar kearah barat dan timur Munduk Taro membangun kuwu-kuwu di daerah tepian sungai dan perbukitan yang menyedikan banyak sumber air dan makanan. pengikut Rsi Markandhya yang selamat dan menghuni berbagai wilayah Bali secara terpencar ini kemudian dikenal dengan nama Penduduk Bali Mula, yang artinya ditancapkan di Bali sebagai cikal-bakal pembuat peradaban Bali kemudian.
Sang Maharsi Markandya memutuskan untuk kembali ke Pesraman di Gunung Raung, melakukan yoga, tapa, brata dan semadhi untuk memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha untuk mengetahui sebab bencana yang sudah menimpa para pengikut beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru. Dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara yang cukup serta tidak menanam Panca Datu. Kisah ini menyiratkan sebuah pesan bahwa saat kedatangan Maha Rsi Markandhya di Bali, sudah ada penguasa-penguasa lokal yang memiliki banyak pengikut belum bisa menerima kedatangan beliau yang mengajarkan faham ke-Tuhanan di Bali. Diperkirakan para penguasa lokal dan masyarakat Bali ini menghalang- halangi usaha beliau dalam menyebarkan ajaran suci itu.
Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan III, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali dengan membawa ribuan orang pengikut dari Desa Aga, yang dikenal sebagai keturunan petani cakap mengubah hutan menjadi perkampungan dan lahan pertanian. Setelah berhasil membuka lahan pertanian, maka tanah lapang itu segera dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat dimana awal Sang Rsi melakukan pembagian lahan itu kelak menjadi satu desa yang diberi nama Desa Puwakan, yang artinya tempat pembagian yang adil. Tentang pembagian tanah dan kehadiran Maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek panditha Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Panditha prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Panditha Aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna mwang Bhhuta yajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunong taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryan rumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan
Artinya :
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Panditha Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandhita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Bhatara semua, Sang panditha Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewa Yajnya dan Bhuta Yajnya, serta memuja Pertiwi.
Setelah selesai melakukan pangaci-aci atau melakukan upacara yadnya, maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara. Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tidak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandhya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha. Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa yang artinya serba dan ada, jadilah serba ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada. Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Sang Maharsi melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah barat, pada satu lokasi yang masih asri. Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandhya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung atau giri Tolangkir, di desa Besakih.
Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandhya menanam kendi yang berisi Panca Datu yang terdiri dari lima jenis logam mulia, seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lama kelamaan daerah pura Basukian dikenal dengan nama Besakih, yang berarti semua selamat dan berbahagia. Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat di Desa Puwakan, dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah berhasil dengan baik merabas hutan, Maharsi Markandhya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian. Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandhya juga membangun tempat pemujaan yang diberi nama Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan atau perwakilan Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Glanmore, Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali Sang Maha Rsi mendapat wangsit sebelum datang menyebarkan ajaran ke-Tuhanan ke Bali. Di kawasan Ubud ada ditemukan hingga kini dua areal tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandhya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud. Dikisahkan dalam semadi sang Rsi melihat seberkas sinar terang dikejauhan yang selanjutnya ditelusuri hingga sampai pada satu tempat berupa hutan lebat di daerah perbukitan. Pada lokasi sinar itu kembali Rsi Markandhya melakukan yoga semadi, di tempat semadi beliau itu selanjutnya didirikan sebuah Pura dengan nama Pura Pucak Payogan.
Tidak jauh dari Pura Pucak Payogan, pada sebuah pertemuan dua aliran sungai suci Wos dimana beliau selalu melakukan penyucian diri dari segala unsur papa mala petaka, oleh pengikut beliau kemudian dibangun sebuah tempat suci dikenal dengan nama Pura Gunung Lebah. Selain sebagai sumber kesucian, campuhan juga sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, karena disanalah konsep penciptaan dari pertemuan sungai suci Wos Lanang sebagai unsur Purusa atau laki-laki dengan sungai suci Wos Wadon sebagai lambang Predana atau Perempuan. Pertemuan dua unsur ini disertai dengan puja mantra serta kedalaman yoga serta semadi yang tinggi menghasilkan kesehatan dan kesejahteraan lahir dan bhatin.
Dalam karya besar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa
Artinya :
Juga di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandhya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan atau Payangan, sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, dikisahkan beliau sang Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci dikenal dengan nama Murwa atau Purwa Bhumi. Pura dimaksud berlokasi di Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi Markandhya untuk pertama kalinya menurunkan ilmu pengetahuan suci keagamaan, juga ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan cara bertani yang sesuai dan benar bagi para pengikut beliau juga untuk masyarakat luas. Kesejahteraan yang diharapkan terlaksana melalui jalan yang panjang dari Jawa ke Bali berujung di Parahyangan, menyatu antara kebahagiaan sekala dan niskala dirasakan beliau dan para pengikutnya dituangkan dengan pendirian Pura Sukamerih yang berarti segala kebahagiannya yang diharapkan sudah tercapai. Sekian lama setelah masa kedatangan sang rsi yang dimulai dari tahun 858 Saka, ajaran suci beliau menyatu dengan jiwa penduduk Bali menjadi pondasi kepercayaan pengikut beliau yang kemudian menyebar tidak hanya di wilayah munduk Taro, tetapi juga dibawa oleh penduduk Aga di desa-desa seperti: Sambiran, Sangsit, Dausa, Cabongan, Lembongan, Nusa Penida, Cempaga, Tenganan, Kintamani, Sastra, Sidhatapa, Timbrah, Kedisan, Terunyan, Padarba, Kutapang, Batur, Kayubihi, Gobleg, Sental, Kawan, Bakung, Kayang, Bratan, Tigawasa, Bantang, Pangotan, Sukawana, Kembang Sari, Bayung, Ceking, Lampu, Kutadalem, Abang, Abianbase, Sambahan, Lot, Plaga, Blakiuh, Gadungan, Camangawon, Angkah, Marga, Tabuana, Pasekan, Pengalu dan lain-lain.
Melihat dan meneliti dekatnya jarak antara Desa Lungsiakan dengan Pura Gunung Lebah dan Pura Pucak Payogan, kemungkinan sangat besar desa Lungsiakan sudah didiami oleh penduduk Bali Mula dan Bali Aga pada kisaran tahun 800 hingga 900 Masehi. Berawal dari Kuwu dengan beberapa orang kepala keluarga, semakin lama semakin berkembang hingga membentuk sebuah Banua atau Desa dengan penduduk yang terdiri dari puluhan kepala keluarga. Konsep desa masa penduduk kuno yang mengutamakan hulu Gunung sebagai pokok kehidupan bermasyarakat dan kehidupan religi tampak jelas pada penataan Desa Lungsiakan. Jalan desa yang membentang dari hulu ke hilir diapit oleh rumah-rumah penduduk diperkirakan memang berasal dari jalan kuno yang sudah diwarisi dari dahulu, walaupun kemungkinan masih berupa jalan setapak berbatu-batu. Kelengkapan faktor utama terbentuknya desa kuno masih sangat lengkap diwarisi hingga sekarang, mulai dari adat istiadat, bangunan-bangunan pelinggih pura, setra dan petirtan atau beji merupakan faktor utama yang dibuat oleh penduduk kuno dalam usaha awal membangun sebuah desa atau kuwu.
Perkembangan kebudayaan yang terjadi kemudian tidak serta merta mampu menghapus jejak langkah budaya orang Bali Mula maupun Bali Aga pengikut Sang Rsi yang semakin lama semakin berkembang. Ajaran suci keagamaan yang merupakan pondasi kehidupan di Lungsiakan seakan menyatu sebagai sebuah kebiasaan yang diajarkan oleh leluhur kepada generasi penerusnya. Kebiasaan yang mengikat dalam sebuah tradisi berisikan pesan moral yang tinggi sebagai wujud nyata cara menghaturkan ungkapan rasa terimakasih kepada Sang Pencipta dan segala ciptaan Beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar