BAB III
PURA
ULUNSWI APUAN, SUSUT BANGLI
II.1. Nama, Rupa, Guna, Sakti
Secara
etimologis kata Ulunswi dapat diuraikan sebagai berikut: Ulun yang berasal dari kata Ulu yang artinya atas, kepala, pusat atau sumber, sedangkan kata Swi artinya sawah. Keterangan ini sesuai dengan keterangan yang ditulis dalam Lontar Uttara Kanda Dewa Purana Bangsul,
lembar ke-18. Disamping itu arti kata Swi,
juga berarti air. Jadi Pura
Ulunswi artinya Ulun Sawah atau Ulun Carik, atau pusat atau sumber kemakmuran sawah.
Dengan demikian Pura Ulunswi berarti pura
pusat kemakmuran sawah.
Pura Ulunswi
Apuan terletak di perbatasan antara Desa Apuan dan Desa Srokadan Kecamatan
Susut, Kabupaten Bangli, pada koordinat -8.4792261 Lintang Selatan dan
115.3324939,15 Bujur Timur. Berjarak lebih kurang 9,6 km di sebelah barat Kota
Bangli. Keadaan alam sekitarnya adalah susunan pedesaan dan pura berada di
tengah-tengah desa dilindungi oleh perumahan-perumahan penduduk dan sebagian
besar terdiri dari tanah sawah dan tegalan sepanjang jalan. Secara umum rentang
ketinggian wilayah berdirinya Pura
Ulunswi Apuan berada pada 225 hingga 950 meter diatas permukaan laut, Ditinjau dari aspek
Geologi, secara umum formasi geologi wilayah ini termasuk dalam formasi geologi Buyan,
Beratan dan Gunung Batur (Qpbb) yang berumur kuarter. Formasi ini pada bagian
permukaan di dominasi oleh tufa pasiran dan di beberapa tempat dijumpai tufa
batu apung dan endapan lahar.
Wilayah Susut Bangli
Tufa
pasiran umumnya melapuk menengah
hingga tinggi berwarna kuning kecoklatan,
berukuran pasir halus hingga kasar.
Tufa batu apung berwarna putih kecoklatan, agak rapuh dan mudah lepas. Endapan
lahar berwarna abu-abu sampai abu-abu kehitaman terdiri dari batuan beku
andesit dan batuapung dengan masa tufa pasiran bersifat agak rapuh. Memiliki iklim
tropis, suhu udara relatif rendah berkisar antara 15̊C hingga 30̊C, semakin ke utara suhu semakin
dingin. Angka curah hujan rata-rata tahunan terendah adalah 900 mm dan
tertinggi 3.500 mm. Penyebaran curah hujan relatif tinggi berkisar antara 2.500 hingga 3.500 mm meliputi
bagian utara (lereng Gunung Batur) dan semakin rendah ke arah selatan wilayah.
Curah hujan tertinggi terjadi bulan Desember hingga Maret dan terendah pada bulan Agustus.
Candi Bentar
Pura Ulunswi
Data historis
primer yang dipergunakan untuk mengetahui sejarah pura ini adalah
keterangan-keterangan tertulis yang terdapat dalam lontar Usana Dewa,
koleksi Perpustakaan Universitas Udayana Denpasar. Di dalam lembar ke-17
lontar ini ada disebutkan :
“………nihan prateka kutara
ring Bali kaungwan denira Empu Kuturan, bhiseka maring majapahit, magawe maring
Bali unggwan Bhatara kabeh, Bhatara ring Batu Madeg, Bhatara ring Matu
Panyeneng, Bhatara ring Pintu Aji, Bhatara Kadhaton, Bhatara ring Tengah Mel,
Bhatara ring Tukabyang, Bhatara ring Batur Kawu, Bhatara ring Kapatigan, ring
Pujung, Bhatara ring Ulu Watu, ring Manisan, ring Sakenan, ring Marga Laya,
Bhatara ring Limasanak, nga, Dewa ring Delod Peken, Pengulun Gelgel,
penyungsungan para punggawa ring Bali, wite tuwah Majapahit, nga, sapungkus
sang bakabhumi panyeneng ring Ulunswi, ika maka uriping sawah……..”
Maksudnya :
“………….inilah hal ikhwal keadaan di Bali, diletakkan oleh Beliau Empu
Kuturan, yang dinobatkan dari Majapahit (maksudnya Jawa), membawa ke Bali linggih
Bhatara semua, Bhatara di Batu Madeg, Bhatara di Batu Panyeneng, Bhatara di
Pintu Aji, Bhatara di Kedaton, Bhatara di Tengah Mel, Bhatara di Tukabyang,
Bhatara di Batur Kawu, Bhatara di Kapatigan, di Pujung, Bhatara di Ulu Watu, di
Manisan, di Sakenan, di Margalaya, Bhatara di Limasanak, yaitu Dewa di Lod
Peken. Maka ulu Gelgel, pemujaan para punggawa di Bali, asalnya adalah
Majapahit yaitu yang bernama Bakabhumi bersthana di Ulunswi itu menjadi jiwanya
sawah………..”
Pelinggih Gedong
Seperti yang diutarakan diawal, kemungkinan Pura
Ulunswi Apuan sudah berdiri pada masa pemerintahan wangsa Warmadewa di Bali,
walaupun mungkin mempunyai nama yang berbeda. Untuk hal ini semoga ada waktu
lebih panjang lagi untuk bisa memaparkan sejarah Pura Ulunswi dengan lebih
detail.
Simbol-simbol Ida Sang Hyang Widhi di Pura Ulunswi
memberikan kekuatan dan ketenangan bagi masyarakat Pangempon, sehingga mereka
lebih mempercayakan nasib dan peruntungannya pada jaman bergolak itu kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa. Penduduk melaksanakan kewajibannya di Pura Ulunswi Apuan
dengan cara-cara swadaya, dimulai dari pemugaran Pura, pemeliharaan saluran
irigasi dan upacara dilaksanakan secara rutin, walaupun tidak secara
besar-besaran. Warga Subak bahu membahu membangun dan menata pura yang sudah
lama dilindas oleh jaman yang penuh hiruk pikuk perubahan kekuasaan dan
politik. Dalam perkembangan selanjutnya
dilakukan pemugaran-pemugaran yang
disesuaikan dengan jaman pada saat pemugaranya. Pura Swagina yang dibangun di tengah-tengah wilayah
persawahan ini terletak di Desa Adat
Apuan, Kecamatan Susut,
Kabupaten Bangli,
Provinsi Bali. Pura Ulunswi Apuan diempon
oleh Gebog 300, dengan 300 Pekaseh dengan krama Subak yang tersebar di Desa
Apuan Kaler, Apuan Kelod, Bangun Lemah Kawan, sebagian Srokadan, sebagian Sala
dan sebagian krama Desa Abuan.
III.2.
Jajar Kemiri Pura Ulunswi Apuan
Berkat kerja keras dilandasi semangat gotong royong
dan kebersamaan dalam usaha memelihara palinggih-palinggih, kini Pura Ulunswi Apuan
yang terdiri dari tiga mandala ini nampak asri tanpa kehilangan kesakralannya. Pura
Ulunswi Apuan berdiri dipinggir jalan antara Desa Apuan dan Abuan Pembagian
letak palinggih dan bangunan pendukung yang sesuai dengan Asta Kosala-Kosali
tertata dengan baik dimasing-masing mandala pura, Uttama Mandala, Madya Mandala
dan Nista Mandala Pura.
Keterangan Denah
A.Perantenan
|
4. Pemeletasan
|
B.Wilayah Utama Mandala
|
5. Padmasana
|
C.Wilayah Madya Mandala
|
6. Meru Tumpang 2
|
D. Wilayah Nista Mandala
|
7, 9. Ngurah Pengapit
|
1. Pelinggih Taman
|
8. Padmasari
|
2. Pewaregan
|
10. Rong 1
|
3. Pemedal Taman
|
11. Rong 1 mejajar
|
12. Rong 3
|
16,18. Gedong Pengapit
|
13. Rong 1
|
17. Pengaruman
|
14. Meru Tumpang 3
|
19. Gedong Bata
|
15. Rong 1
|
20. Panggungan
|
21. Gedong Penyineban Ratu Gede
|
27,36. Candi Bentar
|
22.Laapan
|
28,37. Pemeletasan
|
23.Piyasan
|
29,30. Apit Lawang
|
24. Aling-aling
|
31. Bale Gong
|
25. Dasar
|
33. Lebuh
|
26,32. Bale Pesanekan
|
34. Wantilan
|
35. Bale Kulkul
|
A. Perantenan
Perantenan adalah bangunan yang khusus difungsikan sebagai tempat
memasak berbagai penganan sarana upacara dalam rangkaian piodalan, wali atau karya.
B.Wilayah Utama Mandala
C.Wilayah
Madya Mandala
D.
Wilayah Nista Mandala
Pelinggih-pelinggih diantaranya:
1.
Pelinggih Taman
Pelinggih Taman merupakan
sebuah tempat yang selalu berhubungan dengan sumber air suci dan berfungsi
sebagai tempat para Dewata masucian (membersihkan diri). Di Taman dipuja Dewi Gangga,
sumber dari air suci Menurut tradisi, bahwa ada dua kegiatan upacara yang
berhubungan dengan Pelinggih Taman,
yaitu pada saat pelaksanaan Upacara Nyangling dan Upacara Ngabejiang. Kedua
bentuk kegiatan upacara tersebut dilaksanakan setiap upacara piodalan, baik
pada saat upacara besar (karya ageng) maupun upacara kecil (karya alit).
2.
Pewaregan
Perantenan adalah bangunan yang khusus difungsikan sebagai tempat
memasak berbagai penganan sarana upacara dalam rangkaian piodalan, wali atau karya.
3.
Pemedal Taman
4.
Pemeletasan
Candi ini difungsikan oleh masyarakat Desa Adat sebagai akses dari
jaba tengah ke jeroan atau dari madya mandala ke utama mandala, khusus dalam
rangkaian memundut berbagai piranti upakara upacara.
5.
Padmasana
Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa
Kuna-Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder terdiri dari dua
kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai dan “Asana” artinya sikap duduk. Hal
ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga Padmasana berasal dari Bahasa
Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito,
terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau bathin, atau
pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah.
Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang
Maha Esa. Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari
tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari
gambaran alam semesta (makrokosmos)
yang merupakan stana dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Palinggih
Padmasana dikonsep oleh Dang Hyang Nirartha untuk melengkapi bangunan-bangunan
palinggih yang dirintis oleh pendahulunya, yaitu Mpu Kuturan, Menurut Dang
Hyang Nirartha palinggih–palinggih yang ada sebelumnya tidak ada yang khusus
berfungsi sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa, namun yang ada hanya
bangunan palinggih utuk memuja manifestasi Tuhan dan roh leluhur, Untuk Itu
maka dibangunlah Padmasana untuk memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa. Di Pura Dalem
celuk, juga dibangun palinggih Padmasana, dan posisinya berada di arah timur
laut (ersanya) menghadap ke barat. Ersanya menurut pendangan Hindu, merupakan
arah yang tersuci, yaitu sebagai pertemuan antara arah kaja (adya) yaitu gunung
dan kangin (purwa) yaitu arah terbitnya matahari. Saat ini, hampir semua pura
yang dibangun setelah kedatangan Dang Hyang Nirartha dilengkapi dengan
Padmasana. Bila tidak Padmasana, setidaknya Padmasari. Perbedaan Padmasana
dengan Padmasari terletak pada dasar bangunan dan pepalihannya. Ciri khas
Padmasana adalah bedawangnala (kura-kura) pada dasar bangunannya yang diikat
(dililit) oleh satu atau dua ekor naga. Sedangkan bangunan Padmasari tidak
menggunakan bedawangnala. Demikian pula fungsinya adalah sebagai tempat
pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Sang Hyang Achintya, yang
dimohonkan hadir ketika ada upacara piodalan (upacara kecil) dan pujawali atau
upacara besar. Bangunan Padmasana di Pura Dalem Celuk adalah salah satu
bangunan yang kuno, yang belum mendapatkan proses pemugaran.
10.
Rong 1
11.
Rong 1 mejajar
12.
Rong 3
13.
Rong 1
14.
Meru Tumpang 3
15.
Rong 1
16,18.
Gedong Pengapit
17.
Pengaruman
Pengaruman berasal dari kata parum yang artinya pertemuan. Berangkat
dari etimologi katanya, fungsi palinggih adalah sebagai tempat pertemuan para
ista dewata (manifests! Tuhan), ketika ada upacara yadnya, terutama upacara
besar (wali ageng). Di palinggih tersebut para ista dewata dipuja dengan diberi
persembahan (sesaji), dan dimohon menyaksikan jalannya upacara sekaligus
cintakasih-Nya untuk memberikan keselamatan dan kesejahteraan.
19.
Gedong Bata
20.
Panggungan
Fungsinya sebagai tempat upakara ketika upacara piodalan dan
pujawali. Terkadang para tukang banten sering menyinggung dengan ungkapan:
Kudang panggung mekarya banten? Artinya: berapa panggung membikin banten?
Pertanyaan tersebut juga dapat diartikan merujuk kepada tingkatan
besar-kecilnya (ageng-alit) dari upacara yadnya yang dilaksanakan.
21.
Gedong Penyineban Ratu Gede
22.Laapan
23.Piyasan
Bale ini difungsikan sebagai tempat Ida Bhatara / Bhatari berhias
ketika upacara Piodalan, sebelum upacara pemujaan (upacara Piodalan atau
Pujawali) dilaksanakan. Bale ini juga biasa difungsikan sebagai tempat Ida Bhatara
Sesuhunan, (Ida Ratu Gede, Ida Ratu Ayu, Ida Ratu Lingsir dan Ida Ratu Segara)
melinggih. Bale ini juga difungsikan sebagai tempat Ida Pedanda ngweda atau muput Upacara.
Dan dapat difungsikan juga sebagai tempat banten atau aturan aturan
Krama Desa.
24.
Aling-aling
25.
Pelinggih Dasar
Palinggih
dasar adalah palinggih dimana disthanakan Ida Sang Hyang Widhi dalam
manifestasi beliau sebagai Sang Hyang Ibu Pertiwi yang telah menciptakan Bumi atau Sapta Patala atau tujuh
lapisan alam bawah. Palinggih ini juga bersebelahan dengan palinggih Paku aji,
yang kalau dikaitkan dengan konsep purusa pradana, palinggih dasar sebagai
pradana yang mewakili unsur Ibu Pertiwi.
26,32.
Bale Pesanekan
Bangunan ini berbentuk segi empat berada di sebelah timur di madya mandala, memiiki fungsi sebagai bangunan
serbaguna, biasanya difungsikan untuk menyambut tamu, atau sebagai tempat
rapat.
27,36.
Candi Bentar
Candi ini adalah pintu masuk dari jaba sisi ke jaba tengah, candi
bentar ini adalah salah satu bangunan kuno yang masih dipertahankan. Berbentuk gunung
terbelah dua dimana bangunan sama tinggi layaknya segitiga yang dibagi
menjadi dua bagian. Bangunan ini melambangkan pecahnya Gunung Kailasa
tempat Dewa Ciwa bertapa. Jika dilihat dari bentuknya yang terbelah dua maka Candi
bentar melambangkan ardhacandra pada kedua bangunan tersebut yang sejiwa bagian
(kiri dan kanan) bangunan itu sebagai simbol rwa bhineda dalam kehidupan, yakni
: Sifat positif dan negatif dalam aksara dengan aksara Ang dan Ah.
28,37.
Pemeletasan
Candi ini difungsikan oleh masyarakat Desa Adat sebagai akses dari
jaba tengah ke jeroan atau dari madya mandala ke utama mandala, khusus dalam
rangkaian memundut berbagai piranti upakara upacara.
29,30.
Apit Lawang
Palinggih Pengapit Lawang dibangun dikanan dan kiri dari Candi
Bentar di nista
mandala sebagai tempat memuja Hyang
Nandiswara.
Fungsi dari pengapit lawang tersebut adalah sebagai penjaga pintu (lawang),
untuk mengantisipasi roh-roh jahat yang ingin masuk ke tempat suci.
31.
Bale Gong
Bale Gong dibangun di wilayah madya mandala bagian barat memanjang arah utara selatan, difungsikan sebagai tempat
melantunkan tabuh gong dalam rangkaian pujawali.
33.
Lebuh
34.
Wantilan
Adalah
bangunan serba guna yang berada di jaba sisi, bangunan ini difungsikan untuk
mengadakan pertemuan-pertemuan penting, tempat pertunjukan kesenian, tempat
membuat sarana upacara dan lain lain.
35.
Bale Kulkul
Bale Kulkul yaitu balai tempat kentongan (Pajenengan) di tempat
suci. Bentuk bangunan tinggi menyerupai menara. Bangunan dibagi menjadi tiga
secara vertical, yang terdiri atas bagian kaki bangunan (tepas), bagian tubuh
(batur) dan bagian puncak (sari). Kedua Kentongan yang tergantung di bangunan
ini hanya disuarakan pada saat piodalan atau hal-hal penting yang menyanglcut
tentang berbagai kegiatan di Pura Dalem Celuk saja. Merupakan linggih Hyang
Widhi dalam manifestasi sebagai Iswara, dalam ilmu yoga yaitu Paratma yang ada
di leher atau kerongkongan, yang berfungsi utama untuk mengeluarkan berbagai
jenis suara.
III.3. Struktur Organisasi Pangempon
Pura.
300 organisasi tradisional Subak yang bergabung dalam
Subak Gede Apuan dan Subak Gede Bekutel membentuk Gebog 300 sebagai Pangempon
Pura Ulunswi Apuan. krama Subak Gede Apuan dan Subak Gede Bekutel mempunyai
logo khusus untuk organisasi Pangempon Pura yang dipakai dalam urusan surat
menyurat yang bersifat dinas. dengan Makna: Padi dan Kapas sebagai lambang
kesuburan dan Kemakmuran. Bentuk Pelinggih di tengah-tengah padi dan kapas
melambangkan srada bakti para pengempon kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam
manifestasi Beliau sebagai Dewi Penguasa sumber air dan penganugerah kesuburan
dan kemakmuran anggota subak, dilinggihkan dalam pelinggih menyerupai gedong
beratap ijuk.
Linkaran diatas gambar pelinggih melambangkan bahwa
keesaan Ida Sang Hyang Widhilah sebagai sumber dari segala sumber.
III.4. Karya Agung Mamungkah di Pura
Ulunswi Apuan.
Sebagai
bentuk upaya mengelola air sebagai sumber hidup dan ucapan terimakasih kepada
Ida Sang Hyang Widhi dan manifestasi beliau yang berparahyangan di Pura Ulunswi
Apuan, krama Pangempon pura bersepakat menghaturkan upakara upacara dengan nama
Karya Agung Mamungkah, Nguntap Nuntun, Ngenteg Linggih, Mendem Pedagingan,
Ngusaba Nini lan Bangun Ayu, Nyenuk, Ngebat Daun, Mapadudusan Agung, Caru Lebur
Gentuh.
Yadnya
sangat penting dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Kata Yadnya berasal dari bahasa
Sansekerta, kata “Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan, pengorbanan,
menjadikan suci. Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam Yadnya yaitu
keikhlasan, kesucian dan pengabdian tanpa pamrih. Dalam Atharwa Weda XVII.3 dinyatakan bentuk Yadnya yang paling tinggi
adalah pengorbanan lahir batin. Maka dari itu semangat patriotisme yang
diajarkan dalam Bhagawadgita, Mahabharata, Ramayana sangat tepat ksatria yang
ber-Yadnya di medan perang. Maknanya sebagai pembela tanah air, menegakkan
kebenaran dan keadilan. Yadnya sebagai amalan agama mengandung pengertian: Merupakan
sistem persembahyangan dalam kontak memuja Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai prinsip berkorban agar
umat bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban itu sebagai pemeliharaan
kelangsungan hidup menuju hidup bahagia.
Konsep
agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya keseimbangan,
berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di
dunia. Untuk umat Hindu yang diidam-idamkan adalah terwujudnya keseimbangan
antar manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia
dengan lingkungannya. Yang dikenal
dengan Tri Hita Karana. Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan. Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu:
Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya dan Panca Yadnya
berdasarkan tujuan dan objek yang dituju, Yadnya ini disebut Panca Maha Yadnya.
Panca Yadnya berdasarkan sarana dan
bentuk pelaksanaan dalam Bisma Parwa dijelaskan:
·
Drewaya Yadnya, adalah Yadnya yang mempergunakan
harta milik sebagai sarana korban.
·
Tapa Yadnya, adalah Yadnya dengan melaksanakan
tapa, yaitu tahan uji tahan derita sebagai sarana berkorban.
·
Jnana Yadnya, adalah Yadnya dengan
menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, memberikan pandangan-pandangan, atau buah pikiran yang
berguna, sebagai sarana korban.
·
Yoga Yadnya, adalah Yadnya dengan pengamalan
yoga, yaitu menghubungkan diri pada Sang Hyang Widhi melalui
jenjangan-jenjangan yoga. Bahkan sampai dengan tingkat tertinggi yakni semadhi,
sebagai sarana berkorban.
·
Swadyaya Yadnya, adalah Yadnya dengan mengorbankan
diri demi kepentingan Dharma. Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan, mereka
mengorban kan diri demi sebuah kemerdekaan. Ini juga disebut Yadnya.
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan
obyek yang dituju. Dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70. tersurat:
“Adhyapanam brahma Yajnah, Pitr yajnastu tarpanam, homo
daivo balirbhaurto, nryajno ‘tithi pujanam.”
Selanjutnya dalam
Manawa Dharmasastra III.72. bahwa’
“Devatatithi
bhrtyanam, pitrnamatmanasca yah, Na nirvapati pancanam, ucchwasanna sa jwati”.
Yang
diartikan
”Tetapi
ia yang tidak memberikan persembahan kepada kelima macam tadi yaitu para dewa,
para tamunya, mereka yang harus dipelihara, para leluhur dan ia sendiri, pada
hakekatnya tidak hidup walaupun bernafas”
Bhagawadgitha III.4. menyebutkan
“ Na karmanam anarambhan,Naiskarmyam puruso snute Na
ca sannyasanad eva, Siddhim samadhigacchati”
Yang
artinya
“Bukan
dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga
tidak hanya dengan melepaskan diri dari pekerjaan orang akan mencapai
kesempurnaannya”.
Dalam
hal tersebut bahwa Karya Agung yang dilaksanakan
oleh
krama Pangempon Pura Ulunswi Apuan
merupakan wujud sradha Bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dimana seluruh
komponen Krama
ikut andil dalam pelaksanaannya. Karena sesungguhnyalah alam telah memberikan
kepada kita semua untuk kita pelihara sehingga keselarasan akan terpelihara. Setiap
pelaksanaan Yadnya yang dilakukan oleh masyarakat Bali pada umumnya, memiliki
dasar yang sangat kuat yang berdasarkan pada sastra agama.
Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama dilaksanakannya yadnya
menyatakan bahwa
“Alam ini ada
berdasarkan yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan yadnya Dewa memelihara manusia
& dengan yadnya manusia memelihara
Dewa”.
Ini berarti bahwa yang menjadi dasar
adanya alam semesta beserta isinya ini adalah adanya yadnya Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Maha Purusa.
Bhagavadgita
III.11.
menyatakan bahwa :
”para dewa akan
memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan, karena itu manusia yang
mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan yadnya pada
hakekatnya dia adalah pencuri”.
Juga dijelaskan dalam Bhagavadgitha
III.14. bahwa;
”Dari makanan, makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan
dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya lahir dari pekerjaan.
Sehingga dari keseluruhan perbuatan atau pekerjaan
tersebut, lahirlah panca yadnya. Karena keterikatan dan timbal balik yang
terjadi maka adanya hutang yang harus dibayar, sehingga manusia yang terlahir
kedunia sudah berbekal hutang yang harus dibayar kepada orang tuanya, dan
sebagainya. Maka adanya hutang tersebut yang disebut dengan Tri Rna.
Hal ini termuat dalam kitab Manawa dharma-sastra VI.35 yang menyebutkan bahwa :
“Pikiran (manah) yang
ada dalam diri kita masing-masing baru dapat diarahkan pada kelepasan setelah
melunasi 3 hutang yang kita miliki”.
Jadi sebelum kita dapat melunasi
hutang-hutang itu, kita tidak akan mencapai tujuan akhir agama Hindu yang
disebut Moksartham jagadhita ya ca iti
dharma.
Semua sastra di atas mengajarkan kepada umat Hindu agar tidak jemu-jemu
melaksanakan Yadnya yang pantas dan sesuai dengan kemampuan, yang paling
penting didasari oleh rasa tulus dan ikhlas. Seperti halnya upacara-upacara
besar, tentu memerlukan banyak piranti upacara juga jumlah krama yang mempunyai
tugas dengan keahliannya masing-masing. Karena sangat
banyaknya Karya Agung Mamungkah, Nguntap Nuntun, Ngenteg Linggih, Mendem
Pedagingan, Ngusaba Nini lan Bangun Ayu, Nyenuk, Ngebat Daun, Mapadudusan
Agung, Caru Lebur Gentuh di Pura
Ulunswi, Apuan, Susut, Bangli yang puncaknya dilaksanakan pada Anggara Umanis
wara Wayang, tanggal 12 November 2019 ini, maka
kemudian dibentuklah Panitia atau Prawartaka Karya, antara lain sebagai berikut
:
Prawartaka Karya Agung Mamungkah, Nguntap Nuntun,
Ngenteg Linggih, Mendem Pedagingan, Ngusaba Nini lan Bangun Ayu, Nyenuk, Ngebat
Daun, Mapadudusan Agung, Caru Lebur Gentuh
di Pura Ulunswi Apuan, Susut, Bangli.
Anggara Umanis Wayang, Tanggal 12 November 2019
I
|
Wiku Yajamana
|
Ida Pedanda Putra Manggis (Giriya Siladan)
|
II
|
Wiku Tapeni
|
Ida Pedanda Istri Putra Manggis(Giriya Siladan)
|
III
|
Pengayom Karya
|
Perbekel Desa Apuan
Perbekel Desa Abuan
Bandesa Adat Apuan
Bandesa Adat Bangun Lemah Kawan
Bandesa Adat Srokadan
Bandesa Adat Abuan
Bandesa Adat Sala
|
IV
|
Manggala Karya
|
Jero Mangku Ulunswi
|
V
|
Ketua Umum
|
I Wayan Nyambuh
|
Bendahara Umum
|
I Nyoman Sudiartha
|
|
Bendahara Rutin
|
I Made Sudiana
|
|
Sekretaris
|
Anak Agung Nyoman Alit
I Wayan Sumarta
I Nyoman Suanda
|
VI. Ketua I: I
Nyoman Sudamia
Pembangunan:
Paebatan
Konsumsi
Penerangan, air
Keamanan
|
I Wayan Merta
I Ketut Payu
I Wayan Sudarma
I Made Sukarma
I Ketut Subrata
|
VII. Ketua II: I Nyoman Gunawan
Tamu:
Kesenian
Penggalian dana
Transportasi
Humas, Protokol
|
I Wayan Suasana
Ida Bagus Made Kartika
I Wayan Tata
I Nyoman Gunawan
Sang Made Suarjana
|
VII. Ketua III: I Made Saba
Upakara
Sulinggih, Tirta
Perlengkapan
Wawalungan
Kesehatan
Kebersihan
|
I Made Saba
I Wayan Darmika
I Wayan Rudita
I Wayan Arnawa
Ni Ketut Puspa
I Made Yatna
|
Krama Subak Pangempon yang terpilih sebagai Prawartaka
Karya mempunyai tugas mengorganisasi krama lain dalam seksi-seksinya, sehingga
diharapkan prosesi Karya agung bisa berjalan dengan lancar seperti yang
direncanakan sebelumnya. Hal ini diperlukan karena panjangnya tahapan upacara
upakara dari tanggal 13 September 2019 hingga tanggal 19 November 2019 seperti
yang termuat dalam Ehedan Upacara dibawah ini:
1. Sukra
Umanis Merakih, tanggal 13 September 2019, dilaksanakan upacara Pamiut
Karya di Pura Ulunswi. Dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana, didampingi oleh
Pemangku, dan serati.
Prosesi bertujuan untuk memberi batas
secara niskala antara parahyangan dengan Tri Mandala serta memohon kehadapan Ida Sang
Hyang Widi, agar Karya yang akan dilaksanakan mendapat restu dan diberikan
kemudahan, tuntunan serta semuanya
berjalan sesuai dengan harapan krama pengemong pura khususnya dan Bali umumnya.
Krama Pangempon Pura Ulunswi Desa Pakraman Apuan
sepakat melaksanakan berbagai Yasa Kerti, dengan mengutamakan perbuatan,
perkataan dan pemikiran yang penuh dengan kesucian. Yasa Kerti dalam hal
perbuatan yang baik dituangkan dalam butir sebagai berikut :
1. Semua
warga Pangempon Pura agar selalu
memakai pakaian adat yang pantas, juga diwajibkan memakai ikat kepala, baik
laki-laki maupun wanita.
2. Bagi
Krama Pangempon Pura yang mempunyai
cacat kelahiran diharapkan tidak ikut dalam ayah-ayah nanding upakara Suci,
Catur dan upakara lain yang dihaturkan di Sanggar, untuk menghaturkan ayah-ayah
yang lain dan muspa tidak ada larangan.
3. Yang
dianggap Cuntaka menurut sastra agama adalah warga yang kumpul kebo, anak yang
lahir tanpa orang tua yang syah dan yang lainnya dilarang memasuki wilayah Pura.
4. Semua
perbuatan yang disengaja bertujuan untuk menggagalkan rangkaian upacara agar
dijauhkan.
5. Apabila
ada Kematian di salah satu anggota keluarga Krama Pangempon Pura, terhitung
mulai dari dilaksanakannya upacara Pengalang Sasih sampai selesai Dudonan Karya
Agung, agar melaksanakan kegiatan tersebut tanpa suara kentongan.
6. Apabila
yang meninggal tidak akan boleh dipendem,
seperti Sulinggih, Pemangku agar dititip dahulu (Tidak diupacara).
7. Apabila
kematian yang boleh dipendem, agar prosesi dilaksanakan setelah matahari
tenggelam dengan upacara seperti biasa.
8. Bagi
Krama yang mengikuti prosesi upacara Kelayu-sekaran
dianggap Cuntaka. Cuntaka satu rumah dihitung sampai selesai, sesudah 12 hari.
9. Panumbak Pangapit terkena cuntaka
selama 3 hari. Para Juru Desa dan Dinas tidak terkena cuntaka, agar tidak ikut
dalam prosesi pemakaman.
10. Apabila
ada Krama Pangempon Pura
yang melahirkan,
terkena cuntaka 42 hari bagi yang wanita dan bagi yang laki-laki terkena
cuntaka sampai kepus puser bayi.
11. Apabila
ada salah satu krama yang keguguran, kena cuntaka selama 42 hari, laki atau
perempuan.
Demikian ketentuan Yasa Kerti yang disepakati oleh
Krama Pangempon Pura Ulunswi Apuan
dalam rangka menyambut Karya Agung
yang dilaksanakan.
2. Saniscara Pahing Merakih 14 September 2019, Dilaksanakan prosesi ngawit nanceb, dipimpin oleh
Jero mangku Pura Ulunswi, Apuan.
3. Redite Umanis Menahil 13 Oktober 2019, sekitar pukul 09.00 Wita, dilaksanakan acara: memulai
membuat Jajan Catur dipusatkan di Pura Ulunswi, dipimpin oleh Ida Pedanda Istri
Tapini dan Ida Cokorda Raka Kerthyasa (Puri Ubud).
4. Coma Umanis Bala, tanggal 28 Oktober 2019, sekitar pukul 10.00 Wita, dilaksanakan acara: Ngenteg
dan Ngunggahang Sunari dipimpin oleh Ida Pedanda Yajamana
5. Budha Kliwon Ugu, tanggal 06 November 2019, pukul 09.00 Wita, diadakan acara Mepada Alit dipuput
oleh Ida Pedanda Yajamana
6. Wraspati Umanis Ugu 07 November 2019 pukul 10.00 Wita, dilaksanakan acara: Caru Balik
Sumpah dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana, Ida Pedanda Budha, Ida Rsi Bhujangga
dan Ida Cokorda Raka Kerthyasa. Dalam kitab Samhita Swara
disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Hal itu disebabkan
salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia
dengan alam lingkunganya. Dalam kitab
Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup
mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan
Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam lingkungan. Untuk melakukan
Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu
adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang
sejahtera itu artinya alam yang cantik.
Caru, dalam
bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya: korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa
Sanskrit artinya ‘keseimbangan atau keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka
dapat diartikan: Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan
keharmonisan. ‘Keseimbangan/keharmonisan’
yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Tri Hhita Karana’ yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhan (parahyangan), sesama
manusia (pawongan), dan dengan alam
semesta (palemahan). Binatang
terutama adalah binatang peliharaan atau kesayangan manusia, karena pada
mulanya, justru manusia yang dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa
manusia digantikan binatang peliharaan. Penggunaan binatang ini sangat
menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata
menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor
ayam. dan seterusnya… Pemakaian
binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya telah disebutkan
dalam “Manawa Dharmasastra V.40”; Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan
sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan
berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan
tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang
membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan
yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat
dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara
banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau
keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat
kedewaan.
7. Sukra Pahing Ugu, tanggal 08 November 2019 dilaksanakan acara Nunas kekuluh, dilaksanakan oleh
jero mangku sowang-sowang.
8.
Saniscara Pwon Ugu, tanggal 09
November 2019 pukul 09.00 Wita,
diadakan acara Melasti dan Memasar dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana dan Ida
Pedanda Manuaba. Dalam
lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan
Malasti
ngarania ngiring prawatek Dewata,
anganyutaken laraningjagat, papa kiesa, letuhing bhuwana
Maksudnya,
Melasti meningkatkan
bakti kepada para dewata manifestasi Tuhan, agar diberi kekuatan untuk
menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa atau kekotoran
diri dan kekotoran alam semesta.
Sedangkan tujuan melasti seperti yang
tersurat dalam lontar Sundarigama adalah ngamet sarining amertha kamandalu ring
telenging sagara-mengambil
sari-sari kehidupan yang disebut tirtha kamandalu (air sumber kehidupan) di
tengah samudera. Ngiring prawatek dewata dalam lontar Sang Hyang Aji
Swamandala itu mengandung makna bahwa ciri utama orang beragama adalah berbakti
kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widi). Anganyutaken laraning jagat artinya, dengan
kuatnya srada dan bakti kepada. Tuhan, kepedulian sosial ümat bisa meningkat,
Anganyutaken papa klesa maksudnya agar umat termotivasi untuk mengatasi lima
kekotoran individu yang disebut panca klesa-awidya,
asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa. Sedangkan
anganyutaken letuhing bhuwana maksudnya melalui ritual melasti umat diharapkan
termotivasi untuk menghilangkan kebiasaan
buruk merusak sumber daya alam. Jika kebiasaan buruk ini terus dibiarkan, alam
akan rusak (letuhing bhuwana) yang pada gilirannya manusia akan menderita.
Malasti
berasal dari kata lasti. yang artinya menuju air. Dalam konteks prosesi
melasti, umat bisa mendatangi segara (laut), danau dan campuan (pertemuan dua
buah sungai). Tujuannya, nunas (mohon) tirta amertha dan menghanyutkan
kekotoran dunia. Malasti
ngarania ngiring prewatekan pralingga Ida Bhatara
ke telengin samudera angamet tirta amerta (tirta sanjiwani), anganyutaken
laraning jagat, papa
klesa letuhing bhuwana.
Artinya, umat ngiring Ida Bhatara
ke segara mengambil Tirta Amerta dan menghanyutkan segala penderitaan umat,
segala sesuatu yang menyebabkan dunia atau alam semesta ini kotor. Secara simbolik,
sesungguhnya umat diingatkan untuk selalu membenahi diri supaya menjadi lebih
baik, dengan menghilangkan atau menghanyutkan perilaku atau sifat-sifat buruk
yang melekat dalam diri.
9. Redite
Wage Wayang, tanggal 10 November 2019 pukul 10.00 Wita, diadakan
acara Mendak Bagia di Desa Adat Srokadan dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana.
Banten Bagia Pula-Kerti mengandung makna sesuai dengan namanya yaitu Bagia artinya kebahagiaan; Pula artinya menanam; kerti artinya perbuatan. Jadi arti
keseluruhannya adalah
kebahagiaan karena telah berhasil menanamkan perbuatan (suci). Maknanya lebih
jauh sebagai bukti telah melakukan
upacara yadnya yang utama. Banten intinya
adalah bebangkit akedengan, di masukkan ke dalam sebuah gentong
besar, kemudian dihias dengan kwangen 33 buah, orti, kekecer, tegteg. Dalam
gentong juga diisi panca datu, yang
kemudian Bagia ditanam di hulu Pura.
10. Coma
Kliwon Wayang, tanggal 11 November 2019 pukul 09.00 Wita,
diadakan acara Mepada Agung dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana.
11. Anggara
Umanis Wayang, tanggal 12 November 2019 pukul 09.00 Wita, Puncak
Karya dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana, Ida Pedanda Tanjung, Ida Pedanda
Budha, Ida Pedanda Nyoman Dangin dan Ida Tjokorda Kerthyasa.
12. Budha
Pahing Wayang, tanggal 13 November 2019 diadakan acara Penganyar
dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana.
13.
Wraspati Pwon Wayang, tanggal 14
November 2019 diadakan acara
Penganyar dipuput oleh Ida Pedanda Istri Giriya Manggis.
14. Sukra
Wage Wayang, tanggal 15 November 2019 pukul 14.00 Wita,
dilaksanakan upacara Nyenuk Lan Ngebat daun dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana.
15.
Saniscara Kliwon Wayang, tanggal 16
November 2019 diadakan acara
Penganyar dipuput oleh Ida Pedanda Istri Punia.
16. Redite
Umanis Klawu, tanggal 17 November 2019 pukul 10.00 Wita, dilaksanakan
upacara Nyegara Gunung dipuput oleh Ida Pedanda Yajamana.
17. Coma
Pahing Klawu, tanggal 19 November
2019 pukul Wita, dilaksanakan Nyepi
Karya.
18. Anggara
Pwon Klawu Klawu, tanggal 19
November 2019 pukul 15.00 Wita,
dilaksanakan upacara Nyineb, Nuwek Bagia dan Metingkeb dipuput oleh Ida Pedanda
Yajamana dan Ida Pedanda Gede Manuaba.
Dengan dilaksanakannya dilaksanakan upacara Nyineb,
Nuwek Bagia dan Metingkeb maka berakhirlah seluruh prosesi upacara upakara Karya Agung
Mamungkah, Nguntap Nuntun, Ngenteg Linggih, Mendem Pedagingan, Ngusaba Nini lan
Bangun Ayu, Nyenuk, Ngebat Daun, Mapadudusan Agung, Caru Lebur Gentuh di Pura Ulunswi, Apuan, Susut, Bangli yang puncaknya
dilaksanakan pada Anggara Umanis wara Wayang, tanggal 12 November 2019 ini
Dengan demikian Masyarakat Apuan khususnya para Pangempon
Pura Ulunswi Desa Pakraman Apuan berhasil mencapai tujuan pokok yadnya itu
sendiri. Karena yadnya memiliki enam tujuan utama, antara lain:
1.
Yadnya bertujuan sebagai sarana untuk menjabarkan dan menyebarluaskan
ajaran Weda yang bersifat sangat rahasia. Karena dengan yadnya semua ajaran
Weda dituangkan dalam bentuk upakara, upacara, tattwa, etika dan susila.
2.
Yadnya bertujuan sebagai Pembentuk jiwa umat yang kuat dalam menghadapi
kehidupan, sehingga menambah kwalitas spiritual umat yang bermuara kepada
konsep keikhlasan hakiki. sifat ini akan mampu membentuk masyarakat yang
jagaditha di dunia.
3.
Yadnya bertujuan sebagai alat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi,
mengungkapkan rasa syukur yang besar kepada Beliau atas semua anugerah yang
sudah dilimpahkanNya.
4.
Yadnya bertujuan sebagai komponen terpenting dalam usaha manusia
menciptakan keseimbangan Tri Hita Karana. Karena kedamaian dan kesejahteraan hanya
akan tercipta apabila ketiga komponen Tri Hita Karana seimbang dan harmonis.
5.
Yadnya bertujuan sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan
penebusan dosa, permohonan maaf penuh ketulusan dibuktikan oleh manusia dengan
nirwreti dan prawrethi.
6.
Yadnya bertujuan sebagai barometer pendidikan agama yang sersifat sangat
praktis, karena seluruh komponen yadnya dibuat dengan cipta yang mengedepankan
praktek berdasarkan tiori-tiori keagamaan.
Dari sekian banyak usaha pikiran, perkataan dan
perbuatan yang dilaksanakan dalam rangka mensukseskan Karya Agung ini
diharapkan semua bertumpu pada keikhlasan memuja kebesaran Ida sang Hyang Widhi
Wasa dalam seluruh manifestasi Beliau. Karena salah satu tujuan dari yadnya itu
adalah menciptakan keharmonisan alam semesta beserta seluruh penghuninya.
BAB V
PENUTUP
Pada
hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat
Hindu lewat berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugerah Beliau, memuja dan
mensucikan Palinggih Arcana Widhi, membangun dan memperbaiki Palinggih
Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial
religius masyarakat setempat, adalah sebagian kecil bentuk Sradha Bakti
terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat kesadaran yang maha
tinggi bahwa segala sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah berkat
ciptaanNya, berkat pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai
kekuasaan melebur. Konsep-konsep tersebut sudah terpatri dalam jiwa setiap
masyarakat Hindu di Bali.
Semua
Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya di Pura Ulunswi Desa Pakraman Apuan
merupakan salah satu jalan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan
alam lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana.
Keseluruhan bagian dari konsep Tri Hita Karana tersebut dipakai sebagai dasar
kehidupan di Desa Pakraman. Hal ini diperkuat dengan adanya Kahyangan Puseh,
Dalem dan Bale Agung atau Kayangan Tiga
juga kahyangan-kahyangan lain yang bersifat khusus, seperti Pura Ulunswi Apuan
yang merupakan salah satu dari ratusan kayangan swagina yang ada di Bali.
Wilayah Desa Adat
bagian Uttama Mandalanya terdiri dari Kahyangan Tiga dan kahyangan-kahyangan
lainnya sebagai wilayah yang disakralkan oleh penduduk, dipakai sebagai tempat
melaksanakan prosesi upacara keagamaan. Madya Mandala adalah wilayah pemukiman,
yaitu wilayah yang berada diantara sakral dan profan, karena menjadi tempat
penduduk atau masyarakat beraktivitas rumah tangga. Nista Mandala adalah
wilayah Pekarangan, Sawah, Tegalan,Teba
dan sebagainya, merupakan wilayah profan tempat masyarakat melakukan aktivitas
pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya.
Pura atau Parahyangan sebagai
suatu wadah pelaksanaan berbagai ajaran
suci Agama Hindu Bali dan perkembangan berbagai
kebudayaan Bali, serta berperanan aktif sebagai penyaring bagi masuknya
kebudayaan asing. Oleh Pura di Bali
adalah merupakan salah satu
kekuatan utama masyarakat yang menjadi benteng terakhir dari gerusan budaya
luar yang menyerbu Bali. Pura menjadi tempat yang paling damai untuk mencapai keharmonisan dan
kesejukan jiwa dan badan. Di Pura semua rangkaian spirit dan ritual bergabung
menjadi satu kesatuan yang bersama-sama membentuk jiwa dan badan masyarakat
Bali menjadi siap menghadapi jaman yang semakin tua.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Giriya Gunung Payangan,
.........oo0oo.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar