DHARMA WARNANA
PURA DESA, PUSEH DAN BALE AGUNG
DESA ADAT SAYAN, UBUD, GIANYAR
BAB I
PENDAHULUAN
Om Awignamastu Nama Sidham
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti mukti hitartwatam, prawaksyā tattwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanam, sirā ghranā stityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyam loka. Om nama dewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Ong kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah akam, janowa papā wināsayā, dirgha pramanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugerahaneng hulun, muncaranākna ikang tattwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, katkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagadhitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Sembah pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Ongkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugerahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bhuwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa pataka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugerahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
Dharma Warnana berasal dari 3 kata yakti Dharma, Warna, Hana, Dharma yang mengandung arti kebenaran yang tidak terbantahkan, Warna mengandung arti fungsi yang jelas dan Hana mengandung arti keberadaan atau sejarah dari masa ke masa. Bila digabungkan, Dharma Warnana mengandung makna Sebuah kebenaran yang terjadi dari masa ke masa berkaitan dengan fungsi dan manfaatnya. Dharma Warnana Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan adalah sebuah karya sastra semi akademis yang mengisahkan tentang hal-hal yang terjadi di Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan dari masa ke masa, fungsi dan manfaatnya pada setiap masa.
Setiap kejadian penting bagi diri sendiri, kelompok dan masyarakat selalu memerlukan evaluasi pada setiap masa, evaluasi yang sempurna baru akan bisa dilakukan dengan memahami betul apa yang sudah terjadi yang akan menjadi bahan evaluasi tersebut. Evaluasi oleh berbagai kalangan bisa jadi berbentuk nyata atau tidak nyata, dilaksanakan atau direncanakan. Pencatatan secara rinci dan sistematis sangat diperlukan dalam upaya penyempurnaan suatu kegiatan. Dharma Warnana Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan adalah salah satu upaya menuangkan berbagai kegiatan kedalam sebuah pencatatan berbentuk karya sastra, dengan tujuan menjadikannya sebagai objek yang akan dievaluasi dikemudian hari oleh generasi dikemudian hari. Tentu saja tidak semua hal yang terjadi di Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan pada setiap masanya bisa dituangkan dalam sebentuk tulisan sederhana seperti ini, tetapi hal-hal yang sangat penting dan berdampak pada perkembangan budaya spiritual yang terjadi termuat dalam bahasa yang sederhana, sehingga sangat gampang dibaca dan difahami oleh masyarakat. Diharapkan setelah membaca Dharma Warnana ini masyarakat mengetahui berbagai peristiwa penting pada masa lampau dengan perbagai permasalahannya, sehingga bisa dijadikan pelajaran atau ilmu sehingga bisa berfungsi edukatif. Yang terpenting adalah bisa dimanfaatkan sebagai pendidikan nalar, pendidikan moral, kebijaksanaan, pendidikan politik, dasa-dasar konsep perubahan, pendidikan masa depan dan sebagai ilmu bantu. Berbagai satra Kuno Hindu menerangkan bahwa Pura dan Kahyangan selalu dibangun di tempat-tempat yang dianggap suci, di Tirtha atau Petirtan, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai atau Campuhan. Di muara sungai, di puncak-puncak gunung atau bukit, di lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-pusat kota dan di tempat-tempat lain yang dapat memberikan suasana bahagia. Seorang ahli purbakala Bernet Kempers, memberi julukan pulau Bali sebagai Land of One Thousand Temples, pulau dengan seribu pura. Menurut data Departemen Agama Provinsi Bali tahun 2012 di Bali terdapat 4.356 Pura Kahyangan Tiga dari setiap wilayah Desa Pakraman di Bali. Selain itu terdapat 723 buah pura kahyangan jagat dan 923 buah Pura Kawitan. bila ditotal keseluruhan maka jumlahnya mencapai 6.002 buah pura. Masih banyak ahli-ahli dunia memberikan julukan yang mendunia terhadap pulau Bali, sehingga Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang menggabungkan unsur alam, budaya, seni, ekonomi, sejarah menjadi satu kesatuan yang saling bertautan.
Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan adalah satu diantara sekian ribu pura di Bali, menurut fungsi dan karakteristiknya termasuk dalam bagian dari Pura Kahyangan Tiga. Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan adalah tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi beliau sebagai Brahma dan Wisnu. Secara etimologi Kahyangan Tiga berasal dari dua kata yaitu “Kahyangan” yang berarti tempat suci dan Tiga berarti tiga, dan kalau digabungkan berarti 3 tempat suci. Kahyangan Tiga dalam konsep Tri Hita Karana adalah bagian Parahyangan, wilayah pemukiman penduduk sebagai Pawongan dan wilayah tegalan dan sawah adalah bagian yang disebut Palemahan. Ketiga bagian tersebut adalah hal yang harus dipenuhi dalam konsep setiap Desa adat di Bali. Data tertua yang berhasil dibaca tentang perkembangan agama Hindu di Bali bisa didapat dari peninggalan arkeologi berupa Stupika Buddha di Pura Penataran Sasih di Pejeng yang menerangkan bahwa pada abad ke 8 Hinduisme di Bali berkembang dalam wujud agama Buddha Mahayana dan Agaman Siwa. Prasasti Tua yang tersimpan di Sukawana yang dibuat pada tahun 882 Masehi sudah pula menuliskan tentang nama Bhiksu Siwa Nirmala, Bhiksu Siwa Praja dan Bhiksu Siwa Kangsita. Banyak sekali peninggalan-peninggalan arkeologi yang menerangkan tentang perkembangan Agama Hindu di Bali dari msa ke masa, dari dinasti ke dinasti hingga saat ini. Agama Hindu di Bali memasuki seluruh Budaya Bali, menyatu saling bertautan satu dengan yang lain, saling mendukung dan saling mengikat.
BAB II
AWAL PERADABAN BALI
II.1.Mitologi terbentuknya jagad raya
Didalam kitab Babad Pasek, ada disebutkan cerita tentang Nusa Bali pada jaman alam masih kosong. Dikisahkan Ketika alam masih kosong, ketika belum ada matahari, bulan bintang dan planet-planet, yang ada hanya Sang Hyang Embang yang maha tunggal, Beliau maha besar sehingga memenuhi alam raya, akan tetapi Beliau juga sangat kecil. Pada masa itu segala sesuatu masih bersifat sempurna dan suci, karena tidak ada apa-apa selain Beliau yang Maha sempurna. Saat tercipta Sang Hyang Licin yang juga disebut Sang Hyang Eka Aksara, yakni Ong Kara. Lewat semadi maha tinggi Sang Hyang Ong Kara, terciptalah Sang Hyang Purusa dan Predana, juga disebut dengan nama Sang Hyang Akasa dan Pritiwi, dikenal dengan sebutan Rwa Bhineda dan dalam aksara disebut dengan Sang Hyang Dwi Aksara, Ang dan Ah. Setelah Sang Hyang Purusa Predana membangun tapa semadi, terciptalah Sang Hyang Tri Purusa, yang terdiri dari Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa, dalam wujud aksara Ang Ung Mang. Ketiga aksara ini dikenal dengan nama Sang Hyang Tri Aksara, juga sebagai lambang dari Sang Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara. Sang Hyang Tri Purusa beryoga, menciptakan alam dengan segala isinya, memelihara dan mengembalikannya ke asal atau memprelina. Setelah terciptanya jagat raya, beliau kembali mencipta sepasang benih laki-laki dan perempuan yang dikenal dengan Ardha Nareswari, setelah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam buah kelapa, disucikan dengan mantra utama sehingga berwujud seperti seorang pertapa di lereng gunung Agung. Disanalah mereka kemudian melakukan tapa dengan menuja Bhatara Hyang Pasupati agar berkenan turun ke pulau Bali untuk menjadi junjungan dan pujaan di pulau Bali.
Dikisahkan saat Bali dan Lombok masih sunyi senyap, kedua pulau ini seakan-akan mengambang di tengah lautan, laksana perahu tanpa pengemudi, oleng kesana kemari tidak tentu arahnya, bergoyang dan kadang-kadang rapat menjadi satu. Keadaan pulau itu membuat Sang Hyang Pasupati merasa sangat kasihan. Awalnya di Bali hanya ada empat buah gunung, diantaranya, gunung Lempuyang di wilayah timur, Gunung Andakasa di sebelah selatan, gunung Batukaru diwilayah barat dan gunung Beratan di sebelah utara. Untuk menstabilkan pulau Bali, Bhatara Pasupati kemudian memotong puncak gunung Semeru di Jawa Timur dengan kesaktian Beliau. Potongan puncak Gunung Semeru itulah yang kemudian ditancapkan di Bali dan Lombok. Saat membawa potongan gunung Semeru, banyak bagian-bagiannya yang tercecer, bagian kecil dari potongan itu kemudian menjadi gunung Lebah, sedang bagian yang besar menjadi gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di karangasem. Dengan adanya tambahan dua gunung itu pulau Bali dan Lombok menjadi tidak oleng lagi. Menyusul kemudian turunnya para putra dari Hyang Pasupati ke pulau Bali, melakukan tapa dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci. Beliau kemudian dikenal dengan nama Hyang Sapta Bhatara.
Desa Sayan menurut penuturan beberapa tetua desa dalam bentuk Cerita Rakyat berkembang secara turun temurun dan diyakini sebagai kejadian masa lalu. Wawancara terhadap salah satu tokoh Adat Desa Sayan, I Made Tragia pada bulan Juni 2019 oleh salah seorang wartawan lokal didapat Cerita Rakyat tentang Desa Adat Sayan yang terdiri dari 6 Banjar Adat, seperti: Banjar Kutuh, Banjar Pande, Banjar Baung, Banjar Mas, Banjar Sindu dan Banjar Ambengan. Konon sejarah Desa Adat Sayan berkaitan erat dengan perjalanan suci Maha Rsi Markandhya, saat beliau merasakan lemah dan lesu (Sayuh) dalam perjalanan keselatan di daerah Kedewatan sehingga kembali lagi ke Payogan menuju arah utara. Sayan juga konon berasal dari kata Sayah yang artinya wilayah yang tidak teratur dan tidak makmur, karena situasi tersebut ada dikisahkan 2 orang bangsawan dari Mengwi yang bernama Banyu Ning dan Banyu Anyar datang menetap di Sayah, sehingga selanjutnya daerah tersebut dikenal dengan nama Sayan. Cerita rakyat ini diwarisi secara lisan menjadi satu kesatuan dari sikap, prilaku dan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat yang berlanjut ke generasi berikutnya. Tentu saja semua cerita rakyat berkembang karena seluruh atau sebagian kecil dari masyarakat percaya dan yakin dengan cerita tersebut. Sementara itu analisa tentang asal muasal nama Sayan menurut beberapa ahli sejarah dan bahasa, terjadi pada masa pemerintahan I Dewa Agung Mayun di Sukawati pada tahun 1733 Masehi dengan kata dasar Saya yang berarti orang-orang pilihan untuk sebuah tugas khusus, mendapat akhiran an yang mengeraskan arti kelompok. Hal ini didukung oleh data lapangan dan cerita turun-temurun masyarakat, bahwa sebagian besar penduduk yang menjadi warga banjar-banjar di Desa Sayan dahulunya berasal dari beberapa desa tetangga sebelah timur yang menjadi wilayah kekuasaan Sukawati sub Peliatan.
II.2.Masa Kedatangan Para Rsi di Bali.
Pura Desa dan Puseh dan Bale Agung di Desa Adat Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari ribuan kahyangan yang ada di Bali, berdiri di daerah pusat desa, yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk, Tempat yang eksotik untuk memuja kebesaran prabhawa Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan manifestasi beliau. Pura Desa dan Puseh dan Bale Agung di Desa Adat Sayan memiliki sejarah panjang dalam pendirianya, dimulai dari masa penyebaran faham Siwa Buddha di Bali pada kisaran tahun 800 Masehi. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya penguasa kerajaan Medang di Jawa Tengah mengutus seorang Rsi dari perguruan Markandhya dan para pengikutnya untuk menyebarkan agama Hindu keseluruh Nusantara, Perjalanan Beliau dimulai pada bulan Oktober tahun 730 Masehi. Rsi yang dimaksud adalah Rsi Ing Markandhya yang kemudian dikenal di Bali dengan nama Rsi Markandhya. Perjalanan suci ini dimulai dari Gunung Wukir atau Damalung, berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, menuju ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga, berakhir di Gunung Agung, Tolangkir atau Lingga Acala, tempat Pura Besakih sekarang berdiri.
Pada masa ini dikisahkan sebagian besar para pengikut Rsi Markadhya pada kedatangan yang pertama membangun kuwu-kuwu atau desa-desa kecil sepanjang tepian sungai Ayung dan sungai Wos, memanjang dari utara ke selatan, diperkirakan juga menghuni berbagai tempat di daerah Sayan, terutama sekali wilayah tepian sungai Ayung dan Wos yang mengalir dibarat dan timur desa. Walaupun kedatangan para pengikut Markandhya yang pertama dianggap gagal dalam membangun Bali secara keseluruhan akibat belum dilaksanakannya upacara menanam Panca Datu di Tolangkir, tetapi sisa-sisa pengikut Beliau yang masih selamat berhasil membangun desa-desa yang terpencar di beberapa daerah di Bali Tengah. Selain membangun wilayah pertanian basah dan kering, penduduk juga mulai menata desa dengan konsep Hulu Teben, dengan dua parahyangan pokok, di hulu desa dibangun parahyangan Pucak, Bukit, Puseh, atau Puser, sebagai tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasi Beliau sebagai sumber dari segala sumber kehidupan, Akasa, Purusa. Sementara di hilir desa dibangun parahyangan Dalem yang merupakan tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasi Beliau sebagai pelebur segala bentuk hasil cipta, Pritiwi, Predana dikenal kini.
Kedua bangunan pemujaan ini masih dibangun dengan sangat sederhana berupa tempat lapang yang disakralkan dengan menyusun sedemikian rupa batu-batu padas berbagai bentuk yang menyerupai gunung dalam bentuk kecil. Selain parahyangan yang berupa candi sederhana, penduduk juga menandai daerah sakral tersebut dengan pohon-pohon tertentu yang mampu tumbuh dan hidup dalam jangka waktu yang lama, puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun, karena juga berfungsi sebagai penandaan terhadap suatu wilayah yang disucikan. Wilayah pertanian, irigasi, tebing, tempat penguburan, pasar dan tempat-tempat lain yang diyakini memiliki kekuatan spirit yang bersifat magis juga ditandai dengan susunan batu dan penanaman pohon beringin, pule, kepuh dan berbagai jenis bunga yang memiliki jenis batang dan akar yang kuat dan bisa berumur tua.
II.3.Masa Kekuasaan kerajaan Kadiri.
Dalam buku Sejarah, Desa Adat Sayan belum ditemukan prasasti-prasasti tua pada masa pemerintahan Bali Kuno yang menyebutkan nama Sayan, sebagai sebuah Desa atau Kuwu atau Sima. Beberapa tinggalan arkeologi di pura-pura Desa Adat Sayan masih dalam penelitian Balai Arkeologi Denpasar. Secara garis besar, pemukiman penduduk sudah ada di sekitar wilayah Sayan pada kisaran tahun 1200 Masehi didukung oleh kitab tua Cina yang berjudul Ling-Wai-tai-ta karya Chou K’u-fei pada tahun 1178 Masehi dan kitab Chu-fan-chi tahun 1178 karya Chaujukua yang menggambarkan kehidupan sosial politik pada masa Kediri dengan sangat detail, juga wilayah-wilayah yang menjadi daerah kekuasaanya, termasuk Bali. Bersamaan dengan masa kekuasaan Dinasti Jin di Cina utara antara tahun 1115 hingga tahun 1234 Masehi, Raja Kediri Sri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameshwara Sakala Bhuwana Tushtikarana Sarwwani Waryya Wiryya Parakrama Digjayo Tunggadewa, mendapat kunjungan 9 orang biksu dari Cina, yang membawa misi memperkenalkan dan menyebarkan agama Budha di wilayah Kediri dan sekitarnya. Empat orang biksu Cina tersebut kemudian melakukan perjalanan suci ke wilayah pulau Bali yang saat itu masih merupakan wilayah kekuasaan Kediri. Salah seorang dari 4 biksu yang melakukan perjalanan suci di pulau Bali bernama Biksu Cin Hoan menuturkan dalam bukunya bahwa kebudayaan daerah Bali tengah sudah tertata dalam kehidupan berkelompok terdiri dari hampir 50 keluarga yang mendiami lembah pegunungan yang membentang dari utara ke selatan, diapit oleh 2 buah sungai terjal. Dalam siklus 1 tahun kalender Bali selalu mengadakan ritual dengan menyembelih kerbau dan kijang. Daging dari semua persembahan itu dibagi-bagikan kepada penghuni kawasan dengan sama rata, memakai alas daun. Cara menimbangnya dengan memakai batok kelapa bertali yang dikaitkan pada sebatang bambu kecil yang bertali di bagian tengahnya, sehingga mirip seperti timbangan untuk mencari berat yang sama antara ke dua bagiannya. Biksu Cin Hoan berkeliling dalam misinya ke kuwu-kuwu diseputaran Bali tengah, termasuk di dalamnya adalah kuwu-kuwu yang terdapat di pinggiran Kali atau Tukad. Bulan November tahun 1244 Masehi Biksu Cin Hoan dan beberapa biksu lain mengunjungi kuwu-kuwu sepanjang sungai Petanu, Pekerisan, Tukad Lawas, Tukad Kunggang, Tukad Mas, Tukad Wos (Woh), Tukad Ayung, Tukad Lauh, Tukad Apit, Tukad Dawa, Tukad Tawar dan kuwu-kuwu lainnya.
Diperkirakan oleh para ahli sejarah bahwa orang-orang Aga (gunung) tersebut membangun kuwu masih memakai tatanan satu garis lurus utara selatan atau hulu teben, dengan jalan desa sebagai garis tengahnya, sementara di kanan dan kiri jalan dibangun rumah-rumah sangat sederhana dengan bahan yang hampir seluruhnya terbuat dari balok-balok kayu hasil tebangan saat merabas hutan. Hal itu bisa dianalisa dari tulisan Biksu Cin Hoan dan beberapa pengikutnya yang menyatakan rumah-rumah penduduk di Bali tengah diantara tahun 1200 sampai dengan tahun 1256 Masehi berupa bangunan bangunan kecil berjajar di sepanjang jalan dengan kayu-kayu sebagai dinding serta atap alang-alang yang dijalin dengan rapi. Di ujung desa atau di tengah desa ada sebuah bangunan yang agak besar memanjang, tanpa dinding bertiang 12 beratap alang-alang. Semua catatan ini tersimpan rapi di sebuah kuil daerah Yunan beratus-ratus tahun lamanya, sampai kemudian diteliti oleh para ahli dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa sebagai media analisa tentang keadaan Bali pada masa itu. Dalam berbagai kesimpulan ahli didapat kesepakatan ilmiah, bahwa pada tahun itu di daerah Bali, di pinggiran kali-kali besar penduduk sudah hidup dengan budaya yang tertata dan terjalin hubungan sosial religius antara sesama penduduk, alam dan hyang atau leluhur. Kata pura atau parahyangan tidak ada disebutkan dalam semua sumber, diperkirakan mereka melakukan pemujaan kepada Hyang ditempat-tempat yang dianggap sakral dan disediakan oleh alam dari sebelumnya. Penduduk masa ini kebanyakan memuja kebesaran Tuhan dan para leluhur dengan memakai media Lingga semu, atau Lingga tidak sempurna yang banyak ditemui di wilayah Bali tengah, disepanjang sungai-sungai yang mempunyai tebing curam.
II.4. Perjalanan Suci Orang Mula dan Aga
Pada sekitar pertengahan tahun 1243, pada bulan terang, awal musim kering, terjadi wabah penyakit di daerah Buleleng, penyakit aneh tersebut sudah merenggut banyak sekali jiwa penduduk Buleleng. Penyakit Cacar air atau bahasa medisnya adalah smallpox atau variola yang diperkirakan berasal dari India ini sudah menjangkiti wilayah Buleleng timur antara lain Desa Julah, Tejakula, Bondalem dan penduduk yang mendiami pinggiran Tukad Palad, Tukad Mejan, Tukad Samuh dan tukad Palijan. Pemimpin Desa memerintahkan beberapa penduduk untuk melakukan perjalanan suci menuju bukit batu putih (Bukit Uluwatu) di barat daya Bali guna memohon perkenan agar desa dijauhkan dari wabah. Para utusan ini dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing: kelompok pertama menuju bukit batu putih di Uluwatu, kelompok kedua menuju arah Tampurhyang (Batur), kelompok ketiga menuju arah barat ke Pucak Batukaru. Tidak dikisahkan perjalanan 2 kelompok lainnya, dikisahkan perjalanan warga kuwu tukad Mejan menuju arah barat daya menuju bukit batu putih Uluwatu. Rombongan ini menelusuri tepian Sungai Shyang-brata, hingga sampai Sukawana
Di Sukawana rombongan ini beristirahat, sempat membangun beberapa pondok peristirahatan dan bangunan darurat untuk pemujaan disekitar Panarajon. Dari Panarajon menuju bukit Kintamani, sebagian menetap menjadi penduduk disekitar Kedisan, sebagian lagi meneruskan perjalanan menuju arah selatan menyusuri sungai Banua Bayung sampai di Tukad Petanu. Dari Petanu rombongan ini terpecah-pecah, sebagian menetap di Tegallalang, sebagian menuju Bangli, sebagian menuju Bukit Batu Putih, sebagian menuju arah barat, bermukim menyebar di sepanjang Munduk Taro, Munduk Samu, dan Munduk Kawi. Pada masa pemerintahan akhir Bali Kuno, daerah sekitar Sayan termasuk dalam wilayah Sima Di-campuh yang berhulu-agem ke Taro. Akan tetapi perkembangan selanjutnya wilayah ini menjadi perbatasan antara 2 sima, Sima Di-hyang dan Sima Di-campuh sehingga kedua kebudayaan Sima ini mempengaruhi budaya di wilayah Sayan sampai dengan masa-masa selanjutnya.
II.5. Masa akhir pemerintahan Bali Kuno.
Masa Bali Kuno menurut ilmuan R Gorris adalah masa meliputi kurun waktu antara abad ke 8 sampai abad ke 14 Masehi. Masa ini dibagi menjadi 3 kurun waktu kekuasaan, antara lain:
1. Masa kekuasaan dinasti Warmadewa yang dimulai dari pemerintahan raja Sri Kesari Warmadewa pada tahun 914 Masehi hingga masa kekuasaan raja Sri Suradhipa yang berakhir di tahun 1119 Masehi.
2. Masa kekuasaan dinasti Wangsa Jaya yang dimulai dari pemerintahan raja Jayasakti di tahun 1133 sampai dengan akhir dinasti pada masa pemerintahan seorang ratu dari Wangsa Jaya pada tahun 1284.
3. Kekuasaan Kadiri dimulai dari Raja Patih Makakasar Kebo Parud pada tahun 1296 hingga tahun 1324 Masehi.
Raja Kertanegara mengirim pasukan ke Bali pada tahun 1284, dipimpin oleh Ki Kebo Bungalan, Ki Kebo Anabrang, Ki Patih Nengah, Jaran Waha, Ki Arya Sidi dan Ki Amarajaya. Pasukan Singhasari mendarat di pantai timur Buleleng, sebagai kenang-kenangan pendaratan itu kemudian didirikan sebuah pura yang bernama Pura Pule Kerta Negara di Desa Kubutambahan. Penyerangan ini berhasil dengan baik, pulau Bali takluk dibawah Singhasari, raja Bali yang bernama Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyangning Hyang Adi Dewa Lancana dibawa sebagai tawanan ke Kerajaan Singasari. Ki Kebo Bungalan diangkat menjadi Raja Patih di Bali tetapi tugas pemerintahan dilaksanakan oleh putranya yang bernama Ki Kebo Parud. Keberadaan Kebo Parud sebagai penguasa di Bali dibuktikan dengan sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh Kebo Parud yang berangka tahun 1218 Saka. Kebo Parud yang berfaham Wajrayana salah satu aliran Tantrisme dari agama Budha juga mengeluarkan prasasti yang berangka tahun 1222 Saka. Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara sebagai seorang biksu yang gundul kini masih tersimpan di Tropen Museum Leiden Belanda.
Pada tahun 1293 Kerajaan Singhasari runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang, tidak berapa lama kemudian Jayaktwang juga runtuh akibat digulingkan oleh Sanggramawijaya yang kemudian mendirikan Majapahit. Beliau menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasa Jaya Wardana. Semua wilayah Singhasari diambil alih oleh Majapahit, termasuk Bali. Pada tahun 1296 Masehi, Raja Majapahit menunjuk Ki Kebo Parud sebagai wakil Majapahit di Pulau Bali dengan gelar Raja Patih. Pada masa pemerintahan raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten tahun 1337 sampai tahun 1343 Masehi yang berkedudukan di Bedulu, Sayan dan wilayah sekitarnya utara Blanjong menjadi wilayah kekuasaan dari Ki Walungsari dan Ki Walung Singkal yang berkedudukan di desa Taro.
Penduduk wilayah ini bertugas utama memelihara parahyangan-parahyangan kuno juga menjaga wilayah hutan perburuan kerajaan yang terbentang sepanjang sungai sampai daerah Taro. Sepanjang aliran tersebut berdiri banyak parahyangan tua yang dahulunya difungsikan sebagai tempat penyebaran faham Siwa Buda dan Bhujangga. Tugas khusus penduduk sebagai panghulu kahyangan dan penjaga kelestarian hutan perburuan raja disepanjang perbukitan itu memberikan kebebasan kepada penduduk bebas dari pajak atau root. Daerah perbukitan ini kemudian dikenal kemudian dengan nama Sima atau Swatantra yang berarti wilayah Desa, Perdikan atau Kuwu. Pajak yang dibebaskan itu meliputi root ing huma atau pajak sawah basah, root ing parlak atau pajak sawah kering, root ing mmal atau tegalan dan root ing kbwan atau pajak ladang. Daerah sebelah selatan campuhan menjadi satu daerah Sima dengan nama Sima Di Campuh, daerah bagian utara Campuan masuk dalam wilayah Sima Di-Hyang, termasuk didalamnya adalah Sayan masih menjadi bagian dari Banwa Taro.
Struktur organisasi Sima terdiri dari Hulu Sima disebut Basta, juru tulisnya disebut dengan nama Tayung dibantu oleh jabatan-jabatan yang lebih rendah seperti Hulu Lapu atau Kuncang, Kulapati atau Sadhyaguna Maghana, Gansar dan Rahit. Para Pang-Hulu inilah yang bertanggung jawab terhadap Simanya sekaligus sebagai penyambung keinginan penduduk Sima dengan Hulu Banwa di Taro. Pada setiap bulan Caitra, yaitu antara bulan Maret-April para Pang-Hulu Sima menghadap ke Hulu Taro untuk mempersembahkan Root Ing Banyu atau pajak sumber air sebesar 2 Masaka. Penduduk yang melakukan ritual di Prasada atau candi atau parahyangan selalu memohon petunjuk Giriya Air Gajah Bedulu, khusus untuk upacara-upacara yang bersifat sangat besar. Untuk upacara upakara yang bersifat kecil kebanyakan dipimpin oleh Hulu-agem yang diangkat oleh penduduk Sima, atas persetujuan dari Demung.
Penduduk Sima kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang serta pengrajin alat-alat rumah tangga, seperti gerabah, alat-alat pertanian dan alat-alat pertukangan. Mereka menepati rumah-rumah panggung yang berjajar ditepian sungai dengan masing-masing kepala keluarga dikenal dengan nama Hulu-Bah berkedudukan paling berpengaruh di dalam satu keluarga besar yang mendiami rumah-rumah panggung tersebut. Seorang Hulu-Bah membawahi 10 hingga 20 jiwa, terdiri dari orang tua, paruh baya, remaja dan anak-anak.
II.6. Masa Peralihan Majapahit.
Bhre Kahuripan Dyah Gitarja menjadi Ratu dengan gelar Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jaya Wisnu Wardhani dari tahun 1328 hingga tahun 1351. Beliau menggantikan Jayanegara memerintah bersama suaminya yang bernama Kertawardhana. Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi tahun 1334 Masehi, Ratu Majapahit mengerahkan kekuatan 30.000 prajurit yang yang dibagi menjadi 2 dalam menaklukan Bali, setengah menyerang dari utara dipimpin oleh Arya Damar, sebagian lagi menyerang dari pantai selatan dipimpin oleh Mahapatih Gajamada. Dalam penyerangan ini turut pula para Arya, tidak diceritakan sepanjang pertMpuran yang berlangsung selama 7 bulan, akhirnya Bali takluk kepada Majapahit pada tahun 1343 Masehi. Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog ditugaskan untuk tinggal di Bali memimpin Bali untuk sementara waktu. Tidak diceritakan situasi Bali saat ditaklukkan oleh Majapahit, Mpu Jiwaksara ditugaskan di pusat kota sebagai wakil sementara, untuk tugas ini Sang Mpu diberi gelar Patih Ulung. Akan tetapi Bali belum bisa ditenangkan, sering terjadi gejolak antara orang Bali dengan para Arya yang berkuasa. Pemberontakan Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur membuat Bali semakin mencekam. Pada tahun 1350 Masehi Ki Patih Ulung, Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan menghadap ke Majapahit melaporkan situasi di Bali dan memohon kepada Sang Ratu agar menunjuk seorang Raja untuk Bali.
II.7. Masa Kekuasaan Samprangan.
Ratu Tribhuwana menunjuk Ida Ketut Kresna Kepakisan untuk menjadi Adipati Bali, beliau merupakan putra dari penasehat kerajaan Majapahit yang bernama Dang Hyang Soma Kepakisan. Seorang Brahmana utama yang memahami seluruh isi tattwa agama dan sangat masyur tentang kebijaksanaannya. Pada suatu hari yang baik di tahun 1350 Masehi, merapat sebuah kapal besar dari Majapahit di pantai Lebih, pesisir selatan Bali. Kapal kerajaan ini membawa Sri Kresna Kepakisan beserta para bangsawan Majapahit dan Kediri. Sri Kresna Kepakisan diperintahkan sebagai penguasa tunggal Bali bergelar Adipati. Penduduk Bali mengenal beliau sebagai Dewa Wahu Rawuh. Dari desa Lebih rombongan itu kemudian menuju arah timur laut dan dengan segera membangun kraton di Samprangan. Sebagai pendamping beliau dipilih Sri Nararya Kresna Kepakisan berkedudukan Patih Agung. Ki Patih Ulung diangkat menjadi Mangku Bhumi juga berkedudukan di Samprangan.
Sri Kresna Kepakisan memerintah di Bali dengan bekal pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris pusaka yang bernama Ki Ganja Dungkul. Beliau mempunyai dua orang istri, Ni Gusti Ayu Gajah Para dan Ni Gusti Ayu Kutawaringin. Dari istri pertama beliau mempunyai 4 orang putra-putri, antara lain Dalem Wayan atau Dalem Samprangan, Dalem Dimadya atau Dalem Tarukan, putri bernama Dewa Ayu Wana yang meninggal remaja dan Dalem Ketut atau Dalem Ngulesir. Dari istri kedua, beliau mempunyai putra bernama I Dewa Tegalbesung. Perubahan besar terjadi pada masa beliau memerintah, kedudukan dan wewenang para bangsawan Bali kuno digeser oleh para Arya dari Jawa, baik Arya yang sudah menetap lebih dahulu maupun Arya yang menyertai beliau datang ke Bali. Sehingga dalam masa pemerintahan beliau hampir seluruh wilayah Bali sudah ditempatkan para Arya sebagai petugas kerajaan Samprangan yang sangat setia kepada Sri Kresna Kepakisan sebagai wakil dari Majapahit di Bali.
Para Arya itu antara lain:
1. Arya Kenceng berkedudukan di Tabanan,
2. Arya Kanuruhan di Tangkas,
3. Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu,
4. Arya Dalancang di Kapal,
5. Arya Belog di Kaba Kaba,
6. Arya Pangalasan, Arya Manguri, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar,
7. Arya Tumenggung di Petemon,
8. Arya Kutawaringin di Toya Anyar Klungkung,
9. Arya Beleteng di Pacung dan
10. Arya Sentong Carangsari,
11. Kriyan Punta di Mambal,
12. Arya Jerudeh di Tamukti,
13. Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet,
14. Arya Wang Bang Mataram bertempat tinggal tidak menetap,
15. Arya Melel Cengkrong di Jembrana,
16. Arya Pamacekan di Bondalem.
17. Si Tan Kober di Pacung,
18. Si Tan Kawur di Abiansemal dan
19. Si Tan Mundur di Cagahan.
Demikian banyak jumlah Arya yang disebar di seluruh Bali untuk mengamankan wilayah-wilayah pegunungan, terutama wilayah-wilayah yang berjarak jauh dari kotaraja Samprangan. Wilayah Sima Di-Hyang dan Sima Di-Campuh bagian utara berada dalam wilayah kekuasaan Arya Sentong yang berkedudukan di Pacung, sementara setengah bagian selatan berada dalam wilayah kekuasaan Kryan Punta di Mambal. Dengan demikian hubungan ke wilayah Taro yang terbangun dari ikatan pemerintahan Bali Kuno menjadi putus. Sementara rasa tidak puas penduduk Bali terhadap cara pemerintahan para Arya banyak yang melakukan pemberontakan yang bersifat kecil, terdiri dari letupan-letupan emosi penduduk swatantra yang bergabung mengangkat senjata. Gejolak terjadi di Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Pemberontakan yang bersifat kedaerahan itu berhasil dipadamkan oleh pemerintah, konon setelah memohon petunjuk ke Majapahit dan Adipati Bali mendapat anugerah berupa simbol-simbol kerajaan, pakaian kebesaran dan keris pusaka yang bernama Ki Lobar. Raja merupakan pemegang otoritas politik tertinggi, didampingi oleh dewan penasehat raja yang bernama Pahem Narendra yang beranggotakan para kerabat raja yang dinilai sangat ahli dalam berbagai bidang. Dalam bidang keagamaan, raja dibantu oleh dewan pertimbangan yang bernama Dharma Dhyaksa terdiri dari 3 kelompok ajaran, Siwa, Boddha dan Bhujangga atau Kasaiwan, Kasogatan dan Kabhujanggan. Dari sinilah muncul istilah Tri Sadhaka yang diakui oleh kerajaan Samprangan sebagai guru jagat. Pada masa peralihan, antara tahun tahun 1343 sampai dengan tahun 1350 Masehi keadaan Sima menjadi tidak terurus dengan baik. Walaupun penduduk masih menjalankan kegiatan mereka seperti biasa, bercocok tanam, berternak dan berdagang, tetapi kehidupan mereka secara pemerintahan tidak teratur. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya, sering juga terjadi berbagai permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik, sehingga menimbulkan pertentangan diantara para tetua Sima. Terutama dalam bidang pembagian air untuk pertanian tidak jarang menjadi perselisihan berakhir dengan perkelahian diantara para petani. Demikian sisi penggambaran suasana Sima pada masa pertengahan, masa antara kehancuran kerajaan Bedahulu hingga berdirinya kerajaan Samprangan. Termasuk juga keadaan wilayah Sayan pada saat itu.
II.8. Masa Kekuasaan Gelgel.
Sri Kresna Kepakisan berpulang ke alam Wisnuloka pada tahun 1373 Masehi, digantikan oleh putranya yang bernama Dalem Wayan atau Sri Agra Samprangan. Karena dianggap tidak cakap dalam memimpin Bali, beberapa bangsawan kerajaan yang diprakarsai oleh Kyai Klapodyana kemudian membujuk Dalem Ketut Ngulesir menjadi raja dengan kraton baru di Gelgel dengan nama kraton Sweca Lingga Arsa Pura. Setelah abhiseka bergelar Sri Semara Kepakisan. Sebagai patih agung diangkat Kyai Gusti Arya Petandakan menggantikan ayahnya, Pangeran Nyuhaya yang sudah mangkat. Sri Semara Kepakisan yang berkuasa mulai dari tahun 1380 hingga tahun 1460 Masehi pernah menyelenggarakan upacara penghormatan terhadap arwah para raja Bali Kuno di pura Tegeh Kahuripan atau Pura Bukit Penulisan dan mendirikan Pura Dasar Bhuwana di Gelgel sehingga mampu menarik hati masyarakat Bali. Beliau juga tercatat sebagai satu-satunya penguasa Bali yang pernah menghadap ke Majapahit pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk.
Masa keemasan Bali terjadi pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang memerintah dari tahun 1460 sampai dengan 1550 Masehi. Bali berdaulat penuh dan menguasai wilayah Pasuruwan, Blambangan, Lombok dan Sumbawa. Patih Agung Gelgel dijabat oleh Kryan Batanjeruk yang merupakan putra dari Kyai Petandakan. Kedatangan Dhang Hyang Nirartha sebagai Bhagawanta Gelgel membuat Bali semakin bersinar. Beliau yang memimpin upacara Eka Dasa Ludra di Besakih bersama dengan pendeta Buda Dang Hyang Astapaka. Dalem Waturenggong mangkat pada tahun 1552 meninggalkan 2 putra yang masih sangat belia I Dewa Pamahyun atau Dalem Bekung dan I Dewa Anom Dimade atau Dhalem Sagening.
Dalem Bekung yang masih sangat belia menjadi pelanjut tahta Gelgel dari tahun 1550 hingga tahun 1580 Masehi. Akan tetapi urusan pemerintahan dipegang oleh Kryan Batanjeruk beserta paman-pamanya. Karena keinginannya berkuasa sangat besar Kryan Batanjeruk melakukan pemberontakan bersama dengan I Dewa Anggungan, I Gusti Tohjiwa dan I Gusti Pandhe Basa yang merupakan putera dari pangeran Dauh Penulisan. Kyai Kebontubuh dan Kryan Manginte dari Kapal kemudian berhasil menumpas pemberontakan Kryan Batanjeruk yang tewas di Bungaya atau Jungutan pada tahun 1556 Masehi, ikut terbunuh I Gusti Tohjiwa. I Dewa Anggungan diturunkan kebangsawananya, sementara I Gusti Pandhe Basa tewas kemudian pada pemberontakan berikutnya yaitu pada tahun 1578 Masehi. Karena merasa putus asa dalam mengatur negeri leluhurnya Dalem Bekung kemudian memutuskan untuk meninggalkan Gelgel dan membangun puri dan menetap di daerah Kapal.
Tahun 1580 Dhalem Sagening diangkat sebagai raja menggantikan kakaknya. Jabatan patih agung dipegang oleh putra dari I Gusti Agung Manginte yang bernama I Gusti Agung Widdhia atau I Gusti Agung Maruti. Jabatan Demung dipegang oleh I Gusti Di Ler Pranawa. Dalem Sagening yang memerintah dari tahun 1580 hingga tahun 1665 Masehi mempunyai banyak putra yang beliau tempatkan diberbagai daerah dengan jabatan Anglurah. Selanjutnya I Dewa Anom Pemahyun naik tahta menggantikan ayahnya yang mangkat karena usia. Akan tetapi beliau kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama I Dewa Dimade, beliau sendiri memilih menyerahkan tahta Gelgel kemudian mengungsi dan berpuri di Purasi Karangasem. Dari Purasi beliau kemudian menuju Desa Temega bersama putranya yang bernama I Dewa Anom Pamahyun Dimade. I Dewa Dimade menjadi raja dengan waktu yang sangat singkat, akibat digulingkan oleh pemberontakan I Gusti Agung Maruti yang berhasil menduduki kraton Gelgel. Dalem mengungsi menuju Desa Guliang Bangli bersama dengan putranya yang bernama I Dewa Jambe. Pengungsian itu diiringi oleh rakyat sebanyak 300 orang, sementara I Dewa Pamayun sudah lebih dahulu berpuri di Tampaksiring. I Gusti Agung Maruti mengangkat diri menjadi pemimpin di Gelgel dengan masa berkuasa mulai dari tahun 1686 sampai dengan 1705 Masehi. Para Anglurah yang dulunya berada dalam kekuasaan Gelgel satu persatu kemudian melepaskan diri dan menyatakan diri berdaulat dan membangun Kerajaan sendiri di wilayahnya. Selama pemerintahan Maruti muncul kerajaan-kerajaan baru seperti Mengwi, Buleleng, Gianyar, Klungkung dan Sukawati.
I Gusti Agung Maruti melarikan diri dari Gelgel setelah diserang oleh pasukan gabungan, Denbukit, Badung dan Singharsa dibawah pimpinan I Dewa Agung Jambe dan Anglurah Singharsa. Pelarian Patih Agung menuju Jimbaran, Badung, Kapal dan berakhir di Kuramas atau Keramas Gianyar. Beberapa sumber sejarah menyebutkan hal yang berbeda tentang pelarian Patih Agung Gelgel ini. menurut data KITLV, Coll. De Graaf: Tahun 1687 surat resmi Dewa Agung Klungkung sampai di Batavia yang memperkenalkan diri sebagai raja baru di Bali, setelah berhasil menumpas pemberontakan I Gusti Agung Maruti yang dinyatakan tewas oleh Lurah Batu Lepang, yang melarikan diri dari Gelgel dengan pengiring 1200 orang sementara 4 orang cucu dari Gusti Agung ditahan di Klungkung.
Pada Masa pemerintahan Gelgel ini yang berlangsung mulai tahun 1380 sampai dengan 1705 Masahi terjadi perubahan yang sangat besar di daerah-daerah kekuasaan Gelgel. Nama Sima dan Banua mulai berubah menjadi Desa yang terdiri dari sub bagian yang lebih kecil dengan nama Desa dan Banjar. Perpindahan penduduk selama kurun waktu ini terjadi dalam jumlah sangat banyak dan bersifat dinamis, akibat mengikuti para bangsawan atau para pemuka masyarakat yang membuka wilayah baru untuk perluasan pemukiman.
II.9. Masa Kekuasaan Mengwi.
I Dewa Agung Jambe atas restu dari kakak beliau kemudian membangun kraton di Klungkung dengan nama Kraton Smarapura yang selesai dibangun pada tahun 1710 Masehi. I Dewa Agung Jambe berkuasa tahun 1705 hingga tahun 1775 Masehi, beliau menurunkan 3 orang putra: Dewa Agung Dimade, Dewa Agung Anom Sirikan dan Dewa Agung Ketut Agung. Dewa Agung Made kemudian menjadi Raja Klungkung II, Dewa Agung Anom Sirikan mendirikan puri di Timbul, menurunkan generasi Sukawati sementara Dewa Agung Ketut Agung berpuri di Gelgel sebagai punggawa kerajaan Klungkung. Dihentikan untuk sementara kisah tentang Kraton Smarapura. Pada masa ini muncul beberapa kekuatan baru para Arya yang membentuk Negari kecil atau kerajaan kecil. Akibat dari penguasaan Gusti Agung terhadap kraton Gelgel. Salah satu Negari yang sangat kuat adalah Mengwi, Raja pertama Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu dikabarkan mendapatkan anugerah pusaka di Gunung Mangu dan berbekal banyak pusaka sakti membawa Mengwi menjadi penguasa wilayah yang sangat luas. Menurut Babad Kaba-kaba, sekitar tahun 1686 Masehi wilayah kekuasaan Mengwi meliputi Kaba-kaba, Marga batas barat sampai sungai Yeh Panah. Batas Selatan Sampai Bukit Jimbaran, termasuk Pura Luhur Uluwatu. Batas timur sampai Sungai Petanu, batas utara sampai Gunung Beratan. Bahkan Mengwi yang beribukota kerajaan bernama Kawyapura ini juga menguasai wilayah Blambangan di Jawa Timur. Banyak juga wilayah-wilayah lain di Bali yang menjadi daerah kekuasaan dari kerajaan Mengwi.
Daerah Sayan memasuki babak baru, sebagai wilayah dari kerajaan Mengwi bagian timur. Pemerintahan Mengwi yang sangat mengandalkan hasil sawah dan kebun dalam menopang kerajaan, membangun banyak saluran irigasi bagi wilayah-wilayah yang dikuasai. Banyak Dam atau bendungan yang dibangun dalam usaha mensejahterakan masyarakat, saluran-saluran irigasi dibangun dan ditata dengan baik sehingga wilayah-wilayah dalam kekuasaan kerajaan Mengwi memiliki sawah-sawah dan tegalan yang subur serta menghasilkan bahan pangan sangat berlimpah.
Keseriusan pemerintahan dinasti Mengwi dalam membangun wilayah pertanian membuat kerajaan ini sangat cepat berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dan kuat berkisar antara tahun 1736 hingga tahun 1767 Masehi. Menurut Henk Schulte Nordholt, selain membangun banyak sekali bendungan, dinasti Mengwi juga menepatkan para Bangsawan Mengwi di daerah-daerah kekuasaanya seperti yang tampak pada gambar di atas. Mengwi memiliki 3 aliran sungai besar sebagai pokok irigasi, antara lain Sungai Sungi, Sungai Penet dan Sungai Ayung.
Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu memerintahkan para pengikutnya di seluruh wilayah kekuasaan Mengwi untuk membangun banyak pura khusus yang difungsikan sebagai tempat memuja Tuhan dan pemujaan terhadap leluhur. Tahun 1708 raja Mengwi yang sebelumnya bernama I Gusti Agung Putu menyadang gelar I Gusti Agung Made Agung Bima Sakti atau Cokorda Sakti Blambangan gelar lainnya. Dalam upaya pembangunan serta pemeliharaan Bendungan wilayah timur, terutama aliran Sangempel, Dam Kedewatan di Sungai Ayung dan Dam Sayan di Sungai Wos. Sekitar tahun 1710 Masehi dikirimlah seorang bangsawan Mengwi sebagai petugas kerajaan bersama dengan beberapa pengiring setia, selanjutnya membangun kedatuan di sebelah selatan Dam Kedewatan, di sekitar wilayah Banjar Kutuh. Pada kurun waktu ini Mengwi sudah menepatkan 2 satelit di wilayah timur, Sayan dan Kengetan, sekaligus menimbulkan perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari wilayah barat, meliputi Mambal, Bongkasa, Taman, Abiansemal dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka membawa kebiasaan dan budaya daerah barat Sungai Ayung ber-asimilasi dengan budaya lokal yang sudah berkembang sebelumnya. Budaya itu kebanyakan berbentuk arsitektur, bahasa, ragam kuliner dan cara berbusana. Selain bendungan, sungai dan pasar, Satelit Mengwi juga memperbaiki kahyangan-kahyangan peninggalan warga Mula dan warga Aga yang sudah berdiri secara sederhana sebelumnya dengan bangunan-bangunan berupa bebaturan, gedong dan meru. Salah satu parahyangan yang diperbaiki oleh Satelit Sayan adalah Pura Puseh dan Bale Agung yang dibangun dalam satu lokasi parahyangan. Dari sekian banyak peninggalan parahyangan yang berdiri di wilayah kekuasaan Mengwi, terutama yang berdiri di wilayah satelit-satelit atau wilayah kekuasaan Mengwi. Dengan beberapa data dan analisa yang mendalam, dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan sudah berdiri sebelum tahun 1710 walupun dalam bentuk sangat sederhana dan dilaksanakan perbaikan oleh satelit Mengwi di Sayan pada sekitar tahun 1710 hingga tahun 1740 Masehi.
II.10.Masa Kekuasaan Sukawati.
Pada sekitar tahun 1713 wilayah sebelah timur Sungai Ayung dipersembahkan oleh Raja Mengwi kepada I Dewa Agung Klungkung sebagai bukti Mengwi mengakui I Dewa Agung Klungkung sebagai penguasa Bali. Oleh I Dewa Agung Klungkung wilayah tersebut dianugerahkan kepada putra beliau yang bernama I Dewa Agung Anom yang kemudian mendirikan Kerajaan Sukawati dengan nama abhiseka Sri Aji Maha Sirikan, atau Sri Aji Wijaya Tanu atau dikenal oleh masyarakat sebagai Dhalem Sukawati. Dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, Sungai Pekerisan sebagai batas wilayah timur, Pantai Gumicik sebagai batas selatan, Sungai Ayung sebagai batas barat, dan pegunungan Batur sebagai batas utara, seperti yang tertuang dalam pustaka Babad Timbul, Babad Durmanggala, Babad Dalem Sukawati dan babad-babad yang lain.
Dalam memegang pemerintahan Sri Aji Wijaya Tanu didampingi oleh permaisuri beliau yang bernama Gusti Ayu Agung Ratu yang merupakan putri dari Ki Gusti Agung Anglurah Made Agung, penguasa Mengwi saat itu. Perjalanan Sri Aji Wijaya Tanu dari Smara Pura menuju Timbul membawa serta pengiring pilihan dari Klungkung dipimpin oleh Kyai Agung Ngurah Singharsa yang sebelumnya merupakan tangan kanan dari Raja Dewata Sri Dewa Agung Dalem Jambe. Jumlah pengiring beliau yang sangat banyak dari Smara Pura terdiri dari wangsa Brahmana, Ksatria, Para Gusti, Para Arya, Wesya, Pasek, Bandesa, Kubayan, Gaduh, Tangkas, Gunaksa, Dangka, Ngukuhin, Senggu, Pande, Sanging, Undagi, Pengukiran, dan Kahula Wisuda.
Setelah sekian lama Sri Aji Wijaya Tanu menjadi raja di Timbul, adalah lahir putra-putra beliau, dari permaisuri lahir I Dewa Agung Jambe, I Dewa Agung Karna dan I Dewa Agung Mayun. Dalam kurun waktu yang lama, walaupun wilayah timur Mengwi sudah diserahkan kepada penguasa Klungkung yang kemudian menepatkan I Dewa Anom Sirikan sebagai penguasanya, Mengwi masih secara aktif berperan dalam system pemerintahan baru Sukawati, Hal ini disebabkan karena masih banyak satelit satelit Mengwi masih mengatur wilayahnya masing-masing. Situasi ini disebabkan karena Sukawati tidak secara langsung bisa menepatkan para pengikutnya di daerah bekas kekuasaan Mengwi, disamping juga karena tali kekerabatan yang sangat erat antara penguasa Sukawati dan Mengwi akibat dari ikatan perkawinan penguasa Sukawati dengan salah seorang putri penguasa Mengwi, sehingga dalam kekerabatan Dewa Agung Anom adalah menantu dari Raja Mengwi, yang tentu saja akan segan dan hormat kepada mertuanya. Satelit Mengwi yang ditempatkan di Sayan dan Kengetan sebelumnya masih tetap melaksanakan kegiatan mengatur ritme politik dan ekonomi di wilayahnya masing-masing, dan secara terus menerus membuat laporan kepada penguasa Mengwi yang menjadi atasanya.
I Dewa Agung Mayun menggantikan ayahandanya menjadi raja Sukawati pada tahun 1733 Masehi, dengan gelar Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun setelah Sri Aji Wijaya Tanu mangkat. I Dewa Agung Jambe membangun puri di Geruwang dan I Dewa Agung Karna berpuri di Ketewel. Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun yang memerintah tahun 1733 hingga tahun 1757 sangat banyak melakukan pemugaran pura, bendungan, pasar, alun-alun dan sumber air atau Beji di daerah kekuasaan beliau. Beberapa bangsawan Sukawati selanjutnya ditempatkan di masing-masing wilayah, seringkali berdampingan dengan penerus para bangsawan Mengwi yang sudah terlebih dahulu membangun puri atau jero. Sehingga untuk selanjutnya dalam sebuah wilayah ada 2 bangsawan dari garis keturunan yang berbeda dan bawahan dari 2 kerajaan yang berbeda juga. Keberadaan 2 satelit ini menimbulkan persaingan secara tidak langsung untuk menjadi yang terbaik sehingga para pengikutnya tidak berpaling, bahkan menjadi sebuah pencapaian kemudian apabila pengikut dari bangsawan saingannya yang justru bergabung dengan pengikut mereka sebelumnya. Walaupun kejadian itu tidak sampai menimbulkan bentrok secara fisik, tetapi secara terselubung sudah menjadi bibit pertentangan diantara kedua komunitas pengikut tersebut. Situasi seperti itu juga terjadi di wilayah Sayan, Penguasa Sukawati mengirim 2 orang bangsawannya dengan iringan para pengikut dalam jumlah besar ditugaskan untuk menjadi satelit Sukawati. Mereka membangun kedatuan ditimur jalan utama Sayan dan menepatkan para pengikutnya bermukim di sekitar puri.
Sepanjang Pemerintahan Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun, kedua kelompok satelit ini masih bisa saling melengkapi dan menduduki kedudukan sosial yang tinggi dan dihormati oleh para pengikutnya. Mereka berhasil menggabungkan 2 komunitas pengikut yang berbeda wangsa, asal dan pemimpin untuk bersama-sama membangun wilayah Sayan secara sosial, politik dan ekonomi. Dilihat dari arsitektur pura Desa, Puseh dan Bale Agung Sayan tersirat perpaduan 3 arsitektur yang berbaur menjadi satu bentuk pura tinggalan yang diwarisi hingga kini, terdiri dari arsitektur Bali Kuno, Mengwi dan Sukawati. Pada tahun 1740 Masehi, dilaksanakan upacara bersekala besar di Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Sayan yang dimotori oleh 2 penguasa, Mengwi dan Sukawati, bertepatan dengan expansi yang dilakukan Panji Sakti terhadap kerajaan Payangan, disebelah utara Sayan yang menyebabkan kerajaan Payangan hancur pada saat itu. Para pengikut satelit Mengwi dan Sukawati yang ditugaskan oleh pusat kerajaan masing-masing yang melakukan pergerakan kearah utara untuk membantu Payangan, tetapi mereka mendapati Payangan sudah runtuh, Raja Payangan dan para bangsawan petinggi kerajaan gugur dalam perang tersebut. Hanya tertinggal putra mahkota Payangan I Dewa Agung Anom yang masih berusia belia diselamatkan ke Mengwi yang selanjutnya ditempatkan di Munggu untuk beberapa waktu sebelum kembali lagi ke Payangan kemudian. Laporan politik dan budaya J. Moser tahun 1808 yang kemudian dibukukan memuat data data tentang upaya pemerintahan raja-raja Bali pada kurun waktu 1740 sampai dengan 1800 Masehi dalam usaha membangun, memugar dan membuat upacara-upacara besar pada pura, puri, pasar, alun-alun dan tanah pekuburan.
Ida Dewa Agung Gede Pamayun menurunkan putra antara lain dua putra dari dampati Ida Sri Dewa Agung Istri Mengwi bernama: Ida Dewa Agung Gede Putra dan Ida Dewa Agung Made Putra. Ada juga putra-putri beliau yang lahir dari Penawing, antara lain: Ida Cokorda Ngurah, Ida Cokorda Karang, Ida Cokorda Anom, Ida Cokorda Tiyingan, Ida Cokorda Tangkeban, Ida Cokorda Ketut Segara, Ida Cokorda Rai Lengeng, Ida Cokorda Gunung dan seorang putri yang kemudian setelah dewasa diperisteri oleh Ida I Dewa Manggis Gredeg di Puri Gianyar. Setelah para putera beliau menjadi dewasa semua, Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun menyerahkan tahta kerajaan kepada putra tertua yang bernama Ida Dewa Agung Gede Putra pada tahun 1757 Masehi. Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun kemudian memilih untuk menyepi di Puri Petemon sampai mangkat, sehingga beliau dikenal dengan nama Dalem Petemon.
Pada masa pemerintahan Ida Dewa Agung Gede Putra di Sukawati terjadi gejolak berkepanjangan antara Raja dengan adik kandungnya yang bernama Ida Dewa Agung Made Putra yang membuat kekuatan kerajaan Sukawati terpecah menjadi dua bagian. Perpecahan faham 2 bersaudara ini membuat Ida Dewa Agung Made Putra meninggalkan Sukawati meminta perlindungan ke Badung dan Mengwi. Upaya perdamaian dilakukan dengan bantuan raja Mengwi sebagai penengah, tetapi menemui jalan buntu dan berakhir dengan perang saudara. Kedudukan Ida Dewa Agung Gede Putra diserang dari 3 penjuru, utara, barat dan selatan. Pasukan Badung pimpinan I Gusti Munang dari Puri Grenceng berhasil menembus pertahanan laskar Sukawati bagian selatan dan menduduki Puri Sukawati untuk beberapa tahun. Raja Sukawati III, Ida Dewa Agung Gede Putra mengungsi ke Puri Ki Gusti Ngurah Jelantik di Tojan. Masa kekuasaan I Gusti Munang di Sukawati tidak secara langsung menguasai semua satelit Sukawati, kebanyakan pimpinan satelit tidak mengakui kekuasaan I Gusti Munang di Sukawati dan meminta perlindungan kepada penguasa Mengwi, termasuk Satelit Sukawati di Sayan. Untuk beberapa tahun masa kekuasaan I Gusti Munang di Sukawati, dua kekuatan penduduk yang terbentuk di Sayan dari 2 penguasa bergabung menjadi satu menyatakan diri sebagai bagian dari kekuasaan Mengwi. Pada masa ini semua kebijaksanaan politik di Sayan diatur oleh pemerintahan Mengwi secara total, tanpa ada campur tangan dari penguasa-penguasa lain. Setelah sekian lama Sukawati berada dalam pemerintahan Ki Gusti Munang, dua bersaudara yang berseteru akhirnya menyadari kekeliruan mereka selama ini, sehingga Puri dikuasai oleh penguasa yang bukan garis keturunan Sukawati. Kesadaran ini selanjutnya berbuah kesepakatan untuk bersama-sama merebut lagi Puri Sukawati dari kekuasaan I Gusti Munang. Melalui pertempuran yang dahsyat pasukan 2 bersaudara Ida Dewa Agung Gede Putra dan Ida Dewa Agung Made Putra berhasil merebut kembali Puri dan mengusir I Gusti Munang dari Sukawati. Sukawati selanjutnya dibagi menjadi 2 wilayah, bagian selatan dipimpin oleh Ida Dewa Agung Gede Putra berkedudukan di Sukawati dan wilayah utara dipimpin Ida Dewa Agung Made Putra berkedudukan di Peliatan.
Wilayah Sayan memasuki babak baru, dari segi wilayah termasuk bagian utara kerajaan Sukawati, sehingga menjadi wilayah kekuasaan Ida Dewa Agung Made Putra yang berkedudukan di Peliatan. Diperkirakan pada masa ini terjadi penempatan satelit di Sayan oleh Ida Dewa Agung Made Putra, selaku penguasa Sukawati bagian utara yang berkedudukan di Peliatan. Tetapi rupanya selama kurun waktu setelah terjadinya konsolidasi 2 bersaudara ini, cobaan alam datang menguji kesabaran penduduk Sayan. Dimulai dengan Gagal panen yang terjadi akibat serangan hama tikus pada tahun 1862, setahun kemudian penyakit kolera dan cacar menyerang desa. Wabah kekurangan pangan dialami oleh masyarakat desa akibat gagal panen di tahun 1868 menyebabkan ratusan orang meninggal. Wabah Kolera dan Cacar ini menyerang sebagian besar desa-desa di Bali hingga tahun 1885 menewaskan ribuan penduduk yang terjangkit. Laporan Politik Van Eck dan Van Vlijmen menuliskan semua tentang wabah mengerikan seperti hantu yang menyerang desa-desa tua di Bali, terutama wilayah Bali Tengah dan Bali pesisir. Belum lagi dengan terjadinya gempa bumi pada tahun 1888 Masehi yang mengguncang Bali membuat penderitaan masyarakat Bali pada tahap yang sangat memprihatinkan. Catatan penulis Belanda A.M. Hocart menggambarkan situasi genting yang terjadi di wilayah ini sudah menepatkan keberadaan pura-pura tua dan Dam atau bendungan menjadi sangat penting dalam sistem sosial untuk mencari kesejahteraan masyarakat.
Ubud menjadi sebuah wilayah yang berkembang dengan sangat pesat dimulai pada paruh tahun 1886, dibawah kepemimpinan Tjokorda Gde Sukawati yang mempunyai pertalian saudara dengan Puri Tegallalang dan Puri Peliatan, seperti laporan Residen ke Batavia tanggal 23 Januari 1889. Pada bulan Mei 1891 Ubud dibantu laskar Mengwi menyerang dan menaklukan Negara, Puri Negara dibumi hanguskan, hal ini membuat wilayah-wilayah Negara mengakui kekuasaan Ubud. Laporan Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25-5-1893, laporan Residen bulan Desember 1896, laporan Contoleur J.C Van Erde tanggal 1-6-1897 masing masing menggambarkan penguasa Ubud secara terus menerus memperluas wilayah kekuasaanya di bekas-bekas kekuasaan Mengwi, setelah kekuatan Mengwi dilucuti oleh gabungan pasukan Tabanan, Badung dan Gianyar. Babad Mengwi Lambing dan laporan politik Controleur J.P Van Eerde, tanggal 13 Desember 1896 mencatat pada tahun 1892 dua orang bangsawan yang sangat berpengaruh di Mengwi, yaitu Anak Agung Kerug dan Anak Agung Pekel melarikan diri dari Mengwi dan meminta suaka di Ubud mengikuti pelarian putra mahkota Mengwi yang bernama Anak Agung Gde Agung. Pelarian ini membawa tidak kurang dari 6000 pengiring setia. Para pengikut setia inilah yang menepati daerah-daerah perbatasan Ubud dengan membangun pemukiman dari utara ke selatan sepanjang sungai Ayung, mereka dilengkapi dengan senjata-senjata bertuah dan bedil-bedil sehingga fungsinya lebih mendekati Benteng pertahanan dari pada pemukiman penduduk. Para Ksatria Mengwi tersebut kemudian ditempatkan di Puri Kelodan yang khusus dibangun pada tahun 1892. Ubud juga mendirikan Giriya khusus bagi pendeta Mengwi yang ikut mengungsi ke Ubud, dinamakan Giriya Pamaron dan Puri Anyar Ubud. Tahun 1893 setelah Puri Carangsari dan Petang melepaskan diri dari Bangli dan bergabung dengan Ubud, seluruh wilayah timur laut bekas kekuasaan Mengwi menjadi wilayah kekuasaan Tjokorda Gde Sukawati. Laporan politik Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25 Mei 1893. Tjokorda Gde Sukawati, penguasa Ubud mendapat kemasyuran dengan mengembangkan wilayahnya dari 40 desa menjadi 130 desa dan bersama-sama sekutunya berhasil memobilisasi 18.000 pengikut, dengan menguasai sebagian bekas kekuasaan Mengwi dan beberapa bagian daerah Gianyar pada awal tahun 1896, tertuang dalam laporan politik Controleur J.C. van Eerde tanggal 13-12-1896.
Daerah Sayan, Mas, Singapadu, Samu dan Kengetan yang dalam garis kekuasaan masuk wilayah bawahan Sukawati kurang mendapat perhatian dari para pejabat kerajaan, akibat panasnya pergolakan politik yang mengguncang Puri Sukawati dan Peliatan, hal itu yang menyebabkan para tetua desa tersebut lebih sering menghadap ke Puri Ubud dalam kaitan penyelenggaraan upacara Panca Yadnya. Hal ini terjadi karena penguasa Ubud dalam rentang tahun 1870 hingga 1919 sangat berpangaruh terhadap desa-desa kekuasaan Sukawati, Peliatan, Mengwi dan Payangan, hampir semua pemimpin desa tersebut sangat loyal kepada penguasa Ubud.
II.11.Masa Peralihan Kekuasaan Belanda-Jepang.
Peran Kekuasaan Belanda sangat kuat di daerah Bali dengan diangkatnya Van Heutsz sebagai Residen Bali Lombok pada tahun 1905 yang kemudian membuat kebijakan di tahun 1909 yang membagi wilayah Bali Selatan menjadi Divisi Administratif dibawah seorang Asisten Residen dan terdiri dari 6 sub wilayah, Karangasem, Bangli, Gianyar, Klungkung, Badung dan Tabanan, masing-masing dengan satu Controleur. Setiap Divisi dipimpin oleh seorang Punggawa bentukan Pemerintah Hindia Belanda, Punggawa membawahi beberapa Manca Agra, Manca Agra membawahi beberapa Manca, Manca membawahi Bandesa dan Kelihan. Sistem Administrasi bertingkat ini yang menjadi garis koordinasi pemerintah dari atas kebawah dan sebaliknya untuk berbagai kegiatan politik, social, budaya dan ekonomi. Sayan menjadi bagian dari Divisi Administratif Gianyar dibawah Residen Bali Lombok pimpinan dari Van Heutsz.
Sebuah catatan politik yang ditulis oleh H.U. van Stenis mengungkapkan tentang bencana alam gempa dahsyat yang melanda Bali Selatan pada tanggal 21 Januari 1917, walaupun gempa ini berlangsung kurang dari lima puluh detik, tetapi cukup mengakibatkan kehancuran rumah-rumah, pura, puri tak terhitung jumlahnya, banyak jalan, bendungan yang jebol. Gempa yang menelan korban mencapai lebih dari 1.350 orang ini juga merobohkan dan menghancurkan pura-pura di Desa Sayan dan sekitarnya. Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Sayan menjadi salah satu dari sekian banyak pura yang rusak, walaupun tidak sangat parah, tetapi cukup memerlukan waktu yang panjang untuk memugarnya kembali. Ida Pedanda Ngurah Blayu juga mengisahkan kehancuran wilayah Bali, seperti yang tertuang dalam sastra Bhuwana Winasa yang beliau tulis pada tahun 1918, dimana beberapa bagiannya memuat tentang diserangnya sawah-sawah penduduk oleh hama tikus dan peperangan dikalangan orang-orang bersaudara dan menghancurkan Negara Bali disebabkan karena masyarakat Bali tidak lagi mengidahkan upacara di Pura Besakih. Tahun-tahun selanjutnya Bali Tengah benar-benar berada dalam situasi yang sangat sulit, wabah penyakit silih berganti menyerang penduduk, hama tikus menyebabkan gagal panen membuat masyarakat harus benar-benar hidup dengan sangat seadanya untuk menyesuaikan diri. Controleur Gianyar H.K. Yakobs menuliskan dalam buku laporanya bahwa masyarakat miskin dengan cepat bertambah di desa-desa yang sebelumnya hidup berkelimpahan. Pada Tahun 1930 wabah kekurangan pangan menyebar dengan lebih cepat sehingga banyak yang sampai meninggal akibat kelaparan. Nilai mata uang Belanda (1 rix-dolar) pada tahun 1931 mencapai 1.375 kepeng sampai dengan 1.785 kepeng Bali. Puncak dari krisis yang dialami Bali adalah tahun 1934 nilai tukar 1 rix-dolar mencapai angka 2.300 kepeng uang Bali. Khusus untuk mengatur wilayah Bali, Residen Bali Lombok menunjuk seorang Asisten Residen berkedudukan di Singaraja, seperti laporan politik Residen G.F. de Bruyn Kops tahun 1909.
Ketegangan politik antara Jepang dan Sekutu di Asia Tenggara mulai terjadi pada tahun 1941, Jepang mulai sedikit demi sedikit menguasai pasar di Bali, Toko-toko kelontong Jepang tumbuh bagai jamur di musim hujan, sangat laris karena barang-barangnya jauh lebih murah dari barang-barang Eropa. Tanggal 8 Desember 1941 meletus perang Pasifik, tentara Jepang menghancurkan pangkalan udara Pearl Harbour di kepulauan Hawai. Belanda dan sekutunya menyatakan perang melawan Jepang, Bali yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Hindia Belanda tentunya juga terimbas oleh peraturan-peraturan keadaan darurat perang. Masyarakat Bali masih seperti biasa melaksanakan kegiatan sehari-harinya, diakibatkan sedikit sekali media yang menerangkan tentang peperangan yang sedang berkecamuk antara Jepang dan Sekutu. Perang Pasifik mungkin hanya didengar oleh golongan-golongan intelektual dan keluarga para raja saja, sehingga tidak terlalu merisaukan masyarakat secara luas.
Bagian pasukan Kononklijk Nederlands Indisch Leger atau KNIL yang dibentuk di Bali dengan nama Prayoga yang terdiri dari 1000 orang direkrut dari pemuda-pemuda Bali yang cakap disebarkan di 4 tangsi : Buleleng, Karangasem, Badung dan Gianyar. Mereka yang ditugaskan untuk mempertahankan Bali dari serangan Jepang oleh Angkatan Darat Kerajaan Belanda dibantu oleh seluruh rakyat Bali. Tanggal 18 Februari 1942 Tentara Jepang mendarat di Sanur dengan jumlah yang sangat besar, setelah mengebom lapangan udara di Tuban terlebih dahulu. Tentara KNIL semua meninggalkan posnya masing-masing dengan ketakutan, sehingga dengan cepat Jepang berhasil menguasai Denpasar dan mengakhiri kekuasaan Belanda di Bali. Suasana kondusif masih terasa di wilayah swapraja Gianyar, penduduk seakan acuh tak acuh dengan perkembangan politik saat itu, mereka melakukan kegiatan kehidupannya dengan normal. Tanggal 8 Maret 1942, Stasiun pemancar radio resmi Belanda, Nirom menyiarkan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada Jepang sekaligus mengakhiri Pasifik dan masa kekuasaan Belanda terhadap Bali.
Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Sayan yang sebelumnya mengalami kerusakan akibat gempa tidak bisa dipugar sebagaimana mestinya, karena situasi politik swapraja Gianyar yang tidak kondusif. Penduduk masih bingung dengan apa yang harus mereka lakukan berkaitan dengan pura-pura yang ada di wilayahnya. Situasi ini dipengaruhi oleh terkonsentrasinya para pemimpin swapraja dalam peralihan kekuasaan antara Hindia Belanda kepada Jepang. Para Punggawa dan Sedahan yang biasanya secara langsung memberi perintah untuk melakukan perbaikan pura, jalan atau bendungan tidak berani mengambil keputusan yang tegas karena masih menunggu situasi politik menjadi lebih tenang.
Pemerintah militer Jepang dalam system pemerintahannya masih tetap mengakui kerajaan-kerajaan di Bali dengan membentuk Badan Panitia Kerajaan terdiri dari Punggawa, Sedahan Agung dan seorang wakil dari Raja yang digaji oleh pemerintah Jepang. Jepang menepatkan seorang wakilnya di masing-masing swapraja dengan nama Syutjo yang bertugas mengamati perkembangan di masing-masing swapraja. Syutjo ini menggantikan kedudukan para Controleur pada jaman Hindia Belanda, menjadi pejabat setingkat Bupati. Jepang memulai pemerintahan tangan besinya di Bali dengan menebar Polisi Militer yang diberi nama Kempetai yang bertindak aktif dan semena-mena. Selama pemerintahan Militer Jepang, keadaan Masyarakat Bali yang sudah sulit menjadi semakin sulit, perhatian Jepang terhadap berbagai pasilitas umum seperti bendungan, jalan, pasar dan pura sangat minim. Bendungan banyak yang jebol, jalan rusak, pasar sepi tidak terurus dan pura-pura terbengkelai. Hal ini juga berlangsung setelah kemerdekaan dan tahun-tahun awal pemerintahan Republik Indonesia.
BAB III
SAYAN MASA KEMERDEKAAN DAN KEKINIAN
III.1. Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Bali yang merupakan bagian dari Republik Indonesia masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dan bergabung secara resmi dengan Republik Indonesia pada tahun 1950. Pada Kurun waktu dimana usaha tentara NICA berupaya melakukan expansi terhadap wilayah Bali, di Desa Sayan, tepatnya di wilayah Tegal Jambangan terjadi pertempuran antara tentara NICA dan Pasukan Hitam, sub dari PRI pimpinan Almarhum Tjokorda Gde Agung Sayan. Pada kejadian ini gugur 6 orang pejuang PRI dari Desa Sayan, antara lain: I Liyang warga Banjar Sindhu, I Nombrog warga Banjar Penestanan Kaja, I Made Seken warga Banjar Baung, I Wayan Lemut warga Banjar Baung, I Nasa warga Banjar Shindu dan Dewa Gede Rai juga warga Banjar Sindu. Walaupun semua pahlawan Sayan ini tidak gugur di Tegal Jambangan, dengan berbagai pertimbangan tugu peringatan peristiwa heroik tersebut dibangun di wilayah Tegal Jambangan Sayan.
Berbagai pemberontakan menghiasi lembar sejarah Indonesia yang berusia belia, juga gerakan-gerakan pengacau keamanan Republik juga sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Masyarakat Bali yang tersebar di seluruh pulau tidak merasa tenang dalam melaksanakan kewajiban hidupnya, juga campur tangan Belanda masih dirasakan oleh masyarakat Bali. Tanggal 7 sampai dengan 24 Desember 1946 dilaksanakan Konferensi Denpasar di pendopo Bali Hotel dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook bertujuan membentuk Negara Indonesia Timur dengan ibukota Makasar. Susunan pemerintahan Bali digiring untuk kembali seperti pada jaman raja-raja dulu, pemerintahan dipimpin oleh Raja dibantu Patih, Punggawa, Prebekel dan pemerintahan paling bawah diatur oleh Kelian, diatas pemerintahan raja ada dibentuk juga Dewan Raja-Raja. Dalam kurun waktu tersebut Pura Desa, puseh dan Bale Agung Sayan masih tetap berfungsi sebagai tempat berkumpul masyarakat saat melakukan pertemuan atau membangun upacara upakara. Bagi masyarakat desa Sayan yang berpikir sederhana, hanya di pura sajalah tempat yang damai tanpa pertentangan politik yang memanas pada masa ini.
III.2. Sayan Kekinian
Setelah mengalami pasang surut susah dan senang dalam system pemerintahan yang terus berubah-ubah, Desa Adat Sayan masih tetap tegar berdiri didukung oleh rasa bakti dan pengabdian penduduknya terhadap Agama dan Negara. Kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi yang sudah melewati masa yang lama dan sudah menjadi warisan adiluhung dari asimilasi sekian banyak jenis warisan membuat Sayan menjadi sangat kaya budaya. Beragam pengaruh yang berasal dari berbagai daerah diluar Sayan berbaur di Sayan membentuk Desa ini menjadi desa yang terbuka dengan penduduk yang mempunyai cara berfikir Modern terarah, artinya tidak menolak perubahan tetapi tidak meninggalkan esensi sebelumnya.
III.2. Letak Geografis Desa Adat Sayan.
Desa Sayan terletak di perbatasan barat Kabupen Gianyar, dengan wilayah Desa Adat yang membujur dari arah utara ke Selatan dengan 2 sungai besar sebagai batas desa,
disebelah barat mengalir Sungai Ayung, disebelah timur mengalir Sungai Wos, dengan batas-batas desa sebagai berikut: Desa Kedewatan menjadi batas utara, Sungai Wos menjadi batas timur, Desa Singakerta menjadi batas selatan dan Sungai Ayung menjadi batas barat desa. Desa Dinas Sayan terdiri dari 8 Dusun, antara lain: Dusun Penestanan Kaja, Penestanan Kelod, Kutuh, Pande, Mas, baung, Sindu dan Dusun Ambengan. Sementara Desa Adat Sayan membawahi 6 Banjar Adat antara lain: Banjar Kutuh, Banjar Pande, Banjar Mas, Banjar Baung, Banjar Sindu dan Banjar Ambengan. Pada sebelum tahun 1950, Warga Penestanan Kaja dan Penestanan Kelod masih bergabung menjadi 1 Bale Agung di Pura Bale Agung Sayan. Karena beberapa hal, terutama disebabkan dengan kondisi jalan penghubung antara wilayah Sayan dan Penestanan yang masih rusak dan susah untuk dilalui, mendorong warga Penestanan membangun Pura Desa (Pelinggih Bale Agung) di Penestanan. Akan tetapi ikatan persaudaraan yang terbentuk dari history kedua daerah masih dijaga dengan harmonis hingga sekarang.
Wilayah Desa Adat Sayan terletak pada 250 MDPL dengan tekstur tanah tergolong tanah Lempung atau Clay, berdebu dengan warna coklat kelabu sampai kekuningan. Desa Adat Sayan adalah desa hasil pemekaran dari Desa Kedewatan yang secara resmi menjadi Desa difinitif tanggal 28 Oktober 1991, melalui keputusan Gubernur Nomor: 661 Tahun 1961, dengan Perbekel pertama pada 15 April 1989 bernama Dewa Ngakan Nyoman Rauh. Kini Perbekel Sayan dijabat oleh I Made Andika, S.Kom.
Struktur pengurus Desa sebagai berikut: Bandesa Pakraman dijabat oleh Tjokorda Gde Arjana, Sekretaris; I Made Puput, Bendahara; I Made Adnyana, dengan 6 jumlah Banjar atau Dusun. masing-masing:
1. Banjar Kutuh, dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: Drs. I Ketut Parsa. Kelihan Dinas dijabat oleh: I Komang Putra Yasa SH, Sekretaris dijabat oleh: I Wayan Putrayasa, SH, Bendahara dijabat oleh: I Ketut Genep S.Pd, M.Pd, dan Petengen dijabat oleh I Made Sujendra.
2. Banjar Pande, dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: I Made Puput. Kelihan Dinas dijabat oleh: A A Gede Raka Sarjana, Sekretaris dijabat oleh: A A Gede Raka Arta Buana dan Bendahara dijabat oleh: Pande Ketut Windia.
3. Banjar Mas, dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: I Made Sadawan. Kelihan Dinas dijabat oleh: I Made Dwi Putra Yoga, Sekretaris dijabat oleh: I Wayan Sujana dan Bendahara dijabat oleh: I Gede Sudira.
4. Banjar Baung, dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: I Wayan Mawa. Kelihan Dinas dijabat oleh: I Kadek Arianta, Sekretaris dijabat oleh: I Kadek Nova Wartana S.E dan Bendahara dijabat oleh: I Nyoman Ruja.
5. Banjar Sindu, dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: Dewa Putu Wardana. Kelihan Dinas dijabat oleh: I Made Suwitra.
6. Banjar Ambengan, dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: I Wayan Wastra. Kelihan Dinas dijabat oleh: Gusti Ngurah Anantara.
Organisasi Pecalang dipimpin oleh Ketua; I Nyoman Deki Sekretaris; I Ketut Sumadi, dan sebagai Bendahara; I Nyoman Puja. Organisasi Sekeha Gong Desa Adat Sayan dipimpin oleh Ketua; I Nyoman Deki, Wakil ketua: I Wayan Sukarta, Sekretaris; I Ketut Sumadi, Bendahara; I Nyoman Puja dan Juru Arah: I Wayan Sumerta.
Generasi muda Desa Adat Sayan membentuk Wadah Yowana Desa Adat Sayan dengan pengurus: Ketua; Oka Saputra, Sekretaris; A. A Gede Raka Sedana Yoga, dan sebagai Bendahara; Devi Eka Candra. Pinandita yang ngayah sebagai Pemangku Pura Puseh Jero Mangku Isteri Made Nyantuh, Pinandita Pengayah di Pura Desa Sayan adalah Jero Mangku Wayan Kajeng, Pinandita Pengayah di Pura Dalem Sayan adalah Jero Mangku Isteri Made Sure Antini, Pinandita Pengayah di Pura Taman Arum: Jero Mangku Ketut Weda dan Jero Mangku Istri Made Yuni Asrini dan Pinandita Pengayah di Pura Baturning: Jero Mangku Nyoman Sudiana S.Fil.H. Dalam bidang ekonomi desa, Lembaga Perkreditan Desa Adat Sayan diketuai oleh Ir. I WayanToko, Sekretaris: Dewa Nyoman Dadi, Bendahara: I Made Arimada. PKK Desa mempunyai pengurus, Ketua: Jero Ratni, Sekretaris: Ni Ketut Maskar Denawangi, Bendahara: Ni Wayan Sugiartini.
Selain organisasi desa pada umumnya, Desa Adat Sayan memiliki organisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDA) yang dipimpin oleh ...........,sebagai ketua, Ni Kadek Arma Wati S.Ak sebagai Bendahara dan I Nyoman Tri Agus Arcana sebagai Sekretaris. Pengurus Pasar Desa Adat Sayan dipimpin oleh ketua: I Wayan Tukar, Sekertaris: A A Raka dan Bendahara dijabat oleh: I Made Ruja
III.3. Kahyangan Desa Adat Sayan
Desa Adat Sayan membawahi 6 Banjar Adat yaitu: Banjar Kutuh yang dibangun oleh 97 karang Ayahan Desa, Banjar Pande yang dibangun oleh 42 karang Ayahan Desa, Banjar Mas yang dibangun oleh 41 karang Ayahan Desa, Banjar Baung yang dibangun oleh 61 karang Ayahan Desa, Banjar Sindhu yang dibangun oleh 72 karang Ayahan Desa dan Banjar Ambengan yang dibangun oleh 35 karang Ayahan Desa, dengan jumlah keseluruhan 1.760 kepala keluarga. Warga Desa Adat Sayan memiliki emponan pura sejumlah 4 lebahan pura, antara lain: Satu lebahan pura terdiri dari Pura Desa, Puseh dan Bale Agung, satu lebahan pura Dalem, pura Taman Arum, satu lebahan Pura Prajapati, dan satu lebahan Pura Batur Hening dan Pura Catus Pata yang dibangun atas petunjuk dari Ida Pedanda Giriya Selat Duda sebagai sarana memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa upaya memohon keselamatan dan ketentraman Desa Adat yang dirasakan warga mulai terganggu dengan berbagai kejadian, berupa wabah di Banjar Sindu dan kecelakaan lalu lintas di sepanjang jalan raya Sayan. Selain pura-pura yang merupakan emponan Desa Adat, di wilayah Desa Adat Sayan juga berdiri pura-pura Manca dan Pura Ulu Banjar atau Catur Bhuwana atau Pura Banjar di masing-masing Banjar Adat, Pura Subak, Pura Melanting dan banyak pura Pemaksan, Paibon dan Pura Dadia. Dilihat dari jenis dan karakteristik pura yang ada di wilayah Desa Adat dapat dikelompokkan sebagai: Kahyangan Tiga, Pura Swagina, Pura Banjar, Pura Pemaksan dan Pura Kawitan.
III.4. Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan.
Simbol-simbol Ida Sang Hyang Widhi dan manifestasi Beliau tampak jelas di Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan dalam bentuk ornamen, patung dan mandala pura. Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan diempon oleh Krama Desa Adat Sayan dengan jumlah Krama sebanyak 1.760 kepala keluarga. Berkat kerja keras dan kesungguhan hati dari Warga Desa Adat, juga tuntunan dari para sesepuh tetua dan manggala adat dinas, dilandasi semangat gotong royong dan kebersamaan dalam usaha memugar pelinggih-pelinggih, kini Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan yang terdiri dari tiga mandala ini hampir semua bangunan Pelinggihnya tergolong baik. Karena pemugaran terhadap pelinggih di tiga mandala dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan. Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan pada dasarnya dibangun oleh masyarakat dari jaman ke jaman adalah untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam semua manifestasi Beliau. Para ahli arsitektur tradisional kuno Bali mengungkapkan Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan adalah metamorfosis dari prasada atau tempat memuja bagi para penganut Siwa yang kemudian berubah bentuk dan fungsi sesuai dengan jaman yang terus berkembang secara kebudayaan. Hal itu yang kemudian membuat banyak Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan yang difungsikan sebagai pura bagian dari Kayangan Tiga. Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan yang dibangun pada masa lampau mempunyai sejarah khusus saat pembangunannya, terutama pada masa Bali Kuno, masa Majapahit dan masa Astanagara.
Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan yang terdiri dari tiga pelebahan ini dibangun di tengah-tengah desa memiliki jajar kemiri pelinggih yang hampir sama dengan pura-pura di sekitar Ubud dengan ciri khas, Pura Puseh dan Desa menjadi satu pelebahan pura. Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata yaitu kahyangan dan Tiga. Kahyangan berasal dari kata Hyang yang berarti suci mendapat awalan ka dan akhiran An, an menunjukkan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci, yaitu Pura Desa atau disebut pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan yang ketiga adalah Pura Dalem.
Kahyangan Tiga terdapat pada setiap desa Adat di Bali. Apabila jumlah desa Adat di Bali 1456 buah, maka jumlah Pura Kahyangan Tiga akan menjadi tiga kali jumlah desa Adat sehingga menjadi 4368 buah pura. Di Desa Adat Sayan penempatan Pura Puseh digabungkan dengan Pura Desa sehingga tampaknya seperti hanya satu pura tetapi sebetulnya adalah tetap dua buah pura. Desa Pakraman sebagai lembaga sosial tradisional adalah pengelompokan sosial berdasarkan kesatuan teritorial ditandai mereka bertempat tinggal dalam wilayah yang sama, mempunyai tugas dalam kegiatan gotong royong dan melaksanakan tugas pasuka dukaan. Pengelompokan yang lain berdasarkan genealogis seperti apa yang disebut tunggal kawitan, tunggal sanggah, pengelompokan sosial yang disebut sisya yang didasarkan atas siapa yang dijadikan pimpinan di dalam suatu upacara keagamaan. Lembaga sosial tradisional yang lain adalah subak (kesatuan petani yang sawahnya menerima air dari satu sumber irigasi yang sama), dan sekaha (kesatuan sukarela). Keseluruhan lembaga tradisional tadi sangat fungsional bagi upaya pelestarian dan penyelarasan kebudayaan Bali yang dibangun atas dasar landasan konsepsi Tri Hita Karana atau tiga penyebab kesejahteraan hidup yaitu Parhyangan yang artinya tempat pemujaan, pawongan yang artinya manusia, dan pelemahan yang artinya wilayah.
Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsur dari Tri Hita Karana yaitu unsur parhyangan dari setiap Desa Adat di Bali. Pada Kahyangan Tiga masyarakat desa memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk desa dan masyarakatnya. Unsur yang kedua dan tiga dari Tri Hita Karana disebut dengan pelemahan dan pawongan. Dengan demikian maka di dalam mewujudkan rasa aman, tentram, sejahtera lahir batin dalam kehidupan desa adat berlandaskan tiga hubungan harmonis yaitu hubungan manusia dengan alam atau hubungan krama desa dengan wilayah desa Pakraman, hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam desa adat dan hubungan krama desa dengan Hyang Widhi sebagai pelindung. Inilah yang dinamakan Trihita Karana dalam desa Adat.
Dengan tercakupnya unsur ke-Tuhanan dalam kehidupan desa adat di Bali, maka desa Adat di Bali mencakup pula pengertian sosio-religius. Maka dari itu perpaduan antara adat dengan agama Hindu di Bali adalah erat sekali sehingga sulit memisahkan secara tegas unsur-unsur adat dengan unsur agama, karena adat-istiadat di Bali dijiwai oleh agama Hindu dan aktivitas agama Hindu didukung oleh adat istiadat di masyarakat. Seorang sarjana Belanda yang lama tinggal di Bali yakni Dr. R. Cons mengatakan kecerdasan Mpu Kuturan sebagai seorang filosof besar dan negarawan yang bijaksana. Dalam lontar Raja Purana menyebutkan usaha Mpu Kuturan untuk membangun tempat-tempat suci beserta upacaranya sebagai berikut:
Ngaran Dewa ring kahyangan pewangunan Mpu Kuturan kapastikan saking Pura Silayukti, muwang ngewangun seraya karya, ngadegang raja purana, mwang nangun karya ngenteg linggih batara ring Bali, kaprateka antuk sira Mpu Kuturan, Ngeraris nangun catur agama, catur lokika bhasa, catur gila, mekadi ngewangun Sanggah Kamulan, ngewangun Kahyangan Tiga, Pura Desa, Puseh mwang Dalem.
Terjemahan:
Adapun Dewa di Kahyangan diciptakan atau dibangun oleh Mpu Kuturan, direncanakan dari Pura Silayukti dan menyelenggarakan segala pekerjaan sehubungan dengan pembangunan pura-pura kahyangan jagat, demikian pula mengadakan pemelaspasan dan mengisi pedagingan linggih batara-batari di Bali diatur oleh Mpu Kuturan. Selanjutnya dibuat peraturan agama, empat cara-cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan dan lima tatwa agama, seperti mengajar membuat sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga, Pura Desa, Puseh dan Dalem.
Sehubungan dengan pembangunan tempat-tempat suci, oleh Mpu Kuturan, Babad Gajah Mada menyebutkan sebagai berikut:
Sira to Mpu Kuturan sang sida moksah ring Silayukti sira to urnara marahing tumitahing Bali Aga, sira nggawe paryangan pengastawan kabuyutan, ibu, dadia, ring Bali Aga kabeh, apan Bali gung guna sucaya.
Terjemahan:
Beliau Mpu Kuturan yang moksa di Silayukti, dia yang mengajarkan membuat pemujaan di Bali, termasuk tempat suci pemujaan untuk roh suci leluhur paibon/ dadia, sehingga Bali menjadi jaya dan sejahtera.
Adanya banyak aliran-aliran di Bali menimbulkan perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat di antara aliran yang satu dengan yang lainnya. Akibat adanya pertentangan ini membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat. Menyadari keadaan yang demikian itu maka raja Udayana menugaskan Mpu Kuturan untuk mengadakan pasamuhan (pertemuan) para tokoh- tokoh agama di Bali. Pasamuhan para tokoh agama itu bertempat di Desa Bedahulu Kabupaten Gianyar. Pertemuan para tokoh-tokoh agama dari berbagai aliran yang ada di Bali berhasil menetapkan dasar keagamaan yang disebut Tri Murti yang berarti tiga perwujudan dari Hyang Widhi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Tempat pasamuhan yang menghasilkan dasar keagamaan Tri Murti disebut Samuan Tiga di mana sekarang berdiri Pura Samuan Tiga di Desa Bedahulu. Pada pura ini tersimpan banyak peninggalan purbakala seperti lingga, Arca Ganesa, Arca Durga, arca perwujudan Batara- Batari. Tiga kekuatan di atas yang merupakan prabawa Hyang Widdhi dapat dirasakan dan dialami dalam kehidupan di dunia ini sebagai suatu siklus yaitu: lahir, hidup dan mati. Demikian seterusnya berputar sebagai suatu lingkaran yang tiada terputus sepanjang jaman, karena ia kodrat alam dan hukum Tuhan. Ketiga kodrat alam ini disebut Tri Kona (segi tiga). Kesaktian untuk menciptakan (utpati), kesaktian untuk memelihara (stiti) dan kesaktian untuk mengembalikan kepada asalnya (pralina) merupakan tiga sifat yang mutlak dan diwujudkan dengan dewa Tri Murti
Didalam Weda, Tri Murti berarti tiga Dewa yaitu: Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa), yang diwujudkan dengan:
- Aksara Ang melambangkan Dewa Brahma dengan warna merah dan senjata Gada.
- Aksara Ung melambangkan Dewa Wisnu dengan warna hitam dan senjata Cakra
- Aksara Mang melambangkan Dewa Siwa dengan warna putih dan senjatanya Padma.
Ketiga aksara Ang Ung Mang jika disatukan menjadi A U M. Dalam persenyawaan suara huruf A dan U disandikan menjadi 0 sehingga AUM menjadi Om, yaitu lambang aksara Hyang Widdhi.
Dari uraian tersebut di atas dapat diperkirakan bahwa Kahyangan Tiga pada setiap Desa Adat di Bali dirintis oleh Mpu Kuturan ketika pemerintahan raja suami istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni pada abad 1001 Masehi. Perkiraan ini diperkuat dengan adanya ungkapan dalam Babad Pasek yang menyebutkan demikian:
Nguni duk pemadegan sira cri Gunapriya Darmapatni Udayana Warmadewa, hana pesamuan agung ciwa Budha kalawan Bali Aga, ya etunya hana desa pakraman mwang Kahyangan Tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga.
Terjemahan:
Dahulu tatkala bertahtanya Çri Gunapriya Darmapatni dan suaminya Udayana, ada musyawarah besar Çiwa Buddha dengan pihak Bali Aga, itulah asal mulanya ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dari masing-masing desa Bali Aga.
Dan uraian di atas dapat diduga bahwa pengelompokan masyarakat ketika itu disebut desa pakraman dan dalam perkembangannya mengalami perubahan yang akhirnya disebut desa adat yang dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang disebut Awig-awig. Awig-awig ini mempunyai kedudukan sebagai stabilisator yang mengatur kegiatan dan aspek kehidupan masyarakat. Tujuannya ialah agar suasana kehidupan desa menjadi tetap terpelihara secara serasi dan harmonis dengan ketertiban yang mantap.
Keserasian dan keharmonisan kehidupan masyarakat dapat diukur dengan sistem cara berpikir yang lugu dan tidak mengadakan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dengan cara berpikir yang demikian itu akan melahirkan suasana senasib sepenanggungan yang lebih dikenal dengan istilah suka duka sebagai salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya.
DENAH PURA DESA, PUSEH DAN BALE AGUNG
DESA ADAT SAYAN
KETERANGAN:
1. UTTAMA MANDALA PURA DESA
1. |
Padmasana |
2. |
Limas |
3. |
Kamimitan |
4. |
Ratu Ngrurah Agung |
5. |
Panggungan Pengingkupan |
6. |
Bale Peselang |
7. |
Gedong Catu |
8. |
Gedong Sineb |
9. |
Sedan Pengenter |
10. |
Lumbung |
11. |
Pengaruman |
12. |
Pepelik/ Pesamuan |
13. |
Bale Pawedan |
14. |
Bale Pesandekan |
15 |
Bale Pesandekan |
16. |
Kori Agung |
2. MADYA MANDALA.
17. |
Apit Lawang |
18. |
Apit Lawang |
19. |
Bale Gong |
20. |
Apit Lawang |
21. |
Apit Lawang |
22. |
Panggungan |
23. |
Bale Agung |
24. |
Balang Tamak |
25. |
Bale Kulkul |
26. |
Candi Bentar |
3. NISTA MANDALA
27. |
Perantenan |
28. |
Wantilan |
29. |
Candi Bentar |
|
|
4. UTTAMA MANDALA PURA PUSEH
1. |
Padmasana |
2. |
Meru Tumpang 5 |
3. |
Bebaturan |
4. |
Bebaturan |
5. |
Gedong Sari |
6. |
Ratu Panglurah Agung |
7. |
Bebaturan Naga Basuki |
8. |
Panggungan/Pengingkupan |
9. |
Paselang |
10. |
Linggih Arca |
11. |
Bebaturan |
12. |
Bebaturan |
13. |
Sedan Pengenter |
14. |
Pepelik/Pesamuan |
Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan bukan hanya tempat untuk pemujaan atau sembahyang, melainkan tempat suci. Pendirian Pura ini mengikuti Tri Mandala, Tri berarti Tiga, Mandala berarti Wilayah atau daerah yang merupakan lambang dari Tri Bhuwana, antara lain: Nista Mandala atau Jaba Pisan atau bagian paling luar merupakan lambang Bhur Loka, Madya Mandala atau Jaba Tengah merupakan lambang Bhuwah loka dan Utama Mandala atau Jero merupakan lambang swah loka. Selain sebagai lambang Tri Bhuwana, konsep Tri Mandala ini juga mempunyai tuntutan tata susila bagi Umat Hindu. Tuntutan tata susila itu adalah Tri Kaya Parisudha, yaitu Kayika, Wacika dan Manacika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar