DHARMA WARNANA
PURA DESA, PUSEH DAN BALE AGUNG
DESA ADAT SAYAN, UBUD, GIANYAR
BAB
I
PENDAHULUAN
Om Awignamastu Nama Sidham
Om prânamyam sirā sang widyam,
bhukti mukti hitartwatam, prawaksyā tattwam widayah, wişņu wangsā pādāyā
śiwanam, sirā ghranā stityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā
mongjawam, bhupa-lakam, satyam loka. Om nama dewayā, pānamaskaraning hulun, ri
Bhatarā Hyang mami. Ong kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah akam,
janowa papā wināsayā, dirgha pramanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri
Sanghyang Bhumi Patthi, hanugerahaneng hulun, muncaranākna ikang tattwa, mogha
tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu
rahayu, katkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagadhitayā. sukham bhawantu
Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Sembah pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami
yang bergelar Ongkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara.
Anugerahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang
telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan
Hyang Widhi, Om Bhur, Bhuwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga
tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan
seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi,
lara wigraha mala papa pataka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi,
membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan
kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugerahkanlah hamba agar sempurna
menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
Dharma Warnana berasal dari 3 kata yakti Dharma,
Warna, Hana, Dharma yang mengandung arti kebenaran yang tidak terbantahkan,
Warna mengandung arti fungsi yang jelas dan Hana mengandung arti keberadaan
atau sejarah dari masa ke masa. Bila digabungkan, Dharma Warnana mengandung
makna Sebuah kebenaran yang terjadi dari masa ke masa berkaitan dengan fungsi
dan manfaatnya. Dharma Warnana Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan
adalah sebuah karya sastra semi akademis yang mengisahkan tentang hal-hal yang
terjadi di Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan dari masa ke masa,
fungsi dan manfaatnya pada setiap masa.
Setiap kejadian penting bagi diri sendiri, kelompok
dan masyarakat selalu memerlukan evaluasi pada setiap masa, evaluasi yang sempurna
baru akan bisa dilakukan dengan memahami betul apa yang sudah terjadi yang akan
menjadi bahan evaluasi tersebut. Evaluasi oleh berbagai kalangan bisa jadi
berbentuk nyata atau tidak nyata, dilaksanakan atau direncanakan. Pencatatan
secara rinci dan sistematis sangat diperlukan dalam upaya penyempurnaan suatu
kegiatan. Dharma Warnana Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan adalah
salah satu upaya menuangkan berbagai kegiatan kedalam sebuah pencatatan
berbentuk karya sastra, dengan tujuan menjadikannya sebagai objek yang akan
dievaluasi dikemudian hari oleh generasi dikemudian hari. Tentu saja tidak
semua hal yang terjadi di Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan pada
setiap masanya bisa dituangkan dalam sebentuk tulisan sederhana seperti ini,
tetapi hal-hal yang sangat penting dan berdampak pada perkembangan budaya
spiritual yang terjadi termuat dalam bahasa yang sederhana, sehingga sangat
gampang dibaca dan difahami oleh masyarakat. Diharapkan setelah membaca Dharma
Warnana ini masyarakat mengetahui
berbagai peristiwa penting pada masa lampau dengan perbagai permasalahannya,
sehingga bisa dijadikan pelajaran atau ilmu sehingga bisa berfungsi edukatif.
Yang terpenting adalah bisa dimanfaatkan sebagai pendidikan nalar, pendidikan
moral, kebijaksanaan, pendidikan politik, dasa-dasar konsep perubahan,
pendidikan masa depan dan sebagai ilmu bantu. Berbagai satra Kuno Hindu menerangkan
bahwa Pura dan Kahyangan selalu dibangun
di tempat-tempat yang dianggap suci, di Tirtha atau Petirtan, di tepi sungai,
tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai atau Campuhan.
Di muara sungai, di puncak-puncak gunung atau bukit, di lereng pegunungan,
dekat pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-pusat kota dan di
tempat-tempat lain yang dapat memberikan suasana bahagia. Seorang ahli purbakala Bernet Kempers, memberi julukan pulau Bali sebagai Land of One Thousand Temples, pulau dengan seribu pura. Menurut data Departemen Agama Provinsi
Bali tahun 2012 di Bali terdapat 4.356 Pura Kahyangan Tiga dari setiap wilayah
Desa Pakraman di Bali. Selain itu terdapat 723 buah pura kahyangan jagat dan
923 buah Pura Kawitan. bila ditotal keseluruhan maka jumlahnya mencapai 6.002
buah pura. Masih banyak ahli-ahli dunia memberikan julukan yang mendunia
terhadap pulau Bali, sehingga Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang
menggabungkan unsur alam, budaya, seni, ekonomi, sejarah menjadi satu kesatuan
yang saling bertautan.
Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan adalah
satu diantara sekian ribu pura di Bali, menurut fungsi dan karakteristiknya
termasuk dalam bagian dari Pura Kahyangan Tiga. Pura Desa, Puseh
dan Bale Agung Desa Adat Sayan adalah tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam
manifestasi beliau sebagai Brahma dan Wisnu. Secara etimologi Kahyangan Tiga berasal dari dua
kata yaitu “Kahyangan” yang berarti tempat suci dan Tiga berarti tiga, dan
kalau digabungkan berarti 3 tempat suci. Kahyangan Tiga dalam konsep Tri Hita
Karana adalah bagian Parahyangan, wilayah pemukiman penduduk sebagai Pawongan
dan wilayah tegalan dan sawah adalah bagian yang disebut Palemahan. Ketiga
bagian tersebut adalah hal yang harus dipenuhi dalam konsep setiap Desa adat di
Bali. Data tertua yang berhasil dibaca
tentang perkembangan agama Hindu di Bali bisa didapat dari peninggalan
arkeologi berupa Stupika Buddha di Pura Penataran Sasih di Pejeng
yang menerangkan bahwa pada abad ke 8 Hinduisme di Bali berkembang dalam wujud
agama Buddha Mahayana dan Agaman Siwa. Prasasti Tua yang tersimpan di Sukawana
yang dibuat pada tahun 882 Masehi sudah pula menuliskan tentang nama Bhiksu
Siwa Nirmala, Bhiksu Siwa Praja dan Bhiksu Siwa Kangsita. Banyak sekali
peninggalan-peninggalan arkeologi yang menerangkan tentang perkembangan Agama
Hindu di Bali dari msa ke masa, dari dinasti ke dinasti hingga saat ini. Agama
Hindu di Bali memasuki seluruh Budaya Bali, menyatu saling bertautan satu
dengan yang lain, saling mendukung dan saling mengikat.
BAB
II
AWAL
PERADABAN BALI
II.1.Mitologi
terbentuknya jagad raya
Didalam kitab Babad Pasek, ada
disebutkan cerita tentang Nusa Bali pada jaman alam masih kosong. Dikisahkan
Ketika alam masih kosong, ketika belum ada matahari, bulan bintang dan
planet-planet, yang ada hanya Sang Hyang Embang yang maha tunggal, Beliau maha
besar sehingga memenuhi alam raya, akan tetapi Beliau juga sangat kecil. Pada
masa itu segala sesuatu masih bersifat sempurna dan suci, karena tidak ada
apa-apa selain Beliau yang Maha sempurna. Saat tercipta Sang Hyang Licin yang
juga disebut Sang Hyang Eka Aksara, yakni Ong Kara. Lewat semadi maha tinggi
Sang Hyang Ong Kara, terciptalah Sang Hyang Purusa dan Predana, juga disebut
dengan nama Sang Hyang Akasa dan Pritiwi, dikenal dengan sebutan Rwa Bhineda
dan dalam aksara disebut dengan Sang Hyang Dwi Aksara, Ang dan Ah. Setelah Sang Hyang Purusa Predana
membangun tapa semadi, terciptalah Sang Hyang Tri Purusa, yang terdiri dari
Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa, dalam wujud aksara Ang Ung Mang.
Ketiga aksara ini dikenal dengan nama Sang Hyang Tri Aksara, juga sebagai
lambang dari Sang Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara. Sang Hyang Tri Purusa
beryoga, menciptakan alam dengan segala isinya, memelihara dan mengembalikannya
ke asal atau memprelina. Setelah terciptanya jagat raya, beliau kembali
mencipta sepasang benih laki-laki dan perempuan yang dikenal dengan Ardha Nareswari,
setelah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam buah kelapa, disucikan dengan
mantra utama sehingga berwujud seperti seorang pertapa di lereng gunung Agung.
Disanalah mereka kemudian melakukan tapa dengan menuja Bhatara Hyang Pasupati
agar berkenan turun ke pulau Bali untuk menjadi junjungan dan pujaan di pulau
Bali.
Dikisahkan saat Bali dan Lombok
masih sunyi senyap, kedua pulau ini seakan-akan mengambang di tengah lautan,
laksana perahu tanpa pengemudi, oleng kesana kemari tidak tentu arahnya, bergoyang
dan kadang-kadang rapat menjadi satu. Keadaan pulau itu membuat Sang Hyang
Pasupati merasa sangat kasihan. Awalnya di Bali hanya ada empat buah gunung,
diantaranya, gunung Lempuyang di wilayah timur, Gunung Andakasa di sebelah
selatan, gunung Batukaru diwilayah barat dan gunung Beratan di sebelah utara.
Untuk menstabilkan pulau Bali, Bhatara Pasupati kemudian memotong puncak gunung
Semeru di Jawa Timur dengan kesaktian Beliau. Potongan puncak Gunung Semeru
itulah yang kemudian ditancapkan di Bali dan Lombok. Saat membawa potongan gunung Semeru, banyak bagian-bagiannya yang
tercecer, bagian kecil dari potongan itu kemudian menjadi gunung Lebah, sedang
bagian yang besar menjadi gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama
Gunung Agung di karangasem. Dengan adanya tambahan dua gunung itu pulau Bali
dan Lombok menjadi tidak oleng lagi. Menyusul kemudian turunnya para putra dari
Hyang Pasupati ke pulau Bali, melakukan tapa dan mengajarkan berbagai ilmu
pengetahuan suci. Beliau kemudian dikenal dengan nama Hyang Sapta Bhatara.
Desa Sayan menurut penuturan
beberapa tetua desa dalam bentuk Cerita Rakyat berkembang secara turun temurun
dan diyakini sebagai kejadian masa lalu. Wawancara terhadap salah satu tokoh
Adat Desa Sayan, I Made Tragia pada bulan Juni 2019 oleh salah seorang wartawan
lokal didapat Cerita Rakyat tentang Desa Adat Sayan yang terdiri dari 6 Banjar
Adat, seperti: Banjar Kutuh, Banjar Pande, Banjar Baung, Banjar Mas, Banjar
Sindu dan Banjar Ambengan. Konon sejarah Desa Adat Sayan berkaitan erat dengan
perjalanan suci Maha Rsi Markandhya, saat beliau merasakan lemah dan lesu
(Sayuh) dalam perjalanan keselatan di daerah Kedewatan sehingga kembali lagi ke
Payogan menuju arah utara. Sayan juga konon berasal dari kata Sayah yang
artinya wilayah yang tidak teratur dan tidak makmur, karena situasi tersebut
ada dikisahkan 2 orang bangsawan dari Mengwi yang bernama Banyu Ning dan Banyu
Anyar datang menetap di Sayah, sehingga selanjutnya daerah tersebut dikenal
dengan nama Sayan. Cerita rakyat ini diwarisi secara lisan menjadi satu
kesatuan dari sikap, prilaku dan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat yang
berlanjut ke generasi berikutnya. Tentu saja semua cerita rakyat berkembang
karena seluruh atau sebagian kecil dari masyarakat percaya dan yakin dengan
cerita tersebut. Sementara itu analisa tentang asal muasal nama Sayan menurut
beberapa ahli sejarah dan bahasa, terjadi pada masa pemerintahan I
Dewa Agung Mayun di Sukawati
pada tahun 1733 Masehi dengan kata dasar Saya yang berarti
orang-orang pilihan untuk sebuah tugas khusus, mendapat akhiran an yang
mengeraskan arti kelompok. Hal ini didukung oleh data lapangan dan cerita
turun-temurun masyarakat, bahwa sebagian besar penduduk yang menjadi warga
banjar-banjar di Desa Sayan dahulunya berasal dari beberapa desa tetangga
sebelah timur yang menjadi wilayah kekuasaan Sukawati sub Peliatan.
II.2.Masa
Kedatangan Para Rsi di Bali.
Pura Desa dan Puseh dan Bale
Agung di Desa Adat Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar merupakan salah
satu dari ribuan kahyangan yang ada di Bali, berdiri di daerah pusat desa, yang
dikelilingi oleh pemukiman penduduk, Tempat yang eksotik untuk memuja kebesaran
prabhawa Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan manifestasi beliau. Pura Desa dan Puseh dan
Bale Agung di Desa Adat Sayan memiliki sejarah panjang dalam pendirianya,
dimulai dari masa penyebaran faham Siwa Buddha di Bali pada kisaran tahun 800
Masehi. Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya penguasa kerajaan Medang di Jawa Tengah mengutus seorang Rsi dari
perguruan Markandhya dan para pengikutnya untuk menyebarkan agama Hindu
keseluruh Nusantara, Perjalanan Beliau dimulai pada bulan Oktober tahun 730
Masehi. Rsi yang dimaksud adalah Rsi Ing Markandhya yang kemudian dikenal di
Bali dengan nama Rsi Markandhya. Perjalanan suci ini dimulai dari
Gunung Wukir atau Damalung, berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di
Purbalingga, menuju ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga, berakhir
di Gunung Agung, Tolangkir atau Lingga Acala, tempat Pura Besakih sekarang
berdiri.
Pada
masa ini dikisahkan sebagian besar para pengikut Rsi Markadhya pada kedatangan
yang pertama membangun kuwu-kuwu atau desa-desa kecil sepanjang tepian sungai
Ayung dan sungai Wos, memanjang dari utara ke selatan, diperkirakan juga
menghuni berbagai tempat di daerah Sayan, terutama sekali wilayah tepian sungai
Ayung dan Wos yang mengalir dibarat dan timur desa. Walaupun kedatangan para
pengikut Markandhya yang pertama dianggap gagal dalam membangun Bali secara
keseluruhan akibat belum dilaksanakannya upacara menanam Panca Datu di
Tolangkir, tetapi sisa-sisa pengikut Beliau yang masih selamat berhasil
membangun desa-desa yang terpencar di beberapa daerah di Bali Tengah. Selain
membangun wilayah pertanian basah dan kering, penduduk juga mulai menata desa
dengan konsep Hulu Teben, dengan dua parahyangan pokok, di hulu desa dibangun
parahyangan Pucak, Bukit, Puseh, atau Puser, sebagai tempat pemujaan Tuhan
dalam manifestasi Beliau sebagai sumber dari segala sumber kehidupan, Akasa,
Purusa. Sementara di hilir desa dibangun parahyangan Dalem yang merupakan
tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasi Beliau sebagai pelebur segala bentuk
hasil cipta, Pritiwi, Predana dikenal kini.
Kedua
bangunan pemujaan ini masih dibangun dengan sangat sederhana berupa tempat
lapang yang disakralkan dengan menyusun sedemikian rupa batu-batu padas
berbagai bentuk yang menyerupai gunung dalam bentuk kecil. Selain parahyangan
yang berupa candi sederhana, penduduk juga menandai daerah sakral tersebut
dengan pohon-pohon tertentu yang mampu tumbuh dan hidup dalam jangka waktu yang
lama, puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun, karena juga berfungsi sebagai
penandaan terhadap suatu wilayah yang disucikan. Wilayah pertanian, irigasi, tebing,
tempat penguburan, pasar dan tempat-tempat lain yang diyakini memiliki kekuatan
spirit yang bersifat magis juga ditandai dengan susunan batu dan penanaman
pohon beringin, pule, kepuh dan berbagai jenis bunga yang memiliki jenis batang
dan akar yang kuat dan bisa berumur tua.
II.3.Masa Kekuasaan kerajaan Kadiri.
Dalam buku Sejarah, Desa Adat
Sayan belum ditemukan prasasti-prasasti tua pada masa pemerintahan Bali Kuno
yang menyebutkan nama Sayan, sebagai sebuah Desa atau Kuwu atau Sima. Beberapa tinggalan
arkeologi di pura-pura Desa Adat Sayan masih dalam penelitian Balai Arkeologi
Denpasar. Secara garis besar, pemukiman penduduk sudah ada di sekitar wilayah
Sayan pada kisaran tahun 1200 Masehi didukung oleh kitab tua Cina yang berjudul Ling-Wai-tai-ta karya Chou K’u-fei
pada tahun 1178 Masehi dan kitab
Chu-fan-chi tahun 1178 karya Chaujukua yang menggambarkan kehidupan
sosial politik pada masa Kediri dengan sangat detail, juga wilayah-wilayah yang
menjadi daerah kekuasaanya, termasuk Bali.
Bersamaan dengan masa kekuasaan Dinasti Jin di Cina utara antara tahun 1115
hingga tahun 1234 Masehi, Raja Kediri Sri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameshwara Sakala
Bhuwana Tushtikarana Sarwwani Waryya Wiryya Parakrama Digjayo Tunggadewa,
mendapat kunjungan 9 orang biksu dari Cina, yang membawa misi memperkenalkan
dan menyebarkan agama Budha di wilayah Kediri dan sekitarnya. Empat orang biksu
Cina tersebut kemudian melakukan perjalanan suci ke wilayah pulau Bali yang saat
itu masih merupakan wilayah kekuasaan Kediri. Salah seorang dari 4 biksu yang
melakukan perjalanan suci di pulau Bali bernama Biksu Cin Hoan menuturkan dalam
bukunya bahwa kebudayaan daerah Bali tengah sudah tertata dalam kehidupan
berkelompok terdiri dari hampir 50 keluarga yang mendiami lembah pegunungan
yang membentang dari utara ke selatan, diapit oleh 2 buah sungai terjal. Dalam
siklus 1 tahun kalender Bali selalu mengadakan ritual dengan menyembelih kerbau
dan kijang. Daging dari semua persembahan itu dibagi-bagikan kepada penghuni
kawasan dengan sama rata, memakai alas daun. Cara menimbangnya dengan memakai
batok kelapa bertali yang dikaitkan pada sebatang bambu kecil yang bertali di
bagian tengahnya, sehingga mirip seperti timbangan untuk mencari berat yang
sama antara ke dua bagiannya. Biksu Cin Hoan berkeliling dalam misinya ke
kuwu-kuwu diseputaran Bali tengah, termasuk di dalamnya adalah kuwu-kuwu yang
terdapat di pinggiran Kali atau Tukad.
Bulan November tahun 1244 Masehi Biksu Cin Hoan dan
beberapa biksu lain mengunjungi
kuwu-kuwu sepanjang sungai Petanu, Pekerisan, Tukad Lawas, Tukad Kunggang,
Tukad Mas, Tukad Wos (Woh), Tukad Ayung, Tukad Lauh, Tukad Apit, Tukad Dawa, Tukad
Tawar dan kuwu-kuwu lainnya.
Diperkirakan oleh para ahli sejarah
bahwa orang-orang Aga (gunung) tersebut membangun kuwu masih memakai tatanan
satu garis lurus utara selatan atau hulu teben, dengan jalan desa sebagai garis
tengahnya, sementara di kanan dan kiri jalan dibangun rumah-rumah sangat
sederhana dengan bahan yang hampir seluruhnya terbuat dari balok-balok kayu
hasil tebangan saat merabas hutan. Hal
itu bisa dianalisa dari tulisan Biksu Cin Hoan dan
beberapa pengikutnya yang menyatakan rumah-rumah penduduk di Bali tengah
diantara tahun 1200 sampai dengan tahun 1256 Masehi berupa bangunan bangunan
kecil berjajar di sepanjang jalan dengan kayu-kayu sebagai dinding serta atap
alang-alang yang dijalin dengan rapi. Di ujung desa atau di tengah desa ada
sebuah bangunan yang agak besar memanjang, tanpa dinding bertiang 12 beratap
alang-alang. Semua catatan ini tersimpan rapi di sebuah kuil daerah Yunan
beratus-ratus tahun lamanya, sampai kemudian diteliti oleh para ahli dan
diterjemahkan dalam berbagai bahasa sebagai media analisa tentang keadaan Bali
pada masa itu. Dalam berbagai kesimpulan ahli didapat kesepakatan ilmiah, bahwa
pada tahun itu di daerah Bali, di pinggiran kali-kali besar penduduk sudah
hidup dengan budaya yang tertata dan terjalin hubungan sosial religius antara
sesama penduduk, alam dan hyang atau leluhur. Kata pura atau parahyangan tidak
ada disebutkan dalam semua sumber, diperkirakan mereka melakukan pemujaan
kepada Hyang ditempat-tempat yang dianggap sakral dan disediakan oleh alam dari
sebelumnya. Penduduk masa ini kebanyakan memuja kebesaran Tuhan dan para
leluhur dengan memakai media Lingga semu, atau Lingga tidak sempurna yang
banyak ditemui di wilayah Bali tengah, disepanjang sungai-sungai yang mempunyai
tebing curam.
II.4.
Perjalanan Suci Orang Mula dan Aga
Pada sekitar pertengahan tahun
1243, pada bulan terang, awal musim kering, terjadi wabah penyakit di daerah
Buleleng, penyakit aneh tersebut sudah merenggut banyak sekali jiwa penduduk
Buleleng. Penyakit Cacar air atau bahasa medisnya adalah smallpox atau variola
yang diperkirakan berasal dari India ini sudah menjangkiti wilayah Buleleng
timur antara lain Desa Julah, Tejakula, Bondalem dan penduduk yang mendiami
pinggiran Tukad Palad, Tukad Mejan, Tukad Samuh dan tukad Palijan. Pemimpin
Desa memerintahkan beberapa penduduk untuk melakukan perjalanan suci menuju bukit batu putih (Bukit
Uluwatu) di barat daya Bali guna memohon perkenan agar desa dijauhkan dari
wabah. Para utusan ini dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing: kelompok
pertama menuju bukit batu putih di Uluwatu, kelompok kedua menuju arah Tampurhyang
(Batur), kelompok ketiga menuju arah barat ke Pucak Batukaru. Tidak dikisahkan
perjalanan 2 kelompok lainnya, dikisahkan perjalanan warga kuwu tukad Mejan
menuju arah barat daya menuju bukit batu putih Uluwatu. Rombongan ini
menelusuri tepian Sungai Shyang-brata, hingga sampai Sukawana
Di Sukawana rombongan ini beristirahat,
sempat membangun beberapa pondok peristirahatan dan bangunan darurat untuk pemujaan
disekitar Panarajon. Dari Panarajon menuju bukit Kintamani, sebagian menetap
menjadi penduduk disekitar Kedisan, sebagian lagi meneruskan perjalanan menuju
arah selatan menyusuri sungai Banua Bayung sampai di Tukad Petanu. Dari Petanu
rombongan ini terpecah-pecah, sebagian menetap di Tegallalang, sebagian menuju
Bangli, sebagian menuju Bukit Batu Putih, sebagian menuju arah barat, bermukim
menyebar di sepanjang Munduk Taro, Munduk Samu, dan Munduk Kawi. Pada masa
pemerintahan akhir Bali Kuno, daerah sekitar Sayan termasuk dalam wilayah Sima
Di-campuh yang berhulu-agem ke Taro. Akan tetapi perkembangan selanjutnya
wilayah ini menjadi perbatasan antara 2 sima, Sima Di-hyang dan Sima Di-campuh
sehingga kedua kebudayaan Sima ini mempengaruhi budaya di wilayah Sayan sampai
dengan masa-masa selanjutnya.
II.5. Masa
akhir pemerintahan Bali Kuno.
Masa Bali Kuno menurut ilmuan R Gorris adalah masa
meliputi kurun waktu antara abad ke 8 sampai abad ke 14 Masehi. Masa ini dibagi
menjadi 3 kurun waktu kekuasaan, antara lain:
1. Masa kekuasaan dinasti Warmadewa
yang dimulai dari pemerintahan raja Sri Kesari Warmadewa pada tahun 914 Masehi
hingga masa kekuasaan raja Sri Suradhipa yang berakhir di tahun 1119 Masehi.
2. Masa kekuasaan dinasti Wangsa Jaya
yang dimulai dari pemerintahan raja Jayasakti di tahun 1133 sampai dengan akhir
dinasti pada masa pemerintahan seorang ratu dari Wangsa Jaya pada tahun 1284.
3. Kekuasaan Kadiri dimulai dari Raja Patih Makakasar Kebo Parud pada
tahun 1296 hingga
tahun 1324 Masehi.
Raja Kertanegara mengirim pasukan ke Bali pada tahun
1284, dipimpin oleh Ki Kebo Bungalan, Ki Kebo Anabrang, Ki Patih Nengah, Jaran Waha, Ki Arya Sidi dan Ki Amarajaya. Pasukan Singhasari
mendarat di pantai timur Buleleng, sebagai kenang-kenangan pendaratan itu
kemudian didirikan sebuah pura yang bernama Pura Pule Kerta Negara di Desa
Kubutambahan. Penyerangan ini berhasil dengan baik, pulau Bali takluk dibawah
Singhasari, raja Bali yang bernama Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyangning
Hyang Adi Dewa Lancana dibawa sebagai tawanan ke Kerajaan Singasari. Ki Kebo Bungalan diangkat menjadi
Raja Patih di Bali tetapi tugas pemerintahan dilaksanakan oleh putranya yang
bernama Ki Kebo
Parud. Keberadaan Kebo Parud sebagai penguasa di Bali dibuktikan dengan sebuah
prasasti yang dikeluarkan oleh Kebo Parud yang berangka tahun 1218 Saka. Kebo
Parud yang berfaham Wajrayana salah satu aliran Tantrisme dari agama Budha juga
mengeluarkan prasasti yang berangka tahun 1222 Saka. Arca Bhairawa perwujudan
Raja Kertanegara sebagai seorang biksu yang gundul kini masih tersimpan di
Tropen Museum Leiden Belanda.
Pada
tahun 1293 Kerajaan Singhasari runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang, tidak
berapa lama kemudian Jayaktwang juga runtuh akibat digulingkan oleh
Sanggramawijaya yang kemudian mendirikan Majapahit. Beliau menjadi raja
Majapahit dengan gelar Sri Rajasa Jaya Wardana. Semua wilayah Singhasari
diambil alih oleh Majapahit, termasuk Bali. Pada tahun 1296 Masehi, Raja
Majapahit menunjuk Ki Kebo Parud sebagai wakil Majapahit di Pulau Bali dengan
gelar Raja Patih. Pada masa
pemerintahan raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten tahun 1337 sampai tahun 1343
Masehi yang berkedudukan di Bedulu, Sayan dan wilayah sekitarnya utara Blanjong
menjadi wilayah kekuasaan dari Ki Walungsari dan Ki Walung Singkal yang
berkedudukan di desa Taro.
Penduduk wilayah ini bertugas utama memelihara
parahyangan-parahyangan kuno juga menjaga wilayah hutan perburuan kerajaan yang
terbentang sepanjang sungai sampai daerah Taro. Sepanjang aliran tersebut
berdiri banyak parahyangan tua yang dahulunya difungsikan sebagai tempat
penyebaran faham Siwa Buda dan Bhujangga. Tugas khusus penduduk sebagai panghulu
kahyangan dan penjaga kelestarian hutan perburuan raja disepanjang perbukitan itu
memberikan kebebasan kepada penduduk bebas dari pajak atau root. Daerah
perbukitan ini kemudian dikenal kemudian dengan nama Sima atau Swatantra yang
berarti wilayah Desa, Perdikan atau Kuwu. Pajak yang dibebaskan itu meliputi
root ing huma atau pajak sawah basah, root ing parlak atau pajak sawah kering,
root ing mmal atau tegalan dan root ing kbwan atau pajak ladang. Daerah sebelah
selatan campuhan menjadi satu daerah Sima dengan nama Sima Di Campuh, daerah
bagian utara Campuan masuk dalam wilayah Sima Di-Hyang, termasuk didalamnya
adalah Sayan masih menjadi bagian dari Banwa Taro.
Struktur organisasi Sima terdiri dari Hulu Sima
disebut Basta, juru tulisnya disebut dengan nama Tayung dibantu oleh
jabatan-jabatan yang lebih rendah seperti Hulu Lapu atau Kuncang, Kulapati atau
Sadhyaguna Maghana, Gansar dan Rahit. Para Pang-Hulu inilah yang bertanggung
jawab terhadap Simanya sekaligus sebagai penyambung keinginan penduduk Sima
dengan Hulu Banwa di Taro. Pada setiap
bulan Caitra, yaitu antara bulan Maret-April para Pang-Hulu Sima menghadap ke
Hulu Taro untuk mempersembahkan Root Ing Banyu atau pajak sumber air sebesar 2
Masaka. Penduduk yang melakukan ritual di Prasada atau candi atau parahyangan
selalu memohon petunjuk Giriya Air Gajah Bedulu, khusus untuk upacara-upacara
yang bersifat sangat besar. Untuk upacara upakara yang bersifat kecil
kebanyakan dipimpin oleh Hulu-agem yang diangkat oleh penduduk Sima, atas
persetujuan dari Demung.
Penduduk Sima kebanyakan bermata pencaharian sebagai
petani dan pedagang serta pengrajin alat-alat rumah tangga, seperti gerabah,
alat-alat pertanian dan alat-alat pertukangan. Mereka menepati rumah-rumah
panggung yang berjajar ditepian sungai dengan masing-masing kepala keluarga
dikenal dengan nama Hulu-Bah berkedudukan paling berpengaruh di dalam satu
keluarga besar yang mendiami rumah-rumah panggung tersebut. Seorang Hulu-Bah
membawahi 10 hingga 20 jiwa, terdiri dari orang tua, paruh baya, remaja dan
anak-anak.
II.6. Masa
Peralihan Majapahit.
Bhre Kahuripan Dyah Gitarja menjadi Ratu dengan gelar
Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jaya Wisnu Wardhani dari tahun 1328 hingga
tahun 1351. Beliau menggantikan Jayanegara memerintah bersama suaminya yang
bernama Kertawardhana. Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi tahun
1334 Masehi, Ratu Majapahit mengerahkan kekuatan
30.000 prajurit yang yang dibagi menjadi 2 dalam menaklukan Bali, setengah
menyerang dari utara dipimpin oleh Arya Damar, sebagian lagi menyerang dari
pantai selatan dipimpin oleh Mahapatih Gajamada. Dalam penyerangan ini turut
pula para Arya, tidak diceritakan sepanjang pertMpuran yang berlangsung selama
7 bulan, akhirnya Bali takluk kepada Majapahit pada tahun 1343 Masehi. Arya Kenceng, Arya Kutawandira,
Arya Sentong, dan Arya Belog ditugaskan untuk tinggal di Bali memimpin Bali
untuk sementara waktu. Tidak diceritakan situasi Bali saat ditaklukkan oleh
Majapahit, Mpu Jiwaksara ditugaskan di pusat kota sebagai wakil sementara,
untuk tugas ini Sang Mpu diberi gelar Patih Ulung. Akan tetapi Bali belum bisa
ditenangkan, sering terjadi gejolak antara orang Bali dengan para Arya yang
berkuasa. Pemberontakan Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur
membuat Bali semakin mencekam. Pada tahun 1350 Masehi Ki Patih Ulung, Arya
Pemacekan dan Arya Kepasekan menghadap ke Majapahit melaporkan situasi di Bali
dan memohon kepada Sang Ratu agar menunjuk seorang Raja untuk Bali.
II.7. Masa
Kekuasaan Samprangan.
Ratu
Tribhuwana menunjuk Ida Ketut Kresna Kepakisan untuk menjadi Adipati Bali, beliau
merupakan putra dari penasehat kerajaan Majapahit yang bernama Dang Hyang Soma
Kepakisan. Seorang Brahmana utama yang memahami seluruh isi tattwa agama dan
sangat masyur tentang kebijaksanaannya. Pada suatu
hari yang baik di tahun 1350 Masehi, merapat sebuah kapal besar dari Majapahit
di pantai Lebih, pesisir selatan Bali. Kapal kerajaan ini membawa Sri Kresna
Kepakisan beserta para bangsawan Majapahit dan Kediri. Sri Kresna Kepakisan
diperintahkan sebagai penguasa tunggal Bali bergelar Adipati. Penduduk Bali
mengenal beliau sebagai Dewa Wahu Rawuh. Dari desa Lebih rombongan itu kemudian
menuju arah timur laut dan dengan segera membangun kraton di Samprangan.
Sebagai pendamping beliau dipilih Sri Nararya Kresna Kepakisan berkedudukan
Patih Agung. Ki Patih Ulung diangkat menjadi Mangku Bhumi juga berkedudukan di
Samprangan.
Sri Kresna Kepakisan memerintah di Bali dengan bekal
pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris pusaka yang bernama Ki Ganja
Dungkul. Beliau mempunyai dua orang istri, Ni Gusti Ayu Gajah Para dan Ni Gusti
Ayu Kutawaringin. Dari istri pertama beliau mempunyai 4 orang putra-putri,
antara lain Dalem Wayan atau Dalem Samprangan, Dalem Dimadya atau Dalem
Tarukan, putri bernama Dewa Ayu Wana yang meninggal remaja dan Dalem Ketut atau
Dalem Ngulesir. Dari istri kedua, beliau mempunyai putra bernama I Dewa
Tegalbesung. Perubahan besar terjadi pada masa beliau memerintah, kedudukan dan wewenang
para bangsawan Bali kuno digeser oleh para Arya dari Jawa, baik Arya yang sudah
menetap lebih dahulu maupun Arya yang menyertai beliau datang ke Bali. Sehingga
dalam masa pemerintahan beliau hampir seluruh wilayah Bali sudah ditempatkan
para Arya sebagai petugas kerajaan Samprangan yang sangat setia kepada Sri Kresna Kepakisan sebagai wakil dari
Majapahit di Bali.
Para Arya itu antara lain:
1.
Arya Kenceng berkedudukan di Tabanan,
2.
Arya Kanuruhan di Tangkas,
3.
Kyai Anglurah Pinatih Mantra di
Kertalangu,
4.
Arya Dalancang di Kapal,
5.
Arya Belog di Kaba Kaba,
6.
Arya Pangalasan, Arya Manguri, Arya Gajah Para dan adiknya Arya
Getas di Toya Anyar,
7.
Arya Tumenggung di Petemon,
8.
Arya Kutawaringin di Toya Anyar
Klungkung,
9.
Arya
Beleteng di Pacung dan
10.
Arya Sentong Carangsari,
11.
Kriyan Punta di Mambal,
12.
Arya Jerudeh di Tamukti,
13.
Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet,
14.
Arya Wang Bang Mataram bertempat
tinggal tidak menetap,
15.
Arya Melel Cengkrong di Jembrana,
16.
Arya Pamacekan di Bondalem.
17.
Si Tan Kober di Pacung,
18.
Si Tan Kawur di Abiansemal dan
19.
Si Tan Mundur di Cagahan.
Demikian
banyak jumlah Arya yang disebar di seluruh Bali untuk mengamankan
wilayah-wilayah pegunungan, terutama wilayah-wilayah yang berjarak jauh dari
kotaraja Samprangan. Wilayah Sima Di-Hyang dan Sima Di-Campuh bagian utara berada
dalam wilayah kekuasaan Arya Sentong yang berkedudukan di Pacung, sementara
setengah bagian selatan berada dalam wilayah kekuasaan Kryan Punta di Mambal.
Dengan demikian hubungan ke wilayah Taro yang terbangun dari ikatan
pemerintahan Bali Kuno menjadi putus. Sementara rasa tidak puas penduduk Bali
terhadap cara pemerintahan para Arya banyak yang melakukan pemberontakan yang
bersifat kecil, terdiri dari letupan-letupan emosi penduduk swatantra yang
bergabung mengangkat senjata. Gejolak terjadi di Batur, Cempaga, Songan,
Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan,
Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong,
Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Pemberontakan
yang bersifat kedaerahan itu berhasil dipadamkan oleh pemerintah, konon setelah
memohon petunjuk ke Majapahit dan Adipati Bali mendapat anugerah berupa
simbol-simbol kerajaan, pakaian kebesaran dan keris pusaka yang bernama Ki
Lobar. Raja merupakan pemegang otoritas politik tertinggi, didampingi oleh
dewan penasehat raja yang bernama Pahem Narendra yang beranggotakan para
kerabat raja yang dinilai sangat ahli dalam berbagai bidang. Dalam bidang
keagamaan, raja dibantu oleh dewan pertimbangan yang bernama Dharma Dhyaksa
terdiri dari 3 kelompok ajaran, Siwa, Boddha dan Bhujangga atau Kasaiwan,
Kasogatan dan Kabhujanggan. Dari sinilah muncul istilah Tri Sadhaka yang diakui
oleh kerajaan Samprangan sebagai guru jagat. Pada masa peralihan, antara tahun tahun 1343 sampai dengan tahun 1350 Masehi keadaan Sima
menjadi tidak terurus dengan baik. Walaupun penduduk masih menjalankan kegiatan
mereka seperti biasa, bercocok tanam, berternak dan berdagang, tetapi kehidupan
mereka secara pemerintahan tidak teratur. Seperti anak ayam yang kehilangan
induknya, sering juga terjadi berbagai permasalahan yang tidak bisa
diselesaikan dengan baik, sehingga menimbulkan pertentangan diantara para tetua
Sima. Terutama dalam bidang pembagian air untuk pertanian tidak jarang menjadi
perselisihan berakhir dengan perkelahian diantara para petani.
Demikian sisi penggambaran suasana Sima
pada masa pertengahan, masa antara kehancuran kerajaan Bedahulu hingga
berdirinya kerajaan Samprangan. Termasuk juga keadaan wilayah Sayan pada saat
itu.
II.8. Masa Kekuasaan Gelgel.
Sri
Kresna Kepakisan berpulang ke alam Wisnuloka pada tahun 1373 Masehi, digantikan
oleh putranya yang bernama Dalem Wayan atau Sri Agra Samprangan. Karena
dianggap tidak cakap dalam memimpin Bali, beberapa bangsawan kerajaan yang
diprakarsai oleh Kyai Klapodyana kemudian
membujuk Dalem Ketut Ngulesir menjadi raja dengan kraton baru di Gelgel
dengan nama kraton Sweca Lingga Arsa Pura. Setelah abhiseka bergelar Sri Semara
Kepakisan. Sebagai patih agung diangkat Kyai Gusti Arya Petandakan menggantikan
ayahnya, Pangeran Nyuhaya yang sudah mangkat. Sri Semara Kepakisan yang
berkuasa mulai dari tahun 1380 hingga tahun 1460 Masehi pernah menyelenggarakan
upacara penghormatan terhadap arwah para raja Bali Kuno di pura Tegeh Kahuripan
atau Pura Bukit Penulisan dan mendirikan Pura Dasar Bhuwana di Gelgel sehingga
mampu menarik hati masyarakat Bali. Beliau juga tercatat sebagai satu-satunya
penguasa Bali yang pernah menghadap ke Majapahit pada masa pemerintahan raja
Hayam Wuruk.
Masa
keemasan Bali terjadi pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang memerintah
dari tahun 1460 sampai dengan 1550 Masehi. Bali berdaulat penuh dan menguasai
wilayah Pasuruwan, Blambangan, Lombok dan Sumbawa. Patih Agung Gelgel dijabat
oleh Kryan Batanjeruk yang merupakan putra dari Kyai Petandakan. Kedatangan
Dhang Hyang Nirartha sebagai Bhagawanta Gelgel membuat Bali semakin bersinar.
Beliau yang memimpin upacara Eka Dasa Ludra di Besakih bersama dengan pendeta
Buda Dang Hyang Astapaka. Dalem Waturenggong mangkat pada tahun 1552
meninggalkan 2 putra yang masih sangat belia I Dewa Pamahyun atau Dalem Bekung
dan I Dewa Anom Dimade atau Dhalem Sagening.
Dalem
Bekung yang masih sangat belia menjadi pelanjut tahta Gelgel dari tahun 1550
hingga tahun 1580 Masehi. Akan tetapi urusan pemerintahan dipegang oleh Kryan
Batanjeruk beserta paman-pamanya. Karena keinginannya berkuasa sangat besar
Kryan Batanjeruk melakukan pemberontakan bersama dengan I Dewa Anggungan, I
Gusti Tohjiwa dan I Gusti Pandhe Basa yang merupakan putera dari pangeran Dauh
Penulisan. Kyai Kebontubuh dan Kryan Manginte dari Kapal kemudian berhasil
menumpas pemberontakan Kryan Batanjeruk yang tewas di Bungaya atau Jungutan
pada tahun 1556 Masehi, ikut terbunuh I Gusti Tohjiwa. I Dewa Anggungan
diturunkan kebangsawananya, sementara I Gusti Pandhe Basa tewas kemudian pada
pemberontakan berikutnya yaitu pada tahun 1578 Masehi. Karena merasa putus asa
dalam mengatur negeri leluhurnya Dalem Bekung kemudian memutuskan untuk meninggalkan
Gelgel dan membangun puri dan menetap di daerah Kapal.
Tahun
1580 Dhalem Sagening diangkat sebagai raja menggantikan kakaknya. Jabatan patih
agung dipegang oleh putra dari I Gusti Agung Manginte yang bernama I Gusti
Agung Widdhia atau I Gusti Agung Maruti. Jabatan Demung dipegang oleh I Gusti
Di Ler Pranawa. Dalem Sagening yang memerintah dari tahun 1580 hingga tahun
1665 Masehi mempunyai banyak putra yang beliau tempatkan diberbagai daerah
dengan jabatan Anglurah. Selanjutnya I Dewa Anom Pemahyun naik tahta menggantikan
ayahnya yang mangkat karena usia. Akan tetapi beliau kemudian digantikan oleh
adiknya yang bernama I Dewa Dimade, beliau sendiri memilih menyerahkan tahta
Gelgel kemudian mengungsi dan berpuri di Purasi Karangasem. Dari Purasi beliau
kemudian menuju Desa Temega bersama putranya yang bernama I Dewa Anom Pamahyun
Dimade. I Dewa Dimade menjadi raja dengan waktu yang sangat singkat, akibat
digulingkan oleh pemberontakan I Gusti Agung Maruti yang berhasil menduduki
kraton Gelgel. Dalem mengungsi menuju Desa Guliang Bangli bersama dengan
putranya yang bernama I Dewa Jambe. Pengungsian itu diiringi oleh rakyat
sebanyak 300 orang, sementara I Dewa Pamayun sudah lebih dahulu berpuri di
Tampaksiring. I Gusti Agung Maruti mengangkat diri menjadi pemimpin di Gelgel
dengan masa berkuasa mulai dari tahun 1686 sampai dengan 1705 Masehi. Para
Anglurah yang dulunya berada dalam kekuasaan Gelgel satu persatu kemudian
melepaskan diri dan menyatakan diri berdaulat dan membangun Kerajaan sendiri di
wilayahnya. Selama pemerintahan Maruti muncul kerajaan-kerajaan baru seperti
Mengwi, Buleleng, Gianyar, Klungkung dan Sukawati.
I
Gusti Agung Maruti melarikan diri dari Gelgel setelah diserang oleh pasukan
gabungan, Denbukit, Badung dan Singharsa dibawah pimpinan I Dewa Agung Jambe
dan Anglurah Singharsa. Pelarian Patih Agung menuju Jimbaran, Badung, Kapal dan
berakhir di Kuramas atau Keramas Gianyar. Beberapa sumber sejarah menyebutkan
hal yang berbeda tentang pelarian Patih Agung Gelgel ini. menurut data KITLV,
Coll. De Graaf: Tahun 1687 surat resmi Dewa Agung Klungkung sampai di Batavia
yang memperkenalkan diri sebagai raja baru di Bali, setelah berhasil menumpas
pemberontakan I Gusti Agung Maruti yang dinyatakan tewas oleh Lurah Batu
Lepang, yang melarikan diri dari Gelgel dengan pengiring 1200 orang sementara 4
orang cucu dari Gusti Agung ditahan di Klungkung.
Pada
Masa pemerintahan Gelgel ini yang berlangsung mulai tahun 1380 sampai dengan
1705 Masahi terjadi perubahan yang sangat besar di daerah-daerah kekuasaan
Gelgel. Nama Sima dan Banua mulai berubah menjadi Desa yang terdiri dari sub
bagian yang lebih kecil dengan nama Desa dan Banjar. Perpindahan penduduk
selama kurun waktu ini terjadi dalam jumlah sangat banyak dan bersifat dinamis,
akibat mengikuti para bangsawan atau para pemuka masyarakat yang membuka
wilayah baru untuk perluasan pemukiman.
II.9. Masa Kekuasaan Mengwi.
I
Dewa Agung Jambe atas restu dari kakak beliau kemudian membangun kraton di
Klungkung dengan nama Kraton Smarapura yang selesai dibangun pada tahun 1710
Masehi. I Dewa Agung Jambe berkuasa tahun 1705 hingga tahun 1775 Masehi, beliau
menurunkan 3 orang putra: Dewa Agung Dimade, Dewa Agung Anom Sirikan dan Dewa
Agung Ketut Agung. Dewa Agung Made kemudian menjadi Raja Klungkung II, Dewa
Agung Anom Sirikan mendirikan puri di Timbul, menurunkan generasi Sukawati
sementara Dewa Agung Ketut Agung berpuri di Gelgel sebagai punggawa kerajaan
Klungkung. Dihentikan untuk sementara kisah tentang Kraton Smarapura. Pada masa
ini muncul beberapa kekuatan baru para Arya yang membentuk Negari kecil atau
kerajaan kecil. Akibat dari penguasaan Gusti Agung terhadap kraton Gelgel.
Salah satu Negari yang sangat kuat adalah Mengwi, Raja pertama Mengwi yang
bernama I Gusti Agung Putu dikabarkan mendapatkan anugerah pusaka di Gunung Mangu dan berbekal banyak
pusaka sakti membawa Mengwi menjadi penguasa wilayah yang sangat luas. Menurut
Babad Kaba-kaba, sekitar tahun 1686 Masehi wilayah kekuasaan Mengwi meliputi
Kaba-kaba, Marga batas barat sampai sungai Yeh Panah. Batas Selatan Sampai
Bukit Jimbaran, termasuk Pura Luhur Uluwatu. Batas timur sampai Sungai Petanu,
batas utara sampai Gunung Beratan. Bahkan Mengwi yang beribukota kerajaan
bernama Kawyapura ini juga menguasai wilayah Blambangan di Jawa Timur. Banyak
juga wilayah-wilayah lain di Bali yang menjadi daerah kekuasaan dari kerajaan
Mengwi.
Daerah Sayan memasuki babak baru,
sebagai wilayah dari kerajaan Mengwi bagian timur. Pemerintahan Mengwi yang
sangat mengandalkan hasil sawah dan kebun dalam menopang kerajaan, membangun
banyak saluran irigasi bagi wilayah-wilayah yang dikuasai. Banyak Dam atau
bendungan yang dibangun dalam usaha mensejahterakan masyarakat, saluran-saluran
irigasi dibangun dan ditata dengan baik sehingga wilayah-wilayah dalam
kekuasaan kerajaan Mengwi memiliki sawah-sawah dan tegalan yang subur serta
menghasilkan bahan pangan sangat berlimpah.
Keseriusan pemerintahan dinasti
Mengwi dalam membangun wilayah pertanian membuat kerajaan ini sangat cepat
berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dan kuat berkisar antara tahun 1736
hingga tahun 1767 Masehi. Menurut Henk Schulte Nordholt, selain membangun
banyak sekali bendungan, dinasti Mengwi juga menepatkan para Bangsawan Mengwi
di daerah-daerah kekuasaanya seperti yang tampak pada gambar di atas. Mengwi
memiliki 3 aliran sungai besar sebagai pokok irigasi, antara lain Sungai Sungi,
Sungai Penet dan Sungai Ayung.
Raja Mengwi yang bernama I Gusti
Agung Putu memerintahkan para pengikutnya di seluruh wilayah kekuasaan Mengwi
untuk membangun banyak pura khusus yang difungsikan sebagai tempat memuja Tuhan
dan pemujaan terhadap leluhur. Tahun 1708 raja Mengwi yang sebelumnya bernama I
Gusti Agung Putu menyadang gelar I
Gusti Agung Made Agung Bima Sakti atau Cokorda Sakti Blambangan gelar lainnya. Dalam upaya pembangunan
serta pemeliharaan Bendungan wilayah timur, terutama aliran Sangempel, Dam
Kedewatan di Sungai Ayung dan Dam Sayan di Sungai Wos. Sekitar tahun 1710
Masehi dikirimlah seorang bangsawan Mengwi sebagai petugas kerajaan bersama
dengan beberapa pengiring setia, selanjutnya membangun kedatuan di sebelah
selatan Dam Kedewatan, di sekitar wilayah Banjar Kutuh. Pada kurun waktu ini
Mengwi sudah menepatkan 2 satelit di wilayah timur, Sayan dan Kengetan,
sekaligus menimbulkan perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari wilayah
barat, meliputi Mambal, Bongkasa, Taman, Abiansemal dan daerah-daerah
sekitarnya. Mereka membawa kebiasaan dan budaya daerah barat Sungai Ayung
ber-asimilasi dengan budaya lokal yang sudah berkembang sebelumnya. Budaya itu
kebanyakan berbentuk arsitektur, bahasa, ragam kuliner dan cara berbusana.
Selain bendungan, sungai dan pasar, Satelit Mengwi juga memperbaiki
kahyangan-kahyangan peninggalan warga Mula dan warga Aga yang sudah berdiri
secara sederhana sebelumnya dengan bangunan-bangunan berupa bebaturan, gedong
dan meru. Salah satu parahyangan yang diperbaiki oleh Satelit Sayan adalah Pura
Puseh dan Bale Agung yang dibangun dalam satu lokasi parahyangan. Dari sekian
banyak peninggalan parahyangan yang berdiri di wilayah kekuasaan Mengwi,
terutama yang berdiri di wilayah satelit-satelit atau wilayah kekuasaan Mengwi.
Dengan beberapa data dan analisa yang mendalam, dapatlah diambil sebuah
kesimpulan bahwa Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan sudah berdiri
sebelum tahun 1710 walupun dalam bentuk sangat sederhana dan dilaksanakan
perbaikan oleh satelit Mengwi di Sayan pada sekitar tahun 1710 hingga tahun
1740 Masehi.
II.10.Masa Kekuasaan Sukawati.
Pada
sekitar tahun 1713 wilayah sebelah timur Sungai Ayung dipersembahkan oleh Raja
Mengwi kepada I Dewa Agung Klungkung sebagai bukti Mengwi mengakui I Dewa Agung
Klungkung sebagai penguasa Bali. Oleh I Dewa Agung Klungkung wilayah tersebut
dianugerahkan kepada putra beliau yang bernama I Dewa Agung Anom yang kemudian
mendirikan Kerajaan Sukawati dengan nama
abhiseka Sri Aji Maha Sirikan, atau Sri Aji Wijaya Tanu atau dikenal oleh
masyarakat sebagai Dhalem Sukawati. Dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas,
Sungai Pekerisan sebagai batas wilayah timur, Pantai Gumicik sebagai batas
selatan, Sungai Ayung sebagai batas barat, dan pegunungan Batur sebagai batas
utara, seperti yang tertuang dalam pustaka Babad Timbul, Babad Durmanggala,
Babad Dalem Sukawati dan babad-babad yang lain.
Dalam
memegang pemerintahan Sri Aji Wijaya Tanu didampingi oleh permaisuri beliau
yang bernama Gusti Ayu Agung Ratu yang merupakan putri dari Ki
Gusti Agung Anglurah Made Agung, penguasa Mengwi saat itu. Perjalanan
Sri Aji Wijaya Tanu dari Smara Pura menuju Timbul membawa serta pengiring
pilihan dari Klungkung dipimpin oleh Kyai Agung Ngurah Singharsa yang
sebelumnya merupakan tangan kanan dari Raja Dewata Sri Dewa Agung Dalem Jambe.
Jumlah pengiring beliau yang sangat banyak dari Smara Pura terdiri dari wangsa
Brahmana, Ksatria, Para Gusti, Para Arya, Wesya, Pasek, Bandesa, Kubayan,
Gaduh, Tangkas, Gunaksa, Dangka, Ngukuhin, Senggu, Pande, Sanging,
Undagi, Pengukiran, dan Kahula Wisuda.
Setelah
sekian lama Sri Aji Wijaya Tanu menjadi raja di Timbul, adalah lahir
putra-putra beliau, dari permaisuri lahir I Dewa Agung Jambe, I Dewa Agung
Karna dan I Dewa Agung Mayun. Dalam kurun waktu yang lama, walaupun wilayah
timur Mengwi sudah diserahkan kepada penguasa Klungkung yang kemudian
menepatkan I Dewa Anom Sirikan sebagai penguasanya, Mengwi masih secara aktif
berperan dalam system pemerintahan baru Sukawati, Hal ini disebabkan karena
masih banyak satelit satelit Mengwi masih mengatur wilayahnya masing-masing.
Situasi ini disebabkan karena Sukawati tidak secara langsung bisa menepatkan
para pengikutnya di daerah bekas kekuasaan Mengwi, disamping juga karena tali
kekerabatan yang sangat erat antara penguasa Sukawati dan Mengwi akibat dari
ikatan perkawinan penguasa Sukawati dengan salah seorang putri penguasa Mengwi,
sehingga dalam kekerabatan Dewa Agung Anom adalah menantu dari Raja Mengwi,
yang tentu saja akan segan dan hormat kepada mertuanya. Satelit Mengwi yang
ditempatkan di Sayan dan Kengetan sebelumnya masih tetap melaksanakan kegiatan
mengatur ritme politik dan ekonomi di wilayahnya masing-masing, dan secara
terus menerus membuat laporan kepada penguasa Mengwi yang menjadi atasanya.
I
Dewa Agung Mayun menggantikan ayahandanya menjadi raja Sukawati pada tahun 1733
Masehi, dengan gelar Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun
setelah Sri Aji Wijaya Tanu mangkat. I Dewa Agung Jambe membangun puri di
Geruwang dan I Dewa Agung Karna berpuri di Ketewel.
Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun yang memerintah tahun 1733 hingga
tahun 1757 sangat banyak melakukan pemugaran pura, bendungan, pasar, alun-alun
dan sumber air atau Beji di daerah kekuasaan beliau. Beberapa bangsawan
Sukawati selanjutnya ditempatkan di masing-masing wilayah, seringkali
berdampingan dengan penerus para bangsawan Mengwi yang sudah terlebih dahulu
membangun puri atau jero. Sehingga untuk selanjutnya dalam sebuah wilayah ada 2
bangsawan dari garis keturunan yang berbeda dan bawahan dari 2 kerajaan yang
berbeda juga. Keberadaan 2 satelit ini menimbulkan persaingan secara tidak
langsung untuk menjadi yang terbaik sehingga para pengikutnya tidak berpaling,
bahkan menjadi sebuah pencapaian kemudian apabila pengikut dari bangsawan
saingannya yang justru bergabung dengan pengikut mereka sebelumnya. Walaupun
kejadian itu tidak sampai menimbulkan bentrok secara fisik, tetapi secara
terselubung sudah menjadi bibit pertentangan diantara kedua komunitas pengikut
tersebut. Situasi seperti itu juga terjadi di wilayah Sayan, Penguasa Sukawati
mengirim 2 orang bangsawannya dengan iringan para pengikut dalam jumlah besar
ditugaskan untuk menjadi satelit Sukawati. Mereka membangun kedatuan ditimur
jalan utama Sayan dan menepatkan para pengikutnya bermukim di sekitar puri.
Sepanjang
Pemerintahan Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun, kedua kelompok
satelit ini masih bisa saling melengkapi dan menduduki kedudukan sosial yang
tinggi dan dihormati oleh para pengikutnya. Mereka berhasil menggabungkan 2
komunitas pengikut yang berbeda wangsa, asal dan pemimpin untuk bersama-sama
membangun wilayah Sayan secara sosial, politik dan ekonomi. Dilihat dari
arsitektur pura Desa, Puseh dan Bale Agung Sayan tersirat perpaduan 3
arsitektur yang berbaur menjadi satu bentuk pura tinggalan yang diwarisi hingga
kini, terdiri dari arsitektur Bali Kuno, Mengwi dan Sukawati. Pada tahun 1740
Masehi, dilaksanakan upacara bersekala besar di Pura Desa, Puseh dan Bale Agung
Sayan yang dimotori oleh 2 penguasa, Mengwi dan Sukawati, bertepatan dengan
expansi yang dilakukan Panji Sakti terhadap kerajaan Payangan, disebelah utara
Sayan yang menyebabkan kerajaan Payangan hancur pada saat itu. Para pengikut
satelit Mengwi dan Sukawati yang ditugaskan oleh pusat kerajaan masing-masing
yang melakukan pergerakan kearah utara untuk membantu Payangan, tetapi mereka
mendapati Payangan sudah runtuh, Raja Payangan dan para bangsawan petinggi
kerajaan gugur dalam perang tersebut. Hanya tertinggal putra mahkota Payangan I
Dewa Agung Anom yang masih berusia belia diselamatkan ke Mengwi yang
selanjutnya ditempatkan di Munggu untuk beberapa waktu sebelum kembali lagi ke
Payangan kemudian. Laporan politik dan budaya J. Moser tahun 1808 yang kemudian
dibukukan memuat data data tentang upaya pemerintahan raja-raja Bali pada kurun
waktu 1740 sampai dengan 1800 Masehi dalam usaha membangun, memugar dan membuat
upacara-upacara besar pada pura, puri, pasar, alun-alun dan tanah pekuburan.
Ida
Dewa Agung Gede Pamayun menurunkan putra antara lain dua putra dari dampati Ida
Sri Dewa Agung Istri Mengwi bernama: Ida Dewa Agung Gede Putra dan Ida Dewa
Agung Made Putra. Ada juga putra-putri beliau yang lahir dari Penawing, antara
lain: Ida Cokorda Ngurah, Ida Cokorda Karang, Ida Cokorda Anom, Ida Cokorda
Tiyingan, Ida Cokorda Tangkeban, Ida Cokorda Ketut Segara, Ida Cokorda Rai
Lengeng, Ida Cokorda Gunung dan seorang putri yang kemudian setelah dewasa
diperisteri oleh Ida I Dewa Manggis Gredeg di Puri Gianyar. Setelah para putera
beliau menjadi dewasa semua, Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun menyerahkan tahta
kerajaan kepada putra tertua yang bernama Ida Dewa Agung Gede Putra pada tahun
1757 Masehi. Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun kemudian memilih untuk menyepi di
Puri Petemon sampai mangkat, sehingga beliau dikenal dengan nama Dalem Petemon.
Pada
masa pemerintahan Ida Dewa Agung Gede Putra di Sukawati terjadi
gejolak berkepanjangan antara Raja dengan adik kandungnya yang bernama Ida Dewa
Agung Made Putra yang membuat kekuatan kerajaan Sukawati terpecah menjadi dua
bagian. Perpecahan faham 2 bersaudara ini membuat Ida Dewa Agung Made Putra
meninggalkan Sukawati meminta perlindungan ke Badung dan Mengwi. Upaya
perdamaian dilakukan dengan bantuan raja Mengwi sebagai penengah, tetapi
menemui jalan buntu dan berakhir dengan perang saudara. Kedudukan Ida Dewa Agung
Gede Putra diserang dari 3 penjuru, utara, barat dan selatan. Pasukan Badung
pimpinan I Gusti Munang dari Puri Grenceng berhasil menembus pertahanan laskar
Sukawati bagian selatan dan menduduki Puri Sukawati untuk beberapa tahun. Raja Sukawati
III, Ida Dewa Agung Gede Putra mengungsi ke Puri Ki Gusti Ngurah Jelantik di
Tojan. Masa kekuasaan I Gusti Munang di Sukawati tidak secara langsung
menguasai semua satelit Sukawati, kebanyakan pimpinan satelit tidak mengakui
kekuasaan I Gusti Munang di Sukawati dan meminta perlindungan kepada penguasa
Mengwi, termasuk Satelit Sukawati di Sayan. Untuk beberapa tahun masa kekuasaan
I Gusti Munang di Sukawati, dua kekuatan penduduk yang terbentuk di Sayan dari
2 penguasa bergabung menjadi satu menyatakan diri sebagai bagian dari kekuasaan
Mengwi. Pada masa ini semua kebijaksanaan politik di Sayan diatur oleh
pemerintahan Mengwi secara total, tanpa ada campur tangan dari
penguasa-penguasa lain. Setelah sekian lama Sukawati berada dalam pemerintahan
Ki Gusti Munang, dua bersaudara yang berseteru akhirnya menyadari kekeliruan
mereka selama ini, sehingga Puri dikuasai oleh penguasa yang bukan garis
keturunan Sukawati. Kesadaran ini selanjutnya berbuah kesepakatan untuk
bersama-sama merebut lagi Puri Sukawati dari kekuasaan I Gusti Munang. Melalui
pertempuran yang dahsyat pasukan 2 bersaudara Ida Dewa Agung Gede Putra dan Ida
Dewa Agung Made Putra berhasil merebut kembali Puri dan mengusir I Gusti Munang
dari Sukawati. Sukawati selanjutnya dibagi menjadi 2 wilayah, bagian selatan
dipimpin oleh Ida Dewa Agung Gede Putra berkedudukan di Sukawati dan wilayah
utara dipimpin Ida Dewa Agung Made Putra berkedudukan di Peliatan.
Wilayah
Sayan memasuki babak baru, dari segi wilayah termasuk bagian utara kerajaan
Sukawati, sehingga menjadi wilayah kekuasaan Ida Dewa Agung Made Putra yang
berkedudukan di Peliatan. Diperkirakan pada masa ini terjadi penempatan satelit
di Sayan oleh Ida Dewa Agung Made Putra, selaku penguasa Sukawati bagian utara
yang berkedudukan di Peliatan. Tetapi rupanya selama kurun waktu setelah
terjadinya konsolidasi 2 bersaudara ini, cobaan alam datang menguji kesabaran
penduduk Sayan. Dimulai
dengan Gagal panen yang terjadi akibat serangan hama tikus pada tahun 1862,
setahun kemudian penyakit kolera dan cacar menyerang desa. Wabah kekurangan
pangan dialami oleh masyarakat desa akibat gagal panen di tahun 1868
menyebabkan ratusan orang meninggal. Wabah Kolera dan Cacar ini menyerang
sebagian besar desa-desa di Bali hingga tahun 1885 menewaskan ribuan penduduk
yang terjangkit. Laporan Politik Van Eck dan Van Vlijmen menuliskan semua
tentang wabah mengerikan seperti hantu yang menyerang desa-desa tua di Bali,
terutama wilayah Bali Tengah dan Bali pesisir. Belum lagi dengan terjadinya
gempa bumi pada tahun 1888 Masehi yang mengguncang Bali membuat penderitaan
masyarakat Bali pada tahap yang sangat memprihatinkan. Catatan penulis Belanda
A.M. Hocart menggambarkan situasi genting yang terjadi di wilayah ini sudah
menepatkan keberadaan pura-pura tua dan Dam atau bendungan menjadi sangat
penting dalam sistem sosial untuk mencari kesejahteraan masyarakat.
Ubud
menjadi sebuah wilayah yang berkembang dengan sangat pesat dimulai pada paruh
tahun 1886, dibawah kepemimpinan Tjokorda
Gde Sukawati yang mempunyai pertalian saudara dengan Puri Tegallalang
dan Puri Peliatan, seperti laporan Residen ke Batavia tanggal 23 Januari 1889.
Pada bulan Mei 1891 Ubud dibantu laskar Mengwi menyerang dan menaklukan Negara,
Puri Negara dibumi hanguskan, hal ini membuat wilayah-wilayah Negara mengakui
kekuasaan Ubud. Laporan
Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25-5-1893, laporan Residen bulan Desember
1896, laporan Contoleur J.C Van Erde
tanggal 1-6-1897 masing masing menggambarkan penguasa Ubud
secara terus menerus
memperluas wilayah kekuasaanya di bekas-bekas kekuasaan Mengwi, setelah
kekuatan Mengwi dilucuti oleh gabungan pasukan Tabanan, Badung dan Gianyar.
Babad Mengwi Lambing dan laporan politik Controleur J.P Van Eerde, tanggal 13
Desember 1896 mencatat pada tahun 1892 dua orang bangsawan yang sangat
berpengaruh di Mengwi, yaitu Anak Agung Kerug dan Anak Agung Pekel melarikan
diri dari Mengwi dan meminta suaka di Ubud mengikuti pelarian putra mahkota
Mengwi yang bernama Anak Agung Gde Agung. Pelarian ini membawa tidak kurang
dari 6000 pengiring setia. Para pengikut setia inilah yang menepati
daerah-daerah perbatasan Ubud dengan membangun pemukiman dari utara ke selatan
sepanjang sungai Ayung, mereka dilengkapi dengan senjata-senjata bertuah dan
bedil-bedil sehingga fungsinya lebih mendekati Benteng pertahanan dari pada
pemukiman penduduk. Para Ksatria Mengwi tersebut kemudian ditempatkan di Puri
Kelodan yang khusus dibangun pada tahun 1892. Ubud juga mendirikan Giriya
khusus bagi pendeta Mengwi yang ikut mengungsi ke Ubud, dinamakan Giriya
Pamaron dan Puri Anyar Ubud. Tahun 1893 setelah Puri Carangsari dan Petang
melepaskan diri dari Bangli dan bergabung dengan Ubud, seluruh wilayah timur
laut bekas kekuasaan Mengwi menjadi wilayah kekuasaan Tjokorda Gde Sukawati. Laporan
politik Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25 Mei 1893. Tjokorda Gde Sukawati,
penguasa Ubud mendapat kemasyuran dengan mengembangkan wilayahnya dari 40 desa
menjadi 130 desa dan bersama-sama sekutunya berhasil memobilisasi 18.000
pengikut, dengan menguasai sebagian bekas kekuasaan Mengwi dan beberapa bagian
daerah Gianyar pada awal tahun 1896, tertuang dalam laporan politik Controleur
J.C. van Eerde tanggal 13-12-1896.
Daerah Sayan, Mas, Singapadu,
Samu dan Kengetan yang dalam garis kekuasaan masuk wilayah bawahan Sukawati
kurang mendapat perhatian dari para pejabat kerajaan, akibat panasnya
pergolakan politik yang mengguncang Puri Sukawati dan Peliatan, hal itu yang
menyebabkan para tetua desa tersebut lebih sering menghadap ke Puri Ubud dalam
kaitan penyelenggaraan upacara Panca Yadnya. Hal ini terjadi karena penguasa
Ubud dalam rentang tahun 1870 hingga 1919 sangat berpangaruh terhadap desa-desa
kekuasaan Sukawati, Peliatan, Mengwi dan Payangan, hampir semua pemimpin desa
tersebut sangat loyal kepada penguasa Ubud.
II.11.Masa
Peralihan Kekuasaan Belanda-Jepang.
Peran
Kekuasaan Belanda sangat kuat di daerah Bali dengan diangkatnya Van Heutsz
sebagai Residen Bali Lombok pada tahun 1905 yang kemudian membuat kebijakan di
tahun 1909 yang membagi wilayah Bali Selatan menjadi Divisi Administratif dibawah seorang Asisten
Residen dan terdiri dari 6 sub wilayah, Karangasem, Bangli, Gianyar, Klungkung,
Badung dan Tabanan, masing-masing dengan satu Controleur. Setiap Divisi
dipimpin oleh seorang Punggawa bentukan Pemerintah Hindia Belanda, Punggawa
membawahi beberapa Manca Agra, Manca Agra membawahi beberapa Manca, Manca membawahi Bandesa dan Kelihan. Sistem
Administrasi bertingkat ini yang menjadi garis koordinasi pemerintah dari atas
kebawah dan sebaliknya untuk berbagai kegiatan politik, social, budaya dan
ekonomi. Sayan menjadi bagian dari Divisi
Administratif Gianyar dibawah Residen Bali Lombok pimpinan dari Van
Heutsz.
Sebuah
catatan politik yang ditulis oleh H.U. van Stenis mengungkapkan tentang bencana
alam gempa dahsyat yang melanda Bali Selatan pada tanggal 21 Januari 1917,
walaupun gempa ini berlangsung kurang dari lima puluh detik, tetapi cukup
mengakibatkan kehancuran rumah-rumah, pura, puri tak terhitung jumlahnya,
banyak jalan, bendungan yang jebol. Gempa yang menelan korban mencapai lebih
dari 1.350 orang ini juga merobohkan dan menghancurkan pura-pura di Desa Sayan
dan sekitarnya. Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Sayan menjadi salah satu dari
sekian banyak pura yang rusak, walaupun tidak sangat parah, tetapi cukup
memerlukan waktu yang panjang untuk memugarnya kembali. Ida Pedanda Ngurah
Blayu juga mengisahkan kehancuran wilayah Bali, seperti yang tertuang dalam
sastra Bhuwana Winasa yang beliau tulis pada tahun 1918, dimana beberapa
bagiannya memuat tentang diserangnya sawah-sawah penduduk oleh hama tikus dan
peperangan dikalangan orang-orang bersaudara dan menghancurkan Negara Bali
disebabkan karena masyarakat Bali tidak lagi mengidahkan upacara di Pura
Besakih. Tahun-tahun selanjutnya Bali Tengah benar-benar berada dalam situasi
yang sangat sulit, wabah penyakit silih berganti menyerang penduduk, hama tikus
menyebabkan gagal panen membuat masyarakat harus benar-benar hidup dengan sangat
seadanya untuk menyesuaikan diri. Controleur Gianyar H.K. Yakobs menuliskan
dalam buku laporanya bahwa masyarakat miskin dengan cepat bertambah di
desa-desa yang sebelumnya hidup berkelimpahan. Pada Tahun 1930 wabah kekurangan
pangan menyebar dengan lebih cepat sehingga banyak yang sampai meninggal akibat
kelaparan. Nilai mata uang Belanda (1 rix-dolar) pada tahun 1931 mencapai 1.375
kepeng sampai dengan 1.785 kepeng Bali. Puncak dari krisis yang dialami Bali
adalah tahun 1934 nilai tukar 1 rix-dolar mencapai angka 2.300 kepeng uang
Bali. Khusus untuk mengatur wilayah Bali, Residen Bali Lombok menunjuk seorang
Asisten Residen berkedudukan di Singaraja, seperti laporan politik Residen G.F.
de Bruyn Kops tahun 1909.
Ketegangan politik antara Jepang
dan Sekutu di Asia Tenggara mulai terjadi pada tahun 1941, Jepang mulai sedikit
demi sedikit menguasai pasar di Bali, Toko-toko kelontong Jepang tumbuh bagai
jamur di musim hujan, sangat laris karena barang-barangnya jauh lebih murah
dari barang-barang Eropa. Tanggal 8 Desember 1941 meletus perang Pasifik,
tentara Jepang menghancurkan pangkalan udara Pearl Harbour di kepulauan Hawai.
Belanda dan sekutunya menyatakan perang melawan Jepang, Bali yang merupakan
bagian dari wilayah kekuasaan Hindia Belanda tentunya juga terimbas oleh
peraturan-peraturan keadaan darurat perang. Masyarakat Bali masih seperti biasa
melaksanakan kegiatan sehari-harinya, diakibatkan sedikit sekali media yang
menerangkan tentang peperangan yang sedang berkecamuk antara Jepang dan Sekutu.
Perang Pasifik mungkin hanya didengar oleh golongan-golongan intelektual dan
keluarga para raja saja, sehingga tidak terlalu merisaukan masyarakat secara
luas.
Bagian pasukan Kononklijk
Nederlands Indisch Leger atau KNIL yang dibentuk di Bali dengan nama Prayoga
yang terdiri dari 1000 orang direkrut dari pemuda-pemuda Bali yang cakap
disebarkan di 4 tangsi : Buleleng, Karangasem, Badung dan Gianyar. Mereka yang
ditugaskan untuk mempertahankan Bali dari serangan Jepang oleh Angkatan Darat
Kerajaan Belanda dibantu oleh seluruh rakyat Bali. Tanggal 18 Februari 1942
Tentara Jepang mendarat di Sanur dengan jumlah yang sangat besar, setelah
mengebom lapangan udara di Tuban terlebih dahulu. Tentara KNIL semua
meninggalkan posnya masing-masing dengan ketakutan, sehingga dengan cepat
Jepang berhasil menguasai Denpasar dan mengakhiri kekuasaan Belanda di Bali.
Suasana kondusif masih terasa di wilayah swapraja Gianyar, penduduk seakan acuh
tak acuh dengan perkembangan politik saat itu, mereka melakukan kegiatan
kehidupannya dengan normal. Tanggal 8 Maret 1942, Stasiun pemancar radio resmi
Belanda, Nirom menyiarkan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah menyerah tanpa
syarat kepada Jepang sekaligus mengakhiri Pasifik dan masa kekuasaan Belanda
terhadap Bali.
Pura Desa, Puseh dan Bale Agung
Sayan yang sebelumnya mengalami kerusakan akibat gempa tidak bisa dipugar
sebagaimana mestinya, karena situasi politik swapraja Gianyar yang tidak
kondusif. Penduduk masih bingung dengan apa yang harus mereka lakukan berkaitan
dengan pura-pura yang ada di wilayahnya. Situasi ini dipengaruhi oleh
terkonsentrasinya para pemimpin swapraja dalam peralihan kekuasaan antara
Hindia Belanda kepada Jepang. Para Punggawa dan Sedahan yang biasanya secara
langsung memberi perintah untuk melakukan perbaikan pura, jalan atau bendungan
tidak berani mengambil keputusan yang tegas karena masih menunggu situasi
politik menjadi lebih tenang.
Pemerintah militer Jepang dalam
system pemerintahannya masih tetap mengakui kerajaan-kerajaan di Bali dengan
membentuk Badan Panitia Kerajaan terdiri dari Punggawa, Sedahan Agung dan
seorang wakil dari Raja yang digaji oleh pemerintah Jepang. Jepang menepatkan
seorang wakilnya di masing-masing swapraja dengan nama Syutjo yang bertugas mengamati
perkembangan di masing-masing swapraja. Syutjo ini menggantikan kedudukan para
Controleur pada jaman Hindia Belanda, menjadi pejabat setingkat Bupati. Jepang
memulai pemerintahan tangan besinya di Bali dengan menebar Polisi Militer yang
diberi nama Kempetai yang bertindak aktif dan semena-mena. Selama pemerintahan
Militer Jepang, keadaan Masyarakat Bali yang sudah sulit menjadi semakin sulit,
perhatian Jepang terhadap berbagai pasilitas umum seperti bendungan, jalan,
pasar dan pura sangat minim. Bendungan banyak yang jebol, jalan rusak, pasar
sepi tidak terurus dan pura-pura terbengkelai. Hal ini juga berlangsung setelah
kemerdekaan dan tahun-tahun awal pemerintahan Republik Indonesia.
BAB
III
SAYAN
MASA KEMERDEKAAN DAN KEKINIAN
III.1.
Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka tahun
1945, Bali yang merupakan bagian dari Republik Indonesia masih memerlukan waktu
yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dan bergabung secara resmi dengan
Republik Indonesia pada tahun 1950. Pada Kurun waktu dimana usaha tentara NICA
berupaya melakukan expansi terhadap wilayah Bali, di Desa Sayan, tepatnya di
wilayah Tegal Jambangan terjadi pertempuran antara tentara NICA dan Pasukan
Hitam, sub dari PRI pimpinan Almarhum Tjokorda Gde Agung Sayan. Pada kejadian
ini gugur 6 orang pejuang PRI dari Desa Sayan, antara lain: I Liyang warga
Banjar Sindhu, I Nombrog warga Banjar Penestanan Kaja, I Made Seken warga
Banjar Baung, I Wayan Lemut warga Banjar Baung, I Nasa warga Banjar Shindu dan
Dewa Gede Rai juga warga Banjar Sindu. Walaupun semua pahlawan Sayan ini tidak
gugur di Tegal Jambangan, dengan berbagai pertimbangan tugu peringatan
peristiwa heroik tersebut dibangun di wilayah Tegal Jambangan Sayan.
Berbagai pemberontakan menghiasi
lembar sejarah Indonesia yang berusia belia, juga gerakan-gerakan pengacau
keamanan Republik juga sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Masyarakat
Bali yang tersebar di seluruh pulau tidak merasa tenang dalam melaksanakan
kewajiban hidupnya, juga campur tangan Belanda masih dirasakan oleh masyarakat
Bali. Tanggal 7 sampai dengan 24 Desember 1946 dilaksanakan Konferensi Denpasar
di pendopo Bali Hotel dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook bertujuan
membentuk Negara Indonesia Timur dengan ibukota Makasar. Susunan pemerintahan
Bali digiring untuk kembali seperti pada jaman raja-raja dulu, pemerintahan
dipimpin oleh Raja dibantu Patih, Punggawa, Prebekel dan pemerintahan paling
bawah diatur oleh Kelian, diatas pemerintahan raja ada dibentuk juga Dewan
Raja-Raja. Dalam kurun waktu tersebut Pura Desa, puseh dan Bale Agung Sayan
masih tetap berfungsi sebagai tempat berkumpul masyarakat saat melakukan
pertemuan atau membangun upacara upakara. Bagi masyarakat desa Sayan yang
berpikir sederhana, hanya di pura sajalah tempat yang damai tanpa pertentangan
politik yang memanas pada masa ini.
III.2.
Sayan Kekinian
Setelah mengalami pasang surut
susah dan senang dalam system pemerintahan yang terus berubah-ubah, Desa Adat
Sayan masih tetap tegar berdiri didukung oleh rasa bakti dan pengabdian
penduduknya terhadap Agama dan Negara. Kehidupan sosial, budaya, politik dan
ekonomi yang sudah melewati masa yang lama dan sudah menjadi warisan adiluhung
dari asimilasi sekian banyak jenis warisan membuat Sayan menjadi sangat kaya
budaya. Beragam pengaruh yang berasal dari berbagai daerah diluar Sayan berbaur
di Sayan membentuk Desa ini menjadi desa yang terbuka dengan penduduk yang mempunyai
cara berfikir Modern terarah, artinya tidak menolak perubahan tetapi tidak
meninggalkan esensi sebelumnya.
III.2.
Letak Geografis Desa Adat Sayan.
Desa Sayan terletak di perbatasan
barat Kabupen Gianyar, dengan wilayah Desa Adat yang membujur dari arah utara
ke Selatan dengan 2 sungai besar sebagai batas desa,
disebelah barat mengalir Sungai
Ayung, disebelah timur mengalir Sungai Wos, dengan batas-batas desa sebagai
berikut: Desa Kedewatan menjadi batas utara, Sungai Wos menjadi batas timur,
Desa Singakerta menjadi batas selatan dan Sungai Ayung menjadi batas barat
desa. Desa Dinas Sayan terdiri dari 8 Dusun, antara lain: Dusun Penestanan
Kaja, Penestanan Kelod, Kutuh, Pande, Mas, baung, Sindu dan Dusun Ambengan. Sementara
Desa Adat Sayan membawahi 6 Banjar Adat antara lain: Banjar Kutuh, Banjar
Pande, Banjar Mas, Banjar Baung, Banjar Sindu dan Banjar Ambengan. Pada sebelum
tahun 1950, Warga Penestanan Kaja dan Penestanan Kelod masih bergabung menjadi
1 Bale Agung di Pura Bale Agung Sayan. Karena beberapa hal, terutama disebabkan
dengan kondisi jalan penghubung antara wilayah Sayan dan Penestanan yang masih
rusak dan susah untuk dilalui, mendorong warga Penestanan membangun Pura Desa
(Pelinggih Bale Agung) di Penestanan. Akan tetapi ikatan persaudaraan yang
terbentuk dari history kedua daerah masih dijaga dengan harmonis hingga
sekarang.
Wilayah Desa Adat Sayan terletak
pada 250 MDPL dengan tekstur tanah tergolong tanah Lempung atau Clay, berdebu
dengan warna coklat kelabu sampai kekuningan. Desa Adat Sayan adalah desa hasil
pemekaran dari Desa Kedewatan yang secara resmi menjadi Desa difinitif tanggal
28 Oktober 1991, melalui keputusan Gubernur Nomor: 661 Tahun 1961, dengan
Perbekel pertama pada 15 April 1989 bernama Dewa Ngakan Nyoman Rauh. Kini
Perbekel Sayan dijabat oleh I Made Andika, S.Kom.
Struktur pengurus Desa sebagai
berikut: Bandesa Pakraman dijabat oleh Tjokorda Gde Arjana, Sekretaris; I Made
Puput, Bendahara; I Made Adnyana, dengan 6 jumlah Banjar atau Dusun.
masing-masing:
1.
Banjar Kutuh,
dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: Drs. I
Ketut Parsa. Kelihan Dinas dijabat oleh: I Komang Putra Yasa SH, Sekretaris dijabat
oleh: I Wayan Putrayasa, SH, Bendahara dijabat oleh: I Ketut Genep S.Pd, M.Pd,
dan Petengen dijabat oleh I Made Sujendra.
2.
Banjar Pande,
dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: I Made
Puput. Kelihan Dinas dijabat oleh: A A Gede Raka Sarjana, Sekretaris dijabat
oleh: A A Gede Raka Arta Buana dan Bendahara dijabat oleh: Pande Ketut Windia.
3.
Banjar Mas,
dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: I Made
Sadawan. Kelihan Dinas dijabat oleh: I Made Dwi Putra Yoga, Sekretaris dijabat
oleh: I Wayan Sujana dan Bendahara dijabat oleh: I Gede Sudira.
4.
Banjar Baung,
dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: I Wayan
Mawa. Kelihan Dinas dijabat oleh: I Kadek Arianta, Sekretaris dijabat oleh: I
Kadek Nova Wartana S.E dan Bendahara dijabat oleh: I Nyoman Ruja.
5.
Banjar Sindu,
dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: Dewa Putu
Wardana. Kelihan Dinas dijabat oleh: I Made Suwitra.
6.
Banjar Ambengan,
dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Kelihan Adat dijabat oleh: I Wayan
Wastra. Kelihan Dinas dijabat oleh: Gusti Ngurah Anantara.
Organisasi Pecalang dipimpin oleh
Ketua; I Nyoman Deki Sekretaris; I Ketut Sumadi, dan sebagai Bendahara; I
Nyoman Puja. Organisasi Sekeha Gong Desa Adat Sayan dipimpin oleh Ketua; I Nyoman Deki, Wakil
ketua: I Wayan Sukarta, Sekretaris; I Ketut Sumadi, Bendahara; I Nyoman Puja
dan Juru Arah: I Wayan Sumerta.
Generasi muda Desa Adat Sayan
membentuk Wadah Yowana Desa Adat Sayan dengan pengurus: Ketua; Oka Saputra,
Sekretaris; A. A Gede Raka Sedana Yoga,
dan sebagai Bendahara; Devi Eka Candra. Pinandita yang ngayah sebagai Pemangku Pura Puseh
Jero Mangku Isteri Made Nyantuh, Pinandita Pengayah di Pura Desa Sayan adalah
Jero Mangku Wayan Kajeng, Pinandita Pengayah di Pura Dalem Sayan adalah Jero
Mangku Isteri Made Sure Antini, Pinandita
Pengayah di Pura Taman Arum: Jero Mangku Ketut Weda dan Jero Mangku Istri Made
Yuni Asrini dan Pinandita Pengayah di Pura Baturning: Jero Mangku Nyoman Sudiana
S.Fil.H. Dalam bidang ekonomi desa, Lembaga Perkreditan Desa Adat Sayan
diketuai oleh Ir. I WayanToko, Sekretaris: Dewa Nyoman Dadi, Bendahara: I Made
Arimada. PKK Desa mempunyai pengurus, Ketua: Jero Ratni, Sekretaris: Ni Ketut Maskar
Denawangi, Bendahara: Ni Wayan Sugiartini.
Selain organisasi desa pada
umumnya, Desa Adat Sayan memiliki organisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDA)
yang dipimpin oleh ...........,sebagai ketua, Ni Kadek Arma Wati S.Ak sebagai
Bendahara dan I Nyoman Tri Agus Arcana sebagai
Sekretaris. Pengurus Pasar Desa Adat Sayan dipimpin oleh ketua: I Wayan Tukar, Sekertaris:
A A Raka dan Bendahara dijabat oleh: I Made Ruja
III.3.
Kahyangan Desa Adat Sayan
Desa Adat Sayan membawahi 6
Banjar Adat yaitu: Banjar Kutuh yang dibangun oleh 97 karang Ayahan Desa,
Banjar Pande yang dibangun oleh 42 karang Ayahan Desa, Banjar Mas yang dibangun
oleh 41 karang Ayahan Desa, Banjar Baung yang dibangun oleh 61 karang Ayahan
Desa, Banjar Sindhu yang dibangun oleh 72 karang Ayahan Desa dan Banjar
Ambengan yang dibangun oleh 35 karang Ayahan Desa, dengan jumlah keseluruhan
1.760 kepala keluarga. Warga Desa Adat Sayan memiliki emponan pura sejumlah 4
lebahan pura, antara lain: Satu lebahan pura terdiri dari Pura Desa, Puseh dan
Bale Agung, satu lebahan pura Dalem, pura Taman Arum, satu lebahan Pura
Prajapati, dan satu lebahan Pura Batur Hening dan Pura Catus Pata yang dibangun
atas petunjuk dari Ida Pedanda Giriya Selat Duda sebagai sarana memuja
manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa upaya memohon keselamatan dan ketentraman
Desa Adat yang dirasakan warga mulai terganggu dengan berbagai kejadian, berupa
wabah di Banjar Sindu dan kecelakaan lalu lintas di sepanjang jalan raya Sayan.
Selain pura-pura yang merupakan emponan Desa Adat, di wilayah Desa Adat Sayan
juga berdiri pura-pura Manca dan Pura Ulu Banjar atau Catur Bhuwana atau Pura
Banjar di masing-masing Banjar Adat, Pura Subak, Pura Melanting dan banyak pura
Pemaksan, Paibon dan Pura Dadia. Dilihat dari jenis dan karakteristik pura yang
ada di wilayah Desa Adat dapat dikelompokkan sebagai: Kahyangan Tiga, Pura
Swagina, Pura Banjar, Pura Pemaksan dan Pura Kawitan.
III.4.
Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan.
Simbol-simbol Ida Sang Hyang
Widhi dan manifestasi Beliau tampak jelas di Pura Desa, Puseh dan Bale Agung
Desa Adat Sayan dalam bentuk ornamen, patung dan mandala pura. Pura Desa, Puseh
dan Bale Agung Desa Adat Sayan diempon oleh Krama Desa Adat Sayan dengan jumlah
Krama sebanyak 1.760 kepala keluarga. Berkat kerja keras dan kesungguhan hati
dari Warga Desa Adat, juga tuntunan dari para sesepuh tetua dan manggala adat
dinas, dilandasi semangat gotong royong dan kebersamaan dalam usaha memugar pelinggih-pelinggih,
kini Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan yang terdiri dari tiga
mandala ini hampir semua bangunan Pelinggihnya tergolong baik. Karena pemugaran
terhadap pelinggih di tiga mandala dilaksanakan secara terus menerus dan
berkesinambungan. Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan pada dasarnya dibangun oleh masyarakat dari jaman ke jaman
adalah untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam semua manifestasi
Beliau. Para ahli arsitektur tradisional kuno Bali mengungkapkan Pura Desa,
Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan adalah
metamorfosis dari prasada atau tempat memuja bagi para penganut Siwa yang
kemudian berubah bentuk dan fungsi sesuai dengan jaman yang terus berkembang
secara kebudayaan. Hal itu yang kemudian membuat banyak Pura Desa, Puseh
dan Bale Agung Desa Adat Sayan yang difungsikan
sebagai pura bagian dari Kayangan Tiga. Pura Desa, Puseh dan Bale Agung
Desa Adat Sayan yang dibangun pada masa lampau mempunyai
sejarah khusus saat pembangunannya, terutama pada masa Bali Kuno, masa
Majapahit dan masa Astanagara.
Pura Desa, Puseh dan Bale Agung
Desa Adat Sayan yang terdiri dari tiga pelebahan ini dibangun di tengah-tengah
desa memiliki jajar kemiri pelinggih yang hampir sama dengan pura-pura di
sekitar Ubud dengan ciri khas, Pura Puseh dan Desa menjadi satu pelebahan pura. Secara etimologi kata
Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata yaitu kahyangan dan Tiga. Kahyangan
berasal dari kata Hyang yang berarti suci mendapat awalan ka dan akhiran An, an
menunjukkan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah
tempat suci, yaitu Pura Desa atau disebut pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan
yang ketiga adalah Pura Dalem.
Kahyangan Tiga
terdapat pada setiap desa Adat di Bali. Apabila jumlah desa Adat di Bali 1456
buah, maka jumlah Pura Kahyangan Tiga akan menjadi tiga kali jumlah desa Adat
sehingga menjadi 4368 buah pura. Di Desa Adat Sayan penempatan Pura Puseh
digabungkan dengan Pura Desa sehingga tampaknya seperti hanya satu pura tetapi
sebetulnya adalah tetap dua buah pura. Desa Pakraman sebagai lembaga sosial
tradisional adalah pengelompokan sosial berdasarkan kesatuan teritorial
ditandai mereka bertempat tinggal dalam wilayah yang sama, mempunyai tugas
dalam kegiatan gotong royong dan melaksanakan tugas pasuka dukaan.
Pengelompokan yang lain berdasarkan genealogis seperti apa yang disebut tunggal
kawitan, tunggal sanggah, pengelompokan sosial yang disebut sisya yang
didasarkan atas siapa yang dijadikan pimpinan di dalam suatu upacara keagamaan.
Lembaga sosial tradisional yang lain adalah subak (kesatuan petani yang
sawahnya menerima air dari satu sumber irigasi yang sama), dan sekaha (kesatuan
sukarela). Keseluruhan lembaga tradisional tadi sangat fungsional bagi upaya
pelestarian dan penyelarasan kebudayaan Bali yang dibangun atas dasar landasan
konsepsi Tri Hita Karana atau
tiga penyebab kesejahteraan hidup yaitu Parhyangan yang artinya tempat
pemujaan, pawongan yang artinya manusia, dan pelemahan yang artinya wilayah.
Kahyangan Tiga
merupakan salah satu unsur dari Tri Hita Karana yaitu unsur parhyangan dari
setiap Desa Adat di Bali. Pada Kahyangan Tiga masyarakat desa memohon
keselamatan dan kesejahteraan untuk desa dan masyarakatnya. Unsur yang kedua
dan tiga dari Tri Hita Karana disebut dengan pelemahan dan pawongan. Dengan
demikian maka di dalam mewujudkan rasa aman, tentram, sejahtera lahir batin
dalam kehidupan desa adat berlandaskan tiga hubungan harmonis yaitu hubungan
manusia dengan alam atau hubungan krama desa dengan wilayah desa Pakraman,
hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam desa adat dan
hubungan krama desa dengan Hyang Widhi sebagai pelindung. Inilah yang dinamakan
Trihita Karana dalam desa Adat.
Dengan tercakupnya
unsur ke-Tuhanan dalam kehidupan desa adat di Bali, maka desa Adat di Bali
mencakup pula pengertian sosio-religius. Maka dari itu perpaduan antara adat
dengan agama Hindu di Bali adalah erat sekali sehingga sulit memisahkan secara
tegas unsur-unsur adat dengan unsur agama, karena adat-istiadat di Bali dijiwai
oleh agama Hindu dan aktivitas agama Hindu didukung oleh adat istiadat di
masyarakat. Seorang sarjana Belanda yang lama
tinggal di Bali yakni Dr. R. Cons mengatakan kecerdasan Mpu Kuturan sebagai
seorang filosof besar dan negarawan yang bijaksana. Dalam lontar Raja Purana
menyebutkan usaha Mpu Kuturan untuk membangun tempat-tempat suci beserta
upacaranya sebagai berikut:
Ngaran Dewa ring kahyangan pewangunan Mpu
Kuturan kapastikan saking Pura Silayukti, muwang ngewangun seraya karya,
ngadegang raja purana, mwang nangun karya ngenteg linggih batara ring Bali,
kaprateka antuk sira Mpu Kuturan, Ngeraris nangun catur agama, catur lokika
bhasa, catur gila, mekadi ngewangun Sanggah Kamulan, ngewangun Kahyangan Tiga,
Pura Desa, Puseh mwang Dalem.
Terjemahan:
Adapun Dewa di Kahyangan diciptakan
atau dibangun oleh Mpu Kuturan, direncanakan dari Pura Silayukti dan
menyelenggarakan segala pekerjaan sehubungan dengan pembangunan pura-pura
kahyangan jagat, demikian pula mengadakan pemelaspasan dan mengisi pedagingan
linggih batara-batari di Bali diatur oleh Mpu Kuturan. Selanjutnya dibuat
peraturan agama, empat cara-cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan
dan lima tatwa agama, seperti mengajar membuat sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga,
Pura Desa, Puseh dan Dalem.
Sehubungan dengan pembangunan tempat-tempat suci, oleh
Mpu Kuturan, Babad Gajah Mada menyebutkan sebagai berikut:
Sira to Mpu Kuturan sang sida moksah ring
Silayukti sira to urnara marahing tumitahing Bali Aga, sira nggawe paryangan
pengastawan kabuyutan, ibu, dadia, ring Bali Aga kabeh, apan Bali gung guna
sucaya.
Terjemahan:
Beliau Mpu Kuturan yang moksa di
Silayukti, dia yang mengajarkan membuat pemujaan di Bali, termasuk tempat suci
pemujaan untuk roh suci leluhur paibon/ dadia, sehingga Bali menjadi jaya dan
sejahtera.
Adanya banyak aliran-aliran di Bali menimbulkan
perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan
dan perbedaan pendapat di antara aliran yang satu dengan yang lainnya. Akibat
adanya pertentangan ini membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda
pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat. Menyadari keadaan
yang demikian itu maka raja Udayana menugaskan Mpu Kuturan untuk mengadakan
pasamuhan (pertemuan) para tokoh- tokoh agama di Bali. Pasamuhan para tokoh
agama itu bertempat di Desa Bedahulu Kabupaten Gianyar. Pertemuan para
tokoh-tokoh agama dari berbagai aliran yang ada di Bali berhasil menetapkan
dasar keagamaan yang disebut Tri Murti yang berarti tiga perwujudan dari Hyang
Widhi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Tempat pasamuhan yang
menghasilkan dasar keagamaan Tri Murti disebut Samuan Tiga di mana sekarang
berdiri Pura Samuan Tiga di Desa
Bedahulu. Pada pura ini tersimpan banyak peninggalan purbakala seperti lingga,
Arca Ganesa, Arca Durga, arca perwujudan Batara- Batari. Tiga kekuatan di atas
yang merupakan prabawa Hyang Widdhi dapat dirasakan dan dialami dalam kehidupan
di dunia ini sebagai suatu siklus yaitu: lahir, hidup dan mati. Demikian
seterusnya berputar sebagai suatu lingkaran yang tiada terputus sepanjang
jaman, karena ia kodrat alam dan hukum Tuhan. Ketiga kodrat alam ini disebut Tri
Kona (segi tiga). Kesaktian untuk menciptakan (utpati), kesaktian untuk
memelihara (stiti) dan kesaktian untuk mengembalikan kepada asalnya (pralina)
merupakan tiga sifat yang mutlak dan diwujudkan dengan dewa Tri Murti
Didalam Weda, Tri Murti berarti tiga Dewa yaitu: Dewa
Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa), yang diwujudkan dengan:
- Aksara Ang melambangkan Dewa
Brahma dengan warna merah dan senjata Gada.
- Aksara Ung melambangkan Dewa
Wisnu dengan warna hitam dan senjata Cakra
- Aksara Mang melambangkan
Dewa Siwa dengan warna putih dan senjatanya Padma.
Ketiga aksara Ang Ung Mang jika disatukan menjadi A U
M. Dalam persenyawaan suara huruf A dan U disandikan menjadi 0 sehingga AUM
menjadi Om, yaitu lambang aksara Hyang Widdhi.
Dari uraian tersebut di atas dapat diperkirakan bahwa
Kahyangan Tiga pada setiap Desa Adat di Bali dirintis oleh Mpu Kuturan ketika
pemerintahan raja suami istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni pada abad 1001 Masehi.
Perkiraan ini diperkuat dengan adanya ungkapan dalam Babad Pasek yang
menyebutkan demikian:
Nguni duk pemadegan sira cri Gunapriya
Darmapatni Udayana Warmadewa, hana pesamuan agung ciwa Budha kalawan Bali Aga,
ya etunya hana desa pakraman mwang Kahyangan Tiga maka kraman ikang desa para
desa Bali Aga.
Terjemahan:
Dahulu tatkala
bertahtanya Çri Gunapriya Darmapatni dan suaminya Udayana, ada musyawarah besar
Çiwa Buddha dengan pihak Bali Aga, itulah asal mulanya ada desa pekraman dan
Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dari masing-masing desa Bali Aga.
Dan uraian di atas dapat diduga bahwa
pengelompokan masyarakat ketika itu disebut desa pakraman dan dalam
perkembangannya mengalami perubahan yang akhirnya disebut desa adat yang
dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang disebut Awig-awig. Awig-awig ini mempunyai
kedudukan sebagai stabilisator yang mengatur kegiatan dan aspek kehidupan
masyarakat. Tujuannya ialah agar suasana kehidupan desa menjadi tetap
terpelihara secara serasi dan harmonis dengan ketertiban yang mantap.
Keserasian dan keharmonisan kehidupan
masyarakat dapat diukur dengan sistem cara berpikir yang lugu dan tidak
mengadakan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dengan cara berpikir yang
demikian itu akan melahirkan suasana senasib sepenanggungan yang lebih dikenal
dengan istilah suka duka sebagai salah satu warisan budaya yang tak ternilai
harganya.
DENAH PURA DESA,
PUSEH DAN BALE AGUNG
DESA ADAT SAYAN
KETERANGAN:
1. UTTAMA MANDALA PURA DESA
1.
|
Padmasana
|
2.
|
Limas
|
3.
|
Kamimitan
|
4.
|
Ratu
Ngrurah Agung
|
5.
|
Panggungan
Pengingkupan
|
6.
|
Bale
Peselang
|
7.
|
Gedong
Catu
|
8.
|
Gedong
Sineb
|
9.
|
Sedan
Pengenter
|
10.
|
Lumbung
|
11.
|
Pengaruman
|
12.
|
Pepelik/
Pesamuan
|
13.
|
Bale
Pawedan
|
14.
|
Bale
Pesandekan
|
15
|
Bale
Pesandekan
|
16.
|
Kori
Agung
|
2. MADYA MANDALA.
17.
|
Apit
Lawang
|
18.
|
Apit
Lawang
|
19.
|
Bale
Gong
|
20.
|
Apit
Lawang
|
21.
|
Apit
Lawang
|
22.
|
Panggungan
|
23.
|
Bale
Agung
|
24.
|
Balang
Tamak
|
25.
|
Bale
Kulkul
|
26.
|
Candi
Bentar
|
3. NISTA MANDALA
27.
|
Perantenan
|
28.
|
Wantilan
|
29.
|
Candi
Bentar
|
|
|
4. UTTAMA MANDALA PURA PUSEH
1.
|
Padmasana
|
2.
|
Meru
Tumpang 5
|
3.
|
Bebaturan
|
4.
|
Bebaturan
|
5.
|
Gedong
Sari
|
6.
|
Ratu
Panglurah Agung
|
7.
|
Bebaturan
Naga Basuki
|
8.
|
Panggungan/Pengingkupan
|
9.
|
Paselang
|
10.
|
Linggih
Arca
|
11.
|
Bebaturan
|
12.
|
Bebaturan
|
13.
|
Sedan
Pengenter
|
14.
|
Pepelik/Pesamuan
|
Pura Desa, Puseh dan Bale Agung Desa Adat Sayan bukan
hanya tempat untuk pemujaan atau sembahyang, melainkan tempat suci. Pendirian
Pura ini mengikuti Tri Mandala, Tri berarti Tiga, Mandala berarti Wilayah atau
daerah yang merupakan lambang dari Tri Bhuwana, antara lain: Nista Mandala atau
Jaba Pisan atau bagian paling luar merupakan lambang Bhur Loka, Madya Mandala
atau Jaba Tengah merupakan lambang Bhuwah loka dan Utama Mandala atau Jero
merupakan lambang swah loka. Selain sebagai lambang Tri Bhuwana, konsep Tri
Mandala ini juga mempunyai tuntutan tata susila bagi Umat Hindu. Tuntutan tata
susila itu adalah Tri Kaya Parisudha, yaitu Kayika, Wacika dan Manacika.