PURANA
PURA
SAKTI
Baung,
Sayan, Ubud
BAB
I
Pendahuluan
Om
awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam,
bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā
śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā
mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri
Bhatarā Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam,
janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri
Sanghyang Bhumi Patthi, hanugrahaneng
hulun, muncaranākna ikang tatwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng
tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā,
mamastu jagatitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Pengaksama
kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara Hradaya Namah Swaha,
Sunia Loka, Sida Loka Suara.
Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu
dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana,
semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tatwa, begitu juga dengan
seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha
mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan
masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala
niskala atau lahir bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang
umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
Karena sebuah rasa penuh tulus dan kecintaan
terhadap alam, budaya serta kehidupan sosial masyarakat Hindu di Bali, berbekal
keinginan mengabdi terhadap tanah kelahiran dilandasi dengan semangat bakti
terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur yang sudah menyatu di dalam
rangkuman sinar suci Beliau, kami memberanikan diri meramu data-data yang ada
didalam bentuk sebuah karya sastra yang sangat sederhana yang kami persembahkan
sebagai yadnya kepada pembaca dan generasi penerus kita, agar bisa kelak
dipakai sebagai bahan kajian dalam menyusun karya sastra yang lebih sempurna
dikemudian hari.
Segala macam bentuk ketidak sempurnaan dan kekurangan memenuhi kata demi kata dalam buku ini, sehingga
dengan kerendahan hati kami memohon berbagai petunjuk dalam penyempurnaanya.
Karena kami yakin dalam era global banyak hal yang harus bisa kita lakukan
untuk menjawab berbagai pertanyaan jaman, diantaranya adalah sejarah yang akan
membangun rasa cinta generasi terhadap tanah kelahiranya. Karena rasa cinta
akan hadir apabila kita mengenal jati diri kita yang mencakup tentang berbagai
pilosofi yang terkandung didalam kebiasaan kehidupan sosial budaya kita. Pada
intinya kami berusaha menyelaraskan berbagai dasar budaya keagamaan kita yang
terdiri dari Kuna Dresta, Loka Dresta dan Sastra Dresta dalam sebuah kajian
yang bisa menggugah kesadaran kita tentang pentingnya berbagai kearifan lokal
yang didukung oleh sastra agama Hindu dalam menjaga Sradha umat beragama.
Semoga kemudian kita dan generasi mendatang bisa melewati masa-masa kritis
sebagai penjaga Agama dan budaya warisan leluhur kita dahulu, agar perjuangan
dan usaha yang sudah dilakukan semenjak dahulu tidak hanya menjadi cerita usang
yang semakin hilang. Hanya karena ketidaktahuan kita terhadap perjuangan mereka
dahulu. Kita adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Sejarah
adalah sumber pengetahuan merupakan media untuk mengetahui masa lampau, yaitu
mengetahui peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau dengan perbagai
permasalahannya. Peristiwa yang menjadi objek sejarah syarat dengan pengalaman
penting manusia karena mampu membangkitkan imajinasi memperluas wawasan intelektual,
memperdalam simpati, sebagai sarana ideal untuk mendidik masyarakat agar
berpikir secara bebas mengajarkan kepada masyarakat cara berfkir mmeningkatkan
kreatifitas dan emberikan pelajaran untuk mengenal dirinya sendiri. Sejarah
juga menjadi sumber pendidikan penalaran, pendidikan moral, menciptakan
kebijaksanaan, dasar pendidikan politik, perubahan, Pendidikan masa depan dan Sebagai
ilmu bantu
BAB
II
Masa
Pra Aksara
Wilayah Baung Sayan tidak bisa
dipisahkan dengan sejarah Kuna, karena Baung Sayan sebelum menjadi sebuah desa
yang tertata dengan baik, masih merupakan daerah hutan tropis yang berstruktur
tanah sangat subur. Dengan sumber air yang melimpah menjadikan berbagai jenis
tanaman tropis hidup dengan subur, tanda-tanda kehidupan pada masa pra aksara
hingga kini belum ditemukan oleh para ahli purbakala di wilayah Baung, tetapi
bukan berarti masa pra aksara tidak berlangsung di wilayah ini. Sebelum
kedatangan para Rsi Agung yang mengajarkan kehidupan beragama di wilayah ini,
keadaan hutan-hutan tropis yang lebat menjadi tempat tinggal orang-orang
Autronesia yang berbudaya terbatas. Dalam ilmu Arkeologi pembagian jaman
menjadi 2 teori, yang diketahui dari berbagai penggalian dan penelitian
terhadap benda dan alam jaman pra aksara. Arkeologi adalah ilmu
yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda artefak. Dari hasil
penelitian para ahli arkeologi, maka tabir kehidupan masyarakat pra aksara Indonesia dapat diketahui.
Berdasarkan penggalian arkeologi maka pra aksara atau prasejarah dapat dibagi menjadi 2 Jaman,
seperti:
II.1.
Jaman Batu.
Jaman
batu menunjuk pada suatu periode di mana alat-alat kehidupan manusia umumnya atau dominan terbuat dari batu, walaupun
ada juga alat-alat tertentu yang terbuat dari kayu dan tulang. Dari alat-alat
peninggalan Jaman batu tersebut, melalui Metode Tipologi (cara menentukan umur
berdasarkan bentuk atau tipe benda peninggalan), maka Jaman batu dibedakan lagi
menjadi 3 periode atau masa,
yaitu:
II.1.a.Batu Tua atau Palaeolithikum
Merupakan
suatu masa di mana alat-alat kehidupan manusia terbuat dari batu kasar dan
belum diasah atau diupam,
sehingga bentuknya masih sederhana.
Contohnya: kapak genggam.
Contohnya: kapak genggam.
II.1.b.Batu
Tengah Madya atau Mesolithikum.
Merupakan
masa peralihan di mana cara pembuatan alat-alat kehidupannya lebih baik dan
lebih halus dari Jaman batu tua. Contohnya: Pebble atau Kapak Sumatera.
II.1.c.Batu Muda atau Neolithikum
Merupakan
suatu masa di mana alat-alat kehidupan manusia dibuat dari batu yang sudah
dihaluskan, serta bentuknya lebih sempurna dari Jaman sebelumnya. Contohnya : kapak persegi dan kapak lonjong.
II.2. Jaman Logam atau
Jaman Perundagian.
Dimulainya
Jaman logam bukan berarti berakhirnya Jaman batu, karena pada Jaman logampun
alat-alat dari batu terus berkembang bahkan sampai sekarang istilah kebudayaan
batu besar atau Mega
berarti besar; Lithos berarti batu. Kebudayaan Megalithikum bukanlah suatu
Jaman yang berkembang tersendiri, melainkan suatu hasil budaya yang timbul pada
Jaman Neolithikum dan berkembang pesat pada Jaman logam. Sesungguhnya nama
Jaman logam hanyalah untuk menyatakan bahwa pada Jaman tersebut alat-alat dari
logam telah dikenal dan dipergunakan secara dominan. Jaman logam disebut juga
dengan Jaman perundagian, di
Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya tidak mengalami Jaman tembaga seperti di eropa tetapi langsung
memasuki Jaman perunggu dan besi secara bersamaan. Dan hasil temuan yang lebih
dominan adalah alat-alat dari perunggu sehingga Jaman logam disebut juga dengan
Jaman perunggu.
II.3. Ciri kehidupan Masyarakat Pra aksara.
Sedangkan pembabakan Jaman Pra aksara atau Prasejarah
berdasarkan Ciri-ciri Kehidupan masyarakat. Makhluk manusia adalah
makhluk yang hidup berkelompok dan mempunyai organisme yang secara biologis
berbeda dan lebih lemah dari jenis binatang. Namun otak manusia berevolusi
paling jauh bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kemampuan otak manusia
yang berupa proses berpikir menyebabkan manusia dapat memilah-milah tindakan
yang dapat menguntungkan kelangsungan hidupnya.
Dalam rangka
kelangsungan hidupnya maka manusia merupakan makhluk pembentuk kebudayaan dan
manusia juga sebagai pembentuk masyarakat. Karena pada hakekatnya manusia tidak
dapat hidup sendiri tetapi harus berkelompok. Berikut ini adalah
paparan perkembangan manusia Indonesia yang hidup pada Jaman prasejarah atau pra aksara. Kehidupan
masyarakat atau manusia pada
Jaman prasejarah terbagi menjadi 3 periode, yaitu:
II.3.1. Masa berburu dan
mengumpulkan makanan.
Pada masa ini secara
fisik manusia masih terbatas usahanya dalam menghadapi kondisi alam. Tingkat
berpikir manusia yang masih rendah menyebabkan hidupnya berpindah-pindah tempat
dan menggantungkan hidupnya kepada alam dengan cara berburu dan mengumpulkan
makanan. Pada masa
hidup berburu dan mengumpul makanan, penduduk Bali mendiami wilayah-wilayah
tepian sungai secara nomaden atau berpindah-pindah. Mereka mengikuti jalur
berburu di hutan-hutan lebat yang penuh dengan pohon dan binatang sebagai
sumber makanan. setelah masa-masa berburu dan mengunpul makanan itu berlangsung sangat lama, mulailah
kemudian memasuki masa menetap di suatu tempat.
Masa ini didahului dengan proses memilih tempat
yang cocok untuk menetap, terutama di pinggir-pinggir sungai di dalam gua-gua,
tepian danau dan pesisir pantai. Mereka mulai mengembangkan kehidupan baru
berupa kegiatan bercocok tanam yang bersifat masih sederhana, juga mulai
menjinakkan hewan-hewan tertentu, seperti sapi, anjing, angsa dan berbagai
jenis ungas hutan. Beberapa kelompok lebih memilih di dataran tinggi berupa
bukit-bukit curam yang dikelilingi sungai dengan tujuan melindungi diri dari
serangan-serangan musuh dan binantang buas.
II.3.2. Masa bercocok tanam.
Pada masa ini kemampuan
berpikir manusia mulai berkembang. Sehingga timbul upaya menyiapkan persediaan
bahan makanan yang cukup dalam suatu masa tertentu. Dalam upaya tersebut maka
manusia bercocok tanam dan tidak lagi tergantung kepada alam. Setelah masa tinggal di gua-gua, mereka mulai
membuat tempat tinggal di dataran dengan rumah sederhana yang berbahan baku
kayu dan bambu, dengan atas kulit kayu dan rumbia. Hal ini disampaikan oleh dua
orang peneliti barat yang bernama B.J. Miggen dan Clifford Evan Jr dalam
studinya tentang kehidupan di hutan-hutan teropis. Bahwa hutan tropis di
wilayah Bali tengah tidak berbeda jauh dengan keadaan hutan Tropis di Amerika
Selatan. Perubahan perlahan-lahan terjadi dengan terbentuknya perkampungan-perkampungan
kecil semacam Padukuhan dengan beberapa rumah kecil yang tempatnya tidak
beraturan. Bentuk rumah di perkampungan Bali pada masa ini berbentuk
kebulat-bulatan dengan atap rumbia yang menjuntai hingga ujungnya menyentuh
tanah. Rumah-rumah kecil ini hanya bisa menampung beberapa anggota keluarga
saja, tidak lebih dari 4 orang.
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi
penyempurnaan dalam bentuk rumah penduduk Bali, dimulai dengan bentuk rumah
memanjang dengan memakai tiang yang jumlahnya disesuaikan dengan luas bangunan.
Rumah-rumah berbentuk balai panjang bertiang ini banyak dibangun di daerah yang
dekat dengan ladang, dengan tujuan untuk menghindari banjir dan binatang buas.
Rumah ini bisa menampung beberapa anggota keluarga inti yang semakin berkembang
kemudian. Apabila rumah tiang ini dibangun jauh dari ladang, penduduk akan
meninggalkan kampung mereka pada masa tanam dan masa panen, mereka membawa
serta anggota keluarga dan binatang peliharaan ke ladang-ladang. Di wilayah
ladang mereka membangun gubuk-gubuk darurat yang dipakai sebagai tempat tinggal
sementara mereka, setelah masa panen selesai mereka akan kembali ke rumah
tiang. Semua rumah, baik yang berbentuk bulat, persegi bertiang atau gubuk di
ladang-ladang bisanya dibuat dengan cara bergotong-royong oleh anggota
Pedukuhan dengan upacara-upacara tertentu yang dipimpin oleh kepala Pedukuhan.
Penduduk Pedukuhan ini terdiri dari 2 ras
penduduk, yaitu ras Mongoloid dan penduduk ras Austromelanesoid. Pada masa ini
perkembangan jumlah penduduk menjadi bertambah dengan pesat, wanita mendapat
kedudukan yang khusus di dalam Pedukuhan, mereka bertugas mengolah bahan
makanan dan pakaian, juga menyiapkan berbagai alat-alat upacara yang masih
sangat sederhana. Ilmuan botani yang bernama C.H.M Heeren, memperkirakan
beberapa jenis buah yang biasa dikunsumsi sebagai makanan pada masa ini antara
lain:
Keladi
|
taro, Colocasia Esculenta
|
Ubi
|
vam, Dioscorea Alata
|
Sukun
|
breadfruit, Artocarpus Communis
|
Pisang
|
banana, Musa paradisiaca
|
Durian
|
Durio Zibethinus
|
Manggis
|
Manggosteen, Garcinia mangostana
|
Rambutan
|
Nephelium lappaceum
|
Duku
|
Lansium domestikum
|
Salak
|
Salacca edulis
|
Kelapa
|
Cocos nusifera
|
Makanan pokok pada masa ini adalah keladi yang
mulai diberdayakan oleh penduduk dengan membuat sistem irigasi sederhana.
Sementara hewan-hewan yang penting pada masa ini adalah anjing dan babi, anjing
merupakan binatang peliharaan yang dijinakkan untuk membantu dalam proses
berburu, sedangkan babi dijinakkan dan dipelihara untuk kepentingan sebagai
binatang yang dikonsumsi dan sebagai korban dalam berbagai prosesi upacara
keagamaan.
Sistem perdagangan barter sudah pula mulai
dikenal, seiring dengan mulai dikenalnya perahu atau jukung sebagai alat
transportasi antara pedukuhan satu dengan pedukuhan yang lain, dengan memakai
sungai sebagai jalur utama transportasi. Setelah berkembang kemudian secara
perlahan penduduk sudah mulai meninggalkan sifat ketergantungannya terhadap
alam, mereka sudah melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan membuat
perubahan-perubahan dalam kehidupan. Mereka sangat mempercayai keberadaan roh
anggota penduduk yang sudah meninggal masih bisa melakukan interaksi dengan
anggota keluarga yang masih hidup. Bagi anggota penduduk yang mempunyai jasa
besar dalam desanya kemudian meninggal, akan dipuja oleh warga desa dengan
upacara-upacara meriah dan distanakan di tempat-tempat keramat dengan
membuatkan bangunan-bangunan batu sebagai tempat tinggal rohnya. Bangunan ini
berupa peti batu atau batu besar yang didirikan tegak dengan hiasan-hiasan
berukir juga lukisan yang melambangkan kehidupan si mati. Mayat juga dibekali
berbagai benda berharga dalam hidupnya saat penguburan, berupa perhiasan, periuk,
alat-alat perladangan dan lain-lain.
Benda-benda sakral pada masa ini sering kali
tertimbun oleh tanah dan tersimpan ratusan tahun di wilayah-wilayah Bali
tengah, saat ditemukan kemudian menjadi dasar penelitian para ahli purbakala,
berupa perhiasan, peti batu atau sarkofagus dan berbagai arca tua yang sangat
sederhana bentuknya. Peninggalan-peninggalan purbakala ini ditemukan tersebar di seluruh wilayah Bali,
terutama sekali di wilayah tepian sungai, tepi danau dan pesisir pantai.
Sepanjang sungai Wos di wilayah Ubud yang membentang keutara dan selatan,
ditemukan goa-goa yang diyakini sebagai tempat tinggal orang-orang dari kedua
ras diatas. Goa-goa ini dikenal sebagai goa raksasa oleh penduduk sekitar dan
diyakini sangat sakral dan keramat.
Peninggalan Megalitik di Bali
terdiri dari Menhir, bhataran-bhataran batu dan sarkofagus yang berukuran kecil
antara 80 cm sampai dengan 140 cm, hanya beberapa diantaranya yang berukuran
sampai 2 meter. Pada tahun 1960, dua orang peneliti asing, P.V van Stein Callenfels
dan H.R van Heekeren melakukan klasifikasi dan tipologi terhadap
peninggalan-peninggalan itu, klasifikasi dan tipologi kemudian berhasil
dilakukan oleh Prof. Dr. Raden Pandji Soejono, hasil penelitiannya terhadap
sarkofagus di Bali, dipastikan bahwa sarkofagus itu berkembang pada masa
penduduk Bali sudah mengenal bahan logam, mengingat benda-benda bekal kuburnya
kebanyakan dibuat dari perunggu. Prof. Dr. Raden Pandji Soejono membagi
sarkofagus Bali menjadi 7 tipe dasar, antara lain: Celuk, Angantiga, Bona,
Bunutin, Cacang, Ambyarsari dan Manuaba. Sisa-sisa peninggalan Megalitik yang
berupa Menghir, pelinggih batu, bhataran batu, jalanan batu berundak, dan undak-undak batu berbentuk piramida.
II.3.3. Masa perundagian.
Pada masa ini
masyarakat sudah mengenal teknik-teknik pengolahan logam. Pengolahan logam
memerlukan suatu tempat serta keahlian khusus. Tempat untuk mengolah logam
dikenal dengan nama perundagian dan orang yang ahli mengerjakannya dikenal
dengan sebutan Undagi. Pada masa
Perundagian kemudian muncullah peradaban yang lebih baik, ilmuan G.E. Rumpius
melakukan penelitian yang seksama terhadap nekara di Pejeng pada tahun 1704.
Laporan Rumpius dikumpulkan dalam sebuah buku dengan judul D’Amboinsche
Rariteitenkamer, yang kemudian diterbitkan di Amsterdam tahun 1705. Para ahli
setelahnya kemudian meyakini nekara perunggu itu berpusat di Khmer dan menyebar
ke Indonesia, termasuk Pejeng Bali. Nekara Pejeng berbeda dengan nekara-nekara
lain yang ditemukan di Indonesia, karena nekara Pejeng berukuran besar, dengan
tinggi 1,96 meter dan menjorong keluar dari bahu sekitar 25 cm, bagian bahu
lurus ke Bawah dan melengkung kedalam di bagian pinggang yang berbentuk
silinder, bagian kaki berbentuk genta yang melebar di bagian bawah. Pada masa
ini penduduk sudah mulai membuat berbagai perkakas yang dipakai sebagai
penunjang kehidupan, seperti: kapak, mata panah, mata tombak, gerabah, mata
pancing, alat menenun dan berbagai perhiasan sederhana dari perunggu.
Demikianlah pembabakan
jaman pra aksara, atau pra sejarah yang diungkapkan oleh para pakarnya,
sehingga mampu memberi gambaran kepada kita, bahwa sebelum kita mengenal
tulisan dan kebudayaan seperti sekarang ini, para pendahulu kita sudah sekian
lama bahkan ratusan tahun mempertahankan hidup dengan berbagai alat dan keadaan
yang sangat sederhana.
BAB III
Masa Hindu Buddha
Masa perkembangan faham Hindu Buddha
di Nusantara terjadi sudah sangat lama, seluruh wilayah pulau Bali mengalami
masa ini, terbukti hingga sekarang faham ini menjadi warisan yang tidak pernah
hilang, demikian juga daerah Baung Sayan. Pura-pura kahyangan yang berdiri
megah di hampir semua pelosok Bali menjadi bukti bahwa faham ini masuk ke seluruh wilayah Bali kemudian berkembang sesuai dengan keadaan wilayah
dan perkembangan budaya penduduknya. Tetapi sedikitnya peninggalan sastra yang
bisa dibaca dan diteliti oleh para ahli membuat sulit memastikan era masuknya
faham ini ke Bali. Keterbatasan sastra itu tidak mengurangi keinginan para ahli
untuk melakukan penelitian, berbagai artefak, candi dan peninggalan-peninggalan
arca Kuna yang ditemukan kemudian diteliti, sehingga dapatlah kemudian
ditemukan teori masuknya faham Hindu Buddha
di Bali.
III.1. Para
pengungsi India.
Dikenalnya kerajaan-kerajaan
Hindu Buddha di Nusantara, diungkapkan oleh para ahli sejarah dunia dimulai
pada tahun 500 Masehi, di daerah Sumatera Utara. Kebanyakan kerajaan-kerajaan
itu didirikan oleh para pengungsi dari India, terdiri dari kaum Bangsawan,
Pendeta dan para pedagang yang menghindar dari kemelut yang terjadi di India.
Para pengungsi India ini berlayar mencari daerah baru untuk bermukim sebagai
tempat melanjutkan tradisi yang mereka anut dan yakini secara turun temurun.
Kerajaan-kerajaan kecil itu
tersebar di beberapa wilayah di Sumatera Utara, dengan jumlah penduduk yang
juga tidak terlalu banyak. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Kendahari, Pali,
Malayu Sri Boja dan lain-lain. Para pengungsi India yang terdiri dari
Bangsawan, Pendeta Rsi dan pedagang itu kebanyakan menghuni wilayah Kendhari
dan Pali. Mereka menerapkan kebudayaan dan agama yang dianutnya dalam tatanan
pemerintahan kerajaan, sehingga dalam waktu beberapa dekade daerah Sumatra Utara
tertata dengan baik, aman dan tentram. Suasana aman tentram dan damai itu bisa bertahan di
kerajaan-kerajaan kecil Sumatera Utara sampai sekitar tahun 682 sampai dengan
tahun 686 Masehi.
III.2. Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat
perkembangan Agama Buddha Nusantara.
Di Palembang
berdiri kemudian sebuah kerajaan yang bernama Sriwijaya, nama kerajaan berasal
dari bahasa
Sanskerta yang mengandung dua suku kata: Sri dan Wijaya, Sri berati Cahaya, Wijaya berarti kemenangan. Cikal bakal
keberadaan kerajaan yang terletak di seputar kota Palembang, Sumatera Selatan
sekarang ini menurut catatan sudah ada pada tahun 500-an. Kerajaan ini terdiri
atas tiga daerah utama: daerah ibukota yang berpusatkan di sekitar Palembang,
lembah Sungai Musi dan daerah-daerah muara. Mengingat
lokasinya, kerajaan ini diperkirakan menjadi pusat perdagangan dan merupakan
negara maritim penting pada abad keenam.
Bahkan pada sekitar tahun 425 Masehi, agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya yang berlokasi di Palembang menarik
banyak sarjana dari negara-negara di Asia sebagai tempat belajar agama Buddha. Salah satu diantaranya adalah
pendeta dari Tiongkok I Ching, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam
perjalanan studinya ke Universitas Nalanda, India pada tahun 671 dan 695. Ia
menuliskan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Buddha. Pengunjung
yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir
kerajaan.
I Ching banyak menulis tentang
keberadaan Sriwijaya. Catatannya kemudian menjadi bahan penting untuk
mengetahui keberadaan kerajaan ini. Selain
catatan tersebut, bukti lain tentang keberadaan Sriwijaya bisa ditemui dari
berbagai peninggalan. Antara lain prasasti. Prasasti yang menuliskan tentang
Sriwijaya antara lain dibuat pada tahun 683 di Palembang. Namanya Prasasti Kedukan Bukit. Raja Sriwijaya, yang bergelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga
melakukan penyerangan ke wilayah Malayu Sriboja keselatan dan dibagian utara
wilayah Sumatera,
juga menaklukan Kerajaan Tarumanegara. Diantara kerajaan-kerajaan Malayu,
Kerajaan Kendari dan Kerajaan Pali juga dapat dikuasai, seperti yang tertulis dalam Prasasti
Kedukan Bukit yang berangka
tahun 683 Masehi, Prasasti Talang Tuo bertahun 684 Masehi dan Prasasti Kota Kapur.
Hal
itu yang kemudian membuat para bangsawan dan para Rsi memutuskan untuk
meninggalkan wilayah Malayu Sriboja, tujuan mereka adalah mencari daerah yang
baru di luar kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Para bangsawan dan Rsi yang dulunya
berasal dari India tersebut menyingkir kearah timur dengan perahu sampai
mendarat di wilayah Nusa Goh atau dikenal dengan nama Pulau Sapi. Di pulau inilah kemudian mereka
mendirikan kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil yang masih sunyi dan
terpencil. Nama yang baru didirikan itu sama dengan sewaktu masih di Sumatera, yaitu kerajaan Pali yang berpenduduk
sebagian besar beragama
Buddha.
III.3. Kerajaan Kutai dan Mataram
sebagai cikal Bakal perkembangan Agama Hindu di Jawa dan Bali.
Letak kerajaan Kutai berlokasi di daerah Kutai,
Kalimantan Timur, keberadaan kerajaan Hindu pertama di Indonesia ini
diterangkan oleh 7 buah prasasti yang berbahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa.
Masyarakat Kutai pada saat itu belum mempunyai bahasa dan huruf yang baku, para
ahli sejarah memperkirakan bahwa prasasti yang berbentuk Yupa mulai ditulis
pada sekitaran tahun 400 Masehi. Pada salah satu Yupa dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang menjadi cikal bakal dari kerajaan Kutai adalah Kudungga yang
dilanjutkan oleh Aswawarman dan pada masa pemerintahan Mulawarwan kerajaan
Kutai mencapai masa kejayaanya.
Dalam sebuah prasasti dinyatakan bahwa Raja Mulawarman
sudah melaksanakan upacara korban emas kepada rakyatnya. Dalam suasana kejayaan
itu muncullah banyak golongan terdidik yang terdiri dari clan Ksatria dan
Brahmana, dalam usaha pencerdasan itu, raja Kutai beberapa kali mengirim para
cendikiawan untuk belajar Agama Hindu ke India dan daerah-daerah maju di
wilayah Asia Tenggara, seperti yang termuat dalam buku IPS Terpadu Sosiologi, Geografi, Ekonomi,
Sejarah karya Mamat Ruhimat, Nana Supriatna dan Kosim tahun 2006.
Kerajaan Kutai memiliki hubungan dagang yang sangat baik
dengan India, hal itulah yang membuat semua prasasti di Kutai ditulis dalam
huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta yang merupakan hurup dan bahasa Hindu
Selatan di India yang merupakan daerah asal agama Hindu-Buddha. Dengan
perkiraan tertulisnya prasasti yang menceritakan tentang kerajaan Kutai pada
sekitar tahun 400 Masehi, dapatlah disimpulkan bahwa Kutai adalah kerajaan
Hindu pertama di Nusantara. Letak kerajaan Kutai di daerah tepi sungai Mahakam
pada pertemuan sungai Mahakam dengan anak-anak sungainya itu yang membuat
sungai Mahakam bisa dilayari oleh kapal para saudagar hingga ke Muarakaman,
dengan lancarnya pelayaran para saudagar ini membuat perdagangan disepanjang
sungai menjadi sangat maju. Penduduk Kutai pada masa itu terdiri dari Petani
dan peternak sapi yang handal yang kemudian menjadi komoditi utama masyarakat
Kutai.
Raja Mulawarman adalah raja yang paling masyhur di Kutai
mempunyai ikatan sangat mesra dengan masyarakat dan golongan Brahmana, itu
dibuktikan dengan upacara kurban Emas dan 20.000 ekor lembu untuk rakyat dan
para Brahmana yang diceritakan dalam sebuah Yupa bertulis yang dibuat oleh
golongan Brahmana Kutai. Adapun raja-raja yang pernah memimpin kerajaan Kutai
antara lain Kudungga atau Dewawarman, Aswawarman, Mulawarman, Marawijaya
Warman, Gajayana Warman, Tungga Warman, Jayanaga Warman, Nalasingha Warman,
Rajanala Parana Tungga, Gadingga Warmandewa, Indra Warmandewa, Sangga
Warmandewa, Candrawarman, Srilangka Dewa, Guna Parana Dewa, Raja Wijaya Warman,
Sri Aji Dewa, Raja Mulia Putera, Raja Nala Panditha, Raja Indra Paruta Dewa dan
Raja Dharma Setia.
Pada tahun 730 Masehi, secara resmi Sri Maharaja Sanjaya
menjadi raja di pulau Jawa, kerajaanya disebut sebagai kerajaan Mataram,
wilayah kekuasaanya meliputi seluruh pulau Jawa, kecuali tanah Sunda. Sri
Maharaja Sanjaya mulai melakukan penaklukan-penaklukan ke daerah sekitar,
seperti Sriwijaya, Lingor atau Thailand, Hujung Medini atau Malaysia Barat.
Beliau juga dikenal sebagai Raja Rsi yang sangat gemar menyebarkan agama Hindu
di daerah-daerah taklukannya, beliau yang memperkenalkan ajaran Lingga Yoni
dalam penyebaran agama Hindu yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta kerajaan
Mataram. Semua konsep pemerintahan beliau
dapat kita lihat pada Prasasti
Canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah berangka tahun
732 Masehi dikisaran Tahun
730 Masehi.
Salah seorang Pendeta Kerajaan Mataram yang bernama Rsi
Markandya pada tahun 730 Masehi melakukan perjalanan suci dari Pasraman Gunung
Wukir di Damalung, tempat
di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di
Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi, kemudian berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih
sekarang. Di lereng Gunung Raung di sekitar
Desa Girimulya, Kecamatan Glenmore dan di sekitar Tirta Empul, di Jawa Timur
ditemukan juga peninggalan- peninggalan Kuna
berupa arca-arca kecil pratima. Di antaranya arca perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984, arca Rsi
Markandya seukuran ibu jari ditemukan tahun 1985, tempat Tirta berupa Cupu
Manik dari perunggu, dua buah Bokor Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca
perunggu Dewi Durga, Gentha Panditha dan tujuh bilah keris ditemukan tahun
1976. Kemudian ditemukan juga batu Andesit
diperkirakan dipakai untuk mengolah obat saat itu. Dan terakhir
ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan kuna.
Didalam Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi
Markandya, dikisahkan seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil
seorang isteri,
berputra dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati, adiknya diberi nama
Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata sangat tampan rupanya, berbudi sangat
mulia dan berpikiran sangat bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka
Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, yang berbunyi :
Sang Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira apekik listu paripurna,
wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama
Sang
Ayati berputra Sang Prana. Demikian pula adiknya, yang bernama Sang
Niyata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang Mrakanda beristerikan Dewi
Manaswini, berputra Maharsi Markandya. Selanjutnya Maharsi Markandya,
beristerikan Dewi Dumara. Menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristerikan Dewi
Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian dikemukakan di dalam
pustaka Kuna Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya, tentang asal-usul Maharsi
Markandya. Pada hari yang baik, salah seorang murid Maha Rsi Agastya yang bernama Sang Ila putra dari Maharsi
Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala. Demikian pula Sang Aridewa
dan Sang Anaka, melakukan Tapa Samadhi di
Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut Pegunungan Dieng. Seperti halnya Maharsi Markandya
juga bertapa di pegunungan Adi Hyang atau pegunungan Dieng di gunung Damalung.
Prasasti
Dinaya yang berangka tahun 682 Saka, atau sekitar tahun 760 Masehi, menuliskan bahwa Maha Rsi Agastya yang
mengembangkan ajaran Tri Murthi Paksa di Bhumi Nusantara ini, sebuah ajaran
yang menyatukan
Tiga Paksa, yakni Salwa Paksa, Brahmana Paksa, dan Waisnawa Paksa. Ajaran Tri
Murthi Paksa inilah kemudian berkembang di Bali, dianut oleh hampir sebagian
besar penduduk Bali. Karena beliau dianggap sebagai guru besar ajaran Tri Murthi
Paksa, sebagai permulaan terbentuknya ajaran Hindu di Bali, beliau kemudian
dikenal dengan sebutan
Sri Bhatara Guru.
III.4. Kedatangan orang-orang Aga ke
Bali.
Pada awalnya pulau Bali terdiri dari kelompok-kelompok
kecil masyarakat yang membentuk desa-desa kecil dengan pemimpinnya masing-masing dihuni oleh penduduk keturunan Austronesia yang kemudian berkembang ke seluruh pelosok
Bali, keturunan mereka menjadi orang Bali Mula yang lebih dikenal dengan nama
orang Pasek Bali. Penduduk Bali yang awalnya tidak menganut agama, mereka
melakukan ritual dengan cara menyembah para leluhurnya yang dikenal dengan sebutan Hyang. Karena sedikitnya ajaran-ajaran keTuhanan
yang diajarkan di Bali, membuat pulau Bali sangat rendah kondisi spiritualnya.
Keadaan yang dianggap kosong secara spiritual ini berlangsung hingga awal
tarikh Masehi atau sekitar abad pertama Masehi.
Bali mengalami
kekosongan spiritual cukup lama, sampai dengan kedatangan para Rsi dari luar
pulau Bali yang datang ke Bali untuk mengajarkan agama Hindu dan cara memajukan
sektor-sektor kehidupan para penduduk. Menurut Lontar Bali
Tattwa, untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual Pulau Bali, kemudian
datanglah seorang Maha Rsi ke Bali, beliau bernama Maha Rsi Markandya. Setelah menyiapkan diri
dengan para pengikutnya yang berjumlah kurang lebih 800 orang, yang terdiri dari
orang-orang Aga, berangkatlah kemudian Maha Rsi Markandya ke arah timur dengan
tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung.
Rombongan Sang Maha Rsi turun di pantai
Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan
pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung atau yang dikenal dengan nama Gunung
Tohlangkir, untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas
kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh
tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti Mranggi (Macan),
Singa, dan Ular, ada juga yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut
beliau yang gila. Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maharsi
yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah 200 orang saja,
mereka kemudian mendiami wilayah sekitar perbukitan yang membentang dari
selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro.
Diantaranya kampung-kampung
tua di sepanjang dataran subur yang diapit oleh
dua aliran sungai, Sungai Wos Lanang dan Sungai Wos Wadon. Dataran yang
membentang dari utara ke selatan
dari Taro sampai Campuhan Gunung Lebah di Ubud.
Melihat keadaan yang demikian
memprihatinkan, Sang Maharsi Markandya memutuskan untuk kembali ke Pesraman
beliau di Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali beliau
beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa murid-murid beliau di
Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru untuk kembali ke Gunung
Agung. Maha Rsi Markandya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk memohon
bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada
waktu pertama merabas Hutan di lereng Gunung Tohlangkir beliau tidak
menghaturkan upacara dan tidak menanam Panca Datu.
Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan III,
karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan,
kedatangan Rsi Markandhya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan
orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di
hutan. beliau
mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru.
Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada
pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah.
Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan, Gianyar.
Tentang pembagian tanah dan kehadiran Maharsi
di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek panditha
Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi
Markandya mwang watek Panditha prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha
pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Panditha Aji anguncar aken wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna
mwang Bhhuta yajna,
Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan
ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana
balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang
Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryan rumuhun angrabas wana ika, tur
wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan
Artinya :
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Panditha
Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi
Markandya dan para pandhita
semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Bhatara
semua, Sang panditha Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama
dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewa Yajnya dan Bhuta Yajnya, serta memuja Pertiwi.
Setelah selesai melakukan
pangaci-aci atau melakukan upacara yadnya,
maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang
kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara. Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa,
proses perabasan hutan tidak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang
Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan
hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya
untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai
melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandhya kembali melakukan pertapaan di
satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi
Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar. Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa
atau serba dan ada, jadilah serba
ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba
ada. Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi
kemudian melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah
barat. Pada satu lokasi yang masih asri. Di tempat baru itu Beliau mendapat petunjuk suci dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya
dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan, dan kini disebut
Payangan. Jejak
perjalanan Rsi Markandhya menelusuri tanah Bali dwipa, banyak meninggalkan atau
ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan
jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman. Tempat-tempat
suci yang berhubungan dengan Rsi Markandhya di Bali meliputi Pura Basukian di
kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir),
tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula,
lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandhya menanam kendi yang
berisi Panca Datu yang terdiri dari lima
jenis logam mulia, seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi.
Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lama
kelamaan daerah pura Basukian dikenal
dengan nama Besakih. Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat.
Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Gianyar. Pura ini dibangun
sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan
hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah berhasil dengan baik merabas hutan, Maharsi Markandhya kemudian
membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal
pertanian. Masih
di wilayah Desa Taro, Rsi Markandhya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai
tempat panyawangan atau perwakilan
Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Glanmore, Banyuwangi, Jawa
Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali Sang Maha Rsi mendapat wangsit
sebelum datang ke Bali. Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai
pertanda kedatangan Rsi Markandhya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan
dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Gianyar. Setelah
berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandhya kemudian bersemadi. Dalam
semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Sang Maha Rsi ini
menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak
tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandhya melakukan
yoga semadi, tempat
itu selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan. Sekitar
dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandhya mendirikan tempat suci
Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat Sang Yogi melakukan penyucian
diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana
Tatwa Maharsi Markandhya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara
pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira
sira sang Bhujangga Waisnawa
Artinya :
Juga di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida
Maharsi Markandhya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga
Waisnawa.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah
Parhyangan atau Payangan,
sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde
Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandhya juga membangun tempat suci Murwa atau Purwa Bhumi. Pura
dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat meyakini di
tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali (Purwa) memberikan proses
pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain
menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian. Setelah
berhasil memberikan pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan
sukses dalam mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat
suci yang diberi nama Sukamerih yang artinya mencapai kesukaan.
Pura Pucak Payogan, adalah Tempat Yoga
Semadi Mahayogi Markandhya. Dan Tempat ini tempat beliau moksa sebagai akhir
penjalanan Dharmayatra beliau. Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandhya,
disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun
Saka 858 di Puakan, Taro Tegalalang, Gianyar,
sekarang, kemudian mengajarkan
cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas
kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di
sekitar Desa Taro, Ubud dan Payangan. Keturunan dari orang-orang Aga
itulah yang sekarang disebut wong Bali Aga, atau Wong Bali Mula, sebagai
penduduk asli Bali. Mereka itu tinggal di desa : Sambiran,
Sangsit, Dausa, Cabongan, Lembongan,
(Nusa Penida), Cempaga, Tenganan, Kintamani, Sastra, Sidhatapa, Timbrah,
Kedisan, Terunyan, Padarba,
Kutapang, Batur, Kayubihi, Gobleg, Sental, Kawan, Bakung, Kayang, Bratan,
Tigawasa, Bantang, Pangotan, Sukawana, Kembang
Sari, Bayung, Ceking, Lampu, Kutadalem, Abang, Abianbase, Sambahan, Lot, Plaga,
Blakiuh, Gadungan, Camangawon, Angkah, Marga, Tabuana, Pasekan, Pengalu dan lain-lain.
Bab IV
Masa Bali Kuna
Pendapat-pendapat yang telah dikemukakan
cenderung menyatakan bahwa P’o-li merupakan kerajaan besar, atau
paling tidak terletak di wilayah yang luas. Kecenderungan itu sesuai dengan
gambaran yang didapat dari kitab sejarah dinasti Sui. Menurut penulis kitab
itu, panjang kerajaan P’o-li dari timur ke barat adalah selama empat
bulan perjalanan, dan dari utara ke selatan selama 45 hari perjalanan. Apabila
memang benar P’o-li merupakan kerajaan besar, maka tidak sesuai dengan
Bali yang relatif kecil.
Toponim yang lebih cocok diidentifikasikan
dengan Bali, menurut bagian lain pendapat Groeneveldt, adalah Dva-pa-tan
yang terbaca dalam kitab sejarah Kuna dinasti T’ang. Negeri itu dikatakan
terletak di sebelah selatan Kamboja dalam jarak dua bulan pelayaran, atau di
sebelah timur Ho-ling atau
Ka-ling.
Adat istiadatnya sama dengan Ho-ling. Di sana, tiap bulan padi sudah
dapat dituai, dan penduduk menulis pada daun rontal. Jika ada orang mati,
mayatnya diberi perhiasan emas, ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas,
lalu dibakar disertai dengan bau-bauan yang harum. Di dalam kitab Chu-fan-chih
bagian Su-chi-tan, Bali disebut dengan nama Mali. Lebih jauh,
penulis kitab Yao-i-chin-lue mencatat nama P’eng-li yang
mungkin dapat diidentifikasikan
dengan Pali atau Mali.
IV.1.
Sekta-sekta di Bali.
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad
ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang
didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Pada baris pertama dari dalam
prasasti itu menyebutkan kata “Siwas.......ddh.......”
yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu
kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siwa Siddhanta”. Dengan demikian pada abad
ke-8, Paksa Siwa Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah
prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan
mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran
agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang,
oleh karena itu agama Hindu sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8
Masehi.
Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu
di Bali adalah ditemukannya arca Siwa di pura Putra Bhatara Desa di desa
Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa dari
candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong
berasal dari periode seni arca Hindu Bali. Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang
memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu
Siwaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Siwakangsita membangun pertapaan di
Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi pembauran antara Siwa dan
Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut
sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan
terjadinya pembauran antara Siwaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga
lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warna
Dewa, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada
abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama
Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui
dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi
dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat
diselamatkan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali
berkembang pula sekta Bhairawa dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairawa di
pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini berkembang sebagai akibat adanya hubungan
politis dengan kerajaan Singhasari di
Jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah
tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Siwaisme) dan
Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaan dan bahkan akhirnya agama
Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat
ini.
Pada masa Bali Kuna merupakan masa tumbuh dan
berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan
ditandai oleh berkuasanya raja suami isteri Dharma Udayana Warna Dewa dan Gunapryadharmapatni.
Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni
prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuna digantikan dengan bahasa Jawa Kuna dan
susastra Hindu berbahasa Jawa Kuna dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali.
Saat itu di Bali berkembang ajaran Hindu yang disebut sekta. Sekta-sekta yang
berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris pada tahun 1926 jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha atau Soghata, Brahmana, Rsi, Sora atau Surya dan Ganapatya.
Sedangkan dalam
beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta yang dikenal dengan nama Sad Agama, yang terdiri dari: Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu dan Kala. Intisari dari ke 6 sekta
tersebut kemudian dikenal dengan Siwa Siddhanta yang mewarnai kehidupan
beragama di Bali dengan peninggalan beberapa lontar-lontar tua, antara lain: Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Tattwa Jnana, Sang
Hyang Maha Jnana, Catur Yuga, Widhi Sastra dan
lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para panditha Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Puja parikrama bersumber pada ajaran Siwa Siddhanta.
Pada masa Bali Kuna ini antara abad ke-10 sampai
dengan ke-14 pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan
raja Dharma Udayana, seorang panditha Hindu
bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan jabatan semacam perdana mentri yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan
terwarisi hingga kini. Pada ajaran Siwa Siddhanta yang berkembang sangat pesat di Bali, masyarakat
meyakini bahwa Dewa Siwa sebagai dewa
tertinggi yang mempunyai 3
hakekat atau tattwa
yaitu: Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud atau niskala, Sadasiwa-tattwa
yang bersifat berwujud - tak berwujud atau sakala-niskala dan Siwa-tattwa
yang bersifat berwujud atau sakala. Selain agama Siwa Siddhanta
dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Agama ini
adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan dikenal
sebagai aliran Kapalika, pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti
tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata), terdapat pula agama Waisnawa yang memuja Dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa,
Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung dalam Istadewata. Peradaban awal yang ditemukan pada stupa-stupa dan batu
bertulis di situs Pejeng dengan angka tahun Isaka 700 atau tahun 778 Masehi dalam bahasa
Sanskerta adalah kutipan sebuah mantra Buddha:
Ye Dharma Hetu Prabawahetun Tesan
Tathagato Hyawadattesanca Yo Nirodha Ewam Wadi Mahasramanah
Artinya :
Keadaan
tentang sebab-sebab kejadian atau proses terciptanya dunia sudah dijelaskan
oleh Sang Buddha yang maha mulia.
Beliau
sudah menerangkan pula apa yang seharusnya dilakukan manusia di dunia ini.
Ini membuktikan Bali Kuna lebih dahulu mengenal Agama Buddha dari pada
Agama Hindu. Karena perbedaan waktu antara kedatangan para Bhiksu dengan
kedatangan para Rsi
Hindu tidak banyak, atau boleh dikatakan
hampir bersamaan maka terjadilah percampuran antara dua agama itu. Prasasti-prasasti yang bertarikh
tahun 804 Isaka atau pada tahun 882 Masehi sudah menyebutkan nama-nama bulan kalender
dengan solar system (Hindu) seperti di India. Selain
itu, prasasti batu padas yang ditemukan di Blanjong Sanur telah bertuliskan
tahun Saka menurut sistem Candra Sangkala dari peradaban Hindu: Khecara Wahni
Murti. Murti berarti Siwa berarti 8; Wahni berarti cahaya berarti 3; Khecara berarti bintang berarti 9. Jadi sistem Candra Sangkala itu
menunjukkan tahun kejadian yakni: Isaka 839 atau tahun 917 Masehi. Sistem Candra Sangkala selain
menunjukkan tahun kejadian, juga berbentuk kalimat yang dapat ditafsirkan
sebagai pemberitaan, dalam hal ini Khecara Wahni Murti, artinya: Bintang yang
terang bercahaya bagaikan Bhatara Siwa.
Oleh
para ahli kalimat ini ditafsirkan sebagai pujian kepada Raja: Kesari Warna Dewa
yang ketika itu berkuasa dan beristana di Singhadwala, beragama Buddha dari sekta
Mahayana. Percampuran budaya Buddha-Mahayana dengan Hindu sekta Siwa Sidantha
dan sekta Waisnawa telah terjadi di Bali Kuna setidak-tidaknya sejak tahun 882
Masehi seperti yang diuraikan di atas, jauh sebelum kejadian yang sama di Jawa
Timur. Percampuran Siwa-Buddha di Jawa Timur baru secara resmi diakui sejak
tahun 1365 Masehi oleh Mpu Prapanca dalam tulisan kekawinnya berjudul:
Desawarnana, dan selanjutnya Mpu Tantular menulis hal sama pada kekawinnya:
Arjuna Wiwaha pada tahun 1367 Masehi dan Sutasoma pada tahun 1380 Masehi. Di Bali,
Siwa-Buddha dan Waisnawa dilebur menjadi agama Hindu yang ada sekarang di Bali
oleh Mpu Kuturan. Peristiwa itu
terjadi pada masa pemerintahan Raja suami isteri Gunaprya Dharma Patni dan Udayana
Warna Dewa yang bertahta di Bali pada tahun Saka 910 sampai dengan 988 atau
tahun 988 Masehi sampai dengan tahun 1011 Masehi. Pada masa itu penduduk pulau Bali
adalah mayoritas orang Bali Aga yang merupakan orang Bali
asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali, jadi ada orang Bali
Aga dan orang Bali yang
sudah sejak lama memeluk dan menganut ajaran agama orang-orang Hindu dari
berbagai paksa atau sekta. Yang
terbanyak adalah dari sekta Indra disamping yang menganut sekta Bayu, Khala,
Brahma, Wisnu, dan Syambhu. Dengan demikian di Bali terdapat 6 sekta yang dalam
pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainnya.
Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekta
dengan sekta yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa
didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
IV.2.
Kedatangan para Mpu ke Bali.
Para penganut sekta yang selalu
bersaing dan bertentangan satu dengan yang lainnya itu merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di
masyarakat yang membawa dampak buruk pada hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat kurang baik ini bukan saja
menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan
sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi
seperti itu, Raja Gunaprya Dharma Patni dan Udayana
Warma Dewa mendatangkan
beberapa Rsi dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharma Patni sudah
dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya
Dharma Patni dan Udayana
Warna Dewa bersepakat untuk
mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
1.
Mpu Semeru, dari sekta Ciwa
tiba di Bali pada hari Jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari
Purnamaning Kawolu, Candra Sengkala Jadma Siratmaya Muka yaitu tahun Saka 921 atau tahun 999 Masehi
lalu berparhyangan di Besakih.
2.
Mpu Ghana, penganut aliran
Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun
Saka 922 atau tahun 1000 Masehi, lalu berparhyangan di Gelgel
3.
Mpu Kuturan, pemeluk agama Buddha
dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, maduraksa atau tanggal ping 6, Candra Sengkala: Agni Suku Babahan atau tahun Saka 923 atau tahun 1001 Masehi,
selanjutnya berparhyangan di Cilayukti daerah Padang.
4.
Mpu Gnijaya, pemeluk
Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih
kadasa, Prati Padha Cukla, tanggal
1, Candra Sengkala: Muka Dikwitangcu atau tahun Saka 928 atau 1006 Masehi, lalu
berparhyangan di bukit Bisbis, Lempuyang.
Keempat orang Brahmana dari Jawa Timur itu sebenarnya bersaudara 5 orang, adiknya yang bungsu bernama Mpu
Bharadah yang masih menetap di Jawa Timur, berparhyangan di Lemah Tulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini dikenal dengan nama Sang Panca Panditha atau Sang Panca Tirtha. Sebagai guru loka di daerahnya
masing-masing, menjalankan dharma kabrahmanan. Mpu Semeru yang berparhyangan di Besakih dan Mpu
Ghana yang berparhyangan di Gelgel, menjalankan kehidupan Nyukla Brahmacari maka keduanya
tidak mengadakan keturunan. Sedangkan Mpu Kuturan yang berparhyangan di
Cilayukti sebagai Swala Brahmacari
mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali, yang ditinggalkan di Jawa
bersama ibunya yang kemudian kawin dengan salah satu putera Mpu Bharadah yaitu
Mpu Bahula.
Tentang
adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan
purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat Senapati, dan prasasti-prasasti
tersebut ditemukan di beberapa desa tua
Bali, diantaranya:
1.
Di desa Srai,
Kintamani, bertahun Saka 915 atau tahun 993 Masehi
2.
Di desa Batur,
Kintamani, bertahun Saka 933 atau tahun 1011 Masehi.
3.
Di desa Sambiran,
Tejakula, Buleleng, bertahun Saka 938
atau tahun 1016 Masehi.
4.
Di desa Batuan,
Sukawati, Gianyar bertahun Saka 944 atau tahun 1022 Masehi.
5.
Di desa Ujung, Karangasem bertahun Saka 962 atau tahun 1040 Masehi.
6.
Di Pura Kehen
Bangli, Bangli, (karena sudah rusak tidak tampak tahunnya)
7.
Di desa Buahan, Kintamani, Bangli bertahun Saka 947 atau tahun 1025 Masehi.
Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang
mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam tahun-tahun
tersebut dan prasasti-prasasti itu merupakan hasil keputusan raja-raja yang bertahta di Bali yaitu:
1. Raja Gunaprya Dharma Patni dan Udayana Warna Dewa yang bertahta dari tahun
Saka 910 sampai dengan 933 atau dari tahun 988 sampai dengan tahun 1011 Masehi menerbitkan prasasti pertama dan kedua
2. Sri Adnyadani yang bertahta dari tahun Saka 933
sampai 938 atau dari tahun 1011 sampai dengan
tahun 1016 Masehi menerbitkan prasasti yang ketiga
3. Sri Dharma Wangsa
Wardhana Marakato Pangkaja Stano Tungga Dewa, yang bertahta dari tahun Saka 938 sampai
962 atau
dari tahun 1016 sampai dengan
tahun 1040 Masehi menerbitkan prasasti keempat sampai
ketujuh
Dari lontar
Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur
yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa
sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga
sebab yaitu:
1. Memenuhi permintaan raja suami isteri yang
disebut diatas, yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adat dan agama
untuk memperbaiki keadaan setelah timbulnya
ketegangan - ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
2. Karena bertentangan dengan isteri beliau yang
menguasai ilmu hitam. Sebab itu isteri
beliau ditinggalkan di Jawa yang dijuluki Walu Natheng Girah atau Rangda
Natheng Girah yang berarti bebas jandanya
Raja
dari Girah
3. Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih
mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi
Usaha-usaha
yang dilakukan oleh Mpu Kuturan dalam meredam gejolak yang bersumber dari
banyaknya sekta atau aliran yang saling bertentangan di Bali, diantaranya
adalah dengan membuat pertemuan besar di Bata Anyar. Dalam pertemuan besar itu
diundang wakil-wakil aliran di Bali, Masyarakat Bali Aga, Masyarakat Bali, para
pemuka agama dan adat di Bali.
Dalam
pertemuan itu kemudian diputuskan bahwa semua aliran sekta di Bali, dilebur
menjadi tiga komponen dasar disebut dengan Tri Murti. Aliran pemuja air dan
alam masuk dalam kategori Wisnu, dipuja dan dimuliakan pada pura Puseh. Aliran
pemuja surya, bulan dan api dilebur dalam kelompok pemuja Brahma, dimuliakan di
pura Bale Agung atau pura Desa. Semua sekta atau aliran yang memuja udara,
bintang dan planet dikelompokkan sebagai pemuja Iswara atau Siwa, dimuliakan di
pura Dalem.
Ketiga pura yang terbentuk dari sari-sari sekta itu disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang
persatuan semua aliran di Bali.
Dalam pertemuan besar di Samuan Tiga juga diperkenalkan istilah Desa
Pakraman yang lebih
dikenal sebagai Desa Adat, dan sejak saat itu
berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik,
sosial, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut datang ke Bali, semua prasasti masih ditulis
dengan menggunakan huruf Bali Kuna. Sementara sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna atau bahasa Kawi. Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun
sebuah pura yang diberi nama Pura
Samuan Tiga.
Di Bali,
Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang
Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun
baru di Bali dirayakan dengan sunyi atau sunyata. Di
Bali Selatan, ada Pura Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya
Kuningan, sementara Sakenan berasal dari kata
Sakyamuni yang merupakan nama asli
Sidartha Gautama. Mpu Kuturan
sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi
Pagoda umat Buddha.
IV.3.
Raja-raja dari dinasti Warmadewa di Bali.
Berdasarkan
hasil pembacaan terhadap prasasti-prasasti yang berasal dari masa Bali Kuna
selanjutnya dapat diketahui dua puluh tokoh raja atau ratu dan seorang
rajapatih yang pernah menduduki pucuk pemerintahan di Bali. Di antaranya, ada
yang memerintah sendiri dan ada pula yang memerintah bersama-sama dengan tokoh
lain, yakni suami, permaisuri, atau ibu surinya.
Nama
raja Bali Kuna yang tercantum pertama kali dalam prasasti adalah Sri Kesari
Warmadewa. Prasasti-prasasti atas nama raja itu, atau yang dapat diidentifikasikan demikian, adalah prasasti
Blanjong bertahun 835
Saka, dan
prasasti Penempahan, dan
prasasti Malet Gede bertahun
835
Saka. Keadaan ketiga prasasti itu telah aus. Banyak bagiannya tidak terbaca
lagi secara utuh, termasuk nama raja yang disebut di dalamnya. Dalam masa Bali Kuna dikenal
beberapa raja yang memimpin Bali, diantaranya:
·
Sri Ugrasena memerintah dari tahun 912 sampai dengan tahun 942 Masehi, beristana di Singhamandawa di Kintamani.
·
Sri Kesari Warmadewa memerintah dari tahun 913 sampai dengan tahun 955 Masehi, beristana di Singhadwala di Besakih.
·
Sri Hari Tabanendra Warmadewa dan Sri Subadrika Warmadewa yang
memerintah dari tahun 955 sampai dengan tahun 967 Masehi, beristana di Tabanan.
·
Sri Candrabhayasingha Warmadewa yang
memerintah dari tahun 967 sampai dengan tahun 968 Masehi, beristana di Tampaksiring.
·
Sri Janasadhu Warmadewa yang
memerintah dari tahun 968 sampai dengan tahun 983
Masehi, beristana di Bedahulu.
·
Sri Wijaya Mahadewi yang
memerintah dari tahun 983 sampai dengan tahun 988
Masehi, beristana di Kadiri.
·
Sri Dharmodayana Warmadewa atau Udayana dan Sri Mahendradatta atau Sri Gunaprya Dharma Patni yang
memerintah dari tahun 983 sampai dengan tahun 1011 Masehi, beristana di Bedahulu.
·
Sri Ajnyadewi yang memerintah dari tahun 1001 sampai dengan tahun 1015 Masehi, beristana di Kintamani.
·
Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun 1011 sampai dengan tahun 1072 Masehi, beristana di Bedahulu.
·
Anak Wungsu atau Dharma Wangsa Wardana
Marakata Pangkaja Sthana Uttunggadewa, yang memerintah dari tahun 1072 sampai dengan tahun 1098 Masehi, beristana di Tampaksiring.
·
Sakala Indukirana Isana Guna Dharma Laksmi
Dharawijaya Uttunggadewi yang memerintah dari tahun 1098 sampai dengan tahun 1133 Masehi, beristana di Tampaksiring.
·
Jayapangus yang memerintah dari tahun 1133 sampai dengan tahun 1173 Masehi, beristana di Kintamani.
·
Jayasakti yang memerintah dari tahun 1173 sampai dengan tahun 1198 Masehi, beristana di Kintamani.
·
Bhatara Sri Parameswara Sri Hyang -Ning Hyang
Adidewa yang memerintah dari tahun 1198 sampai dengan tahun 1284 Masehi, beristana di Kintamani.
·
Kebo Parud dibawah kekuasaan Kerajaan Singhasari-Jawa yang
memerintah dari tahun 1284 sampai dengan tahun 1324 Masehi, beristana di Bedahulu.
·
Sri Tarunajaya yang memerintah dari tahun 1324 sampai dengan tahun 1325 Masehi, beristana di Bedahulu.
·
Dharma Uttungga Warmadewa yang
memerintah dari tahun 1325 sampai dengan tahun 1328 Masehi, beristana di Bedahulu.
·
Bhatara Sri Wala Jaya Kertaning Rat yang
memerintah dari tahun 1328 sampai dengan tahun 1337 Masehi, beristana di Bedahulu.
·
Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten
atau Sri Tapolung yang
memerintah dari tahun 1337 sampai dengan tahun 1343 Masehi, beristana di Bedahulu.
IV.3.
Sri Astasura Ratna Bhumi Banten raja terakhir dinasti Warmadewa di Bali.
Raja terakhir yang memerintah di Bali pada masa
Bali Kuna adalah Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten
atau Sri Tapolung. Beliau memerintah di Bali menggantikan kedudukan Bhatara
Sri Wala Jaya Kertaning Rat.
Masa Bali Kuna
ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura Ratna Bhumi Banten yang
ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada. Pada tahun 1337 raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten atau Sri
Gajah Waktera dikenal juga dengan nama Sri Topolung mulai berkuasa di Pulau
Bali, beliau sangat bijaksana serta adil dalam mengendalikan pemerintahan dan
taat dalam melaksanakan upacara keagamaan, beliau terkenal sebagai seorang
pemberani serta sangat sakti. dalam pemerintahannya beliau mengadakan
pergantian sejumlah pejabat pemerintahan antara lain : Senapati Kuturan yang sebelumnya
dijabat oleh Ki Dalang Camok diganti oleh Ki Mabasa Sinom, Senapati
Danda yang sebelumnya dijabat oleh Ki Kuda Langkat-Langkat diganti oleh Ki Bima
Sakti.
Sang
raja juga membentuk Senapati baru, yaitu Senapati Manyiringin yang dipegang
oleh Ki Lembu Lateng. Dalam bidang keagamaan, beliau juga melakukan beberapa
perubahan seperti: pendeta Siwa untuk kerajaan yang dahulunya tinggal di
Dewastana, dialihkan ke Kunjarasana, pandita Siwa kerajaan lainnya yang sebelumnya tinggal di
Trinayana dipindahkan ke Dharmajanyar. Kedudukan Dhang Upadyaya Pujayanta
sebagai pendeta kerajaan yang sebelumnya dijabat oleh pendeta di daerah
Biharanasi diganti oleh Pendeta Dang Upadyaya Dharma.
Raja
juga membentuk badan baru pembantu raja disebut dengan Makarun Di Hyang Karamus
yang dipercayakan kepada Ki Panji Sukaningrat. Untuk wilayah Buruan dibuat 2
wakil kerajaan yang masing-masing diduduki oleh Sira Maha Guru dan Dang
Upadyaya Kangka, yang mengurus masalah pemerintahan dan spiritual di Buruan
sebagai wakil dari kerajaan. Ki Pasung Grigis diangkat menjadi Patih
Mangkubhumi, berkedudukan di Tengkulak, Patih Anom dipegang oleh Ki Kebo Iwa
atau Kebo Taruna berkedudukan di Blahbatuh.
Dalam
bidang pemerintahan, selain mengangkat Patih Mangkubhumi dan Patih Anom, raja
Bali Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten juga
mengangkat para petinggi istana yang berkedudukan sebagai Menteri dan Demung,
seperti: Menteri Ki Girikmana berkedudukan di Ularan Buleleng, Menteri Ki
Tambyak di desa Jimbaran, Menteri Ki Tunjung Tutur diangkat berkedudukan di desa
Tenganan. Ki Buwahan menjadi Menteri di desa Batur, Ki Tunjung Tutur diangkat
menjadi Pertanda di desa Tianyar, Ki Kopang menjadi Pertanda di desa Seraya, Ki
Walungsari diangkat menjadi Pertanda di desa Taro. Ki Gudug Basur menduduki
jabatan sebagai Tumenggung, Ki Kala Embang menjadi Demung, Ki Kala Gemet
menjabat sebagai Tumenggung berkedudukan di desa Tangkas, Ki Buwahan di Batur
dan Ki Walung Singkal berkedudukan di desa Taro. Demikianlah para Menteri
Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang sebagian besar diantaranya adalah
merupakan keturunan dari Ugrasena ksatria Kalingga.
Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten adalah seorang
penganut Buddha yang taat terbukti pada tahun 1338 Masehi beliau banyak
mendirikan tempat tempat suci agama Buddha. Keadaan yang berlangsung aman dan
tentram tersebut tiba tiba terancam karena sikap dari Raja Sri Astasura Ratna
Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Ratu
Majapahit Tribhuwana Wijaya Tunggadewi, meskipun beliau adalah keturunan Majapahit. Keputusan Bhatara
Sri Astasura Ratna Bhumi Banten untuk menentang Majapahit tercetus dalam rapat dengan para menterinya dimana Keputusan
tersebut akibat pengaruh dari Menteri Pertahanan (Senapati danda) yang bernama
Ki Bima Sakti.
Adapun politik pemerintah Bhatara Sri Astasura
Ratna Bhumi Banten sekarang sungguh sangat berbeda dibandingkan yang sudah
sudah, bahkan beliau sekarang bersikap membangkang dan tidak menghiraukan
perintah-perintah dari Majapahit. Karena sikap beliau tersebut maka beliau
dijuluki Raja Bedahulu, Beda artinya berbeda pendapat dan Hulu berarti atasan.
Sikap membangkang ini didengar oleh Ratu Majapahit karena itu Ratu Tribhuwana
Tunggadewi merencanakan untuk mengirim pasukan besar ke Bali dibawah pimpinan
Maha Patih Gajah Mada dan panglima Arya Damar atau Adityawarman.
Pada masa pemerintahan raja Sri Astasura Ratna
Bhumi Banten, daerah sebelah selatan Bayung dan wilayah sebelah utara Blanjong
menjadi wilayah kekuasaan dari Ki Walungsari dan Ki Walung Singkal yang
berkedudukan di desa Taro. Penduduk wilayah ini bertugas sebagai pemuja
parahyangan-parahyangan peninggalan Rsi Markandya dahulu, juga menjaga wilayah
hutan perburuan kerajaan yang terbentang sepanjang sungai Wos dan sungai Ayung.
Sepanjang aliran kedua sungai ini berdiri banyak parahyangan yang menceritakan
tentang kisah penyebaran agama Hindu di Bali yang dibawa oleh Rsi Markandhya
dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Aga. Parhyangan-parahyangan tersebut hingga kini masih berdiri kokoh dan dimuliakan oleh penduduk sekitarnya,
walaupun luas dan bentuknya sudah mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan jaman. Desa adat atau Desa Pakraman menjadi tulang punggung
dalam usaha menjaga dan melestarikan pura-pura tua di Bali.
Pura sebagai tempat suci merupakan
tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam manifestasiNya dan atau Atma Sidha
Dewata (roh suci leluhur) dengan sarana upacara yadnya dari Tri Marga. Pura
difungsikan sebagai tempat
untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya, sebagai tempat umat
mendekatkan diri dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan, sebagai tempat dialog atau komunikasi
sosial masyarakat dan tempat persaksian atas suatu aktivitas dan sebagai tempat
mengasah dan mendidik calon-calon pemimpin masyarakat.
Bersambung........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar