Kamis, 15 Desember 2016

SELAYANG PANDANG PURA MASCETI





SELAYANG PANDANG
PURA MASCETI
DESA PAKRAMAN SAYAN
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti mukti hitartwatam, prawaksyā tattwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanam, sirā ghranā stityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyam loka. Om nama dewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Ong kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah akam, janowa papā wināsayā, dirgha pramanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugerahaneng hulun, muncaranākna ikang tattwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, katkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagadhitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Sembah pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Ongkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugerahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bhuwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa pataka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugerahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.
            Pura atau kahyangan selalu dibangun di tempat-tempat yang dianggap suci seperti yang tertulis dalam kitab Tantra Samuccaya, antara lain: di Tìrtha atau Patìrthan, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai atau Campuhan. Di muara sungai, di puncak-puncak gunung atau bukit, di lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-pusat kota dan di tempat-tempat lain yang dapat memberikan suasana bahagia.
            Bernet Kempers, seorang ahli purbakala memberi julukan pulau Bali sebagai Land of One Thousand Temples, pulau dengan seribu pura. Menurut data Departemen Agama Provinsi Bali tahun 2012 di Bali terdapat 4.356 Pura Kahyangan Tiga dari setiap wilayah Desa Pakraman di Bali. Selain itu terdapat 723 buah pura kahyangan jagat dan 923 buah pura kawitan. bila ditotal keseluruhan maka jumlahnya mencapai 6.002 buah pura. Masih banyak ahli-ahli dunia memberikan julukan yang mendunia terhadap pulau Bali, sehingga Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang menggabungkan unsur alam, budaya, seni, ekonomi, sejarah menjadi satu kesatuan yang saling bertautan.


Masa Kedatangan Maha Rsi Markandhya.
Pura Masceti Sayan merupakan salah satu dari ribuan kahyangan yang ada di Bali, berdiri di tengah-tengah hamparan sawah. tepat sekali kemudian difungsikan sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Dewi Sri, yang dalam khasanah Hindu diyakini sebagai dewi kemakmuran. Pura Masceti Sayan memiliki sejarah panjang dalam pendirianya, dimulai dari masa penyebaran faham Siwa Buda di Bali pada kisaran tahun 800 Masehi. Seperti yang dipaparkan pada bagian awal, Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya penguasa kerajaan Medang di Jawa Tengah mengutus seorang Rsi dari perguruan Markandhya dan para pengikutnya untuk menyebarkan agama Hindu keseluruh Nusantara, Perjalanan Beliau dimulai pada bulan Oktober tahun 730 Masehi. Rsi yang dimaksud adalah Rsi Ing Markandhya yang kemudian dikenal di Bali dengan nama Rsi Markandhya. Perjalanan suci ini dimulai dari Gunung Wukir atau Damalung, berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi, berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang.
Pada masa ini dikisahkan sebagian besar para pengikut Rsi Markadhya pada kedatangan yang pertama membangun kuwu-kuwu atau desa-desa kecil sepanjang tepian sungai Ayung dan sungai Wos, memanjang dari utara ke selatan, diperkirakan juga menghuni berbagai tempat di daerah Sayan, terutama sekali wilayah tepian sungai yang masih sangat subur dan alami. Selain mengajarkan tentang ilmu keTuhanan maha suci beliau juga mengajarkan cara bercocok tanam yang baik. Bercocok tanam dengan penyelarasan unsur-unsur alam yang diberdayakan dengan keyakinan apabila alam harmonis akan mampu memberikan banyak hal kepada mahluk penghuninya.
Dalam usaha membangun perkampungan dan areal pertanian di desa Puwakan ini diperkirakan mulai ditata sistem organisasi pertanian di daerah Taro, Payangan, Kedewatan, Ubud juga Sayan yang dikenal dengan nama Subak hingga sekarang. Selain menata daerah beliau juga menata kehidupan spiritual Ketuhanan dalam bentuk wujud atau lambang. Setiap memulai membuka wilayah baru dilaksanakan upacara atau Wali di daerah garapan yang diyakini sebagai tempat yang paling suci untuk melaksanakan upacara. Guna mengingatkan tempat-tempat suci itu agar tetap utuh tidak beralih fungsi, maka ditandailah tempat-tempat suci tersebut dengan cara menumpukkan batu-batu atau menanam pohon-pohon suci.
Masa Kekuasaan kerajaan Kadiri.
Data tertua yang berhasil didapat adalah dengan ditemukannya kitab tua dari Cina yang berjudul Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 Masehi dan kitab tua yang berjudul  Chu-fan-chi tahun 1178 yang disusun oleh Chaujukua yang menggambarkan kehidupan sosial politik pada masa Kediri dengan sangat detail, termasuk wilayah-wilayah yang menjadi daerah kekuasaanya, termasuk Bali. Pada saat Dinasti Jin berkuasa di Cina utara disekitaran tahun 1115 sampai dengan tahun 1234 Masehi, Raja Kediri Sri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameshwara Sakala Bhuwana Tushtikarana Sarwwani Waryya Wiryya Parakrama Digjayo Tunggadewa, mendapat kunjungan 9 biksu dari Cina, mereka memperkenalkan dan menyebarkan agama Budha di wilayah Kediri dan sekitarnya. Empat orang biksu Cina tersebut melakukan perjalanan suci ke wilayah pulau Bali yang masih merupakan wilayah kekuasaan Kediri, bertujuan mencari tempat yang cocok untuk mendirikan wihara dan menyebarkan agama Budha.
Dalam tulisan tangannya yang berbahasa Cina, salah seorang dari 4 biksu yang melakukan perjalanan suci di pulau Bali bernama Biksu Cin Hoan menuturkan daerah Bali bagian tengah sudah tertata dalam kehidupan berkelompok terdiri dari hampir 50 keluarga yang mendiami lembah pegunungan yang membentang dari utara ke selatan, diapit oleh 2 buah sungai terjal. Dalam siklus 1 tahun kalender Bali selalu mengadakan ritual dengan menyembelih kerbau dan kijang. Daging dari semua persembahan itu dibagi-bagikan kepada penghuni kawasan dengan sama rata, memakai alas daun. Cara menimbangnya dengan memakai batok kelapa bertali yang dikaitkan pada sebatang bambu kecil yang bertali di bagian tengahnya. Sehingga mirip seperti timbangan untuk mencari berat yang sama antara ke dua bagiannya. Biksu Cin Hoan berkeliling dalam misinya ke kuwu-kuwu diseputaran Bali tengah, termasuk di dalamnya adalah kuwu-kuwu yang terdapat di pinggiran Kali atau Tukad. Bulan November tahun 1244 Masehi Biksu  Cin Hoan  dan beberapa biksu lain mengunjungi kuwu-kuwu sepanjang sungai Petanu, Pekerisan, Tukad Lawas, Tukad Kunggang, Tukad Mas, Tukad Wos (Woh), Tukad Ayung, Tukad Lauh, Tukad Apit, Tukad Dawa dan Tukad Tawar.
Diperkirakan oleh para ahli orang-orang Aga (gunung) tersebut membangun kuwu masih memakai tatanan satu garis lurus utara selatan atau hulu teben, dengan jalan desa sebagai garis tengahnya, sementara di kanan dan kiri jalan dibangun rumah-rumah sangat sederhana dengan bahan yang hampir seluruhnya terbuat dari balok-balok kayu hasil tebangan saat merabas hutan.  Hal itu bisa dianalisa dari tulisan Biksu Cin Hoan dan beberapa pengikutnya yang menyatakan rumah-rumah penduduk di Bali tengah diantara tahun 1200 sampai dengan tahun 1256 Masehi berupa bangunan bangunan kecil berjajar di sepanjang jalan dengan kayu-kayu sebagai dinding serta atap alang-alang yang dijalin dengan rapi. Di ujung desa atau di tengah desa ada sebuah bangunan yang agak besar memanjang, tanpa dinding bertiang 12 beratap alang-alang. Di bangunan besar inilah para penduduk berkumpul pada sore hari membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan hasil perburuan, hasil ladang, bersenda gurau sambil mengunyah sirih. Di langit-langit rumah besar tergantung berbagai hiasan dari kayu-kayu tua juga tulang-tulang binatang buruan serta beberapa pahatan-pahatan kayu yang masih sederhana. Di pojok bangunan bersandar perkakas dari besi yang ditempa berbentuk pipih memanjang. Asap mengepul dari berbagai pojok batas desa, asap ini muncul dari gundukan kayu-kayu yang dibakar penduduk dengan tujuan penandaan daerah dan dipakai juga untuk mengusir binatang buas agar tidak mendekati areal perumahan penduduk.
Semua catatan ini tersimpan rapi di sebuah kuil daerah Yunan beratus-ratus tahun lamanya, sampai kemudian diteliti oleh para ahli dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa sebagai media analisa tentang keadaan Bali pada masa itu. Dalam berbagai kesimpulan ahli didapat kesepakatan ilmiah, bahwa pada tahun itu di daerah Bali, di pinggiran kali-kali besar sudah hidup penduduk yang berbudaya dan menjalin hubungan sosial religius antara sesama penduduk, alam dan hyang atau leluhur. Kata pura atau parahyangan tidak ada disebutkan dalam semua sumber Cina tersebut. Kemungkinan yang paling mendekati adalah mereka melakukan pemujaan kepada Hyang ditempat-tempat yang dianggap sakral dan disediakan oleh alam dari sebelumnya.
Masa akhir pemerintahan Bali Kuno.
Pada masa pemerintahan raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten tahun 1337 sampai tahun 1343 Masehi yang berkedudukan di Bendulu, daerah Sayan, Kedewatan, Taro, Payangan, Ubud, Tegallalang dan wilayah sekitarnya utara Blanjong menjadi wilayah kekuasaan dari Ki Walungsari dan Ki Walung Singkal yang berkedudukan di desa Taro. Penduduk wilayah ini bertugas sebagai pemelihara parahyangan-parahyangan peninggalan Rsi Markadhya dahulu, juga menjaga wilayah hutan perburuan kerajaan yang terbentang sepanjang sungai Wos dan sungai Ayung. Sepanjang aliran kedua sungai ini berdiri banyak parahyangan yang menceritakan tentang kisah penyebaran agama Hindu di Bali yang dibawa oleh Rsi Markandhya.
Tugas khusus penduduk sebagai panghulu kahyangan dan penjaga kelestarian hutan perburuan raja disepanjang perbukitan sungai Ayung dan Wos memberikan kebebasan kepada penduduk yang mendiami wilayah itu bebas dari pajak atau root. Daerah perbukitan ini kemudian dikenal kemudian dengan nama Sima atau Swatantra yang berarti wilayah Desa, Perdikan atau Kuwu. Pajak yang dibebaskan itu meliputi root ing huma atau pajak sawah basah, root ing parlak atau pajak sawah kering, root ing mmal atau tegalan dan root ing kbwan atau pajak ladang. Daerah sebelah selatan campuhan menjadi satu daerah swatantra dengan nama Swatantra Di Campuh, masih menjadi bagian dari Banwa Taro.
Struktur organisasi Swatantra Di Campuh terdiri dari Hulu Swatantra disebut Basta, juru tulisnya disebut dengan nama Tayung dibantu oleh jabatan-jabatan yang lebih rendah seperti Hulu Lapu atau Kuncang, Kulapati atau Sadhyaguna Maghana, Gansar dan Rahit. Para Pang-Hulu inilah yang bertanggung jawab terhadap Swatantranya sekaligus sebagai penyambung keinginan penduduk Swatantra dengan  Hulu Banwa di Taro. Pada setiap bulan Caitra, yaitu antara bulan Maret-April para Pang-Hulu Swatantra Di Campuh menghadap ke Hulu Taro untuk mempersembahkan Root Ing Banyu atau pajak sumber air Wos dan Ayung sebesar 2 Masaka.
Kebudayaan Jawa sudah masuk di wilayah Bali tengah pada masa ini diakibatkan dari pengaruh kerajaan Singasari yang berkuasa di Jawa Timur mulai tahun 1272 hingga tahun 1292 Masehi. Perlahan tapi pasti bahasa Bali Kuno tergeser penggunaannya oleh bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Wilayah ini selain berpusat pemerintahan ke adipati Walung Sari dan Walung Singkal di Taro juga berhulu agem ke Giriya Siwa Air Gajah disekitar wilayah Goa Gajah sekarang. Penduduk yang melakukan ritual di Prasada atau candi atau parahyangan selalu memohon petunjuk Giriya Air Gajah Bedulu, khusus untuk upacara-upacara yang bersifat sangat besar. Untuk upacara upakara yang bersifat kecil kebanyakan dipimpin oleh Hulu-agem yang diangkat oleh penduduk Swatantra, atas persetujuan dari Demung.
Penduduk Swatantra Di-Campuh kebanyakan yang bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang serta pengrajin alat-alat rumah tangga, seperti gerabah, alat-alat pertanian dan alat-alat pertukangan. Mereka menepati rumah-rumah panggung yang berjajar ditepian sungai dengan masing-masing kepala keluarga dikenal dengan nama Hulu-Bah berkedudukan paling berpengaruh di dalam satu keluarga besar yang mendiami rumah-rumah panggung tersebut. Seorang Hulu-Bah membawahi 10 hingga 20 jiwa, terdiri dari orang tua, paruh baya, remaja dan anak-anak.
Pertanian di wilayah Swatantra Di-Campuh sudah cukup berkembang dengan adanya pengangkatan pejabat kepala pengairan yang disebut Makahaser oleh pejabat di Hulu-Taro. Jabatan Makahaser itu diperkirakan sebagai jabatan Pekaseh atau Sedahan sekarang. Makahaser bertugas sebagai pengantar penduduk membawa bukti panen ke petugas kerajaan di Taro. Iring-iringan pejalan kaki yang membawa berbagai hasil panen dan hasil perternakan dari Swatantra Di-Campuh menyusuri tepian sungai Wos menuju Taro. Hasil panen itu berupa padi, gaga, trisana atau kelapa, hano atau enau, tingkir atau kemiri, kapulaga, talas, pipakan atau jahe, bawang merah bawang putih, pusang atau pinang, hartak atau kacang ijo, kapas dan kapir atau kapuk.
Sebagian bukti ini dipikul sebagian lagi dijinjing dan digotong dengan memakai bilah bambu kecil-kecil dijalin sehingga membentuk seperti tikar yang digulung. Digulungan bambu bagian atas ditusukkan bambu yang panjang sebagai alat pikul oleh dua orang lelaki paruh baya yang kekar dan berotot. Wanita-wanita muda yang lincah menjinjing dan memikul anyaman daun enau yang berbentuk seperti keranjang tempat membungkus rempah-rempah dan beras. Iring-iringan penduduk penduduk dari satu swatantra biasanya akan bertemu dengan iring-iringan penduduk swatantra yang lain sepanjang perjalanan kemudian bergabung membentuk barisan yang mengekor hingga sampai di Bale Bang.
Prosesi ini terus berlangsung sebagai bentuk wujud bakti para penghuni swatantra kepada yang dirajakan, pada akhirnya persembahan atau bukti ini sebagian besar dipakai sebagai biaya dalam memelihara berbagai prasada atau kahyangan kerajaan. Sebagian kecil dipakai sebagai gaji para pejabat dan biaya hidup raja serta para bangsawan. Penduduk Swatantra membagi peruntukan tanah pertanian menjadi 2 janis, yaitu lahan kering dan lahan basah. Banyak istilah yang dipakai untuk jenis-jenis tanah garapan yang merupakan tanah milik raja, antara lain Mmal atau Tegal, Huma adalah tanah yang dipakai sebagai tempat menanam padi gaga, Parlak atau ladang, Sawah, kebuan atau kebun dan Padang yang merupakan areal luas berupa tegal yang ditumbuhi rumput-rumput.
Pada masa ini sudah dikenal undagi pengarung yang bertugas untuk membuat trowongan air, sudah pula dikenal nama Dawuhan atau bendungan, kata Sawah, Tembuku, Makahaser, Kilan dan Kasuwakan. Oleh para akhli, Kasuwakan inilah yang merupakan cikal bakal Subak di Bali yang diwarisi hingga sekarang.
Masa Peralihan Majapahit.
Masa Peralihan ini dimulai saat politik di Jawa demikian panas, kerajaan Majapahit berkembang dengan sangat pesat. Ratu Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani yang menjadi ratu dari tahun 1328 hingga tahun 1351. Sebelum menjadi ratu Majapahit menggantikan Jayanegara, beliau bernama Dyah Gitarja berkedudukan sebagai Bhre Kahuripan. Berdasarkan kitab Pararaton, Ratu Tribhuwana memerintah di Majapahit didampingi oleh suaminya yang bernama Kertawardhana. Gajah Mada yang diangkat sebagai Patih Amangkubhumi di Majapahit pada tahun 1334 Masehi mendampingi pemerintahan sang Ratu.
Mahapatih Gajahmada mengucapkan Sumpah Palapa, yang isinya tidak akan menikmati makanan enak sebelum berhasil menaklukan seluruh kepulauan Nusantara dibawah panji-panji kebesaran Majapahit. Dalam Lontar Kidung Pamancangah, Ratu Majapahit mengerahkan kekuatan 30.000 prajurit yang yang dibagi menjadi 2 dalam menaklukan Bali, setengah menyerang dari utara dipimpin oleh Arya Damar, sebagian lagi menyerang dari pantai selatan dipimpin oleh Mahapatih Gajamada. Dalam penyerangan ini turut pula para Arya, tidak diceritakan sepanjang pertempuran yang berlangsung selama 7 bulan, akhirnya Bali takluk kepada Majapahit pada tahun 1343 Masehi. Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog ditugaskan untuk tinggal di Bali memimpin Bali untuk sementara waktu.
Mpu Jiwaksara ditugaskan di pusat kota sebagai wakil sementara, untuk tugas ini Sang Mpu diberi gelar Patih Ulung. Akan tetapi Bali belum bisa ditenangkan, sering terjadi gejolak antara orang Bali dengan para Arya yang berkuasa. Pemberontakan Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur membuat Bali semakin mencekam. Pada tahun 1350 Masehi Ki Patih Ulung, Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan menghadap ke Majapahit melaporkan situasi di Bali dan memohon kepada Sang Ratu agar menunjuk seorang Raja untuk Bali.
Ratu Tribhuwana kemudian menunjuk Ida Ketut Kresna Kepakisan untuk menjadi Adipati Bali. Beliau merupakan putra dari penasehat kerajaan Majapahit yang bernama Dang Hyang Soma Kepakisan. Seorang Brahmana utama yang memahami seluruh isi tattwa agama dan sangat masyur tentang kebijaksanaannya. Pada masa peralihan, antara tahun tahun 1343 sampai dengan tahun 1350 Masehi keadaan swatantra menjadi tidak terurus dengan baik, termasuk Swatantra Di-Campuh. Walaupun penduduk masih menjalankan kegiatan mereka seperti biasa, bercocok tanam, berternak dan berdagang, tetapi kehidupan mereka secara pemerintahan tidak teratur. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya, sering juga terjadi berbagai permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik, sehingga menimbulkan pertentangan diantara para tetua swatantra. Terutama dalam bidang pembagian air untuk pertanian tidak jarang menjadi perselisihan berakhir dengan perkelahian diantara para petani.
Keamanan swatantra juga mulai terusik dengan mulai munculnya para pencuri dan begal, terutama pada masa-masa sesudah panen. Para begal seringkali juga melakukan kekerasan bahkan pembunuhan saat menjalankan aksinya. Para petani tidak tenang meninggalkan rumah dan keluarganya untuk bertani, pada pedagang enggan berdagang keluar swatantra, para peternak sibuk menjaga ternak-ternak mereka hingga tidak berani mengembala ternaknya jauh dari perkampungan.
Selama kurun waktu hampir sepuluh tahun keadaan seperti itu dialami oleh para penghuni swatantra Di-Campuh. Hilang senyum dan senda gurau para penduduk, lenyap nyanyian indah romantis anak-anak yang menginjak usia remaja juga canda tawa bocah dihalaman rumah tidak pernah terdengar lagi. Yang tersisa hanya wajah-wajah kaku penuh kekhawatiran,  Swatantra menjadi seperti tempat yang sangat menakutkan bagi penghuninya sendiri.
Binatang dan pepohonan juga seperti enggan membagi kebahagiaan dengan para penduduk, Binatang peliharaan kurus, sakit-sakitan dan banyak yang mati tanpa sebab. Tanaman penduduk kerdil, mengering dan layu, bunga-bunga layu sebelum berbunga. Keadaan menjadi semakin menyedihkan. Demikian sisi penggambaran suasana swatantra Di-Campuh pada masa pertengahan, masa antara kehancuran kerajaan Bedahulu hingga berdirinya kerajaan Samprangan.
Masa Kekuasaan Samprangan.
Pada suatu hari yang baik di tahun 1350 Masehi, merapat sebuah kapal besar dari Majapahit di pantai Lebih, pesisir selatan Bali. Kapal kerajaan ini membawa Sri Kresna Kepakisan beserta para bangsawan Majapahit dan Kediri yang yang gagah perkasa dan berilmu sangat tinggi. Sri Kresna Kepakisan diperintahkan sebagai penguasa tunggal Bali sebagai Adipati. Penduduk Bali mengenal beliau sebagai Dewa Tegal Besung atau Dewa Wahu Rawuh. Dari Lebih rombongan itu kemudian menuju arah timur laut dan dengan segera membangun kraton di Samprangan. Sebagai pendamping beliau dipilih Sri NarArya Kresna Kepakisan berkedudukan Patih Agung. Ki Patih Ulung diangkat menjadi Mangku Bhumi juga berkedudukan di Samprangan.
Sri Kresna Kepakisan memerintah di Bali dengan bekal pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris pusaka yang bernama Ki Ganja Dungkul. Beliau mempunyai dua orang istri, Ni Gusti Ayu Gajah Para dan Ni Gusti Ayu Kutawaringin. Dari istri pertama beliau mempunyai 4 orang putra-putri, antara lain Dalem Wayan atau Dalem Samprangan, Dalem Dimadya atau Dalem Tarukan, putri bernama Dewa Ayu Wana yang meninggal remaja dan Dalem Ketut atau Dalem Ngulesir. Dari istri kedua, beliau mempunyai putra bernama I Dewa Tegalbesung.
Perubahan besar terjadi pada masa beliau memerintah, kedudukan dan wewenang para bangsawan Bali kuno digeser oleh para Arya dari Jawa, baik Arya yang sudah menetap lebih dahulu maupun Arya yang menyertai beliau datang ke Bali. Sehingga dalam masa pemerintahan beliau hampir seluruh wilayah Bali sudah ditempatkan para Arya sebagai petugas kerajaan Samprangan yang sangat setia kepada  Sri Kresna Kepakisan sebagai wakil dari Majapahit di Bali.
Para Arya itu antara lain: Arya Kenceng berkedudukan di Tabanan, Arya Kanuruhan di Tangkas, Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belog di Kaba Kaba, Arya Pangalasan, Arya Manguri, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Arya Tumenggung di Petemon, Arya Kutawaringin di Toya Anyar Klungkung, Arya Beleteng di Pacung dan Arya Sentong Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti, Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang Mataram bertempat tinggal tidak menetap, Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem. Sementara Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cagahan.
Demikian banyak jumlah Arya yang disebar di seluruh Bali untuk mengamankan wilayah-wilayah pegunungan, terutama wilayah-wilayah yang berjarak jauh dari kotaraja Samprangan. Wilayah Swatantra Di-Campuh bagian utara berada dalam wilayah kekuasaan Arya Sentong yang berkedudukan di Pacung, sementara setengah bagian selatan berada dalam wilayah kekuasaan Kryan Punta di Mambal. Dengan demikian hubungan ke wilayah Taro yang terbangun dari ikatan pemerintahan Bali Kuno menjadi putus. Sementara rasa tidak puas penduduk Bali terhadap cara pemerintahan para Arya banyak yang melakukan pemberontakan yang bersifat kecil, terdiri dari letupan-letupan emosi penduduk swatantra yang bergabung mengangkat senjata. Gejolak terjadi di Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Pemberontakan yang bersifat kedaerahan itu berhasil dipadamkan oleh pemerintah, konon setelah memohon petunjuk ke Majapahit dan Adipati Bali mendapat anugerah berupa simbol-simbol kerajaan, pakaian kebesaran dan keris pusaka yang bernama Ki Lobar. Raja merupakan pemegang otoritas politik tertinggi, didampingi oleh dewan penasehat raja yang bernama Pahem Narendra yang beranggotakan para kerabat raja yang dinilai sangat ahli dalam berbagai bidang. Dalam bidang keagamaan, raja dibantu oleh dewan pertimbangan yang bernama Dharma Dhyaksa terdiri dari 3 kelompok ajaran, Siwa Bodha dan Bhujangga atau Kasaiwan, Kasogatan dan Kabhujanggan. Dari sinilah muncul istilah Sang Trini yang diakui oleh kerajaan Samprangan sebagai guru jagat.
Masa Kekuasaan Gelgel.
Sri Kresna Kepakisan berpulang ke alam Wisnuloka pada tahun 1373 Masehi, digantikan oleh putranya yang bernama Dalem Wayan atau Sri Agra Samprangan. Beliau melanjutkan pemerintahan pendahulunya dengan kraton masih di Samprangan. Karena dianggap tidak cakap dalam memimpin Bali, beberapa bangsawan kerajaan yang diprakarsai oleh Kyai Klapodyana kemudian  membujuk Dalem Ketut Ngulesir menjadi raja dengan kraton baru di Gelgel dengan nama kraton Sweca Lingga Arsa Pura. Setelah abhiseka bergelar Sri Semara Kepakisan. Sebagai patih agung diangkat Kyai Gusti Arya Petandakan menggantikan ayahnya, Pangeran Nyuhaya yang sudah mangkat. Sri Semara Kepakisan yang berkuasa mulai dari tahun 1380 hingga tahun 1460 Masehi pernah menyelenggarakan upacara penghormatan terhadap arwah para raja Bali Kuno di pura Tegeh Kahuripan atau Pura Bukit Penulisan dan mendirikan Pura Dasar Bhuwana di Gelgel sehingga mampu menarik hati masyarakat Bali. Beliau juga tercatat sebagai satu-satunya penguasa Bali yang pernah menghadap ke Majapahit pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk.
Masa keemasan Bali terjadi pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang memerintah dari tahun 1460 sampai dengan 1550 Masehi. Bali berdaulat penuh dan menguasai wilayah Pasuruwan, Blambangan, Lombok dan Sumbawa. Patih Agung Gelgel dijabat oleh Kryan Batanjeruk yang merupakan putra dari Kyai Petandakan. Kedatangan Dhang Hyang Nirartha sebagai Bhagawanta Gelgel membuat Bali semakin bersinar. Beliau yang memimpin upacara Eka Dasa Ludra di Besakih bersama dengan Dang Hyang Astapaka. Dalem Waturenggong mangkat pada tahun 1552 meninggalkan 2 putra yang masih sangat belia I Dewa Pamahyun atau Dalem Bekung dan I Dewa Anom Dimade atau Dhalem Sagening.
Dalem Bekung yang masih sangat belia menjadi pelanjut tahta Gelgel dari tahun 1550 hingga tahun 1580 Masehi. Akan tetapi urusan pemerintahan dipegang oleh Kryan Batanjeruk beserta paman-pamanya. Karena keinginannya berkuasa sangat besar Kryan Batanjeruk melakukan pemberontakan bersama dengan I Dewa Anggungan, I Gusti Tohjiwa dan I Gusti Pandhe Basa yang merupakan putera dari pangeran Dauh Penulisan. Kyai Kebontubuh dan Kryan Manginte dari Kapal kemudian berhasil menumpas pemberontakan Kryan Batanjeruk yang tewas di Bungaya atau Jungutan pada tahun 1556 Masehi, ikut terbunuh I Gusti Tohjiwa. I Dewa Anggungan diturunkan kebangsawananya, sementara I Gusti Pandhe Basa tewas kemudian pada pemberontakan berikutnya yaitu pada tahun 1578 Masehi. Dalem Bekung memutuskan untuk membangun puri dan menetap di daerah Kapal.
Tahun 1580 Dhalem Sagening diangkat sebagai raja menggantikan kakaknya. Jabatan patih agung dipegang oleh putra dari I Gusti Agung Manginte yang bernama I Gusti Agung Widia atau I Gusti Agung Maruti. Jabatan Demung dipegang oleh I Gusti Di Ler Pranawa. Dalem Sagening yang memerintah dari tahun 1580 hingga tahun 1665 Masehi mempunyai banyak putra yang beliau tempatkan diberbagai daerah dengan jabatan Anglurah. Selanjutnya I Dewa Anom Pemahyun naik tahta menggantikan ayahnya yang mangkat karena usia. Akan tetapi beliau kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama I Dewa Dimade, beliau sendiri memilih menyerahkan tahta Gelgel kemudian mengungsi dan berpuri di Purasi Karangasem. Dari Purasi beliau kemudian menuju Desa Temega bersama putranya yang bernama I Dewa Anom Pamahyun Dimade.
I Dewa Dimade menjadi raja dengan waktu yang sangat singkat, akibat digulingkan oleh pemberontakan I Gusti Agung Maruti yang berhasil menduduki kraton Gelgel. Dalem mengungsi menuju Desa Guliang Bangli bersama dengan putranya yang bernama I Dewa Jambe. Pengungsian itu diiringi oleh rakyat sebanyak 300 orang, sementara I Dewa Pamayun sudah lebih dahulu berpuri di Tampaksiring.
I Gusti Agung Maruti mengangkat diri menjadi pemimpin di Gelgel dengan masa berkuasa mulai dari tahun 1686 sampai dengan 1705 Masehi. Para Anglurah yang dulunya berada dalam kekuasaan Gelgel satu persatu kemudian melepaskan diri dan menyatakan diri berdaulat dan membangun Kerajaan sendiri di wilayahnya. Selama pemerintahan Maruti muncul kerajaan-kerajaan baru seperti Mengwi, Gianyar, Klungkung dan Sukawati.
I Gusti Agung Maruti melarikan diri dari Gelgel setelah diserang oleh pasukan gabungan, Denbukit, Badung dan Singharsa dibawah pimpinan I Dewa Agung Jambe dan Anglurah Singharsa. Pelarian Patih Agung menuju Jimbaran, Badung, Kapal dan berakhir di Kuramas atau Keramas Gianyar. Beberapa sumber sejarah menyebutkan hal yang berbeda tentang pelarian Patih Agung Gelgel ini. menurut data KITLV, Coll. De Graaf: Tahun 1687 surat resmi Dewa Agung Klungkung sampai di Batavia yang memperkenalkan diri sebagai raja baru di Bali, setelah berhasil menumpas pemberontakan I Gusti Agung Maruti yang dinyatakan tewas oleh Lurah Batu Lepang, yang melarikan diri dari Gelgel dengan pengiring 1200 orang sementara 4 orang cucu dari Gusti Agung ditahan di Klungkung.
Pada Masa pemerintahan Gelgel ini yang berlangsung mulai tahun 1380 sampai dengan 1705 terjadi perubahan yang sangat besar di daerah-daerah kekuasaan Gelgel. Nama Banua mulai berubah menjadi Desa yang terdiri dari sub bagian yang lebih kecil dengan nama Banjar. Eksodus atau perpindahan penduduk selama kurun waktu ini terjadi dalam jumlah sangat banyak dan bersifat dinamis. Hal ini terjadi akibat dari penggerakan rakyat yang dilakukan oleh raja, bangsawan atau para pemuka masyarakat yang membuka wilayah baru untuk perluasan pemukiman. Khusus untuk wilayah desa-desa Bali Kuno, raja menempatkan satria atau Arya yang mempunyai kemampuan tinggi, serta yang utama mempunyai kaitan darah dengan para Arya Bali, sehingga kedatangan mereka bisa diterima sebagai anggota keluarga.
Masa Kekuasaan Mengwi.
I Dewa Agung Jambe atas restu dari kakak beliau kemudian membangun kraton di Klungkung dengan nama Kraton Smarapura yang selesai dibangun pada tahun 1710 Masehi. I Dewa Agung Jambe berkuasa mulai tahun 1705 sampai tahun 1775 Masehi, mempunyai 3 orang putra: Dewa Agung Dimade, Dewa Agung Anom Sirikan dan Dewa Agung Ketut Agung. Dewa Agung Made kemudian menjadi Raja Klungkung II, Dewa Agung Anom Sirikan mendirikan puri di Timbul, menurunkan generasi Sukawati sementara Dewa Agung Ketut Agung berpuri di Gelgel sebagai punggawa kerajaan Klungkung. Dihentikan untuk sementara kisah tentang Kraton Smarapura.
Pada masa ini muncul beberapa kekuatan baru para Arya yang membentuk Negari kecil atau kerajaan kecil. Akibat dari penguasaan Gusti Agung terhadap kraton Gelgel. Salah satu Negari yang sangat kuat adalah Mengwi, Raja pertama Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu dikabarkan mendapatkan anugerah dari Ida Bhatara yang melinggih di Gunung Mangu dan berbekal banyak pusaka sakti membawa Mengwi menjadi penguasa wilayah yang sangat luas. Menurut Babad Kaba-kaba sekitar tahun 1686 Masehi wilayah kekuasaan Mengwi meliputi Kaba-kaba, Marga batas barat sampai sungai Yeh Panah. Batas Selatan Sampai Bukit Jimbaran, termasuk Pura Luhur Uluwatu. Batas timur sampai Sungai Petanu, batas utara sampai Gunung Beratan. Bahkan Mengwi yang beribukota kerajaan bernama Kawyapura ini juga menguasai wilayah Blambangan di Jawa Timur. Banyak juga wilayah-wilayah lain di Bali yang menjadi daerah kekuasaan dari kerajaan Mengwi.
Daerah Sayan memasuki babak baru, sebagai wilayah dari kerajaan Mengwi bagian timur. Pemerintahan Mengwi yang sangat mengandalkan hasil sawah dan kebun dalam menopang kerajaan, membangun banyak saluran irigasi bagi wilayah-wilayah yang dikuasai. Banyak Dam atau bendungan yang dibangun dalam usaha mensejahterakan masyarakat, saluran-saluran irigasi dibangun dan ditata dengan baik sehingga wilayah-wilayah dalam kekuasaan kerajaan Mengwi memiliki sawah-sawah dan tegalan yang subur serta menghasilkan bahan pangan sangat berlimpah. Keseriusan pemerintahan dinasti Mengwi dalam membangun wilayah pertanian membuat kerajaan ini sangat cepat berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dan kuat berkisar antara tahun 1736 hingga tahun 1767 Masehi.
Menurut Henk Schulte Nordholt, selain membangun banyak sekali bendungan, dinasti Mengwi juga menepatkan para Bangsawan Mengwi di daerah-daerah kekuasaanya seperti yang tampak pada gambar di atas. Mengwi memiliki 3 aliran sungai besar sebagai pokok irigasi, antara lain Sungai Sungi, Sungai Penet dan Sungai Ayung. Blahbatuh, Kengetan dan Sayan adalah wilayah bagian paling timur dari kekuasaan Mengwi.
Tanah pertanian di wilayah sekitar Sayan, Singakerta dan Tebongkang mengandalkan irigasi dari Dam Sayan yang dibangun pada awal pemerintahan Mengwi terletak di perbatasan antara desa Kedewatan dan Lungsyakan. Masyarakat sangat memuliakan air, seperti juga ditulis dalam Canakya Nistisastra yang menyatakan air termasuk salah satu dari tiga ratna permata di bumi selain makanan dan kata-kata yang baik. Air sebagai pemberi kehidupan membuat masyarakat harus mengelolanya dengan baik. Konsep pengelolaan air yang dilakukan di seluruh wilayah pertanian Mengwi dilaksanakan dengan dua cara, dengan cara sekala dan niskala. Upaya memelihara air secara sekala dilakukan oleh masyarakat dengan banyak menanam pohon-pohon besar, membersihkan saluran irigasi dan mengelolanya dalam sebuah organisasi adat yang disebut dengan Subak. Dalam konsep sekala, masyarakat berbagai lapisan mempercayai dan meyakini bahwa air merupakan anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada umatnya,dianugerahkan untuk modal utama kehidupan manusia. Anugerah ini kemudian melahirkan rasa terima kasih kepada Beliau dalam berbagai bentuk.
Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu memerintahkan para pengikutnya di seluruh wilayah kekuasaan Mengwi untuk membangun banyak pura khusus yang difungsikan sebagai tempat memuja Tuhan yang melimpahkan air dan kesuburan. Menurut R Gorris, setiap wilayah organisasi pengairan yang bersumber langsung atau tak langsung dari sebuah danau disebut dengan Pura Dugul, dalam wilayah lain dikenal sebagai Pura Ulun Siwi, untuk pemuliaan disatu buah bendungan dibangun Pura Empelan dan setiap organisasi Subak selalu dibangun Pura Subak. Pada awalnya Dam dan bendungan di daerah Sayan dikenal dengan nama Tamwak Sayan atau Dawuhan Sayan yang dipakai sebagai sumber irigasi dari subak-subak disekitar Sayan. Hasil bumi yang berkelimpahan itu semakin membuat masyarakat bersemangat dalam mengerjakan tanahnya yang subur.
Tahun 1708 raja Mengwi yang sebelumnya bernama I Gusti Agung Putu menyadang gelar I Gusti Agung Made Agung Bima Sakti atau Cokorda Sakti Blambangan gelar lainnya. Beliau dikenal sangat sakti atau Mangueng dalam Bahasa Bali, sehingga diyakini dari kata Mangueng menjadi Mengwi hingga sekarang.
Raja Mengwi I Gusti Agung Made Agung Bima Sakti selain ahli dalam berbagai siasat perang dan ilmu ketata negaraan juga mempunyai kemampuan yang tinggi dalam bidang spiritual, beliau banyak mendapatkan anugerah pusaka-pusaka bertuah dari hasil semadinya. Pada hari-hari yang baik beliau selalu bersemadi ke pura-pura tua untuk memohon petunjuk dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai upaya mnemperbaiki tatanan pemerintahan kerajaannya. Pada awal bulan Maret tahun 1710 dalam perjalanan sucinya menuju Keramas beliau beserta purahita dan para pengiring beristirahat di Puri Bun yang terletak diantara wilayah Sibang Penarungan dan Mambal. Menjelang sore hari para pemimpin wilayah sekitar Sibang datang untuk menghadap beliau di Puri Bun. I Gusti Agung Made Agung duduk di atas kursi kayu berukir berbagai patra berbusana kebesaran berwarna merah muda yang dirajut dengan benang emas berbentuk ukiran yang indah, kain cepuk sari, bergelang kaki dan tangan yang kesemuanya terbuat dari mas dihiasi berbagai permata mulia. Tangan kiri sang raja memegang keris pusaka Mengwi yang dikenal dengan nama Ki Bintang Kukus juga berbalut emas dan berhias permata utama yang cemerlang.
Di sebelah kiri beliau, juga di atas kursi kayu berukir patra duduk purohita beliau dari Giriya Denkayu yang bernama Ida Pedanda Sakti Bukian, berpakaian serba putih dari sutra pilihan berjubah kuning yang juga dihiasi oleh rajutan benang emas. Dalam usia yang cukup tua masih nampak gurat-gurat ketampanan beliau dengan wajah sangat tenang meneduhkan, tongkat panjang terbuat dari kayu areng di ujungnya berhiasan permata besar dengan hiasan emas disekelilingnya dipegang di tangan kanan.
Dilantai duduk para penghadap beralaskan tikar, masing-masing menghadap tempat duduk raja dengan posisi duduk hampir tertekuk memandang tikar. Suasana hening sampai saat masing-masing penghadap diberikan waktu untuk berbicara. Dimulai dari utusan Desa Mambal, Penarungan, Sibang, Bongkasa, Sayan, Kengetan dan Blahbatuh. Utusan dari Sayan terdiri dari 3 orang tetua desa yang menghadap dan melaporkan situasi desa Sayan yang sedang dalam kesulitan. Hasil pertanian menurun jumlahnya karena aliran air dari Dam Sayan semakin kecil juga karena adanya serangan hama tikus yang menjadi-jadi, sehingga banyak petani yang mengalami gagal panen.
Berdasarkan petunjuk dari purohita kerajaan, raja kemudian memerintahkan untuk membangun parahyangan di areal tengah sawah sebagai tempat memuliakan Ida Bhatari Ulundanu dan Bhatari Sri. Pengerjaan parahyangan ini agar dilakukan oleh penduduk desa Sayan dibantu oleh penduduk desa Mambal, Penarungan, Sibang, Bongkasa, Kengetan dan Blahbatuh. Tidak dikisahkan kelanjutan dari penghadapan para pemimpin desa tersebut. Segera kemudian dilaksanakan pembangunan parahyangan di tempat yang diperintahkan raja, segala jenis bentuk dan letak prasada atau palinggih di kahyangan berdasarkan petunjuk dari purohita Mengwi. Batu padas disusun dengan rapi membentuk prasada yang mendekati bentuk candi-candi, dipenuhi dengan ornamen indah serta patung-patung yang melambangkan kemakmuran. Tidak diketahui dengan pasti berapa lama proses pengerjaan parahyangan yang dilaksanakan oleh gabungan penduduk desa.
Sebuah catatan Kolonial yang dilaporkan oleh De Graaf Daghregister tanggal 29 Juli tahun 1710 Gusti Agung dari Mengwi menghadiri upacara besar berkaitan dengan peresmian sebuah Pura Subak di ujung timur kekuasaan Mengwi yang terletak tidak jauh kehilir dari Dam Sayan, dipimpin oleh purohitanya yang bernama Ida Pedanda Bukian. Dari catatan ini bisa diyakini bahwa pada tanggal tersebut adalah upacara besar pertama yang dilaksanakan di pura Masceti Sayan. Tidak ada data yang menerangkan seberapa besar upacara yang dilaksanakan pada saat itu, akan tetapi dengan hadirnya Raja Mengwi pada prosesi upacara dapatlah ditarik kesimpulan bahwa upacara yang dilakukan tergolong upacara yang besar.
Setelah upacara besar tersebut berlangsung, petani desa Sayan dan sekitarnya merasakan hal baik terjadi pada hasil panen mereka, padi menghasilkan sangat banyak, pisang, kacang-kacangan, sayuran dan palawija yang lain berlimpah. Seorang pengamat Sosial politik barat yang bernama Pierre De Bois menuliskan tentang keberhasilan dinasti Mengwi membangun sebuah kekuatan besar yang menopang kemegahan kerajaan Mengwi yang salah satunya dengan membangun kekuatan pertanian yang handal dengan mencetak sawah-sawah, irigasi dan bendungan. Mengikat kepercayaan masyarakat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan sinar sucinya yang bersemayam di pura-pura swagina, diantaranya Pura Mlanting bagi para pedagang, Pura Segara bagi para nelayan dan Pura Masceti, subak, Empelan, Dugul dan pura Sang Hyang Tegal bagi para petani basah dan kering. Semua yang berstana dipura-pura tersebut lebih dikenal dengan sebutan Dewi atau Dewa yang merupakan putra-putri dari Ida Bhatara yang berlingga di Besakih, Batur, Mangu, dan Gunung, Bukit lain yang diyakini sebagai linggih para Dewa.
Karena fungsi pura Masceti sebagai tempat memuliakan Dewi Kemakmuran dalam setiap upacara piodalannya kemudian dilaksanakan ritual Ngusaba Tipat atau Perang Tipat. Ritual ini bermakna sebagai wujud rasa syukur para petani terhadap berkah yang telah dilimpahkan Ida Batara Masceti berupa kesuburan dan berkah yang melimpah. Nama Masceti menurut Jero Mangku Pura Masceti Gianyar, terdiri atas dua suku kata, yakni Mas atau sinar dan Ceti yang berarti keluar masuk, beliau mengartikan sebagai tempat dimana terjadinya pergerakan sinar berkemilau seperti emas yang kadang nampak kadang tidak. Dalam naskah babad Raja Purana I Gusti Agung Maruti, yang tersimpan di Puri Keramas, juga menceritakan sekilas tentang nama Masceti yang merupakan hasil dari pawisik Hyang Embang dalam semadinya di Cawu Rangkan atau Jimbaran, disebutkan berasal dari kata Mas yang artinya sinar kekuningan dan ceti yang berarti kilatan. Para peneliti aksara kata Jawa Kuno menemukan dalam buku Kamus Jawa Kuno Karya P.J Zoetmulder dan S.O. Robson, kata Masceti berasal dari 3 kata yang masing-masing: Mas yang artinya Sinar berkilau berwarna kuning, Cet yang artinya bergerak sangat cepat dan I sebagai hurup suci Hyang Widhi. Penggabungan dari ketiga kata itu berarti bebas: sinar suci Ida Sang Hyang Widhi berkilat berkemilau ditempat yang utama. Sinar berarti anugerah yang berlimpah, seperti halnya kesuburan yang hanya bisa tercipta oleh anugerah Beliau. Setiap ahli bahasa Jawa Kuno pasti memiliki definisi tersendiri yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lainnya. Tetapi hampir semua sepakat bahwa Pura Masceti adalah pura Swagina yang difungsikan sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi beliau sebagai dewa kesuburan dan kemakmuran.

Masa Kekuasaan Sukawati dan Ubud.
Pada sekitar tahun 1713 wilayah sebelah timur Sungai Ayung dipersembahkan oleh Raja Mengwi kepada I Dewa Agung Klungkung sebagai bukti Mengwi mengakui I Dewa Agung Klungkung sebagai penguasa Bali. Oleh I Dewa Agung Klungkung wilayah tersebut dianugerahkan kepada putra beliau yang bernama I Dewa Agung Anom yang kemudian mendirikan Kerajaan Sukawati dengan  nama abhiseka Sri Aji Maha Sirikan, atau Sri Aji Wijaya Tanu atau dikenal oleh masyarakat sebagai Dhalem Sukawati. Dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, Sungai Pekerisan sebagai batas wilayah timur, Pantai Gumicik sebagai batas selatan, Sungai Ayung sebagai batas barat, dan pegunungan Batur sebagai batas utara, seperti yang tertuang dalam pustaka Babad Timbul, Babad Durmanggala dan babad-babad yang lain.
Sayan sebagai wilayah kekuasaan paling ujung barat dari kerajaan Sukawati yang baru berdiri, tentunya pada awal-awal perpindahan kuasa masih mempunyai ikatan secara emosional dengan Mengwi juga desa-desa di tepian barat sungai Ayung. Pertukaran dan eksodus penduduk masih sering terjadi antara penduduk Mengwi dan Sukawati. Ikatan darah dari keturunan masing-masing seperti jalinan akar beringin yang saling kait satu dengan yang lainnya. Banyak juga terjadi perpindahan penduduk yang berasal dari daerah Bongkasa, Carangsari, Penarungan, Mambal dan Sibang yang kemudian menetap di wilayah sekitar Kedewatan, Sayan, Singakerta dan Kengetan.
Laporan politik dan budaya J. Moser 1808 banyak menuliskan tentang berbagai kegiatan politik yang terjadi disekitar wilayah bekas kekuasaan Mengwi diantaranya adalah wilayah-wilayah perbatasan yang masih berstatus abu-abu seperti halnya Kedewatan, Sayan dan Kengetan. Terutama sekali dengan kegiatan-kegiatan ritual yang diadakan, wiku yang menjadi pemimpin upacara dan undangan yang bersifat sangat khusus menandakan hirarki kekuasaan secara tak langsung. Pajak dan upeti seperti menjadi bagian yang tidak terlalu penting bagi penguasa dalam kaitan ikatan ritual dan upacara-upacara keagamaan. Seperti pada upacara yang diadakan di pura Masceti Sayan pada tanggal 21 Desember 1751, setelah panen besar yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan sangat megah. Utusan Dewa Gde Mayun dari Puri Sukawati menjadi tamu kehormatan dan mendapatkan tempat duduk yang setara dengan wiku pemuput yang saat itu dipercayakan kepada Ida Pedanda Mambal.
Masa-masa panen raya dinikmati oleh masyarakat Desa Sayan dan sekitarnya hingga pertengahan abad ke 18. Gejolak politik yang terjadi pada pemerintahan atas tanah dan wilayah desa rupanya tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupan para petani kering dan basah di Desa Sayan, Tebongkang dan Singakerta. Mereka tetap pada usaha meningkatkan hasil panen dengan cara-cara tradisional baik secara sekala maupun niskala, upacara-upacara berkala selalu dilaksanakan dengan mengedepankan gotong-royong. Pemeliharaan terhadap tanggul atau bendungan juga saluran irigasi diatur dengan sangat rapi dalam organisasi subak di masing-masing desa. Suasana ini dirasakan mulai memudar pada paruh tengah abad ke 18 dengan Gagal panen yang terjadi akibat serangan hama tikus pada tahun 1862, setahun kemudian penyakit kolera dan cacar menyerang desa. Wabah kekurangan pangan dialami oleh masyarakat desa akibat gagal panen di tahun 1868 menyebabkan ratusan orang meninggal.
Wabah Kolera dan Cacar menyerang sebagian besar desa-desa di Bali hingga tahun 1885 menewaskan ribuan penduduk yang terjangkit. Laporan Politik Van Eck dan Van Vlijmen menuliskan semua tentang wabah mengerikan seperti hantu yang menyerang desa-desa tua di Bali, terutama wilayah Bali Tengah dan Bali pesisir. Belum lagi dengan terjadinya gempa bumi pada tahun 1888 yang mengguncang Bali membuat penderitaan masyarakat Bali pada tahap yang sangat memprihatinkan. Catatan penulis Belanda yang bernama A.M. Hocart menggambarkan situasi genting yang terjadi di wilayah ini sudah menepatkan keberadaan pura-pura tua dan Dam atau bendungan menjadi sangat penting dalam sisitem sosial untuk mencari kesejahteraan masyarakat.
Ubud menjadi sebuah wilayah yang berkembang dengan sangat pesat dimulai pada paruh tahun 1886, dibawah kepemimpinan Tjokorda  Gde Sukawati yang mempunyai pertalian saudara dengan Puri Tegallalang dan Puri Peliatan, seperti laporan Residen ke Batavia tanggal 23 Januari 1889. Pada bulan Mei 1891 Ubud dibantu laskar Mengwi menyerang dan menaklukan Negara, Puri Negara dibumi hanguskan rata dengan dengan tanah, hal ini membuat wilayah-wilayah Negara mengakui kekuasaan Ubud. Setahun kemudian beliau tercatat menjadi tamu kehormatan pada upacara besar yang diadakan di Pura Masceti Sayan oleh masyarakat subak dan desa-desa sekitar Sayan. Laporan Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25-5-1893, laporan Residen bulan Desember 1896, laporan Contoleur  J.C Van Erde tanggal 1-6-1897 masing masing menggambarkan penguasa Ubud terus memperluas wilayahnya ketenaran Cokorda Gde Sukawati telah menyebar jauh dan luas, beliau selalu menemani pasukannya dalam setiap pertempuran, beliau menggunakan mahkota dari emas bertahtakan mutiara, seringkali beliau menghabiskan malamnya di pura-pura, sehingga dipastikan kemuliaan beliau berasal dari kesucian pikiran dan hatinya, banyak keris pusaka beliau dapatkan di berbagai pura tua di Bali, sehingga beliau seperti mendapat restu dari Dewa untuk memimpin pertempuran.
Babad Mengwi Lambing dan laporan politik Controleur J.P Van Eerde, tanggal 13 Desember 1896 mencatat pada tahun 1892 dua orang bangsawan yang sangat berpengaruh di Mengwi, yaitu Anak Agung Kerug dan Anak Agung Pekel melarikan diri dari Mengwi dan meminta suaka di Ubud mengikuti pelarian putra mahkota Mengwi yang bernama Anak Agung Gde Agung. Pelarian ini membawa tidak kurang dari 6000 pengiring setia. Para pengikut setia inilah yang menepati daerah-daerah perbatasan Ubud dengan membangun pemukiman dari utara ke selatan sepanjang sungai Ayung, mereka dilengkapi dengan senjata-senjata bertuah dan bedil-bedil sehingga fungsinya lebih mendekati Benteng pertahanan dari pada pemukiman penduduk. Para Ksatria Mengwi tersebut kemudian ditempatkan di Puri Kelodan yang khusus dibangun pada tahun 1892. Ubud juga mendirikan Giriya khusus bagi pendeta Mengwi yang ikut mengungsi ke Ubud, dinamakan Giriya Pamaron. Tahun 1893 setelah Puri Carangsari dan Petang melepaskan diri dari Bangli dan bergabung dengan Ubud, seluruh wilayah timur laut bekas kekuasaan Mengwi menjadi wilayah kekuasaan Tjokorda Gde Sukawati mengikuti wilayah Bunutan, Kedewatan, Sayan dan Kengetan seperti laporan politik Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25 Mei 1893. Tjokorda Gde Sukawati, penguasa Ubud mendapat kemasyuran dengan mengembangkan wilayahnya dari 40 desa menjadi 130 desa dan bersama-sama sekutunya berhasil memobilisasi 18.000 pengikut, dengan menguasai sebagian bekas kekuasaan Mengwi dan beberapa bagian daerah Gianyar pada awal tahun 1896, tertuang dalam laporan politik Controleur J.C. van Eerde tanggal 13-12-1896.
Masa Peralihan Kekuasaan Belanda-Jepang.
Peran Kekuasaan Belanda sangat kuat di daerah Bali dengan diangkatnya Van Heutsz sebagai Residen Bali Lombok pada tahun 1905 yang kemudian membuat kebijakan di tahun 1909 yang membagi wilayah Bali Selatan menjadi Divisi Administratif dibawah seorang Asisten Residen dan terdiri dari 6 sub wilayah, Karangasem, Bangli, Gianyar, Klungkung, Badung dan Tabanan, masing-masing dengan satu Controleur. Masing-masing daerah dipimpin oleh seorang Punggawa. Bali selatan berada dalam wilayah kekuasaan Residen Bali dan Lombok yang berdomisili tetap di Singaraja  tertuang dalam laporan Residen G.F. de Bruyn Kops tahun 1909. Tahun 1914 Belanda membangun empat Dam beton dibekas Dam tradisional masyarakat sepanjang sungai Ayung yang berkapasitas mengairi 12.763 hektar sawah. Untuk membuat Dam Oongan, Peraupan, Mambal dan Kedewatan ini Belanda menginvestasikan Dfl (Florin) Gulden 633.000 seperti yang tertulis dalam laporan nota Van Toelichting Badung  H.J. Hoekstra tahun 1938.
Salah satu Dam inilah kemudian yang menjadi sumber dari pengairan subak-subak yang terletak didesa sekitar Sayan hingga kini. Dengan mulainya abad ke 19 terjadi masa peralihan, desa-desa tradisional yang sebelumnya tidak tersentuh oleh modernisasi mulai terambah. Perdagangan-perdagangan hasil panen meluas hingga keluar pulai, terutama hasil sawah dan kebun, seiring dengan berkembangnya pelabuhan di utara Bali sebagai pintu masuk dan keluar barang-barang dari Bali. Pura Masceti Sayan yang dibangun pada awal-awal pemerintahan raja Mengwi sudah pula mengalami berbagai pemugaran pada palinggih-palinggihnya dilanjutkan dengan upacara-upacara yang bersifat besar maupun kecil. Hal ini yang diyakini sebagai pondasi kesuburan tanah sawah dan kebun disekitarnya menjadikan penduduk tidak kekurangan bahan pangan, berbeda dengan daerah-daerah lainnya yang mulai dilanda krisis bahan pangan, bahkan desa yang mempunyai tekstur tanah agak kering sudah terkena wabah kelaparan.
Sebuah catatan kuno yang ditulis oleh H.U. van Stenis mengungkapkan tentang gempa dahsyat yang melanda Bali Selatan pada tanggal 21 Januari 1917, walaupun berlangsung kurang dari lima puluh detik, tetapi cukup mengakibatkan kehancuran rumah-rumah, pura, puri tak terhitung jumlahnya, banyak jalan, bendungan yang jebol. Gempa yang menelan korban mencapai lebih dari 1.350 orang ini juga merobohkan dan menghancurkan pura-pura di Desa Sayan dan sekitarnya juga mengakibatkan kerusakan parah pada bendungan Kedewatan atau Dam Sayan yang diperbaiki oleh Belanda sebelumnya. Pura Masceti Sayan yang menjadi salah satu dari sekian banyak pura yang rusak, mengalami kehancuran yang parah. Palinggih-palinggih yang berbentuk bebaturan roboh hampir rata dengan tanah, tembok penyengker pura seperti hilang dari muka bumi, candi disemua mandala sudah tidak berbentuk lagi, patung dan stupa berserakan. Tidak dapat digambarkan kerusakan yang terjadi pada pura Masceti saat itu.
Ida Pedanda Ngurah Blayu juga mengisahkan kehancuran wilayah Bali Selatan, seperti yang tertuang dalam sastra Bhuwana Winasa yang beliau tulis pada tahun 1918, dimana beberapa bagiannya memuat tentang diserangnya sawah-sawah penduduk oleh hama tikus dan peperangan dikalangan orang-orang bersaudara dan menghancurkan Negara Bali disebabkan karena masyarakat Bali tidak lagi mengidahkan upacara di Pura Besakih. Tahun-tahun selanjutnya Bali Tengah benar-benar berada dalam situasi yang sangat sulit, wabah penyakit silih berganti menyerang penduduk, hama tikus menyebabkan gagal panen membuat masyarakat harus benar-benar hidup dengan sangat seadanya untuk menyesuaikan diri. Controleur Gianyar H.K. Yakobs menuliskan dalam buku laporanya bahwa masyarakat miskin dengan cepat bertambah di desa-desa yang sebelumnya hidup berkelimpahan. Pada Tahun 1930 wabah kekurangan pangan menyebar dengan lebih cepat sehingga banyak yang sampai meninggal akibat kelaparan. Nilai mata uang Belanda (1 rix-dolar) pada tahun 1931 mencapai 1.375 kepeng sampai dengan 1.785 kepeng Bali. Puncak dari krisis yang dialami Bali adalah tahun 1934 nilai tukar 1 rix-dolar mencapai angka 2.300 kepeng uang Bali.
Bali menjadi wilayah administratif kolonial Belanda pada tahun 1909, Kerajaan-kerajaan Bali Selatan yang yang dahulunya sangat jaya, berubah nama menjadi 6 sub wilayah, Gianyar, Badung, Tabanan, Karangasem, Bangli dan Klungkung. Masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Punggawa dengan seorang Controleur yang bertanggung jawab kepada Asisten Residen, mewakili kekuasaan Residen Bali dan Lombok yang berdomisili tetap di Singaraja seperti yang dilaporkan dalam nota politik Residen G.F. de Bruyn Kops tahun 1909.
Ketegangan politik antara Jepang dan Sekutu di Asia Tenggara mulai terjadi pada tahun 1941, Jepang mulai sedikit demi sedikit menguasai pasar di Bali, Toko-toko kelontong Jepang tumbuh bagai jamur di musim hujan, sangat laris karena barang-barangnya jauh lebih murah dari barang-barang Eropa. Tanggal 8 Desember 1941 meletus perang Pasifik, tentara Jepang menghancurkan pangkalan udara Pearl Harbour di kepulauan Hawai. Belanda dan sekutunya menyatakan perang melawan Jepan, Bali yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Hindia Belanda tentunya juga terimbas oleh peraturan-peraturan keadaan darurat perang. Masyarakat Bali masih seperti biasa melaksanakan kegiatan sehari-harinya, diakibatkan sedikit sekali media yang menerangkan tentang peperangan yang sedang berkecamuk antara Jepang dan Sekutu. Perang Pasifik mungkin hanya didengar oleh golongan-golongan intelektual dan keluarga para raja saja, sehingga tidak terlalu merisaukan masyarakat secara luas.
Bagian pasukan Kononklijk Nederlands Indisch Leger atau KNIL yang dibentuk di Bali dengan nama Prayoga yang terdiri dari 1000 orang direkrut dari pemuda-pemuda Bali yang cakap disebarkan di 4 tangsi : Buleleng, Karangasem, Badung dan Gianyar. Mereka yang ditugaskan untuk mempertahankan Bali dari serangan Jepang oleh Angkatan Darat Kerajaan Belanda dibantu oleh seluruh rakyat Bali. Tanggal 18 Februari 1942 Tentara Jepang mendarat di Sanur dengan jumlah yang sangat besar, setelah mengebom lapangan udara di Tuban terlebih dahulu. Tentara KNIL semua meninggalkan posnya masing-masing dengan ketakutan, sehingga dengan cepat Jepang berhasil menguasai Denpasar dan mengakhiri kekuasaan Belanda di Bali. Suasana kondusif masih terasa di wilayah swapraja Gianyar, penduduk seakan acuh tak acuh dengan perkembangan politik saat itu, mereka melakukan kegiatan kehidupannya dengan normal. Tanggal 8 Maret 1942, Stasiun pemancar radio resmi Belanda, Nirom menyiarkan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada Jepang sekaligus mengakhiri Pasifik dan masa kekuasaan Belanda terhadap Bali. Pura Masceti yang sebelumnya mengalami kerusakan akibat gempa tidak bisa dipugar sebagaimana mestinya, karena situasi politik swapraja Gianyar yang tidak kondusif. Masih banyak bangunan palinggih yang rusak hingga ditumbuhi rumput liar dan tanaman menjalar. Penduduk masih bingung dengan apa yang harus mereka lakukan berkaitan dengan pura-pura yang ada di wilayahnya. Situasi ini dipengaruhi oleh terkonsentrasinya para pemimpin swapraja dalam peralihan kekuasaan antara Hindia Belanda kepada Jepang. Para Punggawa dan Sedahan yang biasanya secara langsung memberi perintah untuk melakukan perbaikan pura, jalan atau bendungan tidak berani mengambil keputusan yang tegas, masih menunggu siatuasi politik menjadi tenang.
Pemerintah militer Jepang mengakui kerajaan-kerajaan di Bali dengan membentuk badan Panitia kerajaan terdiri dari Punggawa, Sedahan Agung dan seorang wakil dari Raja yang digaji oleh pemerintah Jepang. Jepang menepatkan seorang wakilnya di masing-masing swapraja dengan nama Syutjo yang bertugas mengamati perkembangan di masing masing swapraja. Syutjo ini menggantikan kedudukan para Controleur pada jaman Hindia Belanda, menjadi pejabat setingkat Bupati. Jepang memulai pemerintahan tangan besinya di Bali dengan menebar Polisi Militer yang diberi nama Kempetai yang bertindak aktif tanpa pandang bulu. Selama pemerintahan Militer Jepang, keadaan Masyarakat Bali yang sudah sulit, menjadi semakin sulit, banyak tentara yang sewenang-wenang terhadap rakyat kecil, merampas, menyiksa dan menangkap masyarakat yang dianggap melawan Jepang. Perhatian terhadap pasilitas umum seperti bendungan, jalan, pasar dan pura sangat minim. Bendungan banyak yang jebol, jalan rusak, pasar sepi tidak terurus dan pura-pura terbengkelai. Hal ini juga berlangsung setelah kemerdekaan dan tahun-tahun awal pemerintahan Republik Indonesia.
Masa Kemerdekaan dan Kekinian
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Bali yang merupakan bagian dari Republik Indonesia masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri sebagai daerah yang merdeka. Banyak pemeberontakan-pemberontakan yang dialami Indonesia, juga gerakan-gerakan pengacau keamanan Republik juga sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Masyarakat Bali yang tersebar di seluruh pulau tidak merasa tenang dalam melaksanakan kewajiban hidupnya, juga campur tangan Belanda masih dirasakan oleh masyarakat Bali. Tanggal 7 sampai dengan 24 Desember 1946 dilaksanakan Konferensi Denpasar di pendopo Bali Hotel dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook bertujuan membentuk Negara Indonesia Timur dengan ibukota Makasar. Susunan pemerintahan Bali dikembalikan seperti pada jaman raja-raja dulu, pemerintahan dipimpin oleh Raja dibantu Patih, Punggawa, Prebekel dan pemerintahan paling bawah diatur oleh Kelian. Di atas pemerintahan raja ada dibentuk juga Dewan Raja-Raja. Dalam kurun waktu tersebut Pura Masceti Sayan masih tetap berfungsi sebagai tempat berkumpul anggota Subak saat melakukan pertemuan atau membangun upacara upakara. Bagi masyarakat pengemong pura, hanya di pura sajalah tempat yang damai tanpa pertentangan.
Jajar Kemiri Palinggih Pura Masceti
Simbol-simbol Ida Sang Hyang Widhi di Pura Masceti memberikan kekuatan dan ketenangan bagi masyarakat Pangempon, sehingga mereka lebih mempercayakan nasib dan peruntungannya pada jaman bergolak itu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penduduk melaksanakan kewajibannya di Pura Masceti Sayan dengan cara-cara swadaya, dimulai dari pemugaran Pura, pemeliharaan saluran irigasi dan upacara dilaksanakan secara rutin, walaupun tidak secara besar-besaran. Warga Subak bahu membahu membangun dan menata pura yang sudah lama dilindas oleh jaman yang penuh hiruk pikuk perubahan kekuasaan dan politik.
Setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia lewat berbagai diplomasi dengan Belanda, Bali menjadi provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur, dimulai dari Anak Agung Bagus Sutedja (1950-1958), I Gusti Bagus Oka (1958-1959), Anak Agung Bagus Sutedja (1959-1965), I Gusti Putu Mertha (1965-1967), Soekarmen (1967-1978), Ida Bagus Mantra (1978-1988), Ida Bagus Oka (1988-1998), Dewa Made Beratha (1998-2008) dan I Made Mangku Pastika (2008- sekarang).
Candi Kurung Pura Masceti Sayan
Pura Masceti Sayan diyakini sudah mulai ada pada lintas kedatangan Maha Rsi Markandhya, walaupun belum bernama seperti sekarang dan kemungkinan besar menjadi wilayah yang disakralkan oleh penduduk Aga dengan bangunan palinggih yang sangat sederhana yang berbentuk Mretiwi atau prasada. Dalam perkembangan selanjutnya dilakukan  pemugaran-pemugaran yang disesuaikan dengan jaman pada saat pemugaranya. Pura Swagina yang dibangun di tengah-tengah wilayah persawahan ini terletak di Desa Pakraman Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.

bresambung