Minggu, 16 Juni 2013

(File Kajian)



(File Kajian)
Dimohonkan untuk dikaji

1.    Pokok Kajian
Dalam rangka penelusuran sejarah kewangsaan di daerah lembah sungai Wos, terutama wilayah Jungut Ubud yang berhubungan sangat erat dengan Pura Campuan Ubud, yang dahulu diperkirakan sebagai tempat suci bagi Rsi Markandya dan para pengikutnya. Dimohonkan untuk dikaji kemungkinan-kemungkinan perpindahan penduduk dari dusun-dusun tua Bali Kuno, mulai pada zaman pemerintahan :
o   Dinasti Warmadewa (914-1119),
o   Wangsa Jaya (1133-1284),
o   Wangsa Singosari (1284. Kebo Parud),
o   Warmadewa (1324-1337)
o   Wangsa Samprangan dan Gelgel (1502-1655)
o   Angelurah Agung Maruri (1665-1686)
o   Dinasti Klungkung (1686-1868)

2. Pertimbangan Kajian
2.1. Perjalanan Suci Orang Aga Ke Bukit Uluwatu.
Pada sekitar pertengahan tahun 1243 Masehi, Antara pemerintahan raja Adidewalancana dan terjadinya serangan Singosari atas raja Bali, pada bulan terang, awal musim kering, terjadi wabah penyakit di daerah Buleleng, penyakit aneh tersebut sudah merenggut banyak sekali jiwa penduduk Buleleng. Penyakit Cacar air atau bahasa medisnya adalah smallpox atau variola yang diperkirakan berasal dari India ini sudah menjangkiti wilayah Buleleng timur antara lain Desa Julah, Tejakula, Bondalem dan penduduk yang mendiami pinggiran Tukad Palad, Tukad Mejan, Tukad Samuh dan tukad Palijan.
Banyak penduduk terkena penyakit dengan gejala yang aneh mulai dengan demam dan sakit kepala Setelah dua atau tiga hari kemudian mulai muncul bintik merah datar, lalu menjadi menonjol, kemudian muncul cairan didalamnya berupa air, nanah dan darah seperti melepuh disertai rasa gatal-gatal, dalam jangka waKetutu kurang dari seminggu, penduduk yang terjangkit kemudian sulit untuk bernapas. Orang-orang menyebut penyakit ini Medewa,dan menurut para tetua desa penyakit ini disebabkan oleh kemarahan para leluhur dan dewa di gunung, berkeinginan bersuci di kakinya pulau Bali, yaitu bukit Uluwatu banyak sudah korban yang meninggal, terutama pada bayi dan anak-anak.
Setelah melakukan perundingan dengan para pemimpin desa, akhirnya diputuskan untuk mengirim beberapa penduduk pilihan, yang sehat dan pemberani untuk melakukan perjalanan suci menuju selatan. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan berjumlah tidak kurang dari 40 orang. Membawa perbekalan yang cukup dan juga alat-alat pertanian serta senjata untuk mempertahankan diri. Mereka juga membawa beberapa arca prelingga dan keris pusaka yang dikeramatkan. Ada juga dibawa beberapa cawan tembaga dan keramik yang biasa dipakai sebagai tempat mencampur atau meramu obat-obatan. Tujuan mereka adalah menghadap Hyang Ludra guna memohon perkenan agar desa di Barat Daya Pulau Bali (Bukit Uluwatu). Karena menurut tetua desa, penyakit yang dialami oleh penduduk itu datangnya dari sebelah barat daya desa, diujung pulau Bangsul.
Sebagaian dari mereka melakukan perjalanan suci menuju Tampurhyang (Batur). Sebagian lagi menuju arah barat ke Pucak Batukaru. Tidak dikisahkan perjalanan penduduk yang bergerak menuju kearah barat desa, dan perjalanan penduduk menuju Tampurhyang. Perjalanan 40 warga kuwu tukad Mejan menuju arah barat daya untuk menghadap Hyang Ludra di bukit Uluwatu. Perjalanan mereka menuju arah selatan menelusuri tepian Tukad Shyang Brata lalu sampai di Sukawana. Di Sukawana rombongan ini beristrirahat, sempat membangun beberapa pondok peristirahatan. Juga membangun beberapa bangunan darurat untuk melinggihkan arca pralingga yang dibawa dari utara. Mereka tinggal menetap sementara di sekitar pura Panarajon, Hal itu bisa dimaklumi karena wilayah Sukawana adalah bagian dari Banuwa yang beristilah sebagai Gebog Domas pura Pucak Penulisan, sehingga hubungan orang-orang dari lereng Tukad Mejan sangat dekat dengan  penduduk Sukawana.
Mereka kemudian meneruskan perjalanan menuju arah selatan. Menaiki daerah berbukit-bukit dengan tanah berpadas, wilayah gugusan bukit Kintamani. Di bukit Kintamani mereka diterima dengan baik oleh penduduk, diberikan makanan dan tempat untuk bermalam. Untuk beberapa lama mereka berbaur dengan masyarakat di Kintamani, ada juga beberapa yang kemudian memutuskan untuk tinggal menetap. Mereka membuat permukiman di daerah dataran sebelah utara danau Batur. Mulai membangun perdikan dengan penduduk kintamani dan penduduk Kuwu Tukad Mejan. Setelah beberapa lama mereka hidup dan bertani di lereng perbukitan Kintamani, terpilihlah beberapa orang yang bertugas melanjutkan perjalanan menuju Bukit Uluwatu, membawa serta arca prelingga dan alat-alat  yang dipandang perlu digunakan dalam perjalanan, dan akan disucikan.
Mereka menyebrangi daerah Banua Bayung Gede terus melanjutkan perjalanan menuju ke selatan, menuruni bukit Kintamani. Di hulunya Tukad Petanu, wilayah Tampasiring. mereka kembali beristirahat, Karena perpekalan habis, disana mereka kembali membuat perkebunan dan bercocok tanam, menanam berbagai tanaman musiman yang bisa dipakai sebagai bekal untuk meneruskan perjalanan. Pada sekitaran tahun 1279 Masehi para penduduk Aga yang berasal dari lembah Tukad Palad, Tukad Mejan, Tukad Samuh dan tukad Palijan. Membuat pemukiman di sebuah dataran subur diantara dua sungai besar, Sungai Petanu dan Pekerisan. Semakin hari semakin berkembanglah daerah itu, penduduk juga semakin banyak, sehingga terbentuklah sebuah kuwu atau Perdikan.
Kehidupan penduduk yang sudah mulai bercocok tanam mendorong mereka untuk bertempat tinggal tetap dan membangun kuwu dengan organisasi yang semakin teratur. Kehidupan religi mereka mereka juga semakin berkembang dengan pelaksanaan upacara-upacara yang berlandaskan konsep magis atau oleh ilmuan barat dikenal dengan konsep Simpatic Magic.
Upacara-upacara itu seringkali dilaksanakan saat menjelang kegiatan berburu. Upacara-upacara penguburan juga sudah mulai berjalan dengan baik, jasad penduduk yang meninggal diupacara terlebih dahulu baru kemudian diangkut ke batas selatan desa, di batas desa itulah jasad tersebut ditanam, dengan areal bernama Pelarungan atau pemakaman, itu menandakan mereka sudah mempunyai sebuah keyakinan adanya kehidupan lain setelah kematian, yang berarti juga mereka sudah meyakini bahwa arwah nenek moyang yang sudah diupacara mempunyai kemampuan mengatur, melindungi dan memberkahi para generasi yang masih hidup, atau sebaliknya mengganggu dan mengusik keturunannya yang berbuat salah.
Beberapa dari penduduk sudah mempunyai kemampuan yang tinggi dalam peleburan bijih-bijih logam, pengecoran logam untuk membuat perkakas bertani dan berburu. Penduduk juga mempunyai keahlian khusus membuat hiasan dengan motif-motif tertentu dari logam. Dengan adanya perkakas pertanian dari logam itu membuat pertanian, terutama perkebunan semakin maju, walaupun pertanian saat itu hanya mengandalkan air hujan, tanpa ada irigasi pengairan yang teratur. Kemampuan - kemampuan itu menunjukkan betapa tingginya tingkat kemajuan dalam bidang piroteknologi (pyrotechnology) yang telah dicapai.
Demikianlah kisah awal terbentuknya perdikan atau Kuwu di sekitar Tukad Petanu. Setelah sekian lama berlalu, setelah suasana desa tertata dengan baik, lengkap dengan konsep hulu teben dan Parahyangan kembalilah dikirim pemuda-pemuda pilihan untuk melanjutkan perjalanan menuju arah seletan, menuju Bukit Uluwatu, guna mensucikan beberapa arca dan pretima dari Buleleng. Perjalanan suci penduduk Kuwu Tukad Mejan menuju arah selatan melalui aliran sungai Petanu, menyebrang ke arah barat dan melanjutkan perjalanan ke arah selatan dengan menyusuri sungai Wos. Juga membangun perdikan-perdikan sepanjang aliran sungai dalam perjalanan tersebut.
2.2. Banjir Sungai Wos.
Dari sebuah sumber di Kuil Cina yang sedang dalam proses alih bahasa, ke dalam bahasa Belanda di Laboratorium bahasa Laiden University, Projec th 2014, ditemukan tulisan biksu Cina yang memuat tentang wilayah perdikan atau kuwu di sepanjang sungai wos (Woh) di Bali yang sudah tertata dengan baik, memakai konsep Hulu Teben, membujur di tepian timur sungai Wos (Woh). Bertahun masehi 1288. Dari selatan ke utara, dari hilir sungai Wos (Woh) sampai ke Hulu Sungai Wos (Woh).
Banjir besar terjadi disekitar tahun Masehi 1292, pada malam bulan mati, masa musim penghujan, menghanyutkan harta benda penduduk kuwu, bahan pangan dan ternak, juga benda-benda yang disakralkan dalam memuja Hyang, hanyut tersapu banjir. Penduduk yang selamat kemudian mendaki wilayah perbukitan dan mulai membuat pemukiman di tengah hutan, di sisi sebelah timur sungai.
Kehidupan sosial religius masyarakat diceritakan oleh biksu cina sebagai penyembah gunung, alam dan tempat-tempat keramat. Sering melakukan ritual keagamaan pada masa bulan terang dan bulan mati pada musim pancaroba antara musim hujan dan kemarau. Ritual dengan menyembelih ternak dan hewan luar yang kemudian dibagikan kepada penduduk sama rata, kecuali bagi para penghulu desa yang mempunyai bagian lebih banyak dari para penduduk biasa. Tatanan organisasi kuwu juga sudah tertata dengan sangat baik, dibidang kemasyarakatan dan bidang keagamaan.
2.3. Ekspedisi Majapahit
Setelah menyeberangi lautan pasukan Majapahit akhirnya mendarat di Pulau Bali. Kedatangan prajurit Majapahit tersebut membuat Pulau Bali bagaikan bergetar, rakyat Bali menjadi panik dan melaporkan hal tersebut kepada pangeran Sri Madatama yang merupakan putra mahkota kerajaan Bali serta kehadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah mendengar laporan tersebut, Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kemudian mengutus putranya pangeran Sri Madatama untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut. Setelah memastikan kebenaran berita tersebut Krian Pasung Grigis beserta para patih lainnya segera punggawa menyiapkan pasukannya masing masing dengan membagi pasukan menjadi 3 sesuai arah pengepungan pasukan dari Majapahit.
o   Pertahanan di wilayah Utara dijaga oleh Ki Pasung Grigis, Si Buwan dan Krian Girikmana.
o   Pertahanan di wilayah Barat dijaga oleh Sri Madatama, Ki Tambyak, Ki Walumgsingkat dan Ki Gudug Basur.
o   Pertahanan di wilayah Timur dijaga oleh Ki Tunjung Tutur, Kom Kopang dan Ki Tunjung Biru.
Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu.
Diceritakan pasukan dari arah timur yang dipimpin langsung oleh Patih Gajah Mada sesuai kesepakatan, langsung membakar semak belukar di hutan untuk memberi tanda kepada pasukan dari arah Utara dan selatan bahwa penyerangan akan segera dimulai. Akibat pembakaran hutan tersebut membuat nyala api membumbung tinggi ke angkasa sehingga dapat dilihat oleh para arya dari arah utara dan selatan.. Dengan isyarat tersebut dengan serentak para prajurit Majapahit melakukan penyerangan ke Pusat kerajaan Bedahulu.
Pasukan dari arah Timur dipimpin oleh Patih Gajah Mada berhadapan langsung dengan pasukan Bedahulu yang dipimpin oleh Ki Tunjung Tutur yang berkedudukan di Toya Anyar dan Ki Kopang yang berkedudukan di Seraya. Pertempuran berjalan dengan dahsyatnya, saling terjang dan masing masing memperlihatkan kesaktian, kedigjayaan serta kemahiran bertempur, sampai akhirnya pasukan Bedahulu dapat dipukul mundur oleh Pasukan dari Majapahit setelah Ki Tunjung Tutur dan Ki Kopang gugur dalam pertempuran. Pasukan yang masih tersisa akhirnya tercerai berai menyelamatkan hidupnya masing masing. Dengan gugurnya kedua pemimpin pasukan tersebut maka daerah Tejakula, Bondalem, Julah, Bangkah, Bukti, Sembiran, Tajun, Bontihing, Bila, Depaa, Dausa, Lateng, Tunjuk, Kepakisan, Selulung, Batur dan desa sekitar bintang danu dan bagian timur seperti Tongtongan, Margatiga, Ngis dan Tianyar dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah Pimpinan Patih Gajah Mada.
Demikian pula pasukan dibawah pimpinan Krian Kepakisan dan Krian Tumenggung dapat menguasai desa Celukan Bawang, Banjar-Aseman, Uma Anyar, Yeh Anakan, Kalopaksa, PatemonUlaran, Unggahan, Gelagah, Kutul, Sepang, sekitar sungai Ubo, Ringdikit, Rangdu, Mayong, Pusuh, Lapuan, Kekeran, Belah-Manukan, Kedis, Gesing, Banyuatis, Gobleg, Cempaga, Kayu Putih, Munduk dan Baha.
Pertempuran di Bali bagian utara juga tidak kalah serunya. Daerah Ularan dipertahankan oleh Ki Girikmana diserang oleh pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Panglima Arya Damar. Terjadi pertempuran antara kedua pimpinan pasukan yaitu Arya Damar dengan Si Girikmana. Kedua pasukan yang tadinya bertempur menghentikan pertempuran untuk menyaksikan perang tanding ke dua tokoh tersebut. Dalam perang tanding yang berlangsung sangat seru tersebut masing masing menunjukkan kesaktiannya untuk secepatnya melumpuhkan musuhnya, sampai akhirnya Si Girikmana tidak mampu menandingi kesaktian Arya Damar sehingga gugur dalam pertempuran sebagai kesatria sejati. Gugur pula dari pihak kerajaan Bali Krian Jembrana sebagai prajurit yuda.
Di Batur pasukan yang dipimpin oleh Arya Damar dihadang oleh Ki Bwan. Dalam pertempuran tersebut Arya Kutawandira mohon diberi kesempatan untuk untuk perang tanding dengan Ki Bwan. Arya Damar mengijinkan dan memberi nasehat untuk berhati hati dalam menghadapi Ki Bwan karena orangnya juga tidak kalah saktinya dengan Si Girikmana sehingga terjadilah pertempuran antara kedua tokoh tersebut. Dalam pertemuran tersebut Ki Bwan tidak mampu menandingi kesaktian Arya Kutawandira sehingga gugur dalam pertemuran sebagai pahlawan. Dengan gugurnya ke dua pimpinan pasukan dari Bedahulu tersebut maka wilayah Bali bagian utara jatuh ketangan pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Damar. Panglima perang pasukan Majapahit yang gugur dalam pertempuran tersebut bernama Arya Gait . Dengan gugurnya Ki Girikmana dan Ki Bwan maka daerah Jembrana, Pamagetan, Kebon jangung, Pangesan, Cangku, Pupuhan, Balimbing, Serampangan, penatahan, Jelijih, Punggang, Gadungan, Kayu Kunyit, Uma-Gati, Uma-Bangkah dan desa Selajong dapat dikuasai prajurit Majapahit dibawah pimpinan Arya Damar.
Berbeda dengan Bali bagian utara dan bagian Timur, pertahanan Bali bagian Selatan jauh lebih kuat karena dipimpin langsung oleh Putra mahkota Kerajaan Bali yaitu pangeran Sri Madatama bersama panglima pasukan yang sakti mandraguna yaitu Ki Gudugbasur yang berpangkat demung dan Ki Tambyak yang berkedudukan di Jimbaran. Pasukan dari Bali tersebut bertempur dengan semangat tinggi dengan diiringi oleh gamelan yang gegap gembita sehingga berbaur dengar gemerciknya suara tombak beradu.
Dalam pertempuran tersebut Lurah Kadengayan, Lurah Suwung terlibat pertempuran sengit dengan Arya Wangbang dan Arya Dalancang. Pertempuran tersebut berjalan seimbang dimana Kedua belah pihak sama sama mengeluarkan ilmu pamungkas, sampai akhirnya Lurah Kadengayan dan Lurah Suwung gugur dalam perang tanding tersebut. Melihat temannya gugur dalam pertempuran Ki Demang Kalambang dan Ki Tambyak maju ke medan pertempuran menuntut balas
Ki Tambyak mengamuk dalam pertempuran sehingga membuat pasukan Majapahit tercerai berai. Dalam pertempuran tersebut Arya Pasuruhan tewas di tangan ki Tambyak dan di injak injak dengan kuda sedangkan kyai Banyuwangi lari dikejar oleh pasukan Ki Kalambang. Melihat pasukan Majapahit terus terdesak Arya Kenceng kemudian turun langsung ke medan pertempuran.
Pasukan Majapahit di wilayah Selatan dibawah pimpinan Arya Kenceng menggempur habis habisan, tiada henti hentinya mengurung pasukan musuh dari segala arah. Pasukan Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak mulai terdesak dan banyak yang mati terluka. Dalam keadaan terdesak Ki Tambyak berhasil mengalahkan Kyai Lurah Belambangan. Tubuhnya dilemparkan oleh Ki Tambyak sehingga terpelanting ke tempat yang agak jauh. Kyai Lurah Belambangan menghembuskan napasnya yang terakhir, gugur sebagai prawira yuda yang gagah berani. Melihat kawan seperjuangannya gugur, Arya Balancang, Arya Sentong, Arya Wangbang dan Kyai Banyuwangi maju bersamaan untuk mengimbangi kekuatan musuh.

Ki Tambyak adalah seorang patih kerajaan Bali yang sangat teguh dan sakti sehingga sulit untuk dikalahkan, kalau hal tersebut terus dibiarkan maka makin banyak korban yang berjatuhan dari pihak Majapahit. Untuk menghindari hal tersebut maka pimpinan pasukan Majapahit di wilayah selatan yaitu Arya Kenceng memutuskan menghadapi langsung Ki Tabyak. Dalam pertempuran satu lawan satu tersebut masing masing pihak berusaha saling mengalahkan. Karena hebatnya perang tanding tersebut prajurit dari kedua belah pihak sampai menghentikan pertempuran untuk menyaksikan kedua tokoh sakti tersebut saling mengalahkan. Namun demikian ternyata Arya Kenceng dapat memanfaatkan kelengahan Ki Tambyak sehingga dapat terus menekannya. Ki Tambyak akhirnya gugur dalam pertempuran sampai kepalanya terpisah dari badannya. Dengan gugurnya Ki Tambyak pertahanan Bali di wilayah selatan menjadi lemah karena hanya menyisakan Ki Gudug Basur.
Dalam Pertempuran tersebut Ki Gudug basur diserang dari segala arah oleh para Arya dari Majapahit. Namun I Gudug basur ternyata mempunyai ilmu yang sangat tinggi yaitu teguh, kebal oleh senjata apapun sehingga para Arya mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Namun demikian walaupun tubuhnya tidak dapat terluka apabila terus menerus digempur dari segala arah lama kelamaan Ki Gudig Basur kehabisan tenaga dan sehingga dapat dikalahkan oleh pasukan dari Majapahit.
Dengan Gugurnya Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak maka daerah Seseh, Tralangu, Padang Sambian, Kedonganan, Benua, jimbaran, Kuta, Mimba, Suwung, Sesetan, Tuban, Renon, Batankendal, Sanur, Tanjungbungkah, Kaba Kaba, Kapal, Tanah barak, Camagi, Munggu, Parerenan, Dukuh, Kemoning, Pandak, Kelahan, Pancoran, Babahan, Keliting, Cengkik dan Kerambitan dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah pimpinan Arya Kenceng.
Kemenangan Pasukan Majapahit di wilayah selatan yang dipimpin oleh Arya Kenceng melengkapi kemenangan pasukan Majapahit yang terlebih dahulu berhasil mengusai wilayah Utara dan Timur Pulau Bali sehingga praktis semua daerah pesisir Bali dapat dikuasai. Sekarang tinggallah Krian Pasung Grigis yang bertahan di desa Tengkulak di wilayah Bali Bagian Tengah. Setelah kemudian Krian Pasung Grigis menyerah dalam adu ilmu dengan Gajah Mada akhirnya wilayah Bali secara keseluruhan dikuasai oleh Majapahit. Demikianlah akhir perlawanan Kryan Pasung Grigis terhadap Majapahit dan selanjutnya Pasung Grigis dipenjaraan di Tengkulak. Dengan tertawannnya Pasung Grigis maka seluruh rakyat dan para pemuka Bali menyatakan tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Peristiwa penundukan Bali oleh Majapahit terjadi pada Tahun saka 1265 atau 1343 M. Pasukan Gajah Mada beserta para Arya merayakan kemenangan ini dengan suka cita.
Sisa sisa langkar Bedahulu yang masih tersisa setelah mengalami kekalahan dalam pertempuran menyelamatkan diri dan mengungsi ke daerah Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munti, Bonyoh, Tarobayan, Serahi, Sukawana, Panarajon, Kintamani, Pludu, Manikliu, dan ada pula yang mengungsi ke daerah timur seperti Culik, Tista, Margatiga, Muntig, Got, Garbawana, Lokasarana, Garinten, Sekul Kuning, Puhan, Hulakan, Sibetan, Asti, Watuwayang, Kadampai, Bantas, Turamben, Crutcut, Datah, Watidawa, dan Kutabayem.
Banyak juga diantara pasukan Bali yang mengungsi ke wilayah hutan Bali tengah yang masih lebat dan angker, diantaranya sepanjang hutan antara sungai Petanu dan sungai Ayung, mereka berdiam menjauhi keramaian dan hidup dari hasil hutan. Menjadi penduduk pedalaman yang terisolir dari wilayah-wilayah kerajaan sampai berdirinya kerajaan Samprangan. Mereka memilih mendiami wilayah tepian sungai atau lereng gunung yang subur.
2.4. Pemberontakan Orang Aga terhadap Kerajaan Samprangan.
Adhipati Shri Kresna Kepakisan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Sampelangan. Pemerintahan beliau menganut system kepemerintahan di Majapahit serta beliau kurang memahami apresiasi rakyat Bali, keberadaan tempat suci orang Bali Aga tidak dapat perhatian dan diabaikan. Sikap inilah yang sangat menyinggung perasaan orang Bali Aga, pemerintahan beliau dijauhi. Lama kelamaan rasa tersinggung ini meningkat menjadi rasa antipati, yang puncaknya orang Bali Aga tidak mau mengakui pemerintahan Adhipati Sampelangan.
Di sekitar tahun 1355 banyak desa-desa Aga yang kemudian melakukan pemberontakan terhadap adipati Samprangan. Pemeberontakan ini diawali dari Desa Tampurhyang Batur sebagai pusat pemerintahan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh Kyayi Kayu Selem, kemudian diikuti oleh desa Batur, Terunyan, Abang, Buahan, Kedisan, Cempaga, Pinggan, Peludu, Kintamani, Serai, Manikliyu, Bonyoh, Sukawana, Taro dan Bayad.
Kemudian pemeberontakan ini mendapat dukungan dari desa-desa timur Bali yaitu, Culik, Tista, Basangalas, Got, Margatiga, Sekulkuning, Garinten, Lokasrana, Puhan Bulkan, Sinanten, Tulamben, Batudawa, Muntig, Juntal, Carutcut, Bantas, Kuthabayem, Watuwayang, Kedampal, dan Hasti, serta desa-desa lainnya sehingga jumlahnya adalah tidak kurang dari 39 desa.
Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dhalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu beliau bawa.
Karena keterkaitan antara banuwa-banuwa dan ikatan sosial diantara desa-desa tua Aga, Penduduk Aga yang tersebar di daerah tepian sungai besar sepanjang sungai Wos Lanang dan Wadon, Sungai Petanu, Sungai Tawar dan Sungai Ayung dengan kuwu-kuwunya ikut serta dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Pasek Taro, Tidak Kurang dari 1200 pemuda berbadan tegap ikut andil dalam pemberontakan terhadap Adipati Samplangan. Mereka berkumpul membuat gelar pasukan di daerah Bedahulu. Akan tetapi pergerakan pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh laskar Samplangan, banyak laskar pemberontak yang tewas, sisanya melartikan diri masuk ke hutan-hutan yang diperkirakan aman dari pantauan laskar Samprangan dengan tetap melakukan kerusuhan-kerusuhan di wilayah tepian hutan, dengan merampok dan membegal para pedagang sebagai unjuk rasa ketidak puasan terhadap pemerintahan adipati Samplangan.
Pemberontakan orang-orang Aga, yang bersifat besar dapat dipadamkan pada kisaran Tahun tahun 1383 Masehi, yaitu setelah Shri Kresna Kepakisan mangkat digantikan oleh putra beliau yang bernama Dhalem Agra Samprangan, dan saat gejolak yang terjadi dikeraton Samprangan, sehingga para mentri memutuskan untuk mengangkat Shri Dhalem Ile sebagai Dipati Bali berkedudukan di Gelgel.
II.5. Kehancuran Puri Tarukan
Di awal pemerintahan Dalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 M atau 1295 saka) terasa situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat Raja.
Untuk menghindari pertengkaran, maka kedua adik Dalem yaitu Dalem Di-Madia dan Dalem Ketut, memilih tinggal di luar istana. Dalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar : Dalem Tarukan. Dalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan; penduduk lalu menjuluki beliau : Dalem Ketut Ngulesir.
Selain untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan rakyat. Ide Bethara Dalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan
Karena sebuah kesalah pahaman yang sengaja dihembuskan oleh fihak-fihak yang ingin berbuat onar, akhirnya laskar Samprangan menyerang puri Tarukan. Mereka masuk ke istana, memeriksa setiap sudut tetapi tidak menjumpai jejak Dalem Tarukan. Mereka hanya menemukan permaisuri beliau yang bersimpuh berurai air mata. Pasukan Dulang Mangap lalu menjarah isi Puri Tarukan dan membakar sampai habis Puri Tarukan. Para tawanan digiring ke Puri Samprangan. Kejadian yang memilukan ini terjadi pada tahun 1377 M atau 1299 isaka.
Pada masa pelarian Dhalem Tarukan dari Puri Tarukan menuju arah barat banyak kemudian pengikut-pengikut beliau yang terdiri dari warga Aga Tarukan dan warga Aga wilayah-wilayah yang beliau lalui menyatakan setia kepada Dhalem Tarukan, mereka lebih memilih menjauhi daerah keramaian dengan membuka desa-desa terpencil di tengah hutan untuk mencari ketenangan. Mereka membuat arela pertanian dengan membuka hutan-hutan pegunungan dalam tingkatan yang tidak terlalu luas. Mereka menghindari diri bersentuhan secara langsung dengan penduduk luar, demi keselamatan mereka. Mereka dikenal dengan nama Warga Gunung. Banyak diantara penduduk itu kemudian masuk ke dalam trah Pulasari atau Trah Kayu Selem. Mereka mengutamakan upacara-upacara yang bersifat mengupacarai alam semesta, laut, gunung dan sungai.